Anda di halaman 1dari 137

Rumah Sakit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

DIABETES MELITUS

Pengertian

Anamnesis

Pemeriksaan
Fisik

Kriteria
Diagnosis

Diagnosis Kerja

Diagnosis
Banding

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


yang ditandai oleh hiperglikema akibat defek pada:
- Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan
produksi glukosa hepatik)
- Sekresi insulin oleh beta pankreas
- Atau keduanya
Keluhan khas DM: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan tidak khas DM: lemah, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulva pada wanita
Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang
Tanda neuropati
Mata (visus, lensa mata dan retina)
Gigi mulut
Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku
1 Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200mg/dL,
atau
2 Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dL, atau
3 Kadar glukosa plasma 200mg/dL pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO
DM tipe 1
DM tipe 2
DM tipe spesifik lain
DM gestasional
Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu (TGT), glukosa
darah puasa terganggu (GDPT)

Pemeriksan
Penunjang

Tata Laksana

Edukasi

10 Prognosis
11 Tingkat
Evidence
12 Tingkat
Rekomendasi
13 Penelaah Kritis
14 Indikator
15 Kepustakaan

Pemeriksaan laboratorium:
- Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah
- Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan
- Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur, kretinin
- SGPT, albumin/globulin
- Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL,
trigliserida
- A1C
- Albuminuria mikro
Pemeriksaan penunjang lain: EKG, foto toraks, funduskopi
1 Edukasi meliputi pemahaman tentang: penyakit DM, makna
dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM,
intervensi farmakologis dan non farmakologis, hipoglikemia,
masalah khusus yang dihadapi, cara mengembangkan sistem
pendukung dan mengajarkan keterampilan, cara
mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
2 Perencanaan makanan : standar yang dianjurkan adalah
makanan dengan komposisi
Karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300mg/hari
Jumlah kandungan serat 25g/hr, diutamakan serat larut
Jumlah kalori basal per hari:
- Laki-laki : 30kal/kg BB idaman
- Wanita : 25 kal/kg BB idaman
3 Latihan jasmani : kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan
teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit).
Prinsip : Continous-rythmical-interval-progressive-endurance
4 Obat hipergilkemik oral
- Pemicu sekresi insulin: sulfonilurea,glinid
- Penambah sensitivitas terhadap insulun: metformin,
tiazolidindion
- Penghambat absorbsi glukosa: penghambat glukosidase
alfa
5 Insulin
Pemahaman tentang: penyakit DM, makna dan perlunya
pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM, intervensi
farmakologis dan non farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus
yang dihadapi, cara mengembangkan sistem pendukung dan
mengajarkan keterampilan, cara mempergunakan fasilitas
perawatan kesehatan.
Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1

PERKENI.Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia.2002.

2
3
4

PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.


2002.
The Expert Comittee On The Diagnosis dan Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003;26 (Suppl.I):S520.
Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a -Cell dysfunction.
Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002: The Reecent
Management in Diabetes and Its Complications: From
Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 November 2002. Simposium
Current Treament in Internal Medicine 2000. Jakarta 11-12
November 2000: 185-99.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

TIROTOKSIKOSIS

1. Pengertian

Tirotoksikosis merupakan suatu keadaan di mana didapatkan


kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu
kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu
jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.

2. Anamnesis

Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan


turun, perubahan suasana hati, bingung, diare, amenorea

3. Pemeriksaan
Fisik

5. Diagnosis Kerja

Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit


Graves atau penyakit lain
- Sistem saraf yang terganggu: delirium, koma
- Demam tinggi sampai 40C
- Takikardia sampai 130-200x/menit
- Dapat terjadi gagal jantung kongestif
- Gejala dan tanda tirotoksikosis: hiperaktivitas, palpitasi, berat
badan turun, nafsu makan meningkat, tidak tahan panas,
banyak keringat, mudah lelah, serinag buang air besar,
oligomenore/amenore dan libido turun, takikardia, fibrilasi
atrial, tremor halus, refleks meningkat, kulit hangat dan
basah, rambut rontok, bruit
- Gambaran klinis penyakit Graves: struma difus,
tirotoksikosis, oftalmopati/eksoftalmus, dermopati lokal,
akropaki
- Laboratorium: TSHs rendah, T4 atau fT4 tinggi. Pada T3
tirotoksikosis: T3 atau fT3 meningkat
Tirotoksikosis

6. Diagnosis
Banding

Hipertiroidisme primer, tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme,


hipertiroidisme sekunder

4. Kriteria
Diagnosis

7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

Laboratorium: TSHs, T4 atau fT4, t3 atau fT3, TSH Rab,


kadar leukosit (bbila timbul infeksi pada awal pemakaian obat
antitiroid)
- Sidik tiroid/thyroid scan
- EKG
- Foto toraks
Tatalaksana Penyakit Graves
- Obat antitiroid : PTU dosis awal 300-600mg/hari, dosis
maksimal 2000mg/hari. Metimazol dosis awal 2030mg/hari.
- Penyekat adrenergik : Propanolol dosis 40-200mg
dalam 4 dosis
- Tindakan bedah
- Radioablasi
Tatalaksana Krisis Tiroid
- Perawatan suportif
- Antagonis aktivitas hormon tiroid
- Pengobatan terhadap faktor presipitasi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia ad bonam
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15%

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertiroidisme.In: Waspadji S et al,
eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.p.766-72.
2. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL. Harrisons Principles of Internal Medicine.15th
ed. New York: McGraw-Hill;2001.p.2060-84.
3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta,15-16 April 2000:78-82.
4. Suyono S, Subekti I. Patogenesis dan Gambaran Klinis
Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting
2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. Waspadji S. Pengelolaan medis penyakit Graves. Makalah
Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober
2003.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM

1. Pengertian

Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi dekompensasi


metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius.

2. Anamnesis

Keluhan poliuria polidipsia, riwayat berhenti menyuntik


insulin, demam, muntah, nyeri perut

3. Pemeriksaan Fisik

4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksan
Penunjang

Kesadaran: kompos mentis, delirium,koma


Pernapasan cepat dan dalam (kussmaul)
Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir
kering)
- Dapat disertai syok hipovolemik
- Kadar glukosa : > 250mg/dL
- pH : <7,35
- HCO3 : rendah
- Anion gap: tinggi
- Keton serum: positif dan atau ketonuria
Ketoasidosis Diabetikum
Ketosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, ensefalopati
uremikum, asidosis uremikum, minum alkohol, ketosis
alkoholik, ketosis hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis
laktat, asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, druginduced acidosis, ensefalopati karena infeksi, trauma
kapitis
Pemeriksaan cito: gula darah, eletrolit, ureum, kreatinin,
aseton darah, urin rutin, analisis gas darah, EKG

8. Tata Laksana

Akses intravena (iv) 2 jalur, salah satunya dicabang dengan


3 way:
1. Cairan
- NaCl 0,9% diebrikan 1-2 L pada 1 jam pertama,
lalu 1L pada jam kedua, lalu 0,5L pada jam
ketiga dan keempat, dan 0,25 L pada jam kelima
dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
- Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar
15 L
- Jika Na > 155 mEq/L ganti cairan NaCl 0,45%
- Jika GD < 200mg/dL ganti cairan dengan D5%
2. Insulin (regular Insulin=RI)
- Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
- RI bolus 180mU/kgBB IV dilanjutkan:
- RI drip 90mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%
- Jika GD<200mg/dL: kecepatan dikurangi RI
drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%
- Jika GD stabil 200-300mg/dL selama 12 jam RI
drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding scale setiap 6 jam
- Jika kadar GD ada yang <100mg/dL: drip RI
dihentikan
- Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat
diperhitungkan kebutuhan insulin sehari-dibagi 3
dosis sehari subkutan, sebelum makan 9bila pasien
sudah makan)
3. Kalium
- Kalium (KCl) drip mulai bersamaan dengan drip
RI, dengan dosis 50mEq/6 jam. Syarat : tidak ada
gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang
lancip dan tinggi pada EKG dan jumlah urine cukup
adekuat
- Bila kadar K pada pemeriksaan elektrolit kedua:
< 3,5 drip KCL 75mEq/6jam
3,0 - 4,5 drip KCL 50 mEq/6jam
4,5 6,0 drip KCL 25mEq/6jam
>6,0 drip dihentikan
- Bila sudah sadar, diberikan K oral selama seminggu
4. Natrium bikarbonat
Drip 100mEq bila pH < 7,0 disertai KCl 26meq drip
50mEq bila pH 7,0-7,1 disertai KCl 13mEq drip
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemia
yang mengancam
5. Tatalaksana Umum
- Oksigen bila PO2 < 80mmHg
- Antibiotika adekuat
- Heparin : bila ada KID atau hiperosmolar
(>380mOsm/L) terapi disesuaikan dengan
pemantauan klinis:
- Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
pernapasan, temperatur setiap jam,

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Kesadaran setiap jam,


Keadaan hidrasi (turgor,lidah) setiap jam,
Produksi urin setiap jam, balans cairan
Cairan infus yang masuk setiap jam,
Dan pemantauan laboratorik

Dubia ad malam, tergantung usia, komorbid, adanya infark


miokard akut, sepsis, syok

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2. 2002.
2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Melitus. In:
Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di
bidang penyakit dalam. Jakarta, 15-16 April 2000: 838.
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In:Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang
penyakit dalam. Jakarta 15-16 April 2000:89-96
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barret EJ,
Kreisberg RA, Malone JL, et al. Management of
Hyperglycemic Crises in Ptients With Diabetes.
Diabetes Care, Jan 2001; 24 (1): 131-51.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

HIPOGLIKEMIA

1. Pengertian

Hipoglikemia adalah keadaan di mana kadar glukosa darah < 60


mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80mg/dL dengan gejala klinis.

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral:


dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
Lama menderita DM, komplikasi DM
Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll
Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat , dll
Pucat, diaforesis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung,
penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien
Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
Kadar glukosa plasma rendah
Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

5. Diagnosis Kerja

Hipoglikemia

6. Diagnosis
Banding

Hipoglikemia karena :
- Obat
- Hiperinsulinisme endogen
- Penyakit kritis
- Defisiensi endokrin
- Tumor non-sel
- Pasca prandial
- Kadar glukosa darah, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, Cpeptide

7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Stadium permulaan (sadar)


- Berikan gula murni 30gram (2 sendok makan) atau
sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau
gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
- Hentikan obat hipoglikemik oral sementara
- Pantau glukosa darah sewaktu setiap 1-2 jam

Pertahankan GD sekitar 200mg/dL (bila sebelumnya tidak


sadar)
Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga


hipoglikemia)
- Diberikan larutan D40% sebanyak 2 flakon (50mL) bolus
intravena
- Diberikan cairan D10% per infus, 6 jam per kolf
- Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer:
- Bila GDs < 50mg/dL + bolus D40% 50mL IV
- Bila GDs < 100mg/dL + bolus D40% 25mL IV
- Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian D40% :
- Bila GDs < 50 mg/dL + bolus D40% 50mL IV
- Bila GDs < 100 mg/dL + bolus D40% 25mL IV
- Bila GDs 100-200 mg/dL tanpa bolus D40%
- Bila GDs >200 mg/dL pertimbangkan menurunkan
kecepatan drip D10%
- Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut,
pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di
atas.Bila GDs> 200mg/dL pertimbangkan mengganti infus
dengan D5% atau NaCl 0,9%
- Bila GDs > 100mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding
scale setiap 6 jam
- Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian
antagonis insulin, seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau
glukagon 0,5-1mg IV / IM (bila penyebabnya insulin)
- Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200mg/dL:
Hidrokortison 100mg per 4 jam selama 12 jam atau
deksamethason 10mg IV bolus dilanjutkan 2mg tiap 6 jam
dan manitol 1,5-2g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab
lain penurunan kesadaran menurun
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2. Waspadji S. Kegawatdaruratan pada Diabetes Melitus.
Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di
bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta,15-16 april 2000: 83-8.
2. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles
of Internal Medicine. 15th ed. New York:McGraw-Hill;
2001.p.2138-43.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

DISLIPIDEMIA

1. Pengertian

Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai


oleh kelainan (peningkatan atau penurunan) fraksi lipid di dalam
plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kenaikan kadar trigleserid serum, penurunan
kadar kolesterol HDL. Secara klinis dislipidemia diklasifikasikan
menjadi 3, yaitu: hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, dan
campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigleseridemia

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Klasifikais kadar kolesterol:


Kolesterol LDL
- < 100mg/dL
- 100-129mg/dL
- 130-159mg/dL
- 160-189mh/dL
- 190mg/dL

Optimal
Hampir optimal
Borderline tinggi
Tinggi
Sangat tinggi

Kolesterol total
- < 200mg/dL
- 200- 239mg/dL
- 240 mg/dL

Idaman
Borderline tinggi
Tinggi

Kolesterol HDL
- < 40mg/dL
Rendah
- 60mg/dL
Tinggi
Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia
Normal
: < 150mg/dL
Borderline-tinggi
: 150-199 mg/dL
Tinggi
: 200-499 mg/dL
Sangat tinggi
: 500mg/dL

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Dislipidemia
-

Hiperkolesterolemia sekunder, karena hipotiroidisme,


penyakit hati obstruksi, sindrom nefrotik, anoreksia nervosa,
porfiria intermiten akut, obat (progestin,siklosporin, thiazide)
- Hipertrigliseridemia sekunder, karena obesitas, DM, penyakit
ginjal kronik, lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol,
bedah bypass ileal, stres, sepsis, kehamilan, obat, hepatitis
akut, SLE,gammopati monoklonal
- HDL rendah sekunder, karena malnutrisi, obesitas, merokok,
penghambat beta-steroid anabolik
Skrinning dianjurkan pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5
tahun sekali: kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida,
glukosa darah, tes fungsi hati, urin lengkap, tes fungsi ginjal, TSH,
EKG
Untuk hiperkolesterolemia:
Penatalaksanaan non farmakologis (perubahan gaya hidup):
- Diet,dengan komposisi
Lemak jenuh < 7% kalori total
PUFA hingga 10% kalori total
MUFA hingga 10% kalori total
Lemak total 25-35% kalori total
Karbohidrat 50-60% kalori total
Protein hingga 15% kalori total
Serat 20-30 g/hari
Kolesterol < 200mg/hari
- Latihan jasmani
- Penurunan berat badan bagi yang gemuk
- Menghentikan kebiasaan merokok,minuman alkohol
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target
sudah tercapai, pemantauan setiap 4-6 bulan.
- Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai:
intensifkan penurunan lemak jenuh dan kolesterol,
tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan konsumsi
serat, dan kerjasama dengan dietisien
- Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non farmakologis
tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka
terapi farmakologis mulai diberikan dengan tetap
meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani.
Terapi farmakologis
- Golongan statin:
Simvastatin 5-40mg
Lovastatin 10-80mg
Pravastin 10-40mg
Fluvastatin 20-80mg
Atorvastatin 10-80mg
- Golongan bile acid sequestrant
Kolesteramin 4-16mg
- Golongan nivotinic acid
Nicotinic acid 2x100mg sd 1,5-3g

Pasien dengan hipertrigliseridemia:


Penatalaksanaan non farmakologis sesuai yang di atas
Penatalaksanaan farmakologis
Target terapi:
- Pasien dengan trigliserida borderline atau tinggi: tujuan
utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL
- Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah
kadar kolesterol non-HDL, yakni sebesar 30mg/dL lebih
tinggi dari target kadar kolesterol LDL
- Pendekatan terapi obat
Obat penurun kadar kolesterol LDL
Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid.Golongan
fibrat terdiri dari:
Gemfibrozil 2x600mg atau 1x900mg
Fenofibrat 1x200mg
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia ad bonam

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada
Diabetes Melitus di Indonesia.1995
2. Expert Panel On Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Cholesterol in Adults. Executive Summary of the
Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel On Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III). JAMA, May 16, 2001;285(19):2486-97.
3. Semiardji G.National Cholesterol Education Program-Adult
treatment Panel III (NCEP-ATP III): Adakah hal yang baru?
Makalah siang klinik bagian metabolisme endokrinologi
bagian ilmu penyakit dalam,2002.
4. Ginsberg HN, Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein
Metabolism. In Braunwald E,Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL, Harrisons Principles of Internal
Medicine.15th ed. New York: McGraw Hill;2001.p.2245-57.
5. Suyono S.Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan
Sampai Kapan?Prosiding Simposium Current Treatment in
Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12 November 2000:18599.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

1. Pengertian

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid


yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme. Berdasarkan jumlah nodul dibagi:
- Struma mononodosa non toksik
- Struma multinodosa non toksik
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul
dibedakan menjadi : nodul dingin, nodul hangat, nodul panas.
Sedangkan berdasarkan konsistensinya, nodul dibedakan menjadi:
nodul lunak, nodul kistik, nodul keras, nodul sangat keras.
- Sejak kapan benjolan timbul
- Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
- Cara membesarnya: cepat atau lambat
- Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi
beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
- Riwayat keluarga
- Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
- Peubahan suara
- Gangguan menelan,sesak napas
- Penurunan berat badan
- Keluhan tirotoksikosis
Umum
Lokal
- Nodul tunggal atau majemuk
- Nyeri tekan
- Konsistensi
- Permukaan
- Perlekatan dengan jaringan sekitarnya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Permbertons Sign
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Langkah diagnostik I: TSHs, FT4
Hasil: Non Toksik Langkah diagnostik II: BAJAH nodul tiroid
Hasil:

A.
B.
C.
D.
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

Ganas
Curiga
Jinak
Tak cukup/sediaan tak representatif (dilanjutkan di kolom
terapi)

Struma nodosa non toksik


-

Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan


terhada tiroksin saat masa pertumbuhan, pubertas, laktasi,
menstruasi, kehamilan,menopause,infeksi,stres lain
- Tiroiditis akut
- Tiroiditis sub akut
- Tiroiditis kronis
- Simple Goiter
- Struma endemik
- Kista tiroid,kista degenerasi
- Adenoma
- Karsinoma tiroid primer ,metastatik
- Limfoma
Laboratorium T4 atau fT4,T3, dan TSHs
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid:
- Bila hasil laboratorium : non toksik
- Bila hasil lab. (awal) toksik, tetapi hasil scan cold nodule
syarat : sudah menjadi eutiroid
USG Tiroid:
- Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi
- Pemandu pada BAJAH
Sidik Tiroid
- Bila hasil klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH
(2 kali): jinak,
- Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas
Peatanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan
karsinoma tiroid medular, diperiksakan kalsitonin)
Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga
penyakit Hashimoto
Sesuai hasil BAJAH, maka terapi:
A. Ganas
Operasi tiroidektomi near-total
B. Curiga
Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku
(VC)
Bila hasil = ganas operasi tiroidektomi near-total
Bila hasil = jinak operasi lobektomi, atau tiroidektomi
near total
Alternatif : sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule
operasi
C. Tak cukup/sediaan tak representatif
- Jika nodul solid (saat BAJAH): ulang BAJAH
Bila klinis curiga ganas tinggi operasi lobektomi

Bila klinis curiga ganas rendah observasi


- Jika nodul kistik (saat BAJAH): aspirasi
Bila kistik regresi observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah
observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi operasi
lobektomi
D. Jinak
Terapi dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis
- Dosis dititrasi mulai 25 ug (3hari)
- Dilanjutkan 3x25ug (3-4 hari)
- Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis
menjadi 2x100ug sampai 4-6 minggu,kemudian
evaluasi TSH (target 0,1 0,3 ulU/L)
- Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
- Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil
mengecil atau tidak (berhasil bila mengecil >50% dari
volume awal)
Bila nodul mengecil atau tetap L-tiroksin
dihentikan dan diobservasi:
Bila setelah itu struma membesar lagi, maka Ltiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1 0,3 ulU/L)
Bila setelah L-tiroksin dihentikan, struma tidak
berubah, diobservasi saja
- Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi
supresi obat dihentikan dan operasi tiroidektomi
dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hasil PA:
- Jinak : terapi dengan L-tiroksin : target TSH 0,53,0 uIU/L
- Ganas : terapi dengan L-tiroksin
- Individu dengan risiko ganas tinggi target
TSH < 0,01 -0,05 uIU/L)
- Individu dengan risiko ganas rendah :
Target TSH 0,05-0,1 uIU/L
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non Toksik.In: Waspadji S et
al, eds.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; p.757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam
Markum HMS, Suyono HAW, Effendy S, Setiati S, Gani RA,
Alwi I,eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu
Penyakit Dalam 1997. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit

Dalam ; 1997.p.207-13
3. Subekti I. Struma Nodosa non Toksik (SNNT). In
Simadibrata M, Setiati s, Alwi I, Maryantoro, Gani RA,
Masjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.187-9
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah
Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta , 18 Oktober
2003
5. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL. Harrisons Principles of Internal Medicine.15th
ed. New York: McGraw Hill; 2001.p.2060-84

