Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM

Disusun Oleh:
Son Ardianto
406212001
Pembimbing:
dr. Hari Sutanto, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 13 JUNI-20 AGUSTUS 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Disusun oleh :
Son Ardianto
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Jakarta, 20 Juni 2022

dr. Hari Sutanto, Sp.PD


KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan anugerah yang dilimpahkan-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Gangguan Keseimbangan
Natrium” sebagai tugas kepaniteraan klinik stase ilmu penyakit dalam periode13 Juni-20
Agustus 2022. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini. Pada kesempatan ini juga
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. dr. Hari Sutanto, Sp.PD selaku pembimbing stase ilmu penyakit dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara sekaligus sebagai pembimbing dalam
penulisan referat ini.

2. dr. Shirly Gunawan, Sp. FK selaku kaprodi program sarjana profesi dokter
(PSPD) Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga tulisan ini dapat
berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan bagi siapapun yang membacanya.

Jakarta, 20 Juni 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Hiponatremia dan hipernatremia adalah temuan umum dalam pengaturan rawat inap dan rawat
jalan. Gangguan natrium dikaitkan dengan peningkatakan resiko morbiditas dan mprtalitas.
Osmolalitas plasma memegang peran penting dalam patofisiologi dan pengobatan gangguan
natrium. Hiponatremia dan hipernatremia diklasifikasikan dalam beberapa kategori. 1,2
Gangguan natrium didiagnosis dengan temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan evaluasi status volume. Perawatannya didasarkan pada gejala dan
penyebab yang mendasari. Secara umum hiponatremia diobati dengan pembatasan cairan, saline
isotonic, dan diuresis tergantung pada jenis hiponatremia yang dialami. Pengobatan
hipernatremia melibatkan mengoreksi penyebab yang mendasari dan mengoreksi deficit air
dalam tubuh.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPONATREMIA
A. DEFINISI
Hiponatremia yang didefinisikan sebagai konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L,
merupakan gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering ditemukan
dalam praktik klinis.1
B. ETIOLOGI
Ada banyak kondisi dan faktor pola hidup yang menyebabkan hiponatremia, beberapa
diantaranya seperti:2
 Obat-obatan, seperti diuretik, antidepresan dan anti nyeri, dapat menganggu proses
hormonal dan ginjal yang menjaga konsentrasi natrium dalam kisaran normal.
 Gangguan jantung, ginjal dan hepar. Gagal jantung kongestif dan penyakit tertentu
yang mempengaruhi ginjal atau hepar dapat menyebabkan cairan berkumpul dalam
tubuh, yang mengencerkan natrium dalam tubuh.
 Syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone (SIADH). Dalam kondisi ini, anti
diuretik hormon yang tinggi di produksi, menyebabkan tubuh menahan air.
 Muntah atau diare kronik yang menyebabkan dehidrasi. Ini menyebabkan tubuh
kehilangan elektrolit, seperti natrium, dan juga meningkatkan kadar ADH.
 Minum air terlalu banyak.
 Perubahan hormonal. Insufisiensi kelenjar adrenal mempengaruhi kemampuan
kelenjar adrenal yang menjaga keseimbangan natrium, kalium dan air dalam tubuh.
 Penggunaan ekstasi. Amfetamin meningkatkan resiko kasus hiponatremia yang parah.
C. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko hiponatremi, adalah:3
 Usia. Orang dewasa memiliki faktor yang lebih tinggi karena perubahan usia, minum
obat tertentu, dan kemungkinan lebih besar terkena penyakit kronis yang mengubah
keseimbangan natrium tubuh.
 Penggunaan obat diuretik, antidepresanm dan anti nyeri.
 Kondisi yang menurunkan ekskresi air dalam tubuh. Seperti penyakit ginjal, SIADH,
dan gagal jantung, serta masih banyak lagi.
 Aktivitas fisik yang intensif. Seperti orang yang minum terlalu banyak air selagi
berpartisipasi dalam marathon, ultramarathon, triathlon, dan sebagainya.
D. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi hiponetremia secara global cukup tinggi dan pasien harus menjalani rawat inap
dalam proses penyembuhannya. Angka mortalitas pada hiponatremia berat cukup tinggi. 4 Di
Amerika Serikat, angkatan bersenjata pada tahun 2003 hingga 2018 melaporkan adanya
1.579 kasus saat beraktivitas berat. Tingkat insiden keseluruhan adalah 7,2 kasus per 100.000
orang pertahun.5
Di Indonesia, belum terdapat data epidemiologi secara nasional. Penelitian yang
dilakukan pada rumah sakit yang berbeda-beda menunjukkan hasil yang berbeda karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko. Tambajong et al melakukan penelitian di dua rumah
sakit di Manado. Sampel penelitian adalah 35 pasien penyakit ginjal kronis stadium 5 non-
dialisis dengan hasil penelitian mendapatkan 19 pasien (54,3%) mengalami hiponatremia.6
E. PATOFISIOLOGI7,8
Hiponatremia adalah hasil dari ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan air atau asupan
air berlebih. Asupan air tergantung pada mekanisme rasa haus. Rasa haus distimulasi oleh
peningkatan osmolalitas. Rasa haus diatur oleh osmoreseptor yang terletak di hipotalamus
dan sebabkan pelepasan hormon anti-diuretik (vasopresin) dari hipofisis posterior. Hormon
anti diuretic bekerja pada reseptor V2 yang terletak di basolateral saluran sel dan
menyebabkan peningkatan aquaporin pada luminal sel yang meningkatkan penyerapan air
dan menghilangkan rasa haus.
Hiponatremia dapat terjadi jika ada stimulasi ADH persisten yang biasanya terlihat pada
situasi berikut:
 Sekresi ADH yang persisten. Dalam penurunan volume, efek ini melawan efek
hipoosmolalitas dan stimulasi ADH terus terjadi. Deplesi volume darah yang efektif
terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu deplesi volume yang sebenarnya, dan pada pasien
dengan edema karena gagal jantung, atau sirosis dimana perfusi jaringan berkurang
karena rendahnya curah jantung atau vasodilatasi arteri. Penurunan perfusi jaringan
dirasakan oleh baroreseptor yang berada di (i) sinus karotis dan arkus aorta yang
mengatur aktivitas simpatis dan dengan penurunan volume yang signifikan, pelepasan
hormone anti-diuretik; (ii) di dalam arteriol aferen glomerulus yang megatur aktivitas
system renin-angiotensin; dan (iii) di atrium dan ventrikel yang mengatur pelepasan
peptida natriuretik. Sebagai hasilnya ada retensi air.
 Sekresi ADH yang abnormal, seperti SIADH.

