Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

HIPONATREMIA

Pembimbing:

dr. Sartono, Sp.PD

Penyusun:

Dahlia 2019042007x

Erika Putri Jayanti 20190420079

Muli 2019042008x

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

RSAL DR RAMELAN SURABAYA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Topik referat “Hiponatremia” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah


satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Dalam RSAL Dr.Ramelan Surabaya.

Mengesahkan,

dr. Sartono, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Hiponatremia” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah atau
penilaian tugas untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Penulis berharap referat ini
dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada


pihak-pihak yang membantu penulis dalam penyusunan referat ini, yaitu:

a. Sartono, dr., Sp.PD sebagai pembimbing dan penasihat


pembuatan referat ini.
b. Para dokter di bagian ilmu penyakit dalam RSAL Dr.Ramelan
Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di bagian ilmu penyakit dalam RSAL
Dr. Ramelan Surabaya.

Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka penulis berharap ada masukan, saran atau krituk
yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua.

Surabaya, 23 Agustus 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1

LEMBAR PENGESAHAN 2

KATA PENGANTAR 3

DAFTAR ISI 4

DAFTAR TABEL 5

DAFTAR GAMBAR 6

DAFTAR SINGKATAN 7

BAB I PENDAHULUAN 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9

2.1 Definisi 9

2.2 Etiologi 9

2.3 Klasifikasi 11

2.4 Manifestasi Klinis 13

2.5 Patofisiologi 14

2.6 Diagnosis 15

2.6.1 Anamnesis (Subjective).............................................................16

2.6.2 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana

(Objective)...........................................................................................17

4
2.7 Penatalaksanaan 18

2.8 Komplikasi 19

2.9 Prognosis 23

2.10 Pencegahan 25

2.11 Contoh Kasus 25

BAB III KESIMPULAN 30

DAFTAR PUSTAKA 31

5
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 xxxxx..........................................................................................20

Tabel 2. 2 xxx.............................................................................................22

Tabel 2. 3 xxx.............................................................................................23

Tabel 2. 4 zxxx...........................................................................................26

6
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 xxxxxxx...............................................................................11


Gambar 2.2 xxxxxxxx.............................................................................23
Gambar 2.3 xxxxxxx..............................................................................24
Gambar 2. 4 xxxxxx................................................................................25

7
DAFTAR SINGKATAN

ATS = Anti-tetanus Serum

DPT = Difteri Pertusis Tetanus

DT = Difteri Tetanus

HTIG = Human Tetanus Immunoglobulin

IGIV = Immune Globulin Intravenous

8
BAB I
PENDAHULUAN

Cairan tubuh total secara umum dibagi ke dalam 2 kompartemen


utama, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Dalam dua
kompartemen cairan tubuh ini terdapat beberapa kation dan anion yang
penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua
kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya mempengaruhi
tekanan osmotik cairan intaraseluler dan ekstraseluler dan berhubungan
langsung dengan fungsi sel. Kation utama dalam cairan ekstraseluler
adalah natrium dan kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium.
Cairan dan elektrolit menciptakan lingkungan intraseluler dan ekstraseluler
bagi semua sel dan jaringan tubuh, sehingga dapat terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit jika terdapat penyakit dalam tubuh
(Sudoyo A W dkk., 2014).
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Konsentrasi normal dari Na+ dalam serum adalah 135-145 meq/L. Kadar
natrium dalam plasma bergantung pada hubungan antara jumlah natrium
dan air pada cairan tubuh. Kadar yang tidak seimbang antara natrium dan
air akan berakibat pada terjadinya kondisi hipernatremia dan hiponatremia
(Sudoyo A W dkk., 2014).
Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam
plasma kurang dari dari 135 mEq/L. Hiponatremia merupakan gangguan
elektrolit yang paling sering dijumpai di rumah sakit yaitu sebanyak 15-
30%. Berdasarkan konsentrasinya hiponatremia terbagi atas tiga yaitu,
hiponatremi ringan, sedang dan berat. Insidensi hiponatremia ringan
( natrium plasma < 135 mEq/L) yaitu sebanyak 15-22 %, hiponatremia
sedang ( natrium plasma < 130 mEq/L) 1-7 % dan hiponatremia berat
( natrium plasma < 120 mEq/L). Hiponatremia ringan-sedang biasanya
bersifat asimptomatik. Kondisi hiponatremi penting untuk diketahui karena
(1) hiponatremia akut berat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas,
(2) peningkatan mortalitas pada pasien yang memiliki penyakit dengan
kondisi hiponatremia dan (3) terapi yang terlalu cepat pada pasien

9
hiponatremia kronik dapat menyebabkan kerusakan neuron dan kematian
(Verbalis, et all, 2013).
Hiponatremia terjadi bila (1) Jumlah asupan cairan melebihi
kemampuan ekskresi (2) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH
misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung
atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate ADH-
secretion) (Sudoyo A W dkk., 2014).

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hiponatremia


Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam
plasma lebih rendah dari 135 mEq/L (Sahay M, Rakesh S. 2014).

2.2 Etiologi Hiponatremia


Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan
air yang berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan
konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya
terjadi pada dehidrasi hipoosmotik seperti pada keadaan berkeringat
selama aktivitas berat yang berkepanjangan, berhubungan dengan
penurunan volume cairan ekstrasel seperti diare, muntah-muntah, dan
penggunaan diuretik secara berlebihan (Michael M, et. all. 2015).
Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal
yang menyebabkan gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal,
penyakit addison, serta retensi air yang berlebihan (overhidrasi hipo-
osmotik) akibat hormon antidiuretik. Kepustakaan lain menyebutkan
bahwa respons fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya
pengeluaran ADH dari hipotalamus (osmolaritas urine rendah) (Michael M,
et. all. 2015).

Tabel 2.1 Etiologi hiponatremia


Hiponatremia Hiponatremia Hiponatremia
Hipovolemik Euvolemik Hipervolemik

11
Na+ urin > 20 mmol/L Defisiensi ↑ Na+ urin > 20
Hilangnya cairan dari glukokortikoid mmol/L
ginjal Hipotiroidisme Gangguan ginjal akut
Kelebihan diuretik Stres Penyakit ginjal kronis
Defisiensi Penggunaan obat-
mineralokortikoid obatan
Ketonuria Syndrome of
Diuretik osmosis antidiuretic hormone
secretion (keganasan,
obat)
Na+ urin < 10 mmol/L Polidipsia psikogenik ↑ Na+ urin <
Hilangnya cairan dari 10mmol/L
luar ginjal Sindrom nefrotik
Muntah - muntah Sirosis hati
Diare Gagal jantung
Luka bakar Gagal ginjal kronik
Pankreatitis
Trauma

2.3 Klasifikasi

2.3.1 Berdasarkan Osmolalitas Plasma (Sudoyo A W dkk., 2014).


a. Hiponatremia isotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan
osmolalitas plasma normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H 2O.
b. Hiponatremia hipotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan
osmolalitas plasma normal yaitu < 280 mOsm/Kg/H 2O .
c. Hiponatremia hipertonik
Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan
osmolalitas plasma normal yaitu >285 mOsm/Kg/H 2O.

12
Menurut Verbalis, et all (2013) hiponatremia dapat
dikategorikan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Klasifikasi hiponatremia berdasar tonisitas plasma

2.3.2 Berdasarkan Jumlah Cairan Intravaskular Hiponatremia


Hipotonik (Sudoyo A W dkk., 2014).
a. Hipovolemik
Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi
akibat kehilangan natrium renal atau ekstrarenal, dan
penyebab kehilangan dapat dibedakan berdasarkan
konsentrasi natrium urin. Pada kondisi ini terjadi penurunan
jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremia dengan
deplesi volume dapat terjadi pada berbagai keadaan.
Gejala klinis dari deplesi volume yaitu penurunan tekanan
darah ortostatik, peningkatan denyut nadi, keringnya
membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan
blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam
urat.
 Gangguan gastrointestinal
Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak
langsung diberi cairan pengganti dapat
menyebabkan kehilangan sejumlah cairan dan
natrium. Pada pemeriksaan laboratorium akan
ditemukan penurunan natrium urin pada keadaan
diare, tetapi mungkin dapat meningkat pada pasien
dengan muntah yang berlebihan sehingga
pemeriksaan laboratorium yang baik dalam

13
menggambarkan deplesi volume yaitu pemeriksaan
klorida.
 Keringat yang berlebihan
Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat
menyebabkan deplesi volume, kehilangan natrium
dan klorida pada keringat yang berlebihan.
 Penggunaan diuretik yang berlebihan
Menurut literatur, 73% kasus hiponatremi disebabkan
karena penggunaan thiazid, 20% karena kombinasi
thiazid dengan antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh
furosemid.
 Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)
CSWS merupakan suatu sindroma yang terjadi
setelah prosedur neurosurgikal ataupun setelah
terjadi trauma kepala. Pada kondisi ini AVP
disekresikan karena stimulasi baroresptor.
 Defisiensi mineralokortikoid
Pada kondisi ini terjadi kegagalan dalam menekan
pelepasan AVP akibat hipoosmolalitas.

b. Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan
dengan adanya kelompok sindroma klinis yang selanjutnya
harus dibedakan menurut pemeriksaan osmolalitas urin.
Hal ini terjadi karena intake cairan yang berlebihan
sedangkan ginjal tidak mampu untuk mengeksresikan. Hal
ini dapat terjadi pada keadaan dibawah ini:
 SIADH (syndrome inappropiate anti diuretic hormon):
Konsentrasi natrium yang rendah karena kelenjar
hipofisis di dasar otak mengeluarkan terlalu banyak
hormon antidiuretik. Sindroma nefrogenik.
Defisiensi glukokortikoid.
 Sindroma nefrogenik
 Defisiensi glukokortikoid
 Hipotiroid: Pada hipotiroid terjadi peningkatan resistensi
vaskular dan penurunan curah jantung yang
menyebakan gangguan perfusi ginjal.

14
 Intake cairan yang rendah
 Polidipsia primer: Polidipsia primer terjadi pada 20 %
pasien psikiatrik khususnya skizofrenia. Pada kondisi ini
intake cairan berlebihan tidak diikuti dengan diuresis.

c. Hipervolemik
Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat
adanya peningkatan total cairan tubuh yang selanjutnya
dapat dibedakan dengan pemeriksaan konsentrasi natrium
pada urin. Dapat terjadi karena kegagalan ginjal dalam
mengkeksresikan cairan. Pada pasien ini ditemukan edema
karena retensi cairan dan natrium.
 Gagal jantung
Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung pada
awalnya terjadi akibat penurunan curah jantung dan
tekanan darah, yang menstimulasi vasopressin,
katekolamin dan renin-angiotensin- aldosteron. Kadar
vasopressin yang meningkat telah dilaporkan pada
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri sebelum gagal
jantung muncul. Pada pasien gagal jantung yang
memburuk, berkurangnya stimulasi mekanoreseptor di
ventrikel kiri, sinus karotis, arkus aorta dan arteriol
aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis,
system RAA, dan pelepasan vasopressin tanpa
rangsang osmotik, ditengah-tengah berbagai
neurohormon lain. Walaupun total air tubuh meningkat,
peningkatan aktivitas simpatis ikut menyebabkan
retensi natrium dan air. Pelepasan vasopresin yang
bertambah menyebabkan bertambahnya jumlah saluran
akuaporin di duktus koligentes ginjal. Ini memacu
retensi air yang bersifat abnormal dan hiponatremia
hipervolemik.
 Sirosis

15
Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis
dikarenakan gagal jantung, pelepasan AVP.
 Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik.

2.3.3 Berdasarkan konsentrasi natrium plasma (Sudoyo A W


dkk., 2014).
a. Hiponatremia ringan : Konsentrasi natrium plasma < 135
mEq/L
b. Hiponatremia sedang : Konsentrasi natrium plasma < 130
mEq/L

c. Hiponatremia berat : Konsentrasi natrium plasma < 120


mEq/L

2.3.4 Berdasarkan konsentrasi ADH (Sudoyo A W dkk., 2014).

a. Hiponatremia dengan ADH meningkat


 ADH yang meningkat oleh karena deplesi volume
sirkulasi efektif seperti pada: muntah, diare, pendarahan,
jumlah urin meningkat, pada gagal jantung, sirorsis hati,
insufisiensi adrenal, hipotiroidisme.
 ADH yang meningkat pada SIADH

b. Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologis


Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan
dimana eksresi cairan lebih rendah dibanding asupan
cairan yang menimbulkan respons fisiologis untuk supresi
sekresi ADH.
c. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi
 Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemi
atau pemberian manitol intra vena menyebabkan cairan
intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan
ekstrasel yang menyebabkan hiponatremia.

16
 Pemberian cairan isoosmotik tidak mengandung natrium
ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan
hiponatremia disertai osmolalitas plasma normal.

 Pseudohiponatremia, pada keadaan hiperlipidemia atau


hiperproteinemia dimana menyebabkan volume air
plasma berkurang. Jumlah natrium tetap, osmolalitas
normal akan tetapi secara total dalam cairan
intravaskular kadar natrium jadi berkurang.

2.3.5 Berdasarkan waktu (Sudoyo A W dkk., 2014).


a. Hiponatremia kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung
lambat yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak
terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran
ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk dan
lemas. Kelompok ini disebut juga hiponatremi asimptomatik
atau hiponatremi ringan.
b. Hiponatremia akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang
dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang
berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini
terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari
ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih
tinggi. Kelompok ini disebut juga hiponatremi simptomatik
atau hiponatremi berat.

2.4 Manifestasi Klinis Hiponatremia

a. Hiponatremia ringan / cukup berat: mual dan muntah, letargi,


disorientasi, kebingungan, sakit kepala (Spasovski G, et. all.
2014)

17
b. Hiponatremia berat: gagal jantung dan pernapasan,
somnolen,edema serebri, kejang, koma, kematian (Spasovski G,
et. all. 2014)

2.5 Patofisiologi Hiponatremia


Natrium adalah kation utama dalam ekstraselular dan berperan
penting dalam menjaga keseimbangan volume dan tekanan darah,
melalui pengaturan osmolalitas pergerakan pasif dari air. Konsentrasi
natirum serum adalah perbandingan yang sederhana, natrium (dalam
milimol) air (dalam liter) dan hiponatremia dapat terdiri dari dua-duanya
karena hilanganya ion natrium atau retensi air.
Kehilangan natrium biasanya menyebabkan hipoosmolalitas dengan
pergerakan air ke dalam sel. Beberapa sindrom klinis bisa menyebabkan
hiponatrmia. Hal ini disebabkan oleh hilangnya natrium dan / atau
inadekuat asupan natrium. Jadi penurunan natirum biasanya disebabkan
oleh extral renal losses. Inadekuat asupan natrium jarang namun tetapi
dapat terjadi pada individu yang rendah diet sodium.
Retensi air. Retensi air dalam kompartemen tubuh menurunkan
konstituen dalam ruang ekstraselular termasuk natrium, sehingga
menyebabkan hiponatremia. Retensi air lebih banyak terjadi daripada
kehilangan natrium

Gambar 2.2 Patofisiologi hiponatremia

18
Retensi air biasanya dihasilkan dari kerusakan ekskresi air dan
jarangnya pemasukan air. Kebanyakan pasien yang hiponatremia karena
retensi air disebut sindrom antidiuresis yang tidak wajar (SIAD). SIAD
terjadi dalam beberapa kondisi, misalnya infeksi, malignan, penyakit dada
dan trauma; juga bisa disebabkan karena obat. SIAD dihasilkan dari
ketidakwajaran sekresi AVP. Dimana konsentrasi AVP berubah-ubah
antara 0 dan 5 pmol/l disebabkan perubahan osmolalitas, SIAD yang
tinggi (non-osmolalitas) dapat terlihat meningkat (hingga 500 pmol).
Stimulus nonosmotik yang sangat kuat termasuk hipovolemi dan hipotensi,
muntah, hipoglekemi dan nyeri. Frekuensi SIAD terjadi secara kecil
menyebar prevalensinya pada stimulus tersebut. AVP mempunyai efek lain
pada tubuh dari pengaturan air oleh ginjal (tabel 2.2).

Tabel 2.2 Aksi dari AVP


BUAT TABELNYA

Berkurangnya natrium sangat jarang terjadi dan ketika kehilangan


natrium secara patologik, bisa dari pencernaan atau urin. Kehilngan Na
dari penceranaan meliputi diare dan muntah, pada pasien dengan
penyakit usus besar, kehilangan Na mungkin dapat sangat parah.
Kehilangan dari urin miungkin dihasilkan oleh defisiensi mineralokrtikoid
(terutama aldosteron) atau dari obat antagonis aldosteron.
Dimulainya semua hal tersebut, kehilangan natirum diikuti oleh
kehilangan air dan konsentrasi natrium serum. Ketika kehilangan air dan
natrium berlanjut, berkurangnya natrium dan volume darah menstimulasi

19
sekresi AVP non osmotik, selain pengaturan mekanisme osmotik.
Peningkatan sekresi AVP disebabkan retensi air sehingga pasien menjadi
hiponatremia. Alasan lain mengapa berkurngnya natrium isotonik dalam
air karena hanya digantikan oleh air.
Dari indikasi diatas, ketika berkurangnya Natrium secara signifikan
terjadi, memberikan gambaran klinik berupa berkurangnya ECF dan
volume darah. Dalam hiponatremia dengan gambaran berkurangnya
natrium berupa berkurangnya air.
Tidak semua pasien dengan dengan berkurangnya natrium adalah

hiponatremia. Pasien dengan kehilangan diuresi osmootik mungkin

menjadi hipernatremia jika kehilangan air melebihi kehilangan natrium.

Ancaman berkurangnya natrium juga terdapat pada pasien dengan

konsentrasi serum normal. Ringkasnya, konsentrasi natrium serum tidak

menyediakan informasi tentang berkurangnya natrium.

20
Gambar 2.3 Model tank air menunjukkan bahwa pengurangan volume
ECF dapat dikaitkan dengan penurunan, peningkatan, atau serum normal
[Na+]

Hiponatremia kadang dilaporkan pada pasien dengan


hiperproteinatremia atau hiperlipidemia. Pada pasien seperti itu,
peningkatan jumlah protein atau lipoprotein menduduki proteinplasma
lebih dari biasanya, dan kehillangan air. Natrium dan elektrolit lain
didistribusikan hanya dalam air, dan pasien ini mempunyai konsentrasi
natrium yang normal dalam plasmanya. Sehingga, beberapa metode yang
digunakan dalam pengukuran instrumen analitik konsentrasi natrium
dalam total volume plasma, dan tidak mengambil sejumlah air yang
menempati total plasma volume daripada normal. Pseudohiponatremia

21
harus diduga jika terdapat ketidaksesuaian antara kadar pada
hiponatremia dan gejala yang mungkin disebabkan berkurangnya
konsentrasi natrium. Osmolalitas serum normal pasien dengan
hiponatremia, diduga sebagai pseudohiponatremia. Hal ini dapat dicari
dengan menghitung rentang osmolal, dan perbedaan antara pengukuran
osmolalitas dan menghitung osmolalitas.

Gambar 2.4 Pseudohiponatremia

2.6 Diagnosis Hiponatremia


Menurut Michael M, et. all (2015) diagnosis hiponatremia

didapatkan dari hal dibawah berikut:

 Anamnesis : riwayat muntah, penggunaan diuretik atau manitol,

riwayat penyakit pada pasien.


 Pemeriksaan fisik : nilai status volume cairan ekstraseluler dan

volume sirkulasi.
 Pemeriksaan penunjang : kadar Na + serum, osmolalitas plasma dan

kadar Na+ urin.

22
Gambar 2.3 Algoritma untuk evaluasi hiponatremia

23
2.7 Penatalaksanaan Hiponatremia

Tabel 2.3 Tata laksana hiponatremia


Subyek United States Guideline European Guideline
Hiponatremia akut Gejala parah: Bolus Gejala parah: Bolus
atau symptomatik NaCl 3% (100 ml selama NaCl 3% (150 ml
10 menit x 3 sesuai selama 20 menit 2–3
kebutuhan) kali sesuai
kebutuhan)

Gejala sedang: Infus Gejala sedang:


kontinu NaCl 3% (0,5-2 Bolus NaCl 3% (150
ml / kg per jam) ml 3% lebih dari 20
menit sekali)
Hiponatremia kronis
a. SIADH Pembatasan cairan (lini Pembatasan cairan
pertama) (lini pertama)

Demeclocycline, urea, Urea atau loop


atau vaptan (lini kedua) diuretik + NaCl oral
(lini kedua)

Rekomendasikan
lithium atau
demeclocycline
b. Hipovolemik Salin isotonik Salin isotonik atau
hiponatremia balanced crystalloid
solution
c. Hipervolemik Pembatasan cairan Pembatasan cairan
hiponatremia
Vaptana Rekomendasikan
vaptan
Tingkat koreksi Minimum: 4–8 mmol/L Tidak ada minimum
per hari, 4–6 mmol/L per
hari (risiko tinggi ODS)

24
Limit: 10–12 mmol/L per Limit: 10 mmol/L per
hari, 8 mmol/L per hari hari
(risiko tinggi ODS)

Manajemen koreksi Baseline Sna≥120 Mulai setelah batas


berlebihan mmol/L: mungkin tidak terlampaui
perlu

Baseline Sna<120 Konsultasikan


mmol/L: mulai dengan dokter ahli
menurunkan kembali untuk membahas
dengan air bebas infus yang
elektrolit atau mengandung air
desmopresin setelah bebas elektrolit (10
koreksi melebihi 6-8 ml / kg) dengan atau
mmol / L per hari tanpa desmopresin 2
mg iv
a. Pada sirosis hati, batasi pada pasien yang akan lebih berisiko
memburuknya fungsi hati.

2.7.1 Pendekatan umum untuk perawatan (Hoorn, E. J. & Robert


Z., 2017)
Setiap pasien yang mengalami hiponatremia (SNa, 125
mmol / L), perlu dipertimbangkan apakah ada edema serebral
atau ODS (sindrom demielinasi osmotik). Kedua pedoman
mencapai konsensus bahwa batas harus sekitar 10 mmol / L
per hari untuk hiponatremia akut dan kronis (Tabel 2.3). Dari
catatan, pedoman Amerika Serikat merekomendasikan batas
bawah 8 mmol / L per hari jika ada risiko ODS yang tinggi
(misalnya, pada pasien dengan hipokalemia, alkoholisme,
malnutrisi, atau penyakit hati) . Menanggapi rekomendasi ini,

25
Adrogue dan Madias mengusulkan batas yang lebih konservatif
yaitu 6-8 mmol / L per hari terlepas dari durasi atau gejala.
Kedua pedoman merekomendasikan pemantauan yang sering
terhadap Sna selama fase koreksi aktif (yaitu, semua
perawatan kecuali pembatasan cairan). Tormey et al
menghitung apa yang disebut "nilai perubahan referensi" untuk
SNa menggunakan penganalisaan umum dan menunjukkan
bahwa hanya perubahan Sna≥4 mmol / L yang pasti nyata.
Cairan hipotonik dan desmopresin mungkin diperlukan
untuk mengobati koreksi berlebihan pada hiponatremia
hipovolemik, karena diuresis air persisten dapat terjadi setelah
koreksi hipovolemia.

2.7.2 Penatalaksanaan hiponatremia akut


Kedua pedoman merekomendasikan salin hipertonik
(biasanya 3% NaCl) untuk hiponatremia akut atau simptomatik.
Saline hipertonik adalah pengobatan yang efektif dan
berpotensi menyelamatkan jiwa untuk edema serebral akibat
hiponatremia, karena konsentrasi natrium ekstraseluler yang
tinggi segera menguapkan air dari ruang intraseluler. Pasien
yang menjalani hipermikyponatremia, salin hipertonik dapat
digabungkan dengan loop diuretik. Peningkatan SNa dapat
diperkirakan menggunakan rumus Adrogue-Madias atau
Barsoum-Levine. Meskipun prediksi dengan formula ini cukup
akurat, peralihan ke pemberian salin hipertonik sebagai bolus
telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada
penelitian yang secara sistematis menguji pendekatan ini, tetapi
ada beberapa aspek yang menarik. Pertama, terutama pasien
dengan edema yang berdenyut, diharapkan untuk mencapai
koreksi parsial yang cepat dalam SNa. Kedua, dilakukan injeksi
dengan menggunakan simbol untuk perhitungan pada pasien
dengan masalah akut, membatasi risiko penghitungan risiko
yang berlebihan. Atas dasar pertimbangan ini, kedua pedoman

26
merekomendasikan terapi bolus, walaupun dengan spesifikasi
yang sedikit berbeda (Tabel 2.3) (Hoorn, E. J. & Robert Z.,
2017).
Baru-baru ini, Ayus dan rekan melaporkan pengalaman
mereka menggunakan protokol yang berbeda. (500 ml 3% NaCl
selama 6 jam) pada 64 pasien dengan ensefalopati
hiponatremik (Sna<130 mmol / gejala Landneurologics). Rata-
rata, protokol ini meningkatkan SNa dengan 12 dan 14 mmol / L
pada 24-48 jam pertama, dan gejala membaik tanpa bukti ODS.
Namun, keparahan hiponatremia (sering Sna<110 mmol / L)
dan durasi gejala menunjukkan bahwa beberapa pasien
memiliki chronichyponatremia. Jika demikian, tingkat koreksi
akan melebihi batas yang direkomendasikan saat ini (Tabel 2.3)
(Hoorn, E. J. & Robert Z., 2017)
Rekomendasi panel pakar: pengobatan gejala hiponatremia
akut (Verbalis, et all, 2013)
- Indikasi:
 Keracunan air akut yang diinduksi sendiri (misalnya,
penyakit psikiatri seperti psikosis akut atau
skizofrenia, latihan ketahanan, penggunaan
"ekstasi")
 Diketahui durasi hiponatremia <24-48 jam (misalnya,
pasca operasi)
 Patologi intrakranial atau peningkatan intrakrania
tekanan
 Kejang atau koma, terlepas dari kronisitas yang
diketahui.
- Sasaran:
 Koreksi mendesak sebesar 4-6 mmol/L untuk
mencegah herniasi otak dan kerusakan neurologis
dari iskemia otak.
- Perawatan yang direkomendasikan:

27
 Untuk gejala berat, 100 mL NaCl 3% diinfus secara iv
lebih dari 10 menit x 3 sesuai kebutuhan
 Untuk gejala ringan hingga sedang dengan risiko
rendah herniasi, NaCl 3% diinfuskan pada 0,5-2 mL /
kg / jam
 Tingkat koreksi tidak perlu dibatasi pada pasien
dengan hiponatremia akut yang sebenarnya namun,
jika ada ketidakpastian apakah hiponatremia kronis
atau akut, maka batas untuk koreksi hiponatremia
kronis harus diikuti

2.7.3 Perawatan hiponatremia kronis


Kecuali untuk hiponatremia hipovolemik, pengobatan
hiponatremia kronik bergantung pada pengurangan asupan air
dan atau meningkatkan eksresi air melalui renal (Tabel 2.3).
Pembatasan cairan (<1L / hari) sering menjadi landasan terapi
untuk hiponatremia kronis. [UNa + konsentrasi kalium urin] /
SNa) menunjukkan jika pasien berada dalam fase antidiuretik
atau aquaretik, dan juga dapat membantu memperkirakan
tingkat pembatasan cairan yang diperlukan untuk meningkatkan
Sna (Hoorn, E. J. & Robert Z., 2017).
Untuk pasien dengan rasio> 1 (menunjukkan konsentrasi
pekat),<500 ml cairan / hari direkomendasikan, yang sulit untuk
dipatuhi. Winzeler et al. baru-baru ini menunjukkan bahwa pada
pasien dengan restriksi cairan SIAD efektif pada 59% pasien.
Pasien dengan hiponatremia kronis terapi farmakologis sering
diperlukan untuk meningkatkan pengeluaran air dari ginjal. Ini
dapat dicapai dengan pengobatan dengan loop diuretik, urea,
antagonis reseptor vasopresin ("vaptans"), atau
demeclocycline. Dua pedoman berbeda dalam rekomendasi
mereka mengenai terapi farmakologis untuk SIAD dan
hiponatremia hipervolemik (Tabel 2.3) (Hoorn, E. J. & Robert Z.,
2017).

28
Rekomendasi panel pakar untuk menghindari Sindrom
Demielinisasi Osmotik (ODS) pada pasien dengan hiponatremia
kronis (Verbalis, et all, 2013):
- Populasi berisiko: hiponatremia dengan serum [Na+] ≤
120 mmol / L dari> 48 jam durasi; sebagai contoh, pasien
rawat jalan minum volume air konvensional atau diobati
dengan tiazid dan hiponatremia yang didapat di rumah sakit
dengan durasi yang diketahui> 48 jam.
- Peningkatan kewaspadaan pada pasien dengan risiko
tinggi ODS.
- Sasaran: Koreksi minimum serum [Na +] sebesar 4-8
mmol / L per hari, dengan sasaran yang lebih rendah yaitu
4 - 6 mmol/ L per hari jika risiko ODS tinggi.
- Batas tidak melebihi:
 Untuk risiko ODS tinggi: 8 mmol / L dalam 24 jam
 Untuk risiko ODS normal: 10-12 mmol / L dalam 24
jam; 18 mmol / L dalam periode 48 jam.
Rekomendasi panel pakar: manajemen koreksi berlebihan
pada hiponatremia kronis (Ame, 2013)
- Mulai serum [Na+] ≥ 120 mmol / L: Intervensi mungkin
tidak perlu.
- Mulai serum [Na+] <120 mmol / L:
 Ganti air yang hilang atau berikan desmopresin
setelahnya koreksi sebesar 6-8 mmol / L selama 24
jam pertama terapi
 Tahan dosis vaptan berikutnya jika koreksi terjadi >8
mmol / L
 Pertimbangkan penurunan terapi serum [Na+] jika
koreksi melebihi batas terapeutik
 Pertimbangkan pemberian glukokortikoid dosis tinggi
(mis. deksametason, 4 mg setiap 6 jam) selama 24-48
jam setelah koreksi berlebihan.

29
- Menurunkan kembali serum [Na+]:
 Berikan desmopresin untuk mencegah kehilangan air
lebih lanjut : 2-4 mg setiap 8 jam parenteral
 Ganti air secara oral atau dengan dekstrosa 5% dalam
air secara intravena: 3 mL / kg / jam
 Periksa kembali serum [Na+] setiap jam dan lanjutkan
terapi infus sampai serum [Na+] dikurangi ke batas
target.
2.7.4 Vaptans
Vaptans memblokir reseptor vasopresin tipe 2 yang
mengandung sel-sel utama duktus dan oleh karena itu
menginduksi aquaresis. Beberapa vaptan telah dikembangkan,
termasuk tolvaptan, satavaptan, lixivaptan, danconivaptan
(yang juga menargetkan reseptor tipe 1a vesopresin). Atas
dasar mekanisme aksi mereka, vaptans adalah terapi yang
logis dan terarah untuk pasien hiponatremik dengan
eksesvasopresin. Memang, beberapa uji klinis besar telah
menunjukkan bahwa vaptans jelas efektif dalam meningkatkan
SNa pada pasien dengan hyponatremia karna SIAD, gagal
jantung, atau sirosis hati. Kedua pedoman sepakat bahwa tidak
ada tempat untuk vaptans pada pasien dengan hiponatremia
gejala akut atau sangat simptomatik, yang mana salin
hipertonik adalah pengobatan pilihan (Hoorn, E. J. & Robert Z.,
2017)
Pedoman Amerika Serikat mendaftarkan vaptans sebagai
salah satu opsi farmakologis, jika pembatasan cairan telah
gagal (Tabel 2.3) . Pedoman Eropa tidak merekomendasikan
vaptans dalam hiponatremia sedang. (Hoorn, E. J. & Robert Z.,
2017).
Karena ODS telah dilaporkan setelah overcorrection
hiponatremia berat, pedoman Eropa merekomendasikan
terhadap vaptans dalam pengaturan ini. Baru-baru ini, Tzoulis
et al melaporkan “pengalaman nyata” dengan tolvaptan pada

30
61 pasien dengan hiponatremia resisten karena SIAD. Rata-
rata peningkatan SNa setelah 24 jam adalah 9.063,9 mmol / L.
Koreksi hiponatremia yang berlebihan (0,12 mmol / L per hari)
diamati pada 23% pasien (semua dengan hiponatremia berat),
meskipun tidak satu pun dari mereka yang mengalami tanda-
tanda ODS. ODS dilaporkan pada satu pasien dengan gagal
jantung di mana 15 mg tolvaptan menyebabkan SNa meningkat
dari 126 menjadi 142 mmol / L pada hari pertama dan
selanjutnya meningkat menjadi 187 mmol / L di hari-hari
berikutnya. Di sisi lain, peningkatan gejala telah ditunjukkan
dengan penggunaan vaptans. Ini termasuk perbaikan pada
beberapa gejala neurokognitif, status kinerja pada pasien
kanker, dyspneu pada pasien dengan gagal jantung, dan asites
pada pasien dengan sirosis hati (Hoorn, E. J. & Robert Z.,
2017).

2.7.5 Urea
Urea menginduksi diuresis osmotik, sehingga
meningkatkan ekskresi air dari ginjal. Decaux dan rekannya
memelopori penggunaan tetap pada tahun 1980 untuk SIAD,
tetapi juga untuk bentuk lain dari hiponatremia. Lebih baru-baru
ini, di 12 pasien dengan SIAD, Soupart et al. membandingkan
pengobatan antara satavaptan dengan urea (keduanya dalam
periode pengobatan 1 tahun). Menariknya, kedua terapi
memiliki profil efikasi dan efek samping yang serupa. Meskipun
urea tidak mencegah koreksi berlebihan, hal itu dapat
mengurangi risiko kerusakan otak yang terkait (Hoorn, E. J. &
Robert Z., 2017)
Dalam model tikus SIAD eksperimental, Gankam Kenge et
al. membandingkan hasil neurologis setelah overcorrection
(sekitar 30 mmol / L per hari) dengan saline hipertonik,
lixivaptan, atau urea. Secara mengejutkan, skor neurologis dan

31
kelangsungan hidup lebih baik pada hewan dengan terapi urea.
Analisis histologis menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan
dua perawatan lain, urea mengurangi demielinasi, aktivasi
mikroglial, dan perubahan sawar darah-otak, dan peningkatan
viabilitas astrosit. Meskipun seseorang harus berhati-hati untuk
meramalkan temuan-temuan ini kepada manusia, ini mungkin
menjelaskan mengapa pasien dengan ESRD dan hiponatremia
tidak mengalami ODS setelah pengobatan dengan hemodialisis
(Hoorn, E. J. & Robert Z., 2017).

2.8 Komplikasi Hiponatremia

2.8.1. Hiponatremia onset cepat (akut)


Dalam kasus hiponatremia onset cepat (<48 jam), volume
adaptasi di otak mungkin tidak memiliki waktu untuk terjadi.
Gejala neurologis yang parah dapat muncul karena
pembengkakan otak dibatasi oleh tempurung kepala.
Komplikasi hiponatremia onset cepat terutama mencerminkan
kegagalan proses adaptasi volume dan pembengkakan otak
yang berkelanjutan. Dalam kasus ekstrim ini dapat
menyebabkan respirasi, kejang, koma, dan herniasi Cheyne-
Stokes pada batang otak (Thompson C & Ewout J H, 2012).
2.8.2. Hiponatremia onset bertahap (kronis)
Pada hiponatremia onset bertahap (> 48 jam) hilangnya zat
terlarut dari sel-sel di dalam otak disertai dengan hilangnya
cairan, yang mengembalikan volume otak ke arah normal.
Sebelumnya, hiponatremia onset ringan dan bertahap sering
dianggap asimptomatik; Namun, penyelidikan lebih lanjut ke
populasi pasien ini telah mengungkapkan komplikasi yang
terkait dengan hiponatremia ringan (serum [Na +] 130-135
mmol / L), yang belum diatasi sampai saat ini. Komplikasi ini
termasuk ketidakstabilan gaya berjalan, jatuh, defisit atensi dan
peningkatan risiko terjadinya fraktur. Selain itu, ada bukti yang

32
semakin meningkat bahwa hiponatremia dikaitkan dengan
peningkatan risiko osteoporosis dibandingkan dengan
normonatremia sebagai akibat dari peningkatan aktivitas
osteoklas dan mobilisasi natrium yang disimpan dalam matriks
tulang (Thompson C & Ewout J H, 2012).

2.9 Prognosis Hiponatremia

Prognosis dipengaruhi secara independen oleh hiponatremia itu

sendiri, oleh komorbiditas, dan oleh manajemen medis. Hiponatremia

berat adalah kondisi serius yang dikaitkan dengan angka kematian

yang sangat tinggi. Hampir dua pertiga pasien meninggal dengan

natrium plasma normal yang menunjukkan bahwa pasien lebih

rentan meninggal akibat hiponatremia dan / atau komorbiditas.

Namun tidak adanya normalisasi dalam plasma natrium juga

meningkatkan risiko kematian (Krummel T, et al. 2016).

Manajemen klinis memainkan peran penting seperti kurangnya

analisis urin awal serta tidak adanya diagnosis etiologi dan

normalisasi natrium plasma masing-masing terkait dengan

peningkatan mortalitas. Peningkatan prognosis pasien-pasien ini

mungkin bergantung pada manajemen yang cermat dari semua

komorbiditas yang terkait, termasuk meningkatkan pelatihan tenaga

medis yang terlibat dalam perawatan pasien hiponatremia (Krummel

T, et al. 2016).

2.10 Pencegahan Hiponatremia (Mayo Clinic, 2018)

2.10.1 Obati kondisi terkait.

33
Mendapatkan perawatan untuk kondisi yang berkontribusi

terhadap hiponatremia, seperti kekurangan kelenjar adrenal,

dapat membantu mencegah natrium darah rendah.


2.10.2 Edukasi diri sendiri.
Jika Anda memiliki kondisi medis yang meningkatkan risiko

hiponatremia atau mengonsumsi obat diuretik, perhatikan tanda

dan gejala natrium darah rendah. Selalu bicarakan dengan

dokter Anda tentang risiko obat baru.


2.10.3 Ambil tindakan pencegahan selama aktivitas intensitas

tinggi.
Atlet harus minum hanya sebanyak cairan yang hilang karena

berkeringat selama perlombaan. Haus biasanya panduan yang

baik untuk berapa banyak air atau cairan lain yang Anda

butuhkan.
2.10.4 Pertimbangkan meminum minuman olahraga selama

aktivitas berat.
Tanyakan kepada dokter Anda tentang mengganti air dengan

minuman olahraga yang mengandung elektrolit ketika

berpartisipasi dalam acara-acara ketahanan seperti maraton,

triathlon, dan lainnya.


2.10.5 Minumlah air secukupnya.
Air minum sangat penting untuk kesehatan Anda, jadi pastikan

Anda minum cukup cairan. Tapi jangan berlebihan. Haus dan

warna urin Anda biasanya merupakan indikasi terbaik dari

berapa banyak air yang Anda butuhkan. Jika Anda tidak haus

dan urin Anda berwarna kuning pucat, Anda kemungkinan

mendapatkan cukup air.

34
2.11 Contoh Kasus Hiponatremia

2.11.1 Kejadian hiponatremia berat akibat SIADH dan pneumonia


aspirasi pada makroadenoma hipofisis
Seorang pria 70 tahun, datang ke IGD Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dengan keluhan utama
penurunan kesadaran sejak 12 jam SMRS. Pasien sulit diajak
bicara, cenderung mengantuk, dan susah dibangunkan.
Keluhan sesak nafas dan demam tidak didapatkan. Pada 2 hari
SMRS pasien mengeluh seluruh badan terasa lemas, bahkan
sempat terjatuh dua kali dirumah. Dua minggu SMRS pasien
menjalani operasi Trans Urethal Resection of the Prostate
(TURP), dan dirawat selama empat hari. Pada saat pasien di
IGD, pasien mengalami muntah berwarna coklat kehitaman dan
tersedak disertai sesak nafas dan kemudian terjadi desaturasi.
Terhadap pasien dilakukan suctioning dan selanjutnya
dilakukan intubasi, ditemukan cairan coklat kehitaman pada
pipa endotrakeal. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes, sakit
jantung, sakit ginjal sebelumnya pada pasien disangkal. Tiga
bulan SMRS pasien ada riwayat penurunan kesadaran dan
dirawat di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta dan dirawat 10 hari, dan dilakukan CT Scan kepala,
MRI, dan DSA. Hasil MRI ditemukan tumor intra sella namun
belum ada rencana tindakan. Pasien pulang dalam kondisi baik,
bisa beraktivitas dan berkomunikasi.
Hasil laboratorium menunjukkan adanya hiponatremi 109
mmol/L serta hipoklorida 82mmol/L. Hiponatremi dikoreksi
dengan larutan NaCl 3% 500ml/24jam, dan dilakukan kultur
sputum dan darah. Antibiotik diberikan meropenem 3x1 g,
levofloxacin 1x750mg. inhalasi ventolin bisolvon, serta
omeprazole drip 200mg/24jam intravena.
Hari kedua Natrium terkoreksi menjadi 116 mmol/L. Hasil
Analisa Gas Darah menunjukkan asidosis metabolik. Hasil

35
pemeriksaan leukosit dan procalcitonin tinggi. Hasil Sequential
Organ Failure Assessment (SOFA) menunjukkan score 4 yaitu
sepsis. SpO2, pCO2 gap, laktat dalam batas normal,
menunujukkan mikrosirkulasi baik.
Hari ketiga natrium sudah membaik menjadi 128 mmol/L.
Pemberian NaCl 3% distop diganti dengan NaCl 0.9%
500ml/24jam. Hipokalemia yang terjadi dikoreksi dengan KCl
50meq/6jam. Hasil pemeriksaan elektrolit urin dalam batas
normal. Osmolaritas plasma normal, sedangkan osmolaritas
urin rendah, dan kesadaran membaik.
Hari keenam hemodinamik stabil, kesadaran baik. Pasien
dapat di ekstubasi. Hasil foto thorak ulangan melihatkan infiltrat
di perihiller kedua paru relatif berkurang.

36
BAB III
KESIMPULAN

Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar


natrium dalam plasma lebih rendah dari 135 mEq/L. Secara
garis besar hiponatremia dapat diklasifikasikan menurut
osmolalitas plasma yaitu hiponatremia isotonik , hipotonik, dan
hipertonik. Dimana pada hiponatremia hipotonik dibagi lagi
menurut status volumenya, yaitu hipovolemik, euvolemik, dan
hipervolemik.
Evaluasi hiponatremia membutuhkan pendekatan yang
sistematis. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pengukuran osmolalitas plasma merupakan petunjuk diagnostik
yang penting. Hiponatremia hipotonik membutuhkan penilaian
status volume yang akurat, dan pengukuran natrium urin dan
osmolalitas yang dapat mempersempit diagnosis banding
penyebab yang mendasarinya.
Pasien dengan gejala simptomatis harus ditangani
secara agresif untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa. Tatalaksana hiponatremia akut dengan gejala parah bisa
diberika bolus NaCl 3% (100 ml selama 10 menit x 3 ; sesuai
kebutuhan), sedangkan untuk gejala sedang berikan infus
kontinu NaCl 3% (0,5-2 ml/kg per jam. Tatalaksana
hiponatremia kronis dilakukan secara perlahan, bila dengan
risiko ODS tinggi kecepatan koreksi 8 mmol / L dalam 24 jam

37
dan bila risiko ODS normal 10-12 mmol / L dalam 24 jam dan
18 mmol / L dalam periode 48 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Hyponatremia - Mayo Clinic. https://www.mayoclinic.org/diseases-


conditions/hyponatremia/symptoms-causes/syc-20373711. Accessed
August 15, 2019
Hoorn, E J, Robert Z. 2017. Diagnosis and Treatment of Hyponatremia:
Compilation of the Guidelines. Rotterdam. Journal of the American
Society of Nephrology
McCance K L, Sue E H. 1994. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Diseases in Adults and Children. United States of America. Mosby –
Year Book, Inc
Michael M, et. all. 2015. Diagnosis And Management of Sodium
Disorders : Hyponatremia and Hypernatremia. Washington. American
Family Physician. 91(5): 299-307
Krummel T, et. all. 2016. Prognosis of Patients With Severe
Hyponatraemia Is Related Not Only To Hyponatraemia but Also To
Comorbidities and To Medical Management: Results of An
Observational Retrospective Study. BMC Nephrology
Sahay M, Rakesh S. 2014. Hyponatremia: A practical approach. Indian
Journal of Endocrinology and Metabolism. 18 (6): 760–771
Spasovski G, et. all. 2014. Clinical Practice Guideline on Diagnosis and
Treatment of Hyponatraemia. Nephrology Dialisis Transplant
Association
Sudoyo A W, Bambang S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
edisi IV. Jakarta. Interna Publishing
Thompson C, Ewout J H. 2012. Hyponatraemia: An Overview of
Frequency, Clinical Presentation and Complications. Best Practice &
Research Clinical Endocrinology & Metabolism

38
Verbalis, J G, et. all. 2013. Diagnosis, Evaluation, and Treatment of
Hyponatremia: Expert Panel Recommendations. The American
Journal of Medicine, 126 (10)

39

Anda mungkin juga menyukai