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

KISTA TIROID

1. Pengertian

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan


10-25% dari seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul
kistik kurang dibandingkan nodul solid. Sebagian nodul kistik
mempunyai bagian yang solid.
- Sejak kapan benjolan timbul
- Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
- Cara membesarnya: cepat atau lambat
- Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi
beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
- Riwayat keluarga
- Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
- Peubahan suara
- Gangguan menelan,sesak napas
- Penurunan berat badan
- Keluhan tirotoksikosis
Umum
Lokal
- Nodul tunggal atau majemuk
- Nyeri tekan
- Konsistensi
- Permukaan
- Perlekatan dengan jaringan sekitarnya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Permbertons Sign
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Langkah diagnostik I: TSHs, FT4
Hasil: Non Toksik Langkah diagnostik II: Pungsi aspirasi kista
dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid

5. Diagnosis Kerja

Kista Tiroid

6. Diagnosis
Banding

Kista degenerasi
Karsinoma tiroid

7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

USG Tiroid
Dapat membedakan bagian padat dan cair
Dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid
Gambaran USG kista=kurang lebih bulat, seluruhnya
hipoekoik sonolusen, dinding tipis
- Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin
- Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH): pada bagian yang solid
Pungsi aspirasi seluruh kista :
- Bila kista regresi observasi
- Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah
pungsi aspirasi dan observasi
- Bila kista rekurens, klinis kecurigaanbganas tinggi
operasi lobektomi
Dubia ad bonam, tergantung tipe dan jenis histopatologinya

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non Toksik.In: Waspadji S et
al, eds.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; p.757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam
Markum HMS, Suyono HAW, Effendy S, Setiati S, Gani RA,
Alwi I,eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu
Penyakit Dalam 1997. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam ; 1997.p.207-13
3. Subekti I. Struma Nodosa non Toksik (SNNT). In
Simadibrata M, Setiati s, Alwi I, Maryantoro, Gani RA,
Masjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.187-9
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah
Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta , 18 Oktober
2003

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

BRADIARITMIA

1. Pengertian

Bradiaritmia adalah perlambatan denyut jantung di bawah 50


kali/menit yang dapat disebabkan oleh disfungsi sinus nide,
hipersensitivitas/kelainan sistem persarafan dengan dan atau
adanya gangguan konduksi atrioventrikular. Dua keadaan yang
sering ditemukan:
- Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome)
- Gangguan konduksi atrioventrikular/blok AV (AV Block):
blok AV derajat satu, blok AV derajat dua, blok AV total

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome)


Keluhan:
- Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam
bentuk letih, pening, limbung, pingsan
- Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas
- Bila disertai dengan takikardi disebut braditakiaritmia;
terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina pektoris
atau sinkop (pingsan)
- Dapat pula menyebabkan kelainan/perubahan kepribadian,
lupa ingatan, dan emboli sistemik
EKG
- EKG monitoring baik selama rawat inap di RS maupun
dalam perawatan jalan, dapat menemukan kelainan EKG
berupa bradikardi sinus persisten
Blok AV
Blok AV derajat I
- Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebihi
0,2 detik
Blok AV derajat dua
- Mobitz tipe I (Wenckebach), gelombang P bentuk normal
dan irama atrium yang teratur, pemanjangan PR secara
progresif lalu terdapat gelombang P yang tidak

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

dihantarkan, sehingga terlihat interval RR memendek dan


kemudian siklus tersebut berulang kembali
- Mobitz tipe II, Irama atrium teratur dengan gelombang P
normal.Setiap gelombang P diikuti gelombang QRS
kecuali yang tidak dihantarkan dan bisa lebih dari 1
gelombang P berturut-turut yang tidak dihantarkan. Irama
QRS bisa teratur atau tidak teratur bergantung pada denyut
yang tidak dihantarkan. Kompleks QRS bisa sempit bila
hambatan terjadi pada berkas his, namun bisa lebar seperti
pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang
berkas.
Blok AV total (complete AV Block)
- Terjadi hambatan total konduksi antara atrium dan
ventrikel. Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai
frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel < frekuensi atrium)
Keluhan sinkop,vertigo, denyut jantung < 50 kali/menit
EKG: disosiasi atrioventrikular
Blok AV derajat satu, blok AV derajat dua (Mobitz tipe I,Mobitz
tipe II) , blok AV total
-

7. Pemeriksan
Penunjang

EKG 12 sadapan, Rekaman EKG 24 jam (Holter ECG Monitor),


Ekokardiografi, Angiografi Koroner, Pemeriksaan elektrofisiologi

8. Tata Laksana

Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome)


Pada keadaan gawat darurat berikan sulfas atropin (SA) 0,5-1mg
(total 0,04 mg/kgBB) jika tidak ada respons berikan drip
isoproterenol mulai dengan dosis 1ug/menit sampai 10 ug/menit
secara bertahap. Kemudian lanjutkan dengan pemasangan pacu
jantung, sesuai dengan sarana yang tersedia.
Blok AV
Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik.
Walaupun demikian etiologi penyakit dan riwayat alamiah
penyakit ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya
obat-obatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila
penyebabnya oleh karena faktor metabolik yang reversibel maka
faktor-faktor tersebut harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme,
asidosis, gangguan elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang
mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat sementara, maka
mungkin hanya perlu diberikan pengobatan sementara (pacu
jantung sementara) seperti hal nya pada infark miokard akut
inferior. Pada penderita yang simtomatik, perlu dipasang pacu
jantung permanen.
Blok AV Total
Pada keadaan darurat (simtomatik/asimtomatik) berikan sulfas
atropin (SA) 0,5-1mg IV (total 0,04 mg/kgBB) atau isoproterenol.
Bila obat tidak menolong pasang alat pacu jantung sementara,

selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen.

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Panggabean MM. Bradiaritmia. In: Simadibrata M, Setiadi S,
Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI;1999.p.161-5.
2. Karo KS. Disritmia. In: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS,
Roebiono PS, editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 1999.p.275-88.
3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang
spesifik. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M, Lesmana
LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 1996.p.1005-14.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

EDEMA PARU AKUT (KARDIAK)


1. Pengertian

Edema paru akut (kardiak) adalah akumulasi cairan di paru-paru


secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskular.

2. Anamnesis

Riwayat sesak napas yang bertambah berat dalam waktu singkat


(jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa
kemerahan
- Sianosis sentral
- Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih
- Ronki basah nyari di basal paru kemudian hampir seluruh
lapangan paru; kadang-kadang disertai ronki kering ronki
kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme
sehingga disebut asma kardial
- Takikardia dengan gallop S3
- Murmur bila ada kelainan katup
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Elektrokardiografi, bisa sinus takikardia dengan hipertrofi
atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal
jantung.Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
bisa ditemukan
- Laboratorium, analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mulamula rendah dan kemudian hiperkapnea. Enzim
kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
- Foto toraks, opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian
makin ke arah apeks paru kadang-kadang timbul efusi pleura
- Ekokardiografi, gambaran penyebab gagal jantung: kelainan
katup, hipertrofi ventrikel, dan umumnya ditemukan dilatasi
ventrikel kiri dan atrium kiri

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

Edema Paru Akut (kardiak)

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Edema paru akut non kardiak, emboli paru, asma bronkial


Darah rutin, ureum, kreatinin, analisis gas darah, elektrolit,
urinalisis, foto toraks, EKG, Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin
T), ekokardiografi transtorakal, angiografi koroner

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

1. Posisi duduk
2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan
masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu, ronki
bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60mmHg
dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan
ventilator/bipep
3. Infus emergensi
4. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral
0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik >
95mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 35 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat
diberikan
nitroprusid
IV
dimulai
dengan
dosis
0,1ug/kgBB/menit bila tidak memberi respons dengan nitrat,
dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau
sampai tekanan darah sistolik 85-90mmHg pada pasien yang
tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi adekuat ke organ-organ vital
6. Morfin sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai
total dosis 15 mg
7. Diuretik: furosemid 40-80mg IV bolus dapat diulangi atau
dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutan drip kontinu
dampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam
8. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hipoperfusi): Dopamin
2-5ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10ug/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai
respons klinis atau keduanya.
9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,
asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen
11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi
12. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti
regurgitasi, VSD, dan ruptur dinding ventrikel atau korda
tendinae
Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi

SMF Ilmu Penyakit Dalam


Panggabean MM. Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan
Gagal Jantung Kronik In: Simadibrata M, Setiadi S, Alwi I,
Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis
dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FKUI;1999.p.161-5.
Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
ENDOKARDITIS INFEKTIF
1. Pengertian

Endokarditis infektif adalah inflamasi pada endokard yang


biasanya melibatkan katup dan jaringan sekitarnya yang terkait
dengan agen penyebab infeksi

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Kriteria klinis Duke untuk Endokarditis Infektif (EI):


EI definite:
- Kriteria Patologis
Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi
dalam vegetasi yang mengalami emboli atau dalam suatu
abses intrakardiak
Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang
dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan
endokarditis aktif
- Kriteria klinis : menggunakan definisi spesifik, yaitu: dua
kriteria mayor atau satu mayor dan tiga kriteria minor atau
lima kriteria minor
Kriteria Mayor
1. Kultur darah positif untuk endokarditis infektif (EI)
a. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur
darah terpisah seperti tertulis di bawah ini:
- Streptocci viridans, streptococcus bovis atau grup
HACEK atau
- Community acquired Staphylococcus aureus atau
enterococci tanpa ada fokus primer
b. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah
positif persisten didefinisikan sebagai:
- kultur dari sampel darah yang diambil terpisah >
12 jam atau
- Semua dari 3 atau mayoritas dari 4 kultur darah
terpisah (dengan sampel awal dan akhir terpisah 1
jam)

2. Bukti keterlibatan kardial


a. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai :
- Massa intrakardiak oscilating pada katup atau
struktur yang menyokong, di jalur aliran jet
regurgitasi atau pada materia yang diimplantasikan
tanpa ada alternatif anatomi yang dapat
menerangkan,atau
- Abses, atau
- Tonjolan baru pada katup prostetik atau
b. Regurgitasi valvular yang baru terjadi (memburuk atau
berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup)
Kriteria Minor
1. Predisposisi: predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat
intravena
2. Demam : suhu 38 C
3. Fenomena vaskular : emboli arteri besar, infark pulmonal
septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial,
perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway
4. Fenomena imunologis : glomerulonefritis, Oslers nodes,
Roth spots, dan faktor reumatoid
5. Bukti mikrobiologi : kultur darah positif tetapi tidak
memenuhi kriteria mayor seperti tertulis di atas atau bukti
serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan
EI
6. Temuan kardiografi : konsisten dengan EI tetapi tidak
memenuhi kriteria seperti tertulis di atas
El possible
Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak
memenuhi kriteria rejected

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

El rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis atau
resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotik 4 hari
atau tidak ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau
autopsi setelah terapi antibiotik 4 hari
Endokarditis Infektif
Demam rematik akut dengan karditis, sepsis tuberkulosis milier,
lupus eritematosus sistemik, glomerulonefritis pasca streptokokus,
pielonefritis, poliarteritis nodosa, reaksi obat
Darah rutin, EKG, foto toraks, ekokardiografi, transesofageae
ekokardiografi, kultur darah
Prinsip terapi adalah oksigenasi, cairan intravena yang cukup,
antipiretik, antibiotik
Regimen yang dianjurkan (AHA)
1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Str.
Bovis:
- Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau
6 dosis terbagi selama 4 minggu atau seftriason 2g 1

kali/hari iv atau im selama 4 minggu


- Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau
6 dosis terbagi selama 2 minggu dengan gentamicin
sulfat 1mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 2 minggu
- Vankomisin hidroklorida 30mg/kgBB/24 jam IV dalam 2
dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum
dipantau selama 4 minggu
2. Endokarditis katup asli karena Str.Viridans dan Str. Bovis
relatif resisten terhadap Penisilin G
- Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6
dosis terbagi selama 2 minggu dengan gentamicin sulfat
1mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 2 minggu
- Vankomisin hidroklorida 30mg/kgBB/24 jam IV dalam 2
dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum
dipantau selama 4 minggu
3. Endokarditis karena Enterococci
- Penisilin G kristal 18-30 juta unit/24 jam iv kontinu atau
dalam 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan
gentamicin sulfat 1mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama
4-6 minggu
- Ampisilin 12g/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis
terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamicin sulfat 1
mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu
- Vankomisin hidroklorida 30mg/kgBB/24 jam IV dalam 2
dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam selama 4-6minggu
dengan gentamicin sulfat 1mg/kgBB im atau iv tiap 8
jam selama 4-6minggu
4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik
a. Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci
- Nafsilin atau oksasilin 2 g IV tiap 4 jam selama 4-6
minggu dengan opsional ditambah dengan gentamicin
sulfat 1mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 3-5hari
b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam
- Ceftazolin (atau sefalosporin generasi I lain dalam
dosis setara) 2 g IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu
dengan opsional ditambah gentamicin sulfat
1mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 3-5hari
- Vankomisin hidroklorida 30mg/kgBB/24 jam IV
dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar
serum dipantau selama 4-6minggu
Operasi dilakukan bila
Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang
adekuat, gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap
terapi medis, vegetasi yang menetap setelah emboli sistemik, dan
ekstensi perivalvular
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence

Tergantung beratnya gejala komplikasi

12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

SMF Ilmu Penyakit Dalam


Alwi I. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektif pda
Penyalah Guna Obat Intravena. In: Setiadi S, Sudoyo AW, Alwi I,
Bawazier LA, Soejono CH, Lydia A, et al, editors. Naskah
Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalama 2000.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI: 2000.p.171-86.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
FIBRILASI ATRIAL

1. Pengertian

Fibrilasi atrial adalah adanya iregularitas kompleks QRS dan


gambaran gelombang P dengan frekuensi antara 350-650 per menit

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Gambaran EKG berupa adanya iregularitas kompleks QRS dan


gambaran gelombang P dengan frekuensi antara 350-650 per menit
Klasifikasi FA berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang
mendasari:
1. Primer : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung
dan kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia
2. Sekunder : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung
tetapi ada kelainan sistemik yang dapat menimbulkan
aritmia
Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbulnya FA serta
kemungkinan keberhasilan usaha konversi ke irama sinus:
1. Paroksismal, bila FA berlangsung kurang dari 7 hari,
berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan
atau tindakan apapun
2. Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat
berhenti dengan intervensi pengobatan atau tindakan
3. Permanen bila FA berlangsung lebih dari 7 hari, dengan
intervensi pengobatan FA tidak berubah

5. Diagnosis Kerja

FA dapat pula dibagi menjadi:


1. FA Akut, bila timbul kurang dari 48 jam
2. FA kronik, bila timbul lebih dari 48 jam
Fibrilasi Atrial

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

EKG bila perlu menggunakan Holter Monitoring pada


pasien FA paroksismal
- Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya
penyakit primer
- Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali
untuk kepentingan akademik
Fibrilasi Atrial Paroksismal
1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya
diberi penerangan saja
2. Bila menimbulkan keluhan yang memerlukan pengobatan
dan tanpa kelainan jantung atau disertai kelainan jantung
minimal dapat diberi obat penyekat beta atau obat
antiaritmia kelas IC seperti profenon atau flekainid
3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan
amiodaron
4. Bila dengan obat-obat itu juga tidak berhasil,
dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obatan antiaritmia
lain
5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amiodaron
merupakan obat pilihan
Fibrilasi Atrial Persisten
1. Bila FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan
kurang dari 48 jam, perlu dilakukan kardioversi ke irama
sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik
tanpa pemberian antikoagulan sebelumnya. Setelah
kardioversi diberikan obat antikoagulan paling sedikit
selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas
IC (propafenon dan flekainid)
2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya
maka pasien diberi obat antikoagulan secara oral paling
sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi
farmakologis atau elektrik. Selama periode tersebut dapat
diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau
antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel.
Alternatif lain pada pasien tersebut dapat diberikan heparin
dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan
adanya trombus kardiak sebelum kardioversi
3. Pada FA persisten episode pertama, setelah dilakukan
kardioversi tidak diberikan obat antiaritmia profilaksis.
Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini
dapat diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat
beta,golongan kelas IC (propafenon, flekainid), sotalol
atau amiodaron
Fibrilasi Atrial Permanen
1. Kardioversi tidak efektif
2. Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau

antagonis kalsium
3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV
atau pemasangan pacu jantung permanen
4. FA resisten, perlu pemberian antitromboemboli
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Ismail D. Fibrilasi Atrial: Aspek Pencegahan Terjadinya
Strok. In: Setiati S, Sudoyo AW, Alwi I, Bawazier LA,
Kasjmir Y, Mansjoer A, editors. Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2001.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2000.p.97-114
2. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo
KS, Roebiono PS, editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI: 1999.p.275-88
3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang
Spesifik. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M,
Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta;
Balai Penerbit FKUI; 1996.p.1005-14
4. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M,
Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A,eds.
Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta ; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p.155-60

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
GAGAL JANTUNG KRONIK

1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

Gagal jantung kronik merupakan sindrom klinis yang kompleks


akibat kelainan fungsi atau struktural jantung yang mengganggu
kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa
Dispne deffort; orthopnea; paroxysmal nocturnal dispnea; lemas;
anoreksia dan mual; gangguan mental pada usia tua
Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi
vena jugularis, refluks hepatojugular, pulsus alternans,
kardiomegali, ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas di
kedua lapangan paru bila gagal jantung berat, edema pretibial pada
pasien yang rawat jalan, edema sakral pada pasien tirah baring.
Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri.
Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan
perikarditis konstriktif, hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba
pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik,
ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin,
ektremitas dingin, pucat dan berkeringat
Kriteria Framingham: Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling
sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor
Kriteria Mayor
- Paroxysmal nocturnal dispnea
- Distensi vena-vena leher
- Peningkatan vena jugularis
- Ronki
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop bunyi jantung III
- Refluks hepatojugular positif
Kriteria Minor
- Edema ekstremitas
- Batuk malam
- Sesak pada aktivitas
- Hepatomegali
- Efusi pleura

Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal


Takikardia (>120 denyut per menit)

Mayor atau minor


Penurunan berat badan 4,5kg dalam 5 hari terapi
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

Gagal Jantung Kronik


-

Penyakit paru : pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut,


infeksi paru berat misalnya ARDS, emboli paru
- Penyakit ginjal: gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
- Penyakit hati: sirosis hepatis
- Foto rontgen dada : Pembesaran jantung, distensi vena
pulmonaris dan redistribusi ke apeks paru (opasifikasi hilus
paru bisa sampai ke apeks), peningkatan tekanan vaskular
pulmonar, kadang-kadang ditemukan efusi pleura.
- Elektrokardiografi : membantu menunjukkan etiologi gagal
jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain) Dapat
ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan lainlain
- Laboratorium
Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit),
hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah
Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria
- Ekokardiografi
Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci
tentang fungsi dan struktur jantung, katup dan perikard. Dapat
ditemukan fraksi ejeksi yang rendah < 35-40 % atau normal,
kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis
trikuspid atau regurgitasi trikuspid), hipertrofi ventrikel kiri,
dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi
ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade,
atau perikarditis
Non Farmakologi
Anjuran umum:
- Edukasi: terangkan hubungan keluhan, gejala dengan
pengobatan
- Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat
dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan
profesi yang masih bisa dilakukan
- Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang
- Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila
mampu
- Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan
berat, penggunaan hormon dosis rendah masih dapat
dianjurkan
Tindakan umum :
- Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2g pada gagal jantung
ringan dan 1g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter

pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung
ringan
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari
pada yang lainnya
Aktivitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut

Farmakologi
- Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung
membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis rendah
tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop
diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis
diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena atau
kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai
berat ( klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.
- Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi
neurohormona, dan pada gagal jantung yang disebabkan
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
- Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama
beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil . Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat beta yang
digunakan caverdilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa
digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
- Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
kontraindikasi penggunaan penghambat ACE
- Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat memberi
hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan
penghambat ACE dapat dipertimbangkan
- Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama dengan
fibrilasi atrial , digunakan bersama-sama diuretik,
penghambat ACE, penyekat beta
- Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronik maupun dengan riwayat

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus


intrakardiak dan aneurisma ventrikel
Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap.
Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang
mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama maiodaron
dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak
digunakan untuk mencegah kematian mendadak
Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.