Gambar 1. Patofisiologi hiponatremia7


F. KLASIFIKASI
Klasifikasi hiponatremia dibagi dalam beberapa aspek, diantaranya adalah:
1. Berdasarkan derajat berat nilai biokimiawi10
Terbagi menjadi 3 yaitu, (i) hiponatremia ringan, dengan kadar natrium plasma antara
130 dan 135 mEq/L, (ii) hiponatremia sedang, dengan kadar natrium plasma antara
125 dan 129 mEq/L, (iii) hiponatremia berat, dengan kadar natrium plasma dibawah
125 mEq/L.
2. Berdasarkan waktu terjadinya10
Terbagi menjadi akut dan kronik, dimana hiponatremia akut jika hiponatremia terjadi
<48 jam, dan kronik jika terjadi sekurang-kurangnya 48 jam.
3. Berdasarkan gejala 10
Terbagi menjadi gejala sedang dan berat, dimana hiponatremia bergejala sedang
didefinisikan sebagai derajat hiponatremia yang ditandai dengan gejala hiponatremia
yang cukup berat seperti mual tanpa muntah, delirium, dan nyeri kepala, sedangkan
gejala berat ditandai dengan gejala muntah, gagal jantung dan gagal nafas, somnolen,
kejang ataupun koma (GCS ≤8).
4. Berdasarkan riwayat klinis dan status volume1
Dibagi menjadi 3 kategori dan masing-masing kategori disebabkan oleh berbagai hal
yang berbeda, seperti:
 Hipovolemik. Keadaan ini menyebabkan aktivasi neurohumoral yang
meningkatkan kadar vasopressin dalam sirkulasi. Hal ini membantu menjaga
tekanan darah via vaskular dan baroreseptor V1A yang meningkatkan
reabsorbsi air melalui reseptor V2 renal. Aktivasi dari reseptor V2
menyebabkan hiponatremia. Kejadian ini terjadi akibat kehilangan natrium
dan cairan bebas dan diganti oleh cairan hipotonis yang tidak sesuai. Natrium
dapat hilang melalui jalur renal maupun non-renal, seperti saluran cerna,
keringat berlebih, dan cerebral salt-wasting. Salt wasting syndrome dapat
terjadi pada pasien yang mengalami cedera otak traumatic, pendarahan
aneurisma subarachnoid, dan pembedahan intracranial.
 Euvolemik. Dapat terjadi pada hipotiroid sedang hingga berat. Hiponatremia
berat juga dapat menjadi konsekuensi dari insufisiensi adrenal sekunder akibat
gangguan pada hipofisis, sedangkan defisiensi glukokortikoid yang dominan
pada kegagalan adrenal sekunder dikaitkan dengan kejadian hiponatremia
euvolemik. Kejadian ini disebabkan karena intake cairan berlebihan, obat-
obatan, stress, dan SIADH.
 Hipervolemik. Mengalami peningkatan total natrium klorida tubuh namun
disertai dengan peningkatan total air dalam tubuh yang lebih besar. Sehingga
terjadi penurunan konsentrasi natrium plasma.
Gambar 2. Hiponatremia berdasarkan riwayat klinis dan status volume11
G. PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh hiponatremia adalah pembengkakan seluler
generalisata yang terjadi karena perpindahan air yang menuruni gradient osmotik dari
ekstrasel ke intrasel. Gejala hiponatremia yang bersifat neurologis mencerminkan terjadinya
