Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

“ARTRITIS GOUT”

Oleh:
Amanda Saphira Wardani
NIM:
41191396100033

Pembimbing:
dr. Waluyo Dwi Cahyono, Sp. PD-KEMD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. CHASBULLAH ABDULMADJID KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji serta syukur penulis panjatkan ke kehadirat


Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata Program Studi
Profesi Dokter FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Rumah Sakit Umum Daerah
Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi panutan kehidupan umat manusia.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para pengajar di KSM Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi,
khususnya dr. Waluyo Dwi Cahyono, Sp. PD-KEMD. selaku pembimbing sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Artritis Gout.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga
makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembacanya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menjadi salah
satu bahan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, khususnya bagi kami yang
sedang menempuh pendidikan profesi dokter.

Jakarta, September 2020

Amanda Saphira Wardani

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5
2.1 Definisi ………........................................................................................ 5
2.2 Epidemiologi …………………………………………………………… 5
2.3 Etiologi dan Klasifikasi …………………….………………………….. 6
2.3.1 Hiperurisemia dan gout primer …..………………………….. 6
2.3.2 Hiperurisemia dan gout sekunder ……………………………. 7
2.3.3 Hiperurisemia dan gout idiopatik ……………………………. 8
2.4 Faktor Risiko …………………………………………………………… 8
2.5 Metabolisme Asam Urat ……………………………………………….. 9
2.6 Patogenesis ……………………………………………………………. 10
2.7 Manifestasi Klinis …………………………………………………….. 14
2.8 Diagnosis ……………………………………………………………… 16
2.9 Penatalaksanaan ………………………………………………………. 19
2.9.1 Tatalaksana Non Farmakologi ……………………………… 19
2.9.2 Tatalaksana Farmakologi …………………………………… 20
2.10 Komplikasi ……………………………………………………………. 28
2.11 Prognosis ……………………………………………………………… 28
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

Artritis gout merupakan penyakit inflamasi kronik tersering yang timbul akibat
deposisi kristal monosodium urat (MSU) pada persendian. Peningkatan kadar asam
urat serum melebihi ambang maksimal merupakan faktor penyebab pembentukan
kristal asam urat. Meskipun hiperurisemia adalah kelainan patogenik utama pada gout,
banyak orang dengan hiperurisemia yang tidak mengalami gout atau terbentuk kristal
MSU pada tubuhnya. Hanya 5% orang dengan hiperurisemia di atas 9 mg/dL yang
mengalami gout. Dengan demikian, diperkirakan bahwa faktor-faktor lain seperti
kecenderungan genetik ikut berperan dalam kejadian gout.1
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan gout masih belum
optimal terutama dalam segi penegakkan diagnosis. Hal ini dapat meningkatkan risiko
ketidaktepatan pengobatan pasien. Artritis gout merupakan penyakit yang bersifat
progresif. Tanpa penanganan yang tepat dan efektif, artritis gout dapat berkembang
menjadi kronik dimana akan terbentuk tofi dan dapat terjadi gangguan fungsi ginjal
berat. Hal ini tentu akan menurunkan kualitas hidup penderita. Oleh karena itu,
penegakan diagnosis dan pemberian tatalaksana harus dipelajari dan diperhatikan
secara tepat agar prognosis penyakit ini menjadi lebih baik.2,3

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Atritis gout atau atritis pirai merupakan penyakit progresif akibat deposisi
kristal monosodium urat (MSU) pada persendian sebagai akibat hiperurisemia yang
berlangsung kronik. Hiperurisemia merupakan keadaan meningkatnya kadar asam urat
di dalam darah akibat adanya peningkatan metabolisme asam urat, penurunan
pengeluaran asam urat, ataupun gabungan keduanya. Namun, orang yang mengalami
hiperurisemia belum tentu mengalami atritis gout. 3,4

2.2 Epidemiologi
Artritis gout merupakan penyakit inflamasi kronik pada sendi dan cairan
sinovial yang paling sering dijumpai di seluruh dunia dan pada semua ras. Penyakit ini
diperkirakan terjadi pada 480 orang dari setiap 100.000 penduduk. Prevalensi penyakit
artritis gout mengalami peningkatan dua kali lipat pada tahun 1990-2010. Terjadi
peningkatan prevalensi gout dan hiperurisemia pada orang dewasa di Amerika Serikat
yang menyebabkan 8,3 juta (4%) orang menderita gout dan 43,4 juta (21%) orang
mengalami peningkatan kadar asam urat dalam darah.5
Di Indonesia, Riskesdas (2018) membagi penyakit sendi menjadi beberapa
kategori. Berdasarkan daerah, Aceh merupakan daerah dengan prevalensi sakit sendi
tertinggi, yakni sebanyak 13,3%, sedangkan Sulawesi Barat merupakan daerah dengan
prevalensi terendah, yaitu sebanyak 3,2%. Berdasarkan usia, prevalensi sakit sendi
meningkat seiring pertambahan usia. Prevalensi tertinggi dijumpai pada usia 75 tahun
atau lebih, yaitu sebanyak 18,9% dan terendah pada usia 15-24 tahun sebanyak 1,2%.
Berdasarkan jenis kelamin, perkembangan penyakit sendi sebelum usia 30 tahun lebih
banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita, namun pada usia 45 tahun risiko
penyakit sendi meningkat pada wanita, yakni sebanyak 8,5%, dibandingkan dengan
pria sebanyak 6,1%.. Hal ini dapat dipengaruhi oleh hormon estrogen wanita yang

5
mengalami penurunan saat memasuki masa menoupause sehingga asam urat dalam
tubuh tidak dapat dieksresi secara optimal.6

2.3 Etiologi dan Klasifikasi7


Hiperurisemia dan gout dapat ditimbulkan akibat produksi asam urat yang
berlebihan (overproduction) dan pembuangan asam urat yang berkurang
(underexcretion). Berdasarkan penyebabnya, hiperurisemia dan gout dapat
diklasifikasikan menjadi hiperurisemia dan gout primer dan sekunder.