Tergantung klas fungsional

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Panggabean MM, Suryadipraja RM.Gagal Jantung Akut
dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S,
Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 1999.p.140-54.
2. ACC/AHA. ACC/AHA Guidelines for the evaluation and
management of chronic heart american heart Association
Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise
the 1995 Guidelines for the evaluation and management of
herat failure). Circulation 2001; 104: 2996-3007.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL

1. Pengertian

Takikardia atrial paroksismal adalah takikardia yang terjadi karena


perangsangan yang berasal dari AV node di mana sebagian
rangsangan antegrad ke ventrikel sebagian ke atrium

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di


belakang kompleks QRS atau sama sekali tidak ada karena berada
dalam kompleks QRS. Jaarak R-R teratur kompleks QRS langsing,
kecuali pada rate ascendent aberrant conduction

5. Diagnosis Kerja

Takikardia Atrial Paroksismal

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

EKG 12 sandapan
Rekaman EKG 24 jam
Pemeriksaan elektrofisiologi
Ekokardiografi
Angiografi koroner
TEE ( Transesofageal Echocardiografi)
1. Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ball
pressure, pemijitan sinus karotikus dan sebagainya
2. Pemberian obat yang menyekat node AV
a. Adenosin atau adenosin tri phospate (ATP) IV. Obat ini
harus diberikan secara intravena dan cepat (flush)
b. Verapamil intravena
c. Obat penyekat beta
d. Digitalisasi
3. Bila sering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih
dahulu EPS untuk menentukan lokasi bypass tract atau ICD
(Defibrillator Intra Cardial)

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang
Spesifik. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M,
Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, ediotors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 1996.p.1005-14.
2. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M,
Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p.155-60.

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
PERIKARDITIS
1. Pengertian

Perikarditis peradangan pada perikard parietalis, viseralis atau


kedua-duanya, yang bermanifestasi sebagai: perikarditis akut, efusi
perikard tanpa tamponade, efusi perikard dengan tamponade,
perikarditis konstriktif

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Perikarditis akut
Sakit dada tiba-tiba substernal atau prekordial, yang
berkurang bila duduk,dan bertambah sakit bila menarik napas
(sehingga perlu dibedakan dengan pleuritis). Pada
pemeriksaan fisik ditemukan friction rub. EKG menunjukkan
ST elevasi cekung (bedakan dengan infark jantung dan
repolarisasi dini). Foto jantung normal atau membesar.
Tamponade
Pada fase awal terjadi peninggian tekanan vena jugularis
dengan cekungan x prominen dan hilangnya cekungan y
( juga terlihat pada kateter vena sentral). Pada fase
selanjutnya timbul tanda kusmaull (peninggian vena jugularis
pada saat inspirasi), pulsus paradoksus (penurunan tekanan
darah >12-15mmHg pada isnpirasi, terlihat pada arterial line
atau tensimeter). Penurunan tekanan darah. Umumnya
tamponade disertai : pekak hati yang meluas, bunyi jantung
melemah, friction rub, takikardia. Foto toraks menunjukkan:
- Paru normal kecuali bila sebabnya kelainan paru seperti
tumor
- Jantung membesar membentuk kendi (bila cairan >
250ml)
- EKG low voltage, elektrikal alternans (gelombang QRS
saja, atau P, QRS dan T)
- Ekokardiografi: efusi perikard moderat sampai berat,
swinging heart dengan kompresi diastolik vena kava
inferior, atrium kanan dan ventrikel kanan
- Kateterisasi: peninggian tekanan atrium kanan dengan

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

gelombang x prominen serta gelombang y menurun atau


menghilang. Pulsus paradoksus dan ekualisasi tekanan
diastolik di ke-4 ruang jantung (atrium kanan, ventrikel
kanan, ventrikel kiri dan PCW)
Perikarditis konstriktif
Kelelahan, denyut jantung cepat, dan bengkak
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda gagal jantung seperti
peningkatan tekanan vena jugularis dengan cekungan x dan y
yang prominen, hepatomegali, asites dan edema
Pulsus paradoksus (pada bentuk subakut)
End diastolic sound (knock)( lebih sering pada kronik)
Tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada
inspirasi) terutama pada yang kronik
Foto toraks: kalsifikasi perikard, jantung bisa membesar atau
normal
Echo CT scan dan MRI bisa mengkonfirmasi foto toraks. Bila
CT scan/MRI normal maka diagnosis perikarditis konstriktif
hampir pasti sudah bisa disingkirkan
Kateterisasi menunjukkan perbedaan tekanan atrium kanan,
diastolik ventrikel kanan, ventrikel kiri, dan rata-rata PCW <
5mmHg. Gambaran dip dan plateu pada tekanan ventrikel

Perikarditis akut
Efusi perikard
Tamponade jantung
Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru,
pleuropneumonia, diseksi aorta, akut abdomen
Efusi perikard/tamponade: kardiomiopati dilatasi atau gagal
jantung, emboli paru
Perikarditis konstriktiva: kardiomiopati restriktif
EKG, foto toraks, ekokardiografi (terutama bila tersangka
pericardial efusion) kateterisasi, CT scan, MRI
Perikarditis Akut
- Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk
memastikan diagnosis dan diagnosis banding serta melihat
kemungkinan terjadinya tamponade
- Simtomatik dengan aspirin 650mg/4jam atau OAINS
indometasin 25-50mg/6jam. Dapat ditambahkan morfin 25mg/6jam atau petidin 25-50mg/jam, hindarkan steroid
karena sering menyebabkan ketergantungan. Bila tidak
membaik dalam 72 jam, maka prednison 60-80mg/hari
dapat dipertimbangkan selama 5-7hati dan kemudian
tappering off
- Cari etiologi kausal
Efusi perikard
- Sama dengan perikarditis akut, disertai pungsi perikard
untuk diagnostik
Tamponade jantung
- Perikardiosintesis perkutan
- Bila belum bisa dilakukan perikardiosintesis perkutan,

infus normal saline 500ml dalam 30-60menit disertai


dobutamin 2-10ug/kgBB/menit atau isopreterenol 220ug/menit
- Kalau perlu membuat jendela perikardial dengan :
- Dilatasi balon melalui perikardiostomi jarum perkutan
- Pembedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) untuk
membuat jendela perikardial dapat dilakukan bila:
tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosintesis,
tidak membaik dengan perikardiosintesis , kasus
trauma
- Pembedahan yang dapat dilakukan
1. Bedah sub-xyphoid perikardiostomi
2. Reseksi perikard lokal dengan bantuan video
3. Reseksi perikard anterolateral jantung
- Pengobatan kausal: bila sebabnya antikoagulan, harus
dihentikan: antibiotik, antituberkulosis, atau steroid
tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard bila
etiologinya tumor
Perikarditis konstriktiva
- Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS
- Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yang terjadi

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis. In: Sjaifoellah N,
Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio
H et al,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1996.p.107781.
2. Panggabean MM, Mansjoer H. Perikarditis. Dalam:
Simadibrata M,Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA,
Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalan FKUI; 1999.p.17377

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
SINDROM KORONER AKUT
1. Pengertian

2. Anamnesis

Sindrom koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung


dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau
gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom
koroner akut mencakup:
- Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
- Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
- Angina pektoris tak stabil (unstable angina pectoris)
Nyeri dada tipikal (angina)berupa nyeri dada substernal,
retrosternal, dan prekordial. Nyeri dada seperti ditekan, ditindih
benda berat, rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas dan
dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri,
mandibula,gigi,punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan
kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat,
atau tidak, Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stres emosi, udara
dingin, dan sesudah makan. Dapat disertai gejala mual, muntah,
sulit bernapas, keringat dingin, dan lemas.

3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

Anamnesis
Elektrokardiogram
- Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi
segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q
- Infark miokard ST elevasi: hiperakut T, elevasi segmen ST,
Gelombang Q inversi gelombang T
- Infark miokard non ST elevasi: depresi segmen ST, inversi
gelombang T dalam
Petanda Biokimia
- CK,CKMB, Troponin T dll
- Enzim meningkat minimal 2 kali nilai batas normal
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
Infark miokard akut tanpa elevasi segmen
Angina pektoris tak stabil
- Angina pektoris tidak stabil: infark miokard akut
- Infark miokard akut: diseksi aorta, perikarditis akut, emboli

7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

paru akut, penyakit dinding dada, sindrom tietze, gangguan


gastrointestinal seperti: hiatus hernia dan refluks esofagitis,
spasme atau ruptur esofagus, kolesistitis akut, tukak lambung,
dan pankreatitis akut
EKG
Foto rontgen dada
Petanda biokimia: darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll
Profil lipid, gula darah, uereum, kreatinin
Ekokardiografi
Tes treadmill (untuk stratifikasi setelah infark miokard)
Angiografi koroner
- Tirah baring di ruang rawat intensif jantung (ICCU)
- Pasang infus intravena dengan Nacl 0,9% atau dekstrosa 5%
- Oksigenasi dimulai dengan 2 liter/menit 2-3jam, dilanjutkan
bila saturasi oksigen arteri rendah (<90%)
- Diet : puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair.
Selanjutnya diet jantung
- Pasang monitor EKG secara kontinu
Atasi nyeri dengan
- Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi
(kontraindikasi bila TD sistolik < 90mmHg), bradikardia (< 50
kali/menit), takikardia, atau
- Morfin 2,5mg (2-4mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit
sampai dosis total 20 mg atau peidin 25-50mg intravena atau
tramadol 25-50mg intravena,
Antitrombotik
- Aspirin (160-345mg), bila alergi atau intoleransi /tidak
responsif diganti dengan tiklopidin atau clopidogrel
Trombolitik dengan streptokinase 1,5juta unit dalam 1 jam atau
aktivator plasminogen jaringan (t-PA) bolus 15mg, dilanjutkan
dengan 0,75mg/kgBB (maksimal 50mg) dalam jam pertama dan
0,5mg/kgBB (maksimal 35mg) dalam 60 menit jika elevasi segmen
ST> 0,1 mv pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampinagn
0,2 mv pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan,
waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75tahun.
Blok cabang (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
Antikoagulan heparin direkomendasikan untuk pasien yang
menjalani revaskularisasi perkutan atau bedah, pasien dengan
risiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark miokard anterior
atau luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada
trombus ventrikel kiri yang tidak ada kontraindikasi heparin.
Heparin diberikan dengan target aPTT 1,5 2 kali kontrol. Pada
angina pektoris tak stabil heparin 5000 unit bolus intravena,
dilanjutkan dengan drip 1000 unit/jam sampai angina terkontrol
dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol.
Pada infark miokard akut yang ST elevasi > 12 jam diberikan bolus

heparin intravena 5000 unit dilanjutkan dengan infus selama ratarata 5 hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol.
Pada infark miokard anterior transmural luas antikoagulan
diberikan sampai saat pulang rawat. Pada penderita dengan
trombus ventrikular atau dengan diskinesia yang luas di daerah
apeks ventrikel kiri antikoagulan oral diberikan secara tumpang
tindih dengan heparin sejak beberapa hari hari sebelum heparin
dihentikan. Antikoagulan oral diberikan sekurang-kurangnya 3
bulan dengan menyesuaikan nilai INR (2-3)
Atasi rasa takut dan cemas
- Diazepam 3 x 2-5mg oral atau iv
Pelunak tinja
Laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml
-

Penyekat beta diberikan bila tidak ada kontraindikasi


Penghambat ACE diberikan bila keadaan mengizinkan
terutama pada infark miokard akut yang luas, atau anterior,
gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard
Antagonis kalsium: verapamil untuk infark miokard non ST
elevasi atau angina pektoris tidak stabil bila nyeri tidak teratasi

Atasi komplikasi:
1. Fibrilasi atrium
- Kardioversi elektrik untuk pasien dengan gangguan
hemodinamik berat atau iskemia intraktabel
- Digitalisasi cepat
- Penyekat beta
- Diltiazem atau
verapamil
bila
penyekat
beta
dikontraindikasikan
- heparinisasi
2. Fibrilasi ventrikel
DC shock unsynchronized dengan energi awal 200j, jika tidak
berhasil harus diberikan shock kedua 200-300J dan jika perlu
shock ketiga 360 J
3. Takikardia ventrikel
- VT polimorfik menetap (> 30 detik) atau menyebabkan
gangguan hemodinamik: DC shock unsynchronized dengan
energi awal 200 J, jika gagal harus diberikan shock kedua
200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J
- VT monomorfik yang menetap diikuti angina, edema paru
atau hipertensi harus diterapi dengan DC shock
unsynchronized energi awal 100 J. Energi dapat
ditingkatkan jika dosis awal gagal.
- VT monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru
atau hipotensi dapat diberikan: Lidokain bolus 115mg/kgBB. Bolus tambahan 0,5-0,75mg/kgBB tiap 5-10
menit sampai bolus loading total maksimal 3 mg/kgBB.
Kemudian loading dilanjutkan dengan infus 2-4mg/menit

4.

5.
6.

7.

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

(30-50ug/kgBB/menit); atau Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg


BB dalam 5-10 menit dilanjutkan dosis pemeliharaan
1mg/kgBB/jam; atau amiodaron 150mg infus selama 10-20
menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit dilanjutkan infus tetap
1mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan
0,5mg/menit; atau kardioversi elektrik synchronized
dimulai dengan dosis 50 J (anestesi sebelumnya)
Bradiaritmia dan blok
- Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung < 50
kali/menit disertai hipotensi, iskemia aritmia ventrikel
escape)
- Asistol ventrikel
- Blok AV simtomatik terjadi pada tingkat nodus AV (derajat
dua tipe I atau derajat tiga dengan ritme escape komplek
sempit)
- Terapi dengan sulfas atropin 0,5-2mg. Isoproterenol 0,54ug/menit bila atropin gagal, sementara menunggu pacu
jantung sementara
Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik,diterapi
sesuai standar pelayanan medis mengenai kasus ini
Perikarditis
- Aspirin (160-325mg/hari)
- Indometasin
- Ibuprofen
- Kortikosteroid
Komplikasi mekanik
- Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur
dinding ventrikel di tatalaksana operasi

Tergantung daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada


tidaknya komplikasi

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Sindrom Koroner Akut. In: Bawazier LA, Alwi I, Syam AF,
Gustaviani R, Mansjoer A, editors. Prosiding Simposium
Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta :
Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2001.p.32-42
2. Harun S, Alwi I, Rasyidi K. Infark Miokard Akut. In:
Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA,
Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1999.p.165-72

3. Santoso T. Tatalaksana Infark Miokard Akut. In: Subekti I,


Lydia A, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprahoita,
editors.
Prosiding
Simposium
Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat
Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2000.p.1-10

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
RENJATAN KARDIOGENIK
1. Pengertian

Renjatan kardiogenik adalah kegagalan sirkulasi akut karena


ketidakmampuan daya pompa jantung

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksan
Penunjang

Tanda-tanda gagal jantung


Kemungkinan : komplikasi infark miokard akut seperti ruptur
septum interventrikel atau muskulus papilaris. Infark
ventrikel kanan pada infark inferior di mana denyut jantung
rendah karena blok AV, tanda gagal jantung kanan dengan
paru yang tidak kongestif. Murmur: regurgitasi akut aorta,
mitral, stenosis aorta berat, atau trombosis katup prostetik
Trias renjatan: tekanan darah < 90mmHg, takikardia, dan oligouria
Pemeriksaan Fisik
Elektrokardiografi
- Tanda iskemia, infark, hipertrofi, low voltage
- Aritmia: AV blok, bradiaritmia, takiaritmia
Foto toraks
- Opasifikasi hilus dan bagian basal paru, kemudian makin
ke arah apeks paru. Kadang-kadang efusi pleura
Ekokardiografi
- Kontraktilitas ventrikel kiri atau ventrikel kanan yang
buruk, dilatasi ventrikel kiri atau atrium kiri atau arteri
pulmonalis, regurgitasi katup, miksoma atrium, efusi
perikard dengan tamponade, kardiomiopati hipertrofik,
perikarditis konstriktiva
Renjatan kardiogenik
-

Syok hipovolemik
Syok obstruktif (emboli paru, tension pneumotoraks)
Syok distributif (syok anafilaksis, sepsis, toksik, overdosis
obat)
- Infark jantung kanan
Darah rutin, ureum, kreatinin, AGD, elektrolit, foto toraks, EKG,
enzim jantung (CK-CKMB, troponin T), angiografi koroner

8. Tata Laksana

1. Posisi duduk bila ada edema paru kecuali hipotensi berat


2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan
masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu, ronki
bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60mmHg
dengan )2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi,atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan
ventilator
3. Infus emergensi
4. Bila ada tension pneumotoraks segera diidentifikasi dan
ditatalaksana untuk dekompresi dengan chest tube
torakotomi
5. Atasi segera aritmia dengan obat atau DC
6. Jika ada defisit volume yang ikut berperan berikan normal
salin 250-500ml kecuali ada edema paru akut. Jika terapi
cairan gagal pasang kateter Swan Ganz
7. EKG prekordial kanan untuk deteksi gagal jantung kanan
bila ada infark akut inferior
8. Penilaian cukup tidaknya volume paling baik dengan
kateter Swan Ganz untuk mendapatkan PAWP. Jika
pemberian cairan kontraindikasi atau tidak efektif berikan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah sistolik
100mmhg. Dopamin dimulai dengan 5 ug/kgBB/menit
dititrasi sampai tercapai target mempertahankan tekanan
darah atau sampai 15 ug/kgBB/menit. Tambahkan
norepinefrin bila tekanan darah < 80 mmhg dengan dosis
0,1 30 ug/kgBB/menit. Jika tidak respons dengan
dopamin dapat juga ditambahkan dobutamin dengan dosis
titrasi 2,5-20ug/kgBB/menit. Atau milrinon/amrinon
9. IABP (Intra Aortic Ballon Pump) bila tidak responsif
dengan terapi adekuat sambil menunggu tindakan
intervensi bedah.
10. Jika tekanan darah sudah stabil dapat diberikan vasodilator
untuk mengurangi afterload dan memperbaiki fungsi
pompa terutama berguna pada : hipertensi berat, edema
paru, dekompensasi katup. Nitrogliserin sublingual atau
intravena
11. Nitrigliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika
tekanan darah sistolik > 95mmHg bisa diberikan
nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5ug/kgBB. Jika tidak
memberi hasil yang memeuaskan maka dapat diberikan
nitropusid. Nitropusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgbb/menit
bila tidak memberi respons dengan nitrat , dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan
darah sistolik 85-90mmhg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
12. Bila perlu: diberikan dopamin 2-5 ug/kgbb/menit atau
dobutamin 2-10ug/kgbb/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons

klinis
13. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark
miokard
14. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,
asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen
15. Atasi aritmia atau gangguan konduksi
16. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut seperti
regurgitasi, VSDdan ruptur dinding ventrikel atau korda
tendinae
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut
dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S,
Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors.
Pedoman Diagnosis Dan terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p.140-54
2. Trisnohadi HB. Syok Kardiogenik. In: Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di bidang
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000.p.11-16
3. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Sindrom Koroner Akut. In: Bawazier LA, Alwi I, Syam
AF, Gustaviani R, Mansjoer A, editors. Prosiding
Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2001.p.32-42

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
EFUSI PLEURA
1. Pengertian

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik

Efusi pleura adalah adanya cairan di rongga pleura >15mL,


akibat ketidakseimbangan gaya Starling, abnormalitas
struktur endotel dan mesotel, drainase limfatik terganggu
dan abnormalitas site of entry (defek diafragma)
Tipe efusi pleura
- Efusi transudatif: cairan pleura bersifat transudat
(kandungan konsentrasi protein atau molekul besar
lain rendah). Efusi transudatif terjadi karena
perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan absorpsi cairan pleura.
- Efusi eksudatif: cairan pleura bersifat eksudat
(konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat).
Efusi eksudatif terjadi karena perubahan faktor
lokal mempengaruhi pembentukan dan absorpsi
cairan pleura
Chylothoraks : timbul bila terjadi disrupsi ductus
thoracicus dan akumulasi chylus di rongga pleura
keadaan ini disebabkan trauma, atau tumor
mediastinum
Hemothoraks: cairan pleura mengandung darah, dan Ht
cairan pleurs > 50% Ht darah tepi keadaan ini
disebabkan trauma atau ruptur pembuluh darah atau
tumor
Efusi pleura maligna: dapat ditemukan sel-sel ganas yang
terbawa pada cairan pleura atau ditemukan pada jaringan
pleura saat biopsi pleura
Efusi paramaligna: efusi yang disebakan keganasan, tetapi
sel-sel neoplasma tidak dapat ditemukan pada cairan pleura
atau jaringan pleura. Efusi paramaligna dapat berupa cairan
transudat
Nyeri,sesak,demam
Restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada
Bila > 300ml cairan:
Bagian bawah/daerah cairan:

4. Kriteria Diagnosis

Perkusi : redup
Fremitus taktil dan fokal: menghilang
Suara napas: melemah sd menghilang fremitus (saat awal)
Trakea: terdorong ke kontralateral
Di atas dari cairan: penekanan paru/konsolidasi
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Foto toraks
- PA: sudut kostofrenikus tumpul (bila > 500mL
cairan)
- Lateral: sudut kostofrenikus tumpul (> 200mL
cairan)
- Pa/lateral: gambaran perselubungan homogen
menutupi struktur paru bawah, biasanya relatif
radioopak, permukaan atas cekung
USG : Menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga
pleura, membimbing aspirasi efusi terllokulasi (terutama
bila ketebalan efusi < 10mm atau terlokulasi)
CT scan (bila perlu): menunjukkan efusi yang belum
terdeteksi dengan radiologi konvensional, memperlihatkan
parenkim paru, identifikasi penebalan pleura dan kalsifikasi
karena paparan asbestos, membedakan abses paru perifer
dengan empyema terlokulasi
Pungsi pleura (torakosentesis) dan analisis cairan pleura:
melihat komposisi cairan pleura dan membandingkan
komposisi cairan pleura dengan darah
Dinilai secara :
Makroskopis:
- Transudat = jernih, sedikit kekuningan
- Eksudat = warna leih gelap, keruh
- Empiema = opak,kental
- Efusi kaya kolesterol= berkilau seperti satin
- Efusi chylous=seperti susu
Mikroskopis:
- Sel leukosit < 1000/mm3:transudat
- Sel leukosit meningkat, predominasi limfosit matur:
neoplasma, limfoma, TBC
- Sel leukosit predominasi PMN: pneumonia,
pankreatitis
Kimiawi
- Protein
- LDH
- Cairan disebut eksudat bila memenuhi salah satu
dari 3 kriteria:

Rasio kadar protein total cairan pleura/serum > 0,5


Rasio kadar LDH > 200IU atau > 2/3 batas atas
nilai normal serum
Jika efusi pleura eksudat, selanjutnya diperiksakan:
Kadar glukosa
Kadar amilase
PH
Hitung jenis
Kadar lipid: trigleseride
Pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi
Amilase
Tes bakteriologi: pewarnaan gram, kultur MOR,
pemeriksaan BTA langsung dan kultur BTA
Sitologi

5. Diagnosis Kerja

Efusi Pleura

6. Diagnosis Banding

Transudat, eksudat, chylothorax, empiema

7. Pemeriksan
Penunjang

Foto toraks PA, lateral dan lateral dekubitus


Analisis cairan pleura
Pemeriksaan cairan pleura : BTA langsung, kultur BTA,
kultur mikroorganisme +resistensi
Sitologi cairan pleura (dengan atau tanpa cytospin)
USG toraks
CT scan
Efusi karena gagal jantung
- Diuretik
- Torakosentesis diagnostik bila:
Efusi menetap dengan terapi diuretik
Efusi unilateral
Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna
Efusi+febris
Efusi +nyeri dada pleuritik

8. Tata Laksana

Efusi Parapneumonia/Empiema
Torakosentesis+Antibiotika drainase
Efusi pleura karena pleuritis tuberkulosis
Obat anti tuberkulosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid
dosis 0,75-1mg/kgBB /hari selama 2-3 minggu. Setelah ada
respons diturunkan bertahap+torakosentesis terapetik., bila
sesak atau efusi>tinggi dari sela iga III
Efusi pleura keganasan
- Drainase dengan chest tube + pleurodesis kimiawi.
Kandidat yang baik untuk pleurodesus ialah:
Terjadi rekurens yang cepat
Angka harapan hidup: minimal beberapa bulan
Pasien tidak debilitasi

Cairan pleura dengan pH > 7,3


Alternatif pasien yang tidak dapat dilakukan
pleurodesis ialah pleuroperitoneal shunt
Terapi kanker paru (lihat PPM kanker paru)
Kemoterapi sistemik pada limfoma, kanker
mammae dan karsinoma paru small cell
Radioterapi pada limfoma dan chylothorax
limfomatous
dengan
keterlibatan
KGB
mediastinum
Pasien dengan lama harapan hidup pendek atau
keadaan buruk : torakosentesis teraupetik periodik

Chylotoraks
Chest tube /thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang
pleuroperitoneal shunt
Hemothoraks
Chest tube/thoracostomy, bila perdarahan > 200ml/jam,
pertimbangkan torakotomi
Efusi karena penyebab lain:
Atasi penyakit primer
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia: tergantung penyebab, dan penyakit komorbid


Prognosis buruk pada efusi pleura maligna

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Uyainah A. Efusi pleura. In : Simadibrata M,Setiati
S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Infromasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI,1999:210
2. Rosenbluth DB. Pleural effusions: Nonmalignant
dan Malignant. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman
JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, editors.
Fishmans Manual Of Pulmonary Disease and
Disorders.3rd
ed.
New
York:
McGraw
Hill,2002:487-506.
3. Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum,
and Diaphragm. In: baraunwald E, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Harrisonss Principle of Internal Medicine. 15th ed.
New York: Mc Graw Hill.2001: 1513-6

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

PNEUMOTORAKS

1. Pengertian

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik

Pneumotoraks adalah akumulasi udara di rongga pleura


disertai kolaps paru. Pneumotoraks spontan : terjadi tanpa
trauma atau penyebab jelas:
- Pneumotoraks spontan primer: pada orang sehat
Faktor risiko : merokok
Penyebab: umumnya ruptur bleb subpleural atau
bullae
- Pneumotoraks spontan sekunder: pada penderita
PPOK, tuberkolosis paru, asma, cystic fibrosis,
pneumonia Pneumocystis carinii,dll
Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang
didahului trauma, termasuk: biopsi transbronkhial,dll
Menurut jenis fistulanya, dibagi atas:
- Pneumotoraks ventil
- Pneumotoraks terbuka
- Pneumotoraks tertutup
Nyeri dada, akut,terlokalisir,dispnea (pada pneumotoraks
ventil: tiba-tiba, makin hebat), batuk, hemoptisis
-

Takipneu
Sisi terkena (ipsilateral):
Statis: lebih menonjol
Dinamis: pergerakan berkurang/tertinggal
Fremitus: menghilang
Perkusi: hipersonor
Auskultasi: suara napas melemah-menghilang
Tanda pneumotoraks tension
Keadaan umum sakit berat
Denyut jantung > 140x/m
Hipotensi
Diaforesis
Deviasi trakea ke sisi kontralateral
Distensi vena leher

4. Kriteria Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Foto toraks
- Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal
oleh ruangan lusen
- PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan
antara paru dan dinding dada pada apeks
- Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinal shift,
depresi diafragma, ekspansi rib cage
Ct scan
Membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau
bullae

5. Diagnosis Kerja

AGD
Hipoksemi, mungkin disertai hipokarbia (karena
hiperventilasi)atau efusi pleura, kanker paru
Pneumotoraks

6. Diagnosis Banding

Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark


miokardium, PPOK eksaserbasi akut, efusi pleura,kanker
paru

7. Pemeriksan
Penunjang

Foto toraks, CT scan toraks


Analisis gas darah: bila diperlukan

8. Tata Laksana

Pneumotoraks unilateral kecil (<20%) dan


asimtomatik: observasi, foto toraks serial
Aspirasi: anestesi lokal di sela iga II anterior (garis
midklavikula) aspirasi dengan kateter 16F atau 18F,
hingga tidak ada gas lagi keluar
Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara
besar: konsul bagian bedah/subbagian bedah toraks
untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube.
Tube disambungkan ke water sealed chamber, dapt
disertai suction untuk 24 jam pertama atau selama
masih ada kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak
terjadi pneumotoraks lagi: tube dapat dicabut
Jika pneumotoraks rekurens:
Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura,
atau:
Konsul bagian bedah/subbagian bedah toraks untuk
pertimbangan:
- Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura
parietal atau stripping pleura parietal),atau
- Torakoskopi,atau open thoracotomy
Indikasi:
- Kebocoran udara memanjang
- Reekspansi paru tidak sempurna
- Bullae besar

- Risiko pekerjaan
Indikasi relatif
- Pneumotoraks tension
- Hemopneumotoraks
- Bilateral pneumotoraks
- Rekurens ipsilateral/kontralateral
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia : tergantung tipe penyakit dasar, faktor


pemberat/komorbid

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Bahar A. Pneumotoraks. In: Simadibrata M, Setiati
S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Masjoer A,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1999.p.221-2
2. Rosenbluth DB. Pneumotorax. In Fishman AP,
Elias JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM,
editors. Fishmans manual of pulmonary disease
and
disorders.3rd
ed.
New
York:
McGrawHill;2002.p.507
3. Light
RW.
Disorders
of
the
pleura,
mediastinum,and diaphragm. In Braunwald E,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, Harrisons Principle of Internal
Medicine.15th ed. New York: McGrawHill;2001.p.1513-6

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

TUBERKULOSIS PARU

1. Pengertian

Tuberkulosis paru adalah infeksi paru yang


menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan
bakteri Mycobacterium tuberculosis berdasarkan
hasil pemeriksaan sputum, TB dibagi dalam:
- TB paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3
spesimen sputum BTA positif
- TB paru BTA negatif, dari 3 spesimen
sputum BTA negatif, foto toraks positif
Berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang
ditunjukkan oleh foto toraks, TB paru dibagi dalam:
- TB paru dengan kelainan paru luas
- TB Paru dengan kelainan paru sedikit
Berdasarkan organ selain paru yang diserang, TB
paru dibagi dalam:
- TB ekstra pru ringan : TB kelenjar limfe,
TB tulang non-vertebra, TB sendi, TB
adrenal
- TB ekstraparu berat: meningitis TB milier,
TB diseminata, perikarditis, pleuritis,
peritonitis, TB vertebra, TB usus, TB
genitouranirius
Berdasarkan riwayat pengobatannya, TB paru
dibagi dalam:
- Kasus baru
- Kambuh
- Drop out/default
- Gagal terapi
- Kronis

2. Anamnesis

Batuk > 3 minggu, batuk berdarah, sesak napas,


nyeri dada, malaise, lemah, berat badan turun, nafsu
makan turun, keringat malam, demam

3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum lemah, kakeksia, takipnea, febris


Paru: tanda-tanda konsolidasi

4. Kriteria Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium: LED meingkat
Mikrobiologis:
- BTA sputum positif minimal 2 dari 3
spesimen SPS
- Kultur Mycobacterium tuberculosis positif
(diagnosis pasti)
Radiologis
- Foto toraks PA lateral (hasil bervariasi):
infiltrat, pembesarab KGB hilus/KGB
paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura,
kalsifikasi, bronkiektais,kavitas,destroyed
lung
Immunoserologis
- Uji kulit dengan tuberkulin (mantoux)
positif > 15 mm pada orang indonesia
- Tes PAP, ICT-TB: positif

5. Diagnosis Kerja

TB paru

6. Diagnosis Banding

Pneumonia, tumor/keganasan paru, jamur paru,


penyakit paru akibat kerja

7. Pemeriksan Penunjang

Laboratorium : LED
Mikrobiologis: BTA sputum, kultur resistensi
sputum terhadap M.tuberculosis
- Pada kategori 1 dan 3 : sputum BTA
diulangi pada akhir bulan ke 2,4 dan 6
- Pada kategori 2: sputum BTA diulang pada
akhir bulan ke 2,5,8
- Kultur BTA sputum diulangi pada akhir
bulan ke 2 dan akhir terapi
Radiologis: foto toraks PA, lateral pada saat
diagnosis awal dan akhir terapi. Selama terapi:
evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6
bulan
Imuno serologis:
- Uji kulit dengan tuberkulin (mantoux)
- Tes PAP, ICT-TB PCR-TB dari sputum
Terapi umum: istirahat, stop merokok, hindari
polusi, tata laksana, komorbiditas, nutrisi, vitamin
Medikamentosa obat anti TB (OAT)

8. Tata Laksana

Kategori 1 : untuk

Penderita baru TB paru, sputum BTA positif


Penderita TB Paru, sputum BTA negatif,
rontgen positif dengan kelainan luas
Penderita TB ekstra paru berat diterapi
dengan 2RHZE/4RH 2RHZE/4R3H32RHZE/6HE

Kategori 2 untuk:
- Penderita kambuh
- Penderita gagal
- Penderita after default
- Diterapi dengan 2RHZES/1RHZE/5RHE
- 2RHZES/1RHZE/5 R3H3E3
Kategori 3 untuk:
- Penderita baru TB paru, sputum BTA
negatif, rontgen positif dengan kelaianan
paru tidak luas
- Penderita TB ekstra paru ringan diterapi
dengan:
2RHZ/4RH
2RHZ/4R3H3
2RHZ/6HE
Kategori 4 untuk
- Penderita TB kronik diterapi dengan
H seumur hidup
Bila mampu: OAT lini kedua
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia: tergantung derajat berat, kepatuhan pasien,


sensitivitas bakteri,gizi, status imun, komorditas
SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

KARSINOMA PARU

1. Pengertian

Karsinoma paru umumnya berarti tumor yang berasal dari epitel


pernapasan (bronkus,bronkiolus,alveolus). Tipe sel yang paling
sering ditemukan menurut kalsifikasi WHO untuk neoplasma paru
primer:
- Karsinoma sel skuamosa (epidermoid)
- Karsinoma sel kecil (oat cell carcinoma)
- Adenokarsinoma (termasuk bronkioloalveolar)
- Karsinoma sel besar

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Gambaran klinis:
- Asimptomatis
- Klinis lokal: batuk, hemoptisis, wheezing, stridor, abses,
atelektasis
- Klinis invasi lokal: nyeri dada, dyspnea karena efusi
pleura, aritmia, sindrom vena cava superior, sindrom
horner, suara serak, sindrom pancoast
- Metastasis: nyeri tulang, sakit kepala, ikterus, perubahan
neurologis, suara serak, sulit menelan, sesak napas,
pembesaran kelenjar getah bening
- Sindrom paraneoplastik
Diagnostik pada pasien dengan kanker paru terdiri dari:
- Diagnosis adanya kanker paru
- Diagnosis tipe histologis kanker paru
- Staging kanker paru
- Anatomic staging: penentuan lokasi tumor
- Physiologic staging: pengkajian kemampuan pasien
menerima berbagai terapi anti-tumor
- Terutama untuk kanker paru non-small cell: resektabilitas
dan operabilitas

5. Diagnosis Kerja

Karsinoma Paru

6. Diagnosis
Banding

Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain. Tumor jinak


paru: tersering ialah adenoma bronkial dan hamartoma. Yang lebih
jarang kondroma, fibroma,lipoma,hemangioma,leiomyoma,
teratoma,endometriosis. Infeksi (TB paru,infeksi non spesifik),
granuloma
- Pemeriksaan sitologi sputum merupakan pemeriksaan rutin
pada pasien dengan batuk dan gambaran klinis dicurigai suatu
keganasan
- Pemeriksaan sitologi lain dapat dilakukan pada cairan pleura,
aspirasi kelenjar getah bening, biopsi transthoracal,
transbronkhial needle aspiration (TBNA), bilasan bronkhus,
sikatan bronkhus, biopsi sumsum tulang
- Pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas, dilakukan
melalui cara: bronkoskopi,thorakoskopi,
mediastinoskopi,thorakotomi
- Foto toraks: untuk penapisan pasien dengan risiko tinggi,
menentukan adanya massa di paru, melihat adanya efusi
pleura
- CT scan toraks : memastikan adanya lesi di paru, menentukan
lokasi dan ukuran lesi secara tepat, menilai KGB hilus dan
mediastinum, mencari metastasis paru supra renalis dan
hepar, menilai respons terapi, mendeteksi kekambuhan tumor
- Pencitraan lain: ct scan abdomen, usg abdomen, ct kepala,
bone scan, bone survey,angiografi,MRI

7. Pemeriksan
Penunjang

Prosedur staging untuk pasien kanker paru


A. Untuk semua pasien
- Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik lengkap
- Penentuan status tampilan
- Laboratorium: DPL, elektrolit, glukosa, kalsium, fosfat,
fungsi ginjal, fungsi hati
- Ekg
- Tes kulit untuk tuberkulosis
- Foto toraks
- CT scan toraks
- CT scan abdomen atau usg abdomen
- Ct scan otak
- Bone scan
- Bone survey atau foto daerah tulang yang dicurigai
berdasarkan bone scan atau klinis
- Foto barium bila ada kelainan esofagus
- Fungsi paru/spirometri dan analisis gas darah bila ada
gangguan pernapasan
- Biopsi dari lesi yang dicurigai kanker yang dapat
dijangkau:
Lesi sentral: bronkoskopi dengan bilasan bronkus,
sikatan bronkus, TBNA, biopsi forsep
Lesi perifer: biopsi aspirasi jarum halus transthorakal

8. Tata Laksana

dengan atau tanpa bimbingan USG/CT scan, biopsi


dengan thorakoskopi
Sitologi cairan pleura bila ada efusi pleura

B. Untuk pasien dengan NSCLC tanpa kontraindikasi untuk


pembedahan kuratif atau radioterapi
- Seperti butir A.ditambah:
- Tes koagulasi
- Jika rencana bedah: evaluasi mediastinum oleh bag.bedah
pada saat mediastinoskopi atau thorakotomi
C. Untuk pasien dengan SCLC
- Seperti butir A.ditambah
- Aspirasi sumsum tulang dan biopsi
Berdasarkan tipe histopatologis dan staging TNM menurut IUCC
1997:
NSCLC
Stage I A-B, II A-B, beberapa III A:
- St. I A-B & II A-B: reseksi
- St. III A dengan keterlibatan N2 minimal (ditentukan saat
torakotomi atau mediastinoskopi)
- Reseksi + diseksi KGB mediastinum lengkap +
pertimbangkan kemoterapi neoadjuvan
- Keterlibatan N2 (bila diberikan kemoterapi neoajuvan):
radioterapi op
- Kemoterapi/ajuvan: diskusikan risiko/keuntungan bagi
pasien
- Non-operabel: radioterapi berpotensi kuratif
Stage III A dengan tipe tertentu dari tumor stage T3:
- Invasi dinding dada (T3): reseksi en block tumor + dinding
dada yang terlibat pertimbangkan radioterapi pasca-op
- Tumor pancoast (T3): radioterapi pre op (30-45Gy)
dilanjutkan reseksi block tumor+dinding dada yang
terlibat,pertimbangkan radioterapi pascaop atau brakiterapi
- Keterlibatan saluran napas proksimal (< 2cm dari karina)
tanpa KGB mediastinum: reseksi sleeve (jika mungkin
mempertahankan paru distal yang normal), atau
pneumonektomi
Stage III A lanjut,bulky, klinis terbukti N2(pre op)
Stage III B yang toleran terhadap radioterapi port: radioterapi
potensial kuratif+kmoterapi (jika status tampilan dan kondisi
umum memungkinkan), atau radioterapi saja (bila tidak
memungkinkan kemoterapi)
Stage III A dengan N2 lanjut
Pertimbangkan kemoterapi neoajuvan dan reseksi
Stage III B dengan invasi karina (T4) tanpa adanya N2:

pertimbangkan pneumonektomi dengan reseksi sleeve trakea dan


reanastomosis langsung ke bronkus mainstem kontralateral
Stage IV dan III B yang lebih lanjut
Radioterapi pada daerah lokal yang simtomatik
Kemoterapi untuk pasien rawat jalan
Drainase chest tube untuk efusi pleura maligna yang banyak
Pertimbangkan reseksi tumor primer/metastasis untuk kasus
metastasis otak atau adrenal yang terisolasi
SCLC
Limited stage (status tampilan baik): kemoterapi
kombinasi+radioterapi toraks
Extensive stage (status tampilan baik): kemoterapi kombinasi
Respons tumor komplit (semua stage): radioterapi kranial
profilaktik
Status tampilan buruk (semua stage):
Kemoterapi kombinasi dengan modifikasi dosis
Radioterapi paliatif
Semua pasien:
Rasioterapi untuk:
- Metastasis otak
- Kompresi medulla spinalis
- Lesi litik pada tulang penahan beban
- Lesi lokal simtomatik (paralysis nervus, obstruksi saluran
napas, hemoptisis pada NSCLC dan SCLC yang tidak
respons terhadap kemoterapi)
Diagnosis dan tata laksana masalah medis lain dan supportive care
selama kemoterapi
Mendorong stop merokok
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung tipe histologi, staging, resektabilitas dan operabilitas

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Uyainah A. Pendekatan diagnostik kanker paru. In: Alwi I,
Setiati S, Kasjmir YI, Bawazier LA, Syam AF, Mansjoer A,
editors. Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan ilmu
penyakit dalam 2002. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2002.p.91-8
2. Minna JD. Neoplasms of the Lung. In: Braunwald E, Fauci
AS,Kasper DL, Hauser SL, longo DL, Jameson JL. Harrisons
Principles of Internal Medicine.15th ed. New York : McGrawHill;2001.p.562-71

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

EMBOLI PARU

1. Pengertian

Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh


embolus pada arteri pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang
menyangkut di percabangan arteri pulmonalis, merupakan
komplikasi trombosis vena dalam (DVT) yang umumnya terjadi
pada kaki atau panggul. Faktor predisposisi trombosis vena,
dikaitkan dengan Trias Virchow, yaitu:
- Stasis : imobilitas, tirah baring, anestesi, gagal jantung
kongestif/kor pulmonal, trombosis vena sebelumnya
- Hiperkoagulabilitas: keganasan,antibodi antikardiolipin,
sindrom nefrotik, trombositosis esensial, terapi estrogen,
heparin-induced thrombocytopenia, inflammatory bowel
disease, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi
intravaskular, diseminata,defisiensi protein C dan S,
defisiensi antitrombin III
- Kerusakan dinding pembuluh darah: trauma,pembedahan

2. Anamnesis

Sesak napas, nyeri dada,hemoptisis

3. Pemeriksaan Fisik

Takipneu,takikardia,pleural rub, tanda-tanda efusi pleura, tandatanda gagal jantung kanan akut (JVP meningkat,bunyi P2
mengeras, murmur sistolik daerah katup pulmonal)
- Anamnesis
- Pemeriksaan Fisik
- EKG: terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T
tidak spesifik. Inversi gelombang T di VI-V4, kadang-kadang
dijumpai RBBB,AF. Pada emboli paru masif dapat dijumpai
RAD, P pulmonal, S1 Q3 T3
- Foto toraks: menyingkirkan penyebab lain berupa emboli
paru infiltrat, efusi,atelektesis, gambaran khas emboli paru
Hamptons sign, westermarks sign, Pallas sign, pada
sebagian kasus:tidak tampak kelainan
- AGD: hipoksemia, alkalosis respiratorik
- D-dimer plasma: meningkat (sensitif,tidak spesifik). Bila>500
ng/mL, dilanjutkan dengan pemeriksaan
- Ventilation/perfusion lung scan: (sensitif,tidak spesifik)

4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

Pada emboli paru: kelaianan perfusi tidak disertai kelainan


ventilasi, atau kelainan perfusi lebih menonjol
Berdasarkan adanya,ukuran,dan hubungan defek ventilasiperfusi, hasil dibagi atas: high-probability lung scan, non-high
probability lung-scan (=low dan intermediate probability lung
scan),normal lung scan
- USG kompresi kaki. Indikasi: hasil scan menunjukkan nonhigh probability lung scan, sedangkan klinis sangat
mengarah ke emboli paru
- Jika hasil scan adalah high-probability lung scan, atau USG
kaki positif DVT:diterapi sebagai emboli paru
- Angiografi pulmoner: baku emas.Indikasi: hasil diagnostik
lain tidak jelas, dan dibutuhkan diagnosis pasti (seperti
pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki risiko
tinggi bila diterapi antikoagulan atau trombolitik)
Emboli Paru
Pneumonia, bronkitis, asma bronkhial, bronkitis kronis eksaserbasi
akut, infark miokard, edema paru, kanker paru, pneumotoraks,
kostokondritis, aorta dissekans,tamponade, fraktur iga, hipertensi
pulmoner primer, nyeri muskuloskeletal,ansietas
Lab: DPL, AGD, D-dimer plasma, hemostasis (PT,aPTT,INR,
aktivitas protrombin,kadar fibrinogen), kadar protein C dan S,
ACA, urin lengkap
Ventilation/perfusion lung scan
USG doppler
EKG
Angiografi pulmoner
Terapi primer
Obat trombolitik diindikasikan pada emboli paru masif yang
menyebabkan instabilitas hemodinamik atau gagal
napas,streptokinase: dosis loading 250.000 iu drip IV dalam 30
menit. Dilanjutkan 100.000 iu per jam drip IV,selama total 24 jam
Terapi preventif
Antikoagulan
Unfractionated heparin secara intravena, diberikan kontinyu atau
intermiten bolus inisial IV 80 IU/kgBB atau sekitar 5000 iu,
dilanjutkan dengan drip 18 iu/kgBB/jam iv
- Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: target
1,5-2,5 x kontrol. Bila hasil aPTT > 2,5 x kontrol: dosis
diturunkan 100-200 iu/jam, bila aPTT 1,5-2,5 x kontrol:
dosis dipertahankan.pemantauan aPTT hati II setiap 12
jam,hari III setiap 24 jam
- Setelah 7 hari heparinisasi: ditambahkan (overlapping)
antikoagulan oral selama 5 hari, hingga tercapai target
INR pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut
- Selama pemberian antikoagulan, perlu diperhatikan lesi
fokal di tempat lain,prosedur invasif yang direncanakan,
dipantau jumlah trombosit

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) diberi subkutan tiap 12


jam. Dosis LMWH, yaitu enoxaparin 1mg/kgBB sedangkan
nadroparin 0,1ml/kgBB. Pada obesitas, BB< 50kg, gagal ginjal
kronik, kehamilan,dapat diperiksakan anti faktoe Xa: target 0,3-0,7
iu
Antikoagulan oral (warfarin) dimulai sesudah 7 hari pemberian
heparin dengan dosis awal 5 mg/hari. Pemantauan dengan
pemeriksaan INR 1-3 hari : target INR 2-3. Bila INR < 2: dosis
dinaikkan tablet/hari, bila INR >3: dosis diturunkan, bila INR 23: dosis dipertahankan.
Terapi suportif
- Oksigen
- Infus cairan
- Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi, tanda-tanda gagal
jantung akut lain
- Vasopresor sesuai indikasi
- Anti aritmia sesuai indikasi
- Analgetik
Komplikasi
Komplikasi emboli paru: gagal napas, gagal jantung kanan akut,
hipotensi/syok kardiogenik. Komplikasi diagnostik: reaksi alergi
terhadap zat kontras. Komplikasi terapi: perdarahan (termasuk
intra kranial), heparin-induced thrombocytopenia, nekrois kulit,
warfarin embriopati
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam


Bahar A. Diagnostik Klinik dan Diagnosis Banding Emboli Paru.
Prosiding Simposium Cardiovascular Repiratory Immunology.
From Pathogenesis to Clinical Application 2003:16-8
Fishman AP. Pulmonary Thromboembolic Disease. In Fishman AP,
Elias JA, Fishman JA, Grippi MA,Kaiser LR, Senior RM (eds).
Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders.3rd ed.
New York: McGraw-Hill;2001.p.1508-13
Goldhaber SZ. Pulmonary Thromboembolism. In Braunwald E,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Harrisons Principles of Internal Medicine.15ed. New York: Mc
Graw Hill;2001.p.1508-13
Bahar A. Emboli Paru. In: Simadibrata m,Setiati S, Alwi I,
Maryantoro,Gani RA, Mansjoer A(eds). Pedoman Diagnosis dan

Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: Pusat Informasi


dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p.211-2
Tambunan KL. Deteksi dan Tata Laksana Trombosis Vena Dalam.
Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta,2002:28-33
Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. N Eng J Med, July 9, 1998;
339 (2): 93-104
Agnelli G. Anticoagulation in the Prevention and Treatment of
Pulmonary Embolism.Chest, Jan 1995: 107 (1):39S-44S
Hyers TM, Agnelli G, Hull RD, Morris TA, Samama M, Tapson
V,et al. Antithrombotic Therapy for Venous Thromboembolic
Disease.Sixth ACCP Consensus Conference on Antithrombotic
Therapy. Chest, Jan 2001; 119 (1): 176-93S

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

ARTRITIS PIRAI

1. Pengertian

Penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal monosodium urat


(MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular dan
mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

Kriteria ACR (1977):


A. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam cairan
sendi,atau
B. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam tofus, atau
C. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut:
1. Inflamasi maksimal pada hari pertama
2. Serangan artritis akut lebih dari 1 kali
3. Artritis monoartikular
4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan
5. Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP I
6. Serangan pada sendi MTP unilateral
7. Serangan pada sendi tarsal unilateral
8. Tofus
9. Hiperurisemia
10. Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran
radiologik
11. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologik
12. Kultur bakteri cairan sendi negatif
Artritis Pirai
Pseudogout, artritis septik, artritis reumatoid

7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

LED,CRP
Analisis cairan sendi
Asam urat darah dan urin 24 jam
Ureum, Kreatinin, CCT
Radiologi sendi
1. Penyuluhan
2. Pengobatan fase akut:
- Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi
perbaikan inflamasi atau terdapat tanda-tanda toksik atau
dosis tidak melebihi 8mg/24 jam
- Obat antiinflamasi non steroid
- Glukokortikoid dosis rendah bila ada kontraindikasi dari
kolkisin dan obat antiinflamasi non steroid
3. Pengobatan urisemia
- Diet rendah purin
- Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi
berlebih),misalnya allopurinol
- Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) obat
antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada stadium
akut
Bonam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

ARTRITIS REUMATOID

1. Pengertian

Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik kronik


yang terutama mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit
autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

ACR,1987
1. Kaku sendi,sekurangnya 1 jam
2. Artritis pada sekurangnya 3 sendi
3. Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx
(MCP) dan Proximal Interphalanx (PIP)
4. Artritis yang simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Gambaran radiologik spesifik
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas.
Kriteria 4 harus minimal diderita selama 6 minggu
Artritis Reumatoid

6. Diagnosis Banding

Spondiloartropati seronegatif,sindrom Sjogren

7. Pemeriksan
Penunjang

LED,CRP
Faktor reumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian
besar kasus (85%), sedangkan hasil negatif tidak
menyingkirkan adanya AR
Analisis cairan sendi.dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit
di atas 2000/mm3. Analisis ini sekaligus digunakan untuk
menyingkirkan adanya artropati kristal
Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak,diikuti oleh osteoporosis juxtaarticular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat
penyempitan celah sendi,osteoporosis difus,erosi meluas sampai

daerah subkondral
Biopsi sinovium/nodul reumatoid
8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
16. Indikator
17. Kepustakaan

Penyuluhan
Proteksi sendi,terutama pada stadium akut
Obat antiinflamasi non steroid
Obat remitif (DMARD),misalnya:
- Klorokuin dengan dosis 1x250 mg/hari
- Metotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu
- Salazopirin dosis 3-4 x 500mg/hari
- Garam emas per oral dosis 3-9mg/hari, atau subkutan dosis
awal 10g dilanjutkan seminggu kemudian dengan dosis
25mg/minggu , dan dinaikkan menjadi 50 mg/minggu
selama 20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4
minggu sampai dosis kumulatif 2g
- Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat
mungkin , untuk mengatasi keadaan akut atau
kekambuhan. Dapat diberikan prednison dengan dosis 20
mg dosis terbagi dan segera tapperng off
- Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2
sendi, dapat diberikan injeksi steroid intrartikular seperti
triamcinolon acetonide 10mg atau metilprednisolon 2040mg
- Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis
- Operasi untuk memperbaiki deformitas
Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

1. Pengertian

Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun yang


ditandai produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel
yang mengakibatkan manifestasi klinis yang luas

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Kriteria diagnosis ACR 1982. Diagnosis ditegakkan bila


didapatkan 4 dari 11 kriteria di bawah ini:
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis (pleuritis atau perikarditis)
7. Kelainan ginjal (proteinuria > 0,5 g/hari atau silinder sel)
8. Kelainan neurologi, kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologi,anemia hemolitik,atau
leukopenia,atau limfopenia,atau trombopenia
10. Kelainan imunologik,sel LE positif atau anti DNA
positif,atau anti Sm positif,tes serologis untuk sifilis positif
11. Antibodi antinuklear (ANA) positif

5. Diagnosis Kerja

Lupus eritematosus sistemik

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Mixed connective tissue disease,sindrom vaskulitis


LED,CRP
C3 dan C4
ANA,ENA (ati dsDNA dsb)
Coomb test,bila ada AHA
Biopsi kulit

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Penyuluhan
Proteksi terhadap sinar matahari,sinar uv, dan sinar fluoresein
Pada manifaestasi non organ vital (kulit,sendi,fatique) dapat
diberikan klorokuin 4mg/kgBB/hari
Bila mengenai organ vital, berikan prednison 1-1,5mg/kgBb/hari
selama 6 minggu, kemudian tappering off
Bila terdapat peradangan terbatas pada 1-2 sendi,dapat diberikan
injeksi steroid intraartikular
Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan
metilprednisolon 1gr/hari IV selama 3 hari berturut-turut, lalu
prednison 40-60mg/hari per oral
Bila pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak
memuaskan,maka dimulai pemberian imunosupresif lain,misal
siklofosfamid 500-1000mg/m2 sebulan sekali selama 6 bulan,
kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun
Imunosupresan lain yang dapat diberikan adalahh azatioprin,
siklosporin A
Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

ATRITIS SEPTIK

1. Pengertian

Artritis septik adalah artritis yang disebabkan oleh adanya


infeksi berbagai mikroorganisme (bakteri,non gonokokal)

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis

Nyeri sendi akut, umumnya monoartikular


Umumnya terdapat penyakit lain yang mendasari
Sitemukan bakteri dari kultur cairan sendi

5. Diagnosis Kerja

Artritis septik

6. Diagnosis Banding Artritis gonokokal, bursitis septic


7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis

Analisis cairan sendi


Pewarnaan gram dan kultur cairan sendi
Radiografi sendi yang terserang
LED, CRP, leukosit darah
Kultur darah, bila ada tanda-tanda sepsis
Aspirasi cairan sendi
Antibiotik berspektrum luas sebelum ada hasil kultur dan
diubah setelah hasil kultur diperoleh
Drainase sendi yang terinfeksi
Indikasi tindakan bedah adalah infeksi koksa pada anak-anak,
infeksi mengenai sendi yang sulit dilakukan drainase secara
adekuat, terdapat bukti osteomielitis, infeksi berkembang ke
jaringan lunak sekitarnya
Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam

14. Indikator
15. Kepustakaan

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

OSTEOARTITIS

1. Pengertian

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang


mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan
rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada
trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit)

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis

Osteoartritis sendi lutut:


1. Nyeri lutut, dan
2. Salah satu dari 3 kriteria berikut:
- Usia >50 tahun
- Kaku sendi < 30 menit
- Krepitasi + osteofit
Osteoartritis sendi tangan:
1. Nyeri tangan atau kaku,dan
2. Tiga dari 4 kriteria berikut:
a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari
10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III kiri dan
kanan, CMC I ki dan ka)
b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi
DIP
c. Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 ssendi tangan
tertentu
Osteoartritis sendi pinggul:
1. Nyeri pinggul,dan
2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut:
a. LED < 20 mm/jam
b. Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau
asetabulum
c. Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi

(superior,aksial, dan/atau medial)


5. Diagnosis Kerja

Osteoartritis

6. Diagnosis Banding Artritis rematoid, artritis gout, artritis septik, spondilitis


ankilosa
7. Pemeriksan
LED (pada OA inflamatif, LED akan meningkat)
Penunjang
Analisis cairan sendi
Radiografi sendi yang terserang
Artroskopi
8. Tata Laksana
Penyuluhan
Proteksi sendi,terutama stadium akut
Obat antiinflamasi non steroid, diantaranya : sodium
diklofenak 50mg tid, piroksikam 20 mg od, meloksikam 7,5
mg od, dan sebagainya
Steroid intraartikular untuk OA inflamasi
9. Edukasi
10. Prognosis
Dubia
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
SMF Ilmu Penyakit Dalam
14. Indikator
15. Kepustakaan

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

SKLEROSIS SISTEMIK
1. Pengertian

Sklerosis sistemik merupakan penyakit kronik yang mengenai


berbagai sistem organ dan terutama ditandai dengan penebalan
kulit. Penyakit ini dapat difus, terbatas, atau berupa sindrom
tumpang tindih

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

A. Kriteria mayor
Skleroderma proksimal
B. Kriteria minor
1. Sklerodaktil
2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari
3. Fibrosis basal di kedua paru
Diagnosis ditegakkan bila didapat 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor atau lebih
Sklerosis Sistemik
Mixed Connective Tissue Disease
LED,CRP. Peningkatan hasil menunjukkan proses inflamasi aktif
ANA, anti topo-1 (Scl-70), antibody antisentromer, anti SS-A, anti
SS-B, anti RNP. Diharapkan hasil tersebut positif, terutama antitopoisomerase 1, RNA, polymerase I,III, dan U3 RNP
Radiologi tangan,toraks
Uji fungsi paru
Ureum dan kreatinin
Biopsi kulit
Penyuluhan dan dukungan psikososial
- Proteksi terhadap suhu dingin untuk mengatasi fenomena
raynaud
- Bila terdapat ulkus atau ganggren, harus dirawat dengan baik
dan diberikan antibiotik yang adekuat
- Dapat dicoba D-penisalamin 3x250mg. Bila gagal dapat
dicoba DMARD lain seperti metotreksat

- Bila didapatkan gangguan gastrointestinal, dapat diberikan


H2 antagonis, omeprazol, dan obat-obat prokinetik
- Pada keadaan krisis renal, dapat diberikan captopril. Bila
fungsi ginjal memburuk, dapat dilakukan dialisis
- Pada pneumonitis, dapat diberikan glukokortikoid atau
siklofosfamid
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

DEMAM BERDARAH DENGUE


1. Pengertian

Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam akut yang


disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopticus serta memenuhi
kriteria WHO untuk demam berdarah dengue (DBD)

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memenuhi:


- Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya
bifasik
- Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji torniquet positif (> 20 petekie dalam 2,54cm2)
Petekie,ekimosis,purpura
Perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau
tempat lain
Hematemesis atau melena
- Trombositopenia ( 100.000/mm3)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage:
Terdapat hematokrit meningkat 20% dibanding rata-rata
pada usia,jenis kelamin, dan populasi yang sama
Hematokrit turun hingga 20% dari hematokrit
awal,setelah pemberian cairan
Terdapat efusi pleura,efusi perikard,asites,dan
hipoproteinemia
Derajat
I : Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas,
manifestasi perdarahan hanya berupa uji torniquet positif dan/atau
mudah memar
II : derajat I disertai perdarahan spontan
III: terdapat kegagalan sirkulasi: nadi cepat dan lemah atau
hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah
IV: renjatan, tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III
dan IV digolongkan dalam sindrom renjatan dengue

5. Diagnosis Kerja

Demam Berdarah Dengue

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia

8. Tata Laksana

Non farmakologis : tirah baring, makanan lunak


Farmakologis:
- Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam
- Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran protokol
tatalaksana DBD
Cairan intravena: Ringer laktat atau ringer asetat 4-6
jam/kolf
Koloid/plasma expander pada DBD stadium III dan IV bila
diperlukan
Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III dan IV
dengan koagulasi intravaskular diseminata (KID)

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Hb,ht,leukosit,trombosit, serologi dengue

Bonam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

DEMAM TIFOID
1. Pengertian

Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan


oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi

2. Anamnesis

Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam


menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam
terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare
Febris,kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1
C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah,serta tremor),
hepatomegali, splenomegali,nyeri abdomen, roseolae (jarang pada
orang Indonesia)
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium : dapat ditemukan leukopeni,lekositosis, atau
leukosit normal, aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED,
anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati. Kultur
darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji widal 4
kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Uji widal
tunggal dengan titer antibodi O 1/320 dan H 1/640 disertai
gambaran klinis khas yang menyokong diagnosis.
Demam tifoid

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Infeksi virus,malaria

8. Tata Laksana

Non farmakologis: tirah baring, makanan lunak rendah serat


Farmakologis
- Simtomatis
- Antimikroba:
Pilihan utama: kloramfenikol 4x500mg sampai dengan 7
hari bebas demam
Alternatif lain:
- Tiamfenikol 4x500mg (komplikasi hematologilebih
rendah dibandingkan kloramfenikol)
- Kotrimoksazol 2x2 tablet selama 2 minggu

Darah perifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah


(biakan empedu)

Ampisilin dan amoksisilin 50-150mg/kgBB selama 2


minggu
- Sefalosporin generasi III; yang terbukti efektif adalah
seftriakson 3-4gram dalam dekstrosa 100cc selama
jam per infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat
pula diberikan sefotaksi, 2-3 x 1 gram, sefoperazon
2x1gram
- Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III
atau menjelang hari IV):
Norfloksasin 2x400mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2x500mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin 2x400mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400mg/hari selama 7 hari
- Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan
kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya
dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas
normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol
4x500mg dengan ampisilin 4x1gram dan deksametason
3x5mg
- Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid,
peritonitis atau perforasi,renjatan sepsis
- Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami renjatan septik dengan dosis 3x5mg
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau


ada komplikasi berat, prognosis meragukan/buruk

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

LEPTOSPIROSIS
1. Pengertian

Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari


famili Leptospiraceae

2. Anamnesis

Demam tinggi, mengigil, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah,


diare

3. Pemeriksaan
Fisik

Injeksi konjungtiva, ikterik, fotofobia, hepatosplenomegali,


penurunan kesadaran

4. Kriteria
Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium : dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amilase,
lipase, dan CK, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal.
Serologi leptospira positif (titer 1/100 atau terdapat peningkatan
4 kali pada titer ulangan)