edema serebral atau hiponatremia ensefalopati. Gejela awal dapat berupa mual, nyeri kepala,
dan muntah. Namun, gejala tersebut dapat berkembang dengan cepat menjadi kejang,
herniasi batang otak, koma, bahkan kematian.1,12
Penilaian klinis pasien dengan hiponatremia harus berfokus pada penyebab yang
mendasarinya. Hiponatremia seringkali multifactorial, terutama bila parah. Evaluasi klinis
harus mempertimbangkan semua kemungkinan penyebab sirkulasi AVP berlebihan,
termasuk status volume, obat-obatan, adanya mual dana tau nyeri. Pemeriksaan radiologis
mungkin bisa dilakukan untuk menilai apakah disebabkan oleh paru maupun sistem saraf
pusat. Pemeriksaan CT-Scan thorax dipertimbangkan pada pasien dengan resiko tinggi tumor
terutama pasien dengan riwayat merokok. Pemeriksaan laboratorium seperti pengukuran
osmolaritas serum juga dibutuhkan untuk menyingkirkan pseudohiponatremia. Peningkatan
BUN dan kreatinin dapat menunjukan disfungsi ginjal sebagai penyebab potensial
hiponatremia, pengukuran glukosa serum, asam urat, fungsi tiroid,, adrenal dan hipofisis juga
perlu dilakukan untuk mencari penyebab hiponatremia. Pemeriksaan elektolit urin dan
osmolaritas adalah pemeriksaan yang penting dalam evaluasi awal hiponatremia.1,10,13
H. TATALAKSANA
Dalam tatalaksana hiponatremia ada 3 pertimbangan. Pertama, ada atau tidaknya keparahan
gejala menentukan urgensi dan tujuan terapi. Pasien dengan hiponatremi akut menunjukkan
gejala seperti sakit kepala, mual muntah, kejang, atau herniasi sentral; pasien hiponatremi
kronik (muncul >48 jam) cenderung jarang mengalami gejala berat. Kedua, pasien
hiponatremi kronik (>48 jam) berisiko terjadi osmotic demyelination syndrome (ODS) jika
serum Na dikoreksi >10-12 mEq/L pada 24 jam pertama dan/atau >18mEq/L pada 48 jam
pertama. Ketiga, respon intervensi (misalnya salin hipertonik / vasopresin antagonis)
beragam, perlu monitor serum natrium tiap 2-4 jam.1,10,13
Penanganan hiponatremia simptomatik akut harus memasukkan larutan salin hipertonik
3% untuk meningkatkan serum natrium 1-2 mEq/jam sampai total peningkatan 4 hingga 6
mEq. Peningkatan in ibiasanya cukup untuk mengurangi gejala akut. Pendekatan tradisional
untuk menghitung defisit natrium adalah dengan rumus 0,6 x berat badan x (target
konsentrasi natrium – konsentrasi awal natrium). Penyediaan oksigen dan ventilator juga
dipertimbangkan dalam pengobatan hiponatremia akut, karena dapat memicu edema paru
atau gagal nafas. 1,10,12
Pada hiponatremia kronik dikoreksi secara perlahan 0,5 mEq/L tiap jam maksimal 10
mEq/L dalam 24 jam untuk menghindari ODS, dengan rumus koreksi yang sam apada
hiponatremia akut. 1,10,12
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang berkaitan dengan hiponatremia dapat berupa rhabdomiolisis, kejang,,
kerusakan neurologi yang permanen akibat kejang atau edema serebral, gagal nafas, koma,
bahkam kematian.8,14

