Anda di halaman 1dari 39

REFARAT Oktober 2022

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) G5D

Disusun Oleh :
NAMA : Nilovar Amir
Adnan
NIM : N 111 22 015

PEMBIMBING KLINIK :
dr. Nur Fitriani Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT


DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Nilovar Amir

Adnan No. Stambuk : N 111 22 015

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul Referat : Chronic Kidney Disease

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit


Dalam RSUD UNDATA
Palu

Program Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Pembimbing Dokter Muda

dr. Nur Fitriani, Sp. PD Nilovar Amir Adnan

ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pengalaman
belajar lapangan yang berjudul “Chronic Kidney Disease” ini tepat pada
waktunya. Pengalaman belajar lapangan ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Profesi Dokter di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNTAD/RSU UNDATA Provinsi SulawesiTengah
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan bimbingan
maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:

1. Dr.Sarniwati Kamissy Sp.PD, selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako/RSU UNDATA.
2. dr. Nur Fitriani Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan Refarat ini,
terimakasih sebesar besarnya atas bimbingannya.
3. Semua Dokter & Staff yang bertugas di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako/RSU UNDATA PROVINSI
SULAWESI TENGAH, atas masukannya.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan refarat ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa pengalaman belajar lapangan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya
penulis mengharapkan semoga pengalaman belajar lapangan ini dapat bermanfaat
di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Palu, Oktober 2022

Nilovar Amir Adnan

iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii

KATA PENGANTAR...........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................2

A. Definisi......................................................................................................2

B. Epidemiologi.............................................................................................2

C. Etiologi......................................................................................................3

D. Klasifikasi..................................................................................................4

E. Manifestasi Klinis......................................................................................6

F. Patofisiologi..................................................................................................7

G. Komplikasi................................................................................................9

H. Diagnosis.................................................................................................11

I. Penatalaksanaan..........................................................................................14

BAB III..................................................................................................................20

LAPORAN KASUS..............................................................................................20

A. Identitas Pasien........................................................................................20

B. Anamnesis...............................................................................................20

C. Pemeriksaan Fisik....................................................................................20

D. Resume....................................................................................................22

E. Diagnosis Kerja...........................................................................................22

iv
F. Usulan pemeriksaan penunjang..................................................................22

G. Hasil pemeriksaan Penunjang.................................................................22

H. Penatalaksanaan.......................................................................................23

I. Prognosis.....................................................................................................23

BAB IV..................................................................................................................24

PEMBAHASAN...................................................................................................24

BAB V....................................................................................................................28

KESIMPULAN.....................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) merupakan penyakit


ginjal dimana terdapat penurunan fungsi ginjal yang selama periode bulanan
hingga tahunan yang ditandai dengan penurunan glomerulus filtration rate
1
(GFR) secara perlahan dalam periode yang lama . Tidak terdapat gejala awal
pada penyakit ginjal kronis, namun seiring waktu saat penyakit ginjal kronis
memberat, akan timbul gejala-gejala seperti: bengkak pada kaki, kelelahan,
2
mual dan muntah, kehilangan nafsu makan, dan kebingungan (John
Hopkins,2017)
Fungsi ginjal menandakan kondisi ginjal dan fungsinya dalam fisiologi
ginjal. Glomerular Filtration Rate (GFR) menandakan jumlah cairan yang di
filtrasi oleh ginjal. Creatinine Cleareance Rate (CrCl) menandakan jumlah
kreatinin darah yang disaring oleh ginjal. CrCl merupakan parameter yang
berguna untuk mengetahui GFR dari ginjal (Ganong, 2016)5.
Penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat berupa diabetes melitus,
tekanan darah tinggi (Hipertensi), glomerulonephritis, penyakit ginjal
polikistik (Polycystic Kidney Disease). Factor resiko dari penyakit ginjal
kronis dapat berupa riwayat penyakit keluarga pasien. Diagnosis dari penyakit
ginjal kronis secara umum berupa tes darah yang berfungsi untuk mengetahui
Glomerulus Filtration Rate (GFR), dan tes urin untuk mengetahui apakah
terdapat albuminuria. Pemeriksaan lebih lanjut dapat berupa ultrasound dan
biopsy ginjal untuk mengetahui penyebab dari penyakit ginjal kronis (Manski-
Nankervis,2018) 3,4
Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada sekitar 753 juta
orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417
juta pada pasien perempuan. Penyebab tersering penyakit ginjal kronis adalah
Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes melitus pada 418 ribu pasien, dan
glomerulonephritis pada 238 ribu pasien6. Melihat banyaknya prevalensi
penyakit ginjal kronis dan jumlah mortalitas yang tinggi, penulis tertarik untuk
mengambil kasus Chronic Kidney Disease pada makalah responsi ini.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Definisi Penyakit Ginjal Kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, dan berakhir dengan penurunan fungsi ginjal secara
kronis yang memerlukan waktu bulanan hingga tahunan yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal, gagal ginjal adalah suatu keadaan dimana penurunan
fungsi ginjal yang bersifat irreversible, perhitungan penurunan fungsi ginjal
berdasarkan (Glomerulus Filtration Rate) <60 ml/min/1.73mm2 dan rasio
almbuminuria : kreatinin sebesar > 30mg/g tidak terikat pada umur, tekanan
darah, dan apakah teradapat diabetes atau tidak pada pasien. Penyakit ginjal
kronis juga tidak hanya didefinisikan sebagai penyakit ginjal stase akhir atau
End Stage Renal Disease (ESRD), namun juga diasosiasikan dengan
komplikasi-komplikasi penyakit ginjal kronis seperti: anemia, hiperparatiroid,
hiperphospatemia, penyakit jantung, infeksi, dan fraktur yang khusus terdapat
pada CKD-MBD (Chronic Kidney Disease – Mineral Bone Disorder). Namun
penurunan GFR dan albuminuria tidak merupakan pengukuran yang
simptomatis simtomatis namun merupakan pengukuran langsung dari fungsi
ginjal dan kerusakan ginjal (Ilmu penyakit dalam,2014) .

B. Epidemiologi
Angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2018
cukup tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia menderita penyakit
ginjal kronis yang terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi dibandingkan
prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2 permil di seluruh
Indonesia. Prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi Kalimantan utara yaitu
sebanyak 6.4 permil sedangkan prevalensi terendah di Indonesia terdapat pada
provinsi Sulaswesi Barat pada angka 1.8 permil. Penderita penyakit ginjal
kronis tersering berada pada umur 65-74 tahun, lebih banyak terjadi pada laki-
laki. Persentase penderita penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani
hemodialisa di Indonesia juga cukup rendah dimana hanya 19.3% penderita

2
penyakit ginjal kronis menjalani terapi hemodialisa (Riskesdas,2018)8.

3
Di dunia, sebanyak 1 dari 10 orang mempunyai penyakit ginjal kronis.
Daerah-daerah seperti Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara
merupakan daerah yang paling sering ditemukannya penyakit ginjal kronis.
Penyakit ginjal kronis merupakan penyebab dari 956.000 kematian di seluruh
dunia pada tahun 2013. Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada
sekitar 753 juta orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien
laki-laki dan 417 juta pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2
juta kematian per tahun akibat penyakit ginjal kronis, Penyebab tersering
penyakit ginjal kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes melitus
pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien
(Bikbov,2018)6.

