Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN KASUS

DEMAM REUMATIK DAN RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh :
Tessa Hijriani
H1AP12023

Pembimbing :
dr. Mulya Sundari, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM TERINTEGRASI


RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU

1
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BENGKULU
2017

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Tessa Hijriani

NPM : H1AP12023

Fakultas : Kedokteran

Judul : Demam Reumatik dan Rheumatoid Arthritis

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : Dr. Mulya Sundari, Sp. PD

Bengkulu, November 2017


Pembimbing

Dr. Mulya Sundari, Sp. PD

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian

Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus

Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Dr. Mulya Sundari, Sp. PD sebagai pembimbing

yang telah bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-

masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan laporan kasus ini.

2. Teman – teman yang telah memberikan bantuan

baik material maupun moral kepada penulis dala

3. m menyusun laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus

ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis

sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua

Bengkulu, Novemeber 2017

3
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii

KATA PENGANTAR............................................................................................. iii

DAFTAR ISI........................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR............................................................................................... vi

BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1

BAB II. LAPORAN KASUS.................................................................................. 3

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 28

BAB IV. ANALISIS KASUS................................................................................. 55

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 61

4
DAFTAR TABEL

TABEL 1. KRITERIA DEMAM REMATIK ......................................................... 11

TABEL 2. KRITERIA RHEUMATOID ARTHRITIS ........................................... 12

TABEL 3. SENDI YANG TERLIBAT PADA RHEUMATOID ARTHRITIS ...... 38

TABEL 4. MANIFESTASI EKSTRAARTIKULAR.............................................. 39

TABEL 5. BENTUK- BENTUK DEFORMITAS PADA RA................................. 39

TABEL 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIC RA............................ 43

TABEL 7. SKOR DIAGNOSIS RA........................................................................ 44

5
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1. HASIL EKG ..................................................................................... 10

GAMBAR 2. NODUL SUBKUTANEUS .............................................................. 23

GAMBAR 3. RONTGEN MANUS DEXTRA ....................................................... 24

GAMBAR 4. CONTOH DEFORMITAS RHEUMATOID ARTHRITIS .............. 44

GAMBAR 5. DEFORMITAS DAN CONTOH MANIFESTASI RA .................... 45

GAMBAR 6. FOTO RONTGEN RA...................................................................... 47

GAMBAR 7. ERITEMA MARGINATUM PADA PASIEN.................................. 56

GAMBAR 8. NODUL SUBKTANEUS.................................................................. 56

GAMBAR 6. SWAN NECK DEFORMITY........................................................... 53

6
BAB I
PENDAHULUAN

Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non


supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan
ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai
banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.1
Yang sangat penting dari penyakit demam reumatik adalah dalam hal
kemampuannya menyebabkan katup-katup jantung menjadi fibrosis, yang akan
menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan
berat, dan berkomplikasi ke penyakit jantung reumatik.1
Demam rematik dapat ditemukan diseluruh dunia dan mengenai semua
umur, dimana 90% seangan pertama terdapat pada umur 5-15 tahun. Insiden
demam rematik mencapai 50 kasus tiap100.000 anak di negara-negara
berkembang. Pada tahun 1994 diperkirakan 12 juta pasien RF dan RHD diseluruh
dunia dengan 3 juta diantaranya harus dirawat berulang kali dan dalam 5-10
tahun. Mortalitas demam rematik pada tahun 2000 sebanyak 332.000.1
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronis yang belum
diketahui pasti sebabnya yang ditandai dengan poliarthritis simetris dan perifer.
Hal itu merupakan akibat dari inflamasi arthritis kronis dan sering menimbulkan
kerusakan sendi dan kelemahan fisik, dan dapat menimbulkan berbagai
manifestasi dari ekstraartikulasi, termasuk kelemahan, nodul subcutaneous,
pericarditis, neuropati perifer, vasculitis, dan abnormal hematologi.2
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi kejadian rheumatoid
arthritis relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%. Di Indonesia prevalensinya
kurang dari 4% dengan rasio 3:1 perempuan dibanding laki-laki. Serta insidensi
tertinggi ditemukan pada usia 20-45 tahun.2
Pemahaman yang diperoleh dari sejumlah hal mendasar dan penelitian
kesehatan selama lebih dari dua dekade telah merubah paradigma tentang

7
diagnosis dan manajemen Rheumatoid Arthritis saat ini. Serum antibodi untuk
cyclic citrullinated peptides (anti-CCP) sekarang telah menjadi penanda penting
dari diagnosis dan prognosis.2
Laporan kasus ini membahas mengenai demam reumatik dan rheumatoid
arthritis yang bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang
demam rematik dan rheumatoid arthritis.

8
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Air Sebakul, Kota Bengkulu
Agama : Islam
Nomor RM : 711156
Masuk RS : 6 November 2017 pukul 20.10

B. DATA SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Demam yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesis)


Sejak ± 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan demam. Demam dirasakan
hilang timbul, timbul terutama pada malam hari. Pada pagi hari hingga siang
menjelang sore hari pasien mengatakan demamnya turun bahkan pasien
merasakan badannya tidak demam namun demam dirasakan pasien meningkat
kembali pada saat menjelang malam hari. Keluhan dirasakan semakin memberat
±4 hari SMRS hingga membuat pasien lebih banyak beraktivitas dirumah
dibanding biasanya. Demam disertai lemas, kepala pusing dan nyeri sendi
berpindah yang hilang timbul dan memberat di pagi hari setelah pasien bangun
tidur. Demam turun apabila diberi obat penurun panas, lalu kemudian naik lagi.
Keluhan demam tidak disertai dengan menggigil dan berkeringat dingin. Keluhan
bintik merah dibadan disangkal pasien. Demam tidak disertai dengan mual dan
muntah, sesak napas (-), batuk (-), pilek (-), nyeri dada (-), jantung berdebar-debar
(-), penurunan nafsu makan (-). Muntah darah dan BAB bewarna hitam disangkal

9
pasien, gusi berdarah (-), mimisan ( +). Keluhan BAB cair (-), sariawan berulang
yang tidak kunjung sembuh (-), rambut mudah gugur (-), keluhan muka
kemerahan saat tekena sinar matahari (-). Pasien tidak memiliki riwayat
berpergian keluar kota dalam waktu dekat sebelumnya.
Sejak 4 bulan SMRS, pasien sering mengeluh nyeri sendi berpindah di
sekujur tubuh. Awalnya dari tangan kiri, lalu ke tangan kanan, ke sendi-sendi jari
tangan, lalu ke kaki kiri. Nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat di pagi hari.
Keluhan nyeri sendi sempat menghilang dan muncul kembali dan memberat sejak
±2 minggu SMRS. Menurut keterangan dari pasien ±2 hari setelah itu muncul
bercak kemerahan yang berjumlah satu berukuran sekepalan tangan di tungkai
bawah kaki kiri pasien secara tiba-tiba. Pasien mengaku bercak tersebut tidak
gatal, tidak nyeri, dan tidak kebas. Pasien mengaku tidak pernah jatuh
sebelumnya. Pasien mengaku tidak pernah digigit serangga di daerah tungkai
bawah kaki kiri pasien.
Pasien sebelumnya sudah dibawa berobat ke bidan didekat rumahnya, dan
mendapatkan pengobatan berupa tablet obat penurun panas yang dimakan 3x
dalam 1 hari, tablet penghilang nyeri dan 1 jenis obat lagi yang pasien lupa nama
obatnya. Obat sudah dikonsumsi selama ± 2 minggu yang awalnya dapat
meredahkan keluhan pasien namun ±4 hari SMRS keluhan dirasa tidak ada
perubahan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sakit kuning disangkal
 Riwayat asam urat tinggi tidak diketahui
 Riwayat sakit maag disangkal
 Riwayat sakit tenggorokan ada ± 3 bulan yang lalu
 Riwayat sakit kusta ± 1 tahun yang lalu (berobat di dokter dekat tempat
tinggal pasien, diberikan obat Dapson 1x100 mg selama 1 tahun, dan telah
dinyatakan sembuh oleh dokter.)
 Riwayat merokok disangkal
 Riwayat alergi tidak ada

10
 Riwayat terpajan zat iritan tidak ada
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit nyeri sendi serupa pada keluarga disangkal
 Riwayat darah tinggi pada keluarga disangkal
 Riwayat sakit kuning pada keluarga disangkal
 Riwayat sakit kusta pada keluarga disangkal
 Riwayat alergi pada keluarga disangkal

5. Riwayat Sosial
Pasien makan tiga kali sehari dengan lauk biasa dan nasi putih sebanyak
satu piring setiap kali makan. Pasien memilik kebiasaan jajan makanan di luar.
Status ekonomi menengah ke bawah.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 95 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frek. napas : 19 x/menit, reguler
Suhu : 38,1°C
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 50 kg
Status gizi : IMT = 21,3 (normoweight)

2. Status Generalis
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-),
sianosis (-), kulit kering(-).

11
Kelenjar
Kelenjar getah bening di submandibula, leher, aksila, inguinal tidak teraba.

Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi tampak sakit, warna rambut hitam keputihan,
rambut mudah rontok (-), deformitas (-).

Mata
Eksophtalmus (-), endophtalmus (-), edema palpebra (-), pterygium (+),
konjunctiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya (+),
pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung
Bagian luar hidung tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan
baik, selaput lendir dalam batas normal, sekret (-), darah (-)

Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, pendengaran baik

Mulut
Sariawan (-), pembesaran tonsil (-), faring dan tonsil hiperemis (-), gusi berdarah
(-), lidah pucat (-), lidah kotor (-), tifoid tongue (-), atrofi papil (-), stomatitis (-),
bau pernapasan khas (-)

Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar thyroid (-), JVP (5-2)
cmH2O, hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk (-)

Dada

12
Bentuk dada normal, spider naevi (-), retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok (-),
krepitasi (-)
Pemeriksaan Thorax
Paru
Inspeksi : statis: dinamis; simetris kanan = kiri
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea sternalis dextra ICS V, batas
kiri: línea midclavicula sinistra ICS V
Auskultasi : HR 95 kali/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), caput medusae (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, lien tak teraba, nyeri
ketok CVA (-/-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal

Alat kelamin
Tidak ada kelainan, duh (-)

Ekstremitas:
Ekstremitas atas
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, kulit kering, CRT < 2 detik, nyeri
sendi (+), edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, jari tabuh

13
(-), turgor kembali cepat, clubbing finger (-), eritema marginatum (-), nodul
subkutan (-), corea syndenharm (-), swan neck (+) pada tangan kanan.

Ekstremitas bawah
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, kulit kering, CRT <2 detik, nyeri
sendi (+), edema pretibial (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, akral hangat,
jari tabuh (-),turgor kembali cepat, eritema marginatum (+), nodul subkutan (-),
corea syndenharm (-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium ( 6 November 2017)
Hb : 11,2 gr/dl (N: 13,0-18,0 gr/dl)
Hematokrit : 34% (N: 37-47%)
Leukosit : 13.200 mm3 (N: 4.000-10.000 mm3)
Trombosit : 318.000 sel/ mm3 (N: 150.000-400.000)
GDS : 116 mg/dl (N: 60-120 mg/dl)
Natrium : 134 mmol/L (N: 135-155 mmol/L)
Kalium : 3,7 mmol/L (N:3,4-5,3 mmol/L)
Klorida : 96 mmol/L (96-106 mmol/L)
Widal Test :
- S. typhii O : 1/320
- S. typhii H : -
- S. paratyphii AO : -
- S. paratyphii BO : -
- S. paratyphii CO : -
- S. paratyphii AH : -
- S. paratyphii BH : -
- S. paratyphii CH : -
HbsAg : negatif
DHF Rapid Test : IgG (-), IgM (-)

14
Pemeriksaan Laboratorium ( 7 November 2017)
Urin acid : 2,6 mg/dl
RF : (+) positif
CRP : (+) positif
ASTO : (+) positif

Pemeriksaan Laboratorium ( 8 November 2017)


Ureum : 21 mg/dl
Creatinin : 0,6 mg/dl
Urin acid : 2,6 mg/dl

Pemeriksaan urin rutin :


Makroskopik :
Warna : kuning
Kejernihan : agak keruh

Kimiawi :
Protein : (-)
Reduksi : (-)
Urobilin : (++++) positif 4
Bilirubin : (-)
Benda keton : (-)

Mikroskopik :
Sedimen Urin :
Epitel : (+)
Leukosit : 1-2/Lpb
Eritrosit : 1-2/Lpb
Slinder : (-)/Lpb
Kristal : (-)
Jamu/Bakteri : (-)

15
Pemeriksaan Rekam Jantung (EKG) (8 November 2017)

Gambar 1. EKG
Interpretasi Hasil EKG :
Irama : Sinus
HR : 85x/menit
Aksis : normal
Gel P : 0,08 detik (normal)
PR interval 0,12 detik (normal)
Kompleks QRS : 0,08 detik (normal)

16
Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
Gel T : T inverted (-)
Left ventrikel hipertrofi (-), Right ventrikel hipertrofi (-)
Pemeriksaan Laboratorium ( 10 November 2017)
T3 : 0,63 nmol/l
T4 : 95,78 nmol/l
TSH : 2,39 nmol/l
LED : 5 mm/jam
Hitung jenis leukosit :
Hitung jenis leukosit basofil : 0%
Hitung jenis leukosit eusinofil : 2%
Hitung jenis leukosit netrofil batang: 0%
Hitung jenis leukosit netrofil segmen : 80%
Hitung jenis leukosit limposit : 16%
Hitung jenis leukosit monosit : 2%

E. Kriteria Demam Rematik dan Rheumatoid Arthritis


Kriteria Demam Rematik8
Tabel 1. Diagnosis Demam Rematik berdasarkan Kriteria Jones Modifikasi 2015
A. Untuk semua populasi dengan bukti infeksi Sterptococcus group A
Diagnosis : initial demam rematik akut 2 major atau 1 major dan 2 minor
Diagnosis : reccurent demam rematik akut 2 major atau 1 major dan 2 minor atau 3 minor
B. Kriteria Major
Populasi dengan resiko rendah Populasi dengan resiko sedang sampai berat
Carditis (Clinical and/or subclinical) Carditis (Clinical and/or subclinical)
Arthritis (hanya poliarthritis) Arthritis (Monoarthritis atau poliathritis)
Chorea Chorea
Erythema marginatum Erythema marginatum
Nodul subkutaneus Nodul subkutaneus
C Kriteria Minor
Populasi dengan resiko rendah Populasi dengan resiko sedang sampai berat
Poliarthralgia Monoarthralgia
Fever Fever
ESR ≥60 mm/h dan atau CRP ≥3 mg/dL ESR ≥60 mm/h dan atau CRP ≥3 mg/dL
Gelombang PR memanjang Gelombang PR memanjang
Total : 1 kriteria major + 3 kriteria minor

17
Interpretasi Hasil :
 Bila dijumpai minimal 2 major atau 1 major + 2 minor, diagnosis initial demam
rematik akut dapat ditegakkan.
 Bila dijumpai minimal 2 major atau 1 major dan 2 minor atau 3 minor, diagnosis
reccurent demam rematik akut dapat ditegakkan.
 Pada pasien didapatkan 1 major dan 3 minor dengan kejadian pertama kali yang
berarti pasien mengalami initial demam rematik akut.

Kriteria Rheumatoid Arthritis2


Tabel 2. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010
Skor
A Keterlibatan Sendi
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3
>10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5
B Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
RF dan ACPA negatif 0
RF atau ACPA positif rendah 2
RF atau ACPA positif tinggi 3
C Reaktan fase akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
LED dan CRP normal 0
LED dan CRP abnormal 1
D Lamanya sakit
Kurang 6 minggu 0
6 minggu atau lebih 1
Total : skor 6

Interpretasi Hasil :
 Bila pada pasien didapatkan skor 6 maka diklasifikasikan rheumatoid
arthritis.
 Bila pada pasien didapatkan skor kurang dari 6 maka tidak diklasifikasikan
rheumatoid arthritis.
 Pada pasien didapatkan skor 6 yang berarti pasien di diagnosis rheumatoid
arthritis.

18
F. RESUME
Sejak ± 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan demam. Demam dirasakan
hilang timbul, timbul terutama pada malam hari. Pada pagi hari hingga siang
menjelang sore hari pasien mengatakan demamnya turun namun demam dirasakan
meningkat kembali pada saat menjelang malam hari, demam tidak disertai
menggigil, berkeringat dingin (-), mual (-), muntah (-). Keluhan dirasakan
semakin memberat ±4 hari SMRS hingga membuat pasien lebih banyak
beraktivitas dirumah dibanding biasanya. Keluhan disertai kepala pusing (+),
mimisan (+). Demam turun apabila diberi obat penurun panas, lalu kemudian naik
lagi. Keluhan bintik merah dibadan disangkal pasien, penurunan nafsu makan (-),
muntah darah (-), BAB cair dan bewarna hitam (-), gusi berdarah (-), sariawan
berulang yang tidak kunjung sembuh (-), rambut mudah gugur (-), keluhan muka
kemerahan saat tekena sinar matahari (-).
Sejak 4 bulan SMRS, pasien sering mengeluh nyeri sendi berpindah di
sekujur tubuh. Awalnya dari tangan kiri, lalu ke tangan kanan, ke sendi-sendi jari
tangan, lalu ke kaki kiri. Nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat di pagi hari.
Keluhan nyeri sendi sempat menghilang dan muncul kembali dan memberat sejak
±2 minggu SMRS. Menurut keterangan dari pasien ±2 hari setelah itu muncul
bercak kemerahan yang berjumlah satu berukuran sekepalan tangan di tungkai
bawah kaki kiri pasien secara tiba-tiba. Pasien mengaku bercak tersebut tidak
gatal, tidak nyeri, dan tidak kebas. Pasien mengaku tidak pernah jatuh
sebelumnya. Pasien mengaku tidak pernah digigit serangga di daerah tungkai
bawah kaki kiri pasien.
Pasien sebelumnya sudah dibawa berobat ke bidan didekat rumahnya, dan
mendapatkan pengobatan berupa tablet obat penurun panas yang dimakan 3x
dalam 1 hari, tablet penghilang nyeri dan 1 jenis obat lagi yang pasien lupa nama
obatnya. Obat sudah dikonsumsi selama ± 2 minggu yang awalnya dapat
meredahkan keluhan pasien namun ±4 hari SMRS keluhan yang dirasa tidak ada
perubahan.

19
Pada pemeriksaan fisik perawatan hari ke 2, keadaan umum tampak sakit
sedang. Kesadaran compos mentis. Tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80
x/menit, RR 18 x/menit, T 37,8oC. Keadaan spesifik yang ditemukan yaitu
terdapat swan neck pada ekstremitas kanan atas dan eritema marginatum yang
berjumlah satu berukuran sekepalan tangan di tungkai bawah kaki kiri pasien.
Pasien mengaku bercak tersebut tidak gatal, tidak nyeri, dan tidak kebas.
Pemeriksaan EKG 8 November 2017 didapatkan hasil tidak ada kelainan pada
jantung pasien. Pemeriksaa Laboratorium tanggal 8 November 2017 didapatkan
hasil laboratorium RF (+), CRP (+), ASTO (+) dan asam urat 2,6 mg/dL.

G. Diagnosis
Demam reumatik + Rheumatoid arthritis

H. Diagnosis Banding
1. Demam tifoid
2. Penyakit Jantung Rematik
3. SLE (Systemic Lupus Erythmatous)

I. Rencana Diagnostik
Rencana Terapi
Non Farmakologi :
- Tirah baring
- Diet tinggi protein dan kalori
Rencana Farmakologi :
- Antibiotik benzatilpenicilin 1,2 juta iu (IM)
- Prednisone tab 3x4mg (Tappering off)
- DMARDSS (hidroksiklorokuin dengan dosis 200-400mg/hari)

Rencana Edukasi :

20
- Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang penyakitnya,
pengobatan, dan komplikasi dari demam rematik dan rheumatoid
arthritis.
- Dari keluarga diminta untuk membantu memonitor pengobatan pasien
sehingga dapat tuntas sesuai waktu pengobatan.

Prognosis
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

H. CATATAN PERKEMBANGAN
No. Hari/Tanggal perawatan Follow up
1 Selasa, S: Demam (+), nyeri sendi (+), mual (-), muntah (-), sakit
7/11/2017 kepala (-), mimisan (-)

O:
Keadaan Umum Sakit sedang
Sensorium Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 80x/menit
Pernafasan: 18x/menit
Suhu: 37,8° C

Keadaan Spesifik
Kepala: Normocephali, hematom (-), CA (-/-), SI (-/-),
Leher Pemb.KGB dan tiroid (-) JVP 5 – 2 cmH2O
Thorax Cor: BJ I, II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+/+) N, ronki (-/-), wh (-/-)
Abdomen Cembung, Supel, BU(+)N, Nyeri tekan (-) pada
epigastrium, nyeri ketok CVA (-/-)

21
Ekstremitas Edema (-/-), pitting edema (-/-), Akral hangat, CRT <2
detik, swan neck pada tangan kanan (+), eritema
marginatum regio cruris sinistra (+)

Lab : Hb : 11,2 gr/dl (N: 13,0-18,0 gr/dl)


Hematokrit : 34% (N: 37-47%)
Leukosit : 13.200 mm3 (N: 4.000-10.000 mm3)
Trombosit : 318.000 sel/ mm3 (N: 150.000-
400.000)
GDS : 116 mg/dl (N: 60-120 mg/dl)
Natrium : 134 mmol/L (N: 135-155 mmol/L)
Kalium : 3,7 mmol/L (N:3,4-5,3
mmol/L)
Klorida : 96 mmol/L (96-106 mmol/L)
Widal Test :
- S. typhii O : 1/320
- S. typhii H : -
- S. paratyphii AO : -
- S. paratyphii BO : -
- S. paratyphii CO : -
- S. paratyphii AH : -
- S. paratyphii BH : -
- S. paratyphii CH : -
HbsAg : negatif
DHF Rapid Test : IgG (-), IgM (-)
A: Demam tifoid
Susp Demam Rematik
P:  Diet nasi lunak TKTP
 IVFD RL gtt XX/mnt
 Ceftriaxon 2x1 g IV
 Ranitidin stop, ganti Omeprazol 1 x 1 vial IV

22
 Ketorolac 3 x 1 amp IV
 Drip Metamizol, stop
 Paracetamol 3 x 500 mg tab PO
 Vitamin B kompleks 2 x1 tab
 Usulan pemeriksaan penunjang : ASTO, CRP,
RF, Asam urat

No. Hari/Tanggal perawatan Follow up


2 Rabu, S: Demam (-), nyeri sendi berkurang, nyeri ulu
08/11/2017 hati (+), mual (-), muntah (-), sakit kepala (-),
mimisan (-)

O:
Keadaan Umum Sakit sedang
Sensorium Compos mentis
TD: 100/70 mmHg
Nadi: 72x/menit
Pernafasan: 20x/menit
Suhu 36,7° C

Keadaan spesifik
Kepala: Normocephali, hematom (-), CA (-/-), SI (-/-),
Leher : Pemb.KGB dan tiroid (-) JVP 5 – 2 cmH2O
Thorax : Cor: BJ I, II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+/+) N, ronki (-/-), wh (-/-)
Abdomen : Cembung, Supel, BU(+)N, Nyeri tekan (+)
Ekstremitas: Pitting edema (-/-), Akral hangat, CRT <2
detik, swan neck pada tangan kanan (+),
eritema marginatum (+)

Pemeriksaan EKG :

23
Hasil interpretasi EKG :
Irama : Sinus
HR : 85x/menit
Aksis : normal
Gel P : 0,08 detik (normal)
PR interval 0,12 detik
(normal)
Kompleks QRS : 0,08 detik
(normal)
Segmen ST : ST elevasi (-),
ST depresi (-)
Gel T : T inverted (-)
Left ventrikel hipertrofi (-)
Right ventrikel hipertrofi(-)

RF : (+)
Lab:
CRP : (+)
ASTO : (+)
Asam urat : 2,6 mg/dL (N:3,4-6,6 mg/dL)
A: Demam reumatik
Rheumatoid arthritis
P:  Diet nasi lunak TKTP

24
 IVFD RL gtt XX/mnt
 Ceftriaxon 2x1 g IV
 Eritromisin tab 3 x 500 mg PO
 Omeprazol 1 x 1 vial IV
 Ketorolac 2 x 1 amp IV
 Paracetamol 3 x 500 mg tab PO
 Metilpredisolon 3 x 4 mg tab PO
 Antasid syrup 3 x 1 C
 Vitamin B kompleks 1 x1 tab
 Usulan pemeriksaan penunjang : urin
rutin, ureum, creatinin, konsul Sp.JP

No. Hari/Tanggal perawatan Follow up


3 Kamis, S: Demam (-), nyeri sendi berkurang, nyeri ulu hati (-)
9/11/2017 mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), mimisan (-)

O:
Keadaan umum Tampak Sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
TD: 100/70 mmHg
Nadi: 76 x/menit
Pernafasan: 20 x/menit
Suhu 37,2° C
Keadaan spesifik
Kepala: Normocephali, hematom (-), KA (-/-), SI (-/-),
Leher Pemb.KGB dan tiroid (-) JVP 5 – 2 cmH2O
Thorax Cor: BJ I, II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+/+) N, ronki (-/-), wh (-/-)
Abdomen Cembung, Supel, BU(+)N, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas: Pitting edema (-/-), Akral hangat, CRT <2 detik, swan
neck pada tangan kanan (+), eritema marginatum (+)

25
Urin rutin : Warna kuning agak keruh, protein (-), reduksi (-),
urobilin (++++), bilirubin (-), keton (-), epitel (+),
leukosit 1-2/lpb, eritrosit 1-2/lpb, silinder (-), kristal (-)

Ureum 21 mg/dL (N: 20-40 mg/dL)


Creatinin 0,6 mg/dL (N: 0,5-1,2 mg/dL)

Hasil konsul dari Rencana Ekokardiografi di Poli Jantung


Sp.JP Tangga Ekokardiografi 28 Desember 2017
A: Demam reumatik
Rheumatoid arthritis
P:  Diet nasi lunak TKTP
 IVFD RL gtt XX/mnt
 Ceftriaxon 2x1 g IV
 Eritromisin tab 3 x 500 mg PO
 Omeprazol 1 x 1 vial IV
 Ketorolac 2 x 1 amp IV
 Paracetamol 3 x 500 mg tab PO
 Metilpredisolon 3 x 4 mg tab PO
 Vitamin B kompleks 1 x1 tab

No. Hari/Tanggal perawatan Follow up


4 Jumat, S: Keluhan pasien berkurang, keadaan umum pasien baik,
10/11/2017 pasien boleh pulang.

O:
Keadaan umum Baik
Kesadaran Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 82 x/menit

26
Pernafasan: 19 x/menit
Suhu 36,9° C

Keadaan spesifik
Kepala: Normocephali, hematom (-), CA (+/+), SI (-/-),
Leher Pemb.KGB dan tiroid (-) JVP 5 – 2 cmH2O
Thorax Pulmo: vesikuler (+/+) N, ronki (-/-), wh (-/-)
Cor: BJ I, II reguler, murmur (-), gallop (+)
Abdomen Cembung, Supel, BU(+)N, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas: Edema (-/-), pitting edema (+/+), Akral hangat, CRT
<2 detik, swan neck pada tangan kanan (+), terdapat
tremor halus pada ekstremitas atas.

Hasil Lab:
T3 0,63 nmol/L (N:0,9-2,5 nmol/L)
T4 95,78 nmol/L ( 60-120 nmol/L)
TSH 2,39 uIU/mL (0,25-5 uIU/mL)
LED 5 mm/jam
Hitung jenis Basofil 0% (0-1%), eosinofil 2% (1-6%), netrofil
leukosit batang 0% (3-5%), netrofil segmen 80% (35-70%),
limfosit 16% (20-45%), monosit 2% (2-10%)
A: Demam reumatik dengan perbaikan
Rheumatoid arthritis dengan perbaikan
P:  Diet nasi lunak TKTP
 Eritromisin tab 3 x 500 mg PO
 Paracetamol 3 x 500 mg tab PO
 Metilpredisolon 3 x 4 mg tab PO
 Vitamin B kompleks 1 x1 tab

27
Catatan Perkembangan Sewaktu Kontrol ke Poli Penyakit Dalam
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Tanggal 5 Desember 2017.

Subjectif : Pasien mengeluh nyeri sendi yang semakin memberat sejak putus
obat 1 minggu sebelum kontrol ke poli penyakit dalam, nyeri semakin memberat
di pagi hari saat pasien bangun tidur. Nyeri yang dirasakan disertai dengan demam
yang memberat pada malam hari dan disertai munculnya nodul subkutaneus pada
tangan kanan dan kiri pasien. Nodul sebesar kelereng berbatas tegas, yang tidak
sakit saat dipegang dan terasa panas.

28
Gambar 2. Nodul Subkutaneus

Kesan : nodul subkutaneus pada demam rematik

Object :
1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 5 Desember 2017
Pemeriksaan urin rutin :
Makroskopik :
Warna : kuning
Kejernihan : keruh
Kimiawi :
Protein : (+) positif 1
Reduksi : (-)
Urobilin : (+) positif 1
Bilirubin : (-)
Benda keton : (+) positif 1

Mikroskopik :
Epitel : (+)
Leukosit : 4-8/Lpb

29
Eritrosit : 1-2/Lpb
Slinder : (-)/Lpb
Kristal : (-)
Jamu/Bakteri : (+) Bakteri
Kesimpulan : proteinuria, ketonuria.

2. Pemeriksaan Rontgen Tanggal 5 Desember 2017

Gambar 3. Rontgen Manus Dextra

Kesan :
Besar dan struktur tulang manus kanan dan lainnya masih tampak normal
Sela sendi dan permukaan sendi masih baik
Tidak tampak fraktur
Tampak penurunan densitas tulang-tulang manus kanan dengan erosi
periartukuler serta hiperektensi dan fleksi pada phalang digiti 1, 4 dan 5
manus kanan, gambaran rheumatoid arthritis kanan.

3. Kriteria Demam Rematik


A. Untuk semua populasi dengan bukti infeksi Sterptococcus group A

30
Diagnosis : initial demam rematik akut 2 major atau 1 major dan 2 minor
Diagnosis : reccurent demam rematik akut 2 major atau 1 major dan 2 minor atau 3 minor
B. Kriteria Major
Populasi dengan resiko rendah Populasi dengan resiko sedang sampai berat
Carditis (Clinical and/or subclinical) Carditis (Clinical and/or subclinical)
Arthritis (hanya poliarthritis) Arthritis (Monoarthritis atau poliathritis)
Chorea Chorea
Erythema marginatum Erythema marginatum
Nodul subkutaneus Nodul subkutaneus
C Kriteria Minor
Populasi dengan resiko rendah Populasi dengan resiko sedang sampai berat
Poliarthralgia Monoarthralgia
Fever Fever
ESR ≥60 mm/h dan atau CRP ≥3 mg/dL ESR ≥60 mm/h dan atau CRP ≥3 mg/dL
Gelombang PR memanjang Gelombang PR memanjang
Total : 2 kriteria major + 3 kriteria minor

Interpretasi Hasil :
 Bila dijumpai minimal 2 major atau 1 major + 2 minor, diagnosis initial demam
rematik akut dapat ditegakkan.
 Bila dijumpai minimal 2 major atau 1 major dan 2 minor atau 3 minor, diagnosis
reccurent demam rematik akut dapat ditegakkan.
 Pada pasien didapatkan 2 major dan 3 minor dengan kejadian pertama kali yang
berarti pasien mengalami initial demam rematik akut.

4. Kriteria Rheumatoid Arthritis


Tabel 2. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010
Skor
A Keterlibatan Sendi
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3
>10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5
B Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
RF dan ACPA negatif 0
RF atau ACPA positif rendah 2
RF atau ACPA positif tinggi 3
C Reaktan fase akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
LED dan CRP normal 0
LED dan CRP abnormal 1
D Lamanya sakit
Kurang 6 minggu 0

31
6 minggu atau lebih 1
Skor : 6

Interpretasi Hasil :
 Bila pada pasien didapatkan skor 6 maka diklasifikasikan rheumatoid
arthritis.
 Bila pada pasien didapatkan skor kurang dari 6 maka tidak diklasifikasikan
rheumatoid arthritis.
 Pada pasien didapatkan skor 6 yang berarti pasien di diagnosis rheumatoid
arthritis.

Assesment : Demam Rematik + Rheumatoid Arthritis

Planning :
a. Non Medikamentosa
1. Istirahat secara teratur
2. Kurangi aktifitas berat
3. Meminum obat secara teratur
4. Rutin kontrol ke poli penyakit dalam

b. Medikamentosa
1. Sulcolon 1x500 mg
2. Antasid syr 3x CI
3. Metil prednisolone 3x4mg
4. Ertromisin 3x500mg
5. Lansoprazole 1x30mg
6. Neurodex 1x1

32
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Reumatik
1. Definisi 1
Demam reumatik adalah penyaakit inflamasi akibta reaktivitas
silang-antibodi setelah infeksi Streptococcus β hemolyticus grup A yang
terjadi secara akut ataupun berulang.

2. Faktor Predisposisi 1,5,6


Faktor Individu
a. Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada
satu keluarga maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga
variasi genetik merupakan alasan penting mengapa hanya sebagian
pasien yang terkena infeksi Streptococcus menderita demam reumatik,
sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan.
b. Jenis Kelamin
Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan
wanita. Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering
ditemukan pada salah satu jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh

33
lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Kelainan katub
sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga
menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa
berupa stenosis mitral lebih sering ditemukan pada wanita, sedangkan
insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki.
c. Golongan Etnik dan Ras
Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor
lingkungan yang berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut
berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. Yang telah
dicatat dengan jelas ialah terjadinya stenosis mitral. Di negara-negara
barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah
serangan penyakit jantung reumatik akut. Tetapi data di India
menunjukkan bahwa stenosis mitral organik yang berat seringkali
sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan-3 tahun
setelah serangan pertama.
d. Umur 
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar
umur 8 tahun. Tidak  biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5
tahun dan sangat jarang sebelum umur 3 tahun atau setelah 20 tahun.
Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
Streptococcus pada anak usia sekolah.
e. Keadaan gizi dan adanya penyakit lain
Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi. Hanya
sudah diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang
menderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

Faktor-faktor Lingkungan
a. Keadaan sosial ekonomi yang buruk 
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Termasuk dalam
keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang

34
buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan
sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang sakit sangat
kurang, pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan
kesehatan kurang dan lain-lain.
b. Iklim dan Geografi
Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi
data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai
insidens yang tinggi, lebih tinggidaripada yang diduga semula Di
daerah yang letaknya tinggi insidennya lebih tinggi daripada di dataran
rendah.
c. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens
infeksi saluran nafas meningkat, sehingga insidens demam reumatik
juga meningkat. 6

3. Patogenesis 5,6,7
Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat,
namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui.
Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk
dalam penyakit autoimun. Streptococcus diketahui dapat menghasilkan
tidak kurang dari 20 produk ekstrasel, yang terpenting diantaranya ialah
streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, disfosforidin
nukleotidase, deoksiribonuklease serta Streptococcal erythrogenic toxin.
Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.2 Demam reumatik
diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap
beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya
reaksi silang antibodi terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang
mempunyai susunan antigen mirip antigen streptococcus, hal inilah
yang menyebabkan reaksi autoimun.
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal
dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi

35
streptococcus. Lebih kurang 80% penderita demam reumatik/penyakit
jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini. Bila
dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka pada
95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan
peninggian atau lebih antibodi terhadap Streptococcus. Penelitian
menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki
reaktivitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang
imunologik di antara karbohidrat streptokokus dan glikoprotein katup, di
antara membran protoplasma streptokokus dan jaringan saraf subtalamus
serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilagoartikular.
Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan
keterlibatan organ multiple pada demam reumatik.
Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya
diterima. Adanya antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien
tanpa demam reumatik mendorong penelitian mediator imun lain. Data
muthakir menunjukkan pada sitotoksitas yang ditengahi oleh sel sebagai
mekanisme alternatife untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan
bahwa limfosit darah perifer pasien dengan karditis reumatik akut adalah
sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum
penderitademam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini
memberi kesan bahwa antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai
pengaruh protektif dalam pejamu tersebut. Sekarang hipotesis yang paling
banyak dipercaya adalah bahwa mekanisme imunologik, humoral atau
selular, menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik.

4. Manifestasi Klinis 1,5,6,7  


a. Nyeri tenggorok : hanya sekitar 35-60% pasien mengingat adanya
gejala infeksi saluran napas atas yang terjadi beberapa minggu
sebelumnya.
b. Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 30-60%
pasien, yang cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan

36
mutakhir. Pada pemeriksaan fisik ditemukan takikradi, kardiomegali,
bunyi jantung III, regurgitasi mitral, regurgitasi aorta, bising mid-
diastolik sampai akhir diastolik yang bernada rendah (bising Carey-
Coombs), ronkhi basah halus, edema. Kelainan katup dipastikan
dengan pemeriksaan echocradiography.
c. Poliartritis
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi,
ditandai oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam.
Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat istirahat
yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif  biasanya merupakan
tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat pergerakan
sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis.
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia
hanya terjadi nyeri ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar
paling sering terkena, yang terutama adalah sendi lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil jarang
terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritismigrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh
secara spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian
muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar
pasien,artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap
lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan
cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan
artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian aspirin.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan
kelainan kecuali efusi. Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh
diabaikan,ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang berat maupun
yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan
skrining kolagen yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang
rinci serta pemeriksaan fisis yang cermat.
d. Korea Sydenham

37
Gangguan neurologis yang ditandai gerakan involunter, kelemahan
muskular, instabilitas emosi, dan perubahan kepribadian. Gerakan
jerking yang terjadi biasanya cepat, tidak terkoordinasi, dan timbul
pada tangan, kaki, atau wajah. Biasanya ditemukan pada usia muda
atu perempuan. Hal ini akibat reaksi autoantibodi dengan gangliosida
otak. Chorea dapat berlangsung selama 2-3 tahun, tetapi tidak
meninggalkan kerusakan permanen.

e. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan
jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk
dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan menunjukkan bahwa
eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 20% pasien.
Erupsi eritematosa pada batang tubuh dengan pola serpiginosa, tidak
gatal, dan tidak nyeri.
f. Nodus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade
terakhir, saat ini jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung
reumatik kronik. Penelitian mutakhir melaporkan frekuensi nodul
subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari Utah
nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut
dan persendian kaki. Kadang nodus ditemukan pada kulit kepala dan
di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak
nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan pada pasien
demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat menghilang
daripadanodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak
menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul
sesudah beberapa minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan
pada pasien dengan karditis.
g. Gejala lain : demam, nyeri abdomen, artralgia, malaise, dan epistaksis.

38
5. Diagnosis1,5,6
Diagnosis ditegakkan dengan kriteria Jones (dengan revisi):
 Membutuhkan 2 kriteria mayor ATAU 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor ditambah bukti infeksi Streptococcus sebelumnya
 Kriteria mayor :
o Nodul subkutan : nodul berkonsistensi keras, berukuran
kacang polong, tidak nyeri, terutama pada permukaan
ekstensor
o Pankarditis : inflamasi yang melibatkan perikardium,
endokardium, dan miokardium
o Arthritis migratorik : sendi sangat nyeri, merah, bengkak,
dan hangat ; terutama sendi besar
o Chorea Sydenham : dapat ditandai dengan gerakan
involunter, kesulitan menulis;
o Eritema marginatum : makula berwarna merah muda
dengan pucat di daerah sentral.
 Kriteria minor :
o Poliartralgia
o Demam
o Peningkatan laju endap darah atau C-reactive protein atau
leukositosis
 Bukti riwayat infeksi Streptococcus (dalam 45 hari terakhir) :
o Interval PR memanjang
o Peningkatan titer anti-streptolysin O (ASTO)
o Kultur tenggorok positif
o Rapid antigen positif
o Riwayt scarlet fever postif

6. Pengobatan

39
a. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera
dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan
streptococcus dari tonsil dan faring sama dengan cara untuk
pengobatan faringitis sterptococcus yakni pemberian penisilin
benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan
berat badan > 30kg atau 600 000-900 000 unit untuk pasien dengan
berat badan < 30 kg. Penisilin oral,400 000 unit (250 mg) diberikan
empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif.
Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang sama
dengan maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan
untuk pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang
diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan
faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama lebih
disukai dokter karena reliabilitasnya serta efektifitasnya
untuk profilaksis infeksi streptokokus.
b. Obat analgesik dan anti-inflamasi
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi
radang akut demam reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons
yang cepat dari artritis terhadap salisit dapat membantu diagnosis.
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam
dosis total 100mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi
selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/hari selama 2-6 minggu
berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus
diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan
tinitus dan hiperpnea.
Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal
jantung aspirin seringkali tidak cukup untuk mengendalikan demam,
rasa tidak enak serta takikardia, kecuali dengan dosis toksik atau
mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid; prednison
adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan

40
dosis terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut
dan parah, terapi harus dimulai dengan metilprednisolon intravena
(10-40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2-3 minggu
prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis harian
sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin
dengan dosis 75mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan
selama 6 minggu setelah prednison dihentikan. Terapi ’tumpang
tindih’ ini dapat mengurangi insidens rebound  klinis pasca terapi,
yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi
dihentikan atau sementara prednison diturunkan, tanpa
infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan untuk pasien dengan
karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih
baik,demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada
dengan salisilat.
Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan
selama berbulan-bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak
berat, tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan tidak perlu mengubah tata
laksana medik. Sebaliknya kadar CRP yang tetap tinggi menandakan
perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut harus diamati
dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap tenang
lebih dari dua bulan setelah penghentian antiradang, maka demam
reumatik tidak akan timbul lagikecuali apabila terjadi infeksi
streptokokus baru.
Tirah baring dianjurkan selama masa karditis akut. Pasien kemudian
harus diizinkan untuk melanjutkan  kembali aktivitasnya yang normal
secara bertahap. Hindarkan pemulihan aktivitas yang cepat pada
pasien yang sedang menyembuh dari karditis berat. Sebaliknya, kita
harus mencegah praktek kuno yang mengharuskan tirah baring untuk
waktu yang lama sesudah karditis stabil dan gagal jantung mereda,
karena takut memburuk atau kumatnya karditis. Meskipun telah ada

41
pedoman tirah baring, namun dalam pelaksanaannya harus
disesuaikan kasus demi kasus.
c. Pengobatan Korea Sydenham
Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah
baring. Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin
dapat mengendalikan korea. Obat ini sangat bervariasi. Fenobarbital
diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol
dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2
mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali
pada kasus yang sangat berat, dapat diberi steroid.

7. Pencegahan Sekunder 1,5,6,7 


Pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan adalah cara
yang paling dapat dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada
pasien dengan resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun
nyeri suntikan dapat berlangsung lama, pasien yang lebih tua lebih suka
cara ini karena dapat dengan mudah teratur melakukanya satu kali setiap 3
atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin oral yang harus setiap
hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer (terapi
faringitis), terbukti lebih efektif daripada penisilin oral untuk pencegahan
sekunder. Sulfadiazin juga jauh lebih murah daripada eritromisin.
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung
pada berbagai faktor, termasuk waktu serangan atau serangan ulang, umur
pasien, dan keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan makin besar
kemungkinan kumat; setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung
menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah
serangan terakhir.
Pasien dengan karditis lebih mungkin kumat daripada pasien tanpa
karditis. Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan
sekunder disesuaikan secara individual; beberapa prinsip umum dapat
dikemukakan. Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya diberikan

42
profilaksis minimum 5 tahun sesudah serangan terakhir, sekurangnya
sampai umur 18 tahun. Pasien dengan keterlibatan jantung
dilakukan pencegahan setidaknya sampai umur 25 tahun, dan dapat lebih
lama jika lingkungan ataufaktor risiko lain mendukungnya.
Evaluasi pengobatan setiap 5 tahun. Risiko terjadi kekambuhan
paling tinggi dalam 5 tahun pertama. Pencegahan sekunder harus
dilanjutkan selama pasien hamil; akan tetapi sebaiknya tidak dipakai
sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya
mempunyai masalah khusus terutama dalam ketaatannya minum obat,
sehingga perlu upaya khusus mengingat resiko terjadinya kumat cukup
besar. Untuk pasien penyakit jantung reumatik kronik, pencegahan
sekunder untuk masa yang lama, bahkan seumur hidup kadang diperlukan,
terutama pada kasus yang berat.

8. Prognosis 1,5,6,7
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat
keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat,
komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju (hampir
0%) namun masih sering ditemukan dinegara berkembang (1-10%). Selain
menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga mempengaruhi
kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah
serangan demam reumatik akut. Sebelum penisilin, persentase pasien
berkembang menjadi penyakit valvular yaitu sebesar 60-70%
dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya sebesar 9-39%.

B. Rheumatoid Arthritis
1. Definisi 2,3,4
Rheumatoid arthritis adalah penyakit inflamasi kronis sistemik
autoimun, terutama dari sendi yang ditandai dengan pembengkakan dari
nyeri sendi, serta destruksi membran sinovial persendian. Rheumatoid

43
arthritis dapat mengakibatkan terjadinya disabilitas berat serta mortalitas
dini.

2. Etiologi 2,3,4
a. Faktor Genetik
Walaupun faktor penyebab maupun patogenesis AR yang sebenarnya
hingga kini tetap belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti
produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II HLA-DR (HLA-
DR1 dan HLA-DR4.Biasanya merupakan kombinasi dari faktor
genetic, lingkungan, hormonal dan faktor system reproduksi.
b. Hormon Seks
Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormon seks
merupakan salah satu faktor predisposisi penyakit ini. Sebagai contoh,
prevalensi AR diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita
dibandingkan dari kaum pria. Rasio ini dapat mencapai 5 : 1 pada
wanita dalam usia subur.
c. Aloantibodi
Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-
DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitope HLA-DR yang
mengakibatkan perbaikan penyakit.
d. Adanya perubahan profil hormon
Placental corticotropin-releasing hormone secara langsung
menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang
merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh
sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon
imun humoral dan seluar. DHEA merupakan substrat penting dalam
sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesterone menstimulasi
respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular
(Th2). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga
estrogen dan progesterone mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah

44
perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR
yang lebih berat.

3. Patofisiologi 2,3,4
Arthritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang
menyebabkan degenerasi jaringan penyambung. Jaringan penyambung
yang biasanya mengalami kerusakan adalah membran sinovial yang
melapisi persendian. Inflamasi akan menyebar ke struktur sekitar sendi,
termasuk kartilago artikular dan kapsula sendi fibrosa. Akhirnya, ligamen
dan tendon mengalami inflamasi. Inflamasi ini ditandai oleh akumulasi sel
darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan
jaringan parut.
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari ploriferasi makrofag dan
fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus berupa autoimun atau
infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi
sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang ireguler pada jaringan sinovial
yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus
menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin,
interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan yang dilepaskan sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komlikasi sistemik.
Dengan kata lain adalah penyakit ini terjadi pada individu rentan
setelah respon imun terhadap agen pemicu yang tidak diketahui. Agen
pemicunya bisa adalah bakteri, mikoplasma, atau virus yang menginfeksi
sendi secara antigenik. Biasanya respons antibodi awal terhadap
mikroorganisme diperantarai oleh IgG. Walaupun respons ini berhasil
menghancurkan mikroorganisme, individu yang mengalami penyakit ini
mulai membentuk antibodi lain terhadap antibodi IgG awal. Antibodi yang
ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut sebagai faktor rematoid

45
(RF). RF akan menetap di kapsul sendi sehingga menyebabkan inflamasi
kronis dan kerusakan jaringan.
CD4 , T sel, fagosit mononuklear, fibroblas, osteoklas, dan neutrofil
memainkan peran selular utama dalam patofisiologi RA, sedangkan
limfosit B memproduksi autoantibodi (yaitu, arthritis faktor [RF]).
Produksi sitokin abnormal banyak, kemokin, dan mediator inflamasi lain
(misalnya, tumor nekrosis faktor alfa [TNF-alpha], interleukin (IL) -1, IL-
6, mengubah beta faktor pertumbuhan, IL-8, faktor pertumbuhan
fibroblast, trombosit yang diturunkan dari faktor pertumbuhan) telah
ditunjukkan pada pasien dengan RA.
Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun tersebut terutama terjadi
pada jaringan synovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim
dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga
terjadi edema, proliferasi membran synovial.
Pada inflamasi kronis, membran sinovial mengalami hipertrofi dan
menebal sehinggamenyumbat aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi
nekrosis sel dan respons inflamasi. Inflamasi mula-mula mengenai sendi-
sendi synovial disertai edema, kongesti vascular eksudat fibrin dan
inflamasi selular. Peradangan yang berkelanjutan menyebabkan synovial
menjadi menebal terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulasi membentuk pannus atau penutup yang menutupi
kartilago. Pannus masuk ke tulang subchondral. Jaringan granulasi
menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago
artikuler. Kartilago menjadi nekrosis. Panus akan meghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya menghilangkan
permukaan sendi yang akan mengalami perubahan generative dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.
Tingkat erosi dari kartilago persendian menentukan tingkat
ketidakmampuan sendi. Pannus ini dapat menyebar ke seluruh sendi
sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut lebih
lanjut. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi di antara

46
permukaan sendi , karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis)
sehingga sendi tidak dapat digerakkan terutama pada sendi tangan dna
kaki. Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligament
menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari
persendian. Invasi dari tulang subcondral bisa menyebabkan osteoporosis
setempat. Lamanya rheumatoid arthritisberbeda pada setiap orang ditandai
dengan masa adanya serangan dan tidak adanya serangan.
Sementara orang ada yang sembuh dari serangan pertama dan
selanjutnya tidak terserang lagi. Yang lain terutama yang mempunyai
factor rematoid, gangguan akan menjadi kronis yang progresif. Pada
sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai kerusakan
sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.
Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada
AR, antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur
persendiansehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus.

4. Manifestasi Klinis 2,3,4


Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut
yang berkembang cepat dalam beberapa hari, pada umumnya gejala
penyakit ini berkembang secara perlahan dalam masa beberapa minggu.
Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic
rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang
berlangsung antara 3-5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna
sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas. Dalam keadaan ini AR
juga dapat bermanifesatsi sebagai pauciarticular rheumatism, yaitu gejala
poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran
klinis seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan
diagnosis AR dalam masa dini.

a. Manifestasi Artikular 2,3,4

47
Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi 2 kategori:
1) Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel
 Kekakuan sendi di pagi hari, dapat berlangsung > 2 jam bila
tidak diberi pengobatan adekuat. Berbeda dengan rasa kaku
yang dapat dialami osteoartrosis atau kadang oleh orang
normal, kaku pagi AR berlangsung lebih lama, yang pada
umumnya lebih dari 1 jam. Kaku pagi hari pada AR
agaknya berhubungan dengan lamanya pada saat pasien
tidur serta beratnya inflamasi. Faktor lain kaku pagi hari
adalah inflamasi akibat sinovitis.
 Dapat ditemukan tanda sinovitis: kemerahan, bengkak,
panas, maupun nyeri. Pada keadaan kronis, hal tersebut
terutama disebabkan oleh granulasi dan fibrosis.
2) Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat
ireversibel
Kerusakan persendian akibat penipisan kartilgo sendi dan erosi
tulang periratikuler.

Tabel 3. Sendi yang Terlibat pada Artritis Reumatoid

b. Manifestasi Ekstraartikular 2,3,4


Walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di negara barat nodul reumatoid
merupakan suatu gejala AR yang patognomonik. Nodul reumatoid
umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit pada lokasi
yang banyak menerima tekanan seperti olekranon, ulna, jari tangan, tendon

48
Achilles atau bursa olecranon. Manifestasi ekstraartikuler, artritis
reumatoid juga dapat menyerang juga dapat menyerang organ - organ lain
di luar sendi.
c. Deformitas 2,3,4
Kerusakan dari struktur - struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Dapat terjadi pergeseran urnal atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangenal, deformitas boutonnière, dan leher angsa merupakan
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada
kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder
dari subluksasi matatersal. Sendi - sendi yang sangat besar juga dapat
terserang dan akan mengalami pengurangan kemampuan bergerak
terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.

Tabel 4. Manifestasi Ekstraartikular Tabel 5. Bentuk-bentuk deformitas pada AR

49
Gambar 4. Contoh Deformitas pada AR

Gambar 5. Deformitas dan contoh manifestasi AR pada bagian tubuh lain

5. Pemeriksaan Penunjang 2,3,4


Tidak ada test diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi
diagnosis AR. The America Collage of Rheumatology Subcomittee on
Rheumatoid Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan
laboratorium dasar untuk elevasi abtara lain : darah perifer lengkap
(complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju endap darah
(LED), atau C-reactive protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal
juga direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi.
Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan
pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita RA yang
mempunyai resiko tinggi mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk
menilai penderita AR antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI
( Magnetic Resomance Imaging). Pada awal perjalanan penyakit mungkin
hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada

50
pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan
lebih banyak ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah
karakteristik untuk Ar dan chronic inflammatory arthritides lainnya.
Hilangnya tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul setelah
beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderita AR
akan mengalami erosi tulang dalam 2tahun pertama penyakit, dimana hal
ini menandakan penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa
tampak pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada sendi
metacarpiphalangeal, metatarsophalangeal dan pergelangan tangan.
Foto polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis,
menilai kerusakan sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan terapi
pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya erosi lebih
awal dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi konvensional dan
mampu menampilkan struktur sendi secara rinci, tetapi membutuhkan
biaya yang lebih tinggi.

 Pemeriksaan cairan synovial


Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
 Pemeriksaan darah tepi
1. Leukosit : normal atau meningkat. Leukosit menurun bila terdapat
splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty's Syndrome.Leukosit
5.000 - 50.000/mm , menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
2. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
 Pemeriksaan kadar sero-imunologi
a. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita
dengan nodul subkutan. Sisanya dapat dijumpai hasil positif palsu pada
pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa,
SLE, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis. Kadar

51
rendah juga dapat ditemukan pada orang normal berusia di atas 70
tahun.
b. Anti CCP (cyclic citrulinated peptide antibody) positif telah dapat
ditemukan pada arthritis rheumatoid dini. Tes ini digunakan untuk
mendeteksi adanya antibodi citrulline di darah. Asam amino citrulline
ditemukan dalam cairan sendi penderita RA. Adanya citrulline ini akan
menyebabkan sistem imu membentuk auto antibodi terhadap citrulline
(anti CCP). Anti CCP ini biasanya dapat ditemukan pada sekitar 50-
60% penderita RA awal sekitar 3-6 bulan setelah timbulnya gejala
c. C-reaktif protein biasanya meningkat. Peningkatan ini tampak pada
70-80% penderita. Biasanya meningkat menjadi > 0,7 picograms per
mL, dapat digunakan untuk memantau penyakit saja.

 Pemeriksaan radiologi
Pada penderita RA, biasanya didapati tanda-tanda dekalsifikasi
pada sendi yang terkena. Pemeriksaan foto rontgen dilakukan untuk
melihat progesifitas penyakit RA. Pemeriksaaan ini dapat memonitor
progresifitas dan kerusakan sendi jangka panjang. Foto Rontgen, biasanya
ditemukan deformitas tulang. Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak
ditemukan kelainan pada radiologi, kecuali pembengkakan jaringan lunak.
Tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, maka dapat
terlihat penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi sendi dan
pengurangandensitas tulang, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering
terkena. Perubahan ini bersifat irreversible.

52
Gambar 6. Foto Rontgen rheumatoid arthritis
 Pemeriksaan Patologik Anatomik
Pada penderita reumatoid artritis, terlihat adanya hipertrofi dari vili pada
sendi, penebalan jaringan sinovial, adanya sebukan sel-sel radang
mendadak dan menahun, jaringan fibrosit dan pusat-pusat nekrosis. Semua
ini akan menghasilkan pembengkakan sendi yang amat nyeri, baik dalam
keadaan diam maupun saat digerakkan. Dan pembentukan pannus yang
amat cepat akan menerobos tulang rawan sendi, periosteum, dan
seterusnya sehingga pada akhirnya sendi tersebut akan penuh dengan
pannus yang berlapis-lapis.
Bila pannus ini sudah mengisi seluruh rongga sendi, maka pannus ini
lambat laun merupakan anyaman yang bertaut, sehingga akhirnya timbul
ankilosis di mana sendi tidak dapat digerakkan. Proses penerobosan
pannus ke dalam tulang akan berlangsung terus sehingga pada suatu saat
tulang jadi rapuh dan hancur. Akibatnya timbul deformitas, subluksasi,
luksasi bahkan destruksi yang hebat. Akibatnya, otot-otot di sekitar sendi
tidak digunakan lagi dan timbul dis-used atrophy yang menyebabkan
penderita akan cacat dan sendi-sendi besarnya juga mengalami ankilosis.

Tabel 6. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk Artritis Reumatoid

53
6. Diagnosis 2,3,4
Diagnosis AR ditegakkan jika ditemukan setidaknya kriteria 1 sampai
4 yang dialami minimal 6 minggu. Selain kriteria di atas, dapat pula
digunakan kriteria diagnosis AR berdasarkan skor dari American College
of Rheumatology dan The European League Against Reumatism
(ACR/EULAR) 2010 (Tabel 6). Jika skor yang didapat ≥ 6 minggu, maka
pasien pasti menderita AR. Sebaliknya jika skor <6, pasien mungkin
memenuhi kriteria AR secara prospektif (gejala kumulatif) maupun
retrospektif (dari daa keempat dominan didapatkan dari riwayat penyakit).

Tabel 7. Skor Diagnosis Artritis Reumatoid (sumber: ACR/EULAR, 2010)


Distribusi Sendi (0-5)
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 3
>10 sendi (minimal satu sendi kecil) 5
Serologi (0-3)
RF negative DAN ACPA negative 0
Positif rendaf RF ATAU positif rendah ACPA 2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1

7. Tatalaksana 2,3,4

54
Tujuan utama dari program pengobatan pada reumatoid artritis adalah
untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi
dan kemampuan maksimal dari penderita, serta mencegah dan atau
memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi. Selain itu, dengan adanya
program pengobatan ini dapat mengusahakan agar pasien dapat tetap bekerja
dan hidup secara biasa baik di rumah maupun di tempat kerja, terutama
mengatasi kerperluan-keperluan dirinya sehari-hari.

 Medikamentosa
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat
anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri,
glukokortikoid dosis rendah atau intaartikular dan DMARDs (Disease-
modifying antirheumatic drugs). Analgetik lainnya juga mungkin
digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone, dan lidokain
topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR
menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk
mengurangi gejala dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis
atau penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala.
Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih
disukai, yaitu pemberiam DMARDs sedini mungkin untuk menghambat
perburukan penyakit. Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang
didapat dari beberapa penelitian, yaitu; (1) kerusakan sendi sudah terjadi
sejak awal penyakit; (2) DMARDS memberikan manfaat yang bermakna
bila diberikan sedini mungkin; (3) manfaat DMARDs bertambah
biladiberikan secara kombinasi; (4) sejumlah DMARDs yang baru sudah
tersedia dan terbukti memberikan efek menguntungkan.
Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis
normal, bila dimulai dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat,
sulfasalazin atau minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi
pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau ada perubahan
radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa

55
dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azhathioprine
atau terapi kombinasi (MTX ditambah satu DMARDS yang terbaru) bisa
dipertimbangkan. Kategori obat secara individual akan dibahas dibawah
ini.

a) Penggunaan OAINS dalam pengobatan AR


Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umumnya diberikan
pada pasien AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun
belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna.Selain dapat mengatasi
inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklo-oxyge-
nase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah
hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi
jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
o Memungkinkan stabilisasi membran lisosonial
o Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin,
serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
o Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
o Menghambat proliferasi selular
o Menetrahsasi radikal oksigen
o Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna
dalam pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu
satunya obat yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan
karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi
rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR.

b) Kortikosteroid

56
Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid
dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena
obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah
(seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat
sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARDS
mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat
diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan
yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu

c) DMARDS
Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat
obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARDS. Jenis-jenis yang
digunakan adalah :

Hidroksiklorokuin, Klorokuin Fosfat, paling banyak digunakan
karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah
dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran hidrosiklorokuin
200-400 mg/hari dan klorokuin fosfat 250 mg/hari Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa mual, sakit kepala, sakit
perut, myopati, dan toksisitas pada retina.

Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam
dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai
mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat
diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang
sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak
terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang
lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya mual, diare, sakit kepala,
ulkus mulut, ruam, alopesia, gangguan fungsi hati, penurunan
leukosit dan trombosit.

D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja menghambat sel T
helper dan angiogenesis. Digunakan dalam dosis 250-750 mg/hari.

57
Efek samping antara lain mual, hilangnya rasa kecap, penurunan
trombosit yang reversibel.

Garam emas (Myochrysine). Khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST)
diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama
sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20
mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu
selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan
sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan,
dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan
remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis,
proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis
yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg.
Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan
diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.

Terapi Kombinasi
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk
penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salat satu dari
kombinasi berikut: MTX + hidroksiklorokuin, MTX +
hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX + sulfasalazine +
prednisone, MTX + leflunomid.

 Non Medikamentosa
a. Edukasi
Langkah pertama dari program penatalaksanaan artritis reumatoid adalah
memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada
pasien, keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan pasien.
Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pengertian tentang
patofisiologi penyakit, penyebab dan prognosis penyakit, semua
komponen program penatalaksanaan termasuk obat yang kompleks,

58
sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit, dan metode- metode
yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan.

b. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat
kemampuan pasien AR dengan cara :

• Mengurangi rasa nyeri


• Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
• Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
• Mencegah terjadinya deformitas
• Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
• Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang
lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan
modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan
ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam
pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.

c. Fisioterapi / latihan
Disamping itu latihan - latihan spesifik dapat bermanfaat dalam
mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan
pasif pada semua sendi yang sakit, dan sebaiknya dilakukan sedikitnya dua
kali sehari. Obat-obatan penghilang nyeri mungkin perlu diberikan
sebelum latihan. Latihan ini dilakukan sebagai pencegahan terhadap cacat
yang lebih lanjut dan bila sudah terjadi cacat, dicoba dilakukan rehabilitasi
bila masih memungkinkan. Di samping bentuk latihan, sering pula
diperlukan alat bantu.

59
BAB IV
ANALISIS KASUS

A. DAFTAR MASALAH
1. Demam Reumatik
2. Rheumatoid Arthritis

B. ANALISIS MASALAH
1. Demam Reumatik
Dari anamnesis, didapatkan riwayat persendiannya sakit dan kerap
berpindah-pindah. Pasien mengaku pernah nyeri tenggorokan ± 3 bulan
sebelumnya, dan sudah diobati. Pasien mengaku muncul bercak kemerahan yang
berjumlah satu berukuran sekepalan tangan di tungkai bawah kaki kiri pasien
secara tiba-tiba. Pasien mengaku sejak ± 2 minggu SMRS muncul bercak
kemerahan, bercak tersebut tidak gatal, tidak nyeri, dan tidak kebas,.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh demam. Demam dirasakan
hilang timbul, dan memberat sejak ± 4 hari SMRS. Keluhan demam disertai
dengan nyeri sendi berpindah yang sering hilang timbul yang memberat terutama
pagi hari. Pasien juga mengaku ada mimisan.

60
±2 minggu setelah keluar dari RS, pasien mengalami putus obat selama 1
minggu. Setelah putus obat 1 minggu, pasien mengeluh demam yang semakin
memberat dimalam hari dan disertai dengan munculnya benjolan-benjolan di
tangan kanan dan kiri pasien (nodul subkutaneus), benjolan sebesar kelereng
berbatas tegas, yang tidak sakit saat dipegang dan terasa panas.
Pada pemeriksaan fisik, faring hiperemis (-), pada regio thoraks, tidak
didapatkan murmur maupun gallop. Pada ekstremitas didapatkan makula
berwarna merah muda dengan pucat di daerah sentral, gatal (-), nyeri (-), baal (-)
(eritema marginatum yang khas untuk demam reumatik)

Gambar 7. Eritema marginatum pada pasien

61
Gambar 8. Nodul Subkutaneus

Pemeriksaan Penunjang :
 Kultur tenggorok : tidak dilakukan
 Pemeriksaan darah perifer : 13.200 mm3 (leukositosis)
 LED : 5 mm/jam (N: 8-15 mm/ jam)
 CRP : (+)
 ASTO : (+)
 Cek T3, T4, dan TSH untuk menyingkirkan hipertiroid, mengingat
pasien didapatkan tremor halus di ekstremitas atas, hasilnya T3 0,63
nmol/L (N: 0,9-2,5 nmol/L), T4 95,78 (N:60-120 nmol/L), TSH 2,39
(N:0,25-5 uIU/mL), artinya fungsi tiroid normal, dan kemungkinan
gerakan involunter yang ditimbulkan adalah manifestasi dari demam
reumatik.
 Ekokardiografi : direncanakan (28 Desember 2017)
 Foto toraks : untuk melihat karditis yang ditentukan oleh derajat
kardiomegali , belum dilakukan

Terapi yang diberikan:


 Eritromisin 3 x 500 mg

62
 Metilprednisolon tab 3 x 4 mg
 Paracetamol 3 x 500 mg tab PO

Edukasi:
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita, rencana diagnostik dan terapi
yang akan diberikan.

Pembahasan :
 Diagnosis demam reumatik ditegakkan berdasarkan kriteria Jones, yaitu 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor ditambah bukti
infeksi Streptococcus sebelumnya.
 Pasien ditegakkan diagnosis demam reumatik dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang berdasarkan kriteria Jones.
 Berdasarkan kriteria Jones, pasien ini sudah memenuhi kriteria mayor
(eritema marginatum, nodul subkutaneus), kriteria minor (poliartralgia,
demam, CRP positif, leukositosis), dengan bukti riwayat infeksi
Streptococcus (ASTO (+)). Dengan demikian, diagnosis demam reumatik
sudah tepat.
 Pasien diberikan Eritromisin 3 x 500 mg, Metilprednisolon tab 3 x 4 mg.
Sebenarnya, benzatin penisilin intramuskular masih merupakan pilihan
pertama untuk demam reumatik, tetapi dikarenakan keterbatasan obat
sehingga pemberian antibiotik eritromisin bisa juga digunakan untuk
eradikasi bakteri saat akut maupun profilaksis sekunder.
 Paracetamol diberikan sebagai obat anti nyeri yang aman dan dapat
diberikan pada pasien demam rematik.

2. Rheumatoid Arthritis
Dari anamnesis, sejak 4 bulan SMRS, pasien sering mengeluh nyeri sendi
berpindah di sekujur tubuh. Awalnya dari tangan kiri, lalu ke tangan kanan, ke
sendi-sendi jari tangan, lalu ke kaki kiri. Nyeri dirasakan hilang timbul dan
memberat di pagi hari. Keluhan hilang jika pasien meminum obat penghilang

63
nyeri, namun biasanya muncul kembali setelah minum obat. Nyeri sendi semakin
memberat sejak 2 minggu SMRS, pasien sudah mengkonsumsi obat anti nyeri
sejak 2 minggu SMRS, yang mana obat ini pada awalnya berfungsi dengan baik
tetapi 4 hari SMRS obat yang dikonsumsi tidak memberikan efek apapun.
Didapatkan riwayat persendiannya sakit dan kerap berpindah-pindah. Pasien
mengaku demam.
±2 minggu setelah keluar dari RS, pasien mengalami putus obat selama 1
minggu. Setelah putus obat 1 minggu, pasien mengeluh nyeri sendi yang
memberat dibandingkan ketika sebelum dirawat di RS, nyeri sendi disertai dengan
munculnya benjolan-benjolan di tangan kanan dan kiri pasien (nodul
subkutaneus), benjolan sebesar kelereng berbatas tegas, yang tidak sakit saat
dipegang dan terasa panas.

Pada pemeriksaan fisik, tampak fenomena jari Swan neck deformity

64
Gambar 9. Swan Neck Deformity

Pemeriksaan Penunjang:
 Pemeriksaan darah perifer : leukositosis
 LED : 5 mm/jam (N: 8-15 mm/ jam)
 CRP : (+)
 Analisis cairan sendi : belum dilakukan
 Rontgen manus : Tampak penurunan densitas tulang-tulang manus kanan
dengan erosi periartukuler serta hiperektensi dan fleksi pada phalang digiti 1, 4
dan 5 manus kanan, gambaran rheumatoid arthritis kanan.
 Anti-CCP : tidak mampu laksana
 Rheumatoid factor : (+)

Terapi yang diberikan :


 Metilprednisolon tab 3 x 4 mg

Edukasi :
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita, rencana diagnostik dan terapi
yang akan diberikan.

Pembahasan :
 Diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan berdasarkan skor diagnosis
ACR/EULAR, 2010, distribusi empat sendi kecil yang nyeri skor 3, RF
positif skor 1, durasi 8 minggu skor 1, CRP abnormal skor 1, dengan
demikian total skor 6, maka pasien menderita Rheumatoid Arthritis.
 Pasien ditegakkan diagnosis demam reumatik dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien juga memiliki gambaran khas
yaitu Swan neck deformity, dengan kadar asam urat normal untuk

65
menyingkirkan gout arthritis dan didapatkan gambaran erosi periartukuler
serta hiperektensi dan fleksi pada phalang digiti 1, 4 dan 5 manus kanan
(gambaran rheumatoid arthritis).
 Pasien diberikan Metilprednisolone tab 3 x 4 mg. Sebenarnya, lini pertama
untuk rheumatoid arthiritis adalah DMARDs yaitu hidroksiklorokuin
dengan dosis 200-400 mg/hari. DMARDs tetap menjadi pilihan pertama
untuk mengontrol penyakit dan mengurangi kerusakan sendi namun dalam
kasus pasien ini lebih tepat diberikan metilprednisolone tablet 3x4 mg,
dikarenakan selain menderita rheumatoid arthritis pasien juga menderita
penyakit demam rematik.
 Metilprednisolone (glukokortikoid) cukup efektif untuk meredakan gejala
dan dapat memperlambat kerusakan sendi, selain itu tablet streoid sering
digunakan sebagai bridging therapy selama periode inisiasi DMARDs
sampai timbulnya efek terapi dari DMARDs tersebut.
 Penting untuk dilakukan pemeriksaan anti-CCP (cyclic citrullinated
peptides) yang sekarang telah menjadi penanda penting dari diagnosis dan
prognosis pasien ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saharman L. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam :


Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta : Interna
Publishing: 2014.
2. Suarjana IN. Arthritis rheumatoid. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta : Interna Publishing: 2014.

3. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits J, Felson DT, Bingham CO, dkk.
2010 Rheumatoid Arthritis classification criteria : an American College of
Rheumatology/ European League against Rheumatism Collaborative Iniative.
Arthritis & Rheumatism. 2010; 62 (9): 2569-81

66
4. Rheumatoid arthritis. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J, penyunting. Harrison’s principles of internal
medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw-Hill; 2012.

5. Cilliers AM. Rheumatic fever and its management. Br Med J. 2006; 333:
1153-6

6. World Health Organization. Report of a WHO expert consultation on


rheunatic fever and rheumatic heart disease. Geneva: WHO: 2004

7. Agarwal T, Fischer N, Sharma S, Wee W. Rheumatic Fever. Dalam :


Vojdovic M, Young A, penyunting. Toronto Notes 2014. Ontario: Toronto
Notes : 2014.
8. Guler, A. 2015. Update on diagnosis of acute rheumatic fever : Jones criteria.
Turkey:NCBI.

67

Anda mungkin juga menyukai