2.2 HIPERNATREMIA
A. DEFINISI1,13

Hipernatremia didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi Na+ dalam serum >145


meq/L. Hipernatremia memiliki risiko terjadinya kematian hingga 40-60% yang sebagian
besar bergantung pada keparahan penyakit yang mendasari. Hipernatremia juga
berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien rawat inap.

B. EPIDEMIOLOGI15

Kondisi Hipernatremia sering terjadi pada anak – anak dan lansia. Pada anak – anak,
skenario yang sering terjadi adalah penderita gastroenteritis yang tidak mendapatkan
terapi cairan (air) yang adekuat atau proses menyusui yang kurang efektif. Anak prematur
memilki risiko yang lebih tinggi karena luas permukaan tubuh yang lebih kecil serta
ketergantungan kepada pengurus untuk pemberian cairan. Pasien dengan gangguan
neurologis juga memiliki risiko oleh karena gangguan mekanisme haus dan ketersediaan
air yang kurang. Pasien yang memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan air
(gangguan status mental, pasien intubasi) juga berisiko tinggi mengalami hipernatremia.

C. ETIOLOGI1,16

Umumnya, hipernatremia disebabkan oleh defisit air dan elektrolit (Na + berlebih atau
ekskresi natrium lebih sedikit daripada cairan) dan yang lebih jarang disebabkan oleh
pemberian cairan Na+ - Cl- hipertonik yang berlebihan. Ada beberapa mekanisme yang
menyebabkan ekskresi cairan yang melebihi ekskresi natrium, diantaranya adalah:17
 Insensible Water Loss (IWL)  meningkat pada keadaan demam, olahraga, luka
bakar berat
 Diare osmotik akibat pemberian laktulosa atau sorbitol
 Diabetes insipidus
 Diuresis osmotik akibat hiperglikemi atau manitol
 Gangguan pusat haus di hipotalamus (osmoreseptor) akibat tumor

Eksresi cairan yang berlebih juga dapat dibagi berdasarkan rute keluarnya air, yang
dibagi menjadi dua, yaitu jalur ginjal dan non-ginjal. Jalur non-ginjal dapat berupa diare
osmotik, luka bakar berat, demam, dan olahraga berlebih sedangkan jalur ginjal dapat
berupa diuresis osmotik akibat hiperglikemi, kadar urea yang berlebih, diuresis post
obstruktif atau manitol. Hipernatremia akibat diuresis air terjadi pada diabetes insipidus.
Pemberian natrium berlebih dan melebihi jumlah cairan dalam tubuh juga dapat
menyebabkan hipernatremia, seperti koreksi bikarbonat yang terlalu berlebih pada
asidosis metabolik dimana pada keadaan ini tidak terjadi deplesi volume sehingga
natrium akan dieksresikan melalui urin, menyebabkan kadar natrium dalam urin
meningkat. Masuknya air kedalam sel yang tidak diikuti dengan elektrolit juga menjadi
penyebab hipernatremia, seperti latihan olahraga yang berat, asam laktat yang meningkat
menyebabkan osmolalitas sel juga meningkat.