C. Etiologi
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui adalah diabetes
melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan glomerulonephritis.
Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun penyebab-penyebab dari
penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi ginjal yang
terlibat (Rahman,2022) 10:

4
 Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar seperti
bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati
iskemik, hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis
 Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa
 Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal segmental
glomerulosclerosis
 Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus
nefritis
 Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik
 Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan
hyperplasia prostate

Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi ginjal


dan menyebabkan nefropati penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang
mempunyai gejala yang berupa penuruhnan aliran darah ke ginjal yang
menyebabkan sel ginjal menjadi nekrosis. (Rahman,2022)

D. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut KDIGO pada tahun 2021
meliputi kriteria penurunan GFR dan peningkatan rasio albuminuria dan
serum kreatinin. Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut KDIGO bertujuan
untuk menentukan penanganan pasien, dan urgensi penanganan dari penyakit
ginjal kronis tersebut.
Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan urgensi
penyakit ginjal kronis adalah GFR, GFR (Glomerulus Filtration Rate)
merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi darah. GFR
dapat dihitung dengan menggunakan jumlah serum creatinine dengan rumus
menggunakan formula GFR MDRD sebagai berikut :

“GFR = 186 x Scr -0.830 x age0.230 x 1 (male) / 0.742 (female) Hasil GFR dapat
diinterpretasikan dengan tabel berikut “

5
Selanjutnya dilakukan pengukuran albuminuria dan serum kreatinin untuk
mengetahui katergori penyakit ginjal kronis berdasarkan rasio almbuminuria
dan serum kreatinin. Kategori menurut KDIGO 2021 dapat dilihat pada tabel
berikut :
Dengan mengkombinasikan kedua kriteria diatas dapat dimasukkan ke
cross-table untuk mengetahui resiko referral untuk pasien ginjal kronis dan
urgensi penanganan penyakit ginjal kronis. Cross table untuk referral dapat
dilihat pada gambar berikut

6
7
Sedangkan untuk grading penyakit gagal ginjal kronis itu sendiri hanya
menggunakan GFR dengan beberapa kriteria tambahan yang dapat dilihat
pada tabel GFR dibawah ini berdasarkan KDIGO 2021:

E. Kriteria penyakit GGK (Gagal ginjal Kronik)


Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural dan fungsional dengan atau tanpa mengurangi laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan manifestasi kelainan patologis, terdapat tanda kelainan
ginjal, termaksud kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam
tes pencitraan (imaging test) laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari
60ml/menit/1.73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(IPD JILID II,2014)

F. Klasifikasi GGK atas dasar derajat penyakit


Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.732m2)

1 Kerusakan ginjal dengan


LFG normal atau terjadi >90
peningkatan
2 Kerusakan ginjal dengan
LFG meningkat derajat 60-89
ringan
3 Kerusakan ginjal dengan
LFG meningkat derajat 30-59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan
LFG meningkat derajat 15-29
berat
5 Gagal Ginjal <15 atau dialysis
(IPD JILID II,2014)

8
G. Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal kronis secara umum pada stadium awal tidak terdapat
gejala yang khas, namun penyakit ginjal kronis stadium awal hanya dapat
dideteksi dengan peningkatan serum kreatinin dan proteinuria. Namun jika
fungsi ginjal terus menerus mengalami penurunan akan menimbulkan gejala-
gejala sebagai berikut12,13:
 Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari
hormone vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui sistam Renin-
Angiotensin- Aldosterone-System (RAAS), menyebabkan resiko penderita
penyakit ginjal kronis menderita hipertensi atau penyakit jantung kongestif
 Akumulasi urea pada darah yang menyebabkan uremia, gejala uremia dapat
berupa pericarditis, ensefalopati, gastropati. Akibat jumlah urea yang tinggi
dalam darah, urea dapat diekskresikan melalui kelenjar keringat dalam
konsentrasi tinggi dan mengkristal pada kulit yang disebut dengan “uremic
frost”
 Kalium terakumulasi dalam darah sehingga menyebabkan hiperkalemi
yang mempunyai gejala-gejala seperti malaise, hingga aritmia jantung.
Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR dari ginjal mencapai <25

9
ml/min/1.73mm3 dimana kemampuan ginjal mengekskresikan kalium melalui berkurang
 Penurunan produksi eritropoietin yang dapat menyebabkan penurunan
produksi sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia, eritropoietin
diproduksi di jaringan interstitial ginjal, dalam penyakit ginjal kronis,
jaringan ini mengalami nekrosis sehingga produksi eritropoietin berkurang
 Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan cairan
pada ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan hingga edema yang
mengancam nyawa misalnya pada edema paru
 Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi
phosphate oleh ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko dari
penyakit kardiovaskular, dimana phosphate merupakan stimulus dari
kalsifikasi vaskular
 Hipokalsemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23 oleh
osteosit dibarengi dengan penurunan masa ginjal. FGF-23 merupakan
inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang secara kronis akan
menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan tulang akibat panyakit
ginjal, dan kalsifikasi vaskular.
 Asidosis metabolic yang disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan urea.
Asidosis juga dapat disebabkan oleh penuruan kemampuan produksi
ammonia pada sel-sel ginjal.
 Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea, penurunan
eritropoietin dan penurunanfungsi sumsum tulang. (Hruska,2018)

H. Patofisiologi
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan
aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh hipertensi , kerusakan
sel mesangial oleh diabetes mellitus

10
1. Hipertensi
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh
penebalan sel-sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica
intima menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada
mengecilnya aliran pembuluh darah ke bagian glomerulus, berkurangnya
aliran pembuluh darah ke glomerulus menyebabkan aktifnya system Renin
Angiotensin Aldosteron yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih
lanjut sehingga terjadi kerusakan ginjal yang permanen.
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-Aldosterone
dapat mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal, namun seiring
waktu akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal. Kerusakan glomerulus
ginjal dapat menyebabkan Global sclerosis dimana terjadi kerusakan yang
permanen dari glomerulus atau Focal segmental necrosis yang merupakan
system kompensasi ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada
suatu area karena kerusakan nefron pada area lain pada ginjal. Secara
kronik perubahan-perubahan pada glomerulus ginjal akan menyebabkan
kematian nefron yang akan menyebabkan penurunan GFR secara perlahan.
(Widiani,2020)
2. Diabetes Melitus
Patofisiologi penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus melibatkan
hiperglikemia yang memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS)
dan Advanced Glycosylation End Products (AGE). Pembentukan AGE dan
ROS menyebabkan terjadi stress oxidative pada jaringan nefron ginjal.
Peningkatan stress oxidative pada nefron ginjal menyebabkan kenaikan
permeabilitas ginjal lalu terjadinya proteinuria, efek lain kenaikan
permeabilitas glomerulus juga mengaktifkan system RAAS yang
menyebabkan kenaikan tekanan darah dan lebih jauh meningkatkan
permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan ginjal.
Mekanisme lain dari kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS
menstimulasi pembentukan growth factor, growth factor yang terbentuk
berupa TGF, VEGF, dan PDGF. Pembentukan growth factor tersebut dapat
menyebabkan terjadinya fibrosis pada ginjal dan menurunkan GFR.
11
(Widiani,2020)

