Dokter Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat rahmat-
Nya, saya selaku penuyusun laporan kasus ini, dapat menyelesaikan laporan kasus ini, yang
berjudul Chronic Kidney Disease. Dimana laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat
tugas dalam menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia selama satu tahun di wahana
terpilih, yakni RSUD Cilegon.
Tidak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung saya, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Khususnya untuk dokter
pembimbing dalam kasus saya ini, yakni dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD, FINASIM yang bersedia
untuk meluangkan waktunya untuk membimbing saya. Tidak lupa, saya mengucapkan terima
kasih kepada dokter pendamping wahana RSUD Cilegon, yang sudah memberikan bantuan, dan
kesempatan pada saya, sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan, dan dapat dipresentasikan
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman sejawat dokter internsip yang telah
mendukung saya, sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini terdapat banyak kekurangan
di dalamnya. Oleh karena itu, saya dengan terbuka menerima segala kritik, dan saran dalam
penulisan laporan kasus ini, sehingga penulisan laporan selanjutnya, dapat lebih baik lagi
kedepannya. Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan penulisan, di dalam laporan
kasus ini.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak, dan para pembaca
tentunya. Terima kasih.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Borang Portofolio....................................................................................................... 4
3
Borang Portofolio
No. ID Peserta :
Nama Peserta : dr. Robby Aji Aryadillah
No. ID Wahana :
Nama Wahana : RSUD Cilegon
Topik :Chronic Kidney Disease grade V
Tanggal Kasus : 06 April 2017
Nama Pasien : Tn.N S No. Rekam Medis : 30 28 33
Nama Pendamping :
dr. H. Kamal Sumardin
Tanggal Presentasi : 13 Juni 2017 dr. Dian Arissanthy
Narasumber :
Dr. Didiet Pratignyo,Sp.PD,
FINASIM
Cara
Diskusi Presentasi E-mail Pos
membahas :
DATA PASIEN
Nama: Tn..N S Umur: 60 tahun No. RM: 30 28 33
Nama Klinik : Telp: Terdaftar Sejak :
4
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
II. ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak napas
OS datang dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari yang lalu, sesak napas terus menerus
bertambah berat apabila berbaring dan berkurang apabila duduk, batuk lama disangkal, sesak
dengan bunyi ngikngik berulang disangkal. os mengeluh bengkak pada seluruh bagian tubuh,
bengkak yang dialami awalnya hanya pada kaki namun 3 hari smrs bengkak sampai pada buah
5
zakar pasien, Selain itu, os mengeluh perutnya membesar. Mata kuning disangkal, BAK seperti
teh dan BAB seperti dempul disangkal.
Os juga mengeluh lemas, lemah, dan lunglai, os terlihat pucat dan tidak bergairah, os mengeluh
mual dan muntah 3x sehingga os tidak nafsu makan. os mengeluh BAK yang keluar sedikit
sejak 1 bulan SMRS BAB dalam batas normal.
Pasien merupakan seorang buruh harian lepas yang sehari hari bekerja bangunan dan
jarang minum air putih serta memilki kebiasaan merokok selama 10 tahun.
III. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
6
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110x/menit, reguler
Nafas : 30x/menit
Suhu : 36C (Axilla)
Saturasi O2 : 98%
7
Batas kiri :ICS III linea midclav kiri
Ekstremitas :
Ekstremitas Dextra Sinistra
Superior
Akral Hangat (+) Hangat (+)
Luka Tidak ada Tidak ada
Otot : tonus Normotonus Normotonus
Otot : massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas
Sensorik Normal Normal
Kekuatan 5555 5555
Edema + +
Deformitas - -
Inferior
8
Akral Hangat (+) Hangat (+)
Luka - -
Otot : tonus Normotonus Normotonus
Otot : massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas
Sensorik Normal Normal
Kekuatan 5555 5555
Edema + +
Deformitas - -
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 17 Mei 2017
Hematologi
Golongan darah A Positif
Masa perdarahan 3.00 menit 1 6 menit
Masa pembekuan 12.00 menit 5 15 menit
Hemoglobin 6.0 g/dl 12,0 - 16,0
Hematokrit 18.9 % 37,0 43 %
Eritrosit 2.16 juta 4,00 5,00 juta
MCV 87,9 fl 82,0 92,0 fl
MCH 27,3 pg 27,0 31,0 pg
MCHC 31,7 g/dl 32,0 36,0 g/dl
Leukosit 9.18 ribu/ul 5,00 - 10,00 ribu/ul
Trombosit 282 ribu 150 450 ribu
Kimia Klinik
Ureum 319 mg/dl 10 50 mg/dl
Kreatinin 17.89 mg/dl 0,60 1,20 mg/dl
SGOT 16 U/L < 31 U/L
9
SGPT 15 U/L < 33 U/L
Gula Darah Sewaktu 135 mg/dl < 200 mg/dl
Natrium 134,9 mEq/L 135 147 mEq/L
Kalium 6.39 mEq/L 3,30 5,40 mEq/L
Klorida 105,7 mEq/L 94,0 111,0 mEq/L
Albumin 2,90 g/dl 3,5 5,2 g/dl
Imunoserologi
HBsAg (Rapid) Non reaktif
Anti HIV Penyaring Rapid Non reaktif
Anti HCV (Rapid) Non reaktif
Pemeriksaan Ur/Cr dan Elektrolit pada tanggal 21 Mei 2017
Kimia Klinik
Ureum 345 mg/dl 10 50 mg/dl
Kreatinin 16.22 mg/dl 0,60 1,20 mg/dl
SGOT 16 U/L < 31 U/L
SGPT 15 U/L < 33 U/L
Gula Darah Sewaktu 135 mg/dl < 200 mg/dl
Natrium 134,9 mEq/L 135 147 mEq/L
Kalium 5.42 mEq/L 3,30 5,40 mEq/L
Klorida 105,7 mEq/L 94,0 111,0 mEq/L
10
Pemeriksaan Radiologi Thorax PA
Tanggal 17 April 2017
11
Pemeriksaan EKG
12
13
IV. RESUME
Subjektif
Pasien laki-laki umur 60 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari yang lalu, sesak
napas terus menerus bertambah berat apabila berbaring dan berkurang apabila duduk, os
mengeluh bengkak pada seluruh bagian tubuh, bengkak yang dialami awalnya hanya pada kaki
namun 3 hari smrs bengkak sampai pada buah zakar pasien.
Selain itu, os mengeluh perutnya membesar. os juga mengeluh lemas, lemah, dan lunglai, os
terlihat pucat dan tidak bergairah, os mengeluh mual dan muntah 3x sehingga os tidak nafsu
makan. os mengeluh BAK yang sedikit sejak 1 bulan SMRS BAB dalam batas normal.
RiwayatPenyakitDahulu :
Hipertensi (+), CHF (+), CKD (+)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada (-)
Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 83x/menit, reguler
Nafas : 30x/menit
Suhu : 359C (Axilla)
Saturasi O2 : 98%
Mata : Pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm, CA +/+, RC +/+
Pulmo
Perkusi :Sonor di kedua lapangparu
Auskultasi :Suara napas vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
Abdomen
Perkusi : Redup, Shifting dullness (+); nyeri ketok CVA (-/-)
Genital : Scrotum edema (+)
14
Ekstremitas Inferior & Superior : edema (+)
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 06April 2017
Hematologi
Hemoglobin 6.0 g/dl 12,0 - 16,0
Hematokrit 18.9 % 37,0 43 %
Eritrosit 2.16 juta 4,00 5,00 juta
Kimia Klinik
Ureum 319 mg/dl 10 50 mg/dl
Kreatinin 17.89 mg/dl 0,60 1,20 mg/dl
Kalium 6.39 mEq/L 3,30 5,40 mEq/L
Pemeriksaan eGFR
Biopsi Ginjal
15
VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
O2 3 lpm
IVFD KaEn 1b Asnet
Insulin 10 IU dalam D10% 20 tpm
Prorenal 3x1 tab
Na Bicarbonat 3x1
Tablet tambah darah 3x1
Pro tranfusi 1 kolf per hari
Asam Folat 3x1
Non-medikamentosa
Anjuran Hemodialisis
Pasang DC
Pantau Intake Output
Restriksi Cairan
IX. PROGNOSIS
16
X. FOLLOW UP
18 Mei 2017
S : os mengeluh sesak napas, bengkak seluruh tubuh, lemah
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 85x/menit, reguler
Nafas : 30x/menit
Suhu : 354C (Axilla)
Pulmo
SNves +/+ Ronkhi +/+ wheezing -/-
Edema +/+
A : CKD gr V + CHF
P :
O2 3 lpm
IVFD KaEn 1b Asnet
Insulin 10 IU dalam D10% 20 tpm
Prorenal 3x1 tab
Na Bicarbonat 3x1
Tablet tambah darah 3x1
Pro tranfusi 1 kolf per hari
Asam Folat 3x1
Non-medikamentosa
Anjuran Hemodialisis ( Pasien Menolak)
Pasang DC (Pasien Menolak)
Pantau Intake Output
Restriksi Cairan
17
18 Mei 2017
S : os mengeluh sesak napas, bengkak seluruh tubuh, lemah
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 85x/menit, reguler
Nafas : 26x/menit
Suhu : 36,1C (Axilla)
Pulmo
SNves +/+ Ronkhi +/+ wheezing -/-
Edema +/+
A : CKD gr V + CHF
P : terapi dilanjutkan
21 Mei 2017
S : os mengeluh sesak napas, bengkak seluruh tubuh, lemah
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 85x/menit, reguler
Nafas : 28x/menit
Suhu : 36,1C (Axilla)
Pulmo
SNves +/+ Ronkhi +/+ wheezing -/-
Edema +/+
18
A : CKD gr V + CHF
P : terapi dilanjutkan
22 Mei 2017
S : os mengeluh sesak napas bertambah berat, bengkak semakin bertambah seluruh
tubuh, lemas lemah
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 82x/menit, reguler
Nafas : 36x/menit
Suhu : 36C (Axilla)
Pulmo
SNves +/+ Ronkhi +/+ wheezing -/-
Edema +/+
A : CKD gr V + CHF
P : terapi dilanjutkan
25 Mei 2017
S : os henti jantung henti napas
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Komateus
Tanda vital :
Tekanan darah : -
Nadi : tidak teraba
Nafas : Tidak ada pergerakan napas
Suhu :-
Mata : RC -/- Pupil Midriasis Maksimal
A : CKD gr V + CHF + Gagal Napas dan Jantung
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ginjal
2.1.1. Anatomi dan Fisiologi
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal, di sisi
kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus oleh lapisan lemak yang tebal, dibelakang
peritonium. Kedudukan ginjal mulai dari vertebrae torakalis terakhir (ke-12) sampai
vertebrae lumbalis ke-3. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah dari ginjal kiri
karena tertekan oleh hati.3
Gambar 1. Organ Sistem Urinaria Tampak Anterior. Sumber: Tortora GJ, Derrickson B. Chapter 2: The Urinary
System. Dalam: Principles of Anatomy and Physiology 12th Ed. 2009. Massasuchets: John Wiley & Sons, Inc.
20
Gambar 2. Proyeksi Ginjal pada Punggung. Sumbu Panjang Ginjal Membias ke Arah Kaudal Lateral. Ginjal Kanan
Kebanyakan Terletak Lebih Kaudal daripada yang Kiri. Sumber: Waschke J, Paulsen F, Klonisch T, Hombach-
Klonisch S. Sobotta Atlas of Human Anatomy 15th Ed. 2013. India: Elsevier Health Science.
Gambar 3. Proyeksi Ginjal dengan Pemeriksaan Radiologi. Sumber: Sobotta. Waschke J, Paulsen F, Klonisch T,
Hombach-Klonisch S. Sobotta Atlas of Human Anatomy 15th Ed. 2013. India: Elsevier Health Science.
Terdapat 3 lapisan pembungkus ginjal, yakni kapsula renalis (jaringan ikat padat
iregular transparan dan halus yang bersambungan dengan lapisan terluar ureter),
kapsula adiposa (massa jaringan lemak yang mengitari kapsula renalis), dan lapisan
terluar, fascia renalis (jaringan ikat padat iregular tipis yang mengikat ginjal dengan
21
struktur-struktur sekitar dan kepada dinding abdomen. Fungsi 2 lapisan terdalam
adalah sebagai barrier trauma serta untuk menjaga bentuk ginjal.3
Potongan memanjang ginjal menunjukkan dua regio utama, yakni bagian superfisial
berwarna merah terang disebut korteks renalis dan bagian profunda berwarna merah-
kecokelatan dan lebih gelap disebut dengan medulla renalis. Korteks renalis
merupakan area datar dan licin yang memanjang dari kapsula renalis ke dasar dari
piramida renalis dan ke dalam area di sisi-sisi sekitarnya. Korteks terbagi atas daerah
zona kortikal dan zona jukstamedular. Daerah korteks renalis yang berada di antara
piramida renalis disebut kolumna renalis. Bagian dalam ginjal sendiri terdiri atas
beberapa piramida renalis yang berbentuk konus. Bagian basis/ dasar dari piramid ini
lebih lebar daripada sisi-sisi lainnya menghadap ke korteks renalis, sementara
apeksnya (sisi yang lebih sempit), papilla renalis, menghadap ke hilus renalis. Sebuah
lobus renalis terdiri atas sebuah piramida renalis, daerah korteks renalis di bawahnya,
dan satu setengah bagian dari kolumna renalis pada sisi-sisinya.3
Bersama-sama, korteks renalis dan piramida renalis dari medulla renalis merupakan
bagian dari parenkim (bagian fungsional) ginjal. Di dalam parenkim terdapat unit
fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Urin yang terbentuk dalam unit ini dialirkan
menuju duktus papillaris yang besar yang memanjang sepanjang papilla renalis dari
piramida renalis. Duktus ini kemudian mengalirkan urin ke struktur berbentuk seperti
cangkir yang disebut kaliks (terdapat dua jenis, yakni minor dan mayor). Setiap hinjak
memiliki 8-18 kaliks minor dan 2-3 kaliks mayor. Kaliks minor mendapatkan urin dari
duktus papilaris dari papilla renalis dan menghantarkannya ke kaliks mayor. Dari
struktur tersebut, urin dialirkan ke sebuah saluran besar yang disebut dengan pelvis
renalis dan keluar melalui ureter menuju ke buli-buli.3
22
Gambar 4. Potongan Memanjang Ginjal. Sumber: Tortora GJ, Derrickson B. Chapter 2: The Urinary System.
Dalam: Principles of Anatomy and Physiology 12th Ed. 2009. Massasuchets: John Wiley & Sons, Inc.
Setiap nefron terdiri atas dua bagian, yakni korpuskulus renalis (daerah di mana
darah difiltrasi) dan tubulus renalis (daerah di mana urin yang telah terfiltrasi berjalan
keluar). Dua komponen pengusun korpuskulus renalis adalah glomerulus (jaringan
kapiler) dan kapsul golerulus (kapsula Bowman) yang merupakan mangkuk epitel
yang melingkupi kapiler glomerulus. Plasma darah difiltrasi di kapsul ini dan cairan
yang telah terfiltrasi melewati tubulus renalis yang memiliki tiga bagian, yakni tubulus
kontortus proksimal, loop of Henle, dan tubulus kontortus distal. Perjalanan urin
kemudian berlanjut ke duktus kolektivus yang saling menyatu dan melluas le beberapa
ratus duktus papillaris besar yang diteruskan ke kaliks minor.3
23
Gambar 5. Nefron Kortikal dan Suplai Vaskular. Sumber: Tortora GJ, Derrickson B. Chapter 2: The Urinary
System. Dalam: Principles of Anatomy and Physiology 12th Ed. 2009. Massasuchets: John Wiley & Sons, Inc.
Satu lapis sel-sel epitel membentuk keseluruhan dinding kapsul golerulus, tubulus
renalis, dan duktus. Adapun, setiap bagian memiliki ciri-ciri histologis yang berbeda-
beda yang menggambarkan fungsi-fungsinya yang bersifat khusus. Adapun, dalam
referat ini yang akan difokuskan adalah struktur yang menjalankan gungsi filtrasi dari
ginjal.3
Kapsul glomerulus terdiri atas lapisan parietal tersusun atas epitel gepeng selapis
yang membentuk bagian luar dinding kapsul dan viseral - tersusun atas sel epitel
gepeng selapis yang termodifikasi yang disebut dengan podosit. Pemanjangan
berbentuk kaki-kaki dari sel-sel ini menyelimuti satu buah lapisan endotel dari kapiler
glomerulus dan membentuk dinding dalam dari kapsul. Cairan yang tersaring dari
kapiler glomerulus masuk ke dalam ruang kapsular (ruang Bowman) yang merupakan
ruangan di antara dua lapisan dari kapsula Bowman.3
24
Gambar 6. Korpuskulus Renalis (Gambaran Internal). Sumber: Tortora GJ, Derrickson B. Chapter 2: The Urinary
System. Dalam: Principles of Anatomy and Physiology 12th Ed. 2009. Massasuchets: John Wiley & Sons, Inc.
Filtrasi Glomerulus. Pada langkah pertama dari produksi urin, air dan terlarut
dalam plasma darah berpindah melalui dinding kapiler glomerulus ke dalam kapsul
glomerulus dan ke dalam tubulus renalis.3
Reabsorpsi Tubular. Ketika cairan yang telah terfiltrasi menalir melalui tubulus
renalis dan berjalan melalui duktus kolektivus, sel-sel tubulus me-reabsorbsi sekitar
99% dari cairan yang telah terfiltrasi tersebut dan terlarut-terlarut yang sekiranya
masih berguna bagi tubuh. Cairan dan bahan-bahan terlarut ini kembali ke dalam darah
melalui kapiler peritubular dan vasa recta.3
Sekresi Tubular. Ketika caira mengalir melalui tubulus renalis dan melalui
duktus kolektivus, sel-sel tubulus dan duktus mensekresikan bahan-bahan lainnya,
seperti hasil metabolisme, obat-obatan, ion-ion yang berlebihan ke dalam cairan.3
25
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubah yang sesuai, terutama melalui regulasi
keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks osmotik masuk
atau keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan pembengkakkan atau
penciutan sel yang merugikan.3
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES (cairan ekstraselular),
termasuk natrium (Na+), klorida (Cl-), kalium (K+), kalsium (Ca-2), ion hidrogen
(H+), bikarbonat (HCO-), fosfat (PO-3), sulfat (SO4), dan magnesium
(Mg+2).Bahkan fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat
berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ pada CES dapat
menyebabkan disfungsi jantung yang mematikan.3
4. Mempertahankan volume plasmayang tepatpenting dalam pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran regulatorik
ginjal dalam keseimbangan garam (Na+ dan Cl-) dan OH. Regulasi (secara short-
term)tekanan arterial dicapai dengan cara menghasilkan renin, suatu hormon enzim
yang memicu suatu reaksi berantai yang penting dalam penghematan garam oleh
ginjal.3,4
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan
menyesuaikan pengeluaranH+ dan HCO-3 di urin. Ginjal merupakan satu-satunya
jalan untuk mengeliminasi beberapa jenis asam, seperti asam sulfat dan asam fosfat
yang dibentuk dari metabolisme protein.3,4
6. Mengeluarhan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh.
Senyawa-senyawa hasil produk metabolisme yang dibuang di antaranya adalah urea
(dari asam amino), kreatinin (dari kreatinin otot), asam urat (dari asam nukleat),
hasil akhir dari pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit dari
beramacam-macam hormon. Produk metabolisme ini harus segera dieliminasi dari
tubuh secepat mereka diproduksi. Ginjal juga mengeliminasi racun-racun dan
senyawa-senyawa asing yang diproduksi tubuh atau dimakan melalui makanan,
seperti pestisida, obat-obatan, dan aditif makanan.Jika dibiarkan menumpuk, maka
bahan-bahan sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak.3,4
7. Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan
bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.3
26
8. Menghasilkan eritopoietin (EPO), suatu hormon yang merangsang produksi sel
darah merah. Salah satu stimulus penting dalam produksi EPO adalah hipoksia.
Pada pasien dengan penyakit ginjal berat hingga harus melalui hemodialisa atau
pada mereka yang ginjalnya telah diangkat, anemia berat terjadi sebagai hasil dari
menurunnya produksi EPO.3,4
9. Ginjal juga memproduksi bentuk aktif dari vitamin D, 1,25-dihidroksivitamin D3
(kalsitriol) yang berperan penting dalam deposisi kalsium pada tulang dan
reabsorpsi kalsium dari dalam lumen traktus gastrointestinal.4
10. Ginjal mensistesis glukosa dari asam amino dan prekursor-prekursor lainnya
dalam kondisi puasa panjang (glukoneogenesis). Kapasitas ginjal untuk
menambahkan glukosa dalam darah dalam kondisi puasa panjang hampir
menyerupai kapasitas hepar.4
Pada penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal akut, fungsi homeostasis seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya terganggu dan abnormalitas yang berat dari
volume dan komposisi cairan tubuh terbentuk. Dengan gagal ginjal seutuhnya, cukup
banyak kalium, asam, cairan, dan senyawa-senyawa lainnya terakumulasi di dalam
tubuh hingga menyebabkan kematian dalam waktu beberapa hari, kecuali intervensi
klinis seperti hemodialisis yang dimulai untuk mengembalikan, setidaknya sebagian,
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.4
27
Membran Filtrasi
Bersama-sama, sel endotel dari kapiler glomerulus dan podosit, yang melingkupi
kapiler, membentuk leaky barrier yang disebut dengan membran filtrasi. Bentuk yang
menyerupai sandwich ini memungkinkan adanya penyaringan air dan bahan terlarut
kecil, namun mencegah filtrasi dari kebanyakan protein plasma, sel-sel darah, dan
trombosit. Senyawa-senyawa yang tersaring dari darah melewati 3 lapisan, yakni sel
endotel glomerulus, lamina basalis, dan celah filtrasi yang dibentuk oleh podosit.3
1. Sel endotel glomerulus cukup renggang oleh karena fenestrasinya yang cukup
besar berukuran 0,07 0,1 m. Ukuran ini memungkinkan semua bahan-
bahan terlarut dalam plasma darah keluar dari kapiler glomerulus, namun
mencegah filtrasi sel-sel darah dan trombost. Sel-sel mesangial, yang
merupakan sel-sel kontraktil yang membantu meregulasikan filtrasi
glomerulus, terletak di antara kapiler glomerulus dan celah di antara arteriol
aferen dan eferen.
2. Lamina basalis, selapis bahan aselular di antara endotel dan podosit, terdiri
atas serat-serat kolagen kecil dan proteoglikan dalam matriks glikoprotein.
3. Memanjang dari setiap podosit adalah prosesus berbentuk seperti kaki-kaki
yang disebut dengan pedikulus melingkupi kapiler-kapiler glomerulus.
Ruang antara pedikulus disebut dengan celah filtrasi. Sebuah membran tipis,
membran celah (slit membrane), memanjang sepanjang celah filtrasi yang
membiarkan lewatnya molekul-molekul dengan diameter < 0,006 0,0007
m, seperti air, glukosa, vitamin, asam amino, protein plasma yang sangat
kecil, amonia, urea, dan ion-ion. Hanya kurang dari 1% albumin melewati
membran celah oleh karena ukurannya yang cukup besar 0,0007 m.
28
Gambar 7. Membran Filtrasi. Sumber: Tortora GJ, Derrickson B. Chapter 2: The Urinary System. Dalam:
Principles of Anatomy and Physiology 12th Ed. 2009. Massasuchets: John Wiley & Sons, Inc.
Filtrasi glomerulus bergantung pada 3 tekanan utama. Salah satu tekanan menunjang
filtrasi dan dua lainnya mencegah terjadinya filtrasi.3
29
NFP (net filtration pressure/ tekanan filtrasi bersih) merupakan total tekanan yang
menunjang terjadinya filtrasi yang ditentukan melalui:3
Atau,
Sehingga, tekanan sebesar 10mmHg saja mampu menyebabkan jumlah normal dari
plasma darah (dikurangi protein plasma) untuk tersaring dari glomerulus ke dalam
ruang kapsular.3
Pada beberapa penyakit ginjal, kapiler glomerulus rusak dan menjadi sangat permeabel
sehingga protein plasma ikut serta dalam filtrat glomerular. Sebagai hasilnya, filtrat
membentuk tekanan osmotik koloid yang menarik air keluar dari dalam darah. Dalam
kondisi ini, NFP meningkat, yang berarti lebih banyak cairan terfiltrasi. Di saat yang
bersamaan, tekanan osmotik koloid darah menurun karena protein plasma hilang di
dalam urin. Oleh karena lebih banyak cairan terfiltrasi dari kapiler darah ke dalam
jaringan seluruh tubuh dibandingkan dengan jumlah yang kembali ke dalam pembuluh
darah melalui reabsorpsi, tekanan darah menurun dan volume cairan interstisial
meningkat. Sehingga, hilangnya protein plasma di urin menyebabkan edema.
30
hilang dalam urin. Jika GFR terlalu rendah, hampir semua filtrat mungkin direabsorpsi
dan beberapa produk pembuangan mungkin tidak diekskresikan secara adekuat.3
GFR berhubungan langsung dengan tekanan yang menentukan NFP. Perubahan
apapun pada NFP dapat mempengaruhi GFR. Kehilangan darah yang berat,
contohnya, dapat mengurangi mean arterial blood pressure (tekanan darah arterial
rata-rata) dan menurunkan tekanan hidrostatik darah glomerulus. Filtrasi berhenti jika
tekanan hidrostatik darah glomerulus jatuh menjadi 45 mmHg karena kontribusi
tekanan yang berlawanan. Adapun, ketika tekanan darah sistemik meningkat di atas
normal, NFP dan GFR meningkat sangat sedikit. GFR nyaris konstan ketika mean
arterial blood pressure berada pada kisaran 80 180 mmHg.3
Mekanisme yang meregulasikan GFR bekerja melalui 2 mekanisme penting,
yakni dengan (1) menyesuaikan aliran darah ke dalam dan ke luar glomerulus dan (2)
menyesuaikan luas permukaan kapiler glomerulus yang diperlukan untuk filtrasi. GFR
meningkat ketika aliran darah ke dalam kapiler glomerular meningkat. Kontrol
terhadap diameter arteriol aferen dan eferen menurunkan aliran darah ke dalam
glomerulus, sementara dilatasi arteriol meningkatkan. Tiga mekanisme mengatur GFR,
yakni:3
1. Autoregulasi Renal terhadap GFR
Kemampuan yang dimiliki ginjal dalam meregulasikan dirinya sendiri ini
terdiri atas dua mekanisme, yakni mekanisme miogenik dan umpan balik
tubuloglomerular.
Mekanisme miogenik terjadi ketika peregangan menstimulasi kontraksi
sel otot polos dari dinding arteriol aferen. Dengan meningkatnya tekanan
darah, GFR juga ikut meningkat oleh karena meningkatnya aliran darah renal.
Walau begitu, peningkatan tekanan darah meregangkan dinding dari arteriol
aferen. Sebagai respons, serat otot polos dari dinding arteriol aferen
berkontraksi yang mempersempit lumen arteriol. Sebagai hasilnya, aliran darah
renal menurun dan menurunkan GFR ke angka sebelumnya. Sebaliknya, ketika
tekanan darah arterial menurun, sel-sel otot polos kurang teregang dan menjadi
rileks: dilatasi arteriol aferen, aliran darah renal meningkat, dan GFR
31
meningkat. Mekanisme miogenik menormalkan aliran darah renal dan GFR
dalam waktu beberapa detik setelah terjadinya perubahan pada tekanan darah.
Pada umpan balik tubuloglomerular, bagian dari tubulus renalis
makula densa memberikan umpan balik ke glomerulus. Ketika GFR di atas
angka normal oleh karena peningkatan tekanan darah sistemik, cairan yang
telah terfiltrasi mengalir lebih cepat di sepanjang tubulus tenalis. Sebagai
akibatnya, tubulus kontortus proksimal dan loop of Henle memiliki waktu yang
lebih sedikit untuk mereabsorpsi Na+, Cl-, dan air. Sel-sel makula densa
memiliki kemampuan untuk mendeteksi peningkatan penghantaran Na+, Cl-,
dan air, serta menginhibisi pelepasan NO dari dalam sel-sel aparatus
jukstaglomerular. Oleh karena NO menyebabkan vasodilatasi, arteriol aferen
terkonstriksi ketika NO menurun. Ketika tekanan darah turun yang
menyebabkan GFR lebih rendah dari normal hal yang sebaliknya terjadi.
Umpan ini terjadi lebih lambat dibanding mekanisme miogenik.
32
3. Regulasi Hormonal terhadap GFR
Dua hormon berkontribusi terhadap regulasi GFR. Angiotensin II mengurangi
GFR, atrial natriuretic peptide (ANP) meningkatkan GFR. Angiotensin II
merupakan vasokontriktor poten yang menyempitkan baik arteriol aferen
maupun eferen, serta engurangi aliran darah renal yang pada akhirnya
menurunkan GFR. Sel-sel pada atrium jantung mensekresikan ANP.
Peregangan atrium, yang terjadi ketika volume darah meningkat, menstimulasi
sekresi ANP. Dengan menyebabkan relaksasi dari sel-sel mesangial
glomerulus, ANP meningkatkan permukaan kapiler untuk filtrasi. GFR
meningkat seiring dengan meningkatnya luas permukaan tersebut.
33
2.2. Chronic Kidney Disease
2.2.1. Definisi
Penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease/ CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (CKD Stage V/ end
stage). Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom
klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal
pada penyakit ginjal kronik.1
Pada penyakit ginjal kronik, ada 2 hal penting yang harus ditelusuri, yakni:
Penyakit dasar yang menyebabkan
Setelah fungsi 3/4 nefron hilang, sisanya akan mengambil alih fungsi nefron yang
rusak, sehingga nantinya akan menyebabkan hilangnya fungsi ginjal.5
34
Untuk menentukan derajat dari suatu gagal ginjal maka yang perlu dinilai adalah
creatinin clearance test. Penghitungan creatinin clearance test (CCT)ini sesuai
dengan rumus:
kreatinin darah
x volume urin 24 jam
kreatinin urin 24 jam
Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan urin tampung dalam 24 jam untuk
mendapatkan jumlah volume urin dan kreatinin urin dalam 24 jam. Selain
menggunakan CCT, penentuan derajat penyakit, dibuat atas dasar GFR (gromerulous
filtration rate), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault:
(140 )
72
2.2.2. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat
berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG).5Klasifikasi staging penyakit ginjal kronis
dalam 5 stage:1,2,3
35
Gambar 8.Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik dan Klasifikasi. Sumber: Henry Ford Health System. Chronic Kidney
Disease: Clinical Practice Recommendations for Primary Care Physicians and Healthcare Providers, A
Collaborative Approach Edition 6.0. 2011. Detroit: Divisions of Nephrology and Hypertension and General
Internal Medicine.
Diantara individu dengan penyakit ginjal kronis, staging ditentukan oleh tingkat
GFR, dengan stage yang lebih tinggi memiliki GFR yang lebih rendah. Gambar 7
mengilustrasikan klasifikasi individu berdasarkan ada atau tidaknya tanda penyakit
ginjal dan kadar GFR.
Selain itu, juga dapat digunakan persamaan Modification of Diet in Renal Disease
(MDRD) untuk menghitung GFR. Persamaan ini tidak membutuhkan berat badan
pasien, namun membutuhkan 4 variabel yaitu, serum creatinin (SCr), usia, jenis
kelamin, dan etnis.2
Rumus MDRD lainnya yang menggunakan kadar BUN dan albumin serum:2
Adapun, klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi tertera pada
tabel berikut ini:
36
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Etiologi
Sumber: Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. 2006. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. h581-584.
2.2.2. Epidemiologi
Orang yang mengalami CKD memiliki peningkatan yang signifikan dari
morbiditas dan mortalitas. Di Amerika Serikat, pada tahun 1995-1999, insidens
penyakit ginjal kronik diperkirakan mencapai 100 kasus perjuta penduduk pertahun,
dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18
juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per
tahun.1,6
37
2.2.4. Faktor Risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, obesitas, penyakit jantung, ISK, HIV (penyakit imun), berumur lebih dari
50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga.7
Gambar 9. Faktor Risiko CKD. Sumber: Henry Ford Health System. Chronic Kidney Disease: Clinical Practice
Recommendations for Primary Care Physicians and Healthcare Providers, A Collaborative Approach Edition 6.0.
2011. Detroit: Divisions of Nephrology and Hypertension and General Internal Medicine.
Empat faktor resiko utama dalam perkembangan End Stage Renal Disease
(ESRD) adalah usia, ras, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Insiden ESRD
diabetikum sangat meningkat seiring dengan berjalannya usia. ESRD yang disebabkan
oleh nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-amerika dari
pada orang Kaukasia. Secara keseluruhan insidens ESRD lebih besar pada laki-laki
(56,3%) daripada perempuan (43,7%).8
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).8
38
Glomerulonefritis
Pada umumnya terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat
terjadi hematuria, oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari,
hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.9
Diabetes Mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
39
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun.10
Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk.
Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi diginjal
pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas dan dapat
terjadi secara difus atau nodular. Glomerulosklerosis diabetik difus merupakan lesi
yang paling sering terjadi, terdiri atas penebalan difus matriks mesangial dengan
bahan eosinofilik disertai dengan penebalan membran basalis kapiler.
Glomerulosklerosis diabetik nodular lebih jarang terjadi namun sangat spesifik
untuk penyakit ini, terdiri atas bahan eosinofilik noduler yang menumpuk dan
terletak dalam perifer glomerulus didalam inti lobus kapiler. Kelainan non
glomerulus dalam nefropati diabetik adalah nefritis tubulointertitial kronik, nekrosis
papilaris, hialinosis arteri aferen dan eferen, serta iskemia. Glomerulosklerosis
diabetik hampir selalu didahului oleh retinopati diabetik yang ditandai dengan
mikro aneurisma di sekitar makula.8 Riwayat perjalanan nefropati diabetik dari
awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi 5 fase atau stadium.8
Stadium 1, atau fase perubahan fungsional dini, ditandai dengan hipertropi dan
hiperfiltrasi ginjal. Stadium 1 sebenarnya ditemukan pada semua pasien yang
didiagnosis diabetes melitus tipe 1 (bergantung insulin), dan berkembang pada awal
40
penyakit. Sering terjadi peningkatan GFR hingga 40% diatas normal. Peningkatan
ini disebabkan oleh beberapa faktor, dengan faktor yang memperburuk adalah kadar
glukosa darah yang tinggi, glukagon yang abnormal, hormon pertumbuhan, efek
renin, angiotensin I, dan prostaglandin. Ginjal yang menunjukkan peningkatan GFR
ukurannya lebih besar dari normal, dan glomerulus yang bersangkutan akan lebih
besar dengan daerah permukaan yang meningkat. Perubahan ini diyakini dapat
menyebabkan glomerulosklerosis fokal Stadium 2, atau fase perubahan struktural
dini ditandai dengan penebalan membran basalis kapiler glomerulus dan
penumpukan sedikit demi sedikit bahan matriks mesangial. Stadium ini terjadi
sekitar 5 tahun setelah awitan diabetes tipe 1 dan kelihatannya akan berkembang
pada semua pasien diabetes melitus. Kerasnya penebalan atau perluasan mesangial
yang terlihat pada stadium 2 secara positif berkaitan dengan perkembangan
proteinuria yang akan datang dan penurunan fungsi ginjal. penumpukan matriks
mesangial dapat mengenai lumen kapiler glomerulus, menyebabkan iskemia dan
menurunkan daerah permukaan filtrasi, namun GFR biasanya tetap dalam kisaran
normal yang tinggi. Ekskresi albumin urin biasanya normal selama stadium 2,
kecuali pada mikroalbuminemia reversibel yang terjadi dalam waktu singkat.8
41
Stadium 3 nefropati diabetik mengacu pada fase nefropati insipien dansecara
khas berkembang dalam waktu sekitar 10 tahun setelah awitan diabetes melitus.
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap (30-300mg/24 jam)
yang hanya dapat terdeteksi dengan radioimunoassay atau metode labsensitif
lainnya. Normalnya urin menyekresi albumin dibawah 30 mg/24 jam.
Mikroalbuminuria yang menetap dibuktikan dengan tiga atau lebih urin nefropati
yang dikumpulkan secara terpisah selama lebih dari 3-6 bulan. Mikroalbuminuria
hanya dapat dideteksi pada 25% hingga 40% pasien, dan besar kemungkinannya
untuk berkembang menjadi stadium 4 dan 5. Kadar GFR normal hingga normal
tinggi dan peningkatan tekanan darah juga merupakan gambaran pada stadium 3.8
Stadium 4, atau fase nefropati diabetik klinis ditandai dengan proteinuria yang
positif dengan carrik celup (>300 mg/24 jam) dan dengan penurunan GFR yang
progresif. Retinopati diabetik, serta hipertensi, hampir selalu ada pada nefropati
diabetik stadium 4. Stadium ini muncul kira-kira 15 tahun setelah awitan diabetes
tipe 1 dan menyebabkan ESRD pada sebagian besar kasus.8
Stadium 5 atau fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif ditandai dengan
azotemia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum) disebabkan oleh penurunan
GFR yang cepat, yang pada akhirnya menyebabkan berkembangnya ESRD dan
membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Rata-rata waktu yang dibutuhkan
untuk menuju stadium ini adalah 20 tahun.8
Fase awal nefropati asimptomatik dan mulai berkembang setelah 5-8 tahun
pada DM tipe 2. Proses pasti kerusakan ginjal pada diabetes tidak diketahui.
Beberapa mekanisme telah diteliti diantaranya, hiperglikemia, hiperfiltrasi,
peningkatan viskositas darah, peningkatan tekanan glomerular, albumin,
proteinkinase C, growth factor, Advanced Glycation End Products (AGEs),
oxidative stress dan hiperkolesterolemia.8
42
Ginjal Polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.13,14
2.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulusproses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, waalaupun penyakit dasarnya sudah
tidak aktif lagi.1
43
Gambar 10. Intragolerular Hypertension (IG-HPT). Sumber: Appel GB. Improved Outcomes in Nephrotic
Syndrome. CCJM 2006;73(2):161-8
Pada stadium awal CKD terjadi kehilangan daya cadang ginjal dengan GFR yang
normal atau malah meningkat. Kemudian secaara perlahan tapi pasti akan terjadi
penurunan fungsi nefron yg progresif ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum, sampai pada GFR yang rendah. Pada GFR sebesar 60% pasien masih
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningktan kadar urea dan
kreatinin serum. Pada GFR sebesar 30% mulai terjadi keluhan sepeti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu mkn menurun dan penurunan BB. Sampai pada GFR < 30% pasien
melihatkan tanda dan gejala uremia yaitu, anemia, peningkatan tekanan darah,
ganggun metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya.Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas, mau infeksi aluran cerna. Juga dapat terjdi gangguan keseimbangan air
seperti hipo- atau hiper-volemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada GFR < 15 terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal.1
44
2.2.6. Pendekatan Diagnosis
Pendekatan diagnosis chronic kidney disease (CKD) dilihat dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan
histopatologis.10
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi CKD yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
A. Gambaran Klinis
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES),dll.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
45
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, khlorida).
Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular.8,9,13
Kelainan Hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada pasien penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang
ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah
(misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek
akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang
oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.8,13
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.8,13
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal
yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi
darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.8
46
Kelainan Saluran Cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi
oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein
dan antibiotika.14
Kelainan Mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan
pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala
red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier
Kelainan Kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.8,14
KelainanNeuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien CKD. Kelainan mental ringan atau berat ini sering
47
dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).
Kelainan Kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada penyakit ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
B. Gambaran Laboratorium15,16
C. Gambaran Radiologi15,16
48
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi
2.2.7. Penatalaksanaan
Penatalakssanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
49
a. Terapi Simptomatik
Terapi Dislipidemi
Terapi Hipertensi
Terapi Anemia
Anemia pada penyakit ginjal kronis teradi akibat produksi eritropoietin yang
menurun dan massa sel tubular renal yang berkurang. Kompensasi jantung
terhadap anemia menyebabkan hipertrofi ventrikel dan kardiomiopati sehinga
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung atau penyakit jantung iskemik.
Rekomendasi KDOQI menyebutkan target hemoglobin 10 hingga 12 g/dL pada
penderita CKD, dan penderita dengan kadar feritin serum < 100 ng/mL harus
mendapat suplementasi besi. Recombinant human erythropoietin (rHuEPO)
dengan dosis 50-150 mg/kgBB/hari subkutan digunakan untuk anemia akibat
CKD.9 Adapun Murray et al menyarankan Dosis inisial 50 u/kg IV 3 kali
dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
50
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari
tiga kali dalam seminggu.Transfusi darah ,misalnya Packed Red Cell (PRC),
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.11
Terapi KelainanKulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
51
Terapi Kelainan Neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
b. Terapi Nonfarmakologis
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
52
Pengaturan asupan protein1
Pembatasan Asupan Protein pada
CKD
GFR ml/menit Asupan protein g/kg/hari
>60 Tidak dinjurkan
25-60 0,6 0,8/ kg/ hari
5-25 0,6 0,8 /kg/hari atau
tambahan 0,3 g asam amino
sensual atau asam keton
>60 (Sindrom 0,8/kg/hari (=1 gr protein /g
nefrotik) proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pengaturan asupan kalori: 35 kall/kgBB ideal/hari
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara lemakbebas jeunh dan tidak jenuh
Asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
Sumber lain merincikan:
Garam: 2-3 gr/hari
Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari
Kalsium: 1400-1600 mh/hari
Besi: 10-18 mg/hari
Magnesium: 200-300 mg/hari
Asam folat pasien HD: 5 mg
Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
53
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
54
2.2.8. Komplikasi dan Prognosis
Berbagai komplikasi yang dapat terjadi pada CKD sesuai degan derajat penurunan
fungsi ginjal yang terjadi.
Gambar 11. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik. Sumber: Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.581-584.
Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani
dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien
dengan penyakit ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup
lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena
kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan
keganasan (4%).3Selain itu, kita juga dapat meninjau prognosisnya dari laju filtrasi
glomerulus dan rasio albuminuria yang terjadi pada pasien.
55
Gambar 12. Prognosis CKD berdasarkan Kategori GFR dan Albuminuria: KDIGO 2012. Sumber: International
Society of Nephrology. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. 2012. Official Journal of the International Society of Nephrology.
56
BAB V
KESIMPULAN
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dengan GFR
<60mL/menit/1.73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal, yaitu suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel yang pada suatu saat membutuhkan terapi pengganti ginjal yang tetap
berupa dialisis atau transplantasi ginjal. CKD memiliki 5 stadium, bila penanganan dilakukan
pada stadium awal maka prognosis jauh lebih baik.
Untuk mendeteksi dan memonitor CKD, dilakukan 2 tes: perkiraan GFR dan rasio UACR
(urine albumin to creatinine ratio). Terapi diet pada CKD dalah kontrol tekanan darah, melalui
masukan sodium, mengurangi masukan protein dan penanganan diabetesnya. Penanganan CKD
ditujukan untuk menurunkan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi dengan pemantauan
dari faktor risikonya yaitu, diabetes, hipertensi, penyakit ginjal pada keluarga, penyakit jantung,
ISK, dan penyakit imun. Kompliksi yang dapat terjadi adalah, malnutrisi, asidosis metabolik,
hiperkalemi, anemia, peenyakit jantung. Prognosis pada pasien ditinjau dari laju filtrasi
glomerolus dan albuminuria.
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. 2006.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.h581-584.
2. Henry Ford Health System. Chronic Kidney Disease: Clinical Practice Recommendations
for Primary Care Physicians and Healthcare Providers, A Collaborative Approach Edition
6.0. 2011. Detroit: Divisions of Nephrology and Hypertension and General Internal
Medicine.
3. Tortora GJ, Derrickson B. Chapter 2: The Urinary System. Dalam: Principles of Anatomy
and Physiology 12th Ed. 2009. Massasuchets: John Wiley & Sons, Inc.
4. Guyton AC, Hall JE. Chapter 26 Urine Formation by the Kidneys: I. Glomerular Filtration,
Renal Blood Flow, and Their Control. Dalam: Textbook of Medical Physiology 11th Ed.
2006. Pennsylvania: Elsevier Saunders.
5. Tessy A, Ardaya, Suwanto. Infeksi Saluran Kemih. Dalam: Suyono HS. Buku Ajar
Penyakit Dalam Edisi ke-3. 2001. Jakarta: FKUI.
6. Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney Foundation. Clinical
Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and
Stratification. 2002.
7. National Kidney Disease Education Program. Chronic Kidney Disease 9CKD and Diet:
Assessment, Managemet and Treatment, treating CKD Patients Who are not on dialysis.
2015
8. Purnomo B. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto. 2003, 62-66.
9. Sjabani M. Batu Saluran Kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006, 574-578.
10. Fihn SD. Acute Uncomplicated Urinary Tract Infection in Women. N Engl J Med 2003;
349: 259-265.
11. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of Clinical
Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
12. Chobanian AV, et al. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004
58
13. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta
kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius, 2001: 580-88.
14. Hendromartono. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi V. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009, 1943-1946.
15. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434
16. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam
Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003
17. Vijayakumar M, Namalwar R, Prahlad N. Prevention of chronic kidney disease in children.
Ind J of Nephrol. 2007;17:47-52.
59