D. PATOFISIOLOGI16,17
Natrium memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan cairan, terutama volume
cairan ekstraselular. Apabila terjadi perubahan pada cairan ekstraselular, tubuh akan
memberikan umpan balik (feedback) agar kadar natrium dalam cairan ekstraselular tetap
terjaga dengan menurunkan atau meningkatkan ekskresi natrium dalam urin. Ekstresi
natrium juga melibatkan mekanisme regulasi seperti sistem renin-angiotensin aldosteron.
Ketika kadar natrium dalam darah meningkat, osmolalitas plasma akan meningkat yang
selanjutnya akan mengaktifkan respon haus dan sekresi hormon antidiuretik (Antidiuretic
Hormone) sehingga air ditahan dalam darah dan urin menjadi lebih pekat.
Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik. Patofisiologi
hipernatremia secara luas dapat dibagi menjadi hipovolemik, euvolemic dan
hipervolemik, dimana hipovolemik merupakan jenis tersering. Keseimbangan cairan yang
negatif termasuk kedalam keadaan hipovolemia (dehidrasi hipernatremia) yang
diakibatkan oleh hilangnya cairan secara signifikan (urin, keringat, atau diare), kurangnya
intake air atau keduanya. Kurangnya cairan dalam tubuh mengakibatkan kadar natrium
dalam darah seakan-akan tinggi, sehingga muncul gejala – gejala akibat hipernatremia.
Hipernatremia euvolemik terjadi akibat intake natrium dalam jumlah tinggi dan
cepat yang melebihi kapasitas tubuh dalam mengekskresi natrium dan melebihi
kemampuan tubuh dalam menurunkan kadar natrium yang meningkat tinggi secara cepat.
Sedangkan hipernatremia hipervolemik disebabkan karena pemberian cairan dan natrium
yang terlalu cepat sehingga terjadi retensi air dalam tubuh yang mengakibatkan edema.
Hipernatremia jenis ini disebut juga sebagai “hipernatremia edematosa”.
Pada diabetes insipidus tipe sentral, terjadi penurunan sekresi dari ADH, yang
mengakibatkan ekskresi cairan tanpa dibarengi dengan ekskresi natrium, sehingga
mengakibatkan terjadinya hipernatremia. Olahraga berat juga dapat menginduksi
terjadinya hipernatremia karena air berpindah ke dalam sel sebagai respon adanya
peningkatan asam laktat dalam tubuh, sehingga meningkatkan osmolalitas sel dan kadar
natrium untuk sementara waktu.
Gambar dibawah ini menjelaskan mengenai patofisiologi hipernatremia

Gambar 1. Patosifiologi hipernatremia berdasarkan klasifikasinya19


Gambar 2. Patofisiologi hipernatremia berdasarkan etiologi yang mendasari.
Sumber : https://calgaryguide.ucalgary.ca/hipernatremia-physiology/

E. KLASIFIKASI17
Klasifikasi hipernatremia dibagi berdasarkan status hidrasinya yang terdiri dari 3 (tiga)
klasifikasi, yaitu:
 Hipernatremia hipovolemia
 Hipernatremia Euvolemia
 Hipernatremia Hipervolemia

Hipernatremia hipovolemia terjadi akibat penurunan volume cairan dalam tubuh


(keseimbangan cairan yang negatif) yang biasanya terjadi pada pasien yang tidak
memiliki akses kepada cairan (pasien yang terintubasi, menggunakan ventilator mekanik,
penggunaan pipa nasogastrik), hipernatremia euvolemia dapat terjadi karena konsumsi
garam dalam jumlah yang tinggi atau pemberian cairan hipertonik dalam jumlah yang
tinggi, sedangkan hipernatremia hipervolemia terjadi akibat pemberian cairan dan
natrium yang berlebih.
Gambar dibawah ini menyebutkan klasifikasi hipernatremia berdasarkan status
hidrasinya.
Gambar 3. Klasifikasi hipernatremia berdasarkan status hidrasinya.17
F. TANDA DAN GEJALA1,13,18
Terdapat banyak gejala yang dapat terjadi pada hipernatremia, diantaranya adalah:
 Takipneu
 Rasa lelah (restlessness)
 Kesulitan tidur
 Kelemahan otot
 High-pitched cry (pada anak)
 Letargi
 Koma
 Anoreksia
 Mual dan muntah
 Kerusakan otak (pada hipernatremia akut >160meq/L)
 Polidipsi dan poliuri

