Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

PSIKIATRIK (SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA)


DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 9

1. ANNISA A. EYATO
2. FITRIYA PAKAYA
3. MELIYA R. IBRAHIM
4. PRATIWI DITA PUTRI NAITO

PRODI STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
T.A 2020
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
1.1 Konsep Dasar Medis
A. Definisi
Neuroleptic malignant syndrome ( NMS ) adalah reaksi yang mengancam jiwa yang
dapat terjadi sebagai respons terhadap pengobatan neuroleptik atau antipsikotik . [1]
Gejalanya meliputi demam tinggi , kebingungan, otot kaku, tekanan darah bervariasi,
berkeringat, dan detak jantung yang cepat. [1] Komplikasi mungkin termasuk
rhabdomyolysis , kalium darah tinggi , gagal ginjal , atau kejang . [1] [2]
Sindrom ganas neuroleptik.

B. Etiologi
NMS biasanya disebabkan oleh penggunaan obat antipsikotik, dan berbagai macam obat
dapat menyebabkan NMS. [6] Individu yang menggunakan butyrophenone (seperti
haloperidol dan droperidol ) atau phenothiazine (seperti promethazine dan
chlorpromazine ) dilaporkan memiliki risiko terbesar. Namun, berbagai antipsikotik
atipikal seperti clozapine , olanzapine , risperidone , quetiapine , dan ziprasidone juga
terlibat dalam beberapa kasus. [7]

NMS juga dapat terjadi pada orang yang menggunakan obat dopaminergik (seperti
levodopa ) untuk penyakit Parkinson, paling sering ketika dosis obat berkurang secara
tiba-tiba. [8] Selain itu, obat lain dengan aktivitas anti-dopaminergik, seperti
metoclopramide antiemetik , dapat menginduksi NMS. [9] Tetrasiklik dengan aktivitas
anti-dopaminergik telah dikaitkan dengan NMS dalam laporan kasus, seperti amoxapine .
Selain itu, desipramine , dothiepin , phenelzine , tetrabenazine , dan reserpin telah
diketahui memicu NMS. [10] Apakah lithium dapat menyebabkan NMS tidak jelas. [11]

Pada tingkat molekuler, NMS disebabkan oleh penurunan aktivitas dopamin secara tiba-
tiba yang ditandai, baik dari penarikan agen dopaminergik atau dari blokade reseptor
dopamin.
C. Patofisiologi
Mekanisme ini biasanya dianggap tergantung pada penurunan kadar aktivitas dopamin
karena:

Blokade reseptor dopamin


Fungsi genetik dari reseptor dopamin D 2 [16]

Telah diusulkan bahwa blokade reseptor seperti D2 (D2, D3 dan D4) menginduksi
pelepasan glutamat besar-besaran, menghasilkan katatonia, neurotoksisitas, dan
mikotoksisitas. [17] [18] Selain itu, blokade beragam reseptor serotonin oleh antipsikotik
atipikal dan aktivasi reseptor 5HT1 oleh mereka tertentu mengurangi pelepasan GABA
dan secara tidak langsung menginduksi pelepasan glutamat, memperburuk sindrom ini.
[19]

Gejala-gejala otot kemungkinan besar disebabkan oleh blokade reseptor dopamin D2 ,


yang menyebabkan fungsi abnormal dari ganglia basal mirip dengan yang terlihat pada
penyakit Parkinson . [20]

Namun, kegagalan antagonisme reseptor dopamin D2, atau disfungsi reseptor dopamin,
tidak sepenuhnya menjelaskan gejala dan tanda-tanda NMS, serta kejadian NMS dengan
obat antipsikotik atipikal dengan aktivitas dopamin D2 yang lebih rendah. [21] Hal ini
menyebabkan hipotesis hiperaktivitas simpatoadrenal (hasil dari menghilangkan
penghambatan tonik dari sistem saraf simpatis ) sebagai mekanisme untuk NMS. [22]
Pelepasan kalsium meningkat dari retikulum sarkoplasma dengan penggunaan
antipsikotik. Ini dapat mengakibatkan peningkatan kontraktilitas otot, yang dapat
berperan dalam pemecahan otot, kekakuan otot, dan hipertermia. Beberapa obat
antipsikotik, seperti neuroleptik tipikal , diketahui menghambat reseptor dopamin;
penelitian lain menunjukkan bahwa ketika obat-obatan yang memasok dopamin ditarik,
gejala yang mirip dengan NMS muncul dengan sendirinya. [4]
Ada juga yang diduga tumpang tindih antara katatonia ganas dan NMS dalam
patofisiologi mereka, yang pertama bersifat idiopatik dan yang terakhir merupakan
bentuk obat dari sindrom yang sama. [23]

Peningkatan jumlah sel darah putih dan konsentrasi plasma creatine phosphokinase
(CPK) yang terlihat pada mereka dengan NMS adalah karena peningkatan aktivitas otot
dan rhabdomyolysis (penghancuran jaringan otot). [24] Pasien mungkin mengalami krisis
hipertensi dan asidosis metabolik . Perlambatan EEG yang tidak digeneralisasikan
dilaporkan pada sekitar 50% kasus.

