Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

BAB II CEDERA KEPALA ........................................................................................................ 2

II.1 Definisi .................................................................................................................. 2


II.2 Anatomi ................................................................................................................... 2
II.3 Aspek fisiologis cedera kepala ................................................................................ 5
II.4 Klasifikasi cedera kepala ......................................................................................... 7
II.5 Pemeriksaan Penunjang........................................................................................... 14
II.6 Penatalaksanaan ...................................................................................................... 15
II.7 Prognosis ................................................................................................................. 16

BAB III KESIMPULAN............................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 18

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lapisan kulit kepala .............................................................................................2


Gambar 2. Anatomi otak ........................................................................................................4
Gambar 3. Contoh Cedera kepala ..........................................................................................6
Gambar 4. glasgow coma scale .............................................................................................8
Gambar 5. Gambar potongan brain .......................................................................................10
Gambar 6. intraserebral hematom .........................................................................................11
Gambar 7. Lefort kalsifikasi .................................................................................................13

v
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam
pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan
usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah,
disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit.80 % di
kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk
cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan
tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien
cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.Adapun
pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri,
Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala
ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala
berat.Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan,
peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,anamnesa dan pemeriksaan
fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera
kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan
kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).

2.ANATOMI KEPALA
a.Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit
 Connective tissue atau jaringan penyambung
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak
 Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
 Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-
anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan
waktu lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).

b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004).
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini
dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis.Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala (American college of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater (japardi, 2004)

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon(otak
belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of
surgeon,1997)
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial(terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior) (japardi,2004)
g. Vaskularisasi
Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).

3. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM SARAF TEPI

Sistem saraf tepi merupakan sistem saraf yang menghubungkan semua bagian tubuh
dengan sistem saraf pusat. Sistem saraf tepi terdiri atas reseptor sensorik dan efektor motorik.
Reseptor sensorik terletak pada organ, bertugas mendeteksi perubahan lingkungan luar atau
dalam tubuh. Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf somatik (sadar) dan sistem saraf
otonom (tak sadar).Sistem saraf sadar adalah saraf yang mengatur gerakan yang dilakukan
secara sadar, di bawah kendali kesadaran kita. Contohnya tangan kita sadar bergerak untuk
mengambil gelas. Sistem saraf sadar disusun oleh serabut saraf otak (nervus kranialis), yaitu
saraf-saraf yang keluar dari otak dan serabut saraf sumsum tulang belakang (nervus spinalis),
yaitu saraf-saraf yang keluar dari sumsum tulang belakang (Sloane, 2003).

Saraf-saraf kranialis
Terdapat 12 pasang syaraf cranial yaitu:

1. Nervus Kranialis

No Nama Jenis Fungsi

Menerima rangsang dari hidung dan


I Olfaktorius Sensori menghantarkannya ke otak untuk diproses
sebagai sensasi bau

Menerima rangsang dari mata dan


II Optikus Sensori menghantarkannya ke otak untuk diproses
sebagai persepsi visual

III Okulomotor Motorik Menggerakkan sebagian besar otot mata

IV Troklearis Motorik Menggerakkan beberapa otot mata

Sensori: Menerima rangsangan dari wajah


V Trigeminus Gabungan untuk diproses di otak sebagai sentuhan
Motorik: Menggerakkan rahang

VI Abdusen Motorink Abduksi mata

Sensorik: Menerima rangsang dari bagian


anterior lidah untuk diproses di otak sebagai

VII Fasialis Gabungan sensasi rasa

Motorik: Mengendalikan otot wajah untuk


menciptakan ekspresi wajah

Vestibulo Sensori sistem vestibular: Mengendalikan


VIII Sensori keseimbangan Sensori koklea: Menerima
koklearis rangsang untuk diproses di otak sebagai suara

Sensori: Menerima rangsang dari bagian


IX Glosofaringeal Gabungan posterior lidah untuk diproses di otak sebagai
sensasi rasa
Motorik: Mengendalikan organ- organ dalam

Sensori: Menerima rangsang dari organ dalam


X Vagus Gabungan
Motorik: Mengendalikan organ- organ dalam

XI Aksesorius Motorik Mengendalikan pergerakan kepala

XII Hipoglossus Motorik Mengendalikan pergerakan lidah

2. Nervus Spinalis

Sumsum tulang belakang adalah struktur yang paling penting antara tubuh dan otak. Sumsum
tulang belakang membentang dari foramen magnum dimana ia kontinu dengan medulla ke
tingkat pertama atau kedua vertebra lumbalis

Serabut saraf sumsum tulang belakang (nervus spinalis) berjumlah 31 pasang saraf gabungan
(sensorik-motorik). Sistem saraf spinal (tulang belakang) berasal dari arah dorsal, sehingga
sifatnya sensorik.

Saraf-saraf spinalis

Adapun ke 31 saraf spinalis, yaitu:

1. Nervus hipoglossus, Nervus yang mempersarafi lidah dan sekitarnya.


2. Nervus occipitalis minor, Nervus yang mempersarafi bagian otak belakang dalam
trungkusnya.
3. Nervus thoracicus, Nervus yang mempersarafi otot serratus anterior.
4. Nervus radialis, Nervus yang mempersyarafi otot lengan bawah bagian
posterior,mempersarafi otot triceps brachii, otot anconeus, otot brachioradialis dan otot
ekstensor lengan bawah dan mempersarafi kulit bagian posterior lengan atas dan lengan
bawah. Merupakan saraf terbesar dari plexus.
5. Nervus thoracicus longus, Nervus yang mempersarafi otot subclavius, Nervus thoracicus
longus. berasal dari ramus C5, C6, dan C7, mempersarafi otot serratus anterior.
6. Nervus thoracodorsalis, Nervus yang mempersarafi otot deltoideus dan otot trapezius,
otot latissimus dorsi.
7. Nervus axillaris, Nervus ini bersandar pada collum chirurgicum humeri.
8. Nervus subciavius, Nervus subclavius berasal dari ramus C5 dan C6, mempersarafi otot
subclavius.
9. Nervus supcapulari, Nervus ini bersal dari ramus C5, mempersarafi otot rhomboideus
major dan minor serta otot levator scapulae,
10. Nervus supracaplaris, Berasal dari trunkus superior, mempersarafi otot supraspinatus dan
infraspinatus.
11. Nervus phrenicus, Nervus phrenicus mempersyarafi diafragma.
12. Nervus intercostalis
13. Nervus intercostobrachialis, Mempersyarafi kelenjar getah bening.
14. Nervus cutaneus brachii medialis, Nervus ini mempersarafi kulit sisi medial lengan atas.
15. Nervus cutaneus antebrachii medialis, Mempersarafi kulit sisi
medial lengan bawah.

