Oleh :
Martina Fitria, S. Kep
NIM 192311101134
Hari :
Tanggal :
Mahasiswa
Manusia memiliki sepasang ginjal yang bagian kirinya terletak sedikit lebih
tinggi daripada ginjal kanan, karena adanya organ hati yang mendesak ginjal
kanan. Ginjal juga dilindungi oleh tulang rusuk dan otot punggung. Selain itu,
jaringan adiposa (jaringan lemak) mengelilingi ginjal dan berperan sebagai
bantalan pelindung ginjal. Secara umum, anatomi ginjal manusia dibagi menjadi
tiga bagian dari yang paling luar ke paling dalam, yaitu korteks ginjal, medula
ginjal, dan pelvis ginjal.
Gambar 2. organ ginjal
1. Korteks (Cortex)
Korteks ginjal adalah bagian ginjal paling luar. Tepi luar korteks ginjal
dikelilingi oleh kapsul ginjal dan jaringan lemak, untuk melindungi
bagian dalam ginjal
2. Medula (Medulla)
Medula ginjal adalah jaringan ginjal yang halus dan dalam. Medula berisi
lengkung Henle serta piramida ginjal, yaitu struktur kecil yang terdapat
nefron dan tubulus. Tubulus ini mengangkut cairan ke ginjal yang
kemudian bergerak menjauh dari nefron menuju bagian yang
mengumpulkan dan mengangkut urine keluar dari ginjal.
Pelvis ginjal adalah ruang berbentuk corong di bagian paling dalam dari
ginjal. Ini berfungsi sebagai jalur untuk cairan dalam perjalanan ke
kandung kemih. Bagian pertama dari pelvis ginjal mengandung calyces.
Ini adalah ruang berbentuk cangkir kecil yang mengumpulkan cairan
sebelum bergerak ke kandung kemih.
a) Hilum adalah lubang kecil yang terletak di bagian dalam ginjal, di
mana ia melengkung ke dalam untuk menciptakan bentuk seperti
kacang yang berbeda. Pelvis ginjal melewatinya, serta;
b) Arteri ginjal, membawa darah yang kaya akan oksigen dari jantung ke
ginjal untuk proses filtrasi.
C. Etiologi
CKD (Chronic Kidney Disease) dapat disebabkan oleh beberapa penyakit,
menurut Armiyati (2012) diantaranya:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan peradangan pada glomerulus (parenkim ginjal)
yang disebabkan oleh respon imunologik (circulating immune complex dan
terbantuknya deposit kompleks imun secara in-situ).Glomerulonefritis ditandai
dengan proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, kongentif aliran darah,
dan perubahan ekskresi pada ginjal, sehingga jika terjadi glomerulonefritis
berkepanjangan maka fungsi ginjal untuk filtrasi tidak dapat bekerja dengan
baik dan dapat merusak ginjal.
b. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia dan hipoglikemia.Akibat hiperglikemia kronik pada DM
berhubungan dengan terjadinya komplikasi makroangiopati, salah satunya
adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik progesif, sehingga dapat merusak
fungsi ginjal sebagai filtrasi darah.
c. Hipertensi
Hipertensi dapat memperberat terjadinya kerusakan pada glomerulus dan
pembuluh darah ginjal Hipertensi yang tidak terkontrol akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah pada dinding arteri disekitar ginjal. Keadaan
tersebut akan menghambat darah yang diperlukan oleh jaringan pada ginjal,
sehingga nefron tidak dapat menerima O2 dan nutrisi yang dibutuhkan.
Akibatnya, ginjal akan kehilangan fungsi untuk memfiltrasi darah dan
mengatur keseimbangan elektrolit di dalam tubuh.
d. Polycystic Kidney Disease
Polycystic Kidney Disease merupakan penyakit kongenital atau genetik yang
dapat ditemukan pada fetus, bayi, dan anak kecil. Terbentuknya kumpulan kista
pada kedua ginjal (korteks dan medulla) yang berkembang secara progresif
dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal.
e. Batu Ginjal (Nefrolitiasis)
Nefrolitiasis merupakan sumbatan yang terjadi di sepanjang saluran kemih.
Adanya Nefrolitiasis akan menyebabkan kerja ginjal berlebih dalam proses
filtrasi.