Demam terlihat dengan NMS diyakini disebabkan oleh blokade reseptor dopamin
hipotalamus. Masalah perifer (tingginya sel darah putih dan jumlah CPK) disebabkan
oleh obat antipsikotik. Mereka menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari
retikulum sarkoplasma sel otot yang dapat mengakibatkan kekakuan dan akhirnya
kerusakan sel. Tidak ada penelitian besar yang melaporkan penjelasan untuk EEG
abnormal, tetapi kemungkinan juga disebabkan penyumbatan dopamin yang mengarah ke
perubahan jalur neuron.

D. Klasifikasi
Rigiditas, tremor Rigiditas, mutism, stupor Rigiditas ringan katatonia atau kebingungan
suhu ≤38C, nadi ≤100 x/menit Rigiditas sedang; katatonia atau kebingungan; suhu 38-
40C, nadi 100-120 x/menit Rigiditas berat; katatonia atau koma; suhu ≥40C, nadi ≥
120 x/menit.

E. Manifestasi Klinik
Sindrom neuroleptik maligna merupakan reaksi idiosinkratik yang tidak tergantung pada
kadar awali obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis tunggal
neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya
berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan neuroleptik.
SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik
atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan)7. Sindroma neuroleptik maligna
dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari ringan sampai dengan berat9. Gejala
disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan
darah meningkat atau labil..
Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan
diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi
psikomotorik1.
Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan
tingkat kesadaran1.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan nekrosis.
Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan:
1.Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L
Pengingkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk SNM3.
2.Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase [AST], alanine
aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH )1
3.Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/ mm3),
trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat. Konsentrasi serum
besi dapat menurun.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan terapi
suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu. SNM yang
dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan1
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara fungsi
organ yaitu:
Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri1.
Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik1.
Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik1
Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan
serebrospinal, kultur urin dan darah9.
2. Terapi farmakologik
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromocriptin dan
amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati SNM berdasarkan hipotesis defisiensi
dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan
peningkatan panas. Beberapa ahli melaporkan bahwa agonis dopamin, clantralene
maupun kombinasi keduanya dapat mengurangi mortalitas atau memperpendek durasi
sakit. Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata
meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat tersebut3.
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus.
Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan SNM
dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari.

H. Komplikasi
Komplikasi dari sindroma neuroleptik maligna banyak. Komplikasi yang paling umum
adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menuerus dan akhirnya
terjadi kerusakan otot9.
Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo,
sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure, infark
miocardial9.
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang tidak
terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena menderita
gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di
hentikan.
1.2 Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian

1. IDENTITAS PASIEN

Meliputi Nama, NRM, umur, pekerjaan, alamat, jenis kelamin, tanggal masuk, tanggal
pengkajian.

2. Tindakan pre-hospital

Meliputi CPR, Infus, NGT, Orofaringeal, Oksigen, Nasofaringeal, Suction, Bidai

3. Pengkajian Primer
Meliputi Airway, Breathing, sirculation, Disability, Eksplosure
4. Triage
a. Riwayat kesehatan
 Keluhan utama
Biasanya Klien datang dengan keluhan mengigil , Panas badan, sering
berkeringat, mual, nyeri ulu hati, pusing, nafas terasa sedikit sesak, dada
berdebar, anggota gerak kadang bergerak secara tidak sadar, kaku otot
pada kedua kaki, BAB tidak lancar, tekanan darah tidak stabil

 Riwayat kesehatan sekarang


Biasanya pasien mengeluh menggigil setelah 3 hari meminum obat dari poli
RSJ. Sebelum mengigil, pasien mengeluh badanya terasa lebih panas dari
biasanya. Keluhan menggigil lama kelamaan membuat badan, kaki dan
tangan pasien gemetar tanpa henti. Pada waktu tidur mengigil dirasakan
semakin parah, sehingga membuat pasien sulit tidur. Menggigil berkurang
saat hari mulai siang. Pasien juga mengeluh keluar keringat berlebih ketika
menggigil terutama saat malam hari menjelang tidur. Selain itu pasien
mengeluh kadang merasa mual, nyeri di bagian ulu hati dan pusing yang
hilang timbul. Semakin terasa jika keluhan menggigil berkurang. Keluhan
nafas terasa sedikit sesak dan dada berdebar kadang dirasakan namun tidak
terlalu menganggu pasien. Selain itu pasien mengaku belum BAB setelah
kurang lebih 3 hari setelah minum obat dari poli RSJ.