2.3.1 Hiperurisemia dan gout primer


Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan gout yang tidak
disebabkan oleh penyakit atau penyebab lain. Penyebab pada jenis ini adalah 99%
karena kelainan molekular yang belum jelas (80-90% akibat ekskresi yang berkurang
dan 10-20% akibat produksi berlebihan). Hiperurisemia primer akibat berkurangnya
ekskresi dapat disebabkan oleh faktor genetik yang mengakibatkan gangguan
pengeluaran asam urat dan menyebabkan hiperurisemia. Kadar fractional uric acid
clearance pada hiperurisemia tipe berkurangnya ekskresi asam urat didapatkan lebih
rendah dari orang normal.
Terdapat kelainan hiperurisemia yang disebut familial juvenile gout atau
familial juvenile hyperuricaemic nephropathy (FJHN), yakni hiperurisemia akibat
adanya penurunan pengeluaran asam urat pada ginjal dalam satu keluarga yang
diturunkan secara autosomal dominan, dimana terjadi kelainan pada membran atau
brush border tubulus proksimal ginjal. Kelainan ini sering terjadi pada usia muda,
mengenai pria dan wanita, terjadi penurunan fractional uric acid clearance dan sering
menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara cepat.
Penyebab lainnya dari hiperurisemia primer adalah adanya kelainan enzim
spesifik akibat peningkatan aktivitas enzim phosphoribosyl pyrophosphate (PRPP)
synthetase dan kekurangan sebagian dari enzim hypoxhantine phosphoribosyl
transferase (HPRT) menyebabkan peningkatan pembentukan nukleotida purin melalui

6
sintesis de novo sehingga terjadi hiperurisemia tipe produksi berlebihan. Diperkirakan
terdapat 3 mekanisme produksi berlebihan, yaitu:
a. Kekurangan enzim HPRT menyebabkan kekurangan inosine
monophosphate (IMP) yang berfungsi sebagai inhibisi proses biosintesis de
novo.
b. Penurunan pemakaian ulang menyebabkan peningkatan jumlah PRPP yang
tidak dipergunakan sehingga proses biosintesis de novo meningkat.
c. Kekurangan enzim HPRT menyebabkan hypoxanthine tidak bisa diubah
kembali menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi hypoxantine
menjadi asam urat.

2.3.2 Hiperurisemia dan gout sekunder


Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang
disebabkan oleh penyakit lain atau penyebab lain. Pada jenis ini terdapat
peningkatan biosentesis de novo yang disebabkan oleh 3 hal, yaitu:
a. Kekurangan menyeluruh enzim HPRT yang menyebabkan disfungsi
neurokemikal otak. Contohnya pada sindrom Lesh-Nyhan.
b. Kekurangan enzim glucosa-6-phosphatase yang mengakibatkan terjadi
kombinasi produksi berlebihan dan ekskresi yang berkurang karena
pemecahan ATP. Pemecahan ATP menyebabkan hipoglikemia. Contohnya
pada glycogen storage disease.
c. Kekurangan enzim fructose-1-phosphate aldolase.
Penyebab lain dari jenis ini adalah peningkatan degradasi ATP sehingga
terjadi peningkatan pemecahan asam nukleat dari inti sel dan menyebabkan
produksi asam urat yang berlebihan. Penyebab ini dapat ditemukan pada
hemolisis kronis, polisitemia, dan metaplasia myeloid. Selain itu, kelainan ini
dapat disebabkan karena penurunan ekskresi akibat penurunan masa ginjal
seperti pada penyakit ginjal kronik yang menyebabkan gangguan filtrasi asam
urat, penurunan filtrasi glomerulus akibat dehidrasi dan diabetes insipidus,
penurunan fractional uric acid clearance seperti pada penyakit hipertensi,

7
hiperparatiroid, dan peningkatan asam organik akibat latihan fisik. Penggunaan
obat-obatan seperti obat diuretik, pirazinamid, etambutol, siklosporin juga
dapat menyebabkan underekskresi asam urat.
Pada keadaan gagal ginjal karena penyakit ginjal primer, penurunan
pengeluaran asam urat akan diikuti dengan peningkatan kadar asam urat dalam
darah, namun tidak pernah melebih 10mg%. Diperkirakan terjadi peningkatan
pengeluaran asam urat melalui ekstra renal sebagai kompensasi hambatan
pengeluaran melalui ginjal yang belum diketahui pasti jumlahnya, sehingga
hiperurisemia sekunder karena gangguan fungsi ginjal jarang sampai
menyebabkan penyakit gout.

2.3.3. Hiperurisemia dan gout idiopatik


Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas
penyebab primer, kelainan genetik, maupun tidak adanya kelainan fisiologi atau
anatomi yang jelas.

2.4 Faktor Risiko


Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya artritis gout,
diantaranya ialah jenis kelamin, usia, riwayat hiperurisemia di keluarga, asupan
senyawa purin berlebihan, konsumsi alkohol berlebih, obesitas, kurangnya aktivitas
fisik, dan penggunaan obat-obatan seperti diuretik, aspirin, pirazinamid, etambutol, dan
niasin.
Pria lebih berisiko menderita atritis gout karena memiliki kadar serum asam
urat yang lebih tinggi daripada wanita. Namun, wanita mengalami peningkatan risiko
atritis gout setelah menopause (usia 45 tahun) seiring dengan penurunan kadar estrogen
yang bersifat urikosurik. Selain itu, risiko terjadinya atritis gout semakin meningkat
seiring pertambahan usia.6
Konsumsi makanan tinggi purin serta pemanis pada minuman ringan dan jus
buah yang mengandung fruktosa dapat meningkatkan risiko terjadinya gout. Konsumsi
alkohol berlebih dalam bentuk bir, wiski, dan fortified wine juga dapat meningkatkan

8
produksi asam urat dalam darah. Hal ini dikarenakan alkohol dapat mempercepat
proses pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam urat, selain itu metabolisme
etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenin nukleotida meningkatkan terbentuknya
adenosin monofosfat yang merupakan prekursor pembentuk asam urat. Alkohol juga
dapat meningkatkan asam laktat pada darah yang menghambat eksresi asam urat.8
Obesitas dan indeks massa tubuh berlebih dapat meningkatkan risiko artritis
gout. Hal ini berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin, dimana insulin dapat
meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger
transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter pada
brush border yang terletak pada membran tubulus proksimal ginjal. Adanya resistensi
insulin akan mengganggu proses fosforilasi oksidatif sehingga kadar adenosin tubuh
meningkat. Peningkatan konsentrasi adenosin mengakibatkan terjadinya retensi
sodium, asam urat dan air oleh ginjal.8
Aktivitas fisik akan menurunkan ekskresi asam urat dan meningkatkan
produksi asam laktat dalam tubuh. Semakin berat aktivitas fisik yang dilakukan,
terutama jika dilakukan dalam jangka panjang, maka semakin banyak asam laktat yang
diproduksi.6

2.5 Metabolisme Asam Urat


Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Purin merupakan
hasil metabolisme asam nukleat yang secara langsung diubah dari makanan.
Pemecahan nukelotida purin terjadi di semual sel, tetapi asam urat hanya dihasilkan
oleh jaringan yang mengandung xantin oksidase (XO) terutama di hepar dan usus
halus. Dua pertiga total urat tubuh berasal dari pemecahan purin endogen, hanya
sepertiga yang berasal dari diet yang mengandung purin. Pada pH netral, asam urat
dalam bentuk ion asam urat (monosodium urat) banyak terdapat dalam darah.9
Tingginya metabolisme purin mengakibatkan peningkatan kerja riboosa 5
fosfat yang disintesis dengan ATP untuk memproduksi metabolit nukleotid. Adenine
dikonversi menjadi adenin monofosfat (AMP) oleh enzim adenin
phosphoribosyltransferase (APRT). Selanjutnya AMP dikonversi menjadi inosin

9
monofosfat (IMP), berubah jadi inosin, dan membentuk hipoxantin. Adenosin juga
dapat dikonversi langsung menjadi inosin oleh adenosin deaminase. Guanin
monofosfat (GMP) dikonversi menjadi guanosin, berubah jadi guanin dan membentuk
xantin. Xantin oksidase mengkonversi hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi
asam urat. Pada keadaan normal, 90% metabolit nukleotid (adenin, guanin, dan
hipoxantin) dipakai kembali untuk membentuk AMP, IMP, dan GMP oleh enzim
adenin phosphoribosyltransferase (APRT) dan hipoxantin guanin
phosphoribosyltransferase (HGPRT). 10% dari asam urat akan diekskresi melalui
ginjal dalam urin. Kelarutan asam urat rendah dalam kondisi dingin dan meningkatkan
risiko perkembangan hiperurisemia menjadi gout.9,10

Gambar 2.1 Metabolisme Asam Urat9

2.6 Patogenesis
Asam urat terbentuk dari hasil pemecahan purin. Hiperurisemia disebabkan
oleh adanya ketidakseimbangan antara produsi dan ekskresi asam urat. Hal ini yang
menyebabkan darah mengalami supersaturasi oleh asam urat. Asam urat dalam

10
peredaran darah tersimpan dalam bentuk monosodium urat (MSU). Awitan serangan
gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum. Konsentrasi MSU
yang lebih dari 7 mg/dL dapat memicu proses kristalisasi sehingga terbentuk kristal
asam urat. Pada kadar asam urat serum yang stabil, akan jarang terjadi serangan.
Penurunan urat serum dapat mencetus pelepasan kristal MSU dari depositnya dalam
tofi yang disebut dengan crystal shedding. Temperatur, pH, dan kelarutan urat berperan
dalam memicu terjadinya serangan akut gout. Kelarutan urat dipengaruhi oleh pH
cairan synovial, konsentrasi air, kadar elektrolit, dan komponen synovial lainnya
seperti proteoglikan dan kolagen. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur
lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan menjelaskan mengapa
predileksi pengendapan kristal MSU terletak pada tangan dan kaki, khususnya
metatarsophalangeal-1 (MTP-1). Selain itu, MTP-1 merupakan daerah yang sering
berhubungan dengan trauma ringan berulang pada daerah tersebut. Kecepatan difusi
molekul urat dari ruang sinovia ke dalam plasma hanya setengah kecepatan air. Hal ini
menyebabkan konsentrasi urat dalam cairan sendi menjadi seimbang dengan urat
dalam plasma di siang hari, dan bila cairan sendi direabsorpsi waktu berbaring akan
menyebabkan peningkatan kadar urat lokal. Kejadian ini juga dapat menerangkan
terjadinya awitan gout akut pada malam hari di sendi yang bersangkutan. 7,11
Peradangan pada artritis gout akut terjadi akibat penumpukan kristal MSU pada
sendi. Kristal tersebut akan berinteraksi dengan fagosit melalui dua mekanisme, yakni
melalui aktivasi komplemen dan selular.7,11
Kristal urat mengaktifkan sistem komplemen melalui aktivasi komplemen C1
tanpa peran immunoglobulin. Aktivasi C1q melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi
kolikrein dan berlanjut dengan aktivasi Faktor XII yang berperan penting dalam
kaskade koagulasi. Kemudian partikel kristal akan berikatan dengan C3a dan terjadi
proses oponisasi agar partikel tersebut mudah dikenali, yang kemudian difagositosis
dan dihancurkan oleh neutrofil, monosit, atau makrofag. Aktivasi komplemen C5a
mengakibatkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi,
serta pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivasi C3a dan C5a menyebabkan

11
pembentukan membrane attack complex (MAC) yang bersifat sitotoksik pada sel
patogen maupun sel host.7,11,12
Pada aspek seluler terkait peradangan akibat artritis gout, berbagai sel dapat
berperan dalam proses peradangan, antara lain sel makrofag, neutrofil sel sinovial, dan
sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses
peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi, antara lain IL-1,
TNF-α, IL-6, dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor).
Mediator ini menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi sel radang dengan
berbagai cara sehingga menimbulkan respon fungsional sel berupa degranulasi,
aktivasi NADPH oksidase, dan aktivasi faktor transkripsi yang menyebabkan gen
berekspresi dengan mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi, diantaranya
IL-8. Berbagai proses inflamasi ini akan menimbulkan tanda-tanda peradangan baik
lokal maupun sistemik serta menimbulkan kerusakan jaringan. 7,11,12

Gambar 2.2 Patogenesis artritis gout akut.11

Serangan akut artitis gout biasanya dapat sembuh sendiri. Resolusi terjadi
dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Hal ini terjadi melalui pembuangan dan
fagositosis kristal oleh makrofag, sehingga menekan aktivasi seluler dan kemokin.
Makrofag juga membersihkan sisa-sisa apoptosis seluler untuk membantu

12
menghentikan kaskade inflamasi dan mensekresikan transforming growth factor
(TGF)-ß untuk mengeliminasi IL-1. Sitokin anti-inflamasi juga berperan dalam
menghentikan proses inflamasi serangan akut melalui proteolisis sitokin pro-inflamasi,
peurunan ekspresi reseptor TNF-α dan interleukin pada permukaan leukosit.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular juga berperan dalam ekstravasasi
makrofag, apolipoprotein B dan E, serta protein plasma lainnya ke dalam cairan
sinovial untuk membersihkan area inflamasi.11,12
Pada fase interkritikal tetap terjadi proses inflamasi tingkat rendah. Sitokin,
kemokin, protease, dan oksidan yang berperan pada proses inflamsi fase akut turut
berperan dalam proses inflamasi kronik yang dapat menyebabkan pembentukan tofi,
sinovitis kronik, kerusakan kartilago, dan erosi tulang. Kristal MSU akan mengaktivasi
kondrosit untuk menghasilkan IL-1, merangsang sintesis nitrit oksida dan matriks
metalloproteinase sehingga menyebabkan kerusakan kartilago. Kristal MSU juga dapat
mengaktivasi osteoblas, dimana osteoblas akan mengeluaran sitokin pro-inflamasi
yang dapat mengakibatkan erosi dan kerusakan tulang.11,12

Gambar 2.3 Patogenesis artritis gout kronik12

13
2.7 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis atritis gout dibedakan berdasar tahapan perjalanan
penyakitnya, yaitu hiperurisemia asimtomatik, atritis gout akut, atritis gout
interkritikal, dan atritis gout kronik.3,7,8,13
a. Hiperurisemia asimtomatik
Hiperurisemia asimtomatik ditandai dengan meningkatnya kadar urat
serum >6,8 mg/dL tanpa disertai gejala klinis gout. Fase ini dapat berlangsung
beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan yang
dapat berubah menjadi atritis gout.
b. Atritis gout akut
Pada fase ini radang sendi timbul sangat mendadak dan hilang dalam 3-
10 hari. Serangan terjadi terutama pada pagi hari dan mengenai salah satu sendi
di ekstremitas atas atau bawah (monoartikuler). Pada 80-90% kasus biasanya
mengenai sendi metatarsophalangeal (MTP) 1 atau yang biasa disebut dengan
podagra. Keluhan utama yang dirasakan ialah nyeri seperti ditusuk-tusuk,
bengkak, hangat pada perabaan, dan merah pada sendi yang terkena serta dapat
disertai gejala sistemik berupa demam, menggigil, dan merasa lelah. Apabila
tidak diobati, proses penyakit dapat berlanjut dan memicu terjadinya serangan
akut kedua dan seterusnya. Serangan akut kedua dan seterusnya dapat mengenai
lebih dari satu persendian (poliartikuler), dapat melibatkan sendi pada
pergelangan tangan/kaki, lutut, dan siku. Selain itu biasanya durasi serangan
lebih lama, dan interval antar serangan lebih pendek dan lebih berat.

Gambar 2.4 Podagra.

14
c. Atritis gout interkritikal
Fase ini merupakan peride asimtomatik diantara dua serangan akut.
Walaupun tidak menunjukkan gejala gout, namun pada pemeriksaan aspirasi
sendi dapat ditemukan kristal urat yang menunjukkan proses peradangan tetap
berlanjut. Selama periode ini deposit urat kemungkinan akan meningkat secara
silent. Jika fase ini tidak ditangani dengan baik, dapat timbul serangan akut
yang lebih sering dan lebih berat.
d. Atritis gout kronik
Atritis gout kronik umumnya terjadi pada pasien yang melakukan
pengobatan sendiri sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara teratur
pada dokter, biasanya berkembang dalam 5 tahun dari serangan akut pertama.
Fase ini ditandai dengan terbentuk banyak tofi (tofus), yaitu massa yang
terbentuk akibat akumulasi kristal MSU, yang bersifat poliartikuler. Tofi
tersebut dapat kerusakan sendi dan terbentuk deformitas. Tempat-tempat yang
sering terkena ialah bursa olecranon, tendon achilles, permukaan ekstensor
lengan bawah, bursa infrapatellar, dan heliks telinga. Secara klinis, tofi sulit
dibedakan dengan nodul rematik. Pada fase ini kadang-kadang disertai batu
saluran kemih hingga penyakit ginjal menahun.

Gambar 2.5 Tofus atritis gout kronik: (a) tangan, (b) tumit, (c) jari kaki kiri11

15
2.8 Diagnosis
a. Anamnesis7,8
Anamnesis diperlukan untuk mengetahui perjalanan penyakit pasien
dan faktor yang mencetus keluhan pasien. Perlu ditanyakan mengenai onset,
lokasi keluhan, seberapa parah keluhan tersebut mengganggu aktivitas
pasien, hal yang memperberat dan memperingan keluhan, serta riwayat
penyakit pada pasien dan keluarga. Selain itu perlu ditanyakan kebiasaan
sosial pasien, seperti konsumsi alkohol, kebiasaan makan, dan aktivitas
fisik. Melalui anamnesis, dapat diketahui apakah keluhan pasien bersifat
akut atau kronik, tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien, serta
kemungkinan penyebab keluhan pasien.
b. Pemeriksaan Fisik7,8
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari apakah terdapat kelainan
pada tubuh pasien. Pada pasien artritis gout dapat dijumpai adanya tanda-
tanda inflamasi (eritema, hangat, bengkak, nyeri tekan) dan tanda
deformitas (tofi) pada sendi. Faktor lain atau penyakit sekunder, seperti
tanda anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular, tekanan
darah, dan tanda kelainan ginjal juga harus diperhatikan.
c. Pemeriksaan Penunjang3,14,15
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan seperti pemeriksaan darah
rutin, asam urat, kreatinin, ekskresi asam urat urin 24 jam, bersihan kreatin,
analisa cairan sinovial, dan radiologis sendi bila diperlukan. Pada
pemeriksaan laboratorium, dapat dijumpai adanya leukositosis dan
peningkatan kadar asam urat serum hingga >9 mg/dL. Pada anallisa cairan
sinovial, terdapat kristal-kristal asam urat berbentuk jarum baik di cairan
ekstraseluler maupun intraseluler. Pada pemeriksaan radiologi kelainan
biasanya baru ditemukan pada fase kronik dengan temuan khas tofi serta
erosi dan pembengkakan jaringan lunak.

16
Gambar 2.6 Gambaran radiologi atritis gout. (a) x ray14 (b) CT scan15

Untuk memudahkan menegakkan diagnosis atritis gout dapat menggunakan


kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology (ACR) atau European
League against Rheumatism (EULAR) 2015 sebagai berikut:3

Langkah 1: Kriteria Awal • Minimal 1 episode bengkak, nyeri pada sendi


perifer atau bursa
Langkah 2: Kriteria Cukup • Ditemukan kristal MSU pada sendi atau bursa
yang terlibat (misalnya cairan sinovial) atau
tofus.
• Jika ditemukan, maka dapat diklasifikasikan
sebagai gout tanpa mengaplikasikan kriteria
klasifikasi pada tabel 2.
Langkah 3: Kriteria Klasifikasi • Digunakan apabila tidak memenuhi kriteria
cukup
• Diklasifikasikan sebagai gout jika jumlah skor
dari kriteria pada tabel 2 > 8
Tabel 2.1 Langkah-langkah menggunakan kriteria ACR/EULAR 20153

17
Tabel 2.2. Kriteria gout berdasar ACR/EULAR 20153

18
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan atritis gout adalah mengurangi rasa nyeri, mempertahankan
fungsi sendi, dan mencegah terjadinya kelumpuhan. Terapi yang diberikan harus
dipertimbangkan sesuai dengan berat ringannya keluhan.8 Prinsip umum pengelolaan
hiperurisemia dan gout ialah pasien harus mendapat informasi mengenai penyakitnya
dan tatalaksana yang efektif termasuk untuk mengelola komorbid. Pasien juga harus
diberi edukasi mengenai modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan,
menghindari kebiasaan merokok, mengatur jenis makanan yang boleh atau dihindari,
serta latihan fisik teratur. Selain itu, pasien juga harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan penunjang untuk penyakit komorbid terutama yang berpengaruh terhadap
terapi penyakit gout dan faktor risiko kardiovaskular, termasuk gangguan fungsi ginjal,
penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, penyakit arteri perifer, obesitas,
hipertensi, dan diabetes.3

2.9.1 Tatalaksana Non Farmakologi3


a. Diet
Gaya hidup yang tidak sehat merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya atritis gout. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan diet untuk
menghindari timbulnya serangan akut atritis gout. Pada pasien atritis gout,
pasien disarankan untuk menghindari konsumsi alkohol dan makanan yang
mengandung tinggi purin seperti daging merah, jeroan, makanan laut
(tiram, kerang, udang, lobster, kepiting), serta menghindari makanan
berpemanis yang mengandung fruktosa seperti sirup jagung, soda,
minuman ringan, dan jus buah. Sementara itu, konsumsi vitamin C, dairy
product seperti yogurt dan susu rendah atau tanpa lemak, ceri, dan kopi
dapat menurunkan risiko serangan akut gout.
Pengaturan diet juga bertujuan untuk menjaga berat badan ideal. Diet
ketat dan tinggi protein atau rendah karbohidrat sebaiknya dihindari. Selain
pengaturan makanan, diperlukan konsumsi air yang cukup untuk mencegah
dehidrasi dan menurunkan risiko serangan gout. Asupan air minum >2 liter

19
per hari disarankan pada pasien gout dengan urolitiasis. Pada serangan akut,
direkomendasikan untuk meningkatkan asupan air minum minimal 8-16
gelas per hari.

Tabel 2.3 Rekomendasi diet untuk pasien gout3


b. Latihan fisik
Latihan fisik bertujuan untuk menjaga berat badan ideal dan
menghindari terjadinya gangguan metabolisme yang menjadi komorbid
gout. Olahraga meliputi latihan kekuatan otot, fleksibilitas otot dan sendi,
serta ketahanan kardiovaskular dapat dilakukan secara rutin 3-5 kali
seminggu selama 30-60 menit. Perlu diperhatikan bahwa latihan yang
berlebihan dan berisiko trauma sendi wajib dihindari.

2.9.2 Tatalaksana Farmakologi3,16,17


a. Hiperurisemia asimtomatik
Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan
modifikasi gaya hidup yang mencakup pengaturan pola diet. EULAR,
ACR, dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan

20
penggunaan terapi penurun asam urat pada kelompok ini dengan
pertimbangan risiko dan efektivitas obatnya. Namun, Japan Society for
Nucleic Acid Metabolism menganjurkan pasien hiperurisemia asimtomatik
dengan kadar asam urat serum >9 mg/dL atau >8 mg/dL dengan risiko
kardiovaskular (gangguan ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit
jantung iskemik) untuk mendapatkan obat penurun asam urat.
b. Artritis gout akut
Tujuan terapi serangan akut artritis gout adalah menghilangkan gejala,
mengistirahatkan sendi yang sakit, dan terapi obat dilakukan secepat
mungkin untuk mencapai respon yang cepat dan sempurna. Adapun
rekomendasi obat untuk serangan akut artritis gout yang onsetnya <12 jam
adalah kolkisin dengan dosis awal 1 mg diikuti 0,5 mg 1 jam kemudian
hingga serangan akut mereda. Kolkisin bekerja dengan menghambat
pembentukan dan pelepasan glikoprotein kemotaktik yang diproduksi saat
fagositosis kristal urat dan menurunkan migrasi atau kemotaksis leukosit
sehingga dapat meredakan reaksi inflamasi pada serangan akut gout. Terapi
pilihan lainnya pada serangan akut gout adalah OAINS (ditambah dengan
Proton Pump Inhibitor (PPI) jika perlu), kortikosteroid oral (prednisolone
30-35 mg/hari selama 3-5 hari), dan atau aspirasi sendi diikuti injeksi
kortikosteroid jika dibutuhkan.
Kolkisin dan OAINS tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami
gangguan fungsi ginjal berat (Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <
30/mL/menit) dan pasien yang mendapat terapi penghambat P-glikoprotein
dan/atau CYP3A4 seperti siklosporin, klaritromisin, verapamil dan
ketokonazol. Penggunaan kortikosteroid lebih efektif diberikan pada gout
monoartritis, pasien intoleran NSAID, dan pasien yang mengalami refrakter
terhadap pengobatan lainnya.
Pada kondisi serangan akut, pemberian obat penurun asam urat seperti
alopurinol tidak dianjurkan, namun pada pasien yang sudah dalam terapi
rutin obat penurun asam urat, maka terapi dapat tetap dilanjutkan. Obat

21
penurun asam urat dianjurkan mulai diberikan 2 minggu setelah serangan
akut reda. Indikasi memulai terapi penurun asam urat pada pasien artritis
gout adalah pasien dengan serangan gout >2 kali serangan per tahun, pasien
serangan gout pertama kali dengan kadar asam urat serum >8 mg/dL atau
usia <40 tahun.
Pasien dengan serangan akut artritis gout berulang dan memiliki
kontraindikasi, intoleran atau tidak berespon terhadap terapi kolkisin,
OAINS, dan kortikosteroid, maka dapat diberikan IL-1 blocker seperti
canakinumab (150 mg subkutan, dosis tunggal) atau triamnicolone
acetonide (40 mg subkutan, dosis tunggal).
Pada pasien dengan penyakit komorbid hipertensi, perlu
dipertimbangkan untuk mengganti terapi antihipertensi golongan thiazide
atau loop diuretic, dan dianjurkan untuk menggantinya menjadi losartan.
Pasien yang mengonsumsi aspirin dosis rendah perlu dihentikan
pengobatannya. Pada pasien dengan penyakit komorbid dislipidemia, dapat
dipertimbangkan untuk memulai terapi statin atau fenofibrat.

22
Gambar 2.7 Algoritma tatalaksana serangan akut artritis gout.16

c. Artritis gout interkritikal dan kronik


Pasien yang pernah mengalami serangan akut dan memiliki faktor risiko
perlu mendapatkan terapi untuk mencegah kekambuhan dan terjadinya
atritis gout kronik. Pada pasien atritis gout fase interkritikal dan kronik

23
diperlukan terapi penurun kadar asam urat dan terapi profilaksis untuk
mencegah serangan akut. Terapi penurun asam urat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok inhibitor xantin oksidase (alopurinol dan
febuxostat) dan kelompok urikosurik (probenecid).
Alopurinol merupakan obat pilihan pertama untuk menurunkan asam
urat, baik pada pasien normal maupun pasien gagal ginjal kronik stadium
>3. Obat ini bekerja dengan menghambat xantin oksidase sehingga
metabolisme hipoxantin menjadi xantin dan asam urat menjadi terhambat.
Alopurinol dapat diberikan dengan dosisi inisial 100 mg/hari pada pasien
normal dan 50 mg/hari pada pasien gagal ginjal kronik stadium 4-5. Dosis
dapat dinaikkan bertahap sampai dosis maksimal 900 mg/hari (jika fungsi
ginjal baik). Pemberian dosis melebihi 300 mg/hari harus dibagi. Jika
pasien memiliki riwayat alergi alopurinol, dapat diberikan febuxostat yang
merupakan inhibitor xantin oksidase non purin. Obat ini dapat diberikan
dengan dosis inisial 40 mg/hari, dinaikkan bertahap hingga dosis maksimal
120 mg/hari sampai mencapai kadar asam urat darah sesuai target.
Alternatif obat yang dapat diberikan ialah probenecid. Obat ini merupakan
pilihan pertama monoterapi penurun asam urat golongan urikosurik,
terutama pada pasien dengan fungsi ginjal baik (LFG >30-40 mL/menit).
Obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi asam urat oleh tubulus
sehingga meningkatkan ekskresi asam urat dalam urin dan menurunkan
kadar asam urat serum. Probenecid dapat diberikan dengan dosis awal 250
mg 2x sehari dinaikkan secara bertahap hingga maksimal 2 gr sehari.
Penggunaan probenecid dikontraindikasikan pada pasien dengan urolitiasis
atau ekskresi asam urat urin >800 mg/24 jam.
Target terapi penurun asam urat adalah kadar asam urat serum <6 mg/dL
dengan pemantauan kadar asam urat secara berkala. Pada pasien dengan
gout berat (terdapat tofi, artropati kronik, sering terjadi serangan artritis
gout akut) target kadar asam urat serum menjadi lebih rendah sampai <5
mg/dL. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membantu larutnya kristal

24
MSU sampai terjadi total disolusi kristal dan resolusi gout, namun kadar
asam urat serum <3 mg/dL tidak direkomendasikan untuk jangka panjang.
Semua pilihan obat untuk menurunkan kadar asam urat serum dimulai
dengan dosis rendah. Dosis obat dititrasi meningkat sampai tercapai target
terapi dan dipertahankan sepanjang hidup.
Pada pasien gout kronis dengan tofi yang banyak dan/atau kualitas
hidup buruk yang tidak dapat mencapai target kadar asam urat serum
dengan pemberian dosis maksimal obat penurun asam urat tunggal, dapat
diberikan kombinasi inhibitor xantin oksidase dengan obat urikosurik atau
pegloticase. Pegloticase merupakan obat urikosurik yang bekerja dengan
mengubah asam urat menjadi 5-hidroksi isourat dan hidrogen peroksida.
Setiap pasien gout yang mendapatkan terapi penurun kadar asam urat
berisiko mengalami serangan akut, terutama pada awal pemberian terapi
penurun asam urat. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya serangan
akut gout, perlu diberikan terapi profilaksis selama 6 bulan sejak memulai
terapi penurun kadar asam urat. Adapun obat profilaksis yang dapat
diberikan ialah kolkisin dengan dosis 0,5-1 mg/hari. Pada pasien gangguan
fungsi ginjal, dosis harus dikurangi.
Jika pasien memiliki intoleransi atau kontraindikasi terhadap kolkisin,
dapat dipertimbangan pemberian OAINS dosis rendah sebagai terapi
profilaksis.

25
Gambar 2.8 Algoritma tatalaksana hiperurisemia pada pasien artritis gout fase
interkritikal/kronik16

26
d. Artritis gout pada pasien gangguan fungsi ginjal3,17
Pasien gout dengan gangguan fungsi ginjal, dosis obat penurun asam
urat serum (probenecid dan alopurinol) harus memperhatikan bersihan
kreatinin. Terapi dengan febuxostat dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan tidak membutuhkan penyesuaian dosis jika
bersihan kreatinin >30 ml/menit. Pada pasien gangguan fungsi ginjal yang
mengalami serangan akut artritis gout dapat diberikan kortikosteroid oral
dan injeksi intraartikuler. Jika nyeri masih belum teratasi dapat
ditambahkan dengan analgesik golongan opioid.
Pemberian kolkisin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal yang memiliki bersihan kreatinin >60
ml/menit/1,73 m2. Pada pasien dengan bersihan kreatinin 30-60 ml
ml/menit/1,73 m2, pemberian kolkisin dibatasi 0,5 mg, pasien dengan
bersihan kreatinin 10-30 ml/menit/1,73 m2 dosis dibatasi 0,5 mg setiap 2-3
hari, dan pasien dengan bersihan kreatinin <10 ml/menit/1,73 m2 pemberian
kolkisin perlu dihindari.

Tabel 2.4 Rekomendasi dosis alopurinol berdasar LFG.3

27
2.10 Komplikasi
Tofus yang terbentuk dari akumulasi kristal MSU di sendi yang terkena dapat
menyebabkan kerusakan pada sekitar sendi dan jaringan, mengakibatkan nyeri kronik,
bahkan dapat terjadi deformitas. Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang
berperan dalam proses inflamasi akut juga berperan pada proses inflamasi kronik
sehingga dapat mengakibatkan synovitis kronik, destruksi kartilago, dan erosi tulang.
Pengendapan kristal MSU dalam tubulus ginjal dapat meningkatkan risiko nefropati
gout kronik dan memungkinkan terbentuknya mikrotofi yang menyumbat hingga
merusak glomerulus. Artritis gout juga sering dikaitkan dengan peningkatan resiko
terjadinya batu ginjal yang dapat menyebabkan nyeri, pendarahan, serta penyumbatan
aliran kemih dan infeksi, sehingga pada urin didapatkan hiperurikosuria, rendahnya pH
yang dapat menurunkan kelarutan asam urat, dan rendahnya volume urin yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada urin. 8,18

2.11 Prognosis
Angka kekambuhan gout akut biasanya 60% dalam satu tahun pertama, 80%
dalam 2 tahun, dan 90% dalam 5 tahun. Perjalanan penyakit gout akan lebih buruk bila
onset gejala muncul pada usia muda (<30 tahun), serangan akut sering berulang, kadar
asam urat darah tinggi dan tidak terkontrol, serta mengenai banyak sendi. Sekitar 20%
pasien gout akan timbul urolitiasis dengan batu asam urat atau batu kalsium oksalat.
Artritis gout yang diterapi lebih dini dan benar akan membawa prognosis yang baik
jika kepatuhan penderita terhadap pengobatan juga baik. Kemungkinan artritis gout
menyebabkan kematian atau fatalitas pada penderitanya sangat jarang terjadi. Penyakit
ini biasanya sering terkait dengan penyakit berbahaya lainnya yang memiliki risiko
angka mortalitas tinggi, seperti hipertensi, dislipidemia, dan penyakit ginjal.19

28
BAB III
KESIMPULAN

Artritis gout merupakan penyakit inflamasi kronik pada sendi akibat


penumpukan kristal monosodium urat (MSU) akibat supersaturasi asam urat pada
cairan ekstraseluler. Prevalensi penyakit ini meningkat seiring pertambahan usia dan
dan berkaitan dengan genetik. Gaya hidup yang tidak sehat merupakan salah satu
pencetus terjadinya serangan akut artritis gout.
Tanda dan gejala khas pada penyakit ini adalah adanya tanda-tanda inflamasi
pada area sendi yang terkena, serta adanya tofi pada kasus artritis gout kronik.
Diagnosis artritis gout dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang seperti X ray atau CT scan.
Tata laksana artrirtis gout dapat dilakukan dengan terapi nonmedikamentosa,
yakni melalui edukasi dan perubahan gaya hidup, maupun medikamentosa seperti
penggunaan obat-obat penurun asam urat, analgesik, atau kolkisin pada kasus serangan
akut. Namun, pemberian obat-obatan tersebut tetap harus memperhatikan kondisi
kesehatan pasien, terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Prognosis artritis gout umumnya baik jika pasien diberikan terapi lebih dini dan
benar serta jika kepatuhan pasien terhadap pengobatan juga baik. Jika tidak
ditatalaksana dengan efektif dan tepat, pasien berisiko tinggi mengalami serangan akut
berulang dan terjadi progresivitas penyakit menjadi gout kronik.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Dalbeth N, Merriman TR, Stamp LK. Gout Lancet. 388(10055):2039–52; 2016.


2. Edwards NL. Quality of Care in Patients With Gout: Why is Management
Suboptimal and What Can Be Done About It?. Curr Rheumatol Rep. 2011;
13:154-159
3. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan
Gout. 2018.
4. Hamijoyo L. Apakah Nyeri Sendi Saya Akibat Asam Urat? Kenali Gout. 2011.
Available from: http://reumatologi.or.id/reumedtail?id=19. Accessed on
September 28th 2020.
5. Jaliana, Suhadi, Sety LO. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
asam urat pada usia 20-44 tahun di RSUD Bahteramas Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun 2017. Jimkesmas 3(2): 2011; 2018.
6. Kementerian Keseharan RI. Hasil Utama RISKESDAS Tahun 2018. 2018.
7. Setiati S, Alwi I, Sudoyono AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing.
2014.
8. Widyanto FW. Artritis Gout dan Perkembangannya. Ejournal 10(2): 145-51;
2014.
9. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme.
2000.
10. Rodwell VW, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Weil PA. Harper’s
Illustrated Biochemistry. 31st Edition. USA: McGraw-Hill Education. 2018.
11. Ragab G, Elshahaly M, Bardin T. Gout: An old disease in new perspective – A
review. Journal of Advanced Research. 8: 495-511; 2017.
12. Choi HK, Mount DB, Reginato AM. Pathogenesis of Gout. Ann Intern Med.
143: 499-516; 2005.
13. Bardin T, Richette P. definition of hyperuricemia and gouty condition. Curr
Opin Rheumatol. 26: 186-91; 2014.

30
14. Murphy A, Gaillard F. Gout. 2020. Available from:
https://radiopaedia.org/articles/gout. Accessed on September 30th 2020.
15. Girish G, Melville DM, Kaeley GS, Brandon CJ, Goyal JR, Jacobson JA, et al.
Review Article: Imaging Apperances in Gout. Arthritis. 2013.
16. Richette P, Doherty M, Pascual E, Barskova V, Becce F, Castenada-Sanabria
J, et al. 2016 updated EULAR evidence-based recommendations for the
management of gout. Ann Rheum Dis. 76: 29-42; 2017.
17. FitzGerald JD, Dalbeth N, Mikuls T, Brignardella-Petersen R, Guyatt G, Abeles
AM, et al. 2020 American College of Rheumatology Guideline for the
Management of Gout. Arthritis & Rheumatology. 72(6): 879-95; 2020.
18. Kopke A, Greeff OB. Hyperuricaemia and gout. S Afr Fam Pract. 57(1): 6-12;
2015.
19. PAPDI. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam : Panduan Praktis
Klinis. Jakarta: Interna Publishing. 2019

31

Anda mungkin juga menyukai