I. Komplikasi
Secara umum komplikasi pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan zat-zat berlebihan
dalam tubuh. Zat-zat ini dapat berupa: urea, kalium, fosfat. Penyebab
komplikasi pada ginjal lain adalah berkurangnya produksi darah akibat
kematian jaringan ginjal yang ireversibel yang menyebabkan produksi
eritropoietin yang berkurang. Penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat
penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
 Sindrom uremia : sindrom uremia disebabkan oleh akumulasi urea dalam
darah. Akumulasi ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan ginjal
untuk mengekskresikan urea sehingga urea diabsorbsi kembali ke
peredaran darah dan terakumulasi di darah. Penyakit-penyakit yang dapat
ditimbulkan oleh uremia antara lain:

12
 Sistem Saraf Pusat: kelelahan, gangguan memori, insomnia, nyeri kepala,
kebingungan, ensefalopati (infeksi pada system saraf pusat)
 System saraf perifer: keram, neuropati perifer
 Gastrointestinal: anorexia, mual/muntah, gastroparesis, ulkus
gastrointestinal
 Hematologi: anemia, gangguan hemostasis
 Kardiovaskular: hipertensi, atherosclerosis, penyakit arteri coroner,
pericarditis, edema pulmonal
 Kulit: gatal-gatal, kulit kering, uremic frost (sekresi urea yang berlebihan
melalui kelenjar keringat)
 Nutrisi: malnutrisi, berat badan menurun, katabolisme otot
 Hypoalbuminemia: hipoalbumin pada darah disebabkan oleh ekskresi
albumin yang berlebihan oleh ginjal yang ditandai dengan proteinuria
pada urinalisis. Secara umum gejala albuminuria ditandai dengan edema
pada wajah atau tungkai, dapat terjadi juga edema yang mengancam
nyawa misalnya seperti edema paru
 Gagal Jantung Kongestif: penyakit ini juga disebut “high-output heart
failure” penyakit ini pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh
tingginya volume darah akibat retensi cairan dan natrium pada ginjal.
Peningkatan volume darah menyebabkan jantung tidak dapat memompa
secara adekuat dan menyebabkan gagal jantung.
 Anemia: Anemia pada penyakit ginjal kronis secara umumnya
disebabkan oleh penurunan produksi eritropoietin dalam ginjal dimana
eritropoietin berfungsi sebagai hormone untuk maturasi sel darah merah.
Mekanisme lain anemia adalah berkurangnya absorpsi besi dan asam
folat dari pencernaan sehingga terjadi defisiensi besi dan asam folat.
15
 CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder) :
merupakan kelainan tulang yang disebebkan oleh penyakit ginjal kronis
yang disebabkan oleh bebebrapa hal :

13
1. Kelainan pada mineral seperti kalsium, fosfat, dan kelainan pada
hormone paratiroid serta vitamin D
2. Kelainan pada pembentukan tulang
3. Kalsifikasi sel- sel vascular
(Rahman,2022)

J. Diagnosis
Secara definisi, penyakit ginjal kronis merupakan penurunan fungsi ginjal
secara kronis yang ditandai dengan penurunan GFR (Glomerulus Filtration
Rate) <60 ml/min/1.73mm selama 3 bulan atau lebih. Namun untuk
mendiagnosis CKD dapat dilakukan secara objektif dan dapat dipastikan
melalui tes laboratorium tanpa mengidentifikasi penyebab penyakit, sehingga
dapat dideteksi oleh dokter non-nefrologi dan ahli kesehatan lainnya.
Penyakit ginjal dibagi menjadi akut atau kronik. Untuk menetukannya,
dibagi berdasarkan durasinya. Jika durasi >3 bulan ( >90hari) maka disebut
kronik. Kronisitas ini untuk membedakan CKD dengan penyakit ginjal akut
lainnya seperti akut GN termasuk AKI yang memerlukan intervensi dan
memiliki etiologi dan hasil yang berbeda.
Durasi penyakit ginjal ini dapat didokumentasikan dan disimpulkan
berdasarkan konteks klinis. Untuk diagnosis yang akurat, dianjurkan untuk
pemeriksaan ulang fungsi ginjal dan kerusakan ginjal. Untuk waktu evaluasi
bergantung pada penilaian klinis, dengan evaluasi awal untuk pasien diduga
memiliki AKI dan evaluasi selanjutnya untuk pasien diduga memiliki CKD.
Pada AKI terjadi peningkatan serum creatinin secara tiba-tiba dengan jumlah
yang tinggi namun pada CKD peningkatan serum creatinin terjadi secara
perlahan dan kronis.
Kebanyakan dari penyakit ginjal tidak memiliki gejala atau temuan dan
hanya terdeteksi ketika sudah kronis. Sebagian CKD tidak dapat disembuhkan
dengan pengobatan seumur hidup hanya untuk memperlambat perkembangan
gagal ginjal. Tetapi, dalam beberapa kasus dapat sepenuhnya sembuh, baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. Pada kasus lain, pengobatan

14
menyebabkan penyembuhan parsial pada kerusakan ginjal dan peningkatan
fungsi ginjal.
1. Penurunan GFR
GFR merupakan salah satu komponen dari fungsi eksresi yang dapat
dijadikan acuan sebagai keseluruhan index dari fungsi ginjal. Kerusakan
struktual yang meluas dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan berkurangnya GFR.

GFR <60 ml/min/1.73m2 (ketegori G3a-G5) merupakan GFR setengah


dari nilai normal pada pria dan wanita dewasa dalam selama >3bulan dapat
diindikasi dengan CKD dengan nilai normal GFR yaitu sekitar

125ml/min/1,73m2.
GFR ini dapat dideteksi secara rutin dengan tes laboratorium. GFR ini
dapat dilihat berdasarkan serum creatinin (SCr) tetapi bukan hanya SCr saja
yang sensitive untuk mendeteksi GFR. Penurunan eGFR menggunakan SCr
dapat di konfirmasi dengan penggunakan penanda filtrasi alternative yaitu
Cystatin C.
2. Kerusakan Ginjal
Kerusakan ginjal bisa terjadi di dalam parenkim, pembuluh darah besar
atau tubulus collecting duct yang paling sering dipakai sebagai penanda
dari jaringan ginjal. Penanda ini dapat memberikan petunjuk tentang
kemungkinan kerusakan dalam ginjal dan temuan klinis penyebab penyakit
ginjal.
a. Proteinuria
Merupakan istilah yang ditandai dengan adanya peningkatan
jumlah protein dalam urin. Proteinuria menyebabkan hilangnya protein
plasma akibat dari peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap
protein, reabsorpsi protein pada tubular tidak adekuat dan peningkatan
konsentrasi plasma protein. Proteinuria dapat menunjukan adanya
protein hilang pada ginjal dan saluran kencing bagian bawah.

