Anda di halaman 1dari 38

CASE REPORT

HUBUNGAN ANTARA TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


TERHADAP ULKUS DIABETIKUM

Pembimbing :
dr. A. Rofiq, M.Kes

Penyusun :
Gede Muliastawan 2019.04.2.0087
Sylviana The Wirianto 2017.04.2.0167

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi Sastropanola, Phys
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul case report “Hubungan Antara Terapi Oksigen Hiperbarik


terhadap “Ulkus Diabetikum” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter
Muda di bagian LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi Sastropanola, Phys
Surabaya.

Mengesahkan,
Dosen Pembimbing

Letkol Laut (K) dr.Akhmad Rofiq, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan case report dengan
topik “HUBUNGAN ANTARA TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
TERHADAP ULKUS DIABETIKUM” dengan lancar. Referat ini disusun
sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di
bagian LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi Sastropanola, Phys Surabaya,
dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
A. Letkol Laut (K) dr.Akhmad Rofiq, M.Kes
B. Para dokter di bagian LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi Sastropanola,
Phys Surabaya.
C. Para perawat dan pegawai di LAKESLA LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi
Sastropanola, Phys Surabaya.
Kami menyadari bahwa case report yang kami susun ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua
pihak sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 20 Juni 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………..ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………….iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………......iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Ulkus Diabetikum 3

2.1.1 Definisi 3

2.1.2 Etiologi 3

2.1.3 Faktor Resiko 4

2.1.4 Patofisiologi 5

2.1.5 Klasifikasi 7

2.1.6 Diagnosis 8

2.1.7 Penatalaksanaan 11

2.1.8 Pencegahan 15

2.1.9 Prognosis 15

2.2 Hiperbarik Oksigen 15

2.2.1 Definisi 15

2.2.2 Prinsip 17

2.2.3 Mekanisme 17

2.2.4 Indikasi 18

2.2.5 Kontraindikasi 19

2.2.6 Komplikasi 20

iv
2.3 Hubungan Terapi HBO terhadap Ulkus Diabetikum 20

BAB 3 LAPORAN KASUS 22

3.1 Identitas Penderita 22

3.2 Anamnesa Umum 22

3.3 Pemeriksaan Fisik 23

3.4 Pemeriksaan Penunjang 26

3.5 Diagnosa Kerja 26

3.6 Planning Terapi 27

BAB 4 KESIMPULAN 28

BAB 5 DAFTAR PUSTAKA 30

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi Ulkus Diabetikum ..................................................... 6


Gambar 2.2 Klasifikasi Ulkus Diabetikum......................................................... 8
Gambar 2.3 multiplace chamber ...................................................................... 16
Gambar 2.4 monoplace chamber .................................................................... 16
Gambar 3.1 Luka pasien setelah HBOT ke-13.............................................. 26
Gambar 3.2 Luka pasien setelah HBOT ke-19.............................................. 26

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyembuhan luka menjadi subjek penelitian yang menarik bagi
para ahli. Walaupun fisiologi dari penyembuhan luka itu sendiri sudah
banyak diketahui, masih ada beberapa prdebatan mengenai fase apa
yang paling menentukan keberhasilan penyembuhan luka. Dalam hal ini
berbagai metode untuk merangsang percepatan proses penyembuhan
luka salah satu nya adalah dengan menggunakan metode oksigen
hiperbarik (Sourabh & Gusruswamy, 2012).
Terapi oksigen hiperbarik adalah bernapas di lingkungan 100%
oksigen dengan tekanan lebih tinggi dari tekanan normal atmosfer
permukaan laut dalam sebuah ruang hiperbarik (Flood MS, 2007).Terapi
ini membantu meningkatkan kadar oksigen jaringan agar terjadi
penyembuhan luka, pembatasan edema, dan membunuh bakteri
anaerobik, sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kaki diabetic
(Kessler, et al., 2003).
Kaki diabetik merupakan salah satu penyebab utama gangguan
ekstremitas bawah pada 220 juta pasien diabetes melitus di seluruh dunia
(Kessler, et al., 2003) Kaki diabetik memiliki angka morbiditas 40- 80%,
mempunyai risiko infeksi tinggi, dan 14-20% pasiennya memerlukan
amputasiy (Yasa, 2014; Frykberg, et al., 2006) Semua penderita diabetes
melitus memiliki risiko kaki diabetik, tidak tergantung umur, jenis kelamin,
gejala, ataupun kontrol gula darah yang adekuat.
Kaki diabetik memerlukan waktu penyembuhan lama dan
penanganan multidisiplin yang komprehensif, mulai dari kontrol kadar gula
darah, perawatan harian lokal luka, terapi antibiotik, dan pembedahan
revaskulerisasi, namun sampai saat ini belum ada yang memuaskan
(Kessler, et al., 2003). Hal ini mendorong pencarian metode yang
merangsang percepatan penyembuhan luka, salah satunya dengan
metode oksigen hiperbarik (Guruswamy, et al., 2012).

1
Paparan dengan 100% oksigen dalam keadaan tekanan 2 sampai
3 kali atmosphere absolute (ATA), sehingga jaringan terinfeksi dan luka
akan terpapar dengan oksigen berkonsentrasi tinggi di dalam sebuah
ruang hiperbarik. Sehingga terapi ini membantu meningkatkan kadar
oksigen jaringan agar terjadi penyembuhan luka, pembatasan edema, dan
membunuh bakteri anaerobik, sehingga dapat digunakan untuk mengatasi
kaki diabetik (Kessler, et al., 2003).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Diabetikum


2.1.1 Definisi
Ulkus diabetikum adalah keadaan ditemukannya infeksi, tukak dan
atau destruksi ke jaringan kulit yang paling dalam di kaki pada pasien
Diabetes Mellitus (DM) akibat abnormalitas saraf dan gangguan pemb uluh
darah arteri perifer (Sudoyo, et al., 2009). Ulkus diabetic merupakan luka
terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiospati
sehingga terjadi vaskuler insusifensi dan neuropati, yang lebih lanjut
terdapat luka pada penderita yang sering tidak disarankan, dan dapat
berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun
anaerob (Widharto, 2007).

2.1.2 Etiologi
Beberapa etiologi yang menyebabkan ulkus/gangren diabetik
meliputi neuropati, penyakit arterial, tekanan dan deformitas kaki.
a. Neuropati disebabkan karena peningkatan kadar gula darah yang lama
sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik.6 Secara
keseluruhan, penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar
menderita atherosclerosis, terjadi penebalan membrane basalis
kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel (Frykberg, et al.,
2006).
b. Angiopati akan mengganggu aliran darah ke kaki; penderita dapat
merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu.
c. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah
atau neuropati. Ulkus diabetik bisa menjadi gangren kaki diabetik.
Penyebab gangren pada penderita DM adalah bakteri anaerob, yang
tersering Clostridium. Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut
gas gangren (Yasa, 2014).

3
2.1.3 Faktor Resiko
Faktor risiko terjadi ulkus diabetikum pada penderita penyakit DM
adalah (Flood, 2007):
a. Jenis kelamin
Laki-laki menjadi faktor predominan berhubungan dengan
terjadinya ulkus. Menurut Prastica dkk pasien ulkus diabetikum yang
diteliti di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang adalah laki-laki (56,3%).
b. Lama Penyakit Diabetes Melitus (DM).
Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang
lama. Keadaan hiperglikemia yang terus menerus menginisiasi
terjadinya hiperglisolia yaitu keadaan sel yang kebanjiran glukosa.
Hiperglosia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel
tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik DM. Seratus pasien penyakit DM
dengan ulkus diabetikum, ditemukan 58% adalah pasien penyakit DM
yang telah menderita penyakit DM lebih dari 10 tahun.
c. Neuropati
Neuropati menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan
otonom.Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki,
perubahan biomekanika kaki dan distribusi tekanan kaki terganggu
sehingga menyebabkan kejadian ulkus meningkat.
d. Peripheral Artery Disease
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di
ektremitas bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis
yang sering ditemui pada pasien PAD adalah klaudikasio intermitten
yang disebabkan oleh iskemia otot dan iskemia yang menimbulkan
nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan mencapai klimaks sebagai
ulserasi dan gangrene (Sudoyo, et al., 2009).

4
e. Luka timbul spontan atau karena trauma
Seperti kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat sepatu atau
sandal sempit dan bahan yang keras. Luka terbuka menimbulkan
bau dari gas gangren, dapat mengakibatkan infeksi tulang
(osteomielitis)

2.1.4 Patofisiologi
Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias,
yaitu: iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali
akan menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer berupa neuropati
sensorik, motorik, dan autonom.
a. Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan
sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan
termal, sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi
yaitu sensasi posisi kaki pada penderita diabetes juga hilang.
Sehingga penderita diabetes rentan mengalami luka yang tidak
disadari.
b. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan
penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas
khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki
menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan
tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.
c. Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan
peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus
kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki
rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena
penimbunan sorbitol dan fruktosa yang mengakibatkan akson
menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia, serta
menurunnya refleks otot dan atrofi otot.

5
Gambar 2.1 Patofisiologi Ulkus Diabetikum

Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi.


Hal ini disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi
jaringan yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki
menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau
tungkai.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika
intima (hiperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan
kapiler, sehingga aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis
yang mengakibatkan ulkus diabetikum.
Peningkatan HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit dan
pelepasan oksigen oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan
sirkulasi dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang

6
selanjutnya menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit meningkatkan agregasi eritrosit,
sehingga sirkulasi darah melambat dan memudahkan terbentuknya
trombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh darah yang akan
mengganggu aliran darah ke ujung kaki.
Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan
aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak di dalam pembuluh darah.
Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena
berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam
jangka lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan
berkembang menjadi ulkus kaki diabetes (Flood, 2007).
Pada pasien diabetes melitus apabila kadar glukosa darah tidak
terkendali menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi
kemotoksis lokasi radang terganggu, demikian pula fungasi fagositosis
dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar
untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis- bakteri intra seluler. Pada
pasien ulkus diabetes akan mudah mengalami infeksi akibat adanya
glukosa yang tinggi karena merupakan media pertumbuhan bakteri yang
subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetika yaitu kuman arobik
staphylococcus atau streptococcus serta kuman anaerob yaitu clostridium
perfringens, clostridium novy, dan clostridium septikum (Waspadji, 2011).

2.1.5 Klasifikasi
Saat ini ada beberapa klasifikasi derajat kaki diabetik, salah
satunya adalah klasifikasi Wagner yang dipakai secara luas. Klasifikasi
Wagner menggambarkan derajat luas dan berat ulkus, terdiri dari 6
tingkatan (Albert, 2008):
0 : Tidak ada luka terbuka, kulit utuh
1 : Ulkus superfisialis, terbatas pada kulit
2 : Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan
3 : Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses

7
4: Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada
ibu jari kaki, bagian depan kaki atau umit
5: Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki

Gambar 2.2 Klasifikasi Ulkus Diabetikum

2.1.6 Diagnosis
Diagnosis ulkus diabetikum merupakan gabungan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Dinh, et al., 2012; Boulton,
et al., 2005).
a. Anamnesis
Anamnesis pada pasien ulkus diabetikum fokus ke gejala neuropati
perifer, gejala insufisiensi arteri perifer, gejala sistemik, riwayat lesi,
riwayat diabetes pasien, serta penilaian faktor risiko.
Kecurigaan adanya diabetes mellitus perlu dipikirkan apabila
terdapat keluhan seperti:
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

8
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
3. Gejala-gejala neuropati perifer termasuk hipestesi, hiperestesi,
parestesi, disestesi, nyeri radikular dan anhidrosis. Keluhan terkait
neuropati perifer adalah (Dinh, et al., 2012)
a) Sering kesemutan
b) Nyeri kaki saat istirahat
c) Sensari sentuhan pada kulit berkurang
d) Rasa panas pada kulit
e) Kaki pucat
f) Ujung jari terasa dingin
g) Luka yang terasa nyeri

Faktor mengenai diabetes sebaiknya juga ditanyakan ke pasien,


riwayat diabetes, penggunaan obat, dan anamnesis mengenai faktor-
faktor risiko. Komplikasi lain diabetes juga sebaiknya ditanyakan seperti
fungsi renal (dialisa, transplan, pengecekan rutin), fungsi retina (gangguan
pengelihatan), dan fungsi kardiovaskular (stroke, gejala gagal jantung
kronis, gejala penyakit arteri coroner, dan lainnya) (Faries, et al., 2004).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada ulkus diabetikum sebaiknya menilai kondisi
ulkus yang ada, tanda neuropati perifer, tanda penyakit arteri perifer dan
deformitas kaki.
1. Pemeriksaan Ekstremitas
Lakukan pemeriksaan ekstremitas untuk mencari luka dan
deformitas, karena pasien terkadang tidak menyadari. Ulkus dapat
ditemukan di:
a) Area yang menopang beban seperti tumit/heel, area plantar
metatarsal, ujung-ujung jari kaki yang paling menonjol (jari kaki ke-1
atau ke-2), dan ujung hammer toes. Jangan lupa untuk memeriksa
area di antara jari-jari.

9
b) Area yang menanggung tekanan/stress seperti bagian dorsal hammer
toes (Dinh, et al., 2012).
Pemeriksaan fisik juga dapat menemukan kalus hipertrofik, kuku-
kuku rapuh, hammer toes, fisura, atau kaki Charcot (Dinh, et al., 2012).

2. Pemeriksaan Luka
Ulkus dapat dibagi menjadi dua; akut dan kronik. Ulkus akut dapat
dikategorikan disebabkan oleh dua hal yaitu abrasi dermal atau ulkus
plantar di daerah penopang beban. Ulkus diperiksa untuk drainase, bau,
ada/tidak jaringan granulasi, dan jaringan yang terekspos seperti tendon,
kapsul sendi, atau tulang. Periksa tanda-tanda inflamasi pada kaki, seperti
eritema, kehangatan, nyeri, edema, indurasi, dan cairan purulen.
Periksakan juga tanda-tanda sistemik seperti demam, hipotensi, atau
takikardia yang dapat menandakan infeksi sistemik (Soewondo, 2011).
Pasien juga perlu dilakukan pemeriksaan osteomyelitis, karena hal
ini dapat terjadi dengan atau tanpa gejala infeksi jaringan. Pada pasien
dengan ulkus kaki diabetekum, osteomyelitis dapat dicurigai pada luka
yang berukuran lebih dari 2 cm 2 dan kedalaman yang mencapai tulang
(sampai tulang terekspos atau pemeriksa dapat merasakan tulang saat
pemeriksaan dalam luka) (Boulton, et al., 2005).

3. Pemeriksaan Insufisiensi Arteri Perifer


Pemeriksaan fisik insufisiensi arteri perifer seringkali menunjukkan
nadi perifer yang tidak teraba atau berkurang. Periksa pulsasi perifer
dorsalis pedis yang dapat ditemukan pada lateral dari tendon extensor
halluces longus, dan tibia posterior, yang berada di atas dan di belakang
malleolus medial (Dinh, et al., 2012).
Pemeriksaan lain yang dapat menandakan insufisiensi arteri adalah
bruit yang terdengar di atas arteri iliaka/femoral, atrofi kulit, hilangnya
pertumbuhan rambut di pedis, sianosis jari-jari kaki, ulkus atau nekrosis
iskemik, dan warna pucat di kaki (Dinh, et al., 2012).

10
4. Pemeriksaan Neuropati Perifer
Saat evaluasi kondisi fisik kaki, sudah dapat terlihat tanda-tanda
neuropati perifer seperti claw toe atau kaki Charcot. Tanda lain juga
mencakup neuropati autonomik seperti kaki yang kering, scaly,
atau cracked. Tanda-tanda neuropati perifer adalah hilangnya sensasi
vibrasi dan posisi, hilangnya reflex tendon dalam (terutama
pemeriksaan ankle jerk), ulkus tropis, drop foot, atrofi otot, dan
pembentukan kalus yang berlebih. Neuropati perifer dapat dinilai
menggunakan pemeriksaan sensasi fibrasi, sensasi tekanan
(monofilamen), dan nyeri superfisial (pinprick) atau sensasi suhu (Dinh, et
al., 2012)
Pemeriksaan sensasi vibrasi dapat dilakukan menggunakan garpu
tala 128-Hz yang digunakan ke tonjolan tulang di jari kaki pertama. Tes ini
diperiksa di kedua kaki dan pasien diminta untuk melaporkan perbedaan
sensasi. Pemeriksaan sensasi vibrasi juga dapat dilakukan secara
kuantitatif menggunakan Biothesiometer (Soewondo, 2011).
Sensasi tekanan diperiksa menggunakan esthesiometer tekanan
monofilament (monofilament pressure esthesiometer) yang dapat menilai
secara kuantitatif batasan sensasi tekanan pasien. Pemeriksaan suhu
atau nyeri dapat diperiksa salah satu, tidak perlu diperiksa keduanya.
Tes pinprick menggunakan sebuah jarum diaplikasikan ke berbagai
bagian kaki, kemudian ditanyakan rasa sensasi pasien (Soewondo, 2011).

2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengelolaan ulkus diabetikum yaitu untuk mengakses
proses kearah penyembuhan luka secepat mungkin karena perbaikan dari
ulkus kaki dapat menurunkan kemungkinan terjadinya amputasi dan
kematian pasien diabetes. Secara umum pengelolaan UKD meliputi
penanganan iskemia, debridemen, penanganan luka, menurunkan
tekanan plantar pedis (off-loading), penanganan bedah, penanganan
komorbiditas dan menurunkan risiko kekambuhan serta pengelolaan
infeksi (Langi, 2011)

11
a. Penanganan iskemia
Perfusi arteri merupakan hal penting dalam proses penyembuhan
dan harus dinilai awal pada pasien ulkus diabetikum. Penilaian kom-
petensi vaskular pedis pada ulkus diabetikum seringkali memerlukan
bantuan pemeriksaan penunjang seperti MRI angiogram, doppler maupun
angiografi. Pemeriksaan sederhana seperti perabaan pulsasi arteri
poplitea, tibialis posterior dan dorsalis pedis dapat dilakukan pada kasus
ulkus diabetikum kecil yang tidak disertai edema ataupun selulitis yang
luas. Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh bahkan dapat
menyerang tempat lain di kemudian hari bila penyempitan pembuluh
darah kaki tidak diatasi (Langi, 2011).
Bila pemeriksaan kompetensi vaskular menunjukkan adanya
penyumbatan, bedah vaskular rekonstruktif dapat meningkatkan prognosis
dan selayaknya diperlukan sebelum dilakukan debridemen luas atau
amputasi parsial. Beberapa tindakan bedah vaskular yang dapat dilakukan
antara lain angioplasti transluminal perkutaneus (ATP), tromboarterektomi
dan bedah pintas terbuka (by pass). Berdasarkan penelitian,
revaskularisasi agresif pada tungkai yang mengalami iskemia dapat
menghindarkan amputasi dalam periode tiga tahun sebesar 98%. Bedah
bypass dilaporkan efektif untuk jangka panjang. Kesintasan (survival rate)
dari ekstremitas bawah dalam 10 tahun pada mereka yang memakai
prosedur bedah bypass lebih dari 90%. Penggunaan antiplatelet ditujukan
terhadap keadaan insufisiensi arteri perifer untuk memperlambat
progresifitas sumbatan dan kebutuhan rekonstruksi pembuluh darah
(Langi, 2011).
b. Debridemen
Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua
jaringan nekrotik, karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat
jaringan nonviable, debris dan fistula. Tindakan debridemen juga dapat
menghilangkan koloni bakteri pada luka. Saat ini terdapat beberapa jenis
debridemen yaitu autolitik, enzimatik, mekanik, biologik dan tajam (Langi,
2011).

12
Debridemen dilakukan terhadap semua jaringan lunak dan tulang
yang nonviable. Tujuan debridemen yaitu untuk mengevakuasi jaringan
yang terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat
mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta
mengurangi risiko infeksi lokal. Debridemen yang teratur dan dilakukan
secara terjadwal akan memelihara ulkus tetap bersih dan merangsang
terbentuknya jaringan granulasi sehat sehingga dapat mempercepat
proses penyembuhan ulkus (Langi, 2011).
c. Perawatan luka
Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound
healing atau menjaga agar luka senantiasa dalam keadaan lembab. Bila
ulkus memroduksi sekret banyak maka untuk pembalut (dressing)
digunakan yang bersifat absorben. Sebaliknya bila ulkus kering maka
digunakan pembalut yang mampu melembabkan ulkus. Bila ulkus cukup
lembab, maka dipilih pembalut ulkus yang dapat mempertahankan
kelembaban (Langi, 2011).
Disamping bertujuan untuk menjaga kelembaban, penggunaan
pembalut juga selayaknya mempertimbangkan ukuran, kedalaman dan
lokasi ulkus. Untuk pembalut ulkus dapat digunakan pembalut
konvensional yaitu kasa steril yang dilembabkan dengan NaCl 0,9%
maupun pembalut modern yang tersedia saat ini. Beberapa jenis pembalut
modern yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid,
hydrogel, calcium alginate, foam dan sebagainya. Pemilihan pembalut
yang akan digunakan hendaknya senantiasa mempertimbangkan cost
effective dan kemampuan ekonomi pasien (Langi, 2011).
d. Menurunkan tekanan pada plantar pedis (off-loading)
Tindakan off-loading merupakan salah satu prinsip utama dalam
penatalaksanaan ulkus kronik dengan dasar neuropati. Tindakan ini
bertujuan untuk mengurangi tekanan pada telapak kaki. Tindakan off-
loading dapat dilakukan secara parsial maupun to tal. Mengurangi tekanan
pada ulkus neuropati dapat mengurangi trauma dan mempercepat proses
penyembuhan luka. Kaki yang mengalami ulkus harus sedapat mungkin

13
dibebaskan dari penekanan. Sepatu pasien harus dimodifikasi sesuai
dengan bentuk kaki dan lokasi ulkus. Metode yang dipilih untuk off-loading
tergantung dari karakteristik fisik pasien, lokasi luka, derajat keparahan
dan ketaatan pasien. Beberapa metode off loading antara lain: total non-
weight bearing, total contact cast, foot cast dan boots, sepatu yang
dimodifikasi (half shoe, wedge shoe), serta alat penyanggah tubuh seperti
cruthes dan walker (Langi, 2011).
e. Penanganan bedah
Jenis tindakan bedah tergantung dari berat ringannya ulkus
diabetikum. Tindakan elektif ditujukan untuk menghilangkan nyeri akibat
deformitas seperti pada kelainan spur tulang, hammertoes atau bunions.
Tindakan bedah profilaktif diindikasikan untuk mencegah terjadinya ulkus
atau ulkus berulang pada pasien yang mengalami neuropati de ngan
melakukan koreksi deformitas sendi, tulang atau tendon. Bedah kuratif
diindikasikan bila ulkus tidak sembuh dengan pera watan konservatif,
misalnya angioplasti atau bedah vaskular. Osteomielitis kronis merupakan
indikasi bedah kuratif. Bedah emergensi adalah tindakan yang paling se-
ring dilakukan, dan diindikasikan untuk menghambat atau menghentikan
proses infeksi, misalnya ulkus dengan daerah infeksi yang luas atau
adanya gangren gas. Tindakan bedah emergensi dapat berupa amputasi
atau debridemen jaringan nekrotik (Langi, 2011).
f. Penanganan komorbiditas
Diabetes merupakan penyakit sistemik multiorgan sehingga
komorbiditas lain harus dinilai dan dikelola melalui pendekatan tim
multidisiplin untuk mendapatkan hasil yang optimal. Komplikasi kronik lain
baik mikro maupun makroangiopati yang menyertai harus diidentifikasi
dan dikelola secara holistik. Kepatuhan pasien juga merupakan hal yang
penting dalam menentukan hasil pengobatan (Langi, 2011).

14
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari
amputasi kaki. Pasien diajarkan untuk memperhatikan kebersihan kaki,
memeriksa kaki setiap hari, menggunakan alas kaki yang tepat, meng-
obati segera jika terdapat luka, pemeriksaan rutin ke podiatri, termasuk
debridemen pada kapalan dan kuku kaki yang tumbuh ke dalam. Sepatu
dengan sol yang mengurangi tekanan kaki dan kotak yang melindungi kaki
berisiko tinggi merupakan elemen penting dari program pencegahan
(Langi, 2011).

2.1.9 Prognosis
Lebih rendah (1,5-3,5%) pada orang muda dan lebih tinggi (5-10%)
pada orang tua. Sekitar 14-24% pasien UKD akan memerlukan amputasi,
dengan angka rekurensi 50% setelah tiga tahun (Langi, 2011).
Kesintasan (survival rate) setelah amputasi ekstremitas bagian
bawah pada individu diabetes lebih rendah dibandingkan individu
nondiabetes. Mortalitas lima tahun paska amputasi sekitar 68%, dan
angka harapan hidup lebih rendah pada pasien dengan tingkat amputasi
yang lebih tinggi. Di Indonesia angka kematian dan angka amputasi masih
tinggi, masing-masing sebesar 16% dan 25% (RSUPCM tahun 2003),
sebanyak 14,3% akan meninggal setahun paska amputasi, dan sebanyak
37% meninggal dalam tiga tahun paska amputasi (Langi, 2011).

2.2 Hiperbarik Oksigen


2.2.1 Definisi
Terapi oksigen hiperbarik adalah penggunaan 100% oksigen pada
tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Pasien akan menghirup
100% oksigen secara bertahap bersamaan dengan peningkatan tekanan
kamar terapi menjadi lebih dari 1 atmosfer absolut (ATA) (Guruswamy, et
al., 2012).
Untuk keberhasilan klinis, the Undersea and Hyperbaric Medical
Society menetapkan tekanan harus lebih atau setara dengan 1.4 ATA.
Dalam pelatihan terapi, tekanan biasanya diberikan dengan rentang dari 2

15
hingga 3 ATA. Terapi di lakukan pada multiplace chambers atau pada
monoplace chambers. Di dalam monoplace chamber, seorang pasien
bernafas dengan oksigen murni yang terkompresi. Di dalam multiplace
chamber, beberapa pasien dipaparkan terhadapa udara bertekanan
secara bersama-sama sementara masing-masing pasien bernafas dengan
oksigen murni melalui masker wajah, hood, atau endotracheal tube.
Tergantung dari indikasi , pasien dapat di terapi hingga 3 sesi Hyperbaric
oxygen therapy (HBOT) dalam sehari. Dalam perawatan luka, Hyperbaric
oxygen therapy (HBOT) digunakan sebagai tambahan untuk perawatan
luka standar, dan sesuai protocol melibatkan Hyperbaric oxygen therapy
(HBOT) selama 1.5 hingga 2 jam per terapi untuk terapi sebanyak 20
hingga 40 dan bahkan bisa mencapai hingga 60 kali terapi (Lam, et al.,
n.d.).

Gambar 2.3 multiplace chamber

Gambar 2.4 monoplace chamber

16
2.2.2 Prinsip
Kebanyakan aplikasi kondisi hiperbarik dan HBOT diperoleh
langsung dari prinsip-prinsip dan hukum fisika yang berkembang berabad-
abad (Raveenthiraraja & Subha, 2013).
a. Hukum Boyle, teori kondisi penekanan pada temperature yang
konstan, volume dari gas berbanding terbalik dengan tekanan
b. Hukum Dalton, hukum tentang tekanan partial menyatakan bahwa
tekanan dari campuran gas dapat disamakan dengan penjumlahan
dari tekanan parsial gas-gas penyusunnya
c. Hukum Henry, menjelaskan patogenesis dari Decompression
Sickness dan peran dari hiperbarik oksigen dalam terapinya

2.2.3 Mekanisme
a. Efek tekanan
mengurangi volume gelembung gas membuatnya bergerk bebas
melalui pembuluh darah kecil yang mengurangi kemungkinan infark. Efek
ini berguna pada gas embolism and decompression sickness
(Raveenthiraraja & Subha, 2013)
b. Efek peningkatan tekanan oksigen
Pemberian oksigen tekanan tinggi mempercepat eleminasi gas
beracun seperti carbon monoxide (Raveenthiraraja, 2013).
c. Efek vasokonstriksi
HBO bertindak sebagai alpha- adrenergic agent menyebabkan
vasoconstriksi pada pembuluh darah kecil maka mengurangi
vascularoedema tanpa memengaruhi oksgenasi jaringan normal. Hal ini
membantu dalam managemen dari crush injuri yang berat dan luka bakar
(Raveenthiraraja & Subha, 2013).
d. Efek antibakterial
Kebanyakan mekanisme pertahanan antibacterial bergantung pada
oksigen , HBO mengoptimalkan kemampuan anti-infeksi dari
polymorphonuclear neutrophil melalui pembentukan enzim dan
superoxide ions (Raveenthiraraja & Subha, 2013).

17
e. Efek anti sistemik
HBO terapi menghasilkan peningkatan oksigen terlarut dalam darah
dan juga meningkatkan deformability dari sel darah merah, yang membuat
mereka dapat menunju jaringan iskemik (Raveenthiraraja & Subha, 2013).
f. Efek penyembuhan
HBO memicu pertumbuhan osteoclast dan osteoblast ,
memfasilitasi sintesis kolagen, stimulasi angiogenesis yang berguna untuk
terapi dari lesi refrakter, osteoradionecrosis, extensive burns dan
compromised grafts (Raveenthiraraja & Subha, 2013).

2.2.4 Indikasi
Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) pilihan terapi yang efisien untuk
meningkatkan perkembangan banyak penyakit terutama penyakit yang
berhubungan dengan kondisi hipoksia, dan secara klninis telah di dirikan
sebagai wide-used therapy untuk pasien dengan keracunan cabon
monoxide, decompression sickness, arterial gas embolism, problematic
wound, dan lainya (Yun, et al., 2018).
HBO: Medicare approved berdasarkan ICD-9 (Howard, et al.,
2013):
1. Acute carbon monoxide intoxication, (ICD-9-CM diagnosis 986).
2. Decompression illness, (ICD-9-CM diagnosis 993.2, 993.3).
3. Gas embolism, (ICD-9-CM diagnosis 958.0, 999.1).
4. Gas gangrene, (ICD-9-CM diagnosis 0400).
5. Acute traumatic peripheral ischemia. (ICD-9-CM diagnosis 902.53,
903.01, 903.1, 904.0, 904.41.)
6. Crush injuries and suturing of severed limbs. (ICD-9- CM diagnosis
927.00- 927.03, 927.09–927.11, 927.20–927.21, 927.8–927.9,
928.00–928.01, 928.10–928.11, 928.20–928.21, 928.3, 928.8–
928.9, 929.0, 929.9, 996.90- 996.99.)
7. Progressive necrotizing infections (necrotizing fasciitis), (ICD-9-CM
diagnosis 728.86).

18
8. Acute peripheral arterial insufficiency, (ICD-9-CM diagnosis 444.21,
444.22, 444.81).
9. Preparation and preservation of compromised skin grafts. (ICD-
9CM diagnosis 996.52; excludes artificial skin graft).
10. Chronic refractory osteomyelitis, tidak merespon terhadap
conventional medical dan managemen pembedahan, (ICD-9-CM
diagnosis 730.10–730.19).
11. Osteoradionecrosis sebagai tambahan untuk conventional
treatment, (ICD-9-CM diagnosis 526.89)
12. Soft tissue radionecrosis sebagai tambahan untuk conventional
treatment, (ICD-9-CM diagnosis 990).
13. Cyanide poisoning, (ICD-9-CM diagnosis 987.7, 989.0).
14. Actinomycosis, hanya sebagai tambahan untuk conventional
therapy jika penyakit refrakter terhadap antibiotik dan terapi
pembedahan (ICD-9-CM diagnosis 039.0–039.4, 039.8, 039.9).

2.2.5 Kontraindikasi
1. Absolut : -Pneumothorax yang belum dirawat, kecuali bila sebelum
pemberian oksigen hiperbarik dapat dilakukan tindakan
bedah untuk mengatasi pneumothorax (Rijadi S, 2016)

2. Relatif (Rijadi S, 2016) :


a. Infeksi saluran nafas atas
b. Sinusitis kronis
c. Penyakit kejang
d. Emphysema with CO2 retention
e. Panas tinggi tak terkontrol
f. Riwayat pnemotorak spontan
g. Kerusakan paru asimptomatis pada chest X-ray
h. Riwayat operasi dada/ telinga
i. Infeksi virus
j. Neruitis optik

19
2.2.6 Komplikasi
Komplikasi dari HBO antaralain (Rijadi S, 2016):
1. Barotrauma telinga
2. Barotrauma sinus/paranasal
3. Barotrauma gigi
4. Barotrauma paru
5. Keracunan Oksigen
6. Hyperoxic myopia
7. katarak
8. Myopia reversible

2.3 Hubungan Terapi HBO terhadap Ulkus Diabetikum


HBO memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside ( NO)
pada sel endotel. Padas sel endotel ini HBO juga meningkatkan vascular
endotel growth factor (VEGF). Melalui siklus krebs terjadi peningkatan
nucleotide acid dihidro (NADPH) yang memicu peningkatan fibroblast.
Fibroblast diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersamadengan
VEGFakan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu
tahapan dalam penyembuhan luka (Flood, 2007).
Mekanisme diatas berhubungan dengan salah satu manfaat utama
HBO yaitu untuk wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh
yang mengalami edema dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal
bebas dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami kondisi
hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast yang akan
mendorong terjadinya vasodilatasi padadaerah edema tersebut. Maka
kondisi daerah luka tersebut menjadi hipervaskular, hiperseluler dan
hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi
peningkatan IFN-ˠ, i-NOS dan VEGF. IFN-ˠ menyebabkan TH-1 meningkat
yang berpengaruh pada β-cell sehingga terjadi peningkatan ig-G. Dengan
meningkatnya ig-G, efek fagositosis leukosit juga meningkat. Sehingga

20
pemberian HBO pada luka akan berfungsi menurunkan infeksi dan edema
(Flood, 2007).
Adapun cara HBO pada prinsipnya adalah diawali dengan
pemberian O2 100% tekanan 2-3 atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan
dengan pengobatan decompression sickness. Maka akan terjadi
kerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luka. Kondisi ini
akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, peningkatan
leukosit killing. Serta angiosintesis yang menyebabkan neovaskularisasi
jaringan luka. kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan aliran
darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat mengakibatkan daerah
yang mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai responsnya,
akan terjadi peningkatan NO hingga 4-5 kali dengan diiringi
pemberianoksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Terapi ini paling
banyak dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dimana memiliki
luka yang sukar sembuh karena buruknya perfusi perifer dan oksigenasi
Jaringan di daerah lukanya (Flood, 2007).
Indikasi-indikasi lain dilakukannya Terapi HBO adalah untuk
mempercepat penyembuhan penyakit, luka akibat radiasi, cedera
kompresi, osteomyelitis, intoksikasi karbon monoksida, emboli udara,
ganggren, infeksi jaringan lunak yang sudah nekrotik, skin graft dan flap,
luka bakar, abses intrakranial dan anemia (Flood, 2007).

21
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : Ny. S
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Surabaya
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 11 Juni 2019

3.2 Anamnesa Umum


1. Keluhan Utama
Luka pada kaki kanan yang tidak kunjung sembuh
2. Keluhan Tambahan
Kesemutan dan mati rasa di kedua tangan dan
kaki, penglihatan kabur di mata kanan dan kiri, sering
kencing dan merasa haus
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan luka pada kanan yang tidak
kunjung sembuh sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya
punggung kaki kanan pasien kejatuhan odol lalu
memerah, bengkak, dan semakin bertambah parah. 5
hari kemudia luka pasien pecah dan mengeluarkan
nanah. Setelah itu pasien datang ke RSAL untuk berobat.
Di RSAL pasien dirawat inap selama 1 minggu, pasien
diberikan obat DM dan dilakukan perawatan luka.
Setelah keluar dari rumah sakit pasien dirujuk ke HBO
untuk terapi lanjutan. Pasien sudah 13 kali terapi HBO,
dan mengatakan luka di kakinya mengalami perbaikan.

22
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- DM (+) 10 tahun sejak 2009
- HT (+) 10 tahun sejak 2009
- Penyakit jantung disangkal
- Alergi disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- DM disangkal
- HT disangkal
- Penyakit jantung disangkal
- Alergi disangkal
6. Riwayat Penggunaan Obat
- Insulin 2 x 1
- Obat Hipertensi (pasien lupa namanya) 1 x 1
- Obat rawat luka: Nebacetin dan Gentamisin Sulfat

7. Riwayat Psikososial
- Pasien rutin suntik insulin dan minum obat
- Pasien rutin kotrol ke dokter bulan sekali
- Pasien mengurangi gula
- Riwayat minum alkohol (-), merokok (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis, GCS: 4-5-6

2. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 121x/menit, reguler
Pernafasan : 26x/menit
Suhu : 37,6 oC

23
3. Kulit, Rambut, Kuku
Turgor : normal
Rambut : normal (+)
Kuku : CRT < 2 detik

4. Kepala
A/I/C/D : -/-/-/-
Mata : dbn
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : pucat (-/-)
Sklera : ikterus (-/-)
Pupil : bulat, isokor
Telinga : daun telinga simetis, sekret (-/-)
Hidung : deviasi septum nasi (-)
perdarahan (-)
sekret (-)
Mulut : hyperemia (-), perdarahan (-)
Gusi : hyperemia (-), perdarahan (-)
Faring : hyperemia (-)
Kulit : peteki (-)

5. Leher
Kaku kuduk : (-)
Kelenjar limfe : pembesaran (-)
Deviasi trakea : (-)
Tiroid : pembesaran (-)
Bendungan JVP : (-)

6. Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

24
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Auskultasi : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo
Inspeksi:
Bentuk thorax normochest, simetris
ICS tidak melebar, dbn
Penggunaan otot bantu pernafasan (-)
Palpasi : Pergerakan simetris
Fremitus raba simetris
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : ves/ves, wh (-), rh (-)

7. Abdomen
Inspeksi : dbn
Auskultasi : dbn
Palpasi : dbn
Perkusi : dbn

8. Punggung
Flank pain : (-)

9. Ekstremitas
Akral hangat : superior (+/+) inferior (+/+)
Edema : superior (-/-) inferior (-/-)
Eritema : superior (-/-) inferior (-/-)
Clubbing finger : superior (-/-) inferior (-/-)
Dorsum Pedis (D) : Tampak luka terbuka dengan ukuran
10 cm x 5cm, tepi tidak rata, dengan dasar jaringan
kemerahan, granulasi dan otot, tampak jaringan kehitaman,
berbau.

25
.

Gambar 3.1 Luka pasien setelah HBOT ke-13

Gambar 3.2 Luka pasien setelah HBOT ke-19


3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium:
Kadar GDA Sebelum terapi HBO : 192 mg/dl

3.5 Diagnosa Kerja


DM tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetikum

26
3.6 Planning
Medikamentosa :
- Insulin Humalog 2 x 1
- Amlodipine tab 10 mg 1 x 1
Non Medikamentosa :
- Edukasi pasien mengenai Diabetes melitus
- Diet Diabetes Melitus
- Terapi adjuvant HBOT
- Edukasi tatacara rawat luka gangrene

27
BAB 4
KESIMPULAN
Ulkus diabetikum adalah keadaan ditemukannya infeksi,
tukak dan atau destruksi ke jaringan kulit yang paling dalam di kaki
pada pasien Diabetes Mellitus (DM) akibat abnormalitas saraf dan
gangguan pembuluh darah arteri perifer, Ulkus diabetic merupakan
luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi
makroangiospati sehingga terjadi vaskuler insusifensi dan neuropati,
yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita dan dapat berkembang
menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob
(Suyono S., 2009).
Penyebab dari kaki diabeti dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya faktor neuropathy, dimana pasien diabetes sering
mengalami gangguan fungsi sensoris atau sensasi nyeri pada kaki,
sehingga pasien diabetes tidak menyadari adanya luka, dan hal inilah
yang memicu terjadinya ulkus pada pasien diabet, yang kedua yaitu
factor angiopathy, dimana pada penderita diabet terjadi hambatan
pada aliran pembuluh darah (angiopathy) yang mengakibatkan suplai
makanan ke jaringan atau sel terhambat sehingga bisa
mengakibatkan terjadinya nekrosis jaringan dan timbulnya ulkus
diabetikum, factor ketiga yaitu infeksi, dimana pada pasien diabetes,
akibat dari kurangnya suplai darah ke organ mengakibatkan organ
tersebut nekrosis hal tersebut nantinya akan dimanfaatkan oleh
bakteri anaerob untuk berkembang biak, sehingga nantinya akan
timbul gangrene (Waspadji,2006).
Upaya pengobatan pada kaki diabetik terdiri dari pengobatan
primer dan pengobatan sekunder, dimana pada pengobatan primer di
fokuskan pada pencegahan progresifitas dari ulkus diabetik
sedangkan pengobatan sekunder difokuskan untuk mencegah
kecacatan akibat ulkus diabetikum. Salah satu upaya medis untuk
mengobati luka akibat penyakit diabetes melitus adalah dengan terapi
hiperbarik oksigen bertekanan tinggi (HBOT) ( Bhutani S, 2012)

28
Menurut penelitian sebelumnya terapi ini bisa digunakan
sebagai terapi ajuvan untuk mempercepat penyembuhan luka,
menurunkan kebutuhan amputasi, dan meningkatkan kesembuhan
luka secara sempurna, hal ini dikarenakan efektivitas terapi hiperbarik
dalam proses angiogenesis, dan pembentukan sebagian besar
antioksidan yang mampu meningkatkan suplai darah ke jaringan dan
mampu untuk melawan radikal bebas dalam tubuh sehingga bisa
mempercepat proses penyembuhan luka ulkus akibat penyakit
diabetes melitus. Selain itu juga bersifat barkteriostatik dan
bakterisidal terhadap beberapa kuman anaerob dan anaerob. Bakteri
yang membuat luka memburuk pada umumnya adalah C. Perfingens
yang dapat diobati HBOT dengan tingkat kesembuhan yang cukup
tinggi.( Kessler L, 2003).

29
BAB 5
DAFTAR PUSTAKA

Albert, M., 2008. The role of hyperbaric oxygen therapy in wound


healing. In: Wound Care Canada. Canada: s.n., pp. 60-62.
Boulton, A., Vileikyte, L., Ragnarson-Tennvall, G. & Apelqvist, J.,
2005. The global burden of diabetic foot disease. In: s.l.:Lancet, pp. 1719-
1724.
B., S. & Guruswamy, V., 2012. Hyperbaric oxygen and wound
healing . In: s.l.:National Center for Biothecnology Information , pp. 316-
324.
Camporesi, E. & Bosco, G., 2014. Mechanisms of action of
hyperbaric oxygen therapy. In: s.l.:Undersea Hyperb Med, pp. 247-252.
Castaneda-Diez, R., Mayorquin-Ruiz, M., Esponda-Lamoglia, C. &
Albis-Donado, O., 2011. Current Diagnosis and Management of Angle-
Cosure Glaucoa, Glaucoma-Current Clinical and Research Aspects.
s.l.:s.n.
Christanty, L., 2008. Perbedaan Visual Outcome Pascaoperasi
Katarak dengan Pemasangan Intraocular Lens Antara Penderita Katarak
Senilis Tanpa Diabetes Melitus dengan Diabetes Nonretinopati.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Dinh, T., Tecilazich, F. & Kafanas, A., 2012. Mechanisms involved
in the development and healing of diabetic foot ulceration. In: s.l.:s.n., pp.
2937-2947.
Eva, P. R., Emmett, T. & Cunningham, J., 2011. Vaughan &
Asbury's General Opthalmology. 18th ed. s.l.:McGraw-Hill Education.
Faries, P. et al., 2004. The role of surgical revascularization in
management of diabetic foot wounds. In: s.l.:Am J Surg, pp. 34S-37S.
Flood, M., 2007. Hyperbaric oxygen therapy for diabetic foot ulcers.
In: s.l.:The Journal of Lancaster General Hospital, pp. 140 -145.
Frykberg, R. et al., 2006. Diabetic foot disorders. In: A clinical
practice guideline. s.l.:J Foot Ankle Surg, pp. 1-66.

30
Howard, M., Asmis, R., Evans, K. & Mustoe, T., 2013. Oxygen and
wound care. In: A review of current therapeutic modalities and future
direction. s.l.:Wound Repair Regen, pp. 503-511.
Kessler, L. et al., 2003. Hyperbaric oxygenation accelerate the
healing rate of nonischemic chronic diabetic foot ulcers. In: A prospective
randomized study. s.l.:Diabetes Care, pp. 2378-2382.
Lam, G. B. et al., n.d. Advances in Skin & Wound Care. In: 2017.
s.l.:s.n., pp. 181-190.
Langi, Y. A., 2011. Penatalaksanaan ulkus kaki diabetik secara
terpadu. Journal Biomedik, Volume 3, pp. 95-101.
Raveenthiraraja, T. & Subha, M., 2013. Hyperbaric Oxygen
Therapy: A review. In: s.l.:Int J Pharm Sci, pp. 52-54.
Rijadi S, R., 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan
Hiperbarik. Surabaya: Lakesla.
Soewondo, P., 2011. Currentt Practice in Management of type2
Diabetes in Indonesia: result from International Diabetes Management
Practices Study (IDMPS). In: s.l.:J Indonesia Med Assoc, p. 61.
Sourabh, B. & Gusruswamy, V., 2012. Hiperbaric oxygen and
wound healing. In: s.l.:Indian I Plast surg, pp. 316-324.
Sudoyo, A. et al., 2009. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing.
Waspadji, S., 2011. Kaki Diabetes. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing, pp. 1961-1962.
WHO, 2009. Pelayanan Ksehatan Anak di Rumah Sakit. s.l.:s.n.
Widharto, 2007. Kencing Manis (Diabetes Melitus). In: Jakarta:
Sunda Kelapa Pustaka.
Yasa, K., 2014. Debridemen dengan fasiotomi pada kaki diabetik
menurunkan tumor necrosi factor-α (TNF-α) dan meningkatkan vascular
endotheial groeth factor (VEGF) plasma disertai perbaikan klinis. In:
Denpasar: Universitas Udayana.
Yun, S. et al., 2018. Hyperbaric Oxygen Therapy in Liver Disease.
In: International journal of medical sciences. s.l.:s.n., pp. 247-255.

31
32

Anda mungkin juga menyukai