Anda di halaman 1dari 14

2.

2 Tumor Jinak Nasofaring


2.2.1 Fibroma Nasofaring
Fibroma nasofaring dikenal juga sebagai Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.
Meskipun kemunculannya jarang, namun jenis ini yang paling sering muncul di antara tipe-
tipe tumor jinak nasofaring lainnya.
A. Epidemiologi
JNA adalah suatu kelainan yang jarang ditemui dan mewakili  0,05 – 0,5% dari
seluruh neoplasma kepala dan leher. Rata-rata usia saat diagnosis ditegakkan adalah
7-19 tahun (tersering 15 tahun). Jarang terjadi pada pasien-pasien berusia diatas 25
tahun dan memiliki risiko kematian yang sangat rendah

B. Etiologi
Penyebab pastinya tidak diketahui. Karena tumor ini banyak dijumpai pada remaja
laki-laki dengan kisaran usia 20 tahun, sehingga diperkirakan berhubungan dengan
hormon testosterone. Penderita umumnya memiliki nidus hamartomatosa dari
jaringan vascular di nasofaring, yang kemudian teraktifasi membentuk angiofibroma
seiring dengan munculnya hormon seks pria.

C. Lokasi dan Perkembangan


Lokasi awal kemunculan dari tumor ini masih menjadi perdebatan. Pada mulanya,
dianggap timbul dari atap nasofaring, atau dinding anterior dari tulang sfenoid namun
kini dipercaya kemunculannya berasal dari bagian posterior dari rongga hidung dekat
batas superior foramen sphenopalatina. Dari tempat tersebut, tumor berkembang ke
dalam rongga hidung, nasofaring, dan ke dalam fossa pterygopalatina, menuju ke
belakang dinding posterior dari sinus maksilaris yang akhirnya terdorong ke depan
saat tumor membesar. Secara lateral, tumor tersebut meluas hingga fossa
pterygomaksilaris dan kemudian fossa infratemporalis dan pipi.

D. Patologi
Angiofibroma, sesuai dengan namanya, terbentuk dari jaringan vaskular dan fibrosa:
rasio antara keduanya bervariasi. Umumnya, pembuluh darahnya hanya berupa
lapisan endotel tanpa otot. Hal ini menyebabkan kejadian perdarahan yang berat
karena pembuluh darahnya kehilangan kemampuan untuk berkontraksi, serta tidak
dapat dikontrol dengan pemberian adrenalin.

E. Penyebaran
Fibroma nasofaring merupakan tumor jinak, namun dapat menginvasi secara lokal dan
menghancurkan struktur di sekitarnya. Penyebarannya dapat menjangkau:
1. Rongga hidung, menyebabkan obstruksi hidung, epistaksis dan pengeluaran sekret
dari hidung.
2. Sinus paranasal, meliputi sinus maksilaris, sfenoid, dan ethmoid.
3. Rongga mata, menyebabkan timbulnya proptosis dan ‘deformitas wajah katak’.
Tumor ini masuk melalui fissure orbita inferior, dan juga menghancurkan puncak
dari orbita. Dapat juga masuk melalui fissure orbita superior.
4. Rongga kranial. Fossa kranialis tengah yang paling sering, disebabkan oleh rute
masukannya melalui:
- Erosi dari lantai fossa kranialis media, anterior dari foramen lacerum. Tumor
ini berada lateral dari A. karotid dan sinus kavernosus.
- Sinus sfenoid, ke dalam sella. Tumor berada medial dari A. karotid.

F. Gambaran Klinis
1. Epistaksis berat dan rekuren, merupakan gejala yang paling sering ditemui dan
pasien sangat berisiko untuk mengalami anemia karena kehilangan darah yang
signifikan.
2. Obstruksi hidung dan denasal speech. Gejala ini timbul akibat adanya massa yang
mengjalangi rongga postnasal.
3. Tuli konduksi dan otitis media serosa, akibat obstruksi dari tuba eustachius.
4. Massa di nasofaring, umumnya memiliki sifat imobil, berlobus atau dapat juga
halus dan menyumbat satu atau kedua koana. Berwarna pink atau keunguan dengan
konsistensi padat.
5. Dapat juga ditemukan gejala lain seperti perluasan jembatan hidung, proptosis,
pembengkakan daerah pipi dan fossa infratemporal, atau keterlibatan gangguan N.
II, III, IV, VI tergantung penyebaran dari tumor.