D. Klasifikasi
Penyakit gagal ginjal kronik umumnya dibagi menjadi 5 stadium,
pembagiannya dilakukan berdasarkan nilai GFR (Glomerular Filtration
Rate)yaitu:
1) Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal ( >90 mL/menit/1,73m2). Kerusakan
pada ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium
pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat
perkembangan gagal ginjal dan mengurangi resiko penyakit jantung dan
pembuluh darah.
2) Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89
mL/menit/1,73m2). Saat fungsi ginjal mulai menurun, dokter akan
memperkirakan perkembangan gagal ginjal yang dilami pasien dan
meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
3) Stadium3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59 mL/menit/1,73m2). Saat gagal ginjal sudah
berlanju tpada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin
umum. Sebaikny akonsultasi dengan dokter untuk mencegah atau mengobati
masalah ini.
4) Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29 mL/menit/1,73m2). Teruskan pengobatan
untuk komplikasi gagal ginjal dan belajar semaksimal mungkin mengenai
pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan membutuhkan
persiapan. Bila pasien memilih hemodialisis, maka akan membutuhkan
tindakan untuk memperbesar dan memperkuat pembuluh darah dalam lengan
agar siap menerima pemasukan jarum secara sering. Untuk dialysis peritonea,
sebuah kateter harus ditanam dalam perut atau mungkin pasien ingin minta
anggota keluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.
5) Stadium5
Kegagalan ginjal (GFR<15 mL/menit/1,73m2). Saat ginjal tidak bekerja cukup
untuk menahan kehidupan, pasien akan membutuhkan dialysis atau
pencangkokan ginjal.
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate)/CCT (Clearance Creatinin
Test) dapat digunakan rumus:
CCT (ml/menit) = (140-umur) x berat badan (kg)
72 x creatinin serum
Pada wanita, hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m2
E. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfitrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Fungsi renal menurun menyebabkan produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalamdarah. Akibatnya
terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.Semakin banyak timbunan
produk sampah, maka gejala akan semakin berat.
Retensi cairan dan natrium akibat dari penurunan fungsi ginjal dapat
mengakibatkan edema, gagal jantung kongestif/ CHF, dan hipertensi. Hipertensi
juga dapat terjadi karena aktivitas aksis rennin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
CKD juga menyebabkan asidosis metabolik yang terjadi akibat ginjal tidak
mampu mensekresi asam (H-) yang berlebihan. Asidosis metabolik juga terjadi
akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi ammonia (NH3-) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan ekresi fosfat dan asam
organik lain juga dapat terjadi.
Selain itu CKD juga menyebabkan anemia yang terjadi karena produksi
eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi
nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran pencernaan.Eritropoitein yang diproduksi oleh
ginjal, menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah jika
produksi eritropoietin menurun maka mengakibatkan anemia berat yang disertai
keletihan, angina, dan sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme
akibat penurunan fungsi ginjal. Kadar serum kalsium dan fosfat dalam tubuh
memiliki hubungan timbal balik dan apabila salah satunya meningkat, maka
fungsi yang lain akan menurun. Akibat menurunya glomerular filtration rate
(GFR) kadar fosfat akan serum meningkat dan sebaliknya kadar serum kalsium
menurun. Terjadinya penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Tetapi, gagal ginjal tubuh tidak merespon
normal terhadap peningkatan sekresi parathormon. Sehingga kalsium di tulang
menurun, yang menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang.
Demikian juga dengan vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang dibentuk
diginjal menurun seiring dengan perkembangan gagal ginjal.
