oleh:
KELOMPOK 1
oleh: Kelompok 1
ii
Qurrotul Ridho NIM 152310101194
Pungki Wahyuningtyas NIM 152310101195
Wafda Niswatun NIM 152310101245
Praditya Vian NIM 152310101256
Tessa Bagus NIM 152310101257
Dyan Ayu P. NIM 152310101258
Lidya Amal Huda NIM 152310101259
Ardhia C. NIM 152310101264
Fitri Handayani NIM 152310101265
Reka Saputri NIM 152310101269
Ilya Farida NIM 152310101270
iii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai “Sedasi ” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis Program Studi
Sarjana Keperawatan Universitas Jember. Penyusunan makalah ini tentu tidak lepas dari
kontribusi dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
iv
DAFTAR ISI
Halaman
COVER................................................................................................................. i
HALAMAN JUDUL............................................................................................ ii
PRAKATA........................................................................................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................ v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 1
1.2 Tujuan.................................................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi................................................................................................... 2
2.2 Etiologi .................................................................................................. 2
2.3 Patofisiologi .......................................................................................... 3
2.4 Klasifikasi ............................................................................................. 4
2.5 Tanda dan gejala..................................................................................... 5
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Faktor pengaruh gangguan renal ........................................................... 6
3.2 Hal yang harus diperhatikan pada perawatan dialisis dengan
gangguan renal............................................................................................. 7
...............................................................................................................................
3.3 Hal yang harus diperhatikan pada pasien ICU ...................................... 8
3.4 Jenis obat dan efek samping .................................................................. 9
3.5 Penatalaksanaan .................................................................................... 11
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan............................................................................................ 13
4.2 Saran....................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep pada sistem Renal
2. Untuk mengetahui perawatan dialisis dengan gangguan pada
sistem Renal
3. Untuk mengetahui hal yang perlu diperhatikan pada pasien ICU
4. Untuk mengetahui jenis obat dan efek samping yang dipakai pada
gangguan renal
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan gangguan pada sistem Renal
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur
ginjal yang progresif dan terus-menerus. Gagal ginjal kronis dapat timbul dari hampir semua
penyakit, pada individu yang rentan, nefropati analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait
dengan pemakaian harian obat-obat analgesik selama bertahun-tahun dapat menyebabkan
gagal ginjal kronis. Apa pun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang
ditandai dengan penurunan GFR yang progresif (Corwin, 2009). Chronic Kidney Disease
(CKD) biasanya akibat terminal dari destruksi jaringan dan kehilangan fungsi ginjal yang
berlangsung secara berangsur dan keadaan ini dapat pula terjadi karena penyakit yang
progresif secara cepat disertai awitan mendadak yang menghancurkan nefron dan
menyebabkan kerusakan ginjal yang reversibel (Kowalak, 2011). Klien yang mengalami
CKD didiagnosis dengan penyakit ginjal tahap akhir pada saat filtrasi glomerulus ginjal
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan ekskresi dan kebutuhan metabolik tubuh. Klien yang
mengalami penyakit ginjal tahap akhir harus mendapatkan terapi penggantian ginjal,
misalnya hemodialisis atau dialisis peritoneum dalam waktu yang tidak terbatas atau
mendapatkan transplantasi ginjal atau kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi.
2.2 Etiologi
Menurut Price dan Wilson (2005), penyebab gagal ginjal kronik bisa diakibatkan dari
faktor penyakit di luar ginjal maupun penyakit pada ginjal itu sendiri yaitu sebagai berikut:
2
8. Nefropati obstruksi, seperti traktus urinarius atas (batu, neoplasma dll). traktus urinarius
bawah (striktur uretra, hipertrofi prostat dll).
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi
jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor ß(TGF- ß). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal
atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, klien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada klien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, klien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Klien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15%
3
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan klien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada
keadaan ini klien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2006).