15
b. Albuminuria
Albumin merupakan salah satu jenis protein plasma yang
ditemukan dalam urin dengan jumlah sedikit dan jumlah sangat besar
pada pasien dengan penyakit ginjal. Albuminuria mengacu pada
peningkatan albumin secara abnormal dalam urin.
Beberapa alasan untuk lebih fokus pada albuminuria dibanding
proteinuria yaitu albumin adalah komponen utama protein urin pada
sebagian besar penyakit ginjal, lalu data epidemiologi penelitian di
seluruh dunia menunjukan bahwa hubungan adanya hubugnan kuat dari
jumlah albumi urin dengan resiko penyakit ginjal dan CVD, dan
klasifikasi penyakit ginjal berdasarkan dari tingkat albuminuria.
Albuminuria merupakan temuan umum namun tidak semuanya
mengarah ke CKD. Adanya albuminuria ini menandakan adanya
penyakit glomerular dimana umumnya muncul sebelum terjadi
pengurangan GFR. Albuminuria dapat dikaitkan dengan hipertensi,
obesitas dan penyakit pembuluh darah dimana penyakit ginjal yang
mendasari tidak diketahui.
Tingkat kehilangan albumin dan protein umumnya disebut AER (
Albumin Excretion Rate) dan PER (Protein Excretion Rate). Batas AER
≥30mg/24 jam yang bertahan selama >3 bulan untuk menunjukkan
CKD. Batas ini kira-kira setara dengan ACR dalam sample urin acak
≥30mg/g atau ≥3mg/mmol.
c. Sedimen Urin Abnormal
Temuan seperti sel, Kristal dan mikroorganisme dapat muncul
dalam endapan urin dalam berbagai gangguan ginjal dan saluran kemih,
tetapi temuan sel tubular ginjal, sel darah merah (RBC), sel darah putih
(WBC), granular kasar, wide cast, dan banyak sel dismorfik sel darah
merah adalah patognomic kerusakan ginjal.
d. Elektrolit dan kelainan lain akibat gangguan tubular
Abnormalitas elektrolit dapat terjadi akibat kelainan reabsopsi dan
sekresi tubulus ginjal. Seringkali penyakit yang bersifat genetik tanpa

16
kelainan patologis yang mendasari. Penyakit lain didapat seperti karena
obat atau racun dan biasanya dengan lesi patologis tubular yang
menonjol.
e. Kelainan Imaging
Tes imaging dapat memungkinkan diagnosis penyakit pada
struktur ginjal, pembuluh darah atau tubulus collecting. Pasien dengan
kelainan struktural yang signifikan dianggap memiliki CKD jika
kelainan tersebut dapat bertahan > 3 bulan.
f. Riwayat transplatasi ginjal
Penerima transplantasi ginjal didefinisikan CKD terlepas dari
tingkat GFR atau adanya penanda kerusakan ginjal. Penerima
transplantasi ginjal memiliki peningkatan resiko kematian dan hasil
ginjal dibanding dengan populasi umum dan mereka memerlukan
pengobatan medis khusus.

(Rahman,2022)

K. Penatalaksanaan
1. Hipertensi
Pasien dengan hipertensi diperlukan terapi antihipertensi yang
mencakup ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker. untuk tekanan
darah ditargetkan systolik kurang dari 130 mm Hg dan diastolic kurang dari
80mm Hg.
2. Diabetes
Target control glikemik haru dicapai dengan aman dan mengikuti
Canadian Diabetes Association Guidelines dengan hemoglobin A1c <
7.0%, glukosa plasma puasa 4–7 mmol/L. Kontrol glikemik menjadi
strategi intervensi multifaktoral yang membahas kontrol tekanan darah,
resiko kardiovaskular dan dukung pemakaian ACE Inhibitor, angiotensin-
receptor blocker, statins, dan acetylsalicylic acid.
Metformin di rekomendasikan untuk pasien dengan diabetes melitus
tipe tipe 2 dengan stage 1 atau 2 penyakit ginjal kronis dengan fungsi ginjal

17
yang stabil dan tidak berubah selama 3 bulan terakhir. Metfomin dapat
dilanjutkan pada pasien penyakit ginjal kronis stabil stage 3.
Metformin diberhentikan jika terjadi perubahan akut dalam fungsi
ginjal atau selama periode penyakit yang dapat memicu perubahan tersebut
(gangguan gastrointertinal atau dehidrasi) atau menyebabkan hipoksia
(gagal jantung atau pernapasan). Pasien ini juga menggunakan ACE
Inhibitor, angiotensin receptor blocker, NSAID atau setelah pemberian
kontras intravena karena resiko gagal ginjal akut.
Menyesuaikan pilihan agen penurun glukosa lainnya (termasuk insulin)
untuk masing- masing pasien, tingkat fungsi ginjal dan komorbiditas.
Resiko hipoglikemia harus dinilai secara teratur untuk pasien yang
menggunakan insulin atau insulin secretagogues. Pasien juga harus
mengetahui cara mengenaili, mendeteksi dan mengobati hipoglikemia.
Short acting sulfonylureas (gliclazide) lebih dipilih daripada long acting
agents untuk pasien dengan penyakit ginjal kronis.
3. Proteinuria
Monitoring proteinuria dilakukan pada semua pasien dengan resiko
tinggi penyakit ginjal (pasien dengan diabetes, hipertensi, penyakit

vascular, penyakit autoimmune, eGFR <60 mL/min/1.73m2 atau edema).


Monitoring dilakukan dengan sampel urin random untuk mengukur ratio
protein terhadap creatinine atau albumin terhadap creatinine. Pasien dengan
diabetes, test ratio albumin terhadap creatinine dilakukan untuk mendeteksi
penyakit ginjal. Ratio protein terhadap kreatinin >100mg/mmol atau ratio
albumin terhadap creatinine >60 mg/mmol dianggap sebagai batas untuk
menunjukkan adanya resiko peningkatan yang tinggi.
Pasien dewasa dengan diabetes dan albuminuria persistent harus
mendapatkan ACE Inhibitor atau angiotensin-receptor blocker untuk
memperlambat perkembangan penyakit ginjal kronis. ACE Inhibitor dan
angiotension reseptor blocker adalah obat pilihan untuk menurunkan
proteinuria. Pada beberapa pasien, aldosterone-receptor antagonist dapat