F. Manifestasi Klinik
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) asimtomatik dan gejala
klinis CKD akan muncul pada stadium 4 dan 5.Manifestasi klinisnya berdasarkan
stageCKD adalah:
Tabel 1.1 Manifestasi CKD berdasarkan Kidney Disease Improving
Global Outcomes (KDIGO) (2013)
Chronic Kidney Disease (CKD)
Muskuloskeleta Aktivitas otot yang tidak adekuat akan mempengaruhi kekuatan otot
l yang dapat disebabkan oleh pengurangan aktivitas, atrofi otot,
miopati otot, dan neuropati otot yang dipengaruhi oleh ketidak
adekuatan fungsi ginjal dalam men yaring darah (Smeltzer and Bare,
2010)
G. Pemeriksaan Diagnostik
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Daugirdas
(2007), yaitu:
1) Analisis urin dan kultur
a. Volume : < 400ml/24 jam atau tidak ada urin yang keluar (anuria)
b. Warna : kuning muda atau keruh(akibat pus, bakteri,lemak, fosfat atau
uratsedimen kotor)dan kuning pekat atau kecoklatan menunjukkkan
adanya darah,Hb, mioglobin, dan porfirin
c. Berat jenis: <1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat
d. Osmoalitas: <350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal tubulardan rasio
urin/serum sering 1:1
e. Ureum, < Normal 20-40 mg/dldan Kreatinin serum < Normal 0,5 – 1,5
mg/dl)
f. Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
g. Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus
2) Darah
a. Hemopoesis (Hb: < 7-8 gr/dl, Ht: menurun pada anemia)
b. GDA : asidosis metabolik, pH < 7,2
c. BUN : > 10 mg/dl
d. Protein albumin : < 3,4-4,8 gr/dl
3) Elektrolit
a. Natrium : < 1135-153 mEq/L
b. Kalium : >3,5-5,1 mEq/L
c. Magnesium :> 1,5-2,5 mEq/L
d. Kalsium :< 8,5-10,5 mEq/L
4) Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polosabdomen : miniali bentuk dan besar ginjal atau melihat adanya
batu yang bersifat nefrokalsinosis.
b. Ultrasonografi: modalitas terpilih untuk menilai adanya kemungkinan
penyakit ginjal obstruktif, massa, dan kista pada saluran perkemihan
c. CT Scan: pemeriksaan paling sensitif untuk mengidentifikasi adanya batu
ginjal yang menyebabkan terjadinya sumbatan
d. MRI: mendeteksi adanya trombosis vena renalis.
e. Endoskopi ginjal (nefroskopi): menentukan pelvis ginjal, keluarnya batu,
hematuria, dan pengangkatan tumor selektif
f. Arteriogram ginjal: menilai sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler.
g. Retrogade atau anterogade pyelography: dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius.
H. Komplikasi
Komplikasi adanya CKD (Chronic Kidney Disease) menurut Armiyati
(2012) diantaranya:
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi, asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron. Selanjutnya kondisi demikian akan mempercepat
peningkatan risiko penyakit jantung.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Osteo Renal Distropi (OSRD) adalah Penyakit tulang serta klasifikasi
metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
8) Perubahan Kulit : akibat fungsi ginjal terganggu akan terjadi endapan garam
kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal, kulit menjadi
kasar dan kering
9) Kematian: Risiko kematian pada penderita CKD cukup tinggi. Dalam
kejadian di lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau
kejang otot jantung, atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat sebelumnya.
I. Penatalaksanaan
Menurut Smeltze(2010) terdapat beberapa terapi yang dapat digunakan
untuk tatalaksana CKD diantaranya:
1) Terapi Konservatif
A. Diet
a) Diet Rendah Protein (DRP) yaitu penggunaan protein 0,6 /KgBB/hari
dimaksudkan untuk mengurangi sindrom uremik dan memperlambat
penurunan GFR, mengurangi retensi natrium yang dapat
mengakibatkan hipertensi dan edema
b) Diet Rendah Kalium dalam batas 60-70 mEq apabila ada hiperkalemia
(kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau anuria. Diet kalium bertujuan
untuk mencegah terjadinya hiperkalemia yang dapat menimbulkan
aritmia
B. Kebutuhan Jumlah Kalori
Kebutuhan pasien dengan CKD harus adekuat karena tujuan utamanya
adalah mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB.
C. Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat agar jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan dibatasi yaitu
sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan pengeluaran cairan melalui
keringat dan pernapasan (±500 ml).
D. Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (Underlying Renal Disease).
E. Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat, vitamin
C, dan vitamin D.
2) Terapi Simtomatik
A. Asidosis Metabolik: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia), bertujuan untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
B. Anemia
Pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia rekombinan).
Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik seperti
malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas.Abnormalitas
neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium atau
aktivitas kejang.Pasien dilindungi dari kejang. Pada prinsipnya
penatalaksanaan Terdiri dari tiga tahap :
a) Penatalaksanaan konservatif : Pengaturan diet protein, kalium, natrium,
cairan
b) Terapi simptomatik : Suplemen alkali, transfusi, obat-obat
local&sistemik, anti hipertensi
c) Terapi pengganti : HD, CAPD, transplantasi
C. Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada CKD. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari CKD.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa, yaitu dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
A. Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
D. Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan
yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau
operasi subtotal paratiroidektomi.