5. Diagnosis Kerja

Leptospirosis

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Hepatitis tifosa, ikterus obstruktif, malaria, kolangitis, hepatitis


fulminan
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase, lipase,
serologi leptospira MAT (mikroaglutinasi test)

8. Tata Laksana

Non farmakologis
Tirah baring, makanan/cairan tergantung pada komplikasi organ
yang terlibat
Farmakologis
- Simtomatis
- Antimikroba pilihan adalah pilihan utama: Penisilin G 4x1,5
juta unit selama 5-7 hari. Alternatifnya tetrasiklin,
eritromisin, doksisiklin, sefalosporin, generasi III,
fluorokuinolon

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi

Bonam

13. Penelaah Kritis


14. Indikator
15. Kepustakaan

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

PENYAKIT GINJAL KRONIK


1. Pengertian

2. Anamnesis

Kriteria penyakit ginjal kronik adalah:


- Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih,
berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
berdasarkan :
- Kelainan patologik atau
- Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada
komposisi darah atau urin, atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
- LFG< 60ml/menit/1,73m2 yang terjadi selama 3 bulan
atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Lemas, mual, muntah, sesak napas, pucat, BAK berkurang

3. Pemeriksaan
Fisik

Anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda


bendungan paru

4. Kriteria
Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Laboratorium: gangguan fungsi ginjal
Penyakit Ginjal Kronik

5. Diagnosis Kerja

LFG
(ml/menit/1,73m2)

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

90
60-89

Dengan kerusakan ginjal


Dengan
Tanpa
hipertensi
hipertensi
1
1
2
2

30-59
15-29
< 15 (atau dialisis)

3
4
5

3
4
5

Tanpa kerusakan ginjal


Dengan
Tanpa
hipertensi
hipertensi
Hipertensi
Normal
Hipertensi
LFG
+ LFG
3
3
4
4
5
5

Gagal ginjal akut


DPL, ureum, kreatinin, UL, tes klirens kreatinin (TTK) ukur,
elektrolit (Na,K,Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula
darah, AGD, SI, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin,
globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap,
foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi,
biopsi ginjal, HbsAg, anti HCV, anti HIV

8. Tata Laksana

Non farmakologis
- Pengaturan asupan protein: pasien non dialisis 0,6-0,75
gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi
pasien. Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari.
Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
- Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgbb ideal/hari
- Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama dengan asam lemak bebas
jenuh dan tidak jenuh
- Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
- Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
- Kalium: 40-70meq/kgBB/hari
- Fosfor: 5-10mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17mg/hari
- Kalsium: 1400-1600 mg/hari
- Besi: 10-18 mg/hari
- Magnesium: 200-300 mg/hari
- Asam folat HD: 5mg
- Air: jumlah urin 24 jam+500ml (insensible water loss) Pada
CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar.
Kenaikan berat badan di antara waktu HD < 5% BB kering
Farmakologis
- Kontrol tekanan darah:
Penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II
evaluasi dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan
Penghambat kalsium
Diuretik
- Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian
metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja
panjang. Target HbA1c untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai
normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6 %
- Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
- Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat
- Kontrol osteodistrofi renal: kalsitriol
- Koreksi asidosis metabolik dengan taget HCO3 20-22 mEq/l
- Koreksi hiperkalemi
- Kontrol dislipidemia dengan target LDL < 100 mg/dl,
dianjurkan golongan statin
- Terapi ginjal pengganti

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

SINDROM NEFROTIK
1. Pengertian

2. Anamnesis

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik


penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif > 3,5
gram/24 jam/1,73 m2 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka,
hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas
Bengkak seluruh tubuh, buang air kecil keruh

3. Pemeriksaan
Fisik

Edema anasarka,asites

4. Kriteria
Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Laboratorium : protein masif > 3,5 gram/24 jam/1,73m2,
hiperlipidemia, hipoalbuminemia(< 3,5gram/dl), lipiduria,
hiperkoagulabilitas. Diagnosis etiologi berdasarkan biopsi ginjal
Sindrom nefrotik

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Edema dan asites akibat penyakit hat atau malnutrisi, diagnosis


etiologi SN
Urinalisis, ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL,
elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biposi
ginjal, protein urin kuantatif
Non farmakologis
- Istirahat
- Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB
ideal/hari+ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fungsi
ginjal sedah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6
gram/kgBB ideal.hari+ ekskresi protein dalam urin/24 jam
- Diet rendah kolesterol < 600mg/hari
- Berhenti merokok
- Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema
Farmakologis
- Pengobatan edema: diuretik loop
- Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan/atau
antagonis reseptor angiotensin II
- Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin

- Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah < 125/75


mmHg. Penghambat ACE dan antagonis reseptor
angiotensin II sebagai pilihan obat utama
- Pengobatan kausal sesuai etiologi SN
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung jenis kelainan glomerular

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

PENYAKIT GLOMERULAR
1. Pengertian

Penyakit glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan


pada glomerulus dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular
primer atau sekunder
Penyakit glomerular primer:
- Kelainan minimal
- Glomerulosklerosis fokal segmental
- Glomerulonefritis (GN) difus:
GN membranosa
GN poliferatif
GN sclerosing
- Nefropati Ig A
Penyakit glomerular sekunder
- Nefropati diabetik
- Nefritis lupus
- GN pasca infeksi
- GN terkait HIV

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Manifestasi klinis penyakit glomerular dapat berupa:


- Sindrom nefrotik
- Hematuria persisten
- Proteinuria persisten
- Sindom nefritik (hipertensi, hematuria,azotemia)
- Rapid progressive glomerulonephritis (RPGN)
Penyakit Glomerular
Etiologi dari penyakit glomerular
Urinalisis, ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam,
pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, gula darah, tes fungsi hati
Sesuai etiologi penyakit glomerular primer:
1. Kelainan minimal:
- Steroid yang setara prednison 60mg/m2 (maksimal 80
mg) selama 4-6 minggu
- Setelah 4-6 minggu dosis prednison diberikan

2.

3.

4.

5.

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

40mg/m2 selang hari selama 4-6 minggu


Glomerulonefritis fokal segmental
- Steroid yang setara prednison 60 mg/hari selama 6
bulan
Bila resisten atau tergantung steroid: siklosporin 5
mg/kgBB selama 6 bulan
Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan 25%
setiap dua bulan
Bila gagal, siklosporin dihentikan
Nefropati membarnosa
- Metilprednisolon bolus intravena 1 gram/hari selama 3
hari
- Kemudian diberikan steroid yang setara dengan
prednison 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan lalu
diganti dengan klorambusil 0,2mg/kgBB/hari atau
siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari selama 1 bulan
- Prosedur kedua diulang kembali sampai seluruhnya
prosedur kedua sebanyak 3 kali
Glomerulonefritis membranoproliferatif
- Steroid tidak terbukti efektif pada pasien dewasa
- Dianjurkan pemberian aspirin 325mg/hari atau
dipiridamol 3x75-100mg/hari atau kombinasi
keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak
memberikan respon, pengobatan dihentikan sama
sekali
Nefropati IgA
- Bila proteinuria < 1gram, hanya observasi
- Bila proteinuria 1-3 gram, dengan fungsi ginjal
normal, hanya observasi. Bila dengan gangguan fungsi
ginjal, diberikan minyak ikan
- Bila proteinuria > 3 gram dengan CCT > 70 ml/menit,
diberikan steroid yang setara dengan prednison 1
mg/kgBB selama 2 bulan lalu tappering off secara
perlahan sampai dengan 6 bulan.. Bila CCT < 70
ml/menit, hanya diberikan minyak ikan
- Suplementasi kalsium selama terapi dengan steroid

Tergantung jenis kelainan glomerular

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

GAGAL GINJAL AKUT


1. Pengertian

Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom yang ditandai oleh


penurunan laju filtrasi glomerulus secara mendadak dan cepat
( hitungan jam-minggu) yang mengakibatkan terjadinya retensi
produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreaatinin. Peningkatan
kreatinin serum 0,5mg/dl dari nilai sebelumnya, penurunan CCT
hitung sampai 50% atau penurunan fungsi ginjal yang
mengakibatkan kebutuhan akan dialisis.

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan GGA:


1. Pre renal : akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan,
penurunan curah jantung dan hipotensi oleh sebab lain)
2. Renal : akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat
kimia/toksin, iskemi ginjal, penyakit glomerular)
3. Post renal: akibat obstruksi akut traktus urinarius (batu
saluran kemih, hipertrofi prostat, keganasan ginekologis)
Fase gagal ginjal akut adalah anuria (produksi urin < 100mg/24
jam), oliguria (produksi n < 400ml/24jam), poliuria (produksi urin
> 3500ml/24 jam)
Gagal ginjal akut
Episode akut pada penyakit ginjal kronik
Tes fungsi ginjal, DPL, urinalisis elektrolit, AGD, gula darah
-

Asupan nutrisi
Kebutuhan kalori 30 kal/kgBB ideal/hari pada GGA tanpa
komplikasi; kebutuhan ditambah 15-20% pada GGA berat
(terdapat komplikasi/stres)
Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram/kgBB ideal/hari pada GGA
tanpa komplikasi; 1-1,5 gram/kgBB ideal/hari pada GGA
berat

Perbandingan karbohidrat dan lemak 70:30


Suplementasi asam amino tidak dianjurkan
- Asupan cairan tentukan status hidrasi pasien, catat cairan
yang masuk dan keluar tiap hari, pengukuran BB setiap hari
bila memungkinkan, dan pengukuran tekanan vena sentral
bila ada fasilitas
Hipovolemia: rehidrasi sesuai kebutuhan
- Bila akibat perdarahan diberikan transfusi darah PRC
dan cairan isotonik, hematokrit dipertahankan sekitar
30%
- Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang
kurang dapat diberikan cairan kristaloid
Normovolemia: cairan seimbang (input=output)
Hipervolemia: restriksi cairan (input<output)
- Fase anuria/oliguria : cairan seimbang; fase poliuria: 2/3 dari
cairan yang keluar
Dalam keadaan insesible water loss yang normal, pasien
membutuhkan 300-500 ml electrolyte free water perhari
sebagai bagian dari total cairan yang diperlukan
- Koreksi gangguan asam basa
- Koreksi gangguan elektrolit
- Pemberian furosemid bersmaan dengan dopamin dapat
membantu pemeliharaan fase nonoligurik, tapi terapi harus
dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan
- Indikasi dialisis:
Oliguria
Anuria
Hiperkalemia (K>6,5mEq/L)
Asidosis berat (pH<7,1)
Azotemia
Edema paru
Ensefalopati uremikum
Perikarditis uremik
Neuropati/miopati uremik
Disnatremia berat ( Na>160 mEq/l atau < 115mEq/l)
Hipertermia
Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan)
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Dubia ad bonam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

HIPERTENSI
1. Pengertian

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi


140 mmHg sistolik dan atau sama atau melebihi 90 mmHg
diastolik pada seseorang yang seseorang yang tidak sedang makan
obat antihipertensi.
Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan Joint National Committee
VII:
Klasifikasi
TD sistolik
TD diastolik
(mmHg)
(mmHg)
Normal
< 120
dan
< 80
Pre-Hipertensi
120-139
atau
80-89
Hipertensi stage 1
140-159
atau
90-99
Hipertensi stage 2
160
atau
100

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Kalsifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan


darah yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2
kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff yang
meliputi minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi
duduk dan telah beristirahat 5 menit
Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara
fase 5
Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk
menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer
Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan
pada pasien dengan risiko hipotensi postural ( lanjut usia,
pasien DM, dll)
Faktor risiko kardiovaskular:
Hipertensi
Merokok
Obesitas (IMT>30)
Inaktivitas
Dislipidemia
Diabetes melitus

Mikroalbuminemia atau LFG < 60ml/menit


Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun)
Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler dini ( lakilaki < 55 tahun atau perempuan < 65 tahun)
Kerusakan organ sasaran:
Jantung: hipertrofi ventrikel kiri, angina atau riwayat infark
miokard, riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung
Otak: strok atau transcient ischemic attack (TIA)
Penyakit ginjal kronik
Penyakit arteri perifer
Retinopati
Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi : sleep apnea,
akibat obat atau berkaitan dengan obat, penyakit ginjal
kronik, aldosteronisme, penyakit renovaskular, terapi steroid
kronik dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasi aorta,
penyakit tiroid atau paratiroid

5. Diagnosis Kerja

Hipertensi

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa


nyeri, peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat
Urinalisis, tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto
toraks, EKG; Sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas renin
plasma, aldosteron, katekolamin, urin, USG pembuluh darah besar,
USG ginjal, ekokardiografi
- Modifikasi gaya hidup dengan target tekanan darah < 140/90
mmHg atau < 130/80 pada pasien DM atau penyakit ginjal
kronis. Bila target tidak tercapai maka diberikan obat inisial
- Obat inisial dipilih berdasarkan :
1. Hipertensi tanpa compelling indication
Pada hipertensi stage I dapat diberikan diuretik.
Pertimbangkan pemberian pengahmabat ACE, penyekat
reseptor beta, penghambat kalsium, atau kombinasi
Pada hipertensi stage II dapat diberikan kombinasi 2 obat,
biasanya golongan diuretik, tiazid dan penghambat ACE
atau antagonis reseptor AII atau penyekat reseptor beta
atau penghambat kalsium
2. Hipertensi dengan compelling indication. Lihat tabel
petunjuk pemilihan obat pada compelling indication. Obat
antihipertensi lain dapat diberikan bila dibutuhkan
misalnya diuretik, antagonis reseptor AII, penghambat
ACE, penyekat reseptor beta, atau penghambat kalsium.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis
atau ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah
tercapai. Pertimbangan untuk berkonsultasu pada spesialis
hipertensi.
- Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor
AII: evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat
peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus
dihentikan.

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Kondisi khusus lain:


Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih
keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki > 102 cm atau
perempuan > 89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula
darah puasa 110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/85
mmHg, trigliserida tinggi 150mg/dl, kolesterol HDL rendah
< 40 mg/dl pada laki-laki atau < 50mg/dl pada perempuan)
modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi
utama golongan penghambat ACE. Pilihan lain adalah
antagonis reseptor AII, penghambat kalsium, dan penghambat

Hipertrofi ventrikel kiri tatalaksana tekanan darah yang


agresif termasuk penurunan berat badan, restriksi asupan
natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi kecuali
vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil
Penyakit arteri perifer semua kelas antihipertensi,
tatalaksana faktor risiko lain, dan pemberian aspirin
Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi
diuretik (tiazid) sebagai lini pertama, dimulai dengan dosis
rendah 12,5 mg/hari. Penggunaan obat antihipertensi lain
dengan mempertimbangkan penyakit penyerta
Kehamilan pilihan terapi adalah golongan metildopa,
penyekat reseptor , antagonis kalsium, dan vasodilator.
Penghambat ACE dan antagonis reseptor AII tidak boleh
digunakan selama kehamilan

Bonam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

KRISIS HIPERTENSI
1. Pengertian

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan


penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi
keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi,
yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah.
Dibagi menjadi dua:
- Hipertensi emergency: situasi di mana diperlukan
penurunan tekanan darah yang segera dengan obat
antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ
target akut atau progeresif
- Hipertensi urgency: situasi dimana terdapat peningkatan
tekanan darah yang bermakna tanpa adanya gejala yang
berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan
darah perlu diturunkan dalam beberapa jam
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien
tekanan darah rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat
simpatomimetik dan steroid, kelaianan hormonal, riwayat penyakit
kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung dan gangguan
penglihatan
Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi
perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau
tanda penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis
Anamnesis
Pemeriksaan
Laboratorium, sesuai dengan penyakit dasar, penyakit penyerta,
dan kerusakan organ target
Krisis Hipertensi
Penyebab hipertensi emergency
Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema
- Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark
otak aterotrombotik dengan hipertensi berat, perdarahan
intraserebral, perdarahan subarachnoid, dan trauma kepala
- Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut,
infark miokard akut, pasca operasi bypass koroner
- Kondisi ginjal: GN akut, hipertensi renovaskular, krisis
renal karena penyakit kolagen-vaskuler, hipertensi berat
pasca transpalantasi ginjal

7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Akibat katekolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma,


interaksi makanan atau obat dengan MAO inhibitor,
penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound,
akibat penghentian menddadak obat antihipertensi,
hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis
- Eklampsia
- Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang
memerlukan operasi segera, hipertensi pasca operasi,
perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular
- Luka bakar berat
- Epistaksis berat
- Thrombotic Thrombocytopenic purpura
DPL, urinalisis, ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG.
Pemeriksaan khusus sesuai indikasi, foto toraks, ekokardiografi,
aktivitas renin plasma, aldosteron, metanefrin/katekolamin, USG
abdomen, CT scan, dan MRI
Target terapi hipertensi emergency, sampai tekanan darah diastolik
kurang lebih 110mmHg atau berkurangnya mean arterial blood
pressure 25% (pada strok penurunan hanya boleh 20% dan khusus
pada strok iskemik, tekanan darah baru diturunkan secara bertahap
bila sangat tinggi > 220/130mmHg) dalam waktu 2 jam. Setelah
diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat
dilanjutkan dalam 12-16 jam selanjutnya sampai mendekati
normal. Penurunan tekanan darah pada hipertensi urgency
dilakukan secara bertahap dalam waktu 24 jam
Hipertensi urgency
Obat
Kaptopril
Klonidin

Labetalol
Furosemid

Dosis
6,25-50mg per oral atau
sublingual bila tidak dapat
menelan
Dosis awal per oral 0,15 mg,
selanjutnya 0,15 mg tiap jam
dapat diberikan sampai
dengan dosis total 0,9mg
100-200 mg
20-40 mg

Awitan
15 menit

Lama Kerja
4-6 jam

0,5 2
jam

6-8 jam

0,5-2 jam
0,5-1jam

8-12 jam
6-8 jam

Hipertensi emergency
Obat
Diuretik:
Furosemid

Vasodilator:
Nitrogliserin

Diltiazem

Dosis
20-40 mg, dapat
diulang. Hanya
diberikan bila
terdapat retensi
cairan
Infus 5-100
mcg/menit. Dosis
awal 5 mcg/menit,
dapat ditingkatkan 5
mcg/menit tiap 3-5
menit
Bolus IV 10 mg

Awitan
5-15 menit

Lama kerja
2-3 jam

2-5 menit

5-10 menit

(0,25 mg/kgBB)
dilanjutkan infus 510 mg/jam

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Klonidin

6 ampul dalam
250ml cairan infus,
dosis diberikan
dengan titrasi

Nitroprusid

Infus 0,25-10
mcg/kgBB/menit,
(maksimum 10
menit)

Dubia

SMF Ilmu Penyakit Dalam

segera

1-2 menit

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

INFEKSI SALURAN KEMIH


1. Pengertian

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat terbentuknya


koloni kuman di saluran kemih. Kuman mencapai saluran kemih
melalui cara hematogen dan asending
Faktor risiko:
Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi
internal oleh jaringan parut, endapan obat intratubular, refluks,
instrumentasi saluran kemih, konstriksi arteri-vena, hipertensi,
analgetik, ginjal polikistik, kehamilaan, DM, atau pengaruh obatobat estrogen
ISK sederhana/tak berkomplikasi
ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak
terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

ISK berkomplikasi
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak,
laki-laki, atau ibu hamil
ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria,nyeri
suprapubik. ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual
dan muntah, hematuria
Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebral
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Laboratorium: leukositosis, lekosituria, kultur urin (+): bakteriuria
>105 ml urin
Infeksi Saluran Kemih
ISK sederhana, ISK berkomplikasi
DPL, urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi
ginjal, gula darah, foto BNO-IVP, USG ginjal

8. Tata Laksana

Non farmakologis
- Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
- Menjaga higiene genitalia eksterna
Farmakologis
- Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; bila hasil tes
resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba
disesuaikan
Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi
Antimikroba
Trimetoprim-sulfametoksazol
Trimetoprim
Siprofloksasin
Levofloksasin
Sefiksim
Sefpodoksim proksetil
Nitrofurantoin makrokristal
Nitrofurantoin monohidrat
makrokristal
Amoksisilin/klavulanat

