Anda di halaman 1dari 30

i

Refarat

Anestesi Spinal

Oleh:
dr. Albert

Pembimbing:
dr. Wulan Fadinie, M.Ked(An), Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP.HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2019
ii

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : Anestesi Spinal


DIBACAKAN : 2019
PEMBACA : dr. Albert
PEMBIMBING : dr. Wulan Fadinie, M.Ked(An), Sp.An

PEMBIMBING

dr. Wulan Fadinie, M.Ked(An), Sp.An


NIP. 198503062010122002

KETUA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM

dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn,KIC,KAO
NIP. 19600701 198702 1002 NIP. 19520826 198102 1 001
iii

DAFTAR ISI

Halaman
BAB I PENDAHULUAN -------------------------------------------------------- 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------ 3
2.1 Anatomi Tulang Belakang / Spine ------------------------------- 3
2.2 Dermatom ----------------------------------------------------------- 11
2.3 Anestesi Spinal ----------------------------------------------------- 12
2.3.1 Jenis-Jenis Jarum yang Digunakan dalam Anestesi
Spinal ------------------------------------------------------- 13
2.3.2 Beberapa Faktor yang Memengaruhi
Ketinggian Blok ------------------------------------------- 14
2.3.3 Efek Anestesi Spinal -------------------------------------- 15
2.3.4 Indikasi Anestesi Spinal ---------------------------------- 16
2.3.5 Kontraindikasi Anestesi Spinal ------------------------- 17
2.3.6 Teknik Anestesi Spinal ----------------------------------- 18
2.3.7 Obat-Obat yang Digunakan dalam Tindakan
Anestesi Spinal -------------------------------------------- 21
2.3.7.1 Mekanisme Kerja Obat Anestesi Spinal ------ 22
2.3.8 Komplikasi Anestesi Spinal ----------------------------- 23
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 26
iv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Belakang / Spine ......................................... 3

Gambar 2.2 Tulang lumbal dan ruang epidural (epidural space) ............... 4

Gambar 2.3 Perjalanan medulla spinalis pada kolumna vertebralis ........... 5

Gambar 2.4 Traktus desenden dan asenden ................................................ 6

Gambar 2.5 Jaras kortikospinalis ................................................................ 7

Gambar 2.6 Jaras spinotalamikus................................................................ 8

Gambar 2.7 Jaras spinoserebellaris ............................................................. 8

Gambar 2.8 Potongan sagittal dari vertebra lumbalis ................................. 10

Gambar 2.9 Sistem vaskularisasi medulla spinalis ..................................... 11

Gambar 2.10 Dermatom tubuh ..................................................................... 12

Gambar 2.11 Jenis jarum spinal .................................................................... 13

Gambar 2.12 Pendekatan midline pada anestesi spinal ................................. 19

Gambar 2.13 Tindakan anestesi spinal dengan pendekatan paramedian ...... 20

DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Ketinggian segmen dermatom tubuh dalam anestesi spinal untuk
prosedur pembedahan.............................................................. 11

Tabel 2.2 Operasi yang menggunakan teknik anestesi spinal ................. 17

Tabel 2.3 Obat yang digunakan pada anestesi spinal .............................. 22


1

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi merupakan suatu cara pemberian obat untuk menghilangkan


kesadaran secara sementara dan biasanya berkaitan dengan tindakan pembedahan.
Secara garis besar, anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa rasa nyeri yang
bersifat sementara akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit
pada seluruh bagian tubuh secara sentral. Sedangkan anestesi regional adalah suatu
keadaan bebas nyeri pada sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran. Saat ini,
anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang didapatkan melalui tindakan ini, seperti harga yang
relatif lebih murah, pengaruh terhadap sistemik yang minimal disamping
menghasilkan efek analgesi yang adekuat, serta kemampuan dalam mencegah
respon stress secara lebih sempurna. Anestesi regional memiliki beberapa teknik
penggunaan, salah satunya adalah melalui tulang belakang atau yang lebih dikenal
dengan istilah anestesi spinal.1
Subarachnoid spinal block atau yang lebih dikenal dengan istilah anestesi
spinal adalah suatu prosedur anestesi yang dapat digunakan sebagai alternatif dari
anestesi umum. Anestesi spinal biasanya digunakan pada operasi bagian bawah
tubuh, seperti ekstremitas inferior, panggul, rektum, perineum, abdomen bawah,
bedah obstetri dan ginekologi, serta pada tindakan bedah urologi. Anestesi spinal
itu sendiri merupakan prosedur menginjeksikan obat anestesi lokal ke ruang
subarachnoid yang membuat adanya blok konduksi dari persarafan medulla
spinalis serta menimbulkan keadaan teranestesi secara cepat dan dalam. Anestesi
spinal membutuhkan massa yang kecil (volume) dari obat sehingga hampir tidak
memiliki efek farmakologis sitemik, untuk menciptakan kondisi analgesia sensori
secara cepat (<5 menit) dan mendalam. Prinsip yang digunakan dalam tindakan
anestesi ini adalah menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran
saraf sensorik dan motorik secara sementara (reversible), dan pada saat tindakan
berlangsung, pasien tetap sadar.2,3

