Refarat
Anestesi Spinal
Oleh:
dr. Albert
Pembimbing:
dr. Wulan Fadinie, M.Ked(An), Sp.An
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBIMBING
dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn,KIC,KAO
NIP. 19600701 198702 1002 NIP. 19520826 198102 1 001
iii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN -------------------------------------------------------- 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------ 3
2.1 Anatomi Tulang Belakang / Spine ------------------------------- 3
2.2 Dermatom ----------------------------------------------------------- 11
2.3 Anestesi Spinal ----------------------------------------------------- 12
2.3.1 Jenis-Jenis Jarum yang Digunakan dalam Anestesi
Spinal ------------------------------------------------------- 13
2.3.2 Beberapa Faktor yang Memengaruhi
Ketinggian Blok ------------------------------------------- 14
2.3.3 Efek Anestesi Spinal -------------------------------------- 15
2.3.4 Indikasi Anestesi Spinal ---------------------------------- 16
2.3.5 Kontraindikasi Anestesi Spinal ------------------------- 17
2.3.6 Teknik Anestesi Spinal ----------------------------------- 18
2.3.7 Obat-Obat yang Digunakan dalam Tindakan
Anestesi Spinal -------------------------------------------- 21
2.3.7.1 Mekanisme Kerja Obat Anestesi Spinal ------ 22
2.3.8 Komplikasi Anestesi Spinal ----------------------------- 23
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 26
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2 Tulang lumbal dan ruang epidural (epidural space) ............... 4
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1 Ketinggian segmen dermatom tubuh dalam anestesi spinal untuk
prosedur pembedahan.............................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Anestesi ini akan menimbulkan berbagai efek saat diinjeksikan. Injeksi dari
anestesi lokal ke ruang subarachnoid akan menyebabkan berbagai respon fisiologis
yang bergantung pada kondisi medis pasien sebelumnya, kedalaman blokade, dan
obat yang digunakan. Tindakan anestesi spinal dapat memengaruhi beberapa sistem
tubuh antara lain: (1) Blokade saraf melalui serabut C berdiameter kecil yang
terdapat di akar persarafan spinal dan bagian perifer medulla spinalis; (2) Sistem
kardiovaskular; (3) Sistem pencernaan; (4) Sistem ginjal; (5) Sistem neuroendokrin;
serta (6) Sistem termoregulasi tubuh.2
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan yang mencapai
angka > 90%. Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan tindakan anestesi
spinal ini memberikan kesan bahwa teknik tersebut sederhana namun canggih.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak memiliki
risiko yang berbahaya. Hasil yang baik dapat dicapai apabila persiapan seorang
anestesiologis optimal disertai dengan pengetahuan tentang anestesi spinal yang
memadai.4 Oleh karena itu, refarat ini akan membahas tentang anestesi spinal
dimulai dari anatomi tulang belakang, teknik anestesi spinal, hingga komplikasi-
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan
dengan anestesi spinal.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi spinal adalah
mengetahui lokasi medulla spinalis di dalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis
merupakan suatu silinder jaringan saraf dengan panjang 45cm (sekitar 18 inci) dan
berdiameter 2cm. Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum ke bawah
hingga menuju konus medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah
menjadi kauda equina) yang berlokasi diantara T12 hingga L1. Di sepanjang
medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis: 8 pasang saraf servikal (C), 12
pasang saraf torakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1
pasang saraf koksigeal (Co), yang melalui radiks anterior (motorik) dan radiks
posterior (sensorik). Masing-masing radiks melekat pada medulla spinalis melalui
sederetan radiks kecil (radices) yang terdapat di sepanjang segmen medulla spinalis
yang sesuai. Setiap radiks mempunyai sebuah ganglion radiks posterior yang axon
sel-selnya memberikan serabut pada saraf perifer dan pusat.5,6
5
Medulla spinalis dilewati oleh 2 traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan traktus asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer, sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi aferen yang dimaksud dapat dibagi ke dalam 2
kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif yang berasal dari luar tubuh, seperti
rasa nyeri, suhu, dan raba; serta (2) informasi proprioseptif yang berasal dari dalam
tubuh, seperti otot dan sendi.6
6
Saraf spinalis pada umumnya berakhir setinggi L2 pada orang dewasa dan L3
pada anak-anak. Secara anatomis, penusukan jarum pada tindakan anestesi spinal
dilakukan pada segmen L2 ke bawah karena ujung bawah dari medulla spinalis
adalah setinggi L2 dan ruang intersegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih
datar bila dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi cela antartulang
ini dapat ditemukan dengan cara menghubungkan krista iliaca kiri dan kanan,
sehingga titik pertemuan yang didapatkan adalah prosesus spinosus L4 atau L4-5.6
Terdapat beberapa bagian yang perlu dilalui oleh jarum spinal sebelum
mencapai rongga subarachnoid, yaitu:5
1. Kulit: Kulit merupakan lapisan pertama yang ditembus oleh jarum spinal.
2. Jaringan subkutan: Jaringan ini sangat tebal sehingga terkadang sulit untuk
mengidentifikasi jarak intervertebra khususnya pada orang yang memiliki
tubuh gemuk.
3. Ligamentum supraspinosum: Ligamentum ini berfungsi untuk
menhubungkan ujung-ujung prosesus spinosum.
4. Ligamentum interspinosum: Ligamen ini lebih tipis dan bergabung dengan
ligamen antara prosesus spinosum.
5. Ligamentum flavum: Ligamentum ini berukuran sekitar 1cm yang terdiri
dari jaringan elastik. Ligamen ini berjalan secara vertikal dari lamina ke
lamina, ketika jarum melewati ligamen ini akan terasa sensasi seperti
menembus sesuatu.
6. Epidural: Ruang epidural terdiri dari lemak dan pembuluh darah. Bila
darah keluar setelah jarum dan stilet dikeluarkan, maka keumngkinan
pembuluh darah epidural telah pecah.
7. Duramater: Sensasi menembus lapisan duramater mungkin akan dirasakan
sama seperti saat menembus lapisan ligamentum flavum ke ruang epidural.
8. Subarachnoid: Daerah ini terdiri dari saraf-saraf medulla spinalis yang
berisikan cairan serebrospinal (CSF / Cerebrospinal Fluid) dan merupakan
tempat untuk menyuntikkan obat anestesi spinal. Memasukkan obat
anestesi ke dalam ruang subarachnoid akan membuatnya bergabung
dengan CSF dan langsung memblok saraf di sekelilingnya.
10
Pada daerah tusukan, perlu juga diperhatikan arteri dan vena yang berada di
sekitarnya. Arteri spinalis posterior memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla,
sedangkan 2/3 bagian anterior medulla diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Selain kedua arteri tersebut, terdapat juga arteri radikularis yang memperdarahi
medulla dengan berjalan di foramen intervertebralis. Sistem vena yang
memperdarahi medulla adalah vena medularis anterior dan vena medularis
posterior.5
11
2.2 Dermatom
Dermatom merupakan area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris
yang berasal dari satu saraf spinalis. Efek anestesi spinal harus dapat mencapai
segmen dermatom tertentu agar dapat memblokade persarafan di daerah
pembedahan tersebut.7
Tabel 2.1 Ketinggian segmen dermatom tubuh dalam anestesi spinal untuk
prosedur pembedahan8
Jenis Tindakan Pembedahan Ketinggian Segmen Dermatom Kulit
Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli, prostat T10
Testis, ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen atas T4
Paha dan tungkai bawah L1
12
darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi yang dialami
pasien selama tindakan anestesi spinal berlangsung.
5. Sistem Neuroendokrin
Respon tubuh terhadap trauma pembedahan meliputi produksi mediator
inflamasi lokal dan aktivasi dari serabut saraf somatik dan aferen viseral.
Respon ini akan meningkatkan aktivitas dari hormon adrenocorticotropic,
kortisol, epinefrin, norepinefrin, vasopresin, dan sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Tindakan anestesi spinal akan lebih menekan respon
neuroendokrin bila dibandingkan dengan tindakan anestesi umum.
6. Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestesi lokal dengan
tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan sensorik
juga dialami oleh beberapa pasien, seperti tinitus dan pandangan kabur.
Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, dan paranoid serta
tanda adanya depresi sistem saraf pusat seperti bicara tidak jelas/pelo,
mudah mengantuk, kejang, depresi pernapasan, tidak sadar, dan koma juga
dapat ditemukan pada beberapa kasus.
7. Sistem Termoregulasi
Anestesi spinal dapat menghambat sistem termoregulasi normal dengan
vasodilatasi perifer yang merupakan akibat dari proses simpatektomi,
sehingga menyebabkan meningkatnya proses kehilangan panas.
b. Relatif
Infeksi sistemik
Adanya kelainan neurologis
Adanya kelainan psikologis
Tindakan pembedahan yang lama
Riwayat penyakit jantung sebelumnya
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
18
b. Pendekatan Paramedian5,9
Pendekatan paramedian pada ruang epidural dan subarachnoid akan
berguna pada situasi dimana anatomis pasien tidak memungkinkan untuk
dilakukan pendekatan midline, seperti ketidakmampuan untuk
membengkokkan tulang belakang atau adanya kalsifikasi berat pada
ligamen interspinosum.
20
Prosesus spinosus membentuk batas bawah dari sela tulang yang akan
dilakukan tindakan. Jarum dimasukkan sekitar 1-2cm ke lateral dari titik
tersebut dan diarahkan menuju bagian tengah dari sela dengan sudut 45
derajat ke arah cephalad dan angulasi medial (sekitar 15 derajat) untuk
mengompensasi insersi dari sisi lateral. Adanya tahanan yang dirasakan
pertama kalinya saat menusukkan jarum merupakan lapisan ligamentum
flavum.
Gambar 2.13 Tindakan anestesi spinal dengan pendekatan paramedian
c. Pendekatan Lumbosakral5
Pendekatan lumbosakral (atau Taylor) terhadap ruang subarachnoid dan
epidural merupakan pendekatan paramedian yang diarahkan pada celah
antara L5-S1, dan ini merupakan ruang interlaminar yang terbesar.
Pendekatan ini berguna ketika gangguan anatomis membuat pendekatan
lain tidak memungkinkan. Pasien diposisikan dalam kondisi cenderung
mengarah ke lateral atau dalam kondisi duduk, dan jarum diinsersikan
pada 1cm medial dan 1cm ke inferior dari spina iliaca posterior superior.
Jarum diarahkan ke cephalad dengan sudut 45-55 derajat, dan cukup
medial untuk mencapai prosesus spinosus L5. Sama halnya dengan
pendekatan paramedian, ligamen interspinosum akan dilewati dan tahanan
yang dirasakan pertama kalinya saat menusukkan jarum merupakan
lapisan ligamentum flavum.
21
meskipun lebih sering digunakan pada tindakan blokade saraf perifer atau anestesi
epidural, namun dapat juga digunakan pada anestesi spinal, meskipun masih
bersifat off-label di Amerika. Dikarenakan procaine memiliki onset yang lambat
dan durasinya yang singkat pada anestesi spinal, obat ini jarang digunakan.
Chloroprocaine tidak disetujui sebagai agen untuk anestesi spinal karena bersifat
neurotoksik, walaupun obat ini sering digunakan pada beberapa penelitian.
Lidocaine dulunya merupakan anestesi lokal yang sering digunakan untuk anestesi
spinal, namun saat ini semakin jarang digunakan karena berkaitan dengan gejala
neurologi transien. Bupivacaine dan tetracaine merupakan pilihan yang sering
digunakan pada operasi dengan durasi kerja yang lama. Agen anestesi epinephrine
memiliki efek yang minimal bagi bupivacaine, sedangkan epinephrine atau
phenylephrine secara signifikan memperpanjang durasi kerja agen anestesi
tetracaine.3
Tabel 2.3 Obat yang digunakan pada anestesi spinal
regio frontalis, retroorbita, oksipital, dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini
biasanya dirasakan 12-72 jam setelah prosedur anestesi spinal.10
5. Hematoma spinal
Insidensi terjadinya hematoma pada tindakan anestesi spinal adalah
1:220.000. Adapun faktor yang meningkatkan risiko terjadinya hematoma
spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau penyakit yang
berhubungan dengan koagulasi darah, serta penyuntikkan anestesi spinal
yang dilakukan berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan
mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia serta kerusakan sel saraf.
Onset gejala hematoma biasanya berjalan cepat, berupa nyeri punggung
dan tungkai bawah, kehilangan rasa dan kelemahan yang progresif, serta
adanya disfungsi sfingter.9,10
6. Transcient neurological symptoms
Gejala dan tanda transient neurological symptoms dapat berupa nyeri
punggung bawah yang menjalar hingga ke tungkai bawah. Gejala
umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali
menjadi normal. Hal ini terjadi antara 1-24 jam dan bisa terjadi setelah
beberapa hari. TNS lebih sering dijumpai pada pasien yang menjalani
tindakan anestesi spinal dengan posisi litotomi. Posisi ini membuat
peregangan pada serabut akar saraf lumbosakral, menurunnya perfusi, dan
membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek toksik dari obat anestesi
lokal.10
7. Sindroma kauda equina
Sindroma ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidocaine 5%.
Sindroma kauda equina pada umumnya bersifat permanen dengan gejala
berupa disfungsi sfingter, defisit sensorik-motorik, dan parese. Lidocaine
dikatakan memiliki efek neurotoksisitas yang sama tingginya dengan
tetracaine bila dibandingkan dengan bupivacaine dan ropivacaine.7
26
DAFTAR PUSTAKA