2.4 Klasifikasi
Menurut Corwin (2009), penyakit gagal ginjal kronik terdiri dari beberapa stadium
yaitu sebagai berikut:
1. Stadium 1 yang ditandai dengan kerusakan ginjal (kelainan atau gejala dari patologi
kerusakan, mencakup kelainan dalam pemeriksaan darah atau urin atau dalam pemeriksaan
pencitraan) dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) normal atau hampir normal, tepat atau
diatas 90 ml per menit (> 75% dari nilai normal).
2. Stadium 2 yang ditandai dengan laju filtrasi glomerulus antara 60 dan 89 ml per menit
(kira-kira 50 % dari nilai normal), dengan tanda-tanda kerusakan ginjal. Stadium ini
dianggap sebagai salah satu tanda penurunan cadangan ginjal. Nefron yang tersisa dengan
sendirinya sangat rentan mengalami kegagalan fungsi saat terjadi kelebihan beban. Gangguan
ginjal lainnya mempercepat penurunan ginjal.
3. Stadium 3 yang ditandai dengan laju filtrasi glomerulus antara 30 dan 59 ml per menit
(25% sampai 50% dari nilai normal). Insufisiensi ginjal dianggap terjadi pada stadium ini.
Nefron terus-menerus mengalami kematian.
4. Stadium 4 yang ditandai dengan laju filtrasi glomerulus antara 15 dan 29 ml per menit
(12% sampai 24% dari nilai normal) dengan hanya sedikit nefron yang tersisa.
5. Stadium 5 yang ditandai dengan gagal ginjal stadium lanjut, laju filtrasi glomerulus kurang
dari 15 ml per menit (12% dari nilai normal). Nefron yang masih berfungsi tinggal beberapa.
Terbentuk jaringan parut dan atrofi tubulus ginjal.
4
Menurut Nursalam (2006), tanda dan gejala klien gagal ginjal dapat ditemukan pada
semua sistem yaitu sebagai berikut:
1. Sistem Gastrointestinal yang ditandai dengan anoreksia, mual, muntah dan cegukan.
2. Sistem Kardiovaskular yang ditandai dengan hipertensi, perubahan EKG, perikarditis,
efusi perikardium, gagal jantung kongestif dan tamponade perikardium.
3. Sistem Respirasi yang ditandai dengan edema paru, efusi pleura dan pleuritis.
4. Sistem Neuromuskular yang ditandai dengan lemah, gangguan tidur, sakit kepala,
letargi, gangguan muskular, kejang, neuropati perifer, bingung dan koma.
5. Sistem Metabolik/endokrin yang ditandai dengan inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan
hormon seks menyebabkan penurunan libido, impoten dan amenorrea.
6. Sistem Cairan-elektrolit yang ditandai dengan gangguan asam basa menyebabkan
kehilangan sodium sehingga terjadi dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagnesium
dan hipokalsemia.
7. Sistem Dermatologi yang ditandai dengan pucat, hiperpigmentasi, pluritis, eksimosis,
azotermia dan uremia frost.
8. Abnormal skeletal yang ditandai dengan osteodistrofi ginjal menyebabkan osteomalasia.
9. Sistem Hematologi yang ditandai dengan anemia, defek kualitas platelet dan perdarahan
meningkat.
10. Fungsi psikososial yang ditandai dengan perubahan kepribadian dan perilaku serta
gangguan proses kognitif.
5
BAB 3 PEMBAHASAN
Menurut Price dan Wilson (2005), penyebab gagal ginjal kronik bisa diakibatkan dari
faktor penyakit di luar ginjal maupun penyakit pada ginjal itu sendiri yaitu sebagai berikut:
Berdasarkan data U.S Renal Data System tahun 2016, dari keseluruhan total kasus,
penyebab terbesar terjadinya ESRD adalah diabetes 34 %, diikuti oleh hipertensi dengan 21
%, glomerulonefritis 17 %, infeksi nefritis tubulointerstisial ( pielonefritis kronik atau
nefropati refluks ) dan penyakit ginjal polikistik ( PKD ) 3,4 %, dan 20 % sisanya jarang
terjadi, seperti uropati obstruktif, SLE dan lainnya.