18
menurutkan proteinuria. diet kontrol protein serta penurunan berat badan
dapat memerikan manfaat dalam mengurani proteinuria.
4. Anemia
Anemia ditandai dengan tinggi Hemoglobin < 135g/L untuk pria
dewasa dan >120g/L untuk wanita dewasa. Pertimbangan untuk menguji
kadar-kadar yang lain pada pasien dengan hemoglobin <120g/L seperti
jumlah dan perbedaan leukosit, jumlah trombosit, indeks eritrosit, jumlah
retikulosit absolut, serum ferritin dan saturasi transferrin.
Pada pasien anemia dengan simpanan besi adekuat, penggunaan
erythropoiesis- stimulating agent diperbolehkan apabila hemoglobin
dibawah 100g/L. untuk pasien yang mendapat erythropoiesis-stimulating
agents, target hemoglobin harus 110g/L dengan range hemoglobin normal
100-120g/L. erythropoiesis-stimulating agent hanya dapat diresepkan oleh
spesialis yang mempunyai pengalaman meresepkan obat ini.
Besi oral adalah terapi lini pertama untuk pasien dengan penyakit
ginjal kronis. Pada pasien yang dapat dan tidak mendapatkan
erythropoiesis-stimulating agent dengan hemoglobin <110g/L, harus
diberikan besi untuk mempertahankan ferritin >100ng/mL dan saturasi
transferrin >20%. Pasien dengan target serum ferritin dan saturasi
trasnferrin yang tidak mencukupi atau keduanya saat mengambil besi oral
atau tidak mentoleransi bentuk oral harus mendapatkan besi intravena.
5. Gastropati Uremikum
Komplikasi pada penyakit ginjal kronik akibat tingginya kadar ureum
dapat menyebabkan gangguan dari berbagai sistem organ, salah satunya
gastropati uremikum. Mual, muntah, dan anoreksia merupakan gejala gejala
yang timbul dari gastropati uremikum. Pada penatalaksanaannya pasien
diberikan terapi berupa omeprazole 2 x 1 vial dan ondansentron 2 x 4 mg
intravena untuk menangani gejala dari kondisi tersebut. Dosis pengobatan
pasien disesuaikan dengan berat badan dari pada pasien.

19
6. Abnormalitas metabolisme mineral
Tingkat serum kalsium, fosfat dan hormone paratiroid harus diukur
pada orang dewasa dengan penyakti ginjal kronis stage 4 dan 5. Serum
fosfat dan kalsium harus dipertahankan pada batas normal. Kadar hormone
paratiroid dapat meningkat diatas nilai normal. Target kadar serum hormon
paratiroid tidak diketahui.
Pembatasan diet fosfat digunakan terus menerus untuk mengobati
hiperfosfatemia. Terapi menggunakan calcium-containing phosphate
binders harus dimulai jika pembatasan diet gagal untuk mengendalikan
hiperfofatemia dan jika tidak ada hyperkalemia. Jika terdapat
hypercalcemia, dosis calcium-containing phosphate binders atau analog
Vitamin D harus dikurangi. Pertimbangan untuk pemberian analog Vitamin
D jika kadar serum hormone paratiroid >53 pmol/L. terapi harus dihentikan
jika hiperkalsemia atau hiperfosfatemia berkembang atau jika kadar
hormone paratiroid <10,6 pmol/L. analog Vitamin D biasanya diresepkan
oleh spesialis yang berpengalaman dengan obat ini.
7. Transplantasi ginjal
Jika memang membutuhkan transplantasi ginjal dengan eGFR

<30ml/min/m2, pasien mendapatkan perawatan multidisiplin mencakup


dokter, perawat, ahli diet, dan pekerja social. Program edukasi predialysis
harus mencakupi modifikasi gaya hidup, managemen obat, pemilihan
modalitas dan akses vascular serta pilihan transplantasi ginjal.

Pasien dengan eGFR <20mL/min/m2 memerlukan tranplantasi ginjal


jika ada penyakit berikut : gejala uremia, komplikasi metabolic refraktori
(hyperkalemia asidosis), volume berlebih (edema atau hipertensi resisten),
penurunan status gizi (serum albumin, massa tubuh tanpa lemak).

transplantasi ginjal tidak boleh dilakukan sampai GFR <20 Ml/min/m 2 dan
terdapat bukti perkembangan kerusakan ginjal dan irreversible 6-12 bulan
sebelumnya.

20
8. Managemen gaya hidup
a. Berhenti merokok
Untuk mengurangi resiko perkembangan penyakit ginjal kronis dan
penyakit ginjal tahap akhir dan mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular.
b. Penurunan berat badan

Orang dengan obesitas (BMI >30,0kg/m2) dan kelebihan berat

badan (BMI >25,0 – 29,0 kg/m2) harus didorong untuk mengurangi


BMI karena untuk menurunkan resiko penyakit ginjal kronis dan
penyakit ginjal stadium akhir. Pemeliharaan berat badan yang sehat

(18,5-24,9 kg/m2 ; lingkat pinggang < 102cm untuk pria, <88 cm untuk
wanita) direkomendasikan untuk mencegah hipertensi dan menurunkan
tekanan darah pada hipertensi. Semua orang yang kelebihan berat badan
dengan hipertensi disarankan harus menurutnkan berat badan.
c. Kontrol diet protein
Diet protein terkontrol (0.80-1.0 g/kg/d) direkomendasikan untuk
orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis. Pembatasan protein dalam
makanan (0,70g/kg/hari harus mencakup pemantauan klinis dan
biokimiawi dari defisiensi nutrisi.
d. Asupan alcohol
Konsumsi alcohol pada hipertensi harus sesuai dengan Canadian
Guideline untuk resiko minum alcohol rendah. Orang dewasa sehat
harus membatasi konsumsi alcohol hingga 2 minuman atau kurang
perhari dan konsumsi tidak boleh melebihin 14 minuman per minggu
untuk pria dan 9 minuman per minggu untuk wanita.
e. Olahraga
Untuk mengurangi resiko hipertensi, orang tanpa hipertensi dan
dengan hipertensi (menurunkan tekanan darah) harus didorong untuk
melakukan latihan dinamis intensitas sedang selama 30-60 menit seperti

21
berjalan, jogging, bersepeda atau berenang, dilakukan 4-7 hari per
minggu.
f. Diet asupan garam
Untuk mencegah hipertensi, asupan natrium makanan dianjurkan
<100 mmol/hari. Pasien dengan hipertensi harus membatasi asupan
natrium makanan mereka hingga 65- 100 mmol/hari.
(Ganong,2016)

22
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien

Nama : Tn. M
Umur : 40 Tahun
Alamat : Jl. Anoa 1
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Tanggal pemeriksaan : 15 September 2022
Tempat pemeriksaan : Pav. Seroja
B. Anamnesis
Keluhan utama : Lemas
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan lemas sejak
tadi pagi. Lemas dirasakan diseluruh tubuh dan semakin memberat
sehingga pasien tidak dapat melanjutkan aktivitasnya. Pasien juga
mengeluhkan kaki kanan bengkak yang dimulai dari kaki kanan hingga ke
paha kanan sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sesak sesekali
ketika beraktivitas, Mual (-), Muntah (-), Batuk (-), Nafsu makan pasien
menurun. Riwayat pasien merupakan pasien HD rutin di RS undata.
Riwayat penyakit dahulu : Riw. Penyakit Gagal Ginjal
Riwayat penyakit keluarga : Keluarga tidak memiliki keluhan yang
sama dengan pasien, Diabetes Melitus (-), Hipertensi (+).
C. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : (E4V5M6)
 Tanda vital
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Nadi : 98x/menit
Pernapasan : 22x/menit
SpO2 : 96%
Suhu : 36,7 C