16. Nervus ulnaris, Mempersarafi satu setengah otot fleksor lengan

bawah dan otot-otot kecil tangan, dan kulit tangan di sebelah medial.

17. Nervus medianus, Memberikan cabang C5, C6, C7 untuk nervus

medianus.

18. Nervus musculocutaneus, Berasal dari C5 dan C6, mempersarafi otot coracobrachialis,
otot brachialis, dan otot biceps brachii. Selanjutnya cabang ini akan menjadi nervus
cutaneus lateralis dari lengan atas.

19. Nervus dorsalis scapulae, Nervus dorsalis scapulae bersal dari ramus C5, mempersarafi
otot rhomboideus.

20. Nervus transverses colli

21. Nervus nuricularis, Nervus auricularis posterior berjalan berdekatan menuju foramen,
Letakanatomisnya: sebelah atas dengan lamina terminalis,

22. Nervus Subcostalis, Mempersarafi sistem kerja ginjal dan letaknya.

23. Nervus Iliochypogastricus, Nervus iliohypogastricusberpusat pada medulla spinalis.


24. Nervus Iliongnalis, Nervus yang mempersyarafi system genetal, atau kelamin manusia.

25. Nervus Genitofemularis, Nervus genitofemoralis berpusat pada medulla spinalis L1-2,
berjalan ke caudal, menembus m. Psoas major setinggi vertebra lumbalis 3⁄4.

26. Nervus Cutaneus Femoris Lateralis, Mempersyarafi tungkai atas, bagian lateral tungkai
bawah, serta bagian lateral kaki.

27. Nervus Femoralis, Nervus yang mempersyarafi daerah paha dan otot paha.

28. Nervus Gluteus Superior, Nervus gluteus superior (L4, 5, dan paha, walaupun sering
dijumpai percabangan dengan letak yang lebih tinggi.

29. Nervus Ischiadicus, Nervus yang mempersyarafi pangkal paha

30. Nervus Cutaneus Femoris Inferior, Nervus yang mempersyarafi

bagian (s2 dan s3) pada bagian lengan bawah.

31. Nervus Pudendus, Letak nervus pudendus berdekatan dengan ujung spina ischiadica.
Nervus pudendus, Nervus pudendus menyarafi otot levator ani, dan otot perineum(ke kiri
/ kanan), sedangkan letak kepalanya dibuat sedikit lebih rendah.

Saraf Trigeminal

Sensasi wajah diuji dalam distribusi tiga divisi: dahi sebagai divisi pertama, regio pipi
infraorbital sebagai divisi kedua, dan mandibula sebagai divisi ketiga. Refleks kornea dinilai
dengan cara memilin cotton wool dan meminta pasien untuk melihat ke arah lain dari
pemeriksa dan kemudian pemeriksa menyentuh sisi lateral kornea, jauh dari arah penglihatan.
Adanya kedipan merupakan tanda reflek positif.

Saraf Wajah

Lesi pada upper motor neuron akan menyebabkan kelumpuhan pada bagian bawah wajah
akibat inervasi bilateral di bagian atas wajah, otot occipitofrontalis (gerakan: mengerutkan
dahi) tetap utuh. Lesi pada lower motor neuron menyebabkan kelumpuhan pada seluruh
wajah pada sisi ipsilateral. Facial palsy dijelaskan lebih lengkap pada Bab 9.
Pendengaran

Pendengaran diuji di samping tempat tidur dengan mendorong berulang kali pada tragus
setiap telinga secara bergantian untuk memblokir pendengaran, dan membisikkan kata-kata
atau angka di telinga lain pada jarak yang bervariasi, untuk menentukan apakah subjek dapat
mengidentifikasinya.

Nervus Aksesorius

Kepada diarahkan melawan resistensi pada setiap sisi dan kekuatan otot sternocleidomastoid
dicatat, pada sisi berlawanan pada arah putaran. Elevasi bahu untuk menguji otot trapezius
bagian atas.

Nervus Hipoglosal

Lesi pada nervus hipoglosal akan menyebabkan kelemahan pada sisi lidah yang terkena dan
deviasi lidah pada sisi lesi saat lidah menjulur keluar.

Pemeriksaan Saraf Tepi, serebral dan fungsi cerebellar

Sistem saraf tepi dapat diperiksa berdasarkan urutan berikut:

 Inspeksi  fungsi autonomik


 tonus  koordinasi dan keseimbangan
 kekuatan  uji spesial – fungsi lobus parietal
 refleks  gaya jalan (lihat Bab 9 halaman
 sensasi 306)
Untuk sarap perifer pelajari kunci utama untuk tes saraf ulnar, median, radial, femoral,
obturator dan sciatic. Lakukan tes pada sebagian besar fungsi saraf motorik perifer dan
sensorik. Bila saraf tersebut bekerja maka saraf tersebut masih utuh. Carilah otot yang
mengalami kelemahan pada otot yang terkena. Lihat Tabel 2.5. Lesi saraf perifer dibahas
pada Bab 10 (halaman 335).

Untuk memeriksa sistem saraf tepi pemeriksa harus mengetahui hal-hal berikut ini:

 Pemetaan dermatom (Gambar 2.9),


 Pemetaan myotome (Tabel 2.7) dan refleks (Tabel 2.8),
 Fungsi saraf (Tabel 2.5),
 Jalur saraf: lihat pada buku anatomi

Fungsi Motorik

Tingkat kekuatan oto 0 – 5 (Tabel 2.6). Lakukan tes kekuatan pada seluruh sendi
utama pada anggota tubuh atas dan bawah. Pemeriksa akan menguji kekuatan pada anggota
tubuh yang terkena dan membandingkannya dengan sisi satunya dan anggota tubuh lainnya.
Jangan lupa untuk mencari lesi proksimal (kelemahan pinggul atau bahu) begitu juga dengan
uji kekuatan pada sebagian besar myotome perifer (pergerakan jari tangan dan kaki).

Saat pasien mengeluhkan hilangnya fungsi, pemeriksa harus membedakan antara lesi
pada saraf pusat atau saraf tepi dan lesi pada upper/lower motor neuron (Tabel 2.9). Lesi
pada upper motor neuron lambat untuk diketahui dalam gambaran sepenuhnya. Dengan
demikian pada cedera tulang belakang terdapat periode syok spinal dimana terdapat
flaksiditas, kelumpuhan dan arreflexia (penampakan dari lesi yang terjadi pada lower motor
neuron) dan hal ini membutuhkan beberapa hari atau minggu agar spasitisitas untuk
berkembang sepenuhnya. Pada lesi lower motor neuron butuh beberapa saat agar kelemahan
otot tampak jelas. Tanda Babinski negatif contohnya jempol kaki mengarah kebawah atau
tidak bereaksi sama sekali.