E.Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi diperlukan untuk
mengurangi tekanan darah pada pasien, karena hal ini dapat memperberat
proses sklerosis glomerulus dan menambah beban jantung sehingga
jantung bekerja lebih berat lagi dan akhirnya menimbulkan dekompensasi
kordis. Anti hipertensi yang diberikan pada pasien ini awalnya methyldopa
250 mg 3x1, kemudian digantikan dengan amlodipine 5 mg 1x/hari.
Amlodipine termasuk dalam golongan Ca antagonis non dihydropiridine,
yang berfungsi sebagai venodilator vas eferen
F. Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari
kelainan kardiovaskular yang diderita
3) Terapi Medis
A. Dialysis dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang.
a) Peritoneal Dialysis
Menggunakan lapisan perut atau peritoneum sebagai filter dalam
menyaring sisa-sisa metabolisme tubuh yang terkandung di dalam
darah. Dalam prosesnya, peritoneal dialysis menggunakan selang kecil
yang dipasang pada bagian perut.Dalam selang tersebut terdapat cairan
dialysis yang dapat membantu memindahkan sisa-sisa metabolism di
dalam darah untuk dibersihkan dengan cairan tersebut.Prosesnya hanya
30 sampai 40 menit, namun pasien harus mengulanginya selama 4 kali
dalam sehari.
b) Hemodialisis
c) Merupakan suatu alat dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di
vena dengan menggunakan mesin.
B. Transplantasi Ginjal
Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah
beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri renalis
berimplantasi pada arteri iliaca interna dan vena renalis beranastomosis
dengan vena iliaca komunis atau eksterna.
C. Indikasi
1. HD emergency
a. Kegawatan ginjal
1) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
2) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
3) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
4) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
5) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
6) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
7) Ensefalopati uremikum
8) Neuropati/miopati uremikum12
9) Perikarditis uremikum
10) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
11) Hipertermia (suhu >380C)
b. Keracunan akut (alcohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane
dialisis
2. HD persiapan (preparative)
3. HD kronik (regular)
HD kronik merupakan hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur
hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut The
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) (2013)dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan
pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah
ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
D. Prosedur Kerja HD
1. Pelaratan dan Perlengkapan
2. Cara Kerja Mesin Hemodialisa
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen, yaitu:
1) Kompartemen darah
2) Kompartemen cairan pencuci (dialisat)
3) Ginjal buatan (dialiser)
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu.
Kemudian, masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi
proses dialisis,darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik.
Selanjutnya, darah akan beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian)
darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdaset al., 2007).
3. Prinsip Kerja Hemodialisis
1) Komposisi solute (bahan terlarut) suatularutan (kompartemen darah) akan
berubah dengan cara memaparkan larutan inidengan larutan lain
(kompartemen dialisat) melalui membran semipermeable(dialiser). Toksin
dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi
rendah.
2) Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai
osmosis.Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF.
a. Difusi adalahperpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya
secara acak.
b. Utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya
solute berukurankecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas
bersama molekul airmelewati porus membran. Perpindahan ini
disebabkan oleh mekanismehidrostatik, akibat perbedaan tekanan air
(transmembrane pressure) ataumekanisme osmotik akibat perbedaan
konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,2007).
3) Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan
gerakancairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran
(Daurgirdas et al., 2007).
E. Komplikasi
Komplikasi HD menurut () dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Komplikasi Akut
Komplikasi Penyebab
Penyakit Jantung: fungsi Renin dan Agiotensin pada ginjal yang tidak adekuat
Hipertensi
Perdarahan
Amiloidosis : penumpukan protein pada jaringan dan organ tubuh, yang dapat
menyebabkan kegagalan organ.
B. Diagnosa
Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji pada pasien yang
mengalami mual muntah dengan hemodialisa, yaitu:
a) Masalah Keperawatan Pre-Hemodialisa
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume
cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
2. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supplai
oksigen menurun.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intakemakanan
yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
4. Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler
paru dan edema paru.
5. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis,
perikarditis
6. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d kurangnya
informasi kesehatan.