5. Pengkajian sekunder (meliputi riwayat keperawatan dan pemeriksaan fisik)

a. Pemeriksaan fisik

1. Kepala :

2. Leher :

3. Wajah :

4. Dada :

5. Abdomen :

6. Genetelia ekstremitas atas :

7. Ekstremitas bawah :

8. Anus :

b. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan laboratorium
B. Pathway
SNM / L DOPA

Blokade reseptor Dominan

Penigkatan jumlah sel darah putih dan


konsentrasi plasma creatinine phospokinase
(cpk)

Menyerang Hipotalamus

Peningkatan aktifitas otot dan


penghancuran otot (rhabdomyolisis)

Hipertermia

Mengalami krisis hipertensi dan


asidosis metabolik

Perfusi perifer tidak efektif


C. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia
2. Perfusi Perifer Tidak Efektif
D. Intervensi Keperawatan

SDKI SLKI SIKI

1. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipertermia


keperawatan 1x24 jam, maka Observasi
termoregulasi membaik. 1. Monitor suhu tubuh
Kriteria hasil: 2. Identifikasi penyebab hipertermia
Kulit merah menurun Terapeutik
Kejang menurun 1. Sediakan lingkungan yng dingin
Suhu tubuh membaik 2. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan

2. Perfusi Perawatan sirkulasi


Setelah dilakukan tindakan
Perifer Tidak Observasi
keperawatan 1x24 jam, maka
Efektif 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi perifer,
perfusi perifer Meningkat.
edema, pengisian kapiler,
Kriteria hasil :
warna,suhu,anklebrchial indeks)
Denyut nadi perifer
2. Identifikasi faktor resiko gangguan
sirkulasi (mis. Diabetes,perokok,orang
tua,hipertensi dan kadar koleterol yg
tinggi)
Terapeutik
1. Hindari pemasangan infus atau
pengambilan diarea keterbatasan perfusi
2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
3. Hindari penekanan dan pemasangan
tourniquet di area cedera

Edukasi
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan menggunakan obat penurun
tekanadan darah, antikoagulan dan
penurunan koleterol,jika perlu
4. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan
darah secara teratur.

BAB II
PENJELASAN PATHWAY

SNM terjadi karena dua faktor yaitu blokade reseptor dominan dan penigkatan jumlah sel
darah putih dan konsentrasi plasma kreatinine pospokinase (CPK).
Blokade reseptor dominan sendiri dapat menyerang hipotalamus yang yang dapat
menyebabkan sesorang mengalami Hipertermia.
Pada penigkatan jumlah sel darah putih dan kinsentrasi plasama kreatinine popokinase
(CPK) dapat menigkatkan aktifitas otot dan penghancuran otot (Rabdomiolisis) yang dapat
mengakibatkan seseorang mengalami krisis hipertensi dan asidosis metabolik sehingga
mengakibatkan perfusi perifer menjadi tidak efektif.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah sindrom yang dapat mengancam kehidupan
dan kedarurat neurologis dengan menggunakan agen antipsikotik dan ditandai dengan
sindrom klinis yang khas.Diagnosis harus dicurigai bila ada dua dari empat fitur utama
klinis, perubahan status mental, kekakuan, demam, atau dysautonomia, muncul dalam
pengaturan penggunaan antipsikotik atau penarikan dopamin.Pertimbangan penting
dalam diagnosis diferensial termasuk meningitis, ensefalitis, infeksi sistemik, heat stroke,
dan dysautonomias obat-induced lainnya.Tes diagnostik meliputi tes untuk
menyingkirkan kondisi dan evaluasi laboratorium gejala umum ganguan metabolisme
umum SNM, dan terutama peningkatan kadar CK.
Daftar Pustaka

Berman, BD (Januari 2011). "Sindrom ganas neuroleptik: review untuk


neurohospitalists" . Ahli Saraf Rumah Sakit .
"Sindrom Malignant Neuroleptik - NORD (Organisasi Nasional untuk Gangguan
Langka)" . NORD (Organisasi Nasional untuk Gangguan Langka) . 2004. Diarsipkan dari
aslinya pada 19 Februari 2017 . Diakses 1 Juli 2017 .
"Halaman Informasi Sindrom Ganas Neuroleptik | Institut Nasional Gangguan
Neurologis dan Stroke" . www.ninds.nih.gov . Diarsipkan dari yang asli pada 4 Juli
2017 . Diakses 1 Juli 2017 .
Strawn JR, Keck PE, Caroff SN (2007). "Sindrom maligna neuroleptik". The American
Journal of Psychiatry
Stacy Milbouer, "Quest for the truth", Nashua Telegraph
http://www.nashuatelegraph.com/apps/pbcs.dll/article?
AID=/20050424/NEWS01/104240081 Diarsipkan 2007-09-27 di Wayback Machine
Neuroleptic Malignant Syndrome di eMedicine
Khaldi S, Kornreich C, Choubani Z, Gourevitch R (2008). "Antipsikotius atypiques et
syndrome malin des neuroleptiques: brève revue de la littérature" [Sindrom maligna
neuroleptik dan antipsikotik atipikal: Tinjauan singkat] (PDF) . L'Encéphale (dalam
bahasa Prancis). 34 (6): 618-24. doi : 10.1016 / j.encep.2007.11.007 . PMID 19081460 .
Keyser DL, Rodnitzky RL (1991). "Sindrom maligna neuroleptik pada penyakit
Parkinson setelah penghentian atau perubahan terapi dopaminergik". Arsip Penyakit
Dalam . 151 (4): 794–6. doi : 10.1001 / archinte.151.4.794 . PMID 1672810

Anda mungkin juga menyukai