3.2 Hal yang Harus Diperhatikan pada Perawatan Dialisis dengan Gangguan Renal
6
Menurut (Nicolas, G.A., 2016) Dialisis merupakan salah satu modalitas pada
penanganan pasien dengan gangguan renal, namun tidak semua gangguan renal memerlukan
dialisis. Terdapat 2 golongan besar terapi dialisis, antara lain adalah Terapi intermitten dan
Terapi kontinu/ continuous renal replacement therapy (CRRT). Terapi intermitten adalah
terapi dialisis ekstrakorporeal dimana pasien diterapi selama kurang dari 24 jam. Modalitas
yang tersedia pada golongan ini antara lain: intermittent hemodialysis (IHD), sorbent IHD,
intermittent hemodiafiltration (IHF), intermittent ultrafiltration (IUF), extended daily
dialysis (EDD), dan sustained, low-efficiency daily dialysis (SLEDD), yang disebut juga
slow, continuous dialysis (SCD). Sedangkan terapi Terapi kontinu / continuous renal
replacement therapy (CRRT) Adalah terapi dialisis ekstrakorporeal dimana pasien diterapi
selama 24 jam atau lebih. Pada golongan ini terdapat beberapa modalitas yang tersedia
antara lain: continuous arteriovenous hemofiltration (CAVH), continuous venovenous
hemofiltration (CVVH), slow continuous ultrafiltration (SCUF), continuous arteriovenous
hemodialysis (CAVHD), continuous venovenous hemodialysis (CVVHD), continuous
arteriovenous hemodiafiltration (CAVHDF), continuous venovenous hemodiafiltration
(CVVHDF).
Hemodialisis diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang memerlukan terapi
dialisis jangka pendek atau pasien yang mengalami gagal ginjal tahap akhir yang
memerlukan terapi jangka panjang/permanen (Smeltzer et al. 2008 dalam Munawar 2017).
Indikasi pasien dilakukan hemodialisis adalah sebagai berikut:
1. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit
2. Hiperkalemia
3. Kegagalan terapi konservatif
4. Kadar ureum lebih dari 200 mg/dl
5. Kelebihan cairan
6. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali
Menurut (Nicolas, G.A., 2016) Salah satu alat yang sering digunakan untuk proses
dialisis adalah mesin hemodialisis yang terdiri dari beberapa komponen seperti dialyzer dan
dialisat. Hal penting sebelum memulai hemodialisis adalah mempersiapkan akses vaskuler,
7
daerah dari tubuh dimana darah akan dikeluarkan untuk dibersihkan dan dimasukkan
kembali ke dalam tubuh. Akses vaskuler sebaiknya dipersiapkan berminggu-minggu
sebelum memulai proses dialisis. Terdapat tiga jenis akses kardiovaskuler dasar yaitu
arteriovenous (AV) fistula, AV graft, dan kateter vena. AV fistula merupakan pemilihan
jangka panjang terbaik karena menyediakan aliran darah yang cukup, bertahan lama, dan
mempunyai angka komplikasi yang lebih rendah. AV graft digunakan apabila akses AV
fistula tidak berhasil, umumnya bisa digunakan setelah 2-3 minggu setelah pemasangan dan
angka komplikasinya lebih tinggi. Sedangkan kateter vena merupakan akses temporer,
dimana perlu dilakukan hemodialisis secepatnya pada pasien. Namun akses menggunakan
kateter vena ini mempunyai angka komplikasi yang tinggi terhadap infeksi.
Menurut (Nicolas, G.A., 2016) Salah satu modalitas dialisis yang sering digunakan
pada RTI pada pasien dengan gagal ginjal baik kronik maupun akut adalah sustained, low-
efficiency daily dialysis (SLEDD). SLEDD merupakan teknik terbaru dari terapi pengganti
ginjal yang menggunakan perlengkapan hemodialisa konvensional, tapi dengan hasil
terapeutik seperti penggunaan terapi dialisis kontinu. SLEDD mengkombinasi keuntungan
dari terapi dialisis kontinu / continuous renal replacement therapy (CRRT) dengan
hemodialisis intermitten / intermittent hemodialysis (IHD) sehingga SLEDD sangat cocok
diaplikasikan untuk pasien dengan penyakit kritis dengan menggunakan mesin hemodialisis
konvensional dengan laju darah antara 50-200 dan laju dialisat antara 200-400.