Gambar 7. Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma


G. Pemeriksaan Penunjang
1. Soft Ttissue Lateral menunjukkan adanya massa jaringan lunak dalam nasofaring.
2. X-ray dari sinus paranasalis dan basis kranii dapat menunjukkan perubahan posisi
septum nasal, gambaran opak pada sinus, pembungkukkan anterior dari dinding
posterior sinus maksilaris, erosi dari pelat sphenoid atau pterygoid, dan pelebaran
batas lateral bawah dari fissure orbita superior.
3. CT-scan dari kepala dengan kontras merupakan pemeriksaan pilihan utama dan
telah menggantikan radiografi konvensional. Dapat menunjukkan penyebaran
tumor, desktruksi tulang atau perubahan posisi lain. Kemungkinan dijumpai
pembungkukkan dari dinding posterior sinus maksilaris (antral sign) yang
merupakan patognomic dari tumor angiofibroma.
4. MRI, dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan CT-scan apabila penyebaran tumor
mencapai intracranial dalam fossa infratemporal atau ke dalam orbita.
5. Angiografi karotid, dapat memperlihatkan penyebaran rumor, vaskularisasi dan
keadaan pembuluh darahnya. Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi
agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan
mempermudah pengangkatan tumor.
6. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan sebab biopsi merupakan
kontraindikasi karena dapat mengakibatkan perdarahan yang masif.

H. Klasifikasi
Sistem klasifikasi JNA berdasarkan Radkowski

I. Tatalaksana
Sampai saat ini, pembedahan merupakan terapi gold standar dari JNA. Beberapa
pilihan terapi JNA, antara lain kemoterapi, radioterapi, hormonal terapi, embolisasi.
1. Terapi hormonal
Karena tumor ini muncul pada remaja pria menjelang pubertas, terapi horman telah
digunakan baik sebagai terapi primer maupun tambahan. Terapi hormonal tersebut
diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat testosteron reseptor
bloker (flutamid). Berdasarkan hasil penelitian Gates et al, anti-androgenik seperti
flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide) dapat
mengurangi pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil dan penyusutan tumor
hingga 44 %.
Estrogen juga telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun
memiliki efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler. Terapi
estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg intramuskuler perhari selama sebulan,
terbukti dapat mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50%
dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat pula diberikan preparat
progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama sebulan untuk
meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian
dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atrofi
testis.

2. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau
ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau
resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan
pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk
mengontrol lesi.
Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi tumor tidak lagsung
mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif, radioterapi sebenarnya harus
ditunjang dengan terapi pembedahan. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama
untuk penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27
pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien
akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan tetapi komplikasi
jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu gangguan
pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak, dan keratopati
radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan leher sekunder
sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA. Prognosis dari radioterapi sendiri
ditentukan oleh stadium tumor, dimana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi
kurang memberi hasil pada tumor stadium akhir.

