Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

LAKI-LAKI 42 TAHUN DENGAN PENYAKIT GINJAL KRONIK

DISUSUN OLEH

Kurnia Popy Rakhmawati


NIM 030.11.161

PEMBIMBING
Dr. Rachman Edi, Sp. Pd

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
PERIODE 6 NOVEMBER 2017 – 13 JANUARI 2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
LAKI-LAKI 42 TAHUN DENGAN PENYAKIT GINJAL KRONIS

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam


Periode 06 November 2017 – 13 Januari 2018
Di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal

Disusun oleh :
Kurnia Popy Rakhmawati
030.11.161

Telah diterima dan disetujui oleh Dr. Rachman Edi, Sp. Pd selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Tegal, 28 Desember 2017

..........................................................
.......
Dr. Rachman Edi, Sp.PD

2
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan............................................................................................... 2
Daftar isi…………………………………………………………………………. 3
Bab I Pendahuluan…………………………………………………………....... 4
Bab II Laporan kasus………………………………………….………………..... 6
2.1 Identitas Pasien..................................................................................... 6
2.2 Anamnesis............................................................................................. 6
2.3 Pemeriksaan Fisik................................................................................ 8
2.4 Daftar Abnormalitas............................................................................ 10
2.5 Pemeriksaan Penunjang....................................................................... 10
2.6 Resume................................................................................................ 11
2.7 Diagnosa Kerja............................................................................... 11
2.8 Diagnosa Banding....................................................................................12
2.9 Penatalaksanaan................................................................................... 12
2.10 Follow Up.......................................................................................... 12
2.11 Prognosis........................................................................................... 15
2.12 Pembahasan Kasus............................................................................ 15
Bab III Tinjauan pustaka…………………………………………………………. 16
3.1 Definisi................................................................................................... 16
3.2 Etiologi …….……………………………………………………......... 17
3.3 Epidemiologi... ………………………………………………………. 20
3.4 Faktor Risiko ………....…………………………………………….. 20
3.5 Patofisiologi………………………………………………………….. 21
3.6 Gambaran Klinis …………………………………………………..... 23
3.7 Penegakan Diagnosa.............................................................................. 25
3.8 Tatalaksana …………………………………………………………….26
3.9 Prognosis ……………………………………………………………….29
3.10 Pencegahan.......................................................................................... 31
Daftar Pustaka …………………………………………………………………… 32

BAB I
PENDAHULUAN

3
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney
Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan keadaanya
untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel.
Dikatakan penyakit ginjal kronik apabila kerusakan ginjal terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fultrasi
glomerulus, dengan manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal
misalnya pada saat pencitraan (imaging) atau laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m2. 1

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupaka masalah kesehatan masyarakat global


dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk
dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah
penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes mellitus serta hipertensi. Sekitar
1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic
review dan metanalysis yang dilakukan oleh hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi
global PGK sebesar 13,4%.(infodatin) Menurut hasil penelitian Global Burden of
Disease tahun 2010, penyakit ginjal kronis merupakan penyebab kematian peringkat
ke-27 di dunia pada tahun 1990, dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun
2010. Di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 499.800 penduduk Indonesia menderita
penyakit gagal ginjal dan sebanyak 1.499.400 penduduk menderita batu ginjal.
Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukan tanda dan gejala namun
dapat berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan
ditanggulangi dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih
besar jika diketahui lebih awal.
Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan timbulnya berbagai
manifestasi yang komplek, diantaranya, penumpukan cairan, edema paru, edema
perifer, kelebihan toksik uremik bertanggung jawab terhadap perikarditis dan
iritasi, sepanjang saluran gastrointestinal dari mulut sampai anus. gangguan
keseimbangan biokimia (hiperkalemia, hiponatremi, asidosis metabolik),
gangguan keseimbangan kalsium dan fosfat lama kelamaan mengakibatkan
demineralisasi tulang neuropati perifer, pruritus, pernafasan dangkal, anoreksia,
mual dan muntah, kelemahan dan keletihan.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

5
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Tanggal Lahir / Umur : 15-08-1975/42
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Sutarpranan RT 05 RW02 Dukuhturi
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Biaya pengobatan : BPJS
Tanggal masuk bangsal : 16 Desember 2017

2.2Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 19 Desember 2017 pada pukul 15.00
WIB di bangsal Lavender Atas Pria RSUD Kardinah Tegal.

1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak nafas

2. Keluhan Tambahan
Badan terasa pusing, dan lemas.

3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah Tegal pada hari Sabtu, 16 Desember
2017 dengan keluhan utama sesak nafas. Sesak nafas mulai dirasakan pasien sejak
dua hari SMRS (14 Desember 2017). Keluhan muncul secara mendadak,
berlangsung terus menerus, dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan akan
semakin memberat dalam posisi tidur, dan sedikit membaik bila pasien duduk
bersandar.

Pasien juga mengalami lemas badan yang timbul bersamaan dengan keluhan
sesak nafas. lemas dirasakan diseluruh badan, sehingga untuk aktivitas pasien
memerlukan bantuan anggota keluarga yang lain, meskipun anggota gerak masih
dapat digerakkan. Pasien juga mengeluh pusing, pusing dirasakan nggliyeng,

6
pasien juga merasakan mual tetapi tidak muntah, buang air kecil biasa, buang air
besar biasa, nafsu makan berkurang, tidak ada penurunan berat badan yang
berarti, kedua tangan dan kaki tidak kesemutan. Batuk pilek tidak dirasakan,
penglihatan kabur tidak dirasakan.
1 bulan sebelum pasien MRS, pasien mengeluh kedua kakinya bengkak.
Kedua kaki tersebut bengkak secara bersamaan, disadari pertama kali saat pasien
baru bangun tidur. Bengkak pada kedua kaki tidak disertai oleh rasa nyeri maupun
kesemutan. Bengkak dikatakan tidak berkurang dengan beristirahat maupun dengan
pemberian minyak urut.

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):


 Riwayat penyakit serupa : Pasien mengatakan sekitar 2 bulan yang lalu
mengalami keluhan yang serupa dengan sekarang dan sudah berobat ke dokter
umum dan dinyatakan memiliki penyakit ginjal kronis.
 Riwayat hipertensi : diakui
 Riwayat diabetes melitus : disangkal
 Riwayat Penyakit jantung : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat Alergi obat : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Sehari-hari pasien berprofesi sebagai pedagang di pasar tradisional di
desanya. Aktivitas keseharian pasien kebanyakan dalam posisi duduk saat melayani
pembeli. Pasien mengaku jarang meluangkan waktu secara khusus untuk
berolahraga. Pasien merupakan perokok ringan yaitu memiliki kebiasaan merokok
kurang lebih 1 bungkus per hari sejak 8 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki
kebiasaan mengonsumsi alkohol dan obat-obatan narkotika. Biaya pengobatan
ditanggung oleh BPJS .

7
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Cukup (BB/TB 59kg/168cm)
Tanda vital : Tekanan darah: 150/100mmHg
Nadi: 88 x/menit
Respirasi: 28 x/menit
Suhu: 36,7 °C (axiler)
Status generalis
Kepala dan wajah Rambut Distribusi rambut merata, rambut berwarna hitam
dan tidak mudah dicabut
Kepala Ukuran normosefali, lesi (-), rash (-), scar (-),
massa (-), deformitas (-), sianotik (-), edema (-).
Mata Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
pupil isokor, refleks pupil langsung dan tidak langsung (+/+).
Hidung Bentuk dan ukuran normal, deviasi septum (-), mukosa
hiperemis (-), benda asing (-), secret (-), deformitas (-).
Telinga Kedua telinga tampak simetris, serumen (-), hiperemis (-), liang
telinga lapang, deformitas (-), nyeri tekan (-) benda asing (-)
nyeri tekan (-), nyeri tarik (-).
Mulut Sianosis (-) deviasi lidah (-), atrofi lidah (-) lidah kotor (-).
Mukosa mulut hiperemis (-).
Faring normal tidak hiperemis, letak uvula di tengah. Ukuran
tonsil T1/T1.
Leher JVP normal (5±3), pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-).
Pembesaran KGB leher (-).
Thorax
Jantung Inspeksi Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis (+) pada ICS V linea midclavicular
sinistra, tidak teraba thrill
Perkusi Batas paru dan jantung kanan setinggi ICS IV
linea parasternal dextra, batas paru dan jantung
kiri setinggi ICS V linea midclavicularis sinistra,
batas atas jantung ICS II linea parasternalis
sinistra, pinggang jantung setinggi ICS III linea
parasternal sinistra.

8
Auskultasi S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-).
Paru Inspeksi Gerakan napas simetris tanpa adanya bagian
yang tertinggal, lesi (-), sternum datar, retraksi
sela iga (-).
Palpasi Gerak simetris, vocal fremitus sama kuat pada
kedua hemithorax
Perkusi Sonor pada kedua hemithorax, batas paru-hepar
pada sela iga VI pada linea midklavikularis
dextra, dengan peranjakan 2 jari pemeriksa dan
suara perkusi redup, batas paru-lambung pada
sela iga ke VIII pada linea axilaris anterior
sinistra dengan perkusi timpani.
Auskultasi Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (-/-).
Abdomen Inspeksi Bentuk abdomen datar, smiling Umbilicus (-)
caput medusae (-), spider naevi (-).
Auskultasi Bising usus 7x/menit
Palpasi Teraba supel, lien dan hepar tidak teraba,
ballottement ginjal (-), nyeri lepas (-) dan
undulasi (-).
Perkusi Shiffting dullness (-)
Ekstremitas Sianotis (-), ikterik (-), di ke empat ekstremitas, deformitas (-),
edema (+) pada ekstremitas bawah, CRT normal (<2 detik)

2.4 Daftar Abnormalitas


Anamnesis:
1. Sesak nafas
2. Badan lemas
3. Nafsu makan menurun
4. Mual
5. Pusing nggliyeng
6. Bengkak pada tungkai

Pemeriksaan Fisik:
1. Konjungtiva anemis +/+
2. Tekanan darah 150/100 mmHg
3. Pitting edema pada ektremitas bawah

2.5 Pemeriksaan Penunjang

9
LABORATORIUM:

HEMATOLOGI (16 Desember 2017)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
CBC
Hemoglobin L 7.3 g/dL 13.7 – 17.7
Lekosit 7.4 10^3/ul 4.4 – 11.3
Hematokrit L 19.9 42 – 52
Trombosit 179 10^3/ul 150 – 521
Eritrosit L 2.6 10^6/ul 4.5 – 5.9
RDW H 18.2 11.5 – 14.5
MCV L 75.7 U 80 – 96
MCH L 27.8 Peg 28 – 33
MCHC H 36.7 g/dL 33 - 36
Diff
Netrofil H 80.8 50 – 70
Limfosit L 8.8 25 – 40
Monosit 7.6 2–8
Eosinofil 3 2–4
Basofil 0.1 0–1

KIMIA KLINIK (16 Desember 2017)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 12.5 U/L < 35
SGPT 19.6 U/L < 46
Ureum H 471.6 mg/dL 19.0 – 44.0
Creatinin H 21.65 mg/dL 0.70 – 1.30

2.6 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah Tegal hari Sabtu, 16 Desember 2017
dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari SMRS. Sebelum akhirnya pasien dibawa ke
RS, pasien juga mengalami lemas, pusing dan bengkak pada kaki. Pasien juga
sering mengeluhkan tidak nafsu makan. Dari hasil pemeriksaan fisik pasien
dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah meningkat dan respirasi rate
meningkat. Pemeriksaan fisik ditemukan dari matanya dengan konjungtiva
anemis, leher tidak ada keabnormalan dan pada ekstremitas bawah terdapat
edema pitting.
Hasil pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan darah saat datang ke RS
diketahui Hb dalam keadaan kurang (7,3 g/dL), ureum meningkat (471,6

10
mg/dL), dan kreatinin juga meningkat (21,65 mg/dL), sedangkan pemeriksaan
lain dalam batas normal.

2.7Diagnosis Kerja

 CKD
 Hipertensi
 Anemia

2.8Diagnosis Banding
 Gagal ginjal akut

2.9 Penatalaksanaan
- Infus Ringer laktat 15 tpm
- Injeksi Ranitidin 2x1
- Injeksi lasix 2x1
- Injeksi NTG 1 ampul
Obat-obat per oral:
- Aminefrin 3x1
- callos 3x4
- asam folat 3x1
- irbesartan 1x300mg
2.10 Follow-up

Hari 1 (20 Desember 2017)


S OS mengeluh sesak berkurang dan lemas
O Keadaan umum: Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 130/80 mmHg Nadi: 86 x/menit
Suhu: 36,4 ˚C Pernapasan: 22 x/menit
Kepala  Normosefali, pupil isokor, reflex pupil +/+, CA +/+
Leher  Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid (-)
Thorax  Gerak dinding dada simetris,
Suara napas vesikuler +/+, Rhonki +/+, Wheezing -/-
Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  Datar, BU(+)normal, tympani, nyeri tekan (+),
hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas atas  Oedem -/-, akral hangat +/+
Ekstremitas bawah  Oedem +/+, akral dingin +/+,
Hasil Lab Hb 8,1
A CKD

11
Anemia
P - Program transfuse PRC 1
- Injeksi Lasix 2 ampul
- Injeksi ranitidin
- Aminefrin
- callos
- Asam folat
- irbersartan

Hari 2 (21 Desember 2017)


S OS mengeluh lemas
O Keadaan umum: Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 160/100 mmHg Nadi: 94 x/menit
Suhu: 36,8 ˚C Pernapasan: 20 x/menit
Kepala  Normosefali, pupil isokor, reflex pupil +/+, CA +/+
Leher  Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid (-)
Thorax  Gerak dinding dada simetris,
Suara napas vesikuler +/+, Rhonki +/+,, Wheezing -/-
Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  Datar, BU(+)normal, tympani, nyeri tekan (+),
hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas atas  Oedem -/-, akral hangat +/+
Ekstremitas bawah  Oedem +/+, akral dingin +/+
A Ckd
Anemia
P - Injeksi Lasix 2 ampul
- Injeksi ranitidin
- Aminefrin
- callos
- Asam folat
- irbersartan
- program Hemodialisa disesuaikan jadwal

Hari 3 (22 Desember 2017)


S OS mengeluh lemas dan sesak berkurang
O Keadaan umum: Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 160/100 mmHg Nadi: 78 x/menit
Suhu: 36,5 ˚C Pernapasan: 20 x/menit

12
Kepala  Normosefali, pupil isokor, reflex pupil +/+, CA +/+
Leher  Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid (-)
Thorax  Gerak dinding dada simetris,
Suara napas vesikuler +/+, Rhonki +/+,, Wheezing -/-
Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  Datar, BU(+)normal, tympani, nyeri tekan (+),
hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas atas  Oedem -/-, akral hangat +/+
Ekstremitas bawah  Oedem +/+, akral hangat +/+
A CKD
Anemia dengan perbaikan
P - Acc rawat jalan
- Aminefrin
- callos
- Asam folat
- irbersartan

2.11 Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

2.12 Pembahasan Kasus


Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah Tegal hari Sabtu, 16 Desember 2017
dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan memburuk
ketika dalam keadaan berbaring dan membaik dalam keadaan duduk.
Sebelumnya pasien juga mengalami lemas badan, mual dan bengkak pada kaki.
Pasien juga sering mengeluhkan tidak nafsu makan. Pasien memiliki riwayat
tekanan darah tinggi.
Dari hasil pemeriksaan fisik pasien dengan kesadaran compos mentis,
tekanan darah meningkat dan tanda-tanda vital yang lain dalam batas
normal. Pemeriksaan kepala ditemukan dari matanya dengan conjunctiva
anemis, leher tidak ada keabnormalan, thorak terdapat rongkhi di kedua
paru, dan pada ekstremitas bawah terdapat edema pitting.
Hasil pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan darah saat datang ke RS
diketahui Hb dalam keadaan kurang (7,3 g/dL), ureum meningkat (471,6
mg/dL), dan kreatinin juga meningkat (21,65 mg/dL), sedangkan pemeriksaan
lain dalam batas normal.

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik:1.2
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan
oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi
penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal
dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan
penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan
penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:1

14
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus.1,3
Derajat Penjelasan LFG
(mL/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau dengan atau tanpa peningkatan tekanan

darah / hipertensi (HT).


3
GFR Dengan Kerusakan Tanpa Kerusakan Ginjal
(ml/min/1,73 Ginjal
Dengan Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT
m2 )
HT
> 90 1 1 HT Normal
60 – 89 2 2 HT dengan Penurunan
penurunan GFR
GFR
30 – 59 3 3 3 3
15 – 29 4 4 4 4
< 15 (atau 5 5 5 5
dialisis)

3.2. Etiologi1,3,4
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit
ginjal di mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi
jaringan glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal,
mesangium, atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan

15
manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan
berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan
perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan
sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria,
dan silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan
hipertensi, edema, dan fungsi ginjal terganggu. 2
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. 2
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10%
terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut
yaitu dapat terjadi hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada
pagi hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul
ginjal.2

b. Diabetes mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua duanya.2
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul
secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan
seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun
berat badan yang menurun.2
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan
hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan
tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di
ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin.

16
Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi
dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara
proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf . 2,4
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal. 5,6
Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya
hidup, serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6

Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi


Tekanan (mmHg) (mmHg) Gaya
Darah Hidup
Normal < 120 Dan < 80 Edukasi tidak perlu obat
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya
antihipertensi
Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,
BB, CCB, atau kombinasi
Stage 2 HT > 160 Ya Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya thiazid tipe
diuretik dan ACEI atau
ARB atau BB atau CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah
<130/80 mmHg.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di

17
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan
genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai
adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata
kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah
dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik
dewasa.2

3.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkitakan 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800
kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara berkembang lainnya, insidens ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun.1
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
2000:1,7
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih. 2

3.4. Faktor risiko


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal
akut, infeksi saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan
lingkungan seperti obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit
ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia
dan lingkungan tertentu.3

18
3.5. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. 1,2
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,

19
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial. 1
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat
stadium. Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium
ini kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik.
Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban
kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama
atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.1
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal,
dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25%
dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas
normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar
protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai
meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila
penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau
dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan
poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini
timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman
yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini,
sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang teliti.1
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila
sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron
saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini
kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium
akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah,
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat
jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik
(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus

20
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks
perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat
stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara
stadium-stadium tersebut.
3.6. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri
dan kelainan kardiovaskular.1,2,6
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah
(misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek
akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.1,6
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik
harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL. 1

21
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi
oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.2

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia
yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit
garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tersier.

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai

22
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

3.7. Pendekatan Diagnosis


Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan
histopatologis.1,6
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ
dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

23
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritusm uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah
lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria,
hematuri, leukosuria, dan silinder.1
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing
tidak bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

3.8. Penatalaksanaan1,2,3,6
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin

24
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
a.Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut
(underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis
inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL
kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian
200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.6
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian

25
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat
Enzym Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE
inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita,
termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

26
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
3.9. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang
mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien
yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani

27
transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis
kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi
(14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%). 2

3.10. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian
berat badan.3

28
29
DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, 25 Mei 2013.
3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm
GGK, 25 Mei 2013.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis
R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. hlm 168-70.
5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7 th. New York: Oxford University; 2007.
294-97.
6. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.
Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.

30

Anda mungkin juga menyukai