7. Kerusakan integritas kulit b.d kondisi gangguan metabolic akibat tingginya
kadar ureum didalam darah d.d gatal-gatal dan hiperpegmentasi
8. Ansietas b.d situasional kondisi penyakit yang d.d perasaan bingung dan
hanya fokus pada diri sendiri
9. Resiko cidera b.d kelemahan atau gangguan mobilitas yang d.d adanya
intoleran aktivitas
10. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan ginjal b.d penyakit ginjal yang d.d
hipoksemia atau hipoksia sirkulasi darah ke ginjal
b) Masalah Keperawatan Intra-Hemodialisa
1. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi saat
dan setelah pemasangan AV shunt
2. Resiko hipotensi berhubungan dengan proses hemodialisa yang
mengerluarkan cairan dari dalam tubuh dan energy selama proses
hemodialisa
3. Mual b.d gangguan biokimia (uremia dalam darah) dan kondisi situasional
(ansietas) yang d.d klien mengeluh rasa ingin mual sebelum proses HD dan
saat proses HD.
4. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d disfungsi ginjal dan muntah
5. Hipertermia b.d peningkatan laju metabolism tubuh selama proses HD
c) Masalah Keperawatan Post-Hemodialisa
1. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt dan penurunan
daya tahan tubuh primer
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
3. Faktor resiko efek samping terkait terapi (HD) selama 4 jam
C. Intervensi Keperawatan
No. Masalah SLKI SIKI
Keperawatan
1 Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Timbang BB setiap hari dan monitor status pasien
cairan berhubungan selama 2x24 jam, kelebihan volume cairan 2. Jaga intake/asupan yang adekuat dan catat output
dengan edema dapat teratasi dengan kriteria hasil : 3. Monitor status hidrasi (misal membran mukosa
lembab, dneyut nadi adekuat, tekanan darah
sekunder No Indikator 1 2 3 4 5
ortostatik)
1 Berat badan
4. Monitor tanda-tanda vital
2 Kelembapan 5. Dukung pasien dan keluarga untuk membantu
membran dalam pemberian makan yang baik
mukosa
Keterangan:
1= Sangat terganggu 4= Sedikit terganggu
2= Banyak terganggu 5= Tidak terganggu
3= Cukup terganggu
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Edema
Keterangan:
1= Berat 4= Ringan
2= Cukup Berat 5= Tidak ada
3= Sedanng
2 Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
kelemahan fisik, 2x24 jam pasien dapat meningkatkan aktivitas 1. Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang
keletihan yang dapat ditoleransi dengan kriteria hasil : mengakibatkan kelelahan
No Indikator 1 2 3 4 5 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
1 Kemudahan 3. Monitor pola dan jam tidur
dalam 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan melakukan aktivitas
Terapeutik
aktivitas
1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
sehari-hari stimulus
Keterangan : 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
1= Menurun 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
2= Cukup menurun 4. Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak
3= Sedang dapat berpindah atau berjalan
4= Cukup meningkat Edukasi
5= Meningkat 1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mngurangi
kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
3 Defisit nutrisi b.d b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
intakemakanan yang 2x24jam, mampu mempertahankan asupan 1. Identifikasi status nutrisi
inadekuat (mual, nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
No Indikator 1 2 3 4 5 3. Identifikasi makanan yang disukai
muntah, anoreksia dll)
1 Porsi makan 4. Identifikasi jumlah kalori dan jenis nutrien
5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
yang nasogastrik
dihabiskan 6. Monitor asupan makanan
Keterangan : 7. Monitor BB
1= Menurun 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
2= Cukup menurun Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
3= Sedang
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
4= Cukup meningkat 3. Sajikan makanan yang cukup menarik dan suhu
5= Meningkat yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
No Indikator 1 2 3 4 5 konstipasi
1 Berat Badan 5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Keterangan : 6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
1= Memburuk 7. Hentikan pemberian makanan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
2= Cukup memburuk
Edukasi
3= Sedang 1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
4= Cukup membaik 2. Ajarkan diet yang diprogramkan
5= Membaik Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhakan,
jika perlu
4 Pola nafas tidak efektif Setelag dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
1. Monitor pola nafas (frekusensi, kedalaman, usaha
b.d edema paru, 1x24 jam, tidak terjadi perubahan pola nafas
dengan kriteria hasil : napas)
asidosis metabolic, No Indikator 1 2 3 4 5 2. Monitor bunyi nafas tambahan
1 Dispnea 3. Monitor sputum
pneumonitis,
Terapeutik
2 Penggunaan
perikarditis 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-
otot bantu tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma
nafas servikal)
Keterangan : 2. Posisikan semi fowler atau fowler
1= Meningkat 3. Berikan minuman hangat]lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
2= Cukup meningkat
4. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
3= Sedang 5. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
4= cukup menurun endotrakeal
5= menurun 6. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
No Indikator 1 2 3 4 5 McGill
1 Frekuensi 7. Berikan oksigen, jika perlu
nafas Edukasi
Keterangan : 1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
1= Memburuk
2. Ajarkan teknik batuk efektif
2= Cukup memburuk Kolaborasi
3= Sedang 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
4= Cukup membaik mukolitik, jika perlu
5= Membaik
5 Ansietas b.d situasional Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
kondisi penyakit yang 1x24 jam, ansietas menurun dengan kriteria 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
d.d perasaan bingung hasil : 2. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
No Indikator 1 2 3 4 5 3. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non
dan hanya fokus pada
verbal)
diri sendiri 1 Verbalisasi
Terapeutik
kebingunan 4. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
2 Verbalisasi kepercayaan
khawatir 5. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
akibat kondisi memungkinkan
yang dihadapi 6. Pahami situasi yang membuat ansietas
3 Perilaku 7. Dengarkan dengan penuh perhatian
gelisah 8. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4 Perilaku 9. Tempatkan barang pribadiyang memberikan
kenyamanan
tegang
10. Diskusikan perencanaan realistis tentang
Keterangan : peristiwa yang akan datang
1= Meningkat Edukasi
2= Cukup meningkat 1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin
3= Sedang dialami
4= cukup menurun 2. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
5= menurun pengobatan, prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika
perlu
4. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan
5. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
7. Laih penggunaan mekanisme pertahanan yang tepat
8. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
6 Resiko perfusi renal Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
tidak efektif b.d selama 3x24 jam, masalah Resiko perfusi 1. Monitor status kardiopulmonal (frekuensi, dan
penyakit ginjal yang renal tidak efektif dengan kriteria hasil : kekuatan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
2. Monitor status oksigen (oksimetri nadi, AGD)
d.d hipoksemia atau No Indikator 1 2 3 4 5
hipoksia sirkulasi darah 1 Jumlah urine 3. Monitor status cairan (masukan dan haluran, turgor
ke ginjal Keterangan : kulit, CRT)
1= Meningkat 4. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
5. Periksa riwayat alergi
2= Cukup meningkat
Terapeutik
3= Sedang 1. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
4= cukup menurun oksigen >94%
5= menurun 2. Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanisme, jika
No Indikator 1 2 3 4 5 perlu
1 Tekanan darah 3. Pasang jalur IV, jika perlu
arteri rata-rata 4. Pasang kateter urin untuk menilai produksi urine,
2 Kadar urea jika perlu
nitrogen darah 5. Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
Edukasi
3 Kadar
1. Jelaskan penyebab,faktor risiko syok
kreatinin 2. Jelaskan tanda dan gejala awal syok
plasma 3. Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan
Keterangan : tanda dan gejala awal syok
1= Memburuk 4. Anjrukan memperbanyak asupan cairan oral
2= Cukup memburuk 5. Anjurkan menghindari alergen
3= Sedang Kolaborasi
4= Cukup membaik 1. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
5= Membaik
3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu
7 Nyeri akut behubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi :
dengan aktivasi 3x24 jam, tingkat nyeri berkurang dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
receptor nyeri di area hasil : kualitas, intensitas nyeri
No Indikator 1 2 3 4 5 2. Identifikasi skala nyeri
insersi saat dan setelah
pemasangan AV shunt 1 Keluhan nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
Keterangan : 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
1= Meningkat memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
2= Cukup meningkat
nyeri
3= Sedang 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap nyeri
4= cukup menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
5= menurun 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgesik
Terapeutik :
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
KDIGO. 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kid Int Supplements(3); 18-27.
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Textbook of
Medical surgical Nursing Brunner & Suddarth. Philadelpia: Lippincott
William & Wilkins.
Suwitra, K. (2009). Penyakit Ginjal Kronik. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Ed 5 (pp. 1035-1040). Jakarta: Interna Publishing.
Yuwono. (2010). Kualitas Hidup Menurut Spitzer pada Penderita Gagal Ginjal
Terminal yang Menjalani Hemodialisa di Unit Hemodialisis RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Retrieved Maret 2013, http://eprints.undip.ac.id/14424/.