Hipernatremia meningkatkan osmolalitas cairan ekstraselular, yang akan tercipta


gradien osmotik antara cairan ekstraselular dengan cairan intraselular, efluks cairan
intraselular dan pengecilan sel. Sebagian besar gejala hipernatremia didominasi oleh
gejala neurologis, dengan perubahan status mental menjadi gejala tersering. Perubahan
status mental ini bervariasi dari confusion sampai koma. Pengecilan sel otak yang terjadi
secara mendadak pada hipernatremia akut dapat menyebabkan perdarahan intraserebral
atau subaraknoid pada anak dan neonatus. Kerusakan pada membran sel otot dapat
menyebabkan hipernatremia Rhabdomyolysis. Pada hipernatremia hipovolemia, gejala
hipotensi ortostatik dan takikardia menjadi gejala tersering yang muncul pada pasien.
Pada lansia, gejala hipernatremia tidak spesifik, seperti letargi, rasa lelah, dan pada kasus
berat, gangguan kesadaran dan kejang dapat terjadi. Terkadang gejala baru tampak saat
kadar natrium >160 meq/L. Gejala pada hipernatremia kronik lebih ringan dibandingkan
dengan hipernatremia akut karena sel sudah beradaptasi, terutama sel saraf pusat.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG1,19
Pemeriksaan penunjang pada pasien hipernatremia penting dilakukan karena tingkat
mortalitas akan semakin tinggi apabila penanganan dan diagnosis terlambat. Pemeriksaan
yang perlu dilakukan berupa kadar elektrolit, termasuk kalsium, Blood Urea Nitrogen
(BUN) dan kreatinin, osmolalitas serum dan urin, serta natrium urin.
Pemeriksaan untuk membedakan penyebab diabetes insipidus (sentral dan
nefrogenik) memerlukan pemeriksaan respon osmolalitas urin terhadap pemberian
desmopressin serta pengukuran hormon ADH pada keadaan hipertonik. Apabila dengan
pemberian desmopressin osmolalitas urin meningkat, maka dapat diabetes insipidus
terjadi akibat gangguan sentral, dan apabila osmolalitas urin tetap atau rendah, maka
diabetes insipidus terjadi akibat gangguan nefrogenik.
Gambar dibawah ini menjelaskan algoritma pada pasien dengan diabetes insipidus.
Gambar 4. Algoritma diagnosis pada pasien diabetes insipidus

H. DIAGNOSIS1,13,19
Penyebab hipernatremia harus ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis didapatkan gejala hipernatremia seperti iritabel, mual, muntah, rasa lemas,
perubahan status mental, koma, rasa haus, poliuri, serta etiologi yang mendasari seperti
diare, dll.. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan tanda – tanda dehidrasi (mukosa
oral, turgor kulit, hipotensi, urine output dan ekstremitas) dan pemeriksaan neurologis
secara detail dan menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan apabila
penyebab sudah jelas berdasarkan anamnesis, tetapi pemeriksaan elektrolit secara berkala
wajib dilakukan dalam rangka pemantauan terapi.
Gambar dibawah ini menjelaskan algoritma diagnosis pasien dengan hipernatremia 16
Gambar 5. Algoritma pasien hipernatremia16

I. TATALAKSANA1,13,20
Tatalaksana hipernatremia ditujukan untuk menangani masalah yang mendasari dan
memperbaiki hiperosmolalitas. Hal pertama yang perlu dilakukan dalam mendiagnosis
etiologi yang mendasari merupakan faktor penting untuk tatalaksana hipernatremia.
Etiologi dapat berupa obat, hiperglikemi, hiperkalsemi, hipokalemi, diare atau gangguan
ginjal. Setelah etiologi yang mendasari sudah teratasi, langkah kedua adalah menentukan
apakah hipernatremia yang terjadi merupakan proses akut (<24 jam) atau kronik (>24
jam). Pasien dengan hipernatremia aku memerlukan koreksi natrium yang lebih cepat,
dengan kecepatan 1 mEq/L/jam diperkirakan aman untuk pasien, sedangkan
hipernatremia kronik membutuhkan waktu koreksi yang lebih lama untuk menghindari
edema serebri, dengan kecepatan 0,5 mEq/L/jam dengan penurunan natrium tidak
melebihi 8-10 mEq/L. Target kadar natrium yang harus dicapai adalah 145 mEq/L
Langkah ketiga untuk tatalaksana hipernatremia adalah menentukan jumlah cairan
yang perlu diberikan serta defisit sodium yang perlu dicapai. Dalam menentukan cairan
yang diberikan, penting untuk mengetahui status hidrasi pasien. Pasien dengan
hipovolemia harus mendapatkan resusitasi dengan larutan normal saline 0,9% sampai
tanda vital dalam batas normal. pemberian cairan diberikan dengan menghitung rumus
sebagai berikut:16

Sebelum menggunakan rumus tersebut, perlu diketahui Total Body Water (TBW)
pada pasien tersebut dimana TBW adalah 45% untuk wanita >65 tahun, 50% untuk
wanita ≤65 tahun dan pria >65 tahun, 60% pada pria ≤65 tahun dan anak. Pemberian
cairan diberikan dalam waktu 48-72 jam dan dapat diberikan melalui peroral atau pipa
nasogastrik. Cairan peroral berupa air tanpa elektrolit (free water) atau cairan hipotonik
(NaCl 0,45%) untuk parenteral dapat diberikan untuk mencegah peningkatan natrium.
Terapi tambahan dapat diberikan pada etiologi yang spesifik, seperti pemberian
desmopressin pada diabetes insipidus sentral, pemberian amiloride 2,5-10 mg/hari pada
pasien dengan diabetes insipidus nefrogenik yang diakibatkan oleh litium.
J. KOMPLIKASI15,21
Komplikasi paling serius dari hipernatremia adalah perdarahan subaraknoid dan
intraserebral karena ruptur bridging veins dan trombosis sinus dura yang dapat
menyebabkan kematian atau kerusakan otak permanen. Pemberian terapi natrium yang
terlalu cepat pada hipernatremia kronik dapat menyebabkan edema serebri, kejang, dan
kerusakan otak permanen. Hipernatremia ekstrim (>190 mEq/L) menyebabkan gangguan
pada irama jantung berupa pemanjangan interval QT dan ventrikular takikardia (VT).

K. PROGNOSIS17
Pasien dengan hipernatremia sering datang dengan demam, sepsis atau diabetes yang
tidak terkontrol serta umur yang sudah lanjut (>80 tahun) yang membuat morbiditas dan
mortalitas tinggi. Selain itu, pasien dengan hiponatremia yang dirawat di rumah sakit
dapat menjadi hipernatremia akibat pemberian cairan yang terlalu banyak, peningkatan
penggunaan diuretik dan penggunaan hidrokortisone yang tinggi. Morbiditas dan
mortalitas yang terjadi sebagian besar diakibatkan oleh kerusakan neurologis akibat
rusaknya sel saraf pusat. Rusaknya sel ini diakibatkan oleh hiperosmolalitas akibat kadar
natrium yang tinggi

BAB III
KESIMPULAN

Hiponatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan merupakan
gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit tersering pada praktik klinik. Etiologi yang
dapat menyebabkan berupa obat seperti diuretik, gangguan jantung, ginjal dan hepar, SIADH,
muntah atau diare kronik, perubahan hormonal, dsb. Angka insiden hiponatremia cukup tinggi,
dimana di Amerika Serikat didapatkan insiden hiponatremia di angka 7,2 kasus per 100.000
orang pertahun. Di Indonesia sendiri didapatkan 54,3% pasien yang mengalami hiponatremia
pada penderita penyakit ginjal kronis stadium 5. Hiponatremia diakibatkan karena
ketidakmampuan ginjal dalam mengeluarkan air atau asupan air yang berlebih. Hiponatremia
memiliki klafisikasi berdasarkan derajat berat nilai biokimiawi, waktu terjadinya, gejala, dan
berdasarkan riwayat klinis dan status volume. Diagnosis Hiponatremia ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, dimana pada anamnesis didapatkan gejala
hiponatremia, pemeriksaan elektrolit urin, osmolaritas, BUN, kreatinin dll. Pada pemeriksaan
penunjang. Tatalaksana hiponatremia melihat 3 pertimbangan, yang pertama adalah keparahan
gejala, akut atau kronik dan respon intervensi.
Hipernatremia secara definisi adalah kadar natrium >145 mEq/L. Hipernatremia sering
terjadi pada anak dan lansia serta pada pasien yang sulit untuk mengakses cairan. Secara
penyebab, hipernatremia memiliki 3 penyebab yang mendasari, yaitu ekskresi cairan yang
berlebih, pemberian natrium yang berlebih atau pemberian cairan hipertonik dalam jangka waktu
yang lama. Hipernatremia memiliki klasifikasi berdasarkan status hidrasi pasien tersebut.
Diagnosis hipernatremia ditegakkan dengan anamnesis (adanya gejala hipernatremia),
pemeriksaan tanda dehidrasi dan neurologis secara detail pada pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan elektrolit serta osmolalitas plasma pada pemeriksaan penunjangnya. Tatalaksana
hipernatremia dibagi menjadi 2, yaitu mengatasi etiologi yang mendasari dan memperbaiki
hiperosmolalitas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison, T.R Resnick, W.R Wintrobe, M.M Thorn G. M. Harrison’s Principles of
Internal. 19th Editi. McGraw Hill; 2015.
2. Micheal M, Braun D, Craig H, Barstow M, Natasha P. Diagnosis and Management of
Sodium Disorders: Hiponatremia and Hipernatremia. Am Fam Physician [Internet].
2015;91(5):299–307. Available from:
https://www.aafp.org/dam/brand/aafp/pubs/afp/issues/2015/0301/p299.pdf
3. Harrison T., Resnick W., Wintrobe M., Thorn G. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 21st Editi. McGraw Hill; 2022.
4. Burst V. Etiology and Epidemiology of Hiponatremia. 2019;52:24–35.
5. Simon E, Hamrahlan S. Hiponatremia. Medscape. 2021;
6. Hao, J., Li, Y., Zhang, X., Pang, C., Wang, Y., Nigwekar, S. U., Qiu, L., & Chen L. The
prevalence and mortality of hiponatremia is seriously underestimated in Chinese general
medical patients: an observational retrospective study. BMC Nephrol. 2017;18(1):328.
7. Simon E. Hiponatremia. Medscape [Internet]. 2021; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/242166-overview
8. Tambajong RY, Rambert GI dan WM. Gambaran Kadar Natrium Dan Klorida Pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 Non-Dialisis. J e-Biomedik. 2016;4(1).
9. Sahay M, Sahay R. Hiponatremia: A practical approach. PubMed. 2014;18(6):760–71.
10. Shah K, Craig S. What is the pathophysiology of hiponatremia? Medscape. 2020;
11. Dhillon M. HIPONATREMIA: PHYSIOLOGY [Internet]. The Calgary Guide. 2022.
Available from: https://calgaryguide.ucalgary.ca/Hiponatremia--Physiology/
12. Spasovski G, Vanholder R, Allolio B, Annane D, Ball S, Bichet D, et al. Clinical Practice
Guideline Clinical practice guideline on diagnosis and treatment of hyponatraemia.
2014;29(February):1–39.
13. Hoorn E, Zietse R. Diagnosis and Treatment of Hiponatremia: Compilation of the
Guidelines. PubMed. 2017;28(5):1340–9.
14. Sterns, Richard H.; Silver SM. Complications and management of hiponatremia. Wolters
Kluwer Heal. 2016;25(2):114–9.
15. Sonani, B, Naganathan, S, Al-Dhahir, M. Hipernatremia. StatPearls. 2022. Available
from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441960/
16. Siregar, P. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit. Dalam: Setiati, S, Alwi, I, Sudoyo,
A, K, Marcellus, Setiyohadi, B, Syam, A. Buku ajar Ilmu Penyakit dalam. Edisi ke-6.
Interna
Publishing: 2014.
17. Butler, T, Weisz, K. Hipernatremia. Clin Lab Sci. 2016;29(3): 176-85. Available from:
http://clsjournal.ascls.org/content/ascls/29/3/176.full.pdf
18. Shrimanker, I, Bhattarai, S. Electrolytes. Statpearls. 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541123/
19. Shah, M, Workeneh, B, Taffet, G. Hipernatremia in the Geriatric Population. Clin Interv
Aging. 2014;9: 1987-92. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4242070/
20. Muhsin, S, Mount, D. Diagnosis and Treatment of Hipernatremia. Best practice & research
Clinical Endocrinology & Metabolism. 2016;30: 189-203.
21. Arambewela, M, Somasundaram, N, Garusinghe, C. Extreme Hipernatremia as a Probable
Cause of Fatal Arrhythmia: a Case Report. Journal of Medical Case Reports. 2016.
Available
From:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5045618/pdf/13256_2016_Article_1062.p
df

Anda mungkin juga menyukai