Dosis
2x160-800 mg
2x100mg
2x100-250mg
2x250mg
1x400mg
2x100mg
4x50mg
2x100mg

Lama terapi
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
7 hari
7 hari

2x500mg

7 hari

Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi


Antimikroba
Sefepim
Siprofloksasin
Levofloksasin
Ofloksasin
Gentamisin (+ampisilin)
Ampisilin (+gentamisin)
Tikarsilin-klavulanat
Piperasilin-tazobaktam
Imipenem-silastatin

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Bonam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dosis
1 gram
400mg
500mg
400mg
3-5 mg/kgBB
1mg/kgBB
1-2 gram
3,2 gram
3,375 gram
250-500mg

Interval
12 jam
12 jam
24 jam
12 jam
24 jam
8 jam
6 jam
8 jam
2-8 jam
6-8 jam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

BATU SALURAN KEMIH


1. Pengertian
2. Anamnesis

Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup


ginjal, ureter, vesika urinaria
Nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala
infeksi saluran kemih, hematuria, riwayat keluarga

3. Pemeriksaan
Fisik

Nyeri ketok kostovertebral, nyeri tekan perut bagian bawah,


terdapat balotemen

4. Kriteria
Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium : hematuria, bayangan radio opak pada foto BNO,
filling defect pada IVP atau pleiografi antegrad/retrograd,
gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis
pada USG
Batu saluran kemih

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

Nefrokalsinosis
Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite
Urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal,
elektrolit darah (kalsium, fosfor), dan urin 24 jam (kalsium, sitrat,
oksalat, asam urat), asam urat darah, hormon paratiroid, foto BNOIVP, USG abdomen, pielografi antegrad/retrograd, renogram,
analisis batu
Non farmakologis
- Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani
- Batu urat: diet rendah asam urat
- Minum banyak (2,5l/hari) bila fungsi ginjal masih baik
Farmakologis
- Antispasmodik bila ada kolik
- Antimikroba bila ada infeksi
- Batu kalsium: kalium sitrat
- Batu urat: alopurinol
Bedah:
- Pielotomi
- ESWL

- Nefrostomi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Bonam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

NEFRITIS LUPUS
1. Pengertian

Lupus eritematosus sistemik (LES) yang disertai keterlibatan


ginjal

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Memenuhi kriteria LES menurut ACR 1982


Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasien LES terdapat
proteinuria 1 gram/24 jam dengan/atau hematuria (> 8
eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%
Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi, untuk
menentukan pilihan pengobatan berdasarkan kelas nefritis lupus
Kalsifikasi Nefritis Lupus (WHO 1995)
Nefritis Lupus
Kelas I

Histopatologi
Glomeruli normal

Kelas II

Perubahan pada
mesangial

Kelas III

Glomerulonefritis fokal
segmental

Kelas IV

Glomerulonefritis difus

Gejala Klinis
Hanya proteinuria,
kelainan sedimen urin
tidak ada
Kelas IIa: hanya
proteinuria, kelainan
sedimen urin tidak ada
Kelas II b: hematuria
mikroskopik dan/atau
proteinuria, tanpa
hipertensi, tidak pernah
terjadi SN atau
gangguan fungsi ginjal
Hematuria dan
proteinuria pada
seluruh pasien .
Hipertensi, SN, dan
penurunan fungsi ginjal
pada sebagian pasien
Hematuria dan
proteinuria pada
seluruh pasien .
Hipertensi, SN, dan
penurunan fungsi ginjal
pada sebagian pasien

Kelas V

Glomerulonefritis
membranosa difus

Kelas VI

Glomerulonefritis
sklerotik lanjut

5. Diagnosis Kerja

Nefritis Lupus

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Glomerulonefritis oleh sebab lain

8. Tata Laksana

SN pada seluruh pasien,


sebagian dengan
hematuria atau
hipertensi, namun
fungsi ginjal masih
normal atau sedikit
menurun
Penurunan fungsi ginjal
yang lambat dengan
kelaianan urin yang
relatif normal

Urinalisis, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, biopsi


ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak
bertambah buruk
Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau
setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah
buruk
Penatalaksanaan umum
- Diet rendah garam, bila terdapat hipertensi, rendah lemak
bila terdapat dislipidemia atau sindrom nefritik, rendah
protein sesuai derajat penyakit
- Diuretik dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan
- Tatalaksana hipertensi dengan baik
- Pemeriksaan rutin periodik meliputi: sedimen urin, protein
urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, albumin serum,
komplemen C3,C4, anti ds-DNA
- Monitor efek samping steroid dan imunosupresan serta
komplikasi selama pengobatan. Suplementasi kalsium
untuk mengurangi efek samping osteoporosis karena
steroid
- Hindari pemberian salisilat dan obat anti inflamasi nonsteroid
yang akan memperberat fungsi ginjal. Aspirin hanya
diberikan selektif bila ada sindrom antifosfolipid
- Hindari kehamilan bila nefritis lupus masih aktif

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung kelas nefritis lupus. Kelas I dan II prognosis baik.


Kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan
fungsi ginjal. Kelas V prognosis cukup baik.

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA PURPURA
1. Pengertian
2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik

4. Kriteria
Diagnosis

Riwayat obat-obatan (heparin, alkohol, sulfonamides,


kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan kimia
- Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan
- Gejala penyakit autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok
- Riwayat perdarahan (lokasi,banyaknya, lamanya), risiko
infeksi HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat pada
keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan dan kelainan
autoimun)
- Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan risiko
perdarahan (kelainan gastrointestinal, sistem saraf pusat dan
urologi)
- Kebiasaan/hobi : aktivitas yang traumatik
- Perdarahan (lokasi dan beratnya)
- Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice
atau stigmata penyakit hati kronis
- Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV)
- Tanda penyakit autoimun (artritis,goiter, nefritis, vaskulitis)
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
- Darah tepi : hitung trombosit < 150.000/uL dengan tidak
dijumpai sitopenia lainnya, pemeriksaan morfologi darah
tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih
besar
- Laboratorium kimia rutin dan enzim hati
- Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV,
rubella)
- Pemeriksaan ACA, Coombs test, C3,C4, ANA, anti dsDNA
- Pemeriksaan imunoelektrofosis protein
- Pemeriksaan hemostastis normal bila tidak ada komplikasi,
kecuali masa perdarahan memanjang
- Pemeriksaan sumsum tulang: megakariosit normal atau
meningkat

Pemeriksaan autoantibodi trombosit

5. Diagnosis Kerja

Idiophatic thrombocytopenia purpura

6. Diagnosis
Banding

Berkurangnya produksi trombosit/aplasia megakariosit baik yang


kongenital atau didapat
Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme, hipotermia)
Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced,
kehamilan dll)
Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada
spesimen darah tepi
Laboratorium: darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA,
Comb test, C3, C4, ANA, anti ds DNA, serologi virus, antibodi
antitrombosit
Sitologi aspirasi sumsum tulang
ITP akut : (anak-anak, self limiting)
- Trombosit > 30000/ul, asimtomatik/purpura minimal tidak
diterapi rutin . trombosit < 20000/ul dengan perdarahan
bermakna atau < 10000/ul dengan purpura minimal
steroid ( Prednison 1-2 mg/kgBB/hari)
- Mengingat ITP pada anak bersifat self limiting, maka lama
terapi dibatasi selama 21 hari. Dapat juga diberikan IB
1g/kg 1 hari
- Perdarahan yang mengancam jiwa dirawat, steroid injeksi
dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid
oral dosis tinggi (prednison 4-8 mg/kg/hari) dan transfusi
trombosit

7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

ITP kronik (dewasa)


Terapi suportif
- Membatasi aktivitas yang berisiko trauma
- Menghindari obat-obat yang menggangu fungsi trombosit
- Transfusi PRC sesuai kebutuhan
- Transfusi trombosit bila :
Perdarahan masif
Adanya ancaman perdarahan otak/SSP
Persiapan untuk operasi besar
Perawatan RS untuk pasien dengan :
- Perdarahan berat yang mengancam jiwa
- Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna
- Trombosit > 50.000/ul asimtomatik/dengan purpura
minimal tidak diterapi
- Trombosit < 30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul
dengan perdarahan bermakna, kadar trombosit berapa saja
dengan perdarahan yang mengancam jiwa diterapi
Steroid
(prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp
down, maksimal selama 6 bulan. Prednison tidak boleh diberikan

dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak respon
Splenektomi
Indikasi:
- Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan observasi
- Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi
- Adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap steroid
Pilihan terapi yang lain
- Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin,
vinkristin)
- Preparat androgen (danazol)
- Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaaan sakit
berat
- Hormonal anovulatoir
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

ITP akut : bonam


ITP kronik : dubia ad malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

TROMBOSIS VENA DALAM


1. Pengertian

Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam


pembuluh darah vena terutama pada vena tungkai bawah

2. Anamnesis

Nyeri lokal,bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada


anggota tubuh yang terkena

3. Pemeriksaan
Fisik

Edem, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena,


pembuluh darah vena teraba, Homans sign (+)
Berdasarkan data tersebut di atas sering ditemukan negatif palsu
Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi
Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis)
Pasien dengan risiko tinggi yaitu apabila:
- Riwayat trombosis, strok
- Pasca tindakan bedah terutama paska trauma/penyakit berat
- Luka bakar
- Gagal jantung akut atau kronik
- Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan
hematologi
- Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang
disertai syok
- Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon
estrogen
- Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi
predisposisi untuk trombosis

4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penunjang
- Kadar antitrombin III (ATIII) menurun(N: 85-125%)
- Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
- Titer D-dimer meningkat
Trombosis Vena Dalam
Sindrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks
vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan
sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitis kontak,

eritema nodusum, kehamilan, flebitis superficial, paralisis


7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Radiologi: venografi/flebografi, USG vena b-mode atau colour


doppler
Laboratorium: kadar AT III, protein C, protein S, antibodi
antikardiolipin, profil lipid, agregasi trombosit
Non farmakologis:
- Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan
aliran darah vena
- Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
- Latihan lingkup gerak sendai (range of motion) seperti
gerakan fleksi-ekstensi, menggenggam dll, tindakan ini
akan meningkatkan aliran darah di vena-vena yang masih
terbuka (patent)
- Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini dapat
meningkatkan aliran darah vena
Farmakologis
1. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
- Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai
1000iu/jam
- Target aPTT 1,5 -2,5 x kontrol, bila
aPTT < 1,5 x kontrol, dosis 100-200 iu/jam
aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis tetap
aPTT > 2,5 x kontrol, dosis 100-200 iu/jam
- Hari I: aPTT diperiksa tiap 6 jam
Hari II: aPTT diperiksa tiap 12 jam
Hari III: aPTT diperiksa tiap 24 jam
LMWH (low molecular weight heparin)
- Nadroparin (0,1 ml/kg/12 jam)
- Enoksaparin 1mg/kg/12 jam
- Tidak perlu pemantauan
Warfarin
- Dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin dengan
dosis hari I 6-10mg malam hari, hari II diturunkan
- INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan target 2-3
- Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam
berikutnya
- Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor risiko
Bila tidak ada faktor risiko, dapat distop dalam 3-6 bulan
Bila ada faktor risiko dapat diberikan lebih lama atau
bahakan seumur hidup
- Cara penyesuaian dosis INR
- INR 1,1 -1,4
Hari I naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 10-20% dari total dosis
mingguan

Kembali 1 minggu
- INR 1,5-1,9
Hari I naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 5-10% dari total dosis
mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 2,0-3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu
- INR 3,1-3,9
Hari I kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Mingguan kurangi 5-15% dari total mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 4,0-5,0
Hari I tidak dapat obat
Mingguan kurangi 10-20% dari dosis total
mingguan
Kembali I minggu
- INR >5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari
2. Trombolisis (streptokinase,tPA)
- Terapi ini dapat mempertimbangkan sampai 2 minggu
setelah pembentukan thrombus (trombosis vena iliaka
atau vena femoralis akut atau subakut)
- Tidak dianjurkan untuk thrombus yang berusia lebih
dari 4 minggu
3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
- Bukan merupakan terapi utama
- Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu
setelah terapi standar heparin atau warfarin
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Tergantung penyebab, pada yang tidak disertai komplikasi baik

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Supandiman, I. Trombosis. Dalam : Suyono,S. Waspadji, S.
Lesmana,L.Alwi, I. Setiati, S. Sundaru,H.dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai penerbit
FKUI. Jakarta 2001:588-91
2. Tambunan, KL. Terapi antikoagulan pada trombosis vena
dalam. Dalam: Setiati,S. Bawazier,LA.Atmakusuma,D.
Kasjmir,YI. Syam,AF. Gustaviani,R. Current treatment in
internal medicine 2000. PIP IPD FK UI Jakarta 2000:19-22
3. Atmakusuma,D. Perbedaan trombosis vena dalam dan
trombosis arteri akut dalam hal diagnosis dan tata laksana.

Dalam: Prodjosudjadi, W. Setiati, S. Alwi, I. Pertemuan


ilmiah Nasional PB PAPDI 2003, therapeutic update and
workshop in internal medicine PIP IPD FKUI Jakarta 2003:
193-203
4. Tambunan,KL. Peran terapi medikamentosa pada DVT
kronik. Dalam : Simadibrata,M. Alwi, I. Kasjmir,YI.
Bawazier,LA. Syam,AF. Mansjoer,A. Penyakit kronik dan
degeneratif, penatalaksanaan dalam praktek sehari-hari.PIP
IPD FKUI Jakarta 2003.9-13

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA


1. Pengertian

Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi sistem


koagulasi dan fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi pada waktu
yang bersamaan

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Klinis:
- Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi,
asidosis,hipoksia, proteinuria
- Tanda-tanda perdarahan (petekie,purpura, ekimosis,
hematoma, hematemesis-melena, hematuria, epistaksis)
- Manifestasi trombosis gagal organ (paru,ginjal,hati)
- KID merupakan akibat dari kausa primer yang lain:
Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin
intra-uterin, abortus septik)
Bidang hematologi (reaksi transfusi,hemolisis berat,
leukemia)
Infeksi ( septikemia, gram negatif, gram positif; virus HIV,
hepatitis, dengue; parasit malaria)
Trauma, penyakit hati akut,luka bakar
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Kompensasi Hiperkompensas Dekompensasi
i
Trombosit
N
N

PTT
N
N/

PT
N
N/

Fibrinogen
N
N/

D Dimer
+/
+/
++/
Darah tepi: trombositopenia atau normal, burr cell (+)
Pemeriksaan hemostasis pada KID

5. Diagnosis Kerja

Koagulasi Intravaskalur Diseminata

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID


Laboratorium: DPL, hemostasis lengkap (PT,aPTT, fibrinogen,ddimer)
-

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Suportif
Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah
Membebaskan jalan napas
Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam dan basa
Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit
Mengobati penyakit primer
Menghambat proses patologis
Antikoagulan
Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC<TC<
FFP,kriopresipitat)

Malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Tambunan,KL. Koagulasi intavascular diseminata. Dalam:
Suyono,S. Waspadji,S. Lesmana,L. Alwi, I. Setiati,S.
Sundaru, H.dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam.Jilid II.
Edisis III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001:555-64
2. Tambunan,KL. Diagnosis dan penatalaksanaan koagulasi
intravaskular
diseminata.
In:
subekti,I.Lysdia,A.
Rumende,CM.
Syam,AF.
Masjoer,A.
Suprohita.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan di bidang ilmu penyakit
dalam. PIP IPD FKUI Jakarta 2001: 25-31

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
TROMBOSITOSIS PRIMER/ESENSIAL
1. Pengertian

2. Anamnesis

3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah


normal tertinggi (450.000/uI)
Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel
multipotensial hemopoetik
- Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta
berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan panas,
pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan
(eritromialgia)
- Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak
spesifik seperti sakit kepala,pusing, defisit neurologi fokal,
serangan iskemia sepintas,kejang atau oklusi arteri retina
- Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang,
pertumbuhan fetus terhambat
Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan, atau trombosis
sesuai lokasi yang terkena
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium
- Jumlah trombosit seringkali >1juta/ml
- Laju endap darah normal
- Variasi bentuk trombosit abnormal (raksasa, hipogranular),
fragmen trombosit
- Masa perdarahan normal
- Faktor VIII/von Wildebrand normal
Trombositosis Primer/esensial
Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder
Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, morfologi
trombosit, laju endap darah, masa perdarahan, faktor VIII/von
willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin
Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan
menurunkan fungsi trombosit
- Untuk menurunkan trombosit
1. Hydroxyuria (hydrea): 15mg/kgBB/hari
2. Anagrelide (agrylin): 4 kali 1,5-2,5 mg sehari, dimulai

dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap tiap minggu


3. Thromboreduction
4. Interferon alfa : 3 juta Iu, tiga kali seminggu
5. Fosforus -32
- Untuk menurunkan fungsi trombosit
1. Aspirin
2. Tiklopidin
3. Klopidogrel
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad sanasionam : malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Tambunan,KL. Trombositosis dan trombositosis esensial.
In: Atmakusuma,A. Uyainah,A. Irawan,C. Suhendro.
Current diagnosis and treatment in internal medicine 2003.
PIP IPD FKUI Jakarta 2003: 94-9
2. Essentiele trombocytemie. Hematologie Klapper.8th ed.
Leids Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:501

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

SINDROM VENA KAVA SUPERIOR


1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

Sindrom vena kava superior adalah sekumpulan gejala yang


disebabkan obstruksi vena kava superior oleh sebuah tumor
mediastinum
Keluhan sakit kepala,mual,muntah,gangguan penglihatan, sinkop,
suara serak, sesak napas, disfagia dan sakit punggung
Distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher, lengan dan dada
atas, sianosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
- Foto dada menunjukkan massa paratrakeal atau di
mediastinum
- CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa
Sindrom vena kava superior

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Tumor mediastinum: tumor ganas, teratoma, limfoma malignum


Tumor paru
Pemeriksaan radiologi: foto toraks, ct scan toraks

8. Tata Laksana

Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada


70% kasus.dosis harian dimulai dengan dosis tinggi (400cGy)
untuk mendapatkan pengecilan masa tumor yang dibutuhkan
Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC, kemoterapi
akan sama efektifnya dengan radioterapi

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Ad vitam: dubia ad malam


Ad fungsionam: malam
Ad sanasionam: malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT
HIPERKALSEMIA
1. Pengertian

Hiperkalsemia merupakan kedaruratan onkologi yang sering


ditemukan sebagai akibat metabolik dari keganasan

2. Anamnesis

Anoreksia, mual, muntah-muntah,polyuria

3. Pemeriksaan
Fisik

Penurunan kesadaran

4. Kriteria
Diagnosis

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penunjang : kadar kalsium serum meningkat
Hiperkalsemia

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator

Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal


1. Diuresis paksa dengan larutan salin (200-250ml/jam) dan
furosemide disertai monitor ketat balans cairan dan fungsi
kardiopulmoner
2. Mithramycin 25 ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan
pada gagal ginjal dan trombositopenia
3. Kortikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari
pengobatan. Berguna pada hiperkalsemia pada limfoma
malignum, mieloma multiple dan karsinoma payudara
4. Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia
adalah kemoterapi efektif
Ad vitam: dubia
Ad fungsionam: dubia ad malam
Ad sanasionam : malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

15. Kepustakaan

Djoerban,Z. Kedaruratan Onkologi. In: Waspadji, S.Gani,RA.


Setiati,S. Alwi, I. Bunga rampai ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Balai penerbit FKUI 1996; p.97-110

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

HIPERURISEMIA
1. Pengertian

Hiperurisemia merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan


pada leukemia, gangguan mieloproliperatif, limfoma atau mieloma
yaitu ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran selama
kemoterapi di mana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak
untuk kemudian mengalami katabolisme menjadi asam urat

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator

Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu ginjal


Kadar asam urat melebihi 10mg/dl dan rata-rata 20mg/dl. Oliguria
atau anuria dengan atau tanpa adanya kristal asam urat. Kadar
nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat
Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung menurut
sampel acak, mendukung diagnosis nefropati akibat hiperurisemia
Hiperurisemia

Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis


1. Alopurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada
sindrom lisis tumor
2. Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar
asam urat dan memperbaiki fungsi ginjal
Ad vitam: malam
Ad fungsionam: malam
Ad sanasionam: malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam

15. Kepustakaan

Djoerban,Z. Kedaruratan Onkologi. In: Waspadji, S.Gani,RA.


Setiati,S. Alwi, I. Bunga rampai ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Balai penerbit FKUI 1996; p.97-110

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER


1. Pengertian

Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang amat


penting, sehingga tidak jarang lebih penting daripada pengobatan
pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena pengobatan
suportif ini justru sering berkaitan dengan usaha untuk mengatasi
masalah-masalah yang dapat mengancam jiwa. Pengobatan
suportif ini tidak hanya diperlukan pada pasien kanker yang
menjalani pengobatan kuratif tetapi juga pada pengobatan paliatif.
Pengobatan suportif ini meliputi:
- Masalah nutrisi dan gangguan saluran cerna
- Penanganan nyeri
- Penanganan infeksi
- Masalah efek samping sitostatika terutama efek
mielosupresi

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Masalah nutrisi
- Anamnesis: penurunan berat badan yang cepat
- Antropometri: tebal lemak kulit (M. Deltoideus lengan
atas), indeks masa tubuh (di bawah 1,5 menunjukkan
katabolisme berlebihan), penilaian terhadap masa otot
- Laboratorium :
Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan
respons imun),
Kadar albumin dan prealbumin (albumin < 3g/24 jam dan
prealbumin < 1,2 g/dl menunjukkan malnutrisi),
Kadar urea nitrogen urin (> 24g/24 jam menunjukkan
katabolisme protein berlebihan), kadar feritin darah
Penanganan Nyeri
- Anamnesis: waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya
dan faktor yang menambah atau mengurangi nyeri
- Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada
pasien, apakah nyeri viseral, somatik, atau neuropatik
- Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri,

menggunakan alatbantu VAS (visual analog scale) yaitu


skala dari nol sampai sepuluh (nol menunjukkan tidak ada
nyeri sama sekali, sepuluh menunjukkan nyeri yang paling
hebat). Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi
menjadi 4 kelompok
Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri
Angka 1-3 menyatakan nyeri ringan
Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang
Angka 7-10 menyatakan nyeri berat
Hal yang paling menentukan untuk memulai pengobatan
adalah jenis tingkatan nyeri
Penanganan infeksi
Masalah efek samping sitostatika
- Penekanan sumsum tulang (infeksi netropenia,
trombositopenia, leukopenia, anemia)
- Mual dan muntah
- Toksisitas jantung (kardiomiopati, perimiokarditis)
- Toksisitas ginjal (nekrosis tubular ginjal)
- Ekstravasasi
- Sindrom lisis tumor
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Masalah nutrisi
- Antropometri: tebal lemak kulit,indeks masa tubuh dan
masa otot
- Laboratorium: hitung limfosit, albumin dan prealbumin
darah, urea nitrogen urn, feritin darah
Penanganan nyeri
- Pemeriksaan radiologi: foto, USG, bone scan, CT scan,
MRI untuk mengetahui jenis nyeri dan lokasinya
Penanganan infeksi
- Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis,
kultur darah, kultur urin, kultur sputum, swab tenggorok
untuk mencari fokus infeksi, pemeriksaan terhadap koloni
jamur
- Foto toraks
Masalah efek samping sitostatitka
- Pemeriksaan fisik: luas permukaan tubuh, tingkat
kemampuan berperan, mencari sumber infeksi
- Pemeriksaan laboratorium DPL dengan hitung jenis, fungsi
ginjal, urinalisis, asam urat darah, fungsi hati, kultur pada
tempat-tempat tertentu secara berkala
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan ekokardiografi

8. Tata Laksana

Masalah nutrisi
- Indikasi terapi:
Pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari
Bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum
sakit
Kadar albumin serum < 3,5 gr/dl
Terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh
- Penghitungan kebutuhan kalori:
Rumus penghitungan kebutuhan kalori =
Kalori basal+aktvitas sehari-hari+keadaan hiperkatabolik
Kalori basal laki-laki: 27-30 kalori/kgBBideal/hari
Kalori basal perempuan 23-26 kalori/kgBBideal/hari
Perhitungan kebutuhan protein adalah 0,6-0,8
g/kgBBideal/hari
Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan
tambahan 0,5g/kgBBideal/hari
- Cara pemberian :
Enteral melalui saluran cerna peroral, lewat selang
nasogastrik, jejunostomi, gastronomi
Parenteral diberikan bila melalui enteral tidak bisa atau
pasien tidak mau dilakukan gastronomi/jejunostomi.
Nutrisi sebaiknya melalui vena sentral karena dapat
diberikan cairan dengan osmolalitas tinggi dan dalam
waktu lama (6 bulan-1 tahun). Hati-hati terhadap bahaya
infeksi dan trombosis
Penanganan nyeri
Pengobatan medikamentosa/farmakologi
- Pada nyeri ringan pengoabatan dimulai dengan asetaminofen
atau OAINS, kemudian di evaluasi dalam 24-72 jam, bila
masih nyeri ditambahkan amitriptilin 3x25 mg atau opioid
ringan kodein sampai dengan 6x30mg/hari
- Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opioid ringan
kemudian di evaluasi dalam 24 jam, bila masih nyeri obat
diganti dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin.
Pemberian morfin intravena dimulai dengan dosis dititrasi
sampai pasien bebas nyeri
- Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak awal dan
dievaluasi sampai hitungan jam sampai nyeri terkendali
baik. Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin
intravena diganti dengan morfin oral masa kerja pendek 46 jam dengan perbandingan 1:3, artinya jika dosis injeksi
20mg/24 jam maka dosis oral sebanyak 3x20mg/24 jam
(60mg), diberikan 6x10mg atau 4 x15 mg/hari. Dosis
2x30mg/hari. Bila nyeri belum terkendali baik, morfin
dinaikkan dosisnya menjadi dua kali lipat dan dievaluasi
lebih lanjut serta berpedoman pada VAS
- Obat adjuvan diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya
neuropatik maka selain obat-obat tersebut ditambahkan
GABA (gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis

tulang sedikit dapat ditambahkan OAINS dan bifosfonat,


bila metastasis luas dan multipel maka pilihan utamanya
adalah radioterapi dan dapat ditambahkan bisfosfonat
Pengobatan non medikamentosa:
1. Penanganan psikiatris
2. Operasi bedah saraf
3. Blok anestesi
4. Rehabilitasi medik
Penanganan infeksi
- Infeksi oleh bakteri gram negatif
Kombinasi antibiotik betalaktam dengan aminoglikosida
Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem,
meropenem
- Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus epidermis
sering resisten pada berbagai macam antibiotika, diberikan
vankomisin dan teikoplanin
- Infeksi jamur. Pemberian amfoterisin B dianjurkan pada
pasien neutropenia dengan demam berkepanjangan setelah
pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari
tanpa adanya bakteremia
- Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa
imunosupresi, sehingga beberapa pusat menganjurkan
pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang
diperkirakan akan mengalami neutropenia berat untuk
waktu yang lama
Masalah efek samping sitostatika
1. Penekanan sumsum tulang
Pemilihan dan penjadwalan obat sitostatika yang tepat
Pencegahan infeksi pada pasien neutropenia berupa
dekontaminasi saluran cerna, kulit dan rambut bila akan
mendapat kemoterapi agresif
Pengobatan infeksi, bila hasil kultur belum ada, diberikan
pengobatan empiris yang dapat menjangkau gram positif
dan negatif, anti jamur, bila perlu antivirus
G-CSF saat ini bisa diberikan pada keadaan
granulositopenia, terutama yang mendapat kemoterapi
agresif
2. Mual dan muntah
Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklorpropamid,
antagonis serotonin (ondansentron, granisentron, dan
tropisentron), kortikosteroid, benzodiazepin, nabilon,
antihistamin dan kombinasi obat-obat antiemetik di atas.
Dianjurkan kombinasi tersebut meliputi deksametason
diikuti antagonis serotonin atau difenhidramin dan
metoklorpamid
3. Toksisitas jantung
Pasien dengan risiko tinggi (EF<50%) harus menjalani

ekokardiografi setiap satu atau dua siklus pengobatan,


sedangkan pada yang tidak berisiko tinggi ekokardiografi
diulang setelah dosis kumulatif 350-400 mg/m2. Hal yang
paling penting pada pemantauan adalah dosis kumulatif
(epirubisin 950mg/m2, daunorubisin 750mg/m2, mitomisin
160 mg/m2 dan doksorubisin 550mg/m2)
4. Toksisitas ginjal
Kerusakan ginjal dapat dicegah dengan hidrasi adekuat,
alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan diuretik
5. Sindrom lisis tumor
Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum kemoterapi
sampai dengan 3-5 hari setelahnya diberikan hidrasi
intravena 3000ml/m2, alopurinol 500mg/m2 per oral, bila
kadar urat > 7mg/dl diberikan alkalinisasi urin dengan
natrium bikarbonat dengan mempertahankan pH urin di
atas 7
6. Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat vesikan
dapat dicegah dengan memastikan jalan infus intravena
lancar dan setelah kemoterapi diberikan, cairan infus tetap
diberikan
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Ad vitam: malam
Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam: malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Harsal,A. Tatalaksana nyeri kanker. Dalam: Setiati,S.
Alwi,I. Kasjmir,YI. Bawazier,LA. Lydia,A. Syam AF dkk.
Current diagnosis and treatment in internal medicine 2002.
PIP IPD FKUI Jakarta 2002: 15-20
2. Sutandyo,N. Haryanto,A. Peran nutrisi pada keganasan.
Dalam: Setiati,S. Soewondo,P. Pitoyo,CW. Syam,AF.
Mansjoer,A. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkembangan
Mutakhir IPD. PIP IPD FKUI Jakarta 2003: 130-3
3. Reksodiputro,AH. Sutandyo,N. Nafrialdi. Yunihastuti,E.
Beberapa aspek pengobatan suportif pada pasien kanker.
Dalam: Alwi,I.Setiati,S. Sudoyo,AW. Bawazier,LA.
Kasjmir,YI. Mansjoer,A. Pertemuan ilmiah tahunan ilmu
penyakit dalam.PIP IPD FKUI Jakarta 2001:123-38

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

POLISITEMIA VERA
1. Pengertian

Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoesis yang


dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan volume sel darah
merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas
ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa
memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia
vera bila sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel
induk darah yang abnormal (tidak polisitemia sekunder dimana
eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas
kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat
secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai
manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin.
Perjalanan klinis:
- Fase eritrositik atau fase polisitemia
Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur
untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal
- Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti
remisi, kadang timbul anemia
- Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif,
menyerupai mielofibrosis dan metaplasia mieloid
- Fase terminal

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

International Polyccythemia Study Group II


Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
a. A1 +A2 +A3 atau
b. A1 +A2+ 2 kategori B
Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan kron
radioaktif Cr-51. Pada pria 36 ml/kg dan pada wanita
32ml/kg
2. Saturasi oksigen arterial 92% (pada polisitemia

vera,saturasi oksigen tidak menurun)


3. Splenomegali

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

Kategori B
1. Trombositosis :trombosit 400.000/ml
2. Leukositosis : leukosit 12000/ml (tidak ada infeksi)
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100
(tanpa ada panas/infeksi)
4. Kadar vitamin B12>900 pg/ml dan atau UB12BC dalam
serum 2200 pg/ml
Polisitemia vera
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau
eritropoetin meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik
Laboratorium : eritrosit,granulosit,trombosit,kadar B12 serum,
NAP, saturasi O2
Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan kelainan
mieloproliperatif yang lain
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan
mengendalikan eritropoesis dengan fleobotomi
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase
eritrositik/polisitemia yang belum terkendali
3. Menghindari pengobatan berlebihan
4. Menghindari obat yang mutagenik,teratogenik dan berefek
sterilisasi pada pasien usia muda
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu
atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila
didapatkan:
- Trombositosis persisten di atas 800.000/ml terutama jika
disertai gejala tromsosis
- Leukositosis progresif
- Splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopenia
problematic
- Gejala sistemik yang tidak terkendali seperti pruritus yang
sukar dikendalikan,penurunan berat badan atau
hiperurikosuria yang sulit diatasi
Flebotomi
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankann
hematokrit 42% pada wanita dan 47% pada pria untuk mencegah
timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi
flebotomi terutama untuk semua pasien pada permulaan penyakit
dan yang masih dalam usia subur
Indikasi:
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht >
55% (target Ht 55%)
3. Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat
beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas
dan penurunan shear rate

Kemoterapi sitostatika
Tujuannya adalah sitoreduksi
Indikasi :
- Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
- Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
- Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
- Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
- Splenomegali simtomatik/mengancam ruptur limpa
Cara pemberian:
- Hidroksiurea 800-1200 mg/m2/hari atau 10-15 mg/kg/kali
diberikan dua kali sehari. Bila tercapai target dilanjutkan
pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan
- Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/hari selama
3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4mg/kgBB tiap 2-4
minggu
- Busulfan 0,06 mg/kgbb/hari atau 1,8mg/m2/hari. Bila
tercapai target dilanjutkan pemberiaan secara intermiten
untuk pemeliharaan
Fosfor radioaktif
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi/m2 intravena ,
bila per oral dinaikkan 25%. Selanjutnya bila setelah 3-4 minggu
pemberian P32 pertama:
- Mendapatkan hasil,reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat
diulang jika diperlukan
- Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis
pertama, diberikan setelah 10-12 minggu dosis pertama
Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil
Kemoterapi biologi (sitokin)
Pengobatan suportif
- Hiperurisemia : allopurinol 100-600 mg/hari
- Pruritus dengan urtikaria : antihistamin,PUVA
- Gastritis/ulkus peptikum: antagonis reseptor H2
- Antiagregasi trombosit anagrelid
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

Ad vitam: dubia ad malam


Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam: malam

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Abdul muthalib, Effendy,S. Polisitemia Vera. Dalam:
Suyono,S.Waspadji,S.lesmana,L. Alwi,I.Setiati,S. Sundar,
H.dkk. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.Edisi III.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001.p.541-6


2. Polycythemia vera. Hematologie Klapper.8th ed. Leids
universitair medish centrum leiden. Juni 1999: 48-9

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

SINDROM DELIRIUM AKUT


1. Pengertian

Sindrom delirium akut (acute confusional state/ACS) adalah


sindrom mental organik yang ditandai dengan gangguan kesadaran
dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang
timbul jangka pendek dan berfluktuasi

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


(DSM IV-TR) meliputi gangguan kesadaran yang disertai
penurunan kemampuan untuk memusatkan , mempertahankan,
atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya
ingat,disorientasi,gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan
persepsi yang bukan akibat demensia, gangguan tersebut timbul
dalam jangka pendek (jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi
sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut
disebabkan kondisi medis umum maupun akibat intoksikasi, efek
samping atau putus obat/zat.
Harus dicari faktor pencetus dan faktor risikonya:
- Pencetus yang sering: gangguan metabolik ( hipoksia,
hiperkarbia, hipo atau hiperglikemia, hiponatremia,
azotemia), infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi saluran
kemih), penurunan cardiac output (dehidrasi, kehilangan
darah akut, infark miokard akut, gagal jantung kongestif),
strok (korteks kecil), obat-obatan (terutama antikolinergik),
intoksikasi (alkohol, dll), hipo atau hipertemia, lesi sistem
saraf pusat, psikosis akut, pemindahan ke lingkungan yang
baru/tidak familiar, impaksi fekal, dan retensi urin
- Faktor risiko: riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari
80 tahun , mengalami fraktur saat masuk perawatan, infeksi
simtomatik, jenis kelamin pria, mendapat obat antipsikotik
atau analgesik narkotik, penggunaan pengikat, malnutrisi,
penambahan 3 atau lebih obat, dan penggunaan kateter urin

5. Diagnosis Kerja

Sindrom delirium akut

6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang

Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence

Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan


penyebab/pencetus:
- Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit
neurologis lokal, adakah cerebro vascular disease atau
transcient ischemic attack; lakukan brain ct scan jika ada
indikasi
- Darah perifer lengkap
- Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan
glukosa darah
- Analisis gas darah
- Urin lengkap dan kultur resistensi urin
- Foto toraks
- EKG
- Berikan oksigen, pasang infus dan monitor
- Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk
memandu langkah selanjutnya; tujuan utama terapi adalah
mengatasi faktor pencetus
- Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa nasogastrik
- Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus
disertai inkontinensia urin
- Awasi kemungkinan imobilisasi
- Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah
imobilisasi. Jika benzodiazepin memang diperlukan,
gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau
benzodiazepin dan monitor status neurologisnya;
pertimbangkan penggunaan antipsikotik atipikal. Kaji
ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah
penghentian obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan
obat tidur secepatnya
- Kaji status hidrasi secara berkala
- Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat
jam dan kalender yang besar dan jika memungkinkan
diletakkan barang-barang yang fa,iliar bagi pasien dari
rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga
kesehatan harus berupaya sesering mungkin mengingatkan
pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sedah
memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang
biasa digunakan oleh pasien sebelumnya, motivasi untuk
berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan tenaga
kesehatan, evaluasi strategi orientasi realitas; beritahu
kepada pasien bahwa dirinya sedang bingung dan
disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik
Dubia

12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

SMF Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

DISPEPSI FUNGSIONAL
1. Pengertian

Dispepsi fungsional adalah perasaan dispepsia tanpa disertai


adanya kelainan organik

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding

7. Pemeriksan
Penunjang

8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis

Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati


Perih, mual, kembung, cepat kenyang, muntah, sering bersendawa,
regurgitasi
Keluhan dirasakan terutama berhubungan/dicetuskan dengan
adanya stres
Berlangsung lama dan sering kambuh
Sering disertai gejala-gejala ansietas dan depresi
Pemeriksaan endoskopi normal
Dispepsi Fungsional
Dispepsia oleh sebab organik misalnya ulkus peptikum, gastritis
erosif dsb
Gangguan pada sistem hepato-bilier
Dispepsia yang disebabkan penyakit kronik lain misalnya gagal
ginjal, diabetes melitus dsb
Hb,Ht, leukosit, kreatinin, ureum, gula darah, tes fungsi hati, urin
lengkap
Endoskopi
Pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi untuk
menyingkirkan diagnosis banding
- Simtomatik diberikan antasida, obat-obatan H2
antagonis,seperti: simetidin, ranitidin, famotidin;
penghambat pompa proton seperti omeprazole dan obatobatan prokinetik
- Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan ansiolitik
atau anti depresan yang sesuai
- Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
Dubia ad bonam

11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Mudjaddid E. Sindrom Kolon Iritabel. In: Simadibrata M,
Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A.
Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p.197-8
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical
of psychophysiologic Reaction.3th edition. London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder.4th
edition. American Psychiatric Assosiation. Washington
1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour.4th edition. 1991
5. Neuroimmunodulation: Molecular aspects, integrative
system dan clinical advances McCann SM, Lipton JM,
Sternberg EM, Chrousos GP, Gold PW, Smith CC editor,
annual of new york academy of sciences.1998;840

Rumah Sakit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATALAKSANA KASUS
ARSANI
SUNGAILIAT

SINDROM LELAH KRONIK


1. Pengertian

Sindrom lelah kronik adalah rasa lelah yang berlangsung lama dan
tidak hilang dengan istirahat tanpa penyebab organik yang jelas

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksan
Penunjang
8. Tata Laksana

9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidence
12. Tingkat

Gejala utama : rasa lelah kronis yang dirasakan terus


menerus atau berulang. Rasa lelah bertambah bila
melakukan aktivitas atau saat mengalami stres emosi dan
tidak pulih sepenuhnya dengan istirahat
- Gejala tambahan yang dapat menyertai ialah mialgia,
sefalgia, nyeri sendi, nyeri tenggorok (faringitis), demam,
limfadenopati terutama daerah leher atau aksila. Juga
didapatkan adanya gejala-gejala neuropsikologis seperti
depresi,kecemasan,insomnia
- Gejala utama dalam 6 bulan atau lebih disertai minimal 4
gejala tambahan dan tidak didapatkan penyakit kronis lain
yang spesifik
Sindrom Lelah Kronik
Chronic fatique, fibromialgia, keganasan, infeksi kronis, penyakit
autoimun, penyalahgunaan obat (drug abuse)
Tidak ada pemeriksaan penunjang spesifik
Pemeriksaan penunjang sesuai dengan gejala yang dominan dan
bila diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis
- Terapi simtomatik sesuai gejala yang dominan
- Antidepresan
- Latihan (rehabilitasi) psikis dan fisik
- Terapi penunjang lain, diet rendah lemak, vitamin, tidak
merokok, tidak minum alkohol
Bonam

Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator
15. Kepustakaan

SMF Ilmu Penyakit Dalam


1. Mudjaddid E. Chronic Fatique Syndrome. In: Simadibrata
M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer
A,editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p.198-9.
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical
of Psychophysiologic Reaction.3th edition. London 1957
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th
edition. American PsychiatricAssociation.Washington 1994
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour.4th edition. 1991
5. Neuroimmunomodulation: molecular aspects, integrative
system and clinical advances. McCann SM, Lipton JM,
Sternberg EM, Chrousos GP, Gold PW,Smith CC editor,
Annal of new york academy of sciences.1998;840

Anda mungkin juga menyukai