3. Embolisasi
Beberapa ahli menggunakan embolisasi preoperatif untuk menguragi vaskularisasi
tumor. Suplai darah terutama berasal dari arteri maksilaris interna, dan lain-lain berasal
dari arteri karotis interna, arteri karotis kommunis, atau arteri faringeal ascenden.
Embolisasi preoperatif terbukti menurunkan kehilangan darah selama operasi. Para ahli
menggunakan partikel yang dapat diserap dengan waktu ideal antara embolisasi dan
operasi adalah 24-72 jam.
Komplikasi embolisasi preoperatif cukup tinggi (20%) berupa oklusi arteri retina
sentral dan kebutaan sementara, fistula oronasal, oklusi arteri serebral media yang
diikuti stroke, dan oklusi arteri oftalmika.
4. Terapi pembedahan
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis di
basis kranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium tumor
dan berdasarkan pengalaman dari operator. Terapi pembedahan dapat dibedakan
menjadi pembedahan terbuka dan pembedahan endoskopik.
i. Pembedahan Terbuka
Pendekatan pembedahan dapat dibagi menjadi inferior, anterior, dan lateral.
Pendekaran inferior meliputi transpalatal dan transoral-transpharyngeal dengan
atau tanpa memisahkan palatum molle. Teknik ini memberikan akses yang baik
pada nasaofaring dan kavum nasi. Pendekatan anterior dasarnya adalah membuka
kavum nasi, meliputi tehnik lateral rhinotomy dan midfacial degloving dan dapat
diperluas melalui maksila medial untuk mengekspos antrum, sinus ethmoid, dan
fossa pterygopalatine (metode LeFort I, Denker’s, dan medial maxillectomy).
Pendekatan lateral dilakukan untuk mencapai fossa infratemporal,melaluirutr
preauricular subtemporal.
 Pendekatan Transpalatal
Pendekatan ini baik sekali untuk mencapai tumor di nasofaring yang meluas
ke sphenoid dan nasal posterior. Banyak jenis insisi palatum, namun yang
paling sering digunakan adalah insisi bentuk huruf “U”. insisi tersebut dapat
diperluas ke tuberositas maksila dan bergabung dengan insisi sublabial, bila
ingin mencapai pterigopalatum. Setelah dilakukan insisi berbentuk huruf “U”,
jabir mukoperiosteal diangkat ke atas, sedangkan tulang palatum durum
posterior dibuang. Bila tumor sudah lengkap terlihat maka tumor dapat diangkat
bersama-sama dengan mukoperiosteum nasofaring.

Gambar 8. Pendekatan Transpalatal

 Pendekatan Rinotomi Lateral


Insisi rinotomi lateral atau Weber-Ferguson digunakan untuk mencapai
rongga hidung dan sinus maksilaris. Bila ingin mencapai fossa pterigopalatina,
insisi dapat diperluas ke tuberositas maksila. Kekurangan dari pendekatan
rinotomi lateral adalah terdapatnya jaringan parut pada wajah dan biasanya
dilakukan hanya pada tumor yang tumbuh unilateral. Oleh karenanya
pendekatan ini perlu dikombinasi dengan pendekatan transpalatal untuk dapat
mengangkat tumor secara utuh.
Gambar 9. Pendekatan Rinotomi Lateral
 Pendekatan Sublabial (Midfacial Degloving)
Pendekatan ini merupakan perluasan dari insisi sublabial bilateral dan
transversal maksila. Pendekatan degloving ini tidak menimbulkan parut di
wajah ataupun gangguan fungsi palatum. Keuntungan lainnya adalah
pendekatan ini dapat mencakup lapang pandang operasi yang cukup luas, yaitu
rongga hidung, nasofaring, dan daerah muka sepertiga tengah, sinus maksilaris,
fossa pterigomaksila serta fossa infratemporal. Conley dan Price
mengembangkan teknik operasi ini dengan menggabungkan empat macam
insisi yaitu insisi sublabial bilateral pada sulkus ginggivobukal, insisi transfiksi
yang memisahkan tulang rawan lateral atas dan jaringan lunak hidung serta
insisi apertura piriformis pada kedua sisi. Setelah itu keempat insisi
dihubungkan, jaringan muka sepertiga tengah dapat ditarik ke cranial sampai
mencapai sutura nasofontal dan lengkung infraorbita, serta dapat dilakukan
reseksi tulang untuk mencapai lapangan operasi yang diinginkan. Komplikasi
yang didapat adalah stenosis vestibulum.
Gambar 10. Midfacial Degloving

 Pendekatan intrakranial
Pada kasus-kasus tumor yang sudah meluas ke intrakranial, dapat dilakukan
kombinasi pendekatan intrakranial dan ekstrakranial rinotomi bilateral. Bila
tumor intrakranial cukup kecil dan mudah digerakkan, maka dapat diangkat
bersamaan dengan tumor ekstrakranial melalui lubang defek tempat masuknya
melalui fossa media. Akan tetapi bila tumor intracranial agak besar, harus
direseksi tepat pada defek tempat masuknya ke fossa media.

ii. Pembedahan endoskopi


Perkembangan teknik endoskopi dan pengetahuan akan anatomi menyebabkan
penggunaan nasal endoskopi untuk operasi JNA adalah hal yang mungkin.
Pembedahan endoskopi dan embolisasi preoperatif meminimalkan perdarahan.
Keuntungan dari pembedahan endoskopi antara lain waktu rehabilitasi pasca
operasi yang minimal, waktu inap yang lebih singkat, dan meminimalkan infeksi
nosokomial.
Mengesampingkan keuntungan-keuntungan diatas, tingkat rekurensi dilaporkan
sekitar 30-50%, kebanyakan muncul 12 bulan pertama setelah perawatan. Semakin
muda usia pasien dan semakin lanjut perjalanan penyakit, maka semakin besar
rekurensi akan terjadi.

J. Prognosis
Prognosis untuk JNA sangat baik jika diagnosis tepat waktu dan jika belum menyebar
sampai ke intra kranial. Persentase kesembuhan setelah operasi mencapai 80-85%.

2.2.2 Tumor Jinak Lainnya


Tumor jinak lainnya sangat jarang, namun apabila terjadi biasanya berasal dari atap
atau dinding lateral dari nasofaring. Contoh tumor lainnya adalah teratoma, adenoma
pleomorfik, chordoma, hamartoma, choristoma, paraganglioma.
2.3 Tumor Ganas Nasofaring
2.4.1 Karsinoma Nasofaring
A. Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit multifaktorial. Insidensi dan distribusi
geografisnya bergantung dengan beberapa faktor seperti kerentanan genetik, faktor
lingkungan, makanan, dan gaya hidup personal. Karsinoma nasofaring paling banyak
terjadi di Cina dan Taiwan. Ras Amerika Utara, insidensinya sebesar 0,25% sementara ras
Amerika-Cina, insidensinya mencapai 18%. Ras Cina yang lahir di Amerika memiliki
insidensi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang lahir di Cina. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya kejadian penyakit ini di Cina adalah, pembakaran dupa atau kayu,
penggunaan ikan asin yang diawetkan, serta defisiensi vitamin C. Sementara itu, di India
dan sekitarnya penyakit ini jarang ditemukan, kecuali di regio timurlaut yang penduduknya
didominasi oleh ras Mongolia. Masyarakat di Negara Cina Selatan, Taiwan, dan Indoenesia
lebih rentan terhadap kanker ini.

B. Etiologi
Etiologi yang sebenarnya tidak diketahui, namun faktor yang diduga berperan meliputi:
1. Genetik. Ras Cina memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap kanker nasofaring.
Bahkan setelah migrasi ke negara lain, ras tersebut masih memiliki insidensi yang
tinggi.
2. Virus. Yang berhubungan dengan kanker ini merupakan virus Epstein-Barr. Telah
dikembangkan marker spesifik untuk virus ini untuk menyaring penderita di area
dengan insidensi tinggi.
3. Lingkungan. Polisi udara, konsumsi rokok atau opium, ikan asin yang diawetkan, dan
asap dari pembakaran dupa atau kayu diduga memiliki keterlibatan dengan kanker ini.

C. Patogenesis

Gambar 11. Patogenesis Karsinoma Nasofaring


Pada mulanya, perkembangan tumor ini disebabkan oleh kehilangan alel dari
kromosom 3p dan 9p pada fungsi tubuh normal, yang menyebabkan inaktivasi dari gen
supresi tumor (p14m 15, p16) menyebabkan dysplasia ringan. Hal tersebut saja tidak akan
menyebabkan perkembangan tumor. Dengan adanya infeksi EBV, dysplasia ringan
tersebut akan berkembang menjadi dysplasia berat. Kemudian dengan penerimaan
kromosom 12 dan kehilangan kromosom 11q, 13q, 16q, berujung pada karsinoma yang
invasif. Metastase dapat terjadi karena mutasi dari p53 dan perubahan ekspresi dari
cadherin.

D. Patologi
Secara histologis, sesuai yang terlihat di bawah mikroskop cahaya, WHO telah
mengelompokkan pertumbuhan epitel menjadi 3 tipe.
Tipe I : Karsinoma sel skuamosa dengan derajat diferensiasi yang bervariasi.
Tipe II : Karsinoma non-keratin (dengan/tanpa stroma limfoid).
Tipe III : Karsinoma tidak terdiferensiasi (dengan/tanpa stroma limfoid).

Tipe I meliputi karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratin, memiliki karakteristik


dari diferensiasi skuamosa, termasuk jembatan interseluler dan produksi keratin yang
berlebihan. Tipe ini kemudian dikelompokkan lagi menjadi terdiferensiasi sedang atau
berat.
Tipe II yang dimaksud oleh WHO meliputi karsinoma nonkeratin yang pada dasarnya
mewakili semua tumor yang tidak termasuk tipe I atau tipe III. Tipe III meliputi karsinoma
tidak terdiferensiasi, dahulu disebut limfoepitelioma karena terdiri dari sel epitel tidak
terdiferensiasi dan sel limfoid. Tipe II dan III menunjukkan derajat pelomorfisme seluler
yang lebih luas dibandingkan dengan tipe berkeratin dan memiliki pola mikroskopis yang
spindle, transisional, sel anaplastik, limfoepitelioma, atau kombinasi diantaranya. Variasi
tersebut, serta gambaran klinis yang serupa menjadikan sulit untuk membuat perbedaan
histologis yang jelas sehingga kedua tipe tersebut disarankan untuk dikelompokkan sebagai
satu, yaitu tipe kanker nasofaringeal tidak terdiferensiasi. Tipe II dan III umumnya
radiosensitive dan memiliki control lokal yang lebih baik dibandingkan dengan KSS,
namun juga menunjukkan tingkat kejadian metastase jauh yang tinggi.

E. Gambaran Klinis
1. Hidung. Pada hidung umumnya penderita akan mengalami gejala obstruksi nasal,
sekresi nasal, denasal speech, dan epistaxis.
2. Otologik. Keluhan pada telinga timbul akibat obstruksi dari tuba eustachius yang
membuat tuli konduktif, atau bahkan berkembang sebagai otitis media serosa atau
supuratif. Tinnitus dan sakit kepala juga dapat muncul. Adanya otitis media serosa
unilateral harus menimbulkan kecurigaan adanya perkembangan massa dari
ansofaringeal.
3. Opftalmoneurologik. Tanda ini timbul akibat ekstensi tumor ke region sekitarnya,
dapat mempengaruhi seluruh saraf kranialis. Keterlibatan N. VI dapat
menyebabkan penglihatan juling dan diplopia. Keterlibatan N. III, IV, VI
menyebabkan oftalmoplegia, sementara invasi N. V melalui foramen laserum
menyebabkan nyeri wajah dan pengurangan reflex kornea. Keterlibatan N. IX, X,
dan XI dapat juga timbul sebagai sindroma foramen jugular yang umumnya
disebabkan karena adanya tekanan pada nodus limfatikus retrofaringeal lateral di
leher. N. XII juga dapat terlibat akibat penyebaran dari kanalis hipoglosus. Horner
syndrome juga dapat muncul akibat keterlibatan rantai servikalis simpatis. Kanker
nasofaring juga dapat menyebabkan tuli konduksi (blockade tuba eustachius),
neuralgia temporoparietal ipsilateral (keterlibatan N. V), dan paralisis palatal (N.
X) yang ketiganya disebut Trotter’s Triad.
4. Metastase nodus servikalis. Tandalumpl ini dapat hanya menjadi satu-satunya
manifestasi dari karsinoma nasofaring. Adanya benjolan pada nodus ditemukan di
sudut antara rahang dan mastoid dan sejalan aksesoris spinalis pada area segitiga
posterior dari leher.
5. Metastase jauh ke tulang, paru, hati, dan tempat lain.

F. Diagnosis7,8
Gejala klinis dari kanker nasofaring (secara berurutan dari yang paling umum dijumpai)
adalah limfadenopati servikal, menurunnya pendengaran, obstruksi nasal, epistaksis,
gangguan nervus kranialis (biasanya paralisis N. VI), sakit kepala, sakit telinga, sakit leher,
penurunan berat badan. Diagnosis harus ditunjang oleh anamnesa yang lengkap dan
pemeriksaan klinis, meskipun gejala klinisnya umum namun kecurigaan harus terbentuk
apabila penderita berada di daerah geografis yang endemic.
Pemeriksaan dari rongga postnasal dengan menggunakan nasofaringoskop sangat
penting, dapat digunakan endoskopi yang rigid maupun fleksibel. Endoskopi yang rigid
memberikan gambaran lebih baik, namun karena sifatnya yang kaku menyebabkan
gerakannya terbatas terutama di dalam nasofaring yang sempit atau terdapat variasi
anatomis. Endoskopi fiberoptik nasofaring yang fleksibel lebih atraumatic dan dapat
digerakan secara leluasa untuk mendapatkan gambaran lebih ke inferior.
Biopsi dapat dilakukan untuk diagnosis yang lebih pasti karena memperlihatkan
histogis dari keganasan. Lokasi kemunculan yang paling sering adalah fossa Rosenmüller
dan atap nasofaring. Biopsi umumnya dikerjakan dengan pasien berada dalam anestesi
lokal. Biopsi transnasal dapat dilakukan melalui nasofaringoskopi indirek. Terkadang,
perlu dilakukan biopsy dengan pasien berada dalam anestesi umum, baik pada pasien yang
dicurigai dengan rekurensi submukosal yang membutuhkan biopsy dalam atau pasien
dengan hasil biopsy negatif yang berulang. Untuk usaha terakhir dapat dilakukan kuretasi
nasofaring
Biopsi umumnya diperlukan dari modus servikalis sebagai diagnosis. Fine-needle
aspiration cytology (FNAC) merupakan metode diagnosis jaringan yang paling aman dan
cepat. Biopsi terbuka, pada kedua bentuk insisional atau eksisional harus dihindari karena
telah terbukti dapat berisiko pada keselamatan.
Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan menggunakan MRI dengan gadolinium dan
supresi jaringan lemak sehingga memperlihatkan gambaran multiplanar serta jaringan
lunak yang lebih naik. Tampak koronal berguna untuk menentukan apabila tumor telah
menyebar melalui fissure petroklinoid atau foramen laserum ke dalam sinus kavernosus,
termasuk juga ke dalam foramen ovale, rotundum atau spinosum. Ampak aksial
memperlihatkan ekstensi kedalam ruang retrofaringeal, paranasofaringeal dan
pterygomaksilaris, serta ke dalam fossa infratemporal. Namun dengan CT-scan dapat
terlihat ada tidaknya keterlibatan tulang, terutama erosi dari basis kranii dan lebih akurat
dalam memperlihatkan keadaan limfadenopati servikal, teratama apabila terdapat
penyebaran intrakapsular. Sehingga, kedua alat penunjang tersebut saling melengkapi dan
dapat dibutuhkan untuk memberikan informasi maksimal mengenai penyebaran penyakit.
Pemeriksaan radiologi juga memperikan informasi penting mengenai kondisi dari nodus
faringeal, yang sering menjadi tempat drainase, namun sulit dinilai melaui pemeriksaan
klinis saja.
Saat tumor telah meluas melewati nasofaring, penyakit ini dapat menyebar dengan cara
yang beragam. Penyebaran secara lateral yang paling umum terjadi, melalui fascia
faringobasilar, menyebabkan berpindahnya rongga parafaringeal ke arah lateral. Apabila
terjadi penyebaran anterolateral, dapat menuju pterygoid yang merupakan otot
pengunyahan dan menyebabkan trismus. Penyebaran secara posterolateral dapat
melibatkan selubung carotid atau foramen jugularis menyebabkan kelumpuhan sarah
karnialis IX, X, XI, XII.
Penyebaran anterior menuju fossa nasalis dan melalui foramen sfenopalaitna ke dalam
fossa pterygopalatina. Fossa pterygopalaitina dapat juga terkena akibat invasi langsung di
prosesus pterygoid atau melalui rongga masticator. Tanda awal dari keterlibatan fossa
tersebut adalah obliterasi dari kandungan lemak normal. Saraf maksilaris akhirnya dapat
ikut terlibat dan menyebabkan penyebaran menuju sinus kavernosus lewat foramen
rotundum.
Penyebaran superior menyebabkan erosi dari sinus sfenoid atau basis kranii, dengan
atau tanpa ekstensi intracranial. Ekstensi superolateral meliputi apeks dari petrosa dan
foramen lacerum yang akhirmya mencapai sinus kavernosus dan menyebabkan
kelumpuhan saraf III, IV, V, dan VI.
Positron emission tomography scans (PET CT-Scan) telah menjadi alat diagnostic
yang esensial dalam penanganan penyakit yang residual atau rekuran. Penelitian
menunjukkan kegunaannya dibandingkan dengan CT pada 36 pasien yang dievaluasi
setelah tatalaksana dan dilaporkan memiliki 100% sensivitas, 96% spesifitas, 97% akurasi
dalam diagnosis.
G. Klasifikasi
Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan American Joint Committee on Cancer
(AJCC)
\

Gambar 12. Staging dan Metastase Karsinoma Nasofaring. Secara berurutan, dari atas kiri-
kanan ke bawah kiri-kanan. Stage 0, Stage I, Stage IIA, Stage IIB, Stage III, Stage IVA,
Stage IVB, Stage IVC.

H. Tatalaksana
1. Radiasi merupakan pilihan terapi yang utama, karena 2 alasan penting yaitu (1)
tumor ini relatif sulit dijangkau untuk ekstirpasi pembedahan terutama apabila telah
menyebar melewati nasofaring dan (2) sifat dari tumor ini radiosensitif. Terapi
menggunakan voltase tinggi yang diarahkan ke nodus servikalis dengan dosis 6000-
7000 rads.
2. Kemoterapi digunakan karena meskipun radiasi sendiri menghasilkan hasil yang
optimal pada stage I dan II, namun untuk stage III dan IV terapi radiasi masih
berisiko untuk menimbulkan rekurensi lokal dan kegagalan sistemik. Untuk stage
III dan IV dapat digunakan kombinasi kemoterapi dan radioterapi yang dosisnya
dinaikkan dua kali, melebihi 7000 rads. Kemoterapi dapat diberikan bersamaan
dengan atau setelah radioterapi. Kemoterapi telah ditemukan berguna untuk
mengontrol metastase dari limfepitelioma dan karsinoma nasofaring tidak
berdiferensiasi. Tujuan akhir dari kemoradioterapi pada Ca Nasofaring adalah
untuk meningkatkan control lokal dari tumor dan menangani metastase jauh.
3. Pembedahan radikal leher diperlukan apabila ditemukan nodus yang persisten
meskipun primernya telah teratasi. Residual atau rekuren tumor umumnya
membutuhkan paparan kedua dari radiasi atau brachytheraphy. Atau dapat juga
dilakukand dengan cyrosurgery melalui fenestrasi palatal atau kauss-kasus tertentu
dengan pembedahan basis kranii.

2.4.2 Karsinoma Nasofaring Lainnya


Karsinoma lainnya jarang, namun terdapat beberapa bentuk yaitu limfoma, rhabdosarkoma,
plasmasitoma, kordoma, karsinoma sistik adenoid, melanoma

Anda mungkin juga menyukai