1
2

Anestesi ini akan menimbulkan berbagai efek saat diinjeksikan. Injeksi dari
anestesi lokal ke ruang subarachnoid akan menyebabkan berbagai respon fisiologis
yang bergantung pada kondisi medis pasien sebelumnya, kedalaman blokade, dan
obat yang digunakan. Tindakan anestesi spinal dapat memengaruhi beberapa sistem
tubuh antara lain: (1) Blokade saraf melalui serabut C berdiameter kecil yang
terdapat di akar persarafan spinal dan bagian perifer medulla spinalis; (2) Sistem
kardiovaskular; (3) Sistem pencernaan; (4) Sistem ginjal; (5) Sistem neuroendokrin;
serta (6) Sistem termoregulasi tubuh.2
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan yang mencapai
angka > 90%. Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan tindakan anestesi
spinal ini memberikan kesan bahwa teknik tersebut sederhana namun canggih.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak memiliki
risiko yang berbahaya. Hasil yang baik dapat dicapai apabila persiapan seorang
anestesiologis optimal disertai dengan pengetahuan tentang anestesi spinal yang
memadai.4 Oleh karena itu, refarat ini akan membahas tentang anestesi spinal
dimulai dari anatomi tulang belakang, teknik anestesi spinal, hingga komplikasi-
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan
dengan anestesi spinal.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang Belakang / Spine


Tulang belakang/spine tersusun atas 33 tulang vertebra (7 buah tulang servikal,
12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang gabungan
sakral/sakrum, dan 4 buah tulang gabungan koksigeus).5

Gambar 2.1 Anatomi tulang belakang

Kolumna vertebralis mempunyai 5 fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat


kepala dan batang tubuh; (2) melindungi medulla spinalis; (3) memungkinkan
keluarnya saraf spinalis dari kanalis spinalis; (4) sebagai tempat untuk melekatnya
otot-otot; serta (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh. Tulang
vertebra akan membesar dari arah kranial ke kaudal dan mencapai maksimalnya
pada tulang sakrum, kemudian mengecil sampai bagian apeks dari tulang
koksigeus. Struktur tersebut terbentuk untuk menahan beban yang semakin
membesar dari kranial ke kaudal hingga kemudian beban tersebut ditransmisikan
menuju tulang pelvis melalui articulation sacroilliaca.5
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga
dihubungkan oleh suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas

3
4

tulang punggung, namun terbatas untuk mempertahankan stabilitas kolumna


vertebralis sehingga tetap dapat melindungi struktur medulla spinalis yang berjalan
di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing tulang vertebra, diskus intervertebralis, ligamen, dan otot-otot.5

Gambar 2.2 Tulang lumbal dan ruang epidural (epidural space)

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi spinal adalah
mengetahui lokasi medulla spinalis di dalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis
merupakan suatu silinder jaringan saraf dengan panjang 45cm (sekitar 18 inci) dan
berdiameter 2cm. Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum ke bawah
hingga menuju konus medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah
menjadi kauda equina) yang berlokasi diantara T12 hingga L1. Di sepanjang
medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis: 8 pasang saraf servikal (C), 12
pasang saraf torakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1
pasang saraf koksigeal (Co), yang melalui radiks anterior (motorik) dan radiks
posterior (sensorik). Masing-masing radiks melekat pada medulla spinalis melalui
sederetan radiks kecil (radices) yang terdapat di sepanjang segmen medulla spinalis
yang sesuai. Setiap radiks mempunyai sebuah ganglion radiks posterior yang axon
sel-selnya memberikan serabut pada saraf perifer dan pusat.5,6
5

Gambar 2.3 Perjalanan medulla spinalis pada kolumna vertebralis

Medulla spinalis dilewati oleh 2 traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan traktus asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer, sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi aferen yang dimaksud dapat dibagi ke dalam 2
kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif yang berasal dari luar tubuh, seperti
rasa nyeri, suhu, dan raba; serta (2) informasi proprioseptif yang berasal dari dalam
tubuh, seperti otot dan sendi.6
6

Gambar 2.4 Traktus desenden dan asenden

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari6:


1. Traktus kortikospinalis: merupakan lintasan yang berkaitan dengan
gerakan-gerakan terlatih, berbatas jelas, bersifat volunter, terutama pada
bagian distal anggota gerak.
2. Traktus retikulospinalis: dapat mempermudah atau menghambat aktivitas
neuron motorik α dan γ pada kolumna grisea anterior sehingga dapat
mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.
3. Traktus spinotektalis: berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural
sebagai respon terhadap stimulus verbal.
4. Traktus rubrospinalis: memengaruhi neuron-neuron motorik α dan γ pada
kolumna grisea anterior serta mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor
atau otot-otot antigravitasi.
5. Traktus vestibulospinalis: mempermudah otot-otot ekstensor,
menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas
postural yang berhubungan dengan keseimbangan.
6. Traktus olivospinalis: berperan dalam aktivitas muskuler.
7