Fungsi sensorik (lihat anatomi jalur rasa sakit (Bab 10 halaman 343) (Gambar 2.9)

 Rasa sakit dan suhu (tusukan peniti dan objek metal yang dingin untuk fungsi
traktus spinothalamic)
 Fungsi kolum dorsal – sentuhan ringan (cotton wool atau kertas), getaran dan joint
position sense. Kurangnya sensasi yang dirasakan saat diberikan sentuhan ringan
dapat menjadi tanda lesi tulang belakang yang belum lengkap karena sensasi sentuhan
ringan disalurkan oleh saraf tulang belakang pada kedua kolum lateral dan posterior.
 Sacral sparing merupakan poin penting dalam penilaian pemeriksaan sensorik. Hal
ini dapat terjadi secara luas pada hilangya fungsi sensoris yang disebabkan oleh lesi
intramedullary dan hal ini akibat pengaturan laminar serabut saraf pada traktus
spinothalamic. Segmen sacral terletak secara lateral pada traktus yang berarti adanya
cedera tulang belakang yang inkomplit dan mungkin menjadi satu-satunya tanda pada
cedera ini.
Koordinasi dan Keseimbangan

Lakukan pemeriksaan proprioception, finger to nose, heel to toe, tanda Romberg (berdiri
tegak, kaki rapat, lengan direntangkan dan mata ditutup, pasien seperti mau jatuh karena
hilangnya sensasi postural (fungsi kolum dorsal)).

Fungsi autonomik

 Berkeringat
 Vasokonstriksi (tidak terlalu membantu)
 Konstriksi pupil (parasimpatetik), dilatasi pupil (simpatetik)
 Suhu kulit, warna, sensitivitas (lihat bagian sympathetic maintained pain pada Bab 10
halaman 350)
Saraf tulang belakang pada orang dewasa berakhir pada L1-2. Kemudian serabut saraf cauda
equina keluar dari saraf tulang belakang bawah pada conus medularis, yang berada pada L1-2
dan dibawahnya adalah serabut saraf cauda equina (gambar 2.10). lesi pada conus
menyebabkan tercampurnya tanda lesi pada upper dan lower motor neuron sedangkan lesi
dibawah conus merupakan lesi lower motor neuron. Lesi pada cauda equina menyebabkan
lesi lower motor neuron namun dengan adanya keterlibatan kandung kemih dan usus. Reflek
cremasteric dapat diuji pada laki-laki baik dengan mengusap bagian dalam paha yang akan
menyebabkan kontraksi otot dartos pada skrotum dan elevasi testis. Bila utuh hal ini
mengindikasi adanya lesi dibawah level 1.1.

Refleks anal (S4,5) – kontraksi portion subkutaneus dari sfingter eksternal sebagai
respon dari menggores kulit perianal.

Reflek cremasteric (L1) – goresan ringan di sepanjang paha atas bagian dalam
menyebabkan kontraksi cremaster dan elevasi testis.

Reflek Bulbocavernosus (S2, 3, 4): kontraksi otot bulbocavernosus (diidentifikasi


melalui palpasi) saat memijat glans

1. Proses Miksi

Terdapat tiga fungsi kandung kemih: pengisian, berkemih, dan kontrol. Nervus pelvis
parasimpatetik bertanggung jawab terhadap kontraksi otot halus. Serat otot halus pada
sfingter eksternal memungkinkan kontinesi dapat diatur saat tidur melalui kontrol
parasimpatetik. Saraf pudendal (juga S2, 3, 4) bertanggung jawab untuk kontinensi volunter
menginervasi sfingter eksternal dan otot-otot pada dasar pelvis.

Kandung kemih merupakan organ penyimpanan tekanan rendah dengan otot halus
destrukter berelaksasi untuk memungkinkan kandung kemih dapat terisi. Leher kandung
kemih (sfingter internal) tetap tertutup saat kandung kemih diisi. sfingter internal lebih baik
disebut mekanisme leher kandung kemih dan terdiri dari trigonal dan bundle otot detrusor.
Ketika refleks stretch distimulasi dengan meningkatkan impuls afferent volume kandung
kemih melewati spinal cord (S2, 3, 4) dan impuls parasimpatetik (saraf pelvis dari S2, 3, 4)
menyebabkan kontraksi detrusor, terbukanya mekanisme leher kandung kemih dan proses
miksi. Kontrol kortikal mencegah relaksasi sfingter eksternal dan menghambat aktivitas
motorik parasimpatetik.

 Kandung kemih neurogenik. Istilah kandung kemih neurogenik digunakan untuk


menggambarkan fungsi kandung kemih pada pasien dengan lesi tulang belakang.
Banyak istilah yang membingungkan dan digunakan untuk menjelaskan masalah-
masalah seperti automatis, autonomous, tidak terhalangi, upper motor neuron, lower
motor neuron. Satu klasifikasi yang cukup sederhana dan praktis adalah untuk
membagi kandung kemih neurogenik menjadi sacral dan suprasacral.
 Cedera sacral. Bila sacral cord rusak maka pasien hanya mampu mengosongkan
kandung kemihnya melalui tekanan manual dan/atau abdominal. Sensai kandung
kemih yang penuh mungkin masih dapat diterima melalui jalur simpatetik, yang
mencapai cord setinggi midthoracic
 Cedera suprasacral. Setelah cedera spinal, kondisi ‘spinal shock’ baik terjadi pada
saat adanya pemulihan atau perkembangan fungsi kandung kemih melalui refleks
spinal pada S2, 3, 4. Tekanan manual mampu mengatasi kontraksi dan spastisitas
pada pelvis dan sfingter eksternal. Namun, refleks spinal dapat diinsiasi dengan
menggores area perinium atau anal dan kandung kemih menjadi kosong. Bila hal ini
dilakukan setiap 2 – 3 jam maka pasien dapat memiliki kontrol untuk mengosongkan
kandung kemih. Pasien akan mampu menggunakan tangannya untuk melaksanakan
hal ini.
Pengosongan kandung kemih sering tidak tuntas dan volume residual menjadi tinggi.
Volume residual hingga 50 ml adalah normal, 100 ml masih dapat diterima. Volume residual
yang tinggi menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih dan pembentukan
batu kandung kemih. Katerisasi intermiten yang dilakukan oleh pasien atau kerabatnya akan
meminimalisasi masalah-masalah ini. Kateter dapat digunakan dan tidak perlu steril, hanya
dibersihkan dengan sabun dan air keran biasa.

