Anda di halaman 1dari 38

Lab/SMF Rehabilitasi Medik LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Aji Muhammad Parikesit

CARPAL TUNNEL SYNDROME


HALAMAN JUDUL

Disusun oleh:
DEENADEARLOVA PUTRI DARYANI
2110017099

Pembimbing:
dr. Nurindah Isty Rachmayanti, Sp. KFR

Laboratorium / SMF Rehabilitasi Medik


Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Aji Muhammad Parikesit
April 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
“Carpal Tunnel Syndrome”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Moriko P., M.Kes., Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Nurindah Isty Rachmayanti, Sp.KFR., selaku Kepala Laboratorium Ilmu
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.dan dosen
pembimbing selama mengikuti stase Rehabilitasi Medik.
4. Tim rehabilitasi medik RSUD Aji Muhammad Parikesit, terima kasih atas
ilmu dan pengalaman yang diberikan.
5. Rekan-rekan dokter muda di Laboratorium Rehabilitasi Medik FK UNMUL
dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat disebutkan satu-satu persatu.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan laporan kasus ini.
Akhir kata, semoga laporan ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, April 2022

Penulis,
Deenadearlova Putri Daryani
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….1
1.2 Tujuan……………………………………………………………………..2
1.3 Manfaat........................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS..................................................................................3
2.1 Anamnesis…………………………………………………………………3
2.2 Pemeriksaan Fisik…………………………………………………………5
2.3 Diagnosis Kerja……………………………………………………………7
2.4 Diagnosis Fungsional………….…………………………………………..8
2.5 Penatalaksanaan…………………………………………………………...8
2.6 Prognosis…………………………………………………………………10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................11
3.1 Definisi.....................................................................................................11
3.2 Anatomi...................................................................................................11
3.3 Epidemiologi............................................................................................13
3.4 Etiologi.....................................................................................................14
3.5 Patofisiologi.............................................................................................15
3.6 Manifestasi Klinis....................................................................................17
3.7 Diagnosis.................................................................................................18
3.8 Tatalaksana...............................................................................................24
3.9 Komplikasi…………………………………………………...…………28
3.10 Prognosis..................................................................................................29
3.11 Diagnosis Banding……………………………………………………...29
BAB IV PENUTUP..............................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati jebakan
(entrapment neuropathy) yang disebabkan oleh adanya kompresi pada nervus
medianus yang berjalan melalui terowongan karpal pergelangan tangan. CTS
merupakan neuropati jebakan saraf yang paling umum terjadi, terhitung
sekitar 90% dari semua kasus neuropati (Sevy & Varacallo, 2021). Prevalensi
terjadinya CTS yaitu sekitar 7% sampai 19% dari jumlah populasi. Prevalensi
tertinggi terjadi pada pekerja industri terutama yang menggunakan alat grenda
yaitu mencapai 61%, sedangkan pada pekerja yang menggunakan tangan
secara langsung adalah 1%. Penggunaan tangan dan pergelangan tangan yang
berulang-ulang, postur yang tidak baik, angkat berat, vibrasi, obesitas, jenis
kelamin wanita, usia lanjut dan perokok merupakan faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya CTS (Subadi, et al., 2021).
Pada studi kualitatif deskriptif, dilaporkan bahwa gejala sensorik
merupakan gejala yang paling dominan dialami pada penderita CTS.
Dilaporkan juga bahwa penderita CTS gangguan manipulasi objek kecil,
mengangkat beban dan kelemahan otot. Kelemahan tersebut menyebabkan
gangguan fungsi tangan dan mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari
(Subadi, et al., 2021).
Nyeri neuropati merupakan nyeri kronik yang menyebabkan gangguan
pada banyak aspek kehidupan seperti pekerjaan, hubungan sosial, dan
kesehatan (Subadi, et al., 2021). Rasa nyeri ini terjadi akibat penyempitan
pada terowongan karpal, baik akibat edema fasia atau kelainan pada tulang-
tulang kecil sehingga terjadi penekanan pada saraf medianus (Permata &
Ismaningsih, 2020). Nyeri juga merupakan alasan terbanyak penderita untuk
mencari pertolongan medis. Aspek rehabilitasi medik pada penderita CTS
bertujuan untuk mengurangi nyeri, mengurangi penjepitan pada terowongan
karpal, reedukasi sensorik dan motorik sehingga fungsi tangan meningkat dan
penderita dapat melakukan aktivitas sehari-hari (Subadi, et al., 2021).
1.2 Tujuan
Untuk menambah pengetahuan mengenai etiologi hingga tatalaksana dari
carpal tunnel syndrome (CTS)
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Ilmiah
Memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang rehabilitasi medik mengenai carpal tunnel syndrome (CTS)
1.3.2 Manfaat bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan baru atau
tambahan bagi pembaca
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. A
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Sudah Menikah
Anak : 1 (anak angkat)
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Bank
Alamat : Tenggarong
Tanggal Periksa : 07 April 2022
b. Keluhan Utama
Kesemutan pada kedua telapak tangan kanan dan kiri
c. Riwayat Penyakit Sekarang
 Keluhan Utama
Nyeri dan kesemutan pada kedua telapak tangan kanan dan kiri
 Onset
1 bulan yang lalu
 Kualitas
Rasa nyeri dirasakan pada pergelangan tangan dan kesemutan dirasakan
pada kedua telapak tangan sampai ke ujung-ujung jari kanan dan kiri (ibu
jari, jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis)
 Kronologi
Sejak 1 bulan yang lalu, pasien merasakan kedua telapak tangannya
merasa nyeri dan kesemutan. Kesemutan pertama kali muncul pada
tangan kiri. Kesemutan lebih dominan dirasakan pada tangan kiri.
Kesemutan dirasakan dari telapak tangan dan sampai ke ujung jari dari
ibu jari, jari telunjuk, jari tengah dan jari manis. Keluhan ini dirasakan
saat pasien mengetik dan memegang mouse komputer saat bekerja
sebagai pegawai bank, dan juga saat menulis, ataupun saat mengendarai
sepeda motor. Pasien sempat merasakan kesulitan untuk menggenggam,
hingga sering menjatuhkan handphone. Rasa nyeri dan kesemutan paling
parah dirasakan pada malam hari dan hal ini seringkali membangunkan
pasien dari tidurnya. Pasien juga menjadi sulit untuk memulai tidur
hingga pernah diresepkan obat tidur. Rasa kesemutan berkurang saat
pasien mengibas-ngibaskan tangan atau mengistirahatkan tangannya
beberapa saat. Keluhan kesemutan juga dirasakan saat bangun tidur di
pagi hari. Dikarenakan sakitnya ini, pasien resign dari pekerjaannya
sebagai pegawai bank. Saat ini, pasien lebih banyak menghabiskan
waktunya di rumah. Saat di rumah pasien sering melakukan kegiatan
rumah tangga seperti memasak makanan, mengulek ataupun memotong
bahan-bahan yang digunakan untuk memasak. Pasien juga masih
mengendarai sepeda motor saat bepergian. Riwayat adanya cedera,
kebiasaan tidur menumpu pada tangan, dan kelemahan anggota gerak lain
disangkal. Pasien telah berobat ke dokter dan diberikan obat anti nyeri
dan vitamin, dan saat ini sedang menjalani program terapi di RS Parikesit.
 Gejala Penyerta : (-)
 Faktor yang memperberat :
Melakukan aktivitas repetitif terlalu lama seperti memegang mouse
komputer terlalu lama atau saat mengendarai motor
 Faktor yang memperingan :
Mengibaskan kedua tangan dan mengistirahatkan tangan
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Sindrom Stevens-Johnson (+), Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (-), Penyakit
Jantung (-), Hiperlipidemia (-), Penyakit Autoimun (-), Keganasan (-),
Riwayat stroke (-), Riwayat cedera daerah lengan atau bahu (-)
e. Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa (-)
 Ayah kandung diabetes mellitus (+)
 Ibu kandung hipertensi (+)
f. Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami dan 1 anak angkat. Pasien bekerja sebagai
pegawai bank, Namun setelah sakit, pasien mengistirahatkan diri atau resign
dari pekerjaannya karena ingin fokus untuk sembuh.
g. Riwayat alergi
 Alergi makanan, minuman (-)
 Alergi obat yaitu paracetamol
h. Riwayat kebiasaan
 Riwayat merokok : disangkal
 Riwayat minum alkohol : disangkal
 Riwayat berolahraga : pasien jarang berolahraga

2.2 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : GCS E4V5M6, Komposmentis
c. Tanda vital
Tekanan darah : 110/90 mmHg
Frekuensi nadi : 70 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu : 36,2oC
SaO2 : 98%
d. Status Generalis
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor
Mulut : tidak dievaluasi
Telinga : tidak dievaluasi
Hidung : tidak dievaluasi
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks : tidak dievaluasi
Jantung : tidak dievaluasi
Abdomen : tidak dievaluasi
Ekstremitas superior : akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT <2 detik
Ekstremitas inferior : akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), varises (-),
CRT <2 detik, varises (-)
Tinggi badan : 153
Berat Badan : 68
BMI : 29
Kesan : Pre-Obesitas
e. Status neurologis
a) Pemeriksaan Motorik
MMT 55555 55555

55555 55555

b) Refleks Fisiologis
Biceps +2/+2
Triceps +2/+2
Brachioradialis +2/+2
c) Refleks Patologis
Hoffman -/-
Tromner -/-

d) Barthel Index Score


 Total Skor : 100/100
 Interpretasi Barthel Index : Mandiri

e) Pemeriksaan Fisik Khusus


Phalen’s test : (+)/(+)
Reverse’s phalen test / prayer’s test : (+)/(+)
Tinel’s test : (+)/(+)
Flick’s test : (+)/(+)
Wrist extension test : (+)/(+)
Pressure test : (+)/(+)
f) Status Lokalis
Regio Manus Dekstra
Inspeksi : Edema (-), Merah (-). Luka (-), Deformitas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada daerah pergelangan tangan
(Tinel’s sign), bengkak (-), tonus m. thenar dan hipothenar baik
Regio Manus Sinistra
Inspeksi : Edema (-), Merah (-). Luka (-), Deformitas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada daerah pergelangan tangan
(Tinel’s sign), bengkak (-), tonus m. thenar dan hipothenar baik

Atrofi m. thenar (-)


Atrofi m. thenar (-)

Thenar wasting (-)/(-)


2.3 Diagnosis Kerja
 Diagnosis Klinis
Nyeri pada daerah palmar dan parastesia pada digiti I, II, III, IV
dekstra et sinistra
 Diagnosis Topis
Nervus medianus dextra et sinistra
 Diagnosis Etiologi
Carpal Tunnel Syndrome Bilateral

2.4 Diagnosis Fungsional


 Impairment :
Kompresi pada nervus medianus dekstra dan sinistra yang
menyebabkan rasa nyeri dan kesemutan pada tangan kanan dan kiri
 Disability :
Pasien mengalami penurunan fungsi jari-jari saat digunakan untuk
aktivitas
 Handicap :
Pasien tidak mampu mengetik atau menggunakan mouse komputer
dalam waktu lama sehingga saat ini pasien tidak mampu melanjutkan
pekerjaan sebagai pegawai bank, pasien kesulitan mengendarai sepeda
motor dan pasien menjadi kesulitan melakukan pekerjaan rumah
tangga seperti memasak

2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Terapi
 Natrium Diklofenak 3x25 mg
 Vit B Complex 2x1
Edukasi
 Mengurangi pergerakan pergelangan tangan
 Menghindari gerakan repetitif, selingi istirahat tiap 20 menit
 Menggunakan peralatan yang ergonomis (bantalan pergelangan
tangan, mouse komputer yang ergonomis)
 Menggunakan alternatif keyboard (pena digital, pengenal suara dan
dictation software)
 Rajin berolahraga terutama jika berat badan dalam kategori
obesitas
 Menghindari merokok dan konsumsi alkohol
 Tempat kerja yang ergonomis
 Jaga tangan bekerja dalam posisi netral

2.5.2 Terapi Rehabilitasi Medik


Fisioterapi
 Terapi modalitas : IR / Micro Wave Diathermy /Parafin bath, US
TENS, Laser
 Terapi latihan : active dan passive exercise
Terapi Okupasi
 Memberi edukasi untuk rajin melakukan latihan untuk penguatan
otot-otot tangan dan lengan bawah dengan melakukan peregangan
secara teratur
 Pada latihan menggenggam pasien dianjurkan untuk menggunakan
bahan yang ada di sekitarnya, misalkan menggunakan pasir, beras,
kacang hijau, dan kacang tanah untuk merangsang saraf-saraf yang
ada di ujung jari (melatih fungsi sensoris)
Terapi Wicara
Tidak diperlukan
Orthotist-prosthetist

Gambar 2.1 Wrist Splint


Menggunakan wrist splint untuk mengurangi fleksi pergelangan tangan
Terapi Psikologi
 Pasien tidak bekerja lagi, ada risiko terjadinya stres
 Memberi dukungan mental agar pasien tidak cemas mengenai
penyakitnya dan selalu melakukan latihan secara mandiri dirumah
serta mengikuti program rehabilitasi medik sesuai jadwal yang telah
ditentukan.
Medical social worker
Membantu pasien dalam menyelesaikan masalah terkait pembiayaan BPJS
dikarenakan setelah pasien resign dari pekerjaan, pembiayaan BPJS dari
perusahaannya tempat kerjanya diputus. Saat ini pasien berobat
menggunakan BPJS mandiri.
2.6 Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad sanam : Bonam
Ad fungsionam : Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Carpal Tunnel Syndrome atau Sindrom Terowongan Karpal (STK)
merupakan kumpulan gejala akibat kompresi pada nervus medianus di dalam
terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor
retinaculum (Noor, 2017). CTS merupakan kumpulan gejala dan tanda
penyakit yang diakibatkan oleh terjepitnya nervus medianus di terowongan
karpal pada pergelangan tangan (Permata & Ismaningsih, 2020). CTS
merupakan kondisi medis umum yang tetap menjadi salah satu bentuk
kompresi dari saraf medianus yang paling sering dilaporkan. CTS terjadi
ketika saraf medianus terjepit atau tertekan saat berjalan melalui pergelangan
tangan (Genova et al., 2020)
CTS merupakan suatu sindrom yang berhubungan dengan gerakan yang
berulang (repetitive motion) dan posisi yang menetap dengan durasi yang lama
yang dapat berpengaruh pada suplai darah ke tangan dan menimbulkan rasa
nyeri (Permata & Ismaningsih, 2020).
3.2 Anatomi
Terowongan karpal merupakan lorong sempit di pergelangan tangan,
dengan lebar satu inci. Bagian bawah dan samping terowongan ini dibentuk
oleh tulang karpal, dan bagian atas terowongan ditutupi oleh jaringan ikat
yang disebut ligamentum karpal transversal (fleksor retinakulum). Nervus
medianus merupakan salah satu saraf utama yang fungsinya untuk mengontrol
sisi ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Terdapat sembilan
tendon fleksor yang mengontrol membengkoknya jari melewati terowongan
karpal. Bersama dengan sembilan tendon, nervus medianus berjalan dari
lengan ke tangan melalui terowongan karpal (American Academy of
Orthopaedic Surgeons, 2019; Duncan & Kakinoki, 2017)

Gambar 3.1 Carpal Tunnel (American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2019).


Gambar 3.2 Carpal Tunnel: Sisi Volar Tangan (Duncan & Kakinoki, 2017)

Gambar 3.3 Carpal Tunnel: Penampang Wrist (Duncan & Kakinoki, 2017)

Adanya proses inflamasi yang disebabkan oleh stres berulang, cedera


fisik, atau keadaan lain pada pergelangan tangan, dapat menyebabkan
jaringan di sekeliling saraf medianus membengkak. Lapisan pelindung tendon
di dalam terowongan karpal dapat meradang dan membengkak. Bentuk
ligamen pada bagian atas terowongan karpal menebal dan membesar.
Keadaan tersebut menimbulkan tekanan pada serat-serat saraf medianus
sehingga memperlambat penyaluran rangsang saraf yang melalui terowongan
karpal. Akibatnya timbul rasa sakit, tidak terasa/kebas di pergelangan tangan,
tangan, dan jari-jari selain jari kelingking (Salawati & Syahrul, 2014).

Gambar 3.4 Distribusi inervasi nervus medianus

3.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya CTS adalah 1 sampai 3 individu
per 1000 individu per tahun, dengan prevalensi 50 per 1000 individu. Di
wilayah Inggris kejadian CTS adalah antara 6-17%, relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kejadian 5% di Amerika Serikat. Sebagian besar
insiden dan prevalensi terjadinya CTS terjadi di negara maju. Ras kulit putih
dua sampai tiga kali lebih rentan terkena CTS dibandingkan dengan orang
kulit hitam. Di Indonesia prevalensi angka kejadian CTS belum diketahui
secara pasti, namun suatu penelitian terbaru di kota Denpasar Indonesia
menemukan prevalensi kasus CTS pada pekerja garmen di Kota Denpasar
adalah 79,2% yaitu sebanyak 32 orang dari sejumlah 59 responden. Hasil
penelitian ini menemukan CTS didominasi oleh wanita dan pada perkerja
yang telah bekerja selama >2 tahun sebanyak 72,1% dengan kasus terbanyak
pada pekerja dengan durasi bekerja 8 jam sehari (51,2%) (Paramita, et al.,
2021; Sevy & Varacallo, 2021)
Usia puncak kejadian CTS adalah usia 40 sampai 60 tahun. Wanita
sepuluh kali lebih sering terkena CTS dibandingkan dengan pria. Data lain
menyebutkan tingkat kejadian CTS 9,2% pada wanita dan 6% pada pria (Sevy
& Varacallo, 2021; Genova et al., 2020).
3.4 Etiologi
CTS merupakan kondisi yang dihasilkan akibat peningkatan tekanan
pada terowongan karpal dan kompresi pada nervus medianus. Penyebab yang
paling umum adalah kecenderungan genetik, riwayat gerakan pergelangan
tangan berulang seperti mengetik, atau pekerjaan mesin, obesitas, gangguan
autoimun seperti rheumatoid artritis dan kehamilan. mayoritas kasus
terjadinya CTS adalah idiopatik. Adapun penyebab sekunder yang dibagi
menjadi 4 yaitu (Sevy & Varacallo, 2021) :
1. Kelainan pada wadah, yaitu kelainan pada dinding terowongan
yang dapat menyebabkan kompresi pada nervus medianus
a. Dislokasi atau subluksasi karpus
b. Fraktur atau konsolidasi miring dari radius distal
c. Arthrosis pergelangan tangan, radang sendi, radang sendi
menular
d. Akromegali
2. Kelainan pada isi
a. Hipertrofi tenosinovial
b. Rematik inflamasi dan infeksi
c. Diabetes mellitus (kelainan pergantian kolagen), amyloidosis
primer atau sekunder (hemodialisis kronis dengan deposisi
beta-2mikroglobulin)
d. Kelainan distribusi cairan (kehamilan, hipotiroidisme dan
gagal ginjal kronis (fistula arteriovenosa)
e. Hipertrofi arteri nervus medianus
f. Tumor intratunnel (lipoma, kista synovial, sarcoma synovial
atau tumor saraf (schwannoma, neurofibroma atau
lipofibroma)
g. Hematoma karena hemofilia, kecelakaan antikoagulan atau
trauma
h. Obesitas
3. Dynamic Carpal Tunnel Syndrome, tekanan di dalam terowongan
karpal meningkat selama gerakan ekstensi dan fleksi berulang
pada pergelangan tangan.
4. Paparan Getaran, menyebabkan konsekuensi ultrastruktural yang
terdiri dari kompresi mikrosirkulasi dan edema intraneural setelah
cedera mielin dan akson.

3.5 Patofisiologi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) terjadi secara kronis akibat terjadinya
penebalan fleksor retinaculum yang menyebabkan kompresi nervus medianus.
Misalnya, aktivitas yang memerlukan gerakan berulang dengan kontraksi kuat
pada pergelangan tangan menimbulkan tekanan pada sarung tendon sehingga
sarung tendon membengkak. Apabila terjadi secara terus menerus akan
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular. Sehingga mengganggu
nutrisi intravascular yang menimbulkan hipoksia kemudian anoksia yang akan
menyebabkan rusaknya endotel dan timbul nyeri lokal terganggu (Amitamara,
2015). Kompresi pada nervus ini dapat menimbulkan gangguan sensorik
berupa paresthesia terutama pada ujung jari telunjuk, jari tengah, sisi ibu jari
dari jari manis dan ibu jari. Perkembangan selanjutnya akan terjadi gangguan
motorik akibat dari atrofi otot-otot thenar (Salim, 2017). Penyebab lain yang
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan endotel adalah kebocoran protein
yang menyebabkan terjadinya edema epineural. Hipotesa ini menerangkan
bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam atau
pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerakkan atau diurut,
mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada aliran darah. Apabila
keadaan ini terus berlanjut akan menyebabkan kerusakan pada serabut saraf
akibat fibrosis epineural. Saraf menjadi atrofi dan akan digantikan oleh
jaringan ikat sehingga fungsi nervus medianus terganggu (Amitamara, 2015;
Tana, Halim, Delima & Ryadina, 2004).
Literatur lain menjelaskan bahwa CTS dapat terjadi oleh adanya
kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal transversal yang
berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT).
IMT yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi
fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal ≥25 lebih mungkin
untuk terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang mempunyai berat
badan ramping. Literatur lain menyebutkan bawa pasien dengan BMI lebih
besar dari 29 memiliki risiko sindrom terowongan karpal yang 2,5 kali lebih
tinggi daripada risiko individu ramping (BMI <20). American Obesity
Association menemukan bahwa 70% dari penderita CTS memiliki kelebihan
berat badan. Resiko CTS meningkat setiap peningkatan IMT sebanyak 8%.
Patofisiologi di balik hubungan IMT dengan terjadinya CTS masih belum
dipahami dengan baik, namun hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah jaringan lemak yang ada di dalam terowongan karpal atau karena
adanya peningkatan dari tekanan cairan pada terowongan karpal pada
individu dengan obesitas (Tana, Halim, Delima & Ryadina, 2004; Duncan &
Kakinoki, 2017).

Gambar 3.5 Carpal Tunnel Syndrome: Pathogenesis and clinical findings


(Amanda, 2013)
3.6 Manifestasi Klinis
Gejala klasik pada Carpal Tunnel syndrome (CTS) adalah nyeri,
kesemutan, rasa menggelanyar pada jari-jari I, II, III dan IV, sesuai dengan
distribusi nervus medianus (Tamba & Pudjowidyanto, 2008). Keluhan bersifat
bilateral 20-30% dan biasanya berlangsung 6-12 bulan. Ditemukan rasa tebal,
perih dan tertusuk pada jari terutama ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah.
Gejala bertambah hebat pada malam hari, pada saat bangun, pada waktu
mengangkat tangan atau setelah mengerjakan sesuatu seperti menjahit dan
mengetik. Gejala dapat bertambah berat pada masa kehamilan. Bila kelainan
sudah berlangsung lama, maka terdapat atrofi muskulus abductor pollicis
brevis pada bagian penonjolan tenar disertai gangguan sensibilitas (Noor,
2017). Rasa nyeri biasanya memburuk pada malam hari dan pasien merasakan
kesemutan semakin nyata setelah melakukan gerakan pergelangan tangan
yang berulang atau setelah menggenggam sesuatu dalam waktu yang cukup
lama. Kekuatan menggenggam juga dapat berkurang, kemampuan melakukan
gerakan terampil dengan tangan menurun dan penderita mengeluh otot telapak
tangan mengecil (atrofi thenar) (Tamba & Pudjowidyanto, 2008).
Pada tahap awal, gejala biasanya muncul di malam hari. Gejala lainnya
adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari
sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini
umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan
tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi.
Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan
tangannya (Rambe, 2008; Permata & Ismaningsih, 2020).
Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang
terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan
juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita
sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot
thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainnya
yang diinervasi oleh nervus medianus. Seiring dengan perkembangan
penyakit, gejala-gejala tersebut dapat muncul di siang hari. Terutama pada
pasien yang beraktivitas dengan menggunakan pergelangan tangan yang
berulang seperti menggambar, mengetik, mencuci, menjepit, atau memeras.
Dan pada tahap yang lebih lanjut, rasa nyeri dapat menetap (Mumenthaler,
Mattle& Taub, 2006; Permata & Ismaningsih, 2020).

Gambar 3.6 Penderita CTS yang mengalami atrofi dari otot thenar (Salim, 2017)

3.7 Diagnosis
Pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis Carpal Tunnel Syndrome (CTS), yaitu :
1. Tinel’s sign
Hasil tes akan mendukung diagnosis apabila timbul parestesia
atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus dengan cara
melakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan
sedikit dorsofleksi. Tes ini secara diagnostik valid dalam
persentase antara 58% dan 67% dari kasus pasien yang tes
elektromiografinya positif (Permata & Ismaningsih, 2020;
Duncan & Kakinoki, 2017).

Gambar 3.7 Tinel’s sign (Duncan & Kakinoki, 2017)


2. Phalen’s dan reverse phalen test
Penderita diminta untuk melakukan fleksi maksimal pada tangan,
apabila dalam satu menit parestesia bertambah hebat maka akan
mendukung diagnosis (Permata & Ismaningsih, 2020). Phalen
test dilakukan dengan menahan pergelangan tangan dalam fleksi
maksimal hingga 60 detik: jika sensasi mati rasa serta parestesia
pada tiga jari pertama terjadi dalam waktu itu, itu dianggap
diagnostik. Hal ini disebabkan oleh kompresi saraf antara tepi
proksimal ligamen transversal dan tendon fleksor yang
berdekatan. Tes Phalen positif pada 66-88% pasien dengan CTS,
bahkan jika bisa positif pada hampir 20% pasien normal. Respon
positif yang diperoleh dengan menggabungkan tes Phalen dan
Tinel secara diagnostik penting karena mengidentifikasi hampir
90% pasien positif dengan CTS (Duncan & Kakinoki, 2017).

Gambar 3.8 1. Phalen’s test; 2. Reverse Phalen’s test (Simpson & Day, 2011)

3. Wrist compression test (Carpal compression test atau Durkan


test)
Tes ini melibatkan evaluasi timbulnya parestesia di wilayah
distribusi saraf median ketika pemeriksa memberikan tekanan
dengan ibu jarinya setinggi terowongan karpal hingga 30 detik.
Durkan melaporkan bahwa tes ini positif pada 87% pasien
dengan CTS. Williams melaporkan bahwa tes ini positif pada
100% pasien (Duncan & Kakinoki, 2017).

Gambar 3.9 Wrist compression test (Duncan & Kakinoki, 2017)

4. Flick Sign
Penderita diminta mengibas-ngibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS. Pada saat anamnesis pasien dapat
mendemonstrasikan gerakan menjentikkan pergelangan tangan dan
tangan (mirip dengan menggoyangkan termometer) ketika
menjelaskan bagaimana gejalanya berkurang (Katz, 2011; Simpson
& Day, 2011).

Gambar 3.10 Flick’s sign (Simpson & Day, 2011)


5. Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di
atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti
CTS, tes ini menyokong diagnose (Katz, 2011).
6. Pemeriksaan tanda atrofi
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot
otot thenar atau thenar wasting (Katz, 2011). Pemeriksaan otot-
otot tangan untuk menyaring atrofi atau kelemahan otot thenar
direkomendasikan. Tonjolan tenar adalah otot tenar yang
dipersarafi oleh cabang motorik saraf median yang muncul dari
saraf tempat ia keluar dari kanal karpal; namun, ada persarafan
ulnaris dari sebagian fleksor policis brevis. Untuk menguji otot
abduktor polisis brevis ibu jari (Gambar 2.11), pasien diminta
untuk meletakkan jari pertama tegak lurus pada telapak tangan
dan menahan tekanan yang diberikan, langsung di arah adduksi,
pada phalanx distal. Posisi dan kekuatan dibandingkan dengan
sisi lain. Fungsi oposisi (Gambar 2.12) dapat diuji dengan
meminta pasien menyentuh ujung ibu jari ke ujung jari kelima.
Pasien diminta untuk melawan, sementara pemeriksa berusaha
memisahkan kedua jari tersebut (Duncan & Kakinoki, 2017).

Gambar 3.11 Pemeriksaan pada otot abductor pollicis brevis; jari pertama
pasien tegak lurus dengan telapak tangan; tekanan dilakukan langsung ke
arah adduksi (Duncan & Kakinoki, 2017)
Gambar 3.12 Otot thenar dan opponens pollicis dapat diuji dengan meminta
pasien menyentuh ujung ibu jari untuk ujung jari kelima dan melawan ketