Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

HIPERTENSI EMERGENSI + CONGESTIVE HEART


FAILURE NYHA III ec. HYPERTENSIVE HEART DISEASE +
CHRONIC KIDNEY DISEASE G5Ax ec. NEFROSCLEROSIS
HIPERTENSI + ANEMIA PENYAKIT GINJAL +
HIPOKALSEMIA

Oleh:
Alfiatunnisa, S.Ked. 04084822326216
Humairah Binti Huda, S.Ked. 04084822326017
Muhammad Farhan, S.Ked. 04084822326184

Pembimbing:
dr. Suyata, SpPD., KGEH., FINASIM.

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Hipertensi Emergensi + Congestive Heart Failure NYHA III ec. Hypertensive


Heart Disease + Chronic Kidney Disease G5Ax ec. Nefrosklerosis Hipertensi
+ Anemia Penyakit Ginjal + Hipokalsemia

Disusun oleh:
Alfiatunnisa, S.Ked. 04084822326216
Humairah Binti Huda, S.Ked. 04084822326017
Muhammad Farhan, S.Ked. 04084822326184

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 11 September-3 Desember 2023.

Palembang, November 2023

dr. Suyata, SpPD, KGEH, FINASIM

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus dengan topik “Hipertensi Emergensi + Congestive Heart Failure
NYHA III ec. Hypertensive Heart Disease + Chronic Kidney Disease G5Ax ec.
Nefrosklerosis Hipertensi + Anemia Penyakit Ginjal + Hipokalsemia” sebagai
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Penyakit Dalam RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Suyata, SpPD., KGEH.,
FINASIM., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah
membantu hingga selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv

DAFTAR TABEL ....................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II STATUS PASIEN .......................................................................... 3

1.1 Identifikasi ..................................................................................... 3

1.2 Anamnesis ..................................................................................... 3

1.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................... 6

1.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 9

1.5 Diagnosis ..................................................................................... 13

1.6 Tatalaksana .................................................................................. 13

1.7 Prognosis ..................................................................................... 14

1.8 Follow Up .................................................................................... 14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 18

3.1 Hipertensi Emergency ................................................................. 18

3.2 Chronic Kidney Disease .............................................................. 28

BAB IV ANALISIS KASUS .................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 50

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Rontgen thorax tanggal 1 November 2023 ...................................... 11


Gambar 2. 2 EKG tanggal 1 November 2023 ....................................................... 12
Gambar 3. 1 Perbedaan hipertensi emergency dan urgency ................................. 21

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Pemeriksaan laboratorium tanggal 1 November 2023 ........................... 9


Tabel 2. 2 Follow up Jumat tanggal 3 November 2023 ........................................ 14
Tabel 2. 3 Follow up Sabtu tanggal 4 November 2023......................................... 15
Tabel 2. 4 Follow up Senin tanggal 6 November 2023......................................... 16
Tabel 3. 1. Stadium CKD berdasarkan laju filtrasi glomerulus ............................ 35
Tabel 3. 2. Rencana tatalaksana CKD berdasarkan stadium ................................. 39
Tabel 3. 3. Kebutuhan protein berdasarkan laju filtrasi glomerulus ..................... 40
Tabel 3. 4. Komplikasi berdasarkan laju filtrasi glomerulus ................................ 44

v
BAB 1
PENDAHULUAN

Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh


tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah
terjadi kelainan pada organ target. Umumnya, krisis hipertensi terjadi pada pasien
hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. Krisis hipertensi
dibagi menjadi dua yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi
emergensi adalah suatu keadaan dimana diperlukan penurunan tekanan darah
segera dalam 1 jam dengan menggunakan obat antihipertensi parenteral untuk
mengatasi kerusakan target organ, pada umumnya tekanan darah >180/120 mmHg
yang disertai kerusakan atau ancaman kerusakan di bidang neurologi, jantung, mata
dan ginjal. Hipertensi urgensi adalah suatu keadaan yang ditandai naiknya tekanan
darah secara mendadak tanpa disertai gejala yang berat atau tanpa kerusakan target
organ.
Pada pasien hipertensi kronik diperkirakan sekitar 1-2% akan mengalami
krisis hipertensi dalam kurun waktu hidupnya, diantaranya hipertensi emergensi
diperkirakan kurang lebih 25% kasus. Insiden tahunan hipertensi emergensi
diperkirakan sebanyak 1-2 kasus per 100.000 pasien. Faktor risiko yang paling
penting didapatkan pada krisis hipertensi adalah mereka yang tidak terdiagnosis
atau tidak patuh menjalani pengobatan. Mortalitas selama perawatan di rumah sakit
pada krisis hipertensi diperkirakan sebanyak 4-7%.
Gagal Ginjal atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu kondisi
dimana ginjal secara bertahap kehilangan fungsinya secara permanen dalam periode
waktu tiga bulan atau lebih dan dapat menyebabkan penumpukan produk limbah
dan cairan dalam tubuh. CKD ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Laju filtrasi glomerulus
(LFG) menandakan jumlah cairan yang di filtrasi oleh ginjal.

1
Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada sekitar 753 juta orang
di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417 juta pada
pasien perempuan. Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan
insidensi CKD diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
per tahun
Pada tahun 2013, sebanyak 2 per 1000 penduduk atau 499.800 penduduk
Indonesia menderita Penyakit Gagal Ginjal. Prevalensi gagal ginjal pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan
karakteristik umur prevalensi tertinggi pada kategori usia diatas 75 tahun (0,6%),
dimana mulai terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas.
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu
pasien, diabetes melitus pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu
pasien.4 CKD dapat terjadi akibat proses penyakit pada salah satu dari tiga kategori:
prerenal (penurunan tekanan perfusi ginjal), ginjal intrinsik (patologi pembuluh
darah, glomeruli, atau tubulus-interstitium), atau postrenal (obstruktif). Faktor
risiko lainnya termasuk merokok, obesitas, riwayat penyakit ginjal dalam keluarga,
dan usia yang lebih tua.
Dokter umum harus mampu mengenali tanda dan gejala Penyakit Ginjal
Kronis (CKD). Berdasarkan SNPPDI 2019, CKD termasuk dalam tingkat
kemampuan 3A, oleh karena itu lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis
klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat.
Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.
Dikarenakan tingginya mortalitas dan morbiditas dari penyakit ini dan
dikarenakan perlunya tata laksana yang tepat untuk memperbaik prognosis dari
penyakit ini maka penulis menyusun laporan kasus ini untuk tujuan pembelajaran
kasus ini.

2
BAB II
STATUS PASIEN

1.1 Identifikasi
Identitas Pasien
Nama : Tn. BM

Tanggal lahir : 26 Juni1990

Usia : 33 tahun
Jenis kelamin : Laki laki

Alamat : Palembang

Pekerjaan : Karyawan

Pendidikan : S1

Agama : Islam

Status pernikahan : Menikah


Bangsa : Indonesia
MRS : 01-11-2023

Pembiayaan : BPJS kelas 1

NRM : 0001343651

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama: sesak yang semakin dirasakan sejak 1 hari SMRS
Keluhan Tambahan:
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 4 bulan yang lalu, pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas
dirasakan hilang timbul dengan durasi sesak tidak menentu. Sesak dirasakan
terutama saat pasien berjalan kaki biasa sejauh 20-30 m dan berkurang saat pasien
beristirahat. Sesak juga terutama dirasakan saat pasien berbaring dan membaik saat
duduk atau tidur menghadap ke satu sisi. Pasien tidur dengan diganjal 3-4 bantal.

3
Pasien terbangun di malam hari karena sesak. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu,
maupun emosi. Sesak tidak disertai suara mengi. Keluhan disertai batuk tidak
berdahak. Batuk darah tidak ada. Demam tidak ada. Pasien tidak mengalami banyak
penurunan berat badan. Nyeri dada tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien telah terdiagnosis CKD sejak 5 bulan yang lalu dan rutin hemodialisis setiap
hari Sabtu dan Rabu. Pasien mengatakan sering berobat ke puskesmas terdekat
dengan keluhan pusing dan sesak. Pasien hanya diberi oksigen dan dipantau tensi
di puskesmas tersebut. Keluhan membaik.
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh sesak napas semakin
dirasakan. Keluhan disertai batuk tidak berdahak. Demam tidak ada. BAK sedikit.
Pasien juga mengeluhkan mual. Muntah tidak ada. Nyeri perut tidak ada. Demam
tidak ada. BAB cair tidak ada. Nyeri kepala ada. Badan sembap tidak ada. Pasien
tidak hemodialisis yang seharusnya terjadwal 4 hari SMRS.
Sejak 1 hari SMRS, pasien merasakan sesak semakin dirasakan. Pasien
merasa sesak saat berbicara dan berkurang saat istirahat. Keluhan disertai batuk dan
mual. Nyeri kepala seperti tertekan ada. Keluhan berdebar-debar, demam, muntah,
penurunan kesadaran, sembap pada tubuh, pandangan buram, atau pandangan
ganda tidak ada. Pasien juga mengeluhkan BAK sedikit, sebanyak lebih kurang 300
ml dalam 1 hari. BAK berwarna jernih kekuningan tanpa disertai busa. BAK darah
dan nyeri saat BAK tidak ada. Demam tidak ada. Badan sembap tidak ada. BAB
tidak ada keluhan. Nafsu makan menurun. Pasien datang untuk hemodialisis dan
didapatkan tekanan darah sangat tinggi. Pasien diarahkan ke IGD untuk tatalaksana
lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat sesak sebelumnya disangkal
- Riwayat batuk dan demam lama disangkal
- Riwayat minum obat enam bulan disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit darah tinggi ada sejak 2022, pasien rutin minum obat
amlodipin dan candensartan.

4
- Riwayat penyakit ginjal ada sejak 5 bulan yang lalu, pasien rutin hemodialisis
- Riwayat kencing manis tidak ada
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat alergi makanan dan obat obatan tidak ada

Riwayat Pengobatan
- Pasien mengkonsumsi amlodipin 1 x 1 dan candensartan 1 x 1
- Pasien rutin hemodialisis

Riwayat Penyakit pada Keluarga


- Riwayat sesak dalam keluarga disangkal
- Riwayat batuk lama dan demam dalam keluarga disangkal
- Riwayat minum obat enam bulan dalam keluarga disangkal
- Riwayat darah tinggi ada pada ayah pasien
- Riwayat kencing manis ada pada ayah pasien
- Riwayat penyakit ginjal ada pada ayah pasien
- Riwayat asma dalam keluarga tidak ada
- Riwayat alergi pada keluarga tidak ada

Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok ada sejak 15 tahun yang lalu, satu hari dapat mencapai satu
bungkus rokok.
- Riwayat minum alkohol tidak ada
- Riwayat olahraga tidak menentu

Riwayat Sosial Ekonomi:

- Pasien bekerja sebagai karyawan operator mesin berat

- Pasien BPJS kelas 1


Kesan: Sosial ekonomi menengah atas

5
1.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 200/120mmHg
Nadi :110x/menit, regular, isi dan tegangan cukup,
kualitas baik
Pernafasan : 28x/menit,
Suhu : 36,6 C
o

SpO2 : 97% on room air, 99% O2 nasal canule 3 lpm


Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 170 cm
IMT : 20,8 kg/m (Normorweight)
2

Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephalic
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam, rambut rontok (-)
Alopecia : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Perdarahan temporal : tidak ada
Nyeri tekan : tidak ada
Wajah sembab : tidak ada

Mata

Eksoftalmus : tidak ada


Endoftalmus : tidak ada

6
Palpebral : Edema (-/-)
Konjungtiva palpebral: Pucat (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)

Hidung
Deformitas : tidak ada
Sekret : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Napas cuping hidung : tidak ada
Septum : deviasi tidak ada

Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : tidak ada
Pendengaran : baik

Mulut
Bibir : kering, mukosa pucat (+), cheilitis (-), stomatitis (-), ulkus(-)
Gigi-geligi : lengkap, gigi karies (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-)
Lidah : oral thrush (-), atrofi papil (-)

Leher
Inspeksi : simetris, scar (-), trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid/struma (-), pembesaran KGB (-),
tekanan vena jugularis (5+3) cmH O 2

7
Thoraks Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada pectus ekskavatum, sela iga melebar (-), retraksi
dinding dada (+) intercostal. spider nevi (-), venektasi (-),
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : sonor pada di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, voussure cardiaque (-), Lavine sign (-),
de Musset sign (-)
Palpasi : Iktus kordis teraba, thrill (-), ventricular heaving (-), tapping (-),
lifting (-)
Perkusi : Batas atas ICS II linea sternalis sinistra
Batas kanan ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri ICS VII linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi :
Katup Aorta di ICS II linea sternalis sinistra, BJ I-II (+) regular, splitting S1
(-), Splitting S2 (-), S3 gallop (-), S4 (-), Ejection click (-), Klik midsistolik (-),
Opening snap (-), murmur sistolik (-), pericardial friction rub (-)
Katup Pulmonal di ICS II linea sternalis dextra, BJ I-II (+) regular, splitting
S1 (-), Splitting S2 (-), S3 gallop (-), S4 (-), Ejection click (-), Klik midsistolik (-),
Opening snap (-), murmur sistolik (-), pericardial friction rub (-)
Katup Trikuspid di ICS IV linea sternalis sinistra, BJ I-II (+) regular,
splitting S1 (-), Splitting S2 (-), S3 gallop (-), S4 (-), Ejection click (-), Klik
midsistolik (-), Opening snap (-), murmur sistolik (-), pericardial friction rub (-)
Katup Mitral di ICS V linea midclavicularis sinistra, BJ I-II (+) regular,
splitting S1 (-), Splitting S2 (-), S3 gallop (-), S4 (-), Ejection click (-), Klik
midsistolik (-), Opening snap (-), murmur sistolik (-), pericardial friction rub (-)

8
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), striae (-)
Auskultasi : bising usus (+) 8x/menit, bruit (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok CVA (-/-)
Palpasi : lemas, turgor kulit kembali cepat, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar dan
lien tidak teraba, ballotement (-)

Ekstremitas
Superior : Palmar pucat (-), sianosis (-), koilonikia (-), clubbing finger (-),
akral hangat, pembesaran KGB aksila (-), edema (-/-), akral hangat,
tremor (-/-), CRT <2 detik
Inferior : Plantar pucat (-), akral hangat, edema pretibia (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-), CRT <2 detik

Genitalia: Tidak diperiksa

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Tabel 2. 1 Pemeriksaan laboratorium tanggal 1 November 2023

Jenis Hasil Unit Nilai Normal


Pemeriksaan
Hematologi
Haemoglobin 6,9 g/dL 14 -18
Hematokrit 20 % 40–50
Eritrosit 2,47 10 /mm
6 3
4,4 – 6,3x10 6

Leukosit 10,48 10 /mm


3 3
4,73 –10,89
Trombosit 143 10 /µL 3
150-400
MCV 82,6 85 – 95
MCH 28 28 – 32
MCHC 34 33-25
RDW-CV 14,80 11 – 15

9
PCT 0,12
Diff count
Basophil 0 % 0-1
Eosinofil 5 % 1-6
Neutrophil 73 % 50-70
Limfosit 17 % 20-40
Monosit 5 % 2–8
Retikulosit 2,92 0,50 – 1, 50
Ferritin 1249,20 21,81 –274,66
Serum iron 81 61 - 157
UIBC 70
TIBC 151 113 - 246
Troponin T 44 <50
SGOT 12 0 - 38
SGPT 6 0 – 41
Albumin 3,7 3,5 – 5,0
Ureum 119 16,6 – 48,5
Kreatinin 14,55 0,50 – 0,90
Kalsium 8,2 8,8 – 10,2
Ca Koreksi 8,4
Kimia Klinik
GDS 81 mg/dl <200
Na 148 135 – 155
K 4,7 3,5 – 5,5
Cl 122 96 - 106

10
Gambar 2. 1 Rontgen thorax tanggal 1 November 2023

Pemeriksaan rontgen Thoraks


Deskripsi: Thoraks AP
Jantung membesar, CTR 60%
Mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah.
Hilus kanan kiri tidak menebal. Corakan bronkovaskular meningkat. Tidak tampak
infiltrat.
Diafragma licin. Sinus costofrenikus kanan kiri lancip. Tulang-tulang dan jaringan
lunak baik.
Terpasang CDL dengan tip baik

Kesan:
Cardiomegaly
Pulmo tak tampak kelainan

11
Gambar 2. 2 EKG tanggal 1 November 2023

EKG:
Irama: Sinus dan Reguler.
Aksis:
Lead I = +
Lead aVF = +
Normoaxis
HR: 1500 / 15 = 100x per menit
Gelombang P tidak memanjang (P mitral dan P pulmonal tidak ada)
PR interval: 0.04 x 3 kotak kecil: 0.12 s [pelebaran (-)]
QRS Kompleks: 1 kotak kecil x 0.04: 0.04 s [pelebaran (-)]
ST: ST elevasi di V2-V4, tidak ada ST depresi
Gelombang T: T tall di V3-V5, T inverted di V1
Cornell criteria: SV3 + RaVL = 2,0 + 0,9 = 2,9 mV
Kesan
Sinus takikardia

12
STEMI anteroseptal
LVH (cornell +)

1.5 Diagnosis
Diagnosis Sementara:
Hipertensi emergency + CKD stage G5Ax ec nefrosklerosis hipertensi + CHF
NYHA III ec HHD + anemia normokromik normositer ec penyakit ginjal +
Hipokalsemia
Diagnosis Banding:
- CHF ec CAD
- Anemia perdarahan

1.6 Tatalaksana
Rencana Pemeriksaan: Ekokardiograafi, oftalmoskopi, status besi
Nonfarmakologis:
- KIE mengenai penyakit dan dasar pengobatan
- Tirah baring
- Oksigenasi nasal kanula 4 lpm
- Observasi keadaan umum dan tanda vital
- Diet rendah protein
- Diet rendah garam
- Restriksi cairan
- Rencana hemodialisis
- Observasi balans diuresis

Farmakologis:
- IVFD NaCl 0,9% 10 tpm mikro
- Drip Herbesser 2 vial dalam NaCl 0,9% 100 cc, dosis dimulai 0,5 mikro (BB
60 kg) target TD 150-160/80-90 mmHg
- CaCO3 3 x 500 mg PO
- Asam folat 3 x 1 mg PO

13
- Injeksi furosemide 1 x 20 mg IV
- Spironolakton 1 x 25 mg PO
- Amlodipin 1 x 10 mg PO
- Candesartan 1 x 16 mg PO
- Rencana pemberian ertiropoietin

1.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

1.8 Follow Up
Tabel 2. 2 Follow up Jumat tanggal 3 November 2023

Tanggal Jumat, 3 November 2023


S Sesak (+) berkurang, nyeri kepala (+), mual (-), nafsu makan baik, BAB
dan BAK tidak ada keluhan, post transfusi PRC, post HD
O Keadaan umum Tampak sakit sedang
Sens Compos mentis
Tekanan darah 196/102 mmHg
Nadi 100 x/menit
Pernapasan 24x/menit
Temperatur 36,8 oC
SpO2 99% nasal canule 3 lpm

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (+/+) sklera
ikterik (-/-)
Leher Pembesaran KGB (-/-), JVP 5+2
cmH2O, pemebsaran tiroid (-/-)
Thorax Gerak dinding dada simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-
/-), wheezing (-/-)
Jantung Bunyi jantung I-II regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak
teraba, BU (+)

Ekstremitas

14
Superior inferior palmar pucat (-/-), palmar eritem
(-/-), CRT <2 detik, akral hangat
A Hipertensi emergency + CKD stage G5Ax ec nefrosklerosis hipertensi +
CHF NYHA III ec HHD + anemia renal + hipokalsemia
P Non farmakologis:
Edukasi
Hemodialisis
Rencana echocardiograpy
Transfusi PRC 2 x 200 cc

Farmakologis:
Drip herbesser 2amp dalam ns 100 cc via infus pump mulai rate 1,8
cc/jam (target MAP sistol 150-160 mmhg)
Anemolat 3x1 mg PO
Calos 3x500mg PO
Amlodipin 1x 10 mg tunda
Candesartan 1x16 mg tunda

Tabel 2. 3 Follow up Sabtu tanggal 4 November 2023

Tanggal Sabtu, 4 November 2023


S Sesak (+) berkurang, nyeri kepala (-), mual (-), nafsu makan baik, BAB
dan BAK tidak ada keluhan, post transfusi PRC
O Keadaan umum Tampak sakit sedang
Sens Compos mentis
Tekanan darah 160/100 mmHg
Nadi 104 x/menit
Pernapasan 24x/menit
Temperatur 36,6 oC
SpO2 99% nasal canule 3 lpm

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (+/+) sklera
ikterik (-/-)
Leher Pembesaran KGB (-/-), JVP 5+2
cmH2O, pemebsaran tiroid (-/-)
Thorax Gerak dinding dada simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-
/-), wheezing (-/-)
Jantung Bunyi jantung I-II regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak

15
teraba, BU(+)

Ekstremitas
Superior inferior palmar pucat (-/-), palmar eritem
(-/-), CRT <2 detik, akral hangat
A Hipertensi emergency + CKD stage G5Ax ec nefrosklerosis hipertensi +
CHF NYHA III ec HHD + anemia renal + hipokalsemia
P Non farmakologis:
Hemodialisis
Rencana ekokardiografi
Transfusi PRC 2 x 200cc (1/2)

Farmakologis:
Drip herbesser 2amp dalam ns 100 cc via infus pump mulai rate 1,8
cc/jam (target MAP sistol 150-160 mmhg), rate diturunkan
Anemolat 3x1 mg PO
Calos 3x500mg PO
Amlodipin 1x 10 mg tunda
Candesartan 1x16 mg tunda

Tabel 2. 4 Follow up Senin tanggal 6 November 2023

Tanggal Senin, 6 November 2023


S Sesak (+) berkurang
O Keadaan umum Tampak sakit ringan
Sens Compos mentis
Tekanan darah 164/105 mmHg
Nadi 96 x/menit
Pernapasan 21x/menit
Temperatur 36,6 oC
SpO2 99% nasal canule 3 lpm

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva anemis (+/+) sklera
ikterik (-/-)
Leher Pembesaran KGB (-/-), JVP 5+2
cmH2O, pemebsaran tiroid (-/-)
Thorax Gerak dinding dada simetris, retraksi (-)
Paru Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-
/-), wheezing (-/-)
Jantung Bunyi jantung I-II regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tidak

16
teraba, BU (+)

Ekstremitas
Superior inferior palmar pucat (-/-), palmar eritem
(-/-), CRT <2 detik, akral hangat
A Hipertensi emergency + CKD stage G5Ax ec nefrosklerosis hipertensi +
CHF NYHA III ec HHD + anemia renal + hipokalsemia
P Non farmakologis:
Hemodialisis
Rencana echocardiography
Transfusi PRC 2 x 200 (2/2)

Farmakologis:
Drip herbesser 2 amp dalam ns 100 cc via infus pump mulai rate 1,8
cc/jam (target MAP sistol 150-160 mmhg), stop
Anemolat 3x1 mg PO
Calos 3x500mg PO
Amlodipin 1x 10 mg
Candesartan 1x16 mg

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hipertensi Emergency


3.1.1 Definisi
Hipertensi emergensi adalah suatu keadaan dimana diperlukan penurunan
tekanan darah segera dalam 1 jam dengan menggunakan obat antihipertensi
parenteral untuk mengatasi kerusakan target organ, pada umumnya tekanan darah
>180/120 mmHg yang disertai kerusakan atau ancaman kerusakan di bidang
neurologi, jantung, mata dan ginjal.

3.1.2 Epidemiologi
Pada pasien hipertensi kronik diperkirakan sekitar 1-2% akan mengalami
krisis hipertensi dalam kurun waktu hidupnya, diantaranya hipertensi emergensi
diperkirakan kurang lebih 25% kasus. Insiden tahunan hipertensi emergensi
diperkirakan sebanyak 1-2 kasus per 100.000 pasien. Faktor risiko yang paling
penting didapatkan pada krisis hipertensi adalah mereka yang tidak terdiagnosis
atau tidak patuh menjalani pengobatan. Mortalitas selama perawatan di rumah sakit
pada krisis hipertensi diperkirakan sebanyak 4-7%. Angka kematian dalam 1 tahun
diantara pasien dengan hipertensi emergensi mencapai angka lebih dari 79%

3.1.3 Etiologi
Penyebab paling sering hipertensi emergensi adalah pasien hipertensi kronis yang
tidak terdiagnosis dan pasien yang tidak patuh minum obat antihipertensi
(medication noncompliance)

3.1.4 Faktor Resiko


Faktor resiko yang dapat diubah
- Merokok
- Diet rendah serat

18
- Disalipidemia
- Konsumsi garam berlebih
- Kurang aktivitas fisik
- Stres
- Berat badan berlebih atau kegemukan
- Konsumsi alkohol
Faktor resiko yang tidak dapat diubah
- Umur
- Jenis kelamin
- Genetik
3.1.5 Patofisiologi
Saat tekanan darah naik melampaui batas kritis, yaitu mean arterial
pressure (MAP) 150 mmHg, terjadi kerusakan dinding arteri yang akan
diikuti dengan gejala lain yang merangsang pelepasan vasoaktif, kerusakan
struktur endothel, aktivasi RAAS, dan pelepasan mikropartikel platelet.
Target organ yang mengalami kerusakan akibat tingginya MAP tersebut
akan berlanjut sebagai circulus vitiosus.

Gambar 1. Mekanisme Hipertensi emergensi.

19
Gambar 2. Patofisiologi hipertensi emergensi.
3.1.6 Manifestasi Klinis
Pada pasien yang datang dengan tekanan darah tinggi yang nyata,
riwayat dan pemeriksaan yang cermat diperlukan untuk menentukan
pasien mana yang benar-benar mengalami keadaan darurat hipertensi.
Gejala seperti sakit kepala, pusing, perubahan status mental, sesak napas,
nyeri dada, penurunan keluaran urin, muntah, atau perubahan
penglihatan memerlukan evaluasi lebih lanjut. Sumber timbulnya
hipertensi secara tiba-tiba juga harus diselidiki untuk mengarahkan
pengobatan.
Temuan pemeriksaan yang diharapkan bervariasi tergantung pada
organ target spesifik yang paling terkena dampaknya. Pada disfungsi
jantung, ronkhi mungkin terdengar pada auskultasi paru, distensi vena
jugularis atau edema perifer, dan bunyi jantung tambahan mungkin
terdengar jelas. Jika terjadi hipertensi yang sangat cepat, sering terlihat
pada penyalahgunaan simpatomimetik, dapat terjadi dispnea yang nyata
tanpa adanya edema perifer akibat edema paru flash.
Disfungsi neurologis dapat menyebabkan perubahan status mental,
penglihatan kabur, ataksia atau disfungsi otak kecil lainnya, afasia, atau
mati rasa atau kelemahan unilateral. Pemeriksaan neurologis yang cermat

20
yang mencakup pemeriksaan saraf kranial, pengujian kekuatan dan
sensasi, serta pengujian otak kecil dan pengujian gaya berjalan harus
dilakukan. Pemeriksaan mata dapat menunjukkan papilledema serta
eksudat dan perdarahan berbentuk api.
Gagal ginjal akut juga dapat menyebabkan tanda-tanda edema paru
atau edema perifer.

3.1.7 Algoritma Diagnosis


Evaluasi darurat hipertensi juga bergantung pada gejala dan tanda
yang ada. Setelah ditentukan bahwa ada atau kemungkinan terjadinya
keadaan darurat hipertensi, laboratorium seperti panel metabolik,
urinalisis, peptida B-natriuretik, dan enzim jantung mungkin berguna.
EKG dianjurkan pada setiap pasien yang diduga menderita iskemia
jantung. Computed tomography (CT) kepala direkomendasikan pada
pasien dengan keluhan neurologis akut atau tanda-tanda pada
pemeriksaan. Rontgen dada terbukti berguna pada pasien dengan sesak
napas. Rontgen dada juga dapat menunjukkan pelebaran mediastinum
atau diseksi aorta, namun hal ini merupakan penanda yang relatif tidak
sensitif, dan CT angiografi dada dan perut harus dilakukan untuk
menyingkirkan atau memastikan adanya diseksi dan menentukan
luasnya. dari robekan intim.

Gambar 3. 1 Perbedaan hipertensi emergency dan urgency

21
Evaluasi triase pada hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.

3.1.8 Tatalaksana
Prinsip umum tatalaksana HT emergensi adalah therapi anti-HT
parenteral mulai diberikan segera saat diagnosis ditegakkan di UGD
sebelum keseluruhan hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh.
Dilakukan perawatan diruang intensif (ICU/intensive care unit) untuk
memonitor ketat TD dan kerusakan organ target. Penurunan TD secara
gradual bertujuan mengembalikan autoregulasi organ, sehinnga perfusi
organ yang normal dapat dipertahankan. Hindari penurunan TD agresif
pada HT non-emergensi dan juga penurunan TD yang terlalu cepat.7,10
American College of Cardiologi/American Heart Association
(ACC/AHA) - 2017 mengeluarkan pedoman algoritme diagnosis dan
manajemen krisis HT seperti terlihat pada gambar-4 dan gambar5. 1 Pada
pedoman ACC/AHA-2017 target penurunan TD dibedakan dengan
melihat ada atau tidaknya kondisi yang memaksa (with or without
compelling condition) . Secara umum bila tidak didapatkan compelling
condition, tatalaksana HT emergensi adalah dengan melakukan
penurunan TD maksimal 25% dalam jam pertama, kemudian target
penurunan TD mencapai 160/100-110 mm Hg dalam 2 sampai 6 jam,
selanjutnya TD mencapai normal dalam 24 sampai 48 jam.1 Penurunan
TD yang lebih agresif dilakukan bila didapatkan compelling condition
(aorta dissekan, pre-eclampsia berat atau eclampsia, dan krisis
pheochromocytoma). Sedangkan penurunan TD yang kurang agresif
dilakukan pada HT dengan kondisi komorbid penyakit serebro-vaskuler
(perdarahan intraserebral akut dan stroke iskhemik akut). engan segera
bila terjadi respon penurunan TD yang berlebihan.2,6 Penentuan obat
anti- HT yang dipilih memerlukan pemahaman patofisiologi HT. Dengan
tanpa melihat etiologi, mediator yang umum didapatkan pada sebagian
besar krisis HT adalah vasokonstriksi perifer perantara humoral,
sedangkan penyebab yang paling umum didapatkan adalah ketidak-

22
patuhan menjalani pengobatan, faktor- faktor lainnya bersifat memicu
respon tersebut.
Dari berbagai pilihan obat pada tatalaksana HT emergensi, tidak
didapatkan obat tunggal yang diketahui lebih superior dibandingkan
lainnya. Review sistemik dan meta-analisis yang dilakukan terhadap
obat-obatan anti-HT emergensi menunjukkan bahwa, hanya didapatkan
perbedaan minor pada derajat penurunan tekanan darah diantara obat-
obat tersebut, serta tidak didapatkan perbedaan morbiditas atau
mortalitas. Tabel-3 menyajikan karakteristik farmakologis obat anti-HT
emergensi.

Tipe Obat, Dosis, dan Karakteristik Therapi HT Emergensi. 2

23
Tipe Obat, Dosis, dan Karakteristik Therapi HT Emergensi (lanjutan).

24
Pada tabel berikut menyajikan pedoman umum penggunaan obat-
obatan anti-HT berdasarkan pada tipe kerusakan organ target.

Tatalaksana Tipe Spesifik Hipertensi(HT) Emergensi.

25
Konsesus Penatalaksanaan Hipertensi, 2019

Pada hipertensi emergensi akan digunakan obat yang bekerjanya


cepat dalam menurunkan tekanan darah sehingga akan diperlukan obat
parenteral sesuai indikasi kegawatannya. Konsensus umum berlaku adalah
tercapainya penurunan tekanan darah maksimal 25 % dari dasar pada 1
jam pertama, kecuali pada Diseksi Aorta, target secepatnya untuk
mencapai tekanan darah normal.

Sumber : Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit


Dalam Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2019

26
Terapi pada Hipertensi urgensi dapat digunakan obat oral yang
memiliki onset cepat oleh karena segi kegawatannya tidaklah
memerlukan waktu yang singkat seperti pada hipertensi emergensi.

Sumber : Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu


Penyakit Dalam Panduan Praktis Klinis Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2019

3.1.9 Komplikasi
- Gagal ginjal
- Kehilangan penglihatan
- Miocard Infark
- Stroke
3.1.10 Prognosis

Di masa lalu, keadaan hipertensi emergency sering dikaitkan dengan


kerusakan ginjal, infark miokard, stroke dan kematian. Dengan
meningkatnya kesadaran dan pengendalian tekanan darah yang lebih baik,
angka kematian telah menurun secara signifikan dalam 3 dekade terakhir.
Namun setelah pengobatan akut, pengendalian tekanan darah yang lebih
tepat sangat penting jika seseorang ingin menurunkan angka kesakitan dan
kematian.
Sayangnya, prognosis jangka panjang seluruh pasien dengan
keadaan hipertensi emergency tidak diketahui. Sejumlah besar pasien ini

27
mengalami kejadian buruk pada jantung atau stroke dalam waktu 12 bulan
kemudian.

3.1.11 SNPPDI

Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan


penatalaksanaan awal, dan merujuk
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada
pasien dalam konteks penilaian mahasiswa. Lulusan dokter mampu
menentukan usulan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya.

3.2 Chronic Kidney Disease


3.2.1 Definisi
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsiginjal yang ireversibel. Penyakit Ginjal Kronis (PGK)
atau Chronic Kidney Disease(CKD) didefinisikan sebagai kerusakan
struktural atau fungsional(mikroalbuminuria/proteinuria, hematuria,
kelainan histologis ataupun radiologis),dan/atau menurunnya laju filtrasi
glomerulus (LFG) menjadi <60 ml/menit/1,73 m2selama sedikitinya 3
bulan.

3.2.2 Epidemiologi
Prevalensi CKD telah dilaporkan dalam peningkatan jumlah
penelitian diseluruh dunia, yang memungkinkan untuk mengumpulkan
temuan mereka dan untukmemperoleh informasi tentang prevalensi CKD
global secara keseluruhan, serta diberbagai subkelompok pasien dan

28
wilayah geografis. Sebuah studi yang menilaiprevalensi dan beban CKD
pada tahun 2010 mengumpulkan hasil dari 33 studiperwakilan berbasis
populasi dari seluruh dunia dan melaporkan prevalensi globalstandar usia
tahap CKD 1-5 pada individu berusia ≥20 tahun sebesar 10,4% di
antarapria dan 11,8% di antara wanita.10 Terdapat perbedaan penting
berdasarkan wilayahgeografis yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat
pendapatan, dengan prevalensi PGKmenurut usia masing-masing 8,6%
dan 9,6% pada pria dan wanita, di negara-negaraberpenghasilan tinggi,
dan 10,6% dan 12,5% pada pria dan wanita, masing-masing, dinegara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah. Prevalensi global PGK
stadium3-5 pada orang dewasa berusia ≥20 tahun dalam penelitian yang
sama adalah 4,7% padapria dan 5,8% pada wanita. Sebuah studi yang lebih
baru melakukan tinjauan sistematisyang komprehensif dan meta-analisis
dari 100 studi yang terdiri dari 6.908.440 pasien,dan melaporkan
prevalensi global 13,4% untuk CKD tahap 1-5 dan 10,6% untuk
CKDtahap 3-5. Prevalensi PGK individu adalah 3,5% (stadium 1), 3,9%
(stadium 2), 7,6%(stadium 3), 0,4% (stadium 4), dan 0,1% (stadium 5).
Berdasarkan hasil penelitianyang meneliti prevalensi global PGK, jumlah
total individu yang terkena PGK tahap 1-5di seluruh dunia diperkirakan
843,6 juta.

3.2.3 Etiologi
Penyebab CKD bervariasi secara global, dan penyakit primer yang
paling umummenyebabkan CKD dan akhirnya penyakit ginjal stadium
akhir (ESRD) adalah sebagaiberikut:
1. Diabetes mellitus tipe 2 (30% sampai 50%)
2. Diabetes mellitus tipe 1 (3,9%)
3. Hipertensi (27,2%)
4. Glomerulonefritis primer (8,2%)
5. Nefritis Tubulointerstitial kronis (3,6%)
6. Penyakit keturunan atau kistik (3,1%)

29
7. Glomerulonefritis sekunder atau vaskulitis (2,1%)
8. Diskrasia sel plasma atau neoplasma (2.1)
9. Sickle Cell Nephropathy (SCN) yang menyumbang kurang dari 1%
pasien ESRDdi Amerika Serikat
CKD dapat terjadi akibat proses penyakit dalam salah satu dari tiga
kategori:prerenal (penurunan tekanan perfusi ginjal), ginjal intrinsik
(patologi pembuluh darah,glomeruli, atau tubulus-interstitium), atau
postrenal (obstruktif).

Penyakit Prerenal
Penyakit prerenal kronis terjadi pada pasien dengan gagal jantung kronis
atausirosis dengan perfusi ginjal yang terus-menerus menurun, yang
meningkatkankecenderungan untuk beberapa episode cedera ginjal
intrinsik, seperti nekrosis tubularakut (ATN). Hal ini menyebabkan
hilangnya fungsi ginjal secara progresif dari waktu kewaktu.

Penyakit Pembuluh Darah Ginjal Intrinsik


Penyakit pembuluh darah ginjal kronis yang paling umum adalah
nefrosklerosis,yang menyebabkan kerusakan kronis pada pembuluh darah,
glomeruli, dantubulointerstitium. Penyakit pembuluh darah ginjal lainnya
adalah stenosis arteri ginjaldari aterosklerosis atau displasia fibro-
muskular yang selama berbulan-bulan ataubertahun-tahun, menyebabkan
nefropati iskemik, ditandai dengan glomerulosklerosisdan fibrosis
tubulointerstitial.

Penyakit Glomerulus Intrinsik (Nefritik atau Nefrotik.


Pola nefritik disarankan oleh mikroskop urin abnormal dengan gips sel
darah merah (RBC) dan sel darah merah dismorfik, kadang-kadang sel
darah putih (leukosit),dan tingkat proteinuria yang bervariasi. Penyebab
paling umum adalah GNpasca-streptokokus, endokarditis infektif, nefritis
shunt, nefropati IgA, nefritis lupus,sindrom Goodpasture, dan vaskulitis.

30
Pola nefrotik dikaitkan dengan proteinuria,biasanya dalam kisaran nefrotik
(lebih besar dari 3,5 gram per 24 jam), dan analisismikroskopis urin tidak
aktif dengan beberapa sel atau gips. Hal ini umumnyadisebabkan oleh
penyakit perubahan minimal, glomerulosklerosis segmental fokal,
GNmembranosa, GN membranoproliferatif (Tipe 1 dan 2 dan terkait
dengankrioglobulinemia), nefropati diabetik, dan amiloidosis.

Penyakit tubular dan interstisial intrinsic


Penyakit tubulointerstitial kronis yang paling umum adalah penyakit
ginjalpolikistik (PKD). Etiologi lain termasuk nephrocalcinosis (paling
sering karenahiperkalsemia dan hiperkalsiuria), sarkoidosis, sindrom
Sjogren, refluks nefropati padaanak-anak dan dewasa muda. Ada
peningkatan pengakuan prevalensi CKD yang relatiftinggi dari penyebab
yang tidak diketahui di antara pekerja pertanian dari AmerikaTengah dan
sebagian Asia Tenggara yang disebut nefropati Mesoamerika.

Postrenal (Nefropati Obstruktif


Obstruksi kronis mungkin disebabkan oleh penyakit prostat, nefrolitiasis
atautumor perut/panggul dengan efek massa pada ureter adalah penyebab
umum. Fibrosisretroperitoneal adalah penyebab langka obstruksi ureter
kronis.

3.2.4 Faktor Resiko


Perbedaan rasial dalam kejadian dan prevalensi CKD dan gagal
ginjal dijelaskandengan baik di Amerika Serikat, tetapi evaluasi global dan
sistematis dari perbedaantersebut sulit karena varians antar negara yang
kompleks dan mewakili kombinasi faktorrisiko (termasuk perbedaan ras).
Selain itu, perbandingan dalam negeri mungkin tidakselalu dimungkinkan
karena homogenitas ras / etnis dan / atau pembatasan lokal
dalammelaporkan ras dan etnis individu. Tantangan tambahan adalah
ketidakakuratan rumusestimasi GFR pada individu dari ras yang berbeda,

31
dan perdebatan yang sedangberlangsung di Amerika Serikat mengenai
pengecualian faktor koreksi untuk rasAfrika-Amerika yang dilaporkan
sendiri dari formula estimasi yang ada sebagai saranauntuk mengurangi
perbedaan ras. Di Amerika Serikat, prevalensi PGK tahap 1-4
yangdisesuaikan dengan usia di antara kulit putih non-Hispanik, kulit
hitam non-Hispanik,dan Meksiko-Amerika pada 2015 hingga 2016
masing-masing adalah 13%, 16,5%, dan15,3%. Alasan perbedaan terkait
ras sangat kompleks, dan termasuk perbedaan dalamprevalensi faktor
risiko PGK (seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan obesitas),penyebab
genetik, perbedaan gaya hidup dan budaya, dan kesenjangan sosial
ekonomi.
Diabetes mellitus telah muncul sebagai faktor risiko yang paling
penting untukCKD di negara maju; ini tercermin dalam penelitian yang
meneliti prevalensi PGK. DiAmerika Serikat, prevalensi CKD stadium 3-
4 di antara penderita diabetes yangdidiagnosis adalah 24,5% pada 2011
hingga 2014, sedangkan pada prediabetics adalah14,3% dan pada
nondiabetics adalah 4,9%. Namun demikian, studi epidemiologi
yangmeneliti CKD pada penderita diabetes harus bersaing dengan fakta
bahwa populasidiabetes (terutama penderita diabetes tipe 2) sering
mengalami beberapa kondisikomorbiditas lainnya, seperti hipertensi atau
penyakit pembuluh darah, yang merupakanfaktor risiko independen untuk
CKD. Sebuah studi yang meneliti kohort nasionalveteran AS dengan
diabetes mellitus tipe 2 yang baru didiagnosis melaporkanprevalensi kasar
CKD stadium 1-5 sebesar 31,6%, setengahnya memiliki CKD stadium3-
5. Meskipun waktu kejadian diabetes mellitus tipe 2 sulit dipastikan,
tingginyaprevalensi PGK dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
setidaknya beberapa kasusPGK yang didiagnosis pada penderita diabetes
mungkin bukan akibat langsung darimekanisme terkait diabetes.
Hipertensi adalah faktor risiko kardiovaskular terkuat di seluruh
dunia dan jugaterkait erat dengan CKD. Prevalensi CKD di antara orang
dewasa AS yang memilikihipertensi adalah 35,8% pada 2011 hingga 2014,

32
dibandingkan dengan prevalensi14,4% pada prehipertensi dan 10,2% di
antara individu nonhipertensi. Hubungan yangsignifikan antara hipertensi
dan prevalensi PGK juga dilaporkan dalam meta-analisisyang mencakup
75 studi global.13 Hipertensi sistemik ditularkan ke tekanan
kapilerintraglomerulus yang menyebabkan glomerulosklerosis dan
hilangnya fungsi ginjal.
Hipertensi esensial umumnya didiagnosis antara 25 dan 45 tahun
tetapi disfungsiginjal tidak berkembang kecuali pasien mempertahankan
setidaknya 10 tahun hipertensiyang tidak terkontrol. Menurut studi
MRFIT, risiko relatif yang disesuaikan untuk mencapai ESRD adalah 1,9
untuk tekanan darah normal tinggi, 3,1 untuk stadium I, 6,0untuk stadium
II, 11,2 untuk stadium III, dan 22,1 untuk hipertensi stadium IV.
Riwayatpenyakit kardiovaskular, hiperlipidemia, sindrom metabolik, virus
hepatitis C, infeksihuman immunodeficiency virus, dan keganasan
merupakan faktor risiko lebih lanjutuntuk PGK.

3.2.5 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang dikuti oleh peningkatan tekan nan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya dikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas

33
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
foctor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresiftas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya skierosis dan fibroisis glomerulus maupun
tubulointerstisial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan di mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai
pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

3.2.6 Klasifikasi
Klasifikasi stadium pada CKD dibagi berdasarkan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dan albuminuria.1 Stadium CKD berdasarkan LFG

34
terbagi menjadi G1, G2, G3a, G3b, G4, dan G5. Adapun stadium
berdasarkan albuminuria terbagi menjadi A1, A2, dan A3.

Tabel 3. 1. Stadium CKD berdasarkan laju filtrasi glomerulus

LFG Keterangan
Kategori
(ml/min//1.73
LFG
m2)
≥90 Normal atau
G1
tinggi
60-89 Sedikit
G2
menurun*
45-59 Menurun
G3a
sedikit hingga sedang
30-44 Menurun
G3b
sedang hingga sangat
menurun
15-29 Sangat
G4
menurun
<15 Gagal ginjal
G5
LFG, laju filtrasi glomerulus; PGK, penyakit ginjal kronis.
*Relatif terhadap dewasa muda
Tanpa adanya tanda kerusakan ginjal, stadium G1 dan G2 tidak memenuhi
kriteria PGK

3.2.7 Manifestasi Klinis


Pasien dengan CKD stadium G1-G3 (LFG >30
mL/menit/1,73 m²) sering kali tidak menunjukkan gejala. Pasien tidak
mengalami gangguan yang tampak secara klinis pada keseimbangan cairan,
elektrolit, atau gangguan endokrin/metabolik.

35
Umumnya gangguan tersebut bermanifestasi secara klinis pada CKD
stadium G4-G5 (LFG < 30 mL/menit/1,73 m²). Pasien dengan penyakit
tubulointerstisial, penyakit kistik, sindrom nefrotik, dan kondisi penyakit
ginjal (misal poliuria, hematuria, edema) lebih mungkin menunjukkan
tanda-tanda penyakit ginjal pada tahap awal.
Manifestasi uremik pada pasien CKD stadium G5 diyakini terutama
disebabkan oleh akumulasi beberapa racun, yang spektrum dan identitasnya
umumnya belum sepenuhnya diketahui. Asidosis metabolik pada stadium
G5 dapat bermanifestasi sebagai malnutrisi energi protein, hilangnya massa
tubuh tanpa lemak, dan kelemahan otot. Perubahan penanganan garam dan
air oleh ginjal pada CKD dapat menyebabkan edema perifer dan, tidak
jarang, edema paru dan hipertensi.
Anemia, yang pada CKD berkembang terutama sebagai akibat dari
penurunan sintesis eritropoietin ginjal, bermanifestasi sebagai kelelahan,
penurunan kapasitas olahraga, gangguan fungsi kognitif dan kekebalan
tubuh, dan penurunan kualitas hidup. Anemia juga dikaitkan dengan
perkembangan penyakit kardiovaskular, timbulnya gagal jantung baru,
perkembangan gagal jantung yang lebih parah, dan peningkatan kematian
akibat kardiovaskular.
Manifestasi lain dari uremia pada end stage renal disease (ESRD),
yang sebagian besar lebih mungkin terjadi pada pasien yang tidak menjalani
dialisis secara adekuat, adalah sebagai berikut:
a. Perikarditis: Dapat dipersulit oleh tamponade jantung, yang
mungkin mengakibatkan kematian
b. Ensefalopati: Dapat berkembang menjadi koma dan
kematian
c. Neuropati perifer
d. Sindrom kaki gelisah
e. Gejala gastrointestinal: Anoreksia, mual, muntah, diare
f. Manifestasi kulit: Kulit kering, pruritus, ekimosis
g. Kelelahan, peningkatan rasa mengantuk, gagal tumbuh

36
h. Malnutrisi
i. Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenore
j. Disfungsi trombosit dengan kecenderungan berdarah

3.2.8 Algoritma Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
1. Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi, hiperurisemia,
lupus
2. Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus spontan)
3. Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba, kemoterapi,
antiretroviral, proton pump inhibitors, paparan zat kontras
4. Evaluasi sindrom uremia: Lemah, nafsu makan turun, berat badan turun,
mual, muntah, nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus,
kram otot, kejang sampai koma
5. Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem
organ seperti auditorik, visual, kulit, dan lainnya untuk menilai apa ada PGK
yang diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan
nefrotoksin dari lingkungan (logam berat)

Pemeriksaan fisik
1. Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ:
Funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung
IV)
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: Edema, polineuropati
3. Gangguan endokrin-metabolik: Amenorrhea, malnutrisi, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual
4. Gangguan saluran cerna: Anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin (uremic
fetor), disgeusia (metallic taste), konstipasi

37
5. Gangguan neuromuskular: Letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus,
fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
6. Gangguan dermatologis: Palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic
frost, nephrogenic fibrosing dermopathy

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium: Darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus
Kockroft-Gault, serum ureum dan kreatinin, tes klirens kreatinin (TTK),
asam urat, elektrolit, gula darah, profil lipid, analisa gas darah, serologis
hepatitis, SI, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin,
pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, urinalisis
2. Radiologis: Foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan, ekokardiografi
3. Biopsi ginjal
4. Rumus Kockroft-Gault
Creatinine clearance atau LFG = [(140-umur) x berat badan]/(72 x
SCr) ml/menit/1,73 m2
Keterangan: Pada wanita hasil LFG x 0.85

3.2.9 Talaksanaa

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik


terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid, memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi
terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi, dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.

38
Tabel 3. 2. Rencana tatalaksana CKD berdasarkan stadium

Terapi penyakit dasar tepat dilakukan sebelum terjadi penurunan


GFR sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila GFR sudah turun
hingga 20— 30% dari normal, terapi terhadap penyakit mendasar sudah
tidak bermanfaat. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan GFR
untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor- faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, obstruksi
traktur urinarius, obat-obat nefrotoksik, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Salah satu cara untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein
dilakukan pada GFR 60 ml/m, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan
asupan protein tidak dianjurkan. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-

39
35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status
nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Di dalam tubuh kelebihan protein tidak akan disimpan tetapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang diekskresikan
terutama melalui ginjal. Makanan tinggi protein yang mengandung ion
hidrogen, posfat, sulfat dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu diet tinggi protein pada penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Pembatasan protein akan mengurangi sindrom uremik.
Asupan protein berlebih juga akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan progresivitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan
asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat
perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Tabel 3. 3. Kebutuhan protein berdasarkan laju filtrasi glomerulus

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan


hal penting. Hal ini karena 40—45% kematian pada penyakit ginjal kronis

40
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Pencegahan dan terapi penyakit
kardiovaskular termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,
anemia, hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. Menurut
panduan dari JNC 8 dan KDIGO, tekanan darah pada pasien PGK yang
disarankan adalah kurang dari 140/90 mmHg. Dan berdasarkan KDIGO,
pasien dengan nilai ACR minimal 30 mg per 24 jam disarankan menjaga
tekanan darah dibawah 130/80 mmHg. Sehingga sangat disarankan untuk
menjaga tekanan darah secara intensif untuk mengurangi risiko terkena
penyakit kardiovaskular. Untuk menatalaksana CKD dengan hipertensi,
perlu dilakukan evaluasi apakah terdapat albuminuria atau tidak. Sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini
diketahui bahwa proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya perburukan
fungsi ginjal. Obat antihipertensi terutama ACE-inhibitor terbukti dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal melalui mekanisme
antihipertensi dan antiproteinuria. Terapi ACE-I dan ARB yang bersamaan
sangat dihindarkan karena dapat meningkatkan risiko hiperkalemia dan
acute kidney injury.
Pencegahan dan terapi terhadap kompliksai juga penting dilakukan.
Manifestasi komplikasi penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajat
penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Anemia pada gagal ginjal kronis
terjadi karena defisiensi eritropoietin. Selain itu defisiensi besi, kehilangan
darah, masa hidup eritrosit pendek akibat hemolisis, defisiensi asal folat,
penekanan sumsum tulang oleh sibstansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik juga berkontribusi. Penatalaksanaan anemia pada PGK
ditujukan pada penyebab utamanya disamping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoietin (EPO) dianjurkan. Status besi harus
menjadi perhatian pada pemberian EPO karena perlu besi untuk mekanisme
kerjanya. Transfusi pada PGK harus hati-hati, berdasarkan indikasi yang
tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan tidak

41
cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
pemburukan fungsi ginjal. Target hemoglobin menurut berbagai studi
adalah 11-12 g/dL.
Penatalaksanaan osteodistrofi ginjal dilakukan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitrol.
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat untuk menghambat absorpsi fosfat dalam saluran
pencernaan. Dialisis juga dapat berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium.
Garam ini diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang
berasal dari makanan.
Pembatasan asupan air pada PGK penting dilakukan. Hal ini untuk
mencegah terjadi edema dna komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk
dibuat seimbang dengan air yang keluar baik dari urin maupun insensible
water loss. Air yang keluar dari insensible water loss diasumsikan antara
500-800 ml/hari, maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah
jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pemberian obat yang
mengandung kalium dan makanan tinggi kalium harus dibatasi. Kadar
kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5. Terapi
tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal.12 Tatalaksana pada penyakit ginjal kronik juga harus disertasi
pengubahan gaya hidup, yaitu dengan berhenti merokok, menurunkan berat
badan dan mempertahankan berat badan ideal, tidak mengonsumsi alkohol,
rajin berolahraga, dan mengatur pola makan.

42
Penatalaksanaan nonfarmakologis:
1. Nutrisi Pada pasien non -dialisis dengan L.FG <20 mL/menit, evaluasi
status nutrisi dari 1) serum albumin dan/atau 2) berat badan aktual tampa
edema.
2. Protein Pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesual dengan
CCT dan toleransi pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari, pasien
peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
3. Pengaturan asupan lemak 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat 50-60% dari kalori total; Natrium: <2
gram/hari (dalam bentuk garam <6 gram/hari) ; Kalium: 40-70 mEq/hari;
Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17 mg/hari Kalsium: 1400-1600
mg/hari (tidak melebih 2000 mg/hari); Besi: 10-18 mg/hari; Magnesium:
200-300 mg/hari; Asam folat pasien HD: 5 mg; Air: jumlah urin 24 jam +
500 ml (insensible water loss).

Penatalaksanaan farmakologis:
1. Kontrol tekanan darah Penghambat ACE atau antagonis reseptor
Angiotensin I: evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat
peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan.
2. Penghambat kalsium
3. Diuretik Pada pasien DM, kontrol gula darah: hindari pemakalan metformin
dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk
DM tipe 1 0,2 diatas nilal normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6% \
4. Koreksi anemia dengan target Hb 10 – 12 g/dL
5. Kontrol hiperfosfatemi berupa kalsium karbonat atau kalsium asetat
6. Kontrol ostediostrofi renal berupa kalsitriol
7. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20 – 22 mEg/L

43
8. Koreksi hiperkalemi
9. Kontrol dislipedia dengan target LDL <100 mg/dL, dianjurkan golongan
statin
10. Terapi ginjal pengganti

3.2.10 Komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang


manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.

Tabel 3. 4. Komplikasi berdasarkan laju filtrasi glomerulus

Berikut penjelasan dari beberapa komplikasi akibat gagal ginjal:

44
1. Abnormalitas cairan dan elektrolit
Peningkatan akumulasi cairan (hypervolemia) dapat terlihat atau tidak
dan bermanifestasi sebagai hipertensi arterial, edema dan/atau sesak napas.
Beberapa pasien dapat memiliki gangguan dalam memekatkan urin dan
memiliki gejala polyuria. Gangguan pekat urin ini dapat meningkatkan risiko
hypovolemia. Ekskresi kalium bergantung pada pertukaran natrium pada
tubulus ginjal. GFR yang rendah dapat menurunkan pengantaran natrium ke
tubulus distal, menurunkan pertukaran kalium dalam urin dan menyebabkan
hiperkalemia. Hiperkalemia juga dapat terjadi akibat diet tinggi kalium,
kondisi katabolik dengan peningkatan kerusakan jaringan, asidosis metabolic
dengan atau tanpa asidosis tubulus renal sekunder tipe IV, penurunan
produksi renin oleh apparatus jukstaglomerulus, dan hypoaldosteronism yang
berkaitan dengan gangguan serapan selule terkait inhibitor RAS kalium.
2. Anemia
Anemia merupakan komplikasi tersering dari PGK. Penyebab anemia
pada PGK adalah multifactorial, terutama disebabkan oleh defisiens
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemi adalah
defisiensi besi, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi anemia
dimulai saat hemoglobin ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30%. Evaluasi meliputi
terhadap status besi (serum besi, TIBC, serum feritin), mencari sumber
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain-lain.
3. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik berhubungan dengan turunnya ekskresi
ammonium total ginjal yang terjadi saat penurunan GFR <40—50 mL/menit
per 1,73 m2 (PGK stadium III). Ekskresi asam yang dapat diekskresi
(terutama fosfat) dan reabsorpsi bikarbonat berkurang.
4. Hiperurisemia

45
Peningkatan kadar asam urat dapat terjadi akibat menurunnya ekskres
urin. Asam urat >7,5 mg/dL merupakan faktor risiko percepatan progresifitas
PGK.
5. Hipertensi arterial
Pada sebagian besar, hipertensi arterial bukan merupakan sebab
namun konsekuensi dari PGK. Hipertensi dapat terjadi pada stadium awal
PGK. Hipertensi merupakan konsekuensi dari aktivasi axis neurohumoral
(aktivitas katekolamin dan aldosterone), aktivasi RAS, dan hypervolemia.
Selain itu, dapat juga terjadi akibat pengobatan kortikosteroid dan inhibitor
kalsineurin. Hipertensi arterial perlu dikontrol untuk mencegah terjadinya
penyakit jantung
6. Penyakit jantung
Insidensi yang tinggi terjadinya penyakit jantung pada PGK dapat
disebabkan oleh hipertensi, dislipidemia, hiperurisemia, metabolisme glukosa
abnormal, obesitas, inflamasi sistemik, dan stress oksidatif
7. Disfungsi endokrin
Beberapa sistem endokrin mengalami disfungsi sejalan denga
progresifitas fungsi ginjal yang menurun, seperti hormone gonad, hormo
pertumbuhan, dan abnormalitas fungsi hormone tiroid.
8. Uremia
Pada awal PGK, pasien mengalami gejala uremia, seperti anoreksia,
muntah, kelemahan dan kelelahan. Uremia merupakan keadaan inflamasi
sitemik yang diannggap berkontribusi terjadinya penyakit jantung terkait
PGK, malnutrisi, sarcopenia, osteoporosis, dan kelemahan

3.2.11 Prognosis
Pasien penyakit ginjal kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk
dirawat di rumah sakit dan peningkatan risiko untuk berkomplikasi menjadi
penyakit kardiovaskular. Risiko ini meningkat seiringan dengan penurunan
nilai GFR. PGK merupakan penyakit yang progresif dan dapat menjadi end-
stage renal disease (ESRD) dan membutuhkan terapi pengganti ginjal,

46
seperti dialysis dan transplantasi. Penting sekali untuk merujuk pasien PGK
stadium 4 dan 5, terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset
terapi penggantian ginjal) berkaitan erat dengan meningkatnya angka
mortalitas setelah dialisis dimulai. Pasien PGK derajat akhir memiliki
peningkatan risiko kematian yang dikarenakan adanya komplikasi dari
penyakit kardiovaskular. Five-year survival untuk pasien dialisis hanya
sekitar 34%.
Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam
memberikan edukasi pada pasien mengenal terapi penggantian ginjal
(hemodialisis, dialisis peritoneal, transplantasi) dan pemilihan akses
vaskular untuk hemodialisis. Bagi kandidat transplantasi, evaluasi donor
harus segera dimulai.

3.2.12 SNPPDI

3A Bukan Gawat Darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang dan
memberikan usulan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat
darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya dalam konteks penilaian kemampuan.

47
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien laki-laki usia 33 tahun datang ke IGD RSMH. Diagnosis pada pasien
ini ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama pasien ialah sesak napas
yang semakin dirasakan sejak 1 hari SMRS. Sesak napas berupa ortopnoe, dyspnoe
de effort, dan paroxysmal nocturnal dyspnoe. Keluhan disertai nyeri kepala, mual,
dan BAK sedikit. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang diketahui sejak satu
tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki Riwayat diabetes mellitus. Pasien telah
terdiagnosis chronic kidney disease stage G5Ax sejak lima bulan yang lalu, pasien
rutin hemodialisis. Pada pemeriksaan fisik umum ditemukan keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, hipertensi, takikardi, dan dispone.
Keadaan spesifik ditemukan konjungtiva palpebra pucat, mukosa bibir pucat,
peningkatan tekanan vena jugularis, shifting dullness, dan nyeri tekan epigastrium.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia normokromik normositer, kadar
ureum dan kreatinin tinggi, dan penurunan kadar kalsium. Perhitungan laju filtrasi
glomerulus didapatkan 5 mL/min/1.73m2. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan kardiomegali. Pada pemeriksaan EKG didapatkan adanya LVH.
Sehingga pasien didiagnosis dengan hipertensi emergency + CKD stage G5Ax ec
nefrosklerosis hipertensi + CHF NYHA III ec HHD + anemia normokromik
normositer ec penyakit ginjal + hipokalsemia.
Klinis pada pasien saat ini yang ditandai hipertensi mencapai 200/120
mmHg menunjukkan hipertensi krisis hipertensi. Pada pasien ini terdapat target
organ ginjal yang berhubungan dengan keadaan krisis hipertensi, sehingga
hipertensi pada pasien disebut sebagai hipertensi emergensi. Selain itu, gejala yang
dirasakan yang mungkin berhubungan dengan tingginya tekanan darah ialah adanya
nyeri kepala, yang mungkin mengarah kepada keterlibatan neurologis. Meski
demikian, pada pasien tidak didapatkan adanya gangguan kesadaran. Keterlibatan
organ lain perlu diwaspadai pada hipertensi emergensi seperti mata, otak, dan

48
jantung. Pada pasien dengan CKD, keadaan hipertensi dapat diperparah dengan
berbagai faktor seperti berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi, retensi natrium,
peningkatan volume dalam aliran darah, peningkatan aktivitas simpatik, serta
peningkatan aktivitas RAAS, sehingga berhubungan dengan terjadinya krisis
hipertensi pada pasien ini.
Keadaan sesak napas yang saat ini dirasakan oleh pasien merupakan akibat
dari dekompensasi jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh. Hal ini
disebabkan oleh penyakit jantung hipertensi. Pasien memiliki riwayat hipertensi
yang diketahui sejak satu tahun yang lalu. Meski demikian, hal tersebut tidak
menutup kemungkinan pasien telah mengalami hipertensi sebelumnya. Penyakit
jantung hipertensi ditentukan dengan menemukan adanya hipertensi dan
kardiomegali. Penyakit jantung hipertensi tersebut pada akhirnya menyebabkan
kegagalan pompa darah yang dikenal dengan gagal jantung kongestif (congestive
heart failure).
Chronic kidney disease stage G5Ax ditentukan setelah menentukan laju
filtrasi glomerulus (LFG) dengan memasukkan kadar serum kreatinin ke dalam
rumus Kockroft-Gault. Dari hasil perhitungan ditemukan LFG 5 ml/min//1.73 m2.
Hal ini menunjukkan CKD stadium G5 berdasarkan kategori LFG (<15
ml/min//1.73 m2). Adapun stadium berdasarkan albuminuria pada pasien ini belum
ditentukan sehingga stadium sementara ditentukan sebagai Ax.
Gejala lain yang dialami pada pasien ialah mual. Hal ini berhubungan
dengan tingginya kadar ureum dalam darah sebagai akibat dari inadekuatnya
ekskresi ureum ke dalam urine. Keadaan ini disebut sebagai gastropati uremikum.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini ialah menurunkan tekanan darah
dengan target sistolik 150-160 mmHg dan diastolic 80-90 mmHg. Selain itu,
diberikan terapi suportif berupa diuretik, penanganan hipokalsemia dengan kalsium
karbonat, melanjutkan obat rutin antihipertensi, dan pemberian asam folat
mencegah terjadinya defisiensi folat dan mencegah hiperhomosisteinemia.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Alegría-Ezquerra E, González-Juanatey JR, González-Maqueda I.


Hypertensive Heart Disease: a Proposed Clinical Classification. Revista
Española de Cardiología (English Edition). 2006;59(4).
2. Alley, William D., Schick, Michael A. Hypertensive Emergency [Internet].
StatPearls. 2023 [cited 2023 Nov 9]. Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470371/
3. Arora, Pradeep. Chronic Kidney Disease (CKD) Clinical Presentation
[Internet].Medscape. 2023 [cited 2023 Nov 9]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/238798-clinical
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013. 2013;
5. Gameiro J, Fonseca JA, Outerelo C, Lopes JA. Acute kidney injury: From
diagnosis to prevention and treatment strategies. Vol. 9, Journal of Clinical
Medicine. 2020.
6. Loekman, Jodi S. Patogenesis dan Manajemen Hipertensi Emergensi.
Denpasar: PKB Ilmu Penyakit Dalam; 2016.
7. Makris K, Spanou L. Acute Kidney Injury: Definition, Pathophysiology and
Clinical Phenotypes. Clin Biochem Rev. 2016;37(2).
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Penatalaksanaan di
Ilmu Bidang Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis.
9. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tapahary DL, editor. Jakarta:
InternaPublishing; 2019. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. In: Patofisiologi. 2005
10. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K. MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
11. Triposkiadis F, Xanthopoulos A, Parissis J, Butler J, Farmakis D. Pathogenesis
of chronic heart failure: cardiovascular aging, risk factors, comorbidities, and
disease modifiers. Vol. 27, Heart Failure Reviews. 2022.

50

Anda mungkin juga menyukai