8
sehingga Pemantauan output jantung untuk manajemen cairan, terapi vasoaktif, infus
nitrat dan tekanan udara positif terus menerus mungkin segera diperlukan.
2. Setelah penyakit kardiovaskular, sepsis adalah penyebab kematian kedua pada pasien
CKD / ESKD dengan “profil resistensi” tertentu untuk terapi antimikroba. Kelainan
anatomi (misalnya ginjal polikistik) dan eksposur berulang pada mikroorganisme
nosocomi dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Sumber infeksi yang paling umum
yaitu kateter yang telah terinfeksi saluran pernafasan bawah, selulitis dan pyocystis.
Kateter yang digunakan saat Hemodialisis (HD) mungkin dapat menjadi awal timbulnya
komplikasi infeksi, sementara kateter dialisis peritoneal (PD) tidak hanya menyebabkan
tingkat komplikasi infeksi lanjut yang tinggi, tetapi juga tingkat kematian yang lebih
tinggi .
3. Hasil urin pasca operasi merupakan penanda yang penting untuk keparahan penyakit
ginjal.
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian pada penelitian tersebut ialah oliguria,
anuria, hipotensi, kebutuhan obat-obatan pressor, kebutuhan ventilasi mekanik,
kebutuhan dialisis, nilai kreatinin dan urea yang rendah, dan nilai asam laktat yang tinggi.
5. Akibat perdarahan, dehidrasi karena kehilangan melalui gastrointestinal, saltwasting renal
atau penyakit adrenal, diabetes insipidus sentral atau nefrogenik, meningkatnya
insensible losses, seperti pada luka bakar, dan pada penyakit seperti sepsis, sindroma
nefrotik, trauma jaringan, capilary leak syndrome. Menurunnya volume darah efektif
terjadi ketika volume darah normal atau meningkat, tetapi perfusi ginjal menurun akibat
penyakit seperti gagal jantung kongestif, tamponade jantung, dan sindroma hepatorenal.
6. Memantau CRRT yang terhubung pada tubuh pasien sebagai teknologi yang sangat
diperlukan untuk pasien gagal ginjal akut sebagai pengganti fungsi ginjal yang berada di
ICU karena tujuan CRRT untuk membersihkan darah dari sisa metabolisme yang bersifat
racun bagi tubuh , membuang cairan tubuh yang berlebih, juga membuang zat-zat
inflamasi(perasadangan)yang diproduksi tubuh dalam upaya melawan penyakit. Prinsip
kerja CRRT mirip dengan mesin hemodialysis yang dipakai pada pasien gagal ginjal
kronis yaitu menyedot darah untuk dibersihkan kemudian mengembalikan darah yang
sudah “bersih” kembali ke tubuh pasien.
9
Sebagian besar obat yang digunakan untuk terapi pada pasien gagal ginjal yaitu
furosemid (86,79%), kalsium karbonat (77,35%), dan asam folat (73,58%). Sedangkan obat
yang digunakan pada tanggal hemodialisis yaitu furosemid (85,71%), kalsium karbonat
(77,14%), dan asam folat (74,28%) (Winalda,2016).
1. Furosemid
Furosemide adalah obat golongan diuretik yang digunakan untuk membuang
cairan atau garam berlebih di dalam tubuh melalui urine dan meredakan
pembengkakan yang disebabkan oleh gagal jantung, penyakit hati, penyakit ginjal atau
kondisi terkait.
Sama seperti obat-obatan lainnya, furosemide berpotensi menyebabkan efek
samping. Tapi seiring dengan penyesuaian tubuh dengan obat, efek samping akan
berkurang dan mereda. Efek samping yang umumnya terjadi dalam penggunaan
furosemide adalah pusing, vertigo, mual dan muntah, penglihatan buram, diare, dan
konstipasi
2. Kalsium Karbonat
Kalsium karbonat adalah obat untuk mengatasi asam lambung berlebih yang
umumnya menjadi penyebab nyeri lambung, nyeri ulu hati dan dispepsia. Selain itu,
juga digunakan sebagai pengikat fosfat untuk mengatasi kelebihan fosfat dalam darah
atau hiperfosfatemia yang terjadi akibat kelainan fungsi ginjal berat (Mediskus).
Kaslium karbonat umumnya ditoleransi dengan baik. Namun demikian,
beberapa efek samping mungkin muncul pada kondisi masing-masing penggunanya.
Beberapa efek samping biasanya ringan dan dapat reda setelah penghentian
penggunaan. Efek samping yang sering muncul yaitu konstipasi dan kembung. Efek
samping yang lebih jarang terjadi atau terjadi pada penggunaan dosis tinggi yaitu
muntah, mual dan nyeri perut, hiperkalsemia, dan alkalosis.
3. Asam Folat
Asam folat biasanya diberikan pada pasien penyakit ginjal kronik dengan
hemodialisis. Asam folat berperan dalam pemulihan dan pemeliharaan hematopoiesis
normal. Pasien yang menderita penyakit ginjal kronik biasanya mengalami kerusakan
pada ginjalnya yang mengindikasikan bahwa ginjal telah tidak mampu menjalankan
fungsinya dengan baik sehingga eritropoetin tidak akan diproduksi.
Efek samping berat dari konsumsi asam folat dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis pada pasien dengan alergi asam folat, bisa juga bronkospasme yang
10
reaksinya cepat. Efek samping sedang yang dapat ditimbulkan setelah konsumsi asam
folat berupa eritema, kebingungan hingga depresi. Efek samping ringan yang dapat
ditimbulkan setelah konsumsi asam folat berupa muncul ruam merah, gatal-gatal,
lemas, mual, perut kembung dan iritabel.
3.4 Penatalaksanaan
Di lingkungan perawatan intensif manajemen untuk pasien CKD bergantung pada
beberapa faktor, seperti modalitas dan akses LT-RRT yang sudah ada sebelumnya, status
hemodinamik, dokter dan pengalaman staf dan sumber daya ICU. Saat ini, sebagian besar
pasien menerima HD intermiten (IHD) atau terapi penggantian ginjal kontinu (CRRT)
menggunakan kateter akses vaskular sementara.
Berikut beberapa management yang dilakukan pada pasien kritis dengan gangguan renal:
8. Diuretik diberikan untuk pasien CKD/ESKD yang mengalami keterbatasan urin output.
12
BAB 4. PENUTUP
13
DAFTAR PUSTAKA
Alvionita, Dyah, A. W., & Masruhim, M. A. 2016. Pengaruh Penggunaan Asam Folat Terhadap
Kadar Hemoglobin Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsud
Abdul Wahab Sjahranie. J. Trop. Pharm. Chem. p-ISSN: 2087-7099; e-ISSN: 2407-6090.
Vol 3. No. 3
Ammelia, P. dkk. 2014. Gangguang Ginjal Akut pada Keadaan Kritis. Majalah Kedokteran
Nusantara. 47(2).
Deherba.com. Obat Asam Folat: Manfaat, Dosis Aman dan Efek Sampingnya bagi Kesehatan.
Diakses dari https://www.deherba.com/obat-asam-folat-manfaat-dosis-aman-dan-
efek-sampingnya-bagi-kesehatan.html#ixzz5GCYymvja
Kowalak, Jennifer. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Nursalam. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Price, Sylvia A dan Wilson Lorraine M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Price, S.A., dan Wilson, L. M..2016. Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, Edisi 6,
Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H., Wulansari, p., Mahanani, D.
A.,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Rosa, D S., Samoni, S., et al. 2017. Management of cronic kidney disease patients in the
intensive care unit : mixing acute and cronic illness. Department of Anesthesiology and
Intensive Care. Vol 43 (151-162)
Winalda.2016. Evaluasi Ketepatan Terapi Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Di Instalasi Rawat
Inap Rs “X” Tahun 2014. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Publikasi Ilmiah