23
 Kepala
Wajah : Simetris, tampak pucat (+), edema (-), ruam (-),
jejas (-)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
 Mata :
Konjungtiva : anemis (+/+)
Sclera : icterus (-/-)
Pupil : isokor (+/+), reflex pupil (+/+), gerak bola mata
normal
Mulut : Sianosis (-), Stomatitis (-)
 Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
Tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : Peningkatan JVP (-)
Massa lain : Tidak ada
 Dada
 Paru-Paru
o Inspeksi : dinding dada Simetris Bilateral (+/+), warna
kulit normal, tidak ada bekas luka dan jejas
o Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
o Perkusi : Pekak (+/+) pada basal paru
o Auskultasi : Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
o Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V, kuat angkat
o Perkusi :
Batas atas : SIC III linea parasternal sinistra
Batas kanan : SIC IV linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC VI linea axilaris sinistra
o Auskultasi : BJ I/ II irregular
 Perut
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan pembesaran organ
 Anggota Gerak
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (+/-)

24
D. Resume
Seorang pasien laki-laki datang dengan keluhan lemas sejak tadi pagi.
Lemas dirasakan diseluruh tubuh dan semakin memberat ketika beraktivitas.
Pasien juga mengeluhkan kaki kanan yang bengkak sejak 2 hari yang lalu
serta merasakan sesak sesekali ketika beraktivitas. Riwayat pasien merupakan
pasien HD rutin di RS undata.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 150/100
(Hipertensi Stage II), pada pemeriksaan fisik didapatkan wajah tampak pucat,
konjungtiva anemis dan udem pada eksterimitas lower dextra.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan HB : 6,0 g/dl, RBC : 2,12
Juta/uL, HCT : 18,5 %, Ur :207 mg/dl, Kr : 12,86 mg/dl, SGOT : 65 U/L,
SGPT : 72 U/L.
E. Diagnosis Kerja
 Anemia normositik normokrom ec susp. Penyakit kronik Anemia Renal
 CKD G5D on HD
 Elevate Liver Enzyme
 Hipertensi Stage II Belum Terkontrol
F. Usulan pemeriksaan penunjang
 Darah Rutin
 Ureum – Kreatinin
 FE Serum,Ferritrin serum
 Saturasi transferin
G. Hasil pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Darah Lengkap Hasil Nilai rujukan
HGB 6,0 g/dl 12-16
WBC 8,8 ribu/uL 4.0-11.0
RBC 2,12 Juta/uL 4.1-5.1
HCT 18,5 % 36-47
PLT 186 ribu/uL 150-450
MCV 87,3 fL 81-99
MCHC 32,4 g/dl 27-31
RDW-CV 19,6 % 11.5-14.5
25
MPV 6,6 fL 6.5-9.5

26
Hitung Jenis Leukosit Hasil Nilai rujukan
Basophil 0,4 % 0-1
Eosinophil 2,2 % 1-3
Neutrophil 74,4 % 50-70
Limfosit 12,0 % 20-40
Monosit 11,0 % 2-8
NLR 6,20 Cutoff <3.13
ALC 984 Juta/L >1500
Kimia Darah Hasil Nilai rujukan
GDS 150,5 mg/dl 70-200
Fungsi Ginjal Hasil Nilai rujukan
Ureum 207 mg/dl <50
Kreatinin 12,86 mg/dl 0,6 – 1,1
Fungsi Hati Hasil Nilai rujukan
SGOT 65 U/L <45
SGPT 72 U/L <35

 CT-Scan Thorax :
 Bronchitis
 Cardiomegaly
 Sistem Tulang Intak
H. Penatalaksanaan
 Non - Medikamentosa
 Tirah Baring
 Kontrol diet protein
Diet protein terkontrol (0.80-1.0 g/kg/d) direkomendasikan untuk
orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis. Pembatasan protein dalam
makanan (0,70g/kg/hari harus mencakup pemantauan klinis dan
biokimiawi dari defisiensi nutrisi.

 Diet asupan garam

Untuk mencegah hipertensi, asupan natrium makanan dianjurkan


<100 mmol/hari. Pasien dengan hipertensi harus membatasi asupan
natrium makanan mereka hingga 65- 100 mmol/hari.

27
 Medika Mentosa
 Transfusi PRC :
(HB Target- HB Sekarang) X BB X 4 =(8-6) X 68 X 4
= 544ML (2 kantong) dengan Target HB 8
 Aminefron Tab / diberikan tiap 8 Jam
• Aminefron adalah obat yang digunakan untuk pengobatan kelainan
fungsi ginjal kronik bersamaan dengan diet tinggi kalori rendah
protein, dalam retensi yang terkompensasi atau yang dekompensasi. 
 Amlodipin Tab 10mg/24jam 1 – 0 – 0 (Diberikan Saat pagi hari)
• Amlodipine merupakan suatu penghambat influx ion kalsium (slow
channel blocker atau antagonis ion kalsium) dan menghambat influx
transmembran dari ion-ion kalsium ke dalam jantung dan otot halus
vaskular. Mekanisme kerja antihipertensi dari amlodipine
didasarkan pada efek relaksan langsung pada otot-otot halus
vaskular. Mekanisme yang pasti tentang bagaimana amlodipine
meredakan angina belum sepenuhnya ditetapkan tetapi amlodipine
menurunkan beban ischemic total 
 Valsartan 80mg 0 – 0 – 1 (Diberikan pada saat malam hari)
• Valsartan termasuk ke dalam jenis obat angiotensin
receptor blocker (ARB). Obat ini bekerja dengan cara
menghambat reseptor angiotensin II. Dengan
dihambatnya reseptor ini, pembuluh darah akan melebar
sehingga darah bisa mengalir lebih lancar.
 Asam Folat / diberikan tiap 12 jam
• Asam folat, juga dikenal sebagai folat atau Vitamin B9, merupakan
kofaktor penting untuk enzim yang terlibat dalam sintesis DNA dan
RNA. Lebih khusus lagi, asam folat dibutuhkan oleh tubuh untuk
sintesis purin, pirimidin, dan metionin sebelum dimasukkan ke
dalam DNA atau protein
 Curcuma / diberikan tiap 8 Jam
• Curcuma FCT adalah suplemen makanan dari
ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza) untuk menambah atau
meningkatkan nafsu makan serta memperbaiki fungsi hati. Obat ini
dapat dibeli tanpa resep dokter untuk membantu mengatasi
masalah anoreksia (penurunan nafsu makan) dan ikterus (penyakit
kuning).

I. Prognosis
 Quo Ad Vitam : Dubia ad Bonam
 Quo Ad functionam : Dubia ad Malam
 Quo Ad Sanationam : Dubia ad Malam

28
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak tadi pagi sebelum masuk rumah
sakit. Lemas dirasakan diseluruh tubuh dan semakin memberat sehingga pasien
tidak dapat melanjutkan aktivitasnya. Pasien juga mengeluhkan kaki kanan
bengkak yang dimulai darikaki kanan hingga ke paha kanan sejak 2 hari yang
lalu. Pasien juga mengeluhkan sesak sesekali ketika beraktivitas, Mual (-),
Muntah (-), Batuk (-), Nafsu makan pasien menurun. Riwayat pasien merupakan
pasien HD rutin di RS undata. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan
darah 150/100 (Hipertensi Stage II), pada pemeriksaan fisik didapatkan wajah
tampak pucat, konjungtiva anemis dan udem pada eksterimitas lower dextra dan
pada pemeriksaan penunjang didapatkan HB : 6,0 g/dl (13.0-17.0), RBC : 2,12
Juta/uL (4,5 – 5,5), HCT : 18,5 % (39% - 54%), Ur : 207 mg/dl (15 – 38), Kr :
12,86 mg/dl 0,7 – 1,4), SGOT : 65 U/L (5 – 40), SGPT : 72 U/L (7 – 56).
Keluhan lemas yang dialami oleh pasien diakibatkan oleh kurangnya darah
atau biasa disebut dengan anemia, kondisi ini biasa terjadi pada pasien dengan
penyakit gagal ginjal kronik dengan prevalensi 80-90% terutama pada stadium III.
Keadaan anemia terjadi karena defisiensi Erythropoietic Stimulating Factors
(ESF) sebagai respons hipoksia lokal akibat pengurangan parenkin ginjal. Selain
itu kondisi lemas akibat anemia pada pasien ini diperkuat oleh hasil pemeriksaan
fisik berupa didapatkannya anemis pada konjungtiva pasien dan pada darah rutin
yang menunjukkan kadar hemoglobin pada pasien berada dibawah normal yaitu
6,0 g/dl dengan nilai rujukan (13,0 – 17,0). Pada kondisi seperti ini pasien harus
mendapatkan terapi berupa transfusi darah (PRC) yang didasari dengan rumus
trasnfusi yaitu “(HB Target – HB Sekarang) x BB x 4 = (8 – 6) x 68 x 4 =
544ml” yang akhirnya memberikan hasil untuk pemberian transfusi sebanyak 2
kantong (1 kantong = 250 ml) dengan target hb setelah transfusi adalah 8 untuk
menstabilkan kondisi pasien sebelum dilakukan hd. Selain kita melakukan
transfusi pasien juga diberikan suplemen tambahan berupa pemberian vitamin
yang berperan penting dalam pembentukan sel darah merah seperti asam folat
yang diberikan 2x/hari untuk mengatasi anemia pada pasien agar kondisi hb
pasien tetap dalam stabil, target dilakukan trasnfusi adalah mencapai angka hb 7,9
29
– 9,8 dengan indikator 1 kantong prc dapat menaikan hb sebesar 1g/dl atau pada
hct dapat meningkatkan sekitar 3-4%/kantong prc.
Pada pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan pasien mengalami
hipertensi dengan tekanan darah 150/100 mmHg (Hipertensi Stage II JNC VIII)
yang diduga berkaitan dengan sesak yang dialami oleh pasien pada saat
beraktivitas. Hal ini didasari salah satunya oleh hipertensi yang tidak terkontrol
yang menyebabkan arteri disekitar ginjal menyempit, melemah dan mengeras.
Kerusakan pada arteri ini akan menghambat darah yang diperlukan oleh jaringan
sehingga menyebabkan nefron tidak bisa menerima oksigen dan nutrisi yang
dibutuhkan. Jika ginjal terganggu, maka proses pembentukan sel darah merah
disumsum tulang juga akan ikut terganggu yang dapat menyebabkan jumlah
oksigen yang bias dihantarkan ke seluruh tubuh ikut berkurang, sehingga pasien
tidak bias bernafas secara normal dan mengalami sesak nafas dan pola nafas yang
tidak efektif. Pada kondisis hipertensi stage II pemberian terapi yang dilakukan
berupa pemberian obat golongan Calcium Channel Blockers (CCB) yaitu
amlodipine 10mg (1 – 0 – 0) dengan mekanisme kerja sebagai relaksasi jatung
dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitife terhadap
tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel dan
golongan angiotensin receptor blocker (ARB) yaitu Valsartan 80 mg (0 – 0 – 1)
ARB bekerja dengan cara menghambat pengikatan angiotensin II ke reseptornya.
Angiotensin II merupakan senyawa yang memiliki efek menyempitkan pembuluh
darah. Dengan dihambatnya ikatan angiotensin II ke reseptor, pembuluh darah
dapat melebar, sehingga aliran darah dapat lebih lebih lancar dan tekanan darah
dapat menurun secara perlahan serta sesak yang dialami oleh pasien.
Keluhan lain yang dirasakan oleh pasien adalah edema pada ekstremitas
kanan bawah. Edema merupakan tanda dan gejala yang umum pada kelebihan
volume cairan. Edema merujuk kepada penimbunan cairan di jaringan subkutis
dan menandakan ketidak seimbangan gaya-gaya starling (kenaikan tekanan
intravaskuler atau penurunan tekanan intravaskuler) yang menyebabkan cairan
merembes ke dalam ruang interstisial. Edema akan terjadi pada keadaan
hipoproteinemia dan gagal ginjal yang parah seperti GGK. Pada pasien ini edem
terjadi disebabkan oleh kelebihan volume cairan yang terjadi ketika natrium dan
air keduanya tertahan dengan proporsi yang kira-kira sama. Dengan terkumpulnya
cairan isotonik yang berlebih maka cairan akan berpindah ke kompartemen cairan
30
interstisial sehingga menyebabkan edema.
Pada pemeriksaan laboratorium, juga didapatkan ureum pasien meningkat
hingga 207 mg/dL. Tingginya kadar ureum darah bergantung pada tingkat
kerusakan Laju Filtasi Glomerulus (LFG). Nilai kreatinin pasien sebesar 12,86
mg/dL, sehingga dengan rumus Kockroft-Gault didapatkan nilai LFG pasien lebih
kecil dari 15 ml/mnt/1,73m2 , artinya penyakit ginjal kronik berada pada derajat
5 sehingga terapi pada pasien ini diberikan aminefron 3 x 1 sebagai terapi untuk
pasien-pasien gagal ginjal kronik.
Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan kadar SGOT : 65 U/L dan SGPT :
72 U/L yang menandakan terdapatnya peningkatan yang sangat signifikan, hal ini
biasanya disebabkan oleh gangguan fungsi hati yang sering dialami oleh pasien
DM tetapi pada pasien ini kadar gula darah sewaktu pasien dalam batas normal
sehingga harus diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menemukan masalah
yang di alami oleh pasien sehingga menyebabkan kadar enzim hatinya meningkat.
Enzim SGOT dan SGPT berhubungan dengan parenkim sel hati. SGPT
merupakan indikator yang lebih spesifik pada peradangan hati daripada SGOT.
untuk mencegah terjadinya peningkatan yang lebih signifikan pada kadar SGOT
dan SGPT pasien diberikan terapi hepatoprotektor berupa Curcuma 3 x 1 yang
berfungsi untuk melindungi hepar dan/atau memulihkan hepar yang mengalami
gangguan akibat racun, obat ataupun penyakit lainnya.
Selain berdasarkan penatalaksanaan farmakologis di atas, penatalaksanaan
nonfarmakolgi pun perlu pada pasien ini berupa bed rest (tirah baring), serta
tatalaksana nutrisi untuk mengatur kebutuhan energi dan diet protein agar
kebutuhan nutrisi pada pasien tercukupi berdasarkan IMT pasien. Pemberian
protein yang tinggi pada pasien dengan terapi hemodialisis berguna sebagai
kompensasi tubuh ketika protein keluar saat hemodialisis sehingga pasien tidak
mengalami PEW. Pasien gagal ginjal kronik mengalami peningkatan kebutuhan
protein pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis, namun tidak diimbangi
dengan asupan yang cukup yang dapat menyebabkan protein energy wasting.
Selain itu, faktor psikologis seperti stres dapat menjadi penyebab rendahnya
asupan makan pasien. Semakin lama pasien menjalani hemodialisis akan berisiko
tinggi munculnya stres serta untuk mencegah mordibitas dan mortalitas pasien.

31
BAB V
KESIMPULAN
Definisi Penyakit Ginjal Kronis adalah penurunan fungsi ginjal secara
kronis yang memerlukan waktu bulanan hingga tahunan yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal (Glomerulus Filtration Rate) <60 ml/min/1.73mm 2 dan


rasio albuminuria : kreatinin sebesar > 30mg/g tidak terikat pada umur, tekanan
darah, dan apakah teradapat diabetes atau tidak pada pasien.
Angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2018
cukup tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia menderita penyakit
ginjal kronis yang terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi dibandingkan
prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2 permil di seluruh
Indonesia.
Prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi Kalimantan utara 31 yaitu
sebanyak 6.4 permil sedangkan prevalensi terendah di Indonesia terdapat pada
provinsi Sulaswesi Barat pada angka 1.8 permil. Penderita penyakit ginjal kronis
tersering berada pada umur 65-74 tahun, lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Persentase penderita penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani hemodialisa di
Indonesia juga cukup rendah dimana hanya 19.3% penderita penyakit ginjal

kronis menjalani terapi hemodialisa8.


Kebanyakan dari penyakit ginjal tidak memiliki gejala atau temuan dan
hanya terdeteksi ketika sudah kronis. Sebagian CKD tidak dapat disembuhkan
dengan pengobatan seumur hidup hanya untuk memperlambat perkembangan
gagal ginjal. Tetapi, dalam beberapa kasus dapat sepenuhnya sembuh, baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Pada kasus lain, pengobatan menyebabkan
penyembuhan parsial pada kerusakan ginjal dan peningkatan fungsi ginjal

32
DAFTAR PUSTAKA
1. "What Is Chronic Kidney Disease?". National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases. June 2018. Retrieved 19 September 2022.
2. "What is renal failure?". Johns Hopkins Medicine 2019. Retrieved 19
September 2022.
3. Manski-Nankervis, J., Thuraisingam, S., Lau, P., Blackberry, I., Sluggett, J.,
Ilomaki, J., Bell, J. and Furler, J. (2018). Screening and diagnosis of chronic
kidney disease in people with type 2 diabetes attending Australian general
practice. Australian Journal of Primary Health, 24(3), p.280.
4. "Chronic Kidney Disease Tests & Diagnosis". National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Diseases. October 2018. Retrieved 19 September
2022.
5. Ganong (2016). "Renal Function & Micturition". Review of Medical
Physiology, 25th ed. McGraw-Hill Education. p. 677. ISBN 978-0-07-
184897-8.
6. Bikbov B, Perico N, Remuzzi G (2018). "Disparities in Chronic Kidney
Disease Prevalence among Males and Females in 195 Countries: Analysis of
the Global Burden of Disease 2017 Study". Nephron. 139 (4): 313–318.
doi:10.1159/000489897
7. Coresh, J., Levey, A., Levin, A. and Stevens, P. (2018). A stable definition of
chronic kidney disease improves knowledge and patient care. BMJ, 347(sep18
1), pp.f5553-f5553.
8. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 6.Jakarta: Interna Publishing
9. Riskesdas 2018 [Internet]. Depkes.go.id. 2018 [cited 19 September 2022].
Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf
10. GBD 2015 Disease and Injury Incidence and Prevalence, Collaborators. (19
September 2022). "Global, regional, and national incidence, prevalence, and
years lived with disability for 310 diseases and injuries, 1990-2015: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2015". Lancet.
388 (10053): 1545–1602.

33
11. Rahman, Mahboob; Smith, Michael C. (10 September 2022). "Chronic renal
insufficiency: A diagnostic and therapeutic approach". Archives of Internal
Medicine. 158 (16): 1743–52. doi:10.1001/archinte.158.16.174
12. 4. KDIGO 2021 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements.
2021;3(1).
13. Hruska KA, Mathew S, Lund R, Qiu P, Pratt R (2018). "Hyperphosphatemia
of chronic kidney disease". Kidney Int. 74 (2): 148–57.
doi:10.1038/ki.2008.130
14. Faul C, Amaral AP, Oskouei B, Hu MC, Sloan A, Isakova T, Gutiérrez OM,
Aguillon-Prada R, Lincoln J, Hare JM, Mundel P, Morales A, Scialla J,
Fischer M, Soliman EZ, Chen J, Go AS, Rosas SE, Nessel L, Townsend RR,
Feldman HI, St John Sutton M, Ojo A, Gadegbeku C, Di Marco GS, Reuter S,
Kentrup D, Tiemann K, Brand M, Hill JA, Moe OW, Kuro-O M, Kusek JW,
Keane MG, Wolf M (2021). "FGF23 induces left ventricular hypertrophy". J
Clin Invest. 121 (11): 4393–408. doi:10.1172/JCI46122
15. Bacchetta J, Sea JL, Chun RF, Lisse TS, Wesseling-Perry K, Gales B, Adams
JS, Salusky IB, Hewison M (9 September 2022). "FGF23 inhibits extra-renal
synthesis of 1,25-dihydroxyvitamin D in human monocytes". J Bone Miner
Res. 28 (1): 46–55. doi:10.1002/jbmr.1740
16. KDIGO: Kidney Disease Improving Global Outcomes (2012). "KDIGO
Clinical Practice Guideline for the Diagnosis, Evaluation, Prevention, and
Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-
MBD)"

17. Widiani, H. 2020. Penyakit ginjal kronik stadium V akibat nefrolitiasis.


DOAJ. Intisari Sains Medis. Volume 11. Nomor 1 : 160 : 164. P-ISSN: 2503-
3638, E-ISSN: 2089-9084

18. Official Journal of the International Society of Nephrology. Supplement To Kidney


International. KDIGO 2021 Clinical Practice Guideline for the Management of Blood
Pressure in Chronic Kidney Disease. Volume 99. Issue 3S.

34

Anda mungkin juga menyukai