2. Fungsi Usus

Fungsi sfingter anal sangat tergantung pada saraf parasimpatetik pelvis dan saraf
pudendal internal (somatik). Pada fase akut syok spinal, sfingter anal menjadi kendor dan
pasien tidak mampu mengecangkan sfingter di sekitar jari pemeriksa. Terdapat kemungkinan
dimana sfingter anal tidak bisa relaksasi sebagai respon dari distensi rectum (refleks
rectoanal). Kegagalan internal sfingter untuk berelaksasi dapat menyebabkan konstipasi dan
diare yang berlebihan. Kegagalan untuk mengatur sfingter eksternal dapat menyebabkan
defekasi spontan saat terpicunya refleks rectoanal.

Pada lesi upper motor neuron (contohnya transeksi spinal cord), kandung kemih dan
usus akan gagal untuk mengosongkan isinya. Oleh karena itu, katerisasi awal dibutuhkan
pada cedera spinal. Namun, refleks untuk mengosongkan kandung kemih dan usus adalah
refleks spinal. Bila jalurnya masih utuh, maka yang hilang hanyalah kontrol kortikal. Enema
dan supositoria mungkin dibutuhkan untuk meningkatkan pengosongan rectal awal namun
setelah refleks rectoanal kembali, usus akan membuka secara spontan tanpa adanya kontrol
volunter.

Fungsi Cerebellar

Menguji koordinasi dengan tes finger-nose, atau pergerakan heel-shin merupakan cara yang
baik untuk menguji fungsi hemisphere cerebellar. Pergerakan tangan bolak-balik yang
digerakkan dengan cepat dan pronasi dengan cepat serta supinasi masing-masing lengan
bawah juga cukup membantu. Menguji fungsi cerebellar pusat (vermis) melibatkan pengujian
gaya jalan, dengan heel-toe walking. Penting untuk mengamati gaya berjalan pada waktu
tertentu dalam pemeriksaan neurologis (lihat bagian gangguan gaya jalan pada Bab 9).

Fungsi Lobus Parietal

Penilaian lobus parietal dapat membantu lokalisasi lesi cerebral, namun penilaian ini bersifat
rumit. Uji sederhana ini untuk menentukan:
1. Astereognosis: pasien dapat mengenali objek yang ditempatkan pada tangan dengan
mata tertutup.
2. Parietal drift: penyimpangan lengan terjadi saat lengan diulurkan keluar dengan
telapak tangan menghadap ke atas sementara mata tertutup. Bila satu lengan
menyimpang jauh, biasanya keatas atau keluar, hal ini merupakan indikasi adanya lesi
parietal kontralateral.
3. Sensory or Visual Neglect: saat stimulus sensorik ditempatkan pada masing-masing
sisi, hal tersebut dapat dikenali oleh pasien, namun bila stimulus bilateral ditempatkan
secara terus-menerus baik dalam lapang pandang atau kulit lengan atau kaki, pasien
hanya mampu mengenali satu sisi; dan hal ini mengindikasi adanya lesi parietal,
kontralateral pada sisi hilangnya stimulus
Fungsi yang lebih tinggi dan status mental

 Orientasi tempat dan waktu


 Kemampuan untuk menjalankan perintah dan fungsi
 Kecerdasan
 Ingatan, panjang dan pendek
 Fungsi bahasa – mengenali nama objek. pengulangan kata-kata, isi pembicaraan dan
membaca, menulis atau meniru, bila relevan.

Melokalisasi gejala dan tanda

1. Lobus Frontal. Area ini secara keseluruhan merupakan silent area dari otak dan lesi
biasanya berukuran cukup besar sebelum dapat menyebabkan gejala apapun. Lesi
yang besar pada lobus frontal, khususnya bila mempengaruhi kedua sisi, dapat
mempengaruhi ingatan, kepribadian, dan tingkat kesadaran dan/atau kemampuan
bicara. Lesi frontal bilateral dapat mengakibatkan keadaan bisu, kurangnya minat
pada daerah sekitar, kurangnya dorongan dan inisiatif, keadaan pergerakan pasif atau
terkadang adanya disihibisi dengan hiperseksualitas dan/atau agresi dengan
kurangnya kontrol sosial; dan kurangnya menjaga penampilan. Inkontinesia urin
dan/atau feses dapat menjadi hasil dari patologi lobus frontal. Kemunduran fungsi
mental dapat menjadi hasil dari lesi lobus frontal. Lesi sub-frontal dapat
mempengaruhi traktus olfaktorius dan menyebabkan kehilangan daya penciuman
baik secara unilateral atau bilateral. Hal ini tidak jarang terjadi setelah cedera kepala
yang parah. Perubahan ini hampir tidak terlihat dan berkembang secara lambat, dan
oleh karena itu sulit diketahui oleh kerabat pasien sampai benar-benar terlihat jelas.
2. Lobus Temporal. Lesi pada lobus temporal kadang tidak memberikan gejala namun
bila lesi terbut mengenai bagian medial lobus temporal, contohnya hippocampus dan
amygdala maka dapat menyebabkan gangguan ingatan dan epilepsi lobus temporal
(kejang kompleks parsial), yang dapat menjadi keseluruhan secara umum.
3. Area sensorimotorik bagian atas. Lesi pada area ini dapat menyebabkan
kelemahan anggota tubuh bagian bawah pada sisi kontralateral, atau kelumpuhan
anggota tubuh bawah bilateral bila lesi mengenai kedua sisi otak, yang tidak biasa,
namun terkadang terjadi dengan meningioma parasagittal pada daerah ini. Defisit
sensorik dapat terjadi pada sisi yang berlawanan.
4. Korteks sensorimotor bagian bawah. Hal ini cenderung menyebabkan
kelumpuhan kontralateral pada wajah, lidah dan lengan; dengan demikian
menyebabkan bicara cadel, serta kelemahan lengan dan jari. Bila lesi melebar
sampai area kemampuan bicara yang berdekatan, pasien dapat mengalami kesulitan
untuk mengekspresikan dan memahami pembicaraan bila lesi terdapat pada sisi
dominan otak, yang biasanya terdapat pada sisi kiri. Defisit sensori dapat terlihat
pada sisi yang berlawanan.
5. Lobus parietal. Lesi pada lobus parietal menyebabkan kurangnya koordinasi,
kurangnya apresiasi dimana anggota badan kontralateral berada pada ruang tiga
dimensi, kurangnya orientasi tempat, contohnya tersesat di lingkungan yang dikenal
sebelumnya, gangguan sensoris dengan kurangnya apresiasi terhadap apa yang
dipegang di tangan (astereognosis), kelalaian sensoris pada sisi yang berlawanan,
terkadang adanya gangguan pergerakan mata, dengan kesulitan mengikuti objek,
receptive dysphasia dengan lesi parietal inferior, dan gangguan kognitive.
6. Lobus occipital. Lesi pada daerah ini secara relatif tidak memberikan gejala namun
lesi pada medial occipital akan menyebabkan kerusakan lapang pandang
homonimus.
7. Batang otak. Lesi pada batang otak akan menyebabkan banyaknya defisit saraf
kranial, kelumpuhan piramidal pada kedua sisi, inkoordinasi karena gangguan jalur
celebellar, dan defisit sensoris pada salah satu atau kedua sisi.
8. Cerebellum. Lesi pada vermis cerebellum cenderung menyebabkan ataksia truncal
sedangkan lesi pada hemisfer cerebellar cenderung menyebabkan ataksia perifer
pada lengan atau kaki. Memiringkan kepala dapat berkembang pada anak-anak
dengan herniasi celebellar tonsillar dan nistagmus dapat berkembang bila jalur
pergerakan mata mengalami gangguan.
9. Spinal cord (tulang belakang). Tergantung letaknya, bila lesi secara progresif
berkembang pada upper motor neuron maka akan timbul kelemahan dibawah level
tersebut, terkadang kelemahan lower motor neuron pada level tersebut, dan berbagai
kehilangan sensoris dibawah level tersebut dengan level sensoris truncal dermatomal
pada letak lesi. Rasa nyeri radikuler dapat berkaitan dengan lesi, bila melibatkan
serabut saraf pada level ini contohnya serabut saraf pada lengan akan menyebabkan
rasa nyeri pada lengan, serabut saraf pada area intercostal akan menyebabkan rasa
nyeri dada, dan lain-lain. Gangguan sfingter juga dapat menjadi hasil dari lesi
intrinsik pada spinal cord atau lesi kompresif.
10. Regio suprasellar. Tumor pada regio pituitari atau struktur sekitarnya akan
menyebabkan gangguan pada sistem endokrin (pituitari anterior – acromegaly,
prolactinoma dengan galactorrhea, amenorrhoea atau impoten, penyakit Cushing
dengan sekresi hormon adrenocorticotrophic (ACTH), hipopituitarism, disfungsi
pituitari posterior dengan diabetes insipidus), kiasma optik atau kompresi saraf
optikal yang menyebabkan hilangnya lapang padang, penglihatan kabur dan
terkadang nistagmus. Bila tumor tersebut sangat besar, akan melibatkan ventrikel
ketiga dan menyebabkan hidrosefalus bilateral.
11. Regio Pineal. Lesi massa pada regio ini akan menyebabkan hidrosefalus dengan
cara menghambat aqueduct, gangguan pergerakan mata terutama sindrom Parinaud
dengan kegagalan melakukan upgaze dan terkadang gangguan endokrin atau
pubertas sebelum waktunya.

1. Lesi-lesi di Thalamus

Penyakit Cerebrum

Lesi-lesi ini biasanya terjadi akibat thrombosis atau pendarahan salah satu arteri yang
memperdarahi thalamus. Oleh karena thalamus berkaitan dengan penerimaan implus sensorik tubuh
sisi kontralateral. Gejala yang ditimbulkan lesi hanya terbatas pada sisi kontralateral tubuh. Terjadi
gangguan pada sebagian besar bentuk sensasi, antara lain sensasi raba ringan, lokalisasi dan
dikriminasi taktil, serta hilangnya penilaian gerakan sendi
2. Lesi-lesi subtalamik

Lesi di subthalamik menimbulkan gerakan involunter yang kuat dan mendadak pada
ekstrimitas kontralateral. Gerakan tersebut dapat berbentuk hentakan (koreiformis) atau kasar
(balismus)

3. Lesi hypothalamus

Lesi di hypothalamus disebabkan oleh infeksi, trauma, atau kelainan vaskuler. Tumor seperti
kraniofaringioma atau adenoma kromofobe glandulae pituitarie dan tumor pineal dapat mengganggu
fungsi hypothalamus, seperti mengendalikan emosi, regulasi metabolism lemak, karbohidrat, dan air,
genital, makan dan tidur. Kelainan yang sering ditemukan antara lain hipoplasia atau atrofi genital,
diabetes insipidus, obesitas, gangguan tidur, pireksia irregular,dan kurus. Beberapa gangguan tersebut
dapat terjadi bersamaan, misalnya pada sindrom distrofi adiposgenital.

4. Alzheimer

Penyakit Alzheimer merupakan penyakit degenerasi otak yang terjadi pada usia pertengahan
atau tua, namun saat ini telah dikenali pada bentuk dinipenyakit ini. Penyebab penyakit Alzheimer
tidak diketahui, tetapi terdapat bukti presdisposisi genetik. Telah ditemukan beberapa gen abnormal,
yang masing-masing menunjukkan sindrom klinis dan pathologis yang sama, yang berbeda hanya
pada usia mulai timbulnya dan kecepatan progresivitasnya, yang menunjukkan adanya perbedaan
dalam mekanisme patologisnya. Beberapa kasus penyakit Alzheimer dalam satu keluarga, misalnya
ditemukan gen mutasi pada beberapa gen (App, presenilin 1 danpresenilin 2). Tanda-tanda umumnya
adalah kehilangan ingatan akan hal baru, disintegrasi kepribadian, disorientasi total.

5. Cerebral Palsy

Cerebral Palsy (CP, Kelumpuhan Otak Besar) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya. CP terjadi
pada 1-2 dari 1.000 bayi, tetapi 10 kali lebih sering ditemukan pada bayi prematur dan.10-15% kasus
terjadi akibat cedera lahir karena aliran darah ke otak sebelum/selama/ segera setelah bayi lahir.Bayi
prematur sangat rentan terhadap CP, kemungkinan karena pembuluh darah ke otak belum berkembang
secara sempurna dan mudah mengalami perdarahan atau karena tidak dapat mengalirkan oksigen
dalam jumlah yang memadai ke otak.Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada
kasus yang berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan. Tetapi kebanyakkan penyebabnya
tidak diketahui.
2. Cerebellum (Otak Kecil)

Cerebellum (otak kecil) terletak di fossa cranii posterior dan bagian superiornya ditutupi oleh
tentorium cerebelli. Cerebellum adalah bagian terbesar otak belakang dan terletak posterior dari
ventriculus quartus, pons, dan medulla oblongata (Gambar 2.1). Cerebellum berbentuk agak lonjong
dan menyempit pada bagian tengahnya, serta terdiri dari dua hemispherium cerebelli yang
dihubungkan oleh bagian tengah yang sempit, yaitu vermis. Cerebellum berhubungan dengan aspek
posterior batang otak melalui tiga berkas serabut saraf yang simetris, disebut pedunculus cerebellaris
superior, medius dan inferior.

Cerebellum dibagi menjadi tiga lobus utama: lobus anterior(fungsi: regulasi tonus otot dan
mempertahankan sikap badan), lobus medius/ lobus posterior (fungsi: koordinasi berbagai gerakan
lincah), dan lobus flocculonodularis(fungsi: mempertahankan keseimbangan). Lobus anterior dapat
dilihat pada permukaan superior cerebellum dan dipisahkan dari lobus medius oleh sebuh fissura yang
berbentuk huruf “V”, disebut fissura prima ( Gambar 2.2 dan 2.3). Lobus medius (kadang-kadang
disebut lobus posterior), yang merupakan bain cerebellum yang paling besar, terletak di antara fissura
prima dan fissura uvulonodularis. Lobus flocculonodularis terletak di posterior fissura uvulonodularis
(Gambar 2.4). Fissura horizontalis yang dalam ditemukan disepanjang pinggir cerebellum dan
memisahkan permukaan superior dari permukaan inferior; tidak mempuyai arti morfologis atau
fungsional yang penting.

2. Struktur Cerebellum

Cerebellum terdiri dari lapisan bagian luar substantia grisea yang disebut cortex, dan lapisan
bagian dalam substantia alba. Di dalam substantia alba setiap hemipsherium, terdapat tiga masa
subtantia alba yang terbentuk nuclei intracerebelli.

• Struktur Cortex Cerebelli

Cortex cerebelli dapat diumpamakan sebagai sebuah lembaran besar yang berlipat-lipat dan
terletak pada bidang koronel atau transversal. Setiap lipatan atau folium terdiri dari substanpia alba
dibagian dalam yang ditutupi oleh substantia grisea dibagian luarnya. Potongan yang dibuat melalui
cerebellum yang sejajar dengan bidang median membagi folia menjadi bagian-bagian yang bagus
untuk dipelajari, dan bentuk potongan permukaan yang bercabang-cabang disebut arbor vitae.
Substantia grisea corticis diseluruh cerebellum memiliki struktur yang sama. Substantia terbagi
menjadi 3 lapisan, yaitu :

1. Lapisan luar(lapisan molekuler), Terdiri dari dua tipe neuron ; sel stellatum yang terletak di
sebelah luar dan sel basket yang terletak disebelah dalam.
2. Lapisan tengah (lapisan sel purkinje), neuron Golgi tipe I yang besar. Berbentuk seperti
botol dan tersusun dalam satu lapis

3. Lapisan dalam (lapisan granular), Lapisan granular dipadati oleh sel-sel kecil dengan inti
berwarna gelap serta sedikit sitoplasma.

• Area Fungsional Cortex Cerebelli

Observasi klinis oleh ahli saraf dan ahli bedah saraf, serta penelitian dengan menggunakan
PET scan menunjukkan bahwa cortex cerebelli dapat dibagi menjadi 3 area berdasarkan fungsinya.
Kortex daerah vermis memperngaruhi gerakan-gerakan sumbu panjang tubuh, yaitu leher, bahu,
koraks, abdomen, dan panggul. Tepat di latecerebelli. Area ini berfungsi mengendalikan otot-otot
bagian distal eksmtremitas, terutama tangan dan kaki. Area lateral masing-masing hemispherium
cerebelli tampaknya berhubungan dengan perencanaan serangkaian gerakan diseluruh tubuh dan
terlibat dalam penilaian sadar terhadap gangguan.

3. Fungsi Cerebellum

Fungsi otak kecil (cerebellum) adalah untuk mengatur sikap atau posisi tubuh, keseimbangan,
dan koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar. Cerebellum menerima aferen mengenai
gerakan volunteer dari cortex cerebri dan dari otot, tendon, dan sendi. Cerebellum juga menerima
informasi keseimbangan dari nervus vestibularis dan mungkin juga informasi penglihatan dari tractus
tectocerebellaris. Semua informasi ini diteruskan ke cortex cerebelli. Ahli fisiologi membuat postulat
bahwa fungsi cerebellum sebagai koordinator ketepatan gerak dilakukan dengan cara membandingkan
output dari area motorik cortex cereberii dengan informasi propioseptif yang diterima dari tempat
kerja otak secara terus-menerus. Fungsi lain cerebellum, yaitu :

1. Fungsi cellebelum bertanggung jawab untuk mengkoordinasi dan mengendalikan ketepatan


gerakan otot dengan baik. Bagian ini memastikan bahwa gerakan yang di cetuskan suatu
tempat di system saraf pusat berlangsung dengan halus bukan mendadak dan terorganisasi.

2. Cellebelum juga berfungsi untuk mempertahankan postur

3. Bagian ini juga membantu mempertahankan ekuilibrium tubuh. Informasi sesorik dari
telinga dalam di bawa kelabus cellebelum.

4. Penyakit-Penyakit yang Sering Mengenai Cerebellum

Satu penyakit yang paling sering mengenai cerebellum adalah keracunan alcohol akut.
Penyakit ini terjadi akibat kerja alcohol di septor GABA pada neuron- neuron cerebellum. Penyakit-
penyakit berikut sering mengenai cerebellum: agenesis atau hypoplasia kongenital, trauma, infeksi,
tumor, sclerosis multiple, gangguan vaskuler, seperti trombosit arteria cerebellaris, dan keracunan
logam berat. Berbagai manifestasi penyakit cerebellum dapat dipersempit menjadi dua kelainan dasar:
hipotonia dan hilangnya pengaruh cerebellum terhadap cortex cerebri.

5. Brainstem (Batang Otak)

1. Gambaran Umum Brainstem

Batang otak merupakan struktur pada bagian posterior(belakang) otak. Pada gerak volunter,
batang otak merupakan jalur yang dilalui impuls rangsang sebelum mencapai cerebrum. Impuls
rangsang diantarkan oleh traktus ascendentes ( serat-serat saraf yang menghantarkan impuls ke otak)
untuk diolah diotak, lalu impuls respons dihantarakan oleh traktus descendentes. Pada perbatasan
antara batang otak dan sumsum tulang belakang medulla spinalis terjadi deccusatio (penyilangan)
serat- serat kortikospinal (serat-serat saraf descendentes) dari cerebrum ke modulla spinalis. Serat-
serat kortokospinal dari otak kiri menyilang kebagian kanan medula spinalis dan serat dari otak kanan
menyilang kebagian kiri. Penyilangan ini menyebabkan bagian tubuh kanan di kendalikan oleh otak
kiri dan bagian tubuh kiri dikendalikan oleh otak kanan. Batang otak merupakan tempat melekatnya
seluruh syaraf kranial, kecuali syaraf I dan II yang menempel pada cerebrum (otak besar).

2. Struktur Brainstem

Batang otak merupakan sebutan untuk kesatuan dari tiga stuktur yaitu medulla oblongata,
pons dan mesencephalon(otak tangah), yang menempati fossa cranii posterior tengkorak.

a. Mesecephalon (otak tengah)

Mesecephalon membentuk wilayah tengah otak dan merupakan bagian penting dari system syaraf
pusat. mesecephalon melakukan sejumlah tugas individu sangat penting yaitu bangun atau tidur,
kecemasan, kontrol motor, pendengaran, penglihatan, pengaturan suhu. pada ujung anterior,
terhubung dengan otak depan dan diujung posterior melekat metencephalon (pons),sehingga di
tempatkan didekat pusat otak .

b. Medulla oblongata

Medulla oblongata menghubungkan pons yang teretak di superior dengan medulla spinalis yang
terletak diinferior. pertemuan medulla oblongata dan medulla spinalis terletak ditempat pangkal radiks
anterior dan posterior nervus spinalis cervicalis pertama, yang kira-kira terletak setinggi foramen
magnum. Medulla oblongata berbentuk kerucut, ujung yang lebar mengarah ke superior. Medulla
oblongata terletak di bagian bawah batang otak. Panjangnya sekitar 2,5 cm dan terletak tepat dibawah
kranium diatas foramen magnum. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari
sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi
otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.

Pada tiap-tiap sisi fissura mediana terdapat tonjolan yang disebut pyramis, terdiri dari berkas
serabut saraf, serabut dulla corticospinalis, yang berasal dari sel-sel saraf yang besar di dalam gyrus
precentralis cortex cerebri. Pyramis mengecil di inferior, dan di tempat ini, sebagian besar serabut-
serabut desendens menyilang ke sisi kontralateral membentuk decussatio pyramidum. Fibrae arcuatae
externae anteriores merupakan sebagian kecil serabut saraf yang muncul dari fissura mediana anterior
di atas decussatio pyramidum dan berjalan ke lateral di permukaan medulla oblongata masuk ke
cerebellum. Posterolateral terhadap pyramis adalah oliva, merupakan peninggian ber bentuk oval yang
disebabkan oleh nuclei olivares inferiores yang terletak di bawahnya. Posterior terhadap oliva terdapat
pedunculus cerebellaris inferior yang menghubungkan medulla oblongata dengan cerebellum. Di
dalam sulcus, di antara oliva dan pedunculus cerebellaris inferior keluar radix nervi
glossopharyngeus.

c. Pons

Struktur utama di bagian atas dari batang otak yang disebut pons. Pons berada didepan
sereblum, di bawah otak tengah. Pons terdiri atas serat saraf yang membentuk jembatan antara dua
hemisfer sereblum, dan serat yang melalui antara posisi otak yang lebih tinggi dan medula spinalis. .
Pons bertugas untuk menghubungkan jalur sensoris dari medula spinalis ke talamus dan otak kecil
(serebelum). Pons memiliki dua peran. Yang pertama adalah regulasi pernapasan . Di pons, ada
struktur yang disebut pusat pneumotaxic . Pons mengontrol jumlah udara napas dan napas per menit ,
yang dikenal sebagai tingkat pernapasan . Selain itu, pons terlibat dalam transmisi sinyal ke dan dari
struktur lain di otak , seperti otak atau otak kecil. Pons merupakan stasiun pemancar yang
mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular Pons juga terlibat dalam sensasi
seperti pendengaran, rasa, dan keseimbangan . Akhirnya, pons juga terlibat dalam regulasi tidur
nyenyak maupun terjaga.

3. Fungsi Brainstem

Batang otak mempunyai tiga fungsi utama:

1. Sebagai tempat lewatnya traktus asendens dan desendens keberbagai pusat yang lebih tinggi diotak
depan.

2. Pusat-pusat refleks penting yang mengatur sistem respirasi dan sistem kardiovaskular serta
pengendali kesadaran.

3. Melekatnya nuclei saraf kranial III sampai XII yang penting.


Namun batang otak juga memiliki fungsi lainnya, meliputi:kewaspadaan, gairah, pernapasan, tekanan
darah, pencernaan, tingkat jantung, fungsi otonom lainnya, menyampaikan informasi antara saraf
perifer dan sumsum tulang belakang ke atas bagian otak.

3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA


a.Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang
selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
penderita. Tekanan intracranial yangtinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang
mengganggu fungsi otak.TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari
20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,semakin buruk
prognosisnya (American college of surgeon,1997)

b.Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari
tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah
total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V br+ V csf + V bl (American college of
surgeon,1997)
c.Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata mean arterial
presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan
memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997)
d.Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun
sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO sebesar
5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap
(American college of surgeon, 1997).

5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a) Mekanisme cedera kepala Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas
cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda
tumpul.Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan
(Bernath,2009).
b) Beratnya cedera Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma
Scale adalah sebagai berikut :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
G

c) Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk
memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital
(raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea)
dan paresis nervusfasialis (Bernath, 2009) Fraktur cranium terbuka atau komplikata
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya
fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20kali pada pasien yang tidak sadar.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh,
2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral). Pasien pada kelompok
cedera otak difusa,secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
(Bernath,2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang potensial
antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai
lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya
dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.Walau hematoma epidural
relatif tidak terlalu sering (0.5% darikeseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selaludiingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi
tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan
langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya ‘lucid interval´ yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die),
keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat
dari seorang ahli bedah saraf(Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan
injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
arakhnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukansekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining . Namun ia juga dapat berkaitan
dengan laserasi permukaan atau substansi otak.Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak (American college of surgeon, 1997)Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanyasangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk
dari hematoma epidural.Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural
hematom terbagimenjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom
seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural(Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola
tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya,
gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini
semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens
(Ghazali, 2007)
c. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus
frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan
batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun,terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan(parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang
paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada
sisi benturan (coup) atau pada sisilainnya (countrecoup).Defisit neurologi yang
didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh,
2007)

d. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia.Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang
lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia
antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat
timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal
sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu
lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam
dan tetap koma selama beberapa waktuu.Penderita sering menuunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup.Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan
cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan
tersebut sering terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillo facial juga termasuk dalam bahasan cedera
kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan
penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi
pertimbangan.

CEDERA MAXILLOFACIAL
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
- Mobilitas palatum
- Mobilitas hidung yang menyertai palatum
- Epistaksis
- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah

Klasifikasi menurut lefort


1. Lefort I
Fraktur melintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum,dicirikan oleh
pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum,mal oklusi gigi biasanya bisa
terjadi(Boies, 2002).
2. Lefort II
Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang
jelas. Biasanya mal oklusi gigidan pergeseran pllatum kebelakang.Fraktur end-block
pada palatum dan sepertiga tengah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)
3. Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah
terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)

Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai
hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcuszygomaticus.
Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporo
oksipital(Boies, 2002)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan.
Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus
alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala
fokal neurologis,Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnosa foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique.
b) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Computed tomographic (CT) scan Aplikasi klinis dari computed tomography berkembang
pada tahun 1970-an dan merevolusi manajemen pasien dengan gangguan otak dan kemudian
digunakan untuk bagian tubuh lainnya. Rotasi dan pergerakan dari tabung-tabung X-ray di
sekitar kepala atau bagian tubuh lain memproduksi rangkaian informasi kubus kecil (pixels)
yang berisi atenuasi koefisien untuk jaringan tertentu, dan kemudian dirangkai oleh komputer
menjadi gambar tomographic yang memberikan potongan jaringan setebal 2 – 15 mm.
Gambar-gambar tersebut biasanya diperoleh dalam dimensi axial (horizontal) meskipun
gambar koronal langsung juga dapat diperoleh. Rekonstruksi bidang koronal atau sagital juga
dapat diperoleh namun cukup kabur dengan resolusi yang jelek. Tulang dan kalsium tampak
putih, otak tampak dalam berbagai derajat abu-abu. CSF tampak berwarna abu-abu gelap dan
udara serta lemak tampak berwarna hitam. Pemberian kontras intravena meningkatkan
tampilan tumor, lesi vaskuler, area gangguan blood-brain barrier. Rangkaian gambaran axial
(‘potongan’) menggambarkan anatomi otak cross-sectional normal (lihat gambar 2.17).
Spiral CT Scanner yang baru lebih cepat daripada CT Scanner yang dahulu dengan resolusi
yang lebih baik dan kapasitas yang meningkat untuk studi substraksi agar gambar angiogram
dapat dihasilkan berdasarkan pemberian kontras intravena.

Computed tomography masih belum tersedia secara luas pada negara berkembang dan
sebagian besar mayoritas tidak memiliki akses karena harganya. Diagnosis dan manajemen
gangguan sistem saraf pusat telah meningkat secara signifikan dengan CT sehingga pada
akhir tahun 1990an, perkembangan neurosurgery biasanya berjalan seiring dengan pengalan
CT.

c) indikasi CT Scan adalah :


1. Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat±obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah
injuri.
d. Magnetic resonance (MR) imaging
a. Meskipun magnetic resonance (MR) imaging tidak secara umum tersedia di negara
berkembang, kami merasa penting untuk menggambarkan teknik ini karena saat ini
meenjadi bagian integral dari perawatan pasien neurosurgery, dan terdapat
peningkatan jumlah pasien pada tropik yang pergi keluar untuk memperoleh scan
MR dan membawanya kembali dengan harapan bahwa dokter mereka sendiri dapat
menginterpretasikannya. Oleh karena alasan inilah kami menggambarkan otak
normal pada MR imaging dan mengilustrasikan beberapa deskripsi pada bab lain
dengan scan MR.
b. Magnetic resonance imaging berkembang pada tahun 1970an dan tersedia secara
klinis pada tahun 1980-an. Peningkatan resolusi dan kecepatan pencitraan terjadi
pada tahun 1990-an. MR imaging bertumpu pada lapang magnet yang kuat yang
sejajar dengan axes putaran dari nuclei atom dalam lapang magnet. Axes ini
terdistorsi dengan transmisi radiofrekuensi yang kemudian dimatikan dan relaksasi
axes kembali pada pengaturan yang akan melepaskan sinyal radiofrekuensi yang
menginduksi listrik dalam coil penerima dan akhirnya memproduksi gambar. Hal ini
sangat berbeda dari X-ray standar atau mesin CT scan.
c. Magnetic resonance imaging menyediakan klinisi keakuratan dalam pencitraan
bagian dalam tubuh tanpa radiasi ionisasi.
e) MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
f) Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
g) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
h) X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
i) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
j) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
k) CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
l) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intracranial
m) Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
n) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
o) Kesadaran (Haryo, 2008)

7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak
(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara
lain:
a.Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b.Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c.Penurunan tingkat kesadaran
d.Nyeri kepala sedang hingga berat
e.Intoksikasi alkohol atau obat
f.Fraktura tengkorak
g.Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h.Cedera penyerta yang jelas
i.Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)

Terapi medika mentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat
dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan
operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuro
radiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a.volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b.dari 20 cc di daerah infratentorial
c.kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d.tanda fokal neurologis semakin berat
e.terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f.pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g.terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h.terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i.terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j.terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

8.PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita
yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan
dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera
primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder
yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi
beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam
bahasan cedera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun
merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu
dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau
lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak
mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan
dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States
of America: Firs Impression
2. Haryo W et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.Yogyakarta: PustakaCendekia
Press of Yogyakarta
3. Boies adam. 2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6. Jakarta: EGC.
4. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
5. Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
6. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.
7. Kluwer wolters. 2009.Trauma and acute care surger. Philadelphia: LippicottWilliams
and Wilkins
8. Snell. Richard S. 2009. Neuroanatomi Klinik. Jakarta: Buku Kedokteran
9. Grant, Allison. Anne Waugh. 2011. Ross and Wilson Anatomy and Physiology in
Health and Illness. Singapore: Elseiver Pte Ltd
10. Kozier, B., Erb, G., Berman A., Snyder S. 2004. Buku Ajar Keperawatan Klinis Eds
5. Jakarta : EGC.
11. Dedy J. Asmara, Lely Sarah, M. Muluk, A. Zulfikar Fauzi, Deka Hasbiy. 2011.
FISIOLOGI TUBUH MANUSIA untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta
Selatan. Salemba medika.
12. R. Boone, Daniel. 2000. THE VOICE AND VOICE THERAPY. Amerika. A
PEARSON EDUCATION COMPANY.
13. Sherwood, Laurelee. 2001. FISIOLOGI MANUSIA dari SEL ke SISTEM Edisi 2.
Jakarta. Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai