Anda di halaman 1dari 36

SARI PUSTAKA

DIABETIC TERMINAL DISEASE DIAGNOSTIC DAN


TATALAKSANA

Disusun oleh :
Rizki Imanuel

xxxxxxxxxxxxxxxxx

Dosen Pembimbing:
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 29 MEI – 05 AGUSTUS 2023
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN
SARI PUSTAKA

Diabetic Terminal Disease Diagnostic dan Tatalaksana

Sari Pustaka ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia

Telah disetujui
Pada : Juli 2023

Disusun Oleh :
Rizki Imanuel
xxxxxxxxx

Jakarta, Juli 2023

Pembimbing,

dr. Welly Salutondok, Sp. PD

2
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Sari Pustaka dengan judul
“Diabetic Terminal Disease Diagnostic dan Tatalaksana” yang merupakan
salah satu pemenuhan tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UKI.

Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa tak terlepas dari


bantuan berbagai pihak dalam memberi dukungan, bimbingan, dan arahan
dari para dokter. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :

1. xxxxxxxxxxxxxx selaku pembimbing sari pustaka yang telah


memberikan kesempatan untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan penulisan sari pustaka ini.
2. Teman-teman kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam FK-UKI yang saling
mendukung dan membantu dalam melaksanakan program
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSU-UKI

Penulis menyadari sari pustaka ini tak lepas dari kekurangan, penulis
mengharapkan masukan agar dapat menjadi perbaikan dalam penulisan
berikutnya dan sari pustaka ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.

Jakarta, Juli 2023

Rizki
Imanuel

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................2

KATA PENGANTAR.........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................5

BAB II.................................................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................7

2.1 Definisi..................................................................................................................7

2.2 Etiologi..................................................................................................................8

2.3 Faktor Resiko........................................................................................................9

2.4 Patofisiologi..........................................................................................................9

2.5 Gambaran Klinik...................................................................................................9

2.6 Diagnosis.............................................................................................................11

2.7 Tata laksana.........................................................................................................17

BAB III KESIMPULAN...................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................21

4
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetic Kidney Diseasea adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal


yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45%
penderita diabetes militus terutama pada DM tipe I. Pada tahun 1981 Diabetic
Kidney Diseasea ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di Negara barat
dan saat ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis disebabkan oleh
karena Diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh karena DM tipe ini lebih sering
dijumpai.(5) Dibandingkan DM tipe II maka Diabetic Kidney Diseasea pada DM
tipe I jauh lebih progresif dan dramatis.(6) Dengan meremehkan penyakit DM
maka bisa berkomplikasi ke Diabetic Kidney Diseasea. Berdasar studi Prevalensi
mikroalbuminuria (MAPS), hampir 60% dari penderita hipertensi dan diabetes di
Asia menderita Diabetic Kidney Disease. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 %
dengan Makroalbuminuria dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria.(1)
Hipertensi merupakan suatu tanda telah adanya komplikasi makrovaskuler
dan mikrovaskuler pada Diabetes, Hipertensi dan diabetes biasanya ada
keterkaitan patofisiologi yang mendasari yaitu adanya resistensi insulin. Pasien-
pasien diabetes tipe II sering mempunyai tekanan darah lebih tinggi atau sama
dengan 150/90mmHg. Beberapa penelitian klinik menunjukkan hubungan erat
tekanan darah dengan kejadian serta mortalitas kardiovaskuler, progresifitas
nefropati, retinopati (kebutaan). Kontrol tekanan darah dengan obat anti hipertensi
baik sistol dan diastole dan kontrol gula darah penderita pasien hipertensi dengan
diabetes telah terbukti dari beberapa penelitian. Bahwa terbukti menaikkan “life
expentacy”resiko stroke dan komplikasi kardiovaskuler pada pasien diabetes
meningkat bila disertai hipertensi.

Terutama pada wanita dengan diabetika, hipertensi dan LVH (Left


Ventrikel Hiperthrophy), Diabetic Kidney Diseasea dan disertai edema, pada
keadaan ini sering dipergunakan diuretika justru akan memperburuk prognosis
menaikkan mortalitas. Pasien diabetes, hipertensi, LVH dan Diabetic Kidney
Diseasea mempunyai resiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas atau CVD
(infark dan stroke). Sebagai faktor prediksi adanya komplikasi vaskuler pada DM
dan adanya mikroalbuminuria. Oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus
5
terutama kalangan medis untuk mencari upaya yang terbaik dalam usaha
mencegah dan mengatasi penyakit ini.(4)

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetic Kidney Diseasea adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM
yang merupakan penyebab utama gagal ginjal di Eropa dan USA. (5) Ada 5 fase
Diabetic Kidney Diseasea. Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan
GFR, AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi
albumin relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih
terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang
menjadi Diabetic Kidney Disease. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-
300mg/24j). Fase IV, Difstick positif proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j,
pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi biasanya terdapat. Fase V
merupakan End Stage Renal Disease (ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika
GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.(2) Peningkatan prevalensi diabetes
menyebabkan peningkatan komplikasimikro dan makrovaskuler pada diabetes
seperti penyakit jantung koroner, stroke, Diabetic Kidney Disease (DKD), dan
End Stage Renal Disease (ESRD). Diabetes mellitus (DM) merupakan
penyebabutama Chronic Kidney Disease (CKD) dan End Stage Renal Disease
(ESRD) dinegara maju dan berkembang (Kazancioglu, 2013). Menurut data
USRDS,sebagian pasien End Stage Renal Disease (ESRD) di Amerika Serikat
memilikinefropati diabetik. Sebanyak 8% pasien diabetes tipe 2 terjadi
proteinuria. Setelahterjadinya proteinuria maka resiko 10 tahun berikutnya
adalah terjadi CKDprogresif sebesar 11%

DKD terjadi karena perubahan Hemodinamik Ginjal mencakup


sejumlah perubahan yang terjadi di dalam ginjal yang berpengaruh pada fungsi
organ ini. Salah satunya adalah melebarnya arteri aferen, yang bertugas
memasok darah ke dalam glomerulus ginjal. Sementara itu, arteri eferen
mengalami penyempitan, mengatur aliran darah yang keluar dari glomerulus.
Kombinasi dari perubahan ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
darah di dalam glomerulus, yang dikenal sebagai glomerular hypertension.
Hasil dari glomerular hypertension bisa berupa peningkatan ukuran
7
glomerulus, yang disebut glomerular hypertrophy, serta terjadinya penyakit
pada glomerulus yang mengeras, yang dikenal dengan istilah glomerular
sclerosis. Semua perubahan ini merupakan bagian dari kompleksitas yang
terkait dengan gangguan ginjal dan dapat mempengaruhi fungsi ginjal secara
signifikan. Sejumlah molekul memainkan peran penting dalam proses
perubahan hemodinamik ginjal yang kompleks ini. Ini termasuk molekul
seperti TIGF-1 (Transforming Growth Factor Beta-1), TGF-B (Transforming
Growth Factor Beta), VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), NO
(Nitric Oxide), PG (Prostaglandins), Glucagon, AT II (Angiotensin II), ET-1
(Endothelin-1), dan SGLT2 (Sodium-Glucose Cotransporter 2). Interaksi yang
rumit antara molekul-molekul ini dapat mempengaruhi proses hemodinamik
ginjal dan berkontribusi pada perubahan patologi yang terjadi dalam kondisi
seperti Diabetic Kidney Disease.

Berbagai obat-obatan memiliki peran yang beragam dalam pengelolaan


Diabetic Kidney Disease dan perubahan ginjal terkait. Atrasentan diketahui
dapat memengaruhi perubahan hemodinamik ginjal, sementara Ruboxistaurin
terlibat dalam pengendalian stabilitas HIF (Hypoxia-Inducible Factor).
Sulodexide memiliki pengaruh tertentu pada perubahan ginjal. Baricitinib
terkait dengan pengendalian sistem RADAS (Renin-Angiotensin-Aldosterone
System), yang penting dalam pengelolaan tekanan darah dan fungsi ginjal.
Bardoxolone methyl berperan dalam mengatur NO dan pengaruhnya pada
ROS (Reactive Oxygen Species), AGEs (Advanced Glycation End Products),
TNF (Tumor Necrosis Factor), serta NF-B (Nuclear Factor-kappa B), yang
semuanya berkaitan dengan perubahan patologi ginjal. Pyridoxamine terlibat
dalam mengendalikan apoptosis podosit, sedangkan Pirfenidone berhubungan
dengan fibrosis tubulointerstitial dan atrofi tubular.

Selain itu, ada obat-obatan penurun glukosa darah yang digunakan


untuk mengendalikan kadar glukosa darah pada penderita diabetes. Aktivasi
berlebihan sistem RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosterone System) dapat
memengaruhi fungsi ginjal, dan penggunaan Finerenone berkaitan dengan
pengendalian RADAS dan perubahan yang terjadi pada sel mesangial.
Vitamin D (VitD) juga memiliki peran dalam pengaruh pada ROS dan TGF-B,
yang dapat memengaruhi kesehatan ginjal secara keseluruhan. Penggunaan

8
dan kombinasi obat-obatan ini dapat direkomendasikan oleh dokter untuk
memperlambat atau mengatasi perubahan patologi ginjal yang terkait dengan
diabetes

Tabel Diabetic nephropathy stages


Stages Albuminuria Clinical characteristics
cutoff values
Microalbuminuria 20–199 μg/min Abnormal nocturnal decrease of blood
pressure and increased blood pressure
levels
30–299 mg/24 h Increased triglycerides, total and LDL
cholesterol, and saturated fatty acids
30–299 mg/g* Increased frequency of metabolic syndrome
components
Endothelial dysfunction
Association with diabetic retinopathy,
amputation, and cardiovascular disease
Increased cardiovascular mortality
Stable GFR
Macroalbuminuria† ≥200 μg/min Hypertension
≥300 mg/24 h Increased triglycerides and total and LDL
cholesterol
>300 mg/g* Asymptomatic myocardial ischemia
Progressive GFR decline

2.2 Etiologi
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung
terjadinya Diabetic Kidney Diseasea. Hipertensi yang tak terkontrol dapat
meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Diabetic Kidney Diseasea
yang lebih tinggi (Fase V Diabetic Kidney Diseasea).(9)

Etiologi Diabetic Kidney Disease (DKD) merujuk pada sejumlah


faktor penyebab atau risiko yang memicu kerusakan ginjal akibat diabetes.
DKD adalah komplikasi umum yang terjadi pada pasien diabetes tipe 1 dan
tipe 2, mempengaruhi sekitar 30% dari populasi penderita diabetes. Beberapa
etiologi yang diketahui sebagai pemicu DKD antara lain:Glukosa Darah
Tinggi: Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dapat merusak komponen
ginjal yang disebut glomerulus, yang berperan dalam penyaringan cairan dan
limbah dari darah. Kerusakan pada glomerulus dapat mengakibatkan protein

9
bocor ke dalam urin, kondisi yang disebut proteinuria. Proteinuria merupakan
tanda awal dari DKD dan dapat memperparah kerusakan ginjal lebih
lanjut.Tekanan Darah Tinggi: Tekanan darah yang tinggi dapat meningkatkan
tekanan pada pembuluh darah ginjal, mengganggu proses filtrasi dan
reabsorpsi. Hipertensi juga berpotensi menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri,
aterosklerosis, serta penyakit jantung iskemik, yang semuanya dapat
memperburuk kondisi DKD.Faktor Genetik: Beberapa studi mengidentifikasi
variasi genetik yang berhubungan dengan risiko DKD, termasuk gen seperti
ACE, AGT, APOE, CNDP1, SLC12A3, dan UMOD. Variasi genetik ini dapat
memengaruhi respon terhadap obat-obatan, peradangan, fibrosis, stres
oksidatif, serta aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAS), yang
mengatur tekanan darah dan keseimbangan cairan.Faktor Lingkungan:
Beberapa faktor lingkungan seperti merokok, polusi udara, infeksi, obesitas,
diet tinggi garam dan protein hewani, serta kurangnya aktivitas fisik, dapat
meningkatkan risiko DKD. Faktor-faktor ini dapat memicu peradangan kronis,
stres oksidatif, dislipidemia, resistensi insulin, dan gangguan metabolisme
glukosa.

2.3 Faktor Resiko


Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Diabetic Kidney
Diseasea. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor
resiko antara lain:
1. Hipertensi dan prediposisi genetika
2. Kepekaan (susceptibility) Diabetic Kidney Diseasea

a. Antigen HLA (human leukosit antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor


genetika tipe antigen HLA dengan kejadian Diabetic
Kidney Disease. Kelompok penderita diabetes dengan
nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9
b. Glukose trasporter (GLUT)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5
mempunyai potensi untuk mendapat Diabetic Kidney
Disease.
10
3. Hiperglikemia
4. Konsumsi protein hewani
B. Dari kezia
C. Sebelum pengobatan agresif tekanan darah dan hiperglikemia meluas, antara
25% dan 40% pasien tipe 1 dan tipe 2 mengalami nefropati diabetik selama 25
tahun9,10,11 dan faktor risiko yang membedakan subkelompok ini dari pasien
yang mempertahankan tekanan darah normal fungsi ginjal adalah hipertensi
sistemik, kontrol glikemik, jenis kelamin (M>F), faktor genetik, hiperlipidemia,
asupan protein makanan dan merokok.

1. Blood pressure

Hypertension is much more common amongst diabetic patients than in the general
population and has been identified as a major risk factor for both macrovascular and
microvascular complications including diabetic nephropathy. Total cardiovascular
mortality in diabetes is strongly associated with raised blood pressure, particularly in type
2 disease.Hypertension is strongly associated with insulin resistance, even in the absence
of diabetes, and some 40-70% of type 2 patients will become hypertensive during their
disease12. Only 25% of patients with type 1 diabetes are hypertensive and many of these
will already have microalbuminuria or overt nephropathy13. Nevertheless, in both type 1
and type 2 diabetes with overt nephropathy the rate of decline of renal function correlates
strongly with hypertension14,15, and in microalbuminuric patients hypertension correlates
with the degree of albuminuria16. In both these situations antihypertensive therapy is
beneficial. Furthermore in normoalbuminuric type 1 diabetes small increases in blood
pressure have been correlated with the subsequent development of microalbuminuria17.
There can therefore now be little doubt that a raised blood pressure is a risk factor for the
development and progression of diabetic nephropathy as well as a potent risk factor for
cardiovascular morbidity and mortality.

2.Kontrol glikemik
Diabetes tipe 1 dan tipe 2 memiliki kesamaan keadaan hiperglikemia kronis, dan
proses ketergantungan glukosa kemungkinan besar terlibat dalam patogenesis
komplikasi diabetes, termasuk nefropati. Cedera jaringan yang disebabkan oleh
glukosa mungkin dimediasi oleh pembentukan protein terglikasi tingkat lanjut atau
melalui mekanisme lain seperti jalur poliol, yang keduanya terlibat dalam
nefropati18. Konsisten dengan hipotesis ini adalah penelitian observasional yang
menghubungkan konsentrasi hemoglobin A1c (HbA1c) dengan perkembangan dan
perkembangan mikroalbuminuria dan nefropati nyata17.
3. Proteinuria
Proteinuria umumnya dianggap sebagai penanda tingkat kerusakan glomerulus:
tingkat proteinuria berkorelasi baik dengan prognosis fungsi ginjal, dan intervensi
yang memperlambat perkembangan penyakit ginjal diabetik juga mengurangi
proteinuria. Namun, kita belum mengetahui apakah aliran protein melintasi
membran basal glomerulus secara kausal terlibat dalam evolusi penyakit ginjal
diabetik atau sekadar mencerminkan kerusakan glomerulus19.
4. Faktor genetik

11
Faktor genetik kemungkinan besar berperan penting dalam nefropati diabetik.
Minat baru-baru ini terfokus pada gen sistem renin angiotensin, yang diketahui
sangat polimorfik dan telah dipelajari secara ekstensif dalam kaitannya dengan
penyakit kardiovaskular. Polimorfisme penyisipan (1) / penghapusan (D) pada gen
ACE telah diidentifikasi yang sangat terkait dengan peningkatan kadar ACE dalam
sirkulasi dan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner pada individu
non-diabetes. Beberapa penelitian menemukan genotipe DD berhubungan dengan
peningkatan risiko nefropati diabetik dan penurunan GFR yang cepat pada diabetes
tipe 1 dan tipe 220. Implikasi klinisnya belum dieksplorasi. Lokus genetik lain
yang mungkin terlibat termasuk gen penukar natrium-litium dan gen antiporter
natrium-hidrogen.
5. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia umum terjadi pada diabetes tipe 1 dan tipe 2. Peningkatan
trigliserida plasma dan rendahnya tingkat lipoprotein densitas tinggi (HDL) telah
berkorelasi dengan perkembangan nefropati diabetik serta komplikasi diabetes
kardiovaskular9,21,22. Pengurangan trigliserida dan kolesterol, meskipun penting
dalam mengurangi risiko kardiovaskular, belum ditemukan mengubah
perkembangan penyakit ginjal dan pentingnya hiperlipidemia masih harus
dibuktikan dalam hal ini.

2.4 Patofisiologi

Pada diabetes tipe 1 dengan nefropati, terdapat hubungan yang jelas


antara tekanan arteri rata-rata (MAP) dan persentase peningkatan ekskresi
albumin urin tahunan. Pada pasien dengan hipertensi esensial, ginjal dapat
mentoleransi tekanan darah tinggi selama bertahun-tahun tanpa timbulnya
albuminuria. Namun, ginjal penderita diabetes sangat sensitif terhadap
peningkatan tekanan darah. Pada pasien tanpa penyakit ginjal, mikrosirkulasi
glomerulus dilindungi oleh resistensi preglomerulus yang tinggi terhadap
12
variasi tekanan darah sistemik. Pada pasien dengan Diabetes Nephropathy
(DN), terjadi vasodilatasi aferen (preglomerulus), dan sebagian besar tekanan
aorta ditransmisikan ke dasar pembuluh darah glomerulus, sehingga
meningkatkan tekanan glomerulus. Bahkan pada tekanan darah normal,
tekanan kapiler glomerulus meningkat dan terutama terlihat bila terdapat
hipertensi pada sirkulasi sistemik. Hal ini menjelaskan mengapa peningkatan
tekanan darah yang kecil sekalipun (masih dalam kisaran normal) dapat
berdampak buruk pada fungsi ginjal dan mengapa hipertensi memainkan peran
penting dalam perkembangan nefropati. Bukti peran penyebab hipertensi pada
nefropati diberikan oleh Parving et al. (30) dan Mogensen (31). Mereka
menunjukkan bahwa dengan mengurangi tekanan darah, hilangnya filtrat
dalam DN dapat ditunda. Analisis uji klinis jangka panjang menunjukkan
bahwa semakin rendah tekanan darah pada rentang nilai, semakin besar
pelestarian fungsi ginjal. Namun saat ini, menurunkan tekanan darah saja tidak
cukup. Mengurangi proteinuria menjadi semakin penting. Obat antihipertensi
yang mengurangi peningkatan proteinuria atau mengurangi proteinuria dari
tingkat awal setidaknya 30% memberikan perlambatan yang lebih besar
terhadap perkembangan penyakit ginjal dibandingkan dengan obat yang tidak
memiliki efek ini.

Glikolisis adalah jalur biokimia di mana glukosa dipecah oleh sel-sel


untuk menghasilkan energi. Pada lingkungan normoglikemik, yaitu pada
pasien tanpa diabetes, glikolisis berjalan sesuai dengan jalurnya tanpa beralih
ke jalur poliol, jalur heksosamin, atau jalur yang akan menghasilkan produk
AGE atau aktivasi PKC. Namun, pada lingkungan hiperlikemik, seperti yang
ditemukan pada pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2, kondisi tingginya
kadar glukosa menyebabkan aktivasi superoksida berlebih yang kemudian
menghambat enzim GADPH. Ini mencegah glikolisis berjalan sesuai dengan
jalurnya dan menciptakan penumpukan prekursor glikolisis. Kenaikan kadar
glukosa meningkatkan jalur poliol, sedangkan peningkatan kadar fruktosa-6-
fosfat meningkatkan jalur heksosamin. Peningkatan kadar gliseradehid-3-
fosfat meningkatkan prekursor AGE dan DAG, yang merupakan kofaktor
untuk aktivasi PKC.

13
DARI KEZIA

Diabetes, nama yang berasal dari buang air kecil yang banyak dan
melitus (artinya manis) menunjukkan kadar glukosa darah yang tidak
terkontrol. Akibat akhir dari hiperglikemia yang tidak terkontrol pada ginjal
adalah kematian nefron. Hal ini bermanifestasi dalam bentuk
glomerulosklerosis, fibrosis interstisial, dan atrofi tubulus, namun ada banyak
tonggak sejarah dan pemicu dalam perjalanannya. Fibrosis adalah titik akhir
dari perubahan mikro dan makroskopis selama bertahun-tahun yang
diakibatkan oleh lingkungan diabetes, seperti terlihat pada Gambar 1.
Permulaan keterlibatan ginjal pada kelainan ini adalah permulaan kadar
glukosa darah yang tidak terkontrol. Penulis akan membahas kerangka yang
bermula dari hiperglikemia, dan diakhiri dengan fibrosis ginjal.

Hiperfiltrasi
Hiperglikemia memulai efeknya pada ginjal dengan mengganggu kekuatan
osmotik. Kadar glukosa darah yang semakin tinggi menyebabkan osmolalitas kapiler
glomerulus semakin tinggi sehingga mengakibatkan tekanan glomerulus semakin tinggi.
Hal ini menghasilkan lebih banyak kekuatan keluar yang meningkatkan filtrasi
glomerulus. Awalnya, hal ini menghasilkan penghitungan eGFR yang sangat rendah
hingga normal berdasarkan filtrasi kreatinin yang lebih banyak dengan hiperglikemia.6
Hiperfiltrasi ini diperkirakan bersifat multifaktorial. Kemokin dan enzim seperti
ornithine decarboxylase, yang diproduksi sebagai respons terhadap hiperglikemia
14
(tercatat pada ginjal tikus dengan hiperglikemia), menyebabkan pembesaran ginjal
dengan peningkatan luas permukaan filtrasi per nefron.7,8 Obesitas, yang merupakan
bagian integral dari sebagian besar pasien dengan diabetes, dapat memperburuk
pembesaran ginjal dan hiperglikemia, sehingga memicu timbulnya cedera ginjal.4,9
Penurunan berat badan pada pasien DKD, melalui metode bedah atau non-bedah pada
model hewan, menunjukkan penurunan yang signifikan dalam laju penurunan eGFR.
Hipertensi intraglomerular, yang bersifat multifaktorial, juga merupakan predisposisi
terjadinya hiperfiltrasi. Pada banyak pasien diabetes, yang menderita hipertensi
sistemik,4,9 peningkatan tekanan intrabdomen akibat obesitas,10 dan peningkatan
tekanan osmotik di glomeruli akhirnya berkontribusi terhadap hal ini. Hiperglikemia dan
makanan kaya protein11 mengakibatkan produksi berbagai bahan kimia yang dapat
mengganggu umpan balik tubulus-glomerulus, dan meningkatkan vasokonstriktor lokal.
Mekanisme lain untuk hiperfiltrasi adalah peran ko-transporter natrium-glukosa 2
(SGLT2) yang ditemukan di tubulus berbelit-belit proksimal. Dengan kadar glukosa
darah suprafisiologis, terjadi peningkatan regulasi SGLT2, yang menghasilkan
pemanfaatan maksimal dari transporter ini. Reabsorpsi maksimal pada PCT
menyebabkan penurunan tekanan tubulus, menyebabkan lebih banyak filtrasi dari
pembuluh glomerulus.12 Selain itu, dengan reabsorpsi natrium dan glukosa maksimal,
terjadi penurunan pengiriman natrium distal yang mengaktifkan sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS).Keadaan hiper-aliran ini juga menyebabkan kebocoran
protein, yang memicu perubahan struktur nefron, yang mengakibatkan hipertrofi
mesangial yang terlihat pada ginjal pasien diabetes.Tindakan yang diambil untuk
mengendalikan hiperglikemia telah terbukti menghambat perkembangan DKD, infark
miokard, dan kematian.13 Oleh karena itu, antihiperglikemik menjadi landasan dalam
pengelolaan DKD.

Efek Hemodinamik dan Cedera Endotel


Hiperglikemia dan penurunan pengiriman natrium distal yang dibantu oleh SGLT2
menyebabkan aktivasi RAAS, menghasilkan vasokonstriksi arteriol eferen dan
vasodilatasi aferen, dan memperkuat hipertensi intraglomerular. Aktivasi RAAS
memperburuk hipertensi sistemik. Renin dengan sendirinya diketahui mengaktifkan
jalur sinyal mitogen activationed protein kinase (MAPK), sementara angiotensin II
secara langsung membantu fibrosis dengan meningkatkan produksi transforming growth
factor (TGF),14 faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), molekul adhesi sel,
faktor nuklir. jalur к B (NFкB), dan aktivasi reseptor mirip tol.15 TGF-β menjaga
pemeriksaan antara fibrosis dan peradangan, dan setiap ketidakseimbangan dalam
konsentrasi TGF-β menyebabkan kelainan di antara keduanya. TGF-β bertindak melalui
SMAD3 dan SMAD7. Yang pertama secara positif mengatur RNA non-coding untuk
mediator inflamasi dan fibrotik, sedangkan yang kedua berdampak negatif terhadapnya.
Angiotensin II juga merangsang produksi spesies oksigen reaktif (ROS) dan daya tarik
seluler inflamasi melalui aktivasi protein chemoattractant monosit 1 (MCP-1), reseptor
kemokin C-C 2 (CCR2; pada model tikus),16 dan ko-stimulasi NK dan T sel (pada
subjek manusia).17 Pada model hewan dan jaringan ginjal yang dikultur, aldosteron
diketahui memfasilitasi produksi fibroblas dengan memicu TGF-β/SMAD2,
fibronektin,18 menstimulasi reseptor faktor pertumbuhan turunan trombosit ditambah
EGFR melalui pensinyalan fosfoinositida 3-kinase/MAPK ,19 fosforilasi terminal
kinase c-Jun N,20 dan transisi epitel-mesenkimal.21 Hal ini juga meningkatkan ekspresi
penghambat aktivator plasminogen-1, mendorong lingkungan hiperkoagulabilitas.22

15
Angiotensin dan hiperglikemia memicu produksi endotelin, memperburuk
vasokonstriksi, peradangan, cedera podosit, nefrin shedding, dan fibrosis interstisial.

Perubahan Metabolik
Diabetes dikaitkan dengan disregulasi berbagai jalur metabolisme. Hiperglikemia
menyebabkan aktivasi jalur termasuk RHO/ROCK, hexosamine, pylol, produk akhir
glikasi lanjutan (AGE), dan protein kinase C (PKC), menghasilkan ROS yang lebih
tinggi, menghasilkan tingkat MAPK yang lebih tinggi, transduser sinyal JAK dan
aktivator transkripsi, dan NFкB,24 yang merupakan penghambat peradangan dan
fibrosis. MAPK dikaitkan dengan produksi matriks ekstraseluler dan cedera podosit.25
NFкB menandakan produksi molekul adhesi dan sitokin seperti protein kemoatraktan
makrofag MCP-1, IL-6, dan faktor nekrosis jaringan α.26 ROS juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada struktur seluler dengan mengoksidasi berbagai lipid, asam
nukleat, dan protein. Oksidasi lipid ini diperburuk dengan adanya obesitas dan diabetes
tipe 2, karena tingginya kandungan lipid

Hipoksia dan Stres Oksidatif


Hipoksia ginjal adalah ketidakmampuan suplai oksigen untuk memenuhi kebutuhan
ginjal. Hal ini berkorelasi langsung dengan suplai darah, sedangkan sebagian besar
kebutuhan bergantung pada aktivitas metabolisme di tubulus.
Hiperglikemia dapat menyebabkan stres oksidatif dan hipoksia dalam berbagai cara.
Vasokonstriksi yang diperantarai RAAS menyebabkan cedera iskemik, hiperglikemia
menyebabkan hiperfiltrasi dan hipertrofi tubulus serta mengaktifkan saluran SGLT2
secara berlebihan, yang menghabiskan lebih banyak adenosin trifosfat dan oksigen,
meninggalkan nefron dalam keadaan hipoksia. Ketidakseimbangan antara antioksidan
dan ROS merupakan penentu kuat percepatan kerusakan jaringan. Hiperglikemia kronis
juga memediasi ekspresi berlebih dan hiperaktivitas nikotinamida adenin dinukleotida
fosfat oksidase (NOX) 1, NOX2, NOX4, dan NOX5.26,27 Hal ini menghasilkan tingkat
ROS yang lebih tinggi, menyebabkan substrat toksin botulinum C3 terkait Ras dan
penipisan proses kaki yang dimediasi VEGF , apoptosis yang digerakkan oleh p53,
protein kinase C, dan ekspansi mesangial yang dimediasi oleh disintegrin dan
metalloprotease 17, dan pelepasan nitric oxide synthase, menyebabkan
vasokontraksi.26,27 Hipoksia ini juga menghasilkan faktor yang dapat diinduksi
hipoksia yang, dalam keadaan hiperglikemik, menjadi tidak stabil, 28 dan ketika
distimulasi secara kronis memicu efek profibrotik.29 Pada akhirnya, hal ini menjadi
lingkaran setan peradangan, cedera pembuluh darah, dan hipoksia lebih lanjut.

Peran Peradangan dan Sistem Komplemen

DKD memiliki banyak jalur yang saling bersilangan dalam menyebarkan proses
penyakitnya. Peradangan memainkan peran penting dalam patogenesis DKD. Diabetes
menggerakkan berbagai kaskade inflamasi melalui stres oksidatif, AGE, obesitas,
iskemia, dan sel-sel yang rusak,30 menghasilkan molekul inflamasi seperti NFкB,
domain pyrin keluarga NLR yang mengandung 3 (NLRP3)-linked caspases,31 IL-1B,
IL-6, dan IL-18. Peningkatan AGE ini terbukti berhubungan langsung dengan
peningkatan ekspresi protein terkait NLRP3, yang dianggap sebagai mediator penyakit
16
ginjal kronis,31 dengan peran dalam aktivasi sel mesangial. Protein terkait NLRP3
ditemukan di makrofag dan inflammasom dan telah dikaitkan dengan berbagai
gangguan inflamasi. Dalam berbagai model tikus, pelemahan NLPR3 membantu
mengurangi perkembangan penyakit ginjal kronis (CKD) dengan cara yang bergantung
pada dosis. Infiltrasi neutrofil dan makrofag, oksidasi lipoprotein, dan pengendapan
kompleks imun juga dapat terjadi.6 Dengan peradangan yang berkelanjutan ini terjadi
peningkatan produksi dan pengendapan protein amiloid A, yang juga dapat digunakan
sebagai penanda perkembangan penyakit.32 Sinyal CCR2 mendistorsi sitoskeleton aktin
dan stabilitas nefrin, sehingga merusak podosit.33 Promosi molekul adhesi simulasi sel
elektif yang dimediasi oleh hiperglikemia menyebabkan kelainan sambungan ketat, yang
mengakibatkan proteinuria.33
Selain itu, aktivasi sistem komplemen mempunyai dampak yang besar terhadap
perkembangan DKD. Perkembangan DKD telah dikaitkan dengan aktivasi komplemen
melalui lektin pengikat manosa dan aktivasi jalur lektin terkait ficolin dalam kaskade
komplemen. Hiperglikemia menyebabkan tingginya kadar zat terikat glikan dan
galaktosamin yang dikenali oleh reseptor ini.
Modifikasi genetis
Hiperglikemia dan dampaknya menyebabkan kerusakan DNA, dan menunjukkan efek
penuaan pada pasien diabetes dengan menyebabkan pemendekan telomer kromosom,35
mengakibatkan proteinuria dan perkembangan DKD.36 Kerusakan DNA mengaktifkan
berbagai kinase, termasuk mutasi ataksia-telangiektasis dan terkait Rad3, diikuti oleh
aktivasi p51 dan p21. Hal ini menghambat kinase 2 yang bergantung pada siklin,
menghambat fosforilasi protein retinoblastoma, yang penting untuk transkripsi DNA
yang dimediasi faktor transkripsi E2F. Penghambatan faktor transkripsi E2F ini
menyebabkan terhentinya siklus sel secara permanen.30

Perubahan epigenetik merupakan perubahan fungsi genom tanpa perubahan urutan


DNA. Hal ini terkait langsung dengan paparan yang diarahkan pada gaya hidup dan
pertemuan individu. Pada tikus dengan diabetes, perubahan epigenetik telah dicatat
setelah 5 minggu hiperglikemia. Metilasi DNA, modifikasi histon, dan RNA non-coding
adalah perubahan epigenetik utama.37 Asetilasi histon HG3K9 menyebabkan
peningkatan ekspresi AGT, salah satu komponen sistem RAAS,38 dan hipometilasi
pulau CpG (yang merupakan bagian dari beberapa wilayah pengatur genom )
menyebabkan perubahan pada gen Claudin-1, menghasilkan lebih banyak proteinuria.39
Metilasi H3K4me1 mendorong NFкB, RNA miRNA125b yang tidak mengkode,
mendorong ekspresi IL-6 dan MCP-1 dan aktivitas TGF-β yang dipimpin miRNA-192,
ditambah akumulasi kolagen .40 Hiperglikemia juga memicu aktivitas HDAC4, yang
mendeasetilasi transduser sinyal dan aktivator transkripsi 1, menghambat sifat autofagik
dalam podosit.41 Banyak perubahan epigenetik lainnya yang berperan dalam
mendorong stres oksidatif: misalnya hipometilasi CpG atau hiperasetilasi endapan histon
H3 p66Shc promosi, dan penghambatan SOD2 yang digerakkan oleh histone
demethylase 1 spesifik lisin dimetiltransferase

Hipermetilasi gen klotho pada pasien dan tikus dengan diabetes menghasilkan kadar
protein klotho yang lebih rendah.43 Hal ini menurunkan efek menguntungkan protein
klotho terhadap penuaan, kalsifikasi stres oksidatif, dan efek antifibrotik.
Perubahan Ginjal
17
Ginjal pada lingkungan penderita diabetes mengalami banyak perubahan, mulai dari
pembesaran ginjal awal hingga vasokonstriksi, cedera sel endotel dan tubulus, hingga
akhirnya fibrosis ginjal. Para penulis menjelaskan perubahan struktural tertentu dan
tempatnya dalam patogenesis ginjal diabetik di bawah ini
Perubahan Glomerulus
Perubahan paling awal pada DKD disebabkan oleh hiperfiltrasi di glomerulus,
menyebabkan penebalan dan kekakuan membran basal glomerulus akibat tekanan45 dan
pengendapan matriks ekstraseluler.46 Kedua, ekspansi mesangial terjadi karena
kebocoran protein, peradangan, dan kerusakan jaringan yang terus menerus. . Hal ini
semakin mengganggu ketepatan filtrasi glomerulus. Mesangiolisis menyebabkan
akumulasi matriks dan sisa-sisa sel, yang membentuk struktur nodular yang disebut
nodul Kimmelstiel dan Wilson.47 Kerusakan mesangial tambahan berakhir pada
glomerulosklerosis yang meluas. Perubahan vaskular dengan penebalan dinding
pembuluh darah dan hyalinosis juga merupakan gejala klasik DKD.
Cedera Podosit
Podosit adalah bahan pembangun sistem ginjal. Mereka adalah pengelola utama sistem
filtrasi. Cedera podosit telah terbukti menyerupai perubahan diabetes bahkan tanpa
adanya hiperglikemia,48 yang menunjukkan bahwa cedera podosit adalah kunci dalam
perkembangan DKD. Hiperglikemia, stres oksidatif, dan peradangan menyebabkan
penipisan podosit, penataan ulang aktin, peningkatan sambungan ketat, kelainan celah
diafragma, dan apoptosis. Pada model tikus, aktivasi target mamalia dari kompleks
rapamycin 1,49 protein terkait dinamin dalam mitokondria, nikotinamid adenin
dinukleotida fosfat oksidase, dan protein kinase teraktivasi AMP bertanggung jawab atas
perubahan ini.
Cedera Seluler dan Mitokondria
Tubulus ginjal, karena kebutuhan metabolismenya yang tinggi, kaya akan mitokondria.
Pasien dengan diabetes tercatat memiliki kelainan mitokondria, termasuk fragmentasi
mitokondria, penurunan adenosin trifosfat, peningkatan permeabilitas mitokondria, dan
pelepasan mitokondria paling cepat 4 minggu setelah hiperglikemia. Peroxisome
proliferator-activated receptor-gamma coactivator-1α adalah salah satu regulator utama
sintesis mitokondria, dan ekspresinya diubah di DKD.51 Subunit rantai transpor
elektron di mitokondria juga secara langsung dirusak oleh stres oksidatif yang terjadi
dengan hiperglikemia, yang menyebabkan hiperglikemia. memperburuk fungsi
metabolisme mitokondria51 melalui kerusakan DNA dan penurunan aktivitas
gliseraldehida 3-fosfat dehidrogenase. Hal ini menyebabkan pergeseran jalur glikolitik
ke jalur pilol dan heksosamin. Stres oksidatif yang diakibatkan menyebabkan penurunan
aktivitas protein kinase teraktivasi AMP, yang menyebabkan peradangan yang dimediasi
NFkB.
Fibrosis
Sayangnya, semua mekanisme di atas bergabung dan akhirnya mengakibatkan fibrosis
dan atrofi jaringan ginjal. Derajat fibrosis tubulointerstisial bahkan dapat menggantikan
lesi glomerulus dalam menentukan fungsi ginjal.52 Myofibroblast lokal, fibrosit yang
berasal dari sumsum tulang, dan transisi epitel ke mesenkim sebagai respons terhadap
kemokin diketahui menyebabkan efek ini. Gambar 2 menunjukkan beberapa efek ini.

18
2.5 Gambaran Klinik
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat
dibedakan dalam 5 tahap:

1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage) Secara klinik pada tahap ini


akan dijumpai: Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules
mencapai 20- 50% diatas niali normal menurut usia. Hipertrofi ginjal, yang
dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai poliuria.
Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min

2. Stadium II (Silent Stage) Ditandai dengan: Mikroalbuminuria normal atau


mendekati normal (<20ug/min). Sebagian penderita menunjukan penurunan
laju filtrasi glomerulus ke normal. Awal kerusakan struktur ginjal

3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage) Stadium ini ditandai dengan:


Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai
menurun Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan
eksresi protein 30-300mg/24j. Awal Hipertensi.

4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage) Stadium ini ditandai dengan:


Proteinuria menetap(>0,5gr/24j). Hipertensi. enurunan laju filtrasi
glomerulus.

5. Stadium V (End Stage Renal Failure)

Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan
dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk
sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai stadiumV.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Diabetic Kidney
Diseasea antara diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM).
Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat diagnosis
ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel dengan perbaikan status
metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan
prognosis yang buruk.

19
2.6 Diagnosis

Evaluasi Laboratorium untuk Penyakit Ginjal Diabetes melibatkan


sejumlah tes dan pengukuran diagnostik untuk menilai fungsi ginjal dan
mendeteksi keberadaan albuminuria, yang merupakan indikator utama
perkembangan penyakit ginjal diabetes. Tes ini meliputi pengukuran protein
dan kreatinin dalam urine selama 24 jam, yang dapat mengungkapkan
mikroalbuminuria (30 hingga 300 mg per 24 jam) atau makroalbuminuria (lebih
dari 300 mg per 24 jam), serta perhitungan klirens kreatinin secara simultan dan
estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR) menggunakan persamaan Kolaborasi
Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronis. Selain itu, biopsi ginjal dapat dilakukan
dengan menggunakan mikroskopi elektron untuk mengevaluasi ketebalan
membran dasar glomerulus, tetapi perlu diingat bahwa prosedur ini membawa
risiko komplikasi, terutama pendarahan. Pemeriksaan urine secara acak (mg
albumin per g kreatinin) dan pengumpulan urine berjangka waktu tertentu (mcg
albumin per menit) juga digunakan untuk mengukur tingkat proteinuria yang
dapat berkisar dari mikroalbuminuria hingga makroalbuminuria. Semua tes ini
penting untuk menilai sejauh mana keterlibatan ginjal dalam penyakit ginjal
20
diabetes dan memantau perkembangannya, dengan perlu diingat bahwa
pemantauan rutin dan tindak lanjut adalah kunci dalam mengelola kondisi ini
secara efektif.

Mikroalbuminuria adalah tanda awal yang dapat dideteksi dari Nefropati


Diabetik (DKD) dan didefinisikan sebagai peningkatan kadar albumin dalam
urine. American Diabetes Association merekomendasikan pemeriksaan tahunan
untuk albumin urine (rasio albumin/creatinine urine spot) dan estimasi laju
filtrasi glomerulus (eGFR) pada pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah
menderita diabetes selama setidaknya lima tahun, pada semua pasien dengan
diabetes tipe 2 sejak diagnosis, dan pada semua pasien dengan hipertensi
komorbid. Pemeriksaan mikroalbuminuria dapat dilakukan dengan tiga cara:
pengumpulan urine selama 24 jam dengan pengukuran klirens kreatinin yang
simultan, pengumpulan urine berjangka waktu tertentu (empat jam atau
semalam), atau pengukuran rasio albumin/creatinin dalam koleksi acak.
Pengumpulan urine acak seringkali menjadi metode yang lebih disukai karena
kemudahannya. Diagnosis mikroalbuminuria memerlukan dua dari tiga sampel
rasio albumin/creatinin urine yang diambil dalam periode tiga hingga enam
bulan menunjukkan hasil abnormal (30 mg albumin per g kreatinin hingga 300
mg albumin per g kreatinin). Makroalbuminuria (lebih dari 300 mg per g) pada
satu sampel urine dapat mengonfirmasi diagnosis dalam ketiadaan faktor yang
membingungkan. Pasien yang memiliki kadar albuminuria yang persisten dan
tinggi (300 mg per g atau lebih) memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengembangkan Penyakit Ginjal Stadium Akhir (ESRD). Selain pemeriksaan
albuminuria, pemeriksaan untuk DKD juga harus mencakup pengukuran serum
kreatinin dan eGFR. Diagnosis biasanya dilakukan secara klinis ketika pasien
memiliki bukti penyakit ginjal dan tidak ada etiologi utama lainnya. Rujukan
awal ke ahli nefrologi (pada Penyakit Ginjal Kronis tahap 3 atau 4) dapat
membantu meningkatkan hasil pengobatan DKD dan sebaiknya
dipertimbangkan.

Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan


visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria
diagnosis klasifikasi Diabetic Kidney Diseasea tahun 1983 yang praktis dan
sederhana. Diagnosis Diabetic Kidney Diseasea dapat dibuat apabila dipenuhi

21
persyaratan seperti di bawah ini:
1. DM
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu
tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan
plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl.(8)
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:

1. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak


khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi,
polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan,
luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens.(8)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pada Diabetic Kidney Diseasea didapatkan kelainan pada retina
yang merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan
Funduskopi, berupa :
1). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah
dalam kapiler retina.
2). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah
kapiler vena.
3). Eksudat berupa :
a). Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang
lama.
b). Cotton wool patches.
Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan dengan
iskhemia retina.
4). Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena
obstruksi kapiler.
5). Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan
permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
6). Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau
CRF end stage, didapatkan perubahan pada :
22
 Cor  cardiomegali
 Pulmo  oedem pulmo(3)
3. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria
satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.(8)

2.7 Penatalaksanaan
A. Diabetic Kidney Disease Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)
1. Pengendalian hiperglikemia

Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk


mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan
mikroangiopati.
a. Diet
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit
Endokrinologi & Metabolisme, misalnya reducing diet khusus
untuk pasien dengan obesitas. Variasi diet dengan pembatasan
protein hewani bersifat individual tergantung dari penyakit
penyerta :
 Hiperkolesterolemia

23
 Urolitiasis (misal batu kalsium)
 Hiperurikemia dan artritis Gout
 Hipertensi esensial

b. Pengendalian hiperglikemia
1). Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .
a). Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah
penimbunan toksin seluler (polyol) dan metabolitnya
(myoinocitol)
b). Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
c). Mencegah dan mengurangi glikolisis protein
glomerulus yang dapat menyebabkan penebalan
membran basal dan hilangnya kemampuan untuk seleksi
protein dan kerusakan glomerulus (permselectivity).
d). Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah
reabsorpsi glukosa sebagai pencetus nefomegali.
Kenaikan konsentrasi urinary N-acetyl-D-
glucosaminidase (NAG) sebagai petanda hipertensi
esensial dan nefropati.

e). Mengurangi dan menghambat stimulasi growth


hormone (GH) atau insulin-like growth factors (IGF-I)
sebagai pencetus nefromegali.
f). Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)
2). Obat antidiabetik oral (OADO)
Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien
dengan tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara
kepatuhan (complience). Pemilihan macam/tipe OADO
harus diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik
antara lain :
a). Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau
metabolitnya.
b). Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
c). Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth
24
muscle cell (ASMC).

d). Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.


2. Pengendalian hipertensi

Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan


berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat
antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko
efek samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan
lipid serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka
morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan
mencegah Diabetic Kidney Disease. Pemilihan obat antihipertensi
lebih terbatas dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting
(EAC)
a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)
Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat
mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan).

25
Gambar efek patologi angiotensin-II
b. Golongan antagonis kalsium
Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek
samping):
1) Efek inotrofik negatif
2) Efek pro-aritmia
3) Efek pro-hemoragik
Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non
dihydropiridine.
c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus
memperhatikan kondisi setiap pasien :

 Blokade -kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik


simpatetik minimal misal atenolol.
 Antagonis reseptor -II misal prozoasin dan doxazosin.
 Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra
indikati untnuk pasien yang sudah diketahui mengidap
infark miokard.
3. Mikroalbuminuria
a. Pembatasan protein hewani
Sudah lebih ½ abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah
protein (DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari
penyakit ginjal eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum
jelas.
Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB per
hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur

26
ginjal pada Diabetic Kidney Disease (ND) stadium dini
Hipotesis DRP untuk mencegah progresivitas kerusakan ginjal:
1) Efek hemodinamik
Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan
LFG, plasma flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan
hidrolik transkapiler, berakhir dengan penurunan tekanan
kapiler glomerulus (PGC = capillarry glomerular preessure)
2) Efek non-hemodinamik
 Memperbaiki selektivitas glomerulus
Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
menyebabkan transudasi circulating macromolecules
termasuk lipid ke dalam ruang subendotelial dan
mesangium. Lipid terutama oxidize LDL merangsang
sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan
sel-sel inflamasi terutama monosit dan makrofag.
 Penurunan ROS
Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam
dapat menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat
endositosis. Kenaikan konsentrasi Fe selular
menyebabkan pembentukan ROS.
 Penurunan hipermetabolisme tubular
Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang
masih utuh (intac), diikuti peningkatan transport Na+
dalam tubulus dan merangsang pertukaran Na+/H+.
DRP diharapkan dapat mengurangi energi untuk
transport ion dan akhirnya mengurangi
hipermetabolisme tubulus.
 Mengurangi growth factors & systemic hormones
Growth factors memegang peranan penting dalam
mekanisme progresivitas kerusakan nefron (sel-sel
glomerulus dan tubulus).
DRP diharapkan dapat mengurangi :
 Pembentukan transforming growth factor beta
(TGF- dan platelet-derived growth factors

27
(PDGF).
 Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1),
epithelial-derived growth factors (EDGF), Ang-II
(lokal dan sirkulasi), dan parathyroid hormones
(PTH).
3) Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi
Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai
terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium
non-dihydropiridine dapat mengurangi proteinuria disertai
stabilisasi faal ginjal.
B. Diabetic Kidney Disease nyata (overt diabetic nephropathy)
Manajemen Diabetic Kidney Disease nyata tergantung dari gambaran
klinis; tidak jarang melibatkan disiplin ilmu lain.

Gambar Guidelines tatalaksana farmakologi

28
Fungsi dan mekanisme kerja obat :

1. Metformin: Metformin adalah obat antidiabetik oral yang digunakan untuk


mengendalikan kadar gula darah pada diabetes tipe 2. Ini bekerja dengan
meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin, mengurangi produksi glukosa
oleh hati, dan menghambat penyerapan glukosa dari usus.
2. Insulin: Insulin adalah hormon yang digunakan untuk mengontrol kadar gula
darah. Pada diabetes tipe 1 dan beberapa kasus diabetes tipe 2 yang parah,
insulin diberikan sebagai obat suntikan untuk menggantikan atau menambah
produksi insulin tubuh.
3. Canagliflozin: Canagliflozin adalah obat antidiabetik yang termasuk dalam
kelas SGLT2 inhibitor. Ini bekerja dengan mengurangi penyerapan glukosa
oleh ginjal, sehingga meningkatkan pengeluaran glukosa melalui urin.
4. Dapagliflozin: Dapagliflozin juga merupakan SGLT2 inhibitor dengan
mekanisme kerja yang mirip dengan canagliflozin. Ini membantu mengurangi
penyerapan glukosa oleh ginjal.
5. Empagliflozin: Empagliflozin adalah obat SGLT2 inhibitor lainnya yang
digunakan untuk mengurangi kadar gula darah pada diabetes tipe 2 dengan
mengurangi penyerapan glukosa oleh ginjal.
6. Ertugliflozin: Ertugliflozin juga termasuk dalam kelas SGLT2 inhibitor dan
digunakan untuk mengendalikan diabetes tipe 2 dengan mengurangi
penyerapan glukosa oleh ginjal.
7. Exenatide: Exenatide adalah obat yang termasuk dalam kelas GLP-1 receptor
agonist. Ini meningkatkan produksi insulin oleh pankreas dan memperlambat
pengosongan lambung, sehingga mengurangi peningkatan gula darah setelah
makan.
8. Dulaglutide: Dulaglutide juga merupakan GLP-1 receptor agonist yang
digunakan untuk mengendalikan diabetes tipe 2. Ini meningkatkan produksi
insulin dan mengurangi penyerapan glukosa.
9. Liraglutide: Liraglutide adalah GLP-1 receptor agonist yang memiliki
mekanisme kerja serupa dengan exenatide dan dulaglutide.
10. Alogliptin: Alogliptin adalah obat antidiabetik yang termasuk dalam kelas
DPP-4 inhibitor. Ini membantu mengendalikan gula darah dengan
meningkatkan kadar hormon GLP-1 yang meningkatkan produksi insulin.

29
11. Linagliptin: Linagliptin juga merupakan DPP-4 inhibitor yang membantu
mengontrol diabetes dengan cara yang serupa dengan alogliptin.
12. Saxagliptin: Saxagliptin adalah DPP-4 inhibitor yang digunakan untuk
meningkatkan kontrol gula darah pada diabetes tipe 2.
13. Glimepiride: Glimepiride adalah obat antidiabetik oral yang bekerja dengan
merangsang pankreas untuk menghasilkan lebih banyak insulin dan membantu
tubuh mengontrol gula darah.
14. Glipizide: Glipizide adalah obat antidiabetik oral yang memiliki mekanisme
kerja serupa dengan glimepiride.
15. Glyburide: Glyburide adalah obat antidiabetik oral yang juga merangsang
pankreas untuk menghasilkan insulin dan mengendalikan gula darah.
16. Pioglitazone: Pioglitazone adalah obat yang bekerja dengan meningkatkan
sensitivitas sel terhadap insulin dan mengurangi produksi glukosa oleh hati.
17. Acarbose: Acarbose adalah obat yang menghambat enzim pencernaan dalam
usus, sehingga mengurangi penyerapan glukosa dari makanan.
18. Miglitol: Miglitol adalah inhibitor alpha-glukosidase yang mengurangi
penyerapan karbohidrat dari makanan di usus halus, membantu
mengendalikan gula darah pada diabetes tipe 2.

30
Gambar Guidelines tatalaksana DKD

Prinsip umum manajemen Diabetic Kidney Disease nyata :


1. Manajemen Utama (esensi)
a. Pengendalian hipertensi
1) Diet rendah garam (DRG)
Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari
penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan
hipertensi) dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi
yang lebih proten.
2) Obat antihipertensi
Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan
permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat Diabetic
Kidney Disease disertai penurunan faal ginjal,
permasalahan lebih rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum
pemilihan obat antihipertensi antara lain :
a) Efek samping misal efek metabolik
b) Status sistem kardiovaskuler.
 Miokard iskemi/infark
 Bencana serebrovaskuler
c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi
ginjal.
b. Antiproteinuria
1) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting
untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.
2) Obat antihipertensi
Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah
sistemik, tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai
potensi untuk mengurangi ekskresi proteinuria.
a) Penghambat EAC
Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat
EAC paling efektif untuk mengurangi albuminuria
dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya.
31
b) Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis
kalsium golongan nifedipine kurang efektif sebagai
antiproteinuric agent pada Diabetic Kidney Disease dan
nefropati non-diabetik.

c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium


non dihydropyridine.
Penelitian invitro dan invivo pada Diabetic Kidney
Disease (DMT) kombinasi penghambar EAC dan
antagonis kalsium non dihydropyridine mempunyai
efek.
3) Optimalisasi terapi hiperglikemia
Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi
normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin
atau obat antidiabetik oral (OADO).
2. Managemen Substitusi
Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis
lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan
mikroangiopati lainnya.
a) Retinopati diabetik
 Terapi fotokoagulasi
b) Penyakit sistem kardiovaskuler
 Penyakit jantung kongestif
 Penyakit jantung iskemik/infark
c) Bencana serebrovaskuler
 Stroke emboli/hemoragik
d) Pengendalian hiperlipidemia
Dianjrkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi
konsentrasi kolesterol-LDL.

C. Diabetic Kidney Disease tahap akhir (End Stage diabetic


nephropathy) Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetik
Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal sedikit
berlainan pada GGT diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor

32
indeks ko- morbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang
bersifat individual tergantung dari umur, penyakit penyertaa dan faktor
indeks ko-morbiditas.

33
BAB III
KESIMPULAN

1. Diabetic Kidney Diseasea adalah komplikasi Diabetes Mellitus pada ginjal


yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal.
2. Diagnosa Diabetic Kidney Diseasea ditegakkan apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. DM
b. Retinopati Diabetika
c. Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria
satu kali pemeriksaan piks kadarr kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
3. Manajemen Diabetic Kidney Diseasea tergantung pada presentasi klinis, yaitu
saat: Incipient diabetic nephropathy, Over diabetic nephropathy,atau End
stage diabetic nephropathy.

34
DAFTAR
PUSTAKA

1. Bachrun, T., Muchtar, F., Salam, S. H., & Palinrungi, A. S. (2023). Tatalaksana Syok
Sepsis Akibat Community Acquired Pneumonia dengan Penyulit Acute Kidney
Injury. UMI Medical Journal, 8(1), 1-13.
2. Kusuma, G. A., Nurdin, H., Salam, S. H., & Palinrungi, A. S. (2023). Renal
Replacement Therapy sebagai Intervensi Dini pada Tatalaksana Ketoasidosis
Diabetik. UMI Medical Journal, 8(1), 14-25.
3. Alamsyah, M. N., Suyoso, Y. P., & Mertha, I. W. (2021). KEGAWATDARURATAN
HIPERGLIKEMIA PADA PASIEN DIABETIC FOOT, DAN DIABETIC KIDNEY
DISEASEUM; TANTANGAN DIAGNOSIS DAN TERAPI. Proceeding Book
National Symposium and Workshop Continuing Medical Education XIV.
4. Kusuma, A. D. A., Mariam, D. A., & Nusadewiarti, A. (2023). Gagal Ginjal Kronik
dan Diabetes Mellitus tipe 2 pada Wanita usia 57 Tahun dengan Penatalaksanaan
Holistik Kedokteran Keluarga: Laporan Kasus. Medical Profession Journal of
Lampung, 13(3), 332-340.
5. Nur’aeny, N., & Wahyu Hidayat, I. (2020). Manifestasi dan Tata Laksana Lesi Mulut
Terkait Diabetes Mellitus (Tinjauan Pustaka).
6. Wulaniati, D. A., & Prasetyawati, D. (2023). Laporan Kasus: Seorang Permpuan
dengan Asites Nefrogenik dan Diabetes Mellitus Tipe 2. Proceeding Book Call for
Papers Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, 415-421.
7. Teo, G. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Hiperkalemia. Cermin
Dunia Kedokteran, 48(8), 305-310.
8. Giani, M. T., & Septian, M. R. (2022). Diagnosis dan Tata Laksana Nefritis Lupus.
Cermin Dunia Kedokteran, 49(12), 671-676.
9. Angie, E., Amir, W. P., Janice, J., & Nasution, S. A. (2022). Gambaran klinis dan
penatalaksanaan gagal ginjal kronik pada pasien rawat inap.
10. Suwandi, J. F., Angraini, D. I., & Putri, S. D. (2019). Maturity Onset Diabetes of the
Young (MODY): Diagnosa dan Tatalaksana. Jurnal Kedokteran Universitas
Lampung, 3(1), 226-231.

Anda mungkin juga menyukai