Gambar 2.5 Jaras kortikospinalis

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:6


1. Kolumna dorsalis: berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif,
dan berperan dalam diskriminasi lokasi.
2. Traktus spinotalamikus anterior: berfungsi membawa sensasi raba dan
tekanan ringan.
3. Traktus spinotalamikus lateral: berfungsi membawa sensasi nyeri dan
suhu.
4. Traktus spinoserebellaris ventralis dan dorsalis: berperdan dalam
menentukan posisi dan perpindahan.
5. Traktus spinoretikularis: berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam
dan lama.
8

Gambar 2.6 Jaras spinotalamikus

Gambar 2.7 Jaras spinoserebellaris


9

Saraf spinalis pada umumnya berakhir setinggi L2 pada orang dewasa dan L3
pada anak-anak. Secara anatomis, penusukan jarum pada tindakan anestesi spinal
dilakukan pada segmen L2 ke bawah karena ujung bawah dari medulla spinalis
adalah setinggi L2 dan ruang intersegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih
datar bila dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi cela antartulang
ini dapat ditemukan dengan cara menghubungkan krista iliaca kiri dan kanan,
sehingga titik pertemuan yang didapatkan adalah prosesus spinosus L4 atau L4-5.6
Terdapat beberapa bagian yang perlu dilalui oleh jarum spinal sebelum
mencapai rongga subarachnoid, yaitu:5
1. Kulit: Kulit merupakan lapisan pertama yang ditembus oleh jarum spinal.
2. Jaringan subkutan: Jaringan ini sangat tebal sehingga terkadang sulit untuk
mengidentifikasi jarak intervertebra khususnya pada orang yang memiliki
tubuh gemuk.
3. Ligamentum supraspinosum: Ligamentum ini berfungsi untuk
menhubungkan ujung-ujung prosesus spinosum.
4. Ligamentum interspinosum: Ligamen ini lebih tipis dan bergabung dengan
ligamen antara prosesus spinosum.
5. Ligamentum flavum: Ligamentum ini berukuran sekitar 1cm yang terdiri
dari jaringan elastik. Ligamen ini berjalan secara vertikal dari lamina ke
lamina, ketika jarum melewati ligamen ini akan terasa sensasi seperti
menembus sesuatu.
6. Epidural: Ruang epidural terdiri dari lemak dan pembuluh darah. Bila
darah keluar setelah jarum dan stilet dikeluarkan, maka keumngkinan
pembuluh darah epidural telah pecah.
7. Duramater: Sensasi menembus lapisan duramater mungkin akan dirasakan
sama seperti saat menembus lapisan ligamentum flavum ke ruang epidural.
8. Subarachnoid: Daerah ini terdiri dari saraf-saraf medulla spinalis yang
berisikan cairan serebrospinal (CSF / Cerebrospinal Fluid) dan merupakan
tempat untuk menyuntikkan obat anestesi spinal. Memasukkan obat
anestesi ke dalam ruang subarachnoid akan membuatnya bergabung
dengan CSF dan langsung memblok saraf di sekelilingnya.
10

Gambar 2.8 Potongan sagittal dari vertebra lumbalis

Pada daerah tusukan, perlu juga diperhatikan arteri dan vena yang berada di
sekitarnya. Arteri spinalis posterior memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla,
sedangkan 2/3 bagian anterior medulla diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Selain kedua arteri tersebut, terdapat juga arteri radikularis yang memperdarahi
medulla dengan berjalan di foramen intervertebralis. Sistem vena yang
memperdarahi medulla adalah vena medularis anterior dan vena medularis
posterior.5
11

Gambar 2.9 Sistem vaskularisasi medulla spinalis

2.2 Dermatom
Dermatom merupakan area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris
yang berasal dari satu saraf spinalis. Efek anestesi spinal harus dapat mencapai
segmen dermatom tertentu agar dapat memblokade persarafan di daerah
pembedahan tersebut.7

Tabel 2.1 Ketinggian segmen dermatom tubuh dalam anestesi spinal untuk
prosedur pembedahan8
Jenis Tindakan Pembedahan Ketinggian Segmen Dermatom Kulit
Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli, prostat T10
Testis, ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen atas T4
Paha dan tungkai bawah L1
12

Gambar 2.10 Dermatom tubuh

2.3 Anestesi Spinal


Anestesi spinal merupakan suatu tindakan anestesi dengan memasukkan obat
analgetik ke dalam ruang subarachnoid di daerah vertebra lumbalis (L2-3, L3-4,
L4-5) dengan tujuan untuk mendapatkan efek blokade sensorik, relaksasi otot
rangka, dan blokade saraf simpatis. Anestesi spinal harus dilakukan setelah
pengamatan yang memadai dan di tempat dimana penanganan untuk jalan napas
dan resusitasi tersedia. Sebelum memposisikan pasien, semua perlengkapan untuk
spinal block haruslah telah siap untuk digunakan, contohnya telah tersedia
campuran anestesi lokal, jarum telah dibuka, larutan antiseptik kulit telah tersedia,
dan lain-lain. Mempersiapkan peralatan terlebih dahulu akan mengurangi waktu
13

yang dibutuhkan untuk melakukan blokade dan akan meningkatkan kenyamanan


pasien.9

2.3.1 Jenis-Jenis Jarum yang Digunakan dalam Anestesi Spinal


Spinal needles (jarum spinal) dikelompokkan berdasarkan bentuk dari ujung
jarumnya. Bagian introducer dimasukkan ke dalam ligamen interspinosum pada
arah yang diinginkan dari jarum spinal, kemudian jarum spinal dimasukkan melalui
shaft (badan) dari introducer. Introducer akan mencegah jarum spinal mengalami
pembengkokan ketika melewati ligamen interspinosum. Jarum dengan diameter
luar yang sama dapat memiliki diameter dalam yang berbeda. Hal ini penting
diperhatikan karena diameter dalam akan menentukan seberapa besar kateter dapat
dimasukkan melalui jarum dan menentukan seberapa cepat cairan serebrospinal
akan terlihat pada needle hub saat memasukkan jarum spinal. Semua jarum spinal
memiliki stylet yang ketat. Stylet ini akan mencegah jarum untuk terhubung dengan
kulit atau lemak, dan hal penting lainnya adalah untuk mencegah kulit tertarik ke
dalam ruang epidural atau subarachnoid, dimana kulit dapat tumbuh dan
membentuk tumor dermoid.5,9,10
Gambar 2.11 Jenis jarum spinal
14

2.3.2 Beberapa Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok9


Faktor yang memengaruhi ketinggian tempat pemblokan struktur intra-
abdominal seperti peritoneum (T4), vesika urinaria (T10), dan uterus (T10)
mempunyai inervasi dari segmen persarafan spinal yang jauh lebih ke arah cephalic
dibandingkan insisi pada kulit yang digunakan saat operasi. Obat, pasien, dan faktor
prosedur dapat memengaruhi distribusi dari penyebaran anestesi lokal di dalam
ruang intratekal.
1. Faktor obat
Dosis, volume, dan konsentrasi akan saling terkait (volume x konsentrasi
= dosis), akan tetapi dosis merupakan hal yang paling berperan dalam
penyebaran anestesi lokal pada larutan isobarik dan hipobarik.
2. Faktor pasien
Banyak faktor pasien yang memengaruhi tingkat saraf spinal yang akan
dianestesi pada tindakan anestesi spinal. Faktor-faktor ini meliputi tinggi
anestesi, berat (ringan atau obesitas), usia (anak atau dewasa), dan jenis
kelamin. Dalam rentang normal, pada orang dewasa, tinggi pasien tidak
memengaruhi penyebaran dari obat anestesi spinal. Akan tetapi, panjang
kolumna vertebra, yang terkait dengan penyebaran anestesi lokal, akan
memengaruhi dosis obat.
3. Faktor prosedur
Penyebaran anestesi lokal di dalam ruang subarachnoid akan bertahan
selama 20-25 menit setelah injeksi. Posisi pasien berperan penting dalam
hal ini, terutama pada menit awal. Meskipun dengan mengangkat 10
derajat, hal ini dapat mengurangi penyebaran larutan hiperbarik tanpa
gangguan hemodinamik, dan memposisikan kepala ke bawah tidak selalu
meningkatkan penyebaran obat pada larutan hiperbarik seperti
bupivacaine. Memfleksikan pinggul yang dikombinasikan dengan posisi
Trendelenburg akan mendatarkan lordosis lumbal dan meningkatkan
penyebaran cephalic dari larutan hiperbarik.
15

2.3.3 Efek Anestesi Spinal


Tindakan anestesi spinal dengan pemberian obat anestesi lokal dapat
memengaruhi beberapa sistem tubuh:2
1. Sistem Kardiovaskular
Aliran simpatetik dari medulla spinalis berasal dari T1-L2, sedangkan
aliran parasimpatetik berasal dari kraniosakral. Serabut simpatetik dari T1-
4 (serabut cardioaccelerator) meningkatkan denyut jantung. Blok
terhadap serabut ini akan menyebabkan denervasi simpatetik jantung dan
menyebabkan penurunan dari denyut jantung, serta penurunan
kontraktilitas jantung dan curah jantung. Selain itu, pemberian dosis besar
anestesi lokal dapat menyebabkan terjadinya disritmia (kegagalan
sirkulasi).
2. Sistem Pernapasan
Pemberian obat anestesi lokal menyebabkan relaksasi otot polos bronkus.
Selain itu, aktivitas otot interkostalis juga menurun sehingga menimbulkan
turunnya kapasitas vital paru.
3. Sistem Pencernaan (Gastrointestinal)
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen dimulai dari T6-L2. Akibat
blokade simpatis, kerja parasimpatis akan meningkat, seperti peningkatan
sekresi, relaksasi sfingter, dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien yang
menjalani anestesi spinal akan mengalami mual dan muntah. Peningkatan
aktivitas vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan
peristaltik usus yang memicu terjadinya mual. Efek samping pada sistem
pencernaan ini dapat diatasi dengan pemberian atropine.
4. Ginjal dan Hepar
Tindakan anestesi spinal cenderung menurunkan aliran darah ke ginjal
sebagai mengakibatkan terjadinya hipotensi arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal, maka aliran darah ginjal tidak akan menurun
sampai tekanan arteri rata-rata mencapai < 50mmHg. Dengan demikian,
bila tidak terjadi hipotensi berat, aliran darah ginjal serta urine output akan
tetap berada dalam batas normal selama tindakan anestesi spinal
berlangsung. Hal tersebut berbeda dengan sistem hepar, dimana aliran
16

darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi yang dialami
pasien selama tindakan anestesi spinal berlangsung.
5. Sistem Neuroendokrin
Respon tubuh terhadap trauma pembedahan meliputi produksi mediator
inflamasi lokal dan aktivasi dari serabut saraf somatik dan aferen viseral.
Respon ini akan meningkatkan aktivitas dari hormon adrenocorticotropic,
kortisol, epinefrin, norepinefrin, vasopresin, dan sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Tindakan anestesi spinal akan lebih menekan respon
neuroendokrin bila dibandingkan dengan tindakan anestesi umum.
6. Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestesi lokal dengan
tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan sensorik
juga dialami oleh beberapa pasien, seperti tinitus dan pandangan kabur.
Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, dan paranoid serta
tanda adanya depresi sistem saraf pusat seperti bicara tidak jelas/pelo,
mudah mengantuk, kejang, depresi pernapasan, tidak sadar, dan koma juga
dapat ditemukan pada beberapa kasus.
7. Sistem Termoregulasi
Anestesi spinal dapat menghambat sistem termoregulasi normal dengan
vasodilatasi perifer yang merupakan akibat dari proses simpatektomi,
sehingga menyebabkan meningkatnya proses kehilangan panas.

2.3.4 Indikasi Anestesi Spinal


Anestesi spinal merupakan pilihan yang ideal untuk tindakan pembedahan
pada bagian umbilikus ke bawah, contohnya pada abdomen bagian bawah, inguinal,
genitourinaria, ginekologi, rektal, dan pembedahan ekstremitas inferior. Anestesi
spinal tidak banyak digunakan pada tindakan pembedahan abdomen bagian atas
dikarenakan memerlukan tingkat blokade yang tinggi, yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dan respirasi.5,9
17

Tabel 2.2 Operasi yang menggunakan teknik anestesi spinal

2.3.5 Kontraindikasi Anestesi Spinal5,9


a. Absolut
 Pasien menolak untuk dilakukan tindakan anestesi
 Infeksi pada lokasi suntikan
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah, ataupun diare
 Koagulopati atau pada pasien yang mendapatkan terapi koagulan
 Peningkatan tekanan intracranial
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim

b. Relatif
 Infeksi sistemik
 Adanya kelainan neurologis
 Adanya kelainan psikologis
 Tindakan pembedahan yang lama
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya
 Hipovolemia ringan
 Nyeri punggung kronis
18

2.3.6 Teknik Anestesi Spinal


Jarum spinal umumnya dimasukkan dengan posisi lateral decubitus. Pada
posisi lateral decubitus, pasien berbaring dengan daerah yang akan dilakukan
tindakan berada di bawah jika menggunakan larutan anestesi lokal yang bersifat
hiperbarik dan daerah yang akan dilakukan tindakan berada di atas jika
menggunakan larutan yang bersifat hipobarik. Hal ini untuk memastikan daerah
yang paling cepat dan paling dominan terblokade adalah daerah yang akan
dilakukan tindakan.9
Punggung pasien berada di ujung meja sehingga pasien mudah untuk
dijangkau. Pundak dan panggul diposisikan secara tegak lurus, hal ini untuk
mencegah terjadinya rotasi dari tulang belakang / spine. Lutut ditarik ke dada dan
leher difleksikan, serta pasien diminta untuk membengkokkan daerah lumbal keluar
ke arah anestesiologis.7,9
Dengan menggunakan iliac crest sebagai patokan (garis antara iliac crest
yang melewati korpus dari L5 atau sela tulang di antara L4 sampai L5), sela tulang
di antara L2 sampai L3, L3 sampai L4, dan L4 sampai L5 diidentifikasi dan dipilih
untuk melakukan insersi jarum. Sela tulang di atas L2 sampai L3 harus dihindari
untuk mengurangi risiko terkenanya medulla spinalis oleh jarum spinal.5,7
a. Pendekatan Midline5
Untuk pendekatan midline terhadap ruang subarachnoid, kulit yang
melapisi sela tulang yang diinginkan diinfiltrasi dengan sedikit anestesi
lokal untuk mencegah nyeri pada saat memasukkan jarum spinal. Jarum
Spinal atau jarum introducer diinsersikan pada bagian tengah dari sela
tulang dengan sedikit bengkok ke arah cephalad sebesar 10-15 derajat.
Ketika ujung jarum diyakini telah berada di ruang subarachnoid, lepaskan
stylet untuk melihat apakah CSF keluar pada needle hub. Dengan
menggunakan jarum yang berdiameter kecil (26G-29G), umumnya hal ini
akan membutuhkan waktu sekitar 5-10 detik, akan tetapi pada beberapa
pasien, memerlukan waktu sekitar 1 menit. Bila CSF tidak keluar, ujung
jarum mungkin mengalami obstruksi oleh saraf dan hal ini dapat diatasi
dengan memutar jarum dengan arah 90 derajat.
19

Gambar 2.12 Pendekatan midline pada anestesi spinal

Adanya CSF menunjukkan bahwa jarum telah berada di cauda equina


pada ruang subarachnoid dan ujung jarum berada di posisi yang benar.
Jika jarum dimasukkan dengan tepat ke ruang subarachnoid, posisinya
akan terfiksasi dan syringe yang mengandung anestesi lokal akan
terhubung. Aspirasi CSF secara perlahan untuk mengonfirmasi bahwa
jarum telah berada di rongga subarachnoid dan injeksikan anestesi lokal
secara perlahan (0,5mL/detik). Setelah selesai menginjeksi, aspirasilah
kembali CSF untuk memastikan ujung jarum masih berada di ruang
subarachnoid ketika dilakukan pemberian anestesi lokal.
Ketika blok telah dilakukan, pastikan untuk memperhatikan status
hemodinamik pasien dengan memperhatikan tekanan darah dan denyut
jantung. Derajat blok harus dinilai dengan uji pin prick atau sensasi suhu.

b. Pendekatan Paramedian5,9
Pendekatan paramedian pada ruang epidural dan subarachnoid akan
berguna pada situasi dimana anatomis pasien tidak memungkinkan untuk
dilakukan pendekatan midline, seperti ketidakmampuan untuk
membengkokkan tulang belakang atau adanya kalsifikasi berat pada
ligamen interspinosum.
20

Prosesus spinosus membentuk batas bawah dari sela tulang yang akan
dilakukan tindakan. Jarum dimasukkan sekitar 1-2cm ke lateral dari titik
tersebut dan diarahkan menuju bagian tengah dari sela dengan sudut 45
derajat ke arah cephalad dan angulasi medial (sekitar 15 derajat) untuk
mengompensasi insersi dari sisi lateral. Adanya tahanan yang dirasakan
pertama kalinya saat menusukkan jarum merupakan lapisan ligamentum
flavum.
Gambar 2.13 Tindakan anestesi spinal dengan pendekatan paramedian

c. Pendekatan Lumbosakral5
Pendekatan lumbosakral (atau Taylor) terhadap ruang subarachnoid dan
epidural merupakan pendekatan paramedian yang diarahkan pada celah
antara L5-S1, dan ini merupakan ruang interlaminar yang terbesar.
Pendekatan ini berguna ketika gangguan anatomis membuat pendekatan
lain tidak memungkinkan. Pasien diposisikan dalam kondisi cenderung
mengarah ke lateral atau dalam kondisi duduk, dan jarum diinsersikan
pada 1cm medial dan 1cm ke inferior dari spina iliaca posterior superior.
Jarum diarahkan ke cephalad dengan sudut 45-55 derajat, dan cukup
medial untuk mencapai prosesus spinosus L5. Sama halnya dengan
pendekatan paramedian, ligamen interspinosum akan dilewati dan tahanan
yang dirasakan pertama kalinya saat menusukkan jarum merupakan
lapisan ligamentum flavum.
21

2.3.7 Obat-Obat yang Digunakan dalam Anestesi Spinal


Agen anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau
blokade saluran natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan
transmisi sepanjang saraf jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik
lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan
dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-obat anestesi lokal yang
digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat yaitu blokade sensorik
dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan pemulihan
blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat
dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah.8
Obat anestesi lokal merupakan senyawa amino organik atau gabungan
alkaloid larut lemak dan garam larut air. Rumus bangun obat golongan tersebut
terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh yang bersifat lipofilik, bagian
badan cincin hidrokarbon sebagai penghubung, dan bagian ekor amino tersier yang
bersifat hidrofilik. Bagian aromatik memengaruhi kelarutan dalam air dan rantai
penghubung menentukan jalur metabolisme obat anestetik lokal. Struktur umum
dari obat anestetik lokal tersebut mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu
membran sel saraf. Jika dilihat susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari dua
lapisan lemak dan satu lapisan protein di luar dan dalam, maka struktur obat
anestetik lokal gugus hidrofilik berguna untuk transportasi ke sel saraf sedangkan
gugus lipofilik berguna untuk migrasi ke dalam sel saraf.8
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan
ester seperti cocaine, benzocaine, procaine, chloroprocaine, ametocaine,
tetracaine, serta golongan amida seperti lidocaine, mepivacaine, prilocaine,
bupivacaine, etidocaine, dibucaine, ropivacaine, dan levobupivacaine. Perbedaan
kedua golongan ini terletak pada kestabilan struktur kimianya. Golongan ester
mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih
stabil. Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase
dan golongan amida dimetabolisme di hati.10,11
Agen anestesi lokal yang umumnya digunakan pada tindakan anestesi spinal
adalah lidocaine, tetracaine, dan bupivacaine. Mepivacaine dan ropivacaine,
22

meskipun lebih sering digunakan pada tindakan blokade saraf perifer atau anestesi
epidural, namun dapat juga digunakan pada anestesi spinal, meskipun masih
bersifat off-label di Amerika. Dikarenakan procaine memiliki onset yang lambat
dan durasinya yang singkat pada anestesi spinal, obat ini jarang digunakan.
Chloroprocaine tidak disetujui sebagai agen untuk anestesi spinal karena bersifat
neurotoksik, walaupun obat ini sering digunakan pada beberapa penelitian.
Lidocaine dulunya merupakan anestesi lokal yang sering digunakan untuk anestesi
spinal, namun saat ini semakin jarang digunakan karena berkaitan dengan gejala
neurologi transien. Bupivacaine dan tetracaine merupakan pilihan yang sering
digunakan pada operasi dengan durasi kerja yang lama. Agen anestesi epinephrine
memiliki efek yang minimal bagi bupivacaine, sedangkan epinephrine atau
phenylephrine secara signifikan memperpanjang durasi kerja agen anestesi
tetracaine.3
Tabel 2.3 Obat yang digunakan pada anestesi spinal

2.3.7.1 Mekanisme Kerja Obat Anestesi Spinal


Mekanisme kerja obat anestesi lokal adalah dengan mencegah transmisi
impuls saraf atau blokade konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium
melalui gerbang ion natrium selektif pada membran saraf. Obat bekerja pada
reseptor spesifik saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf
terhadap ion natrium dan kalium, sehingga proses konduksi saraf tidak terjadi. Obat
23

anestesi lokal setelah masuk ke cairan serebrospinal, akan berdifusi menyeberangi


selubung saraf dan membran, tetapi hanya obat bersifat basa yang dapat menembus
membran lipid ini. Ketika obat anestesi lokal mencapai akson, terjadi ionisasi
sehingga mengakibatkan blokade saluran natrium, hambatan konduksi natrium,
penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, serta blokade
saraf.11
Obat anestesi lokal juga bekerja dengan memblok kanal kalsium dan
potasium serta reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang
berbeda-beda. Tidak semua serabut saraf mempunyai pengaruh obat anestesi lokal
yang sama. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal dan
derajat mielinisasi serta berbagai faktor anatomi dan fisiologi lainnya. Pada
umumnya, serabut saraf kecil dan bermielin lebih mudah untuk diblok bila
dibandingkan dengan serabut saraf besar yang tidak bermielin.11
Secara umum, tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih tinggi
daripada blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-3 segmen lebih tinggi
daripada blokade motorik. Hal ini dimungkinkan karena konsentrasi obat anestesi
lokal di dalam cairan serebrospinal semakin ke arah cephalad (menjauhi tempat
injeksi) akan semakin berkurang, di samping serabut saraf bermielin memerlukan
paling tidak tiga nodus ranvier yang berurutan harus diblok secara keseluruhan
untuk menghambat proses konduksi. Maka dari itu, urutan hilangnya fungsi sel
saraf pada pemberian anestesi lokal adalah sebagai berikut: (1) simpatis
(vasomotor) berupa dilatasi pembuluh darah arteri dan vena; (2) sensoris suhu dan
nyeri; (3) sensoris raba dan tekanan; (4) proprioseptif berupa kesadaran akan posisi
tubuh; kemudian (5) fungsi motorik. Bila obat anestesi lokal ini telah habis durasi
kerjanya, maka fungsi-fungsi yang hilang akan kembali dalam urutan terbalik, yaitu
fungsi motorik akan kembali terlebih dahulu, diikuti oleh sensasi raba dan nyeri,
dan berakhir pada kembalinya respon simpatis.12

2.3.8 Komplikasi Anestesi Spinal


1. Hipotensi
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik.
Ketinggian dari blokade saraf akan meningkatkan blokade simpatis, yang
24

dapat dilihat dari perubahan kardiovaskular terutama blokade simpatis T1-


L2. Hipotensi dan bradikardi adalah efek samping yang diakibatkan oleh
denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain hipovolemia,
hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia > 40 tahun,
obesitas, serta adanya kombinasi antara anestesia umum dan regional.
Konsumsi alkohol yang berkepanjangan, riwayat hipertensi, serta BMI
berlebih akan meningkatkan risiko terjadinya hipotensi setelah tindakan
anestesi spinal. Hipotensi dapat terjadi pada 33% populasi non-obstetri.
Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang
signifikan setelah tindakan anestesi spinal, namun pasien berusia muda (<
50 tahun) dan sehat atau ASA 1 mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
bradikardi. Penggunaan beta-blocker juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya bradikardi. Insidensi terjadinya bradikardi pada populasi non-
obstetri adalah sebesar 13%.10
2. Retensi urin
Hal ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot
kandung kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter
urin bermanfaat pada tindakan pembedahan dengan durasi yang cukup
lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat berguna karena
retensi urin yang cukup lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf
yang serius.9
3. Nyeri punggung
Penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu respon
peradangan yang kemudian menghasilkan kekakuan sementara. Gejala ini
dapat berlanjut hingga lebih dari seminggu. Nyeri punggung dapat menjadi
suatu tanda awal dari komplikasi hematoma spinal dan abses.7,10
4. Nyeri kepala (Postdural puncture headache)
Nyeri kepala dapat terjadi akibat adanya kebocoran cairan serebrospinal
melewati lubang pada durameter ataupun akibat penurunan tekanan
intrakranial yang disebabkan oleh kebocoran cairan serebrospinal. Gejala
postdural puncture headache dapat berupa nyeri kepala pada posisi duduk
atau berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, nyeri pada
25

regio frontalis, retroorbita, oksipital, dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini
biasanya dirasakan 12-72 jam setelah prosedur anestesi spinal.10
5. Hematoma spinal
Insidensi terjadinya hematoma pada tindakan anestesi spinal adalah
1:220.000. Adapun faktor yang meningkatkan risiko terjadinya hematoma
spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau penyakit yang
berhubungan dengan koagulasi darah, serta penyuntikkan anestesi spinal
yang dilakukan berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan
mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia serta kerusakan sel saraf.
Onset gejala hematoma biasanya berjalan cepat, berupa nyeri punggung
dan tungkai bawah, kehilangan rasa dan kelemahan yang progresif, serta
adanya disfungsi sfingter.9,10
6. Transcient neurological symptoms
Gejala dan tanda transient neurological symptoms dapat berupa nyeri
punggung bawah yang menjalar hingga ke tungkai bawah. Gejala
umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali
menjadi normal. Hal ini terjadi antara 1-24 jam dan bisa terjadi setelah
beberapa hari. TNS lebih sering dijumpai pada pasien yang menjalani
tindakan anestesi spinal dengan posisi litotomi. Posisi ini membuat
peregangan pada serabut akar saraf lumbosakral, menurunnya perfusi, dan
membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek toksik dari obat anestesi
lokal.10
7. Sindroma kauda equina
Sindroma ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidocaine 5%.
Sindroma kauda equina pada umumnya bersifat permanen dengan gejala
berupa disfungsi sfingter, defisit sensorik-motorik, dan parese. Lidocaine
dikatakan memiliki efek neurotoksisitas yang sama tingginya dengan
tetracaine bila dibandingkan dengan bupivacaine dan ropivacaine.7
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal.


Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2011; 3(1): 48-59
2. Valovski IT, Valovska A. Spinal anesthesia. In: Essential clinical anesthesia,
ed. Vacanti CA, Urman RD, et al. USA: Cambridge University Press; 2011.
pp. 340-8
3. Macfarlane AJR, Brull R, Chan VWS. Spinal, Epidural, and Caudal
Anesthesia. In: Basics of anesthesia 7th edition, ed. Pardo MC, Miller RD.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2018. pp. 273-89
4. Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Anesthesiology.
2001; 94(5): 888-906
5. Bernards CM, Hostetter LS. Epidural and Spinal Anesthesia. In: Clinical
Anesthesia 7th edition, ed. Barash PG, Cullen BF, et al. Philadelphia, USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2013. pp. 905-20
6. Snell RS. Clinical Anatomy 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health;
2010
7. Hadzic A. Spinal anesthesia. In: Hadzic’s Textbook of Regional Anesthesia
and Acute Pain Management 2nd edition. New York: McGraw-Hill Education;
2017
8. Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal
dan anesthesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002
9. Brull R, Macfarlane AJR, Chan VWS. Spinal, Epidural, and Caudal
Anesthesia. In: Miller’s anesthesia 8th edition, ed. Miller RD, Cohen NH, et
al. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015. pp. 1684-703
10. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2013. pp. 938-58
11. McLure HA, Rubin AP. Review of local anaesthetic agents. Minerva
anestesiologica. 2005; 71(3): 59-74
12. Matras PJ, Poulton B, Derman S. Self learning package: Pain physiology and
assessment, patient-controlled analgesia, epidural and spinal analgesia, nerve
block catheters. Fraserhealth. 2012: 12-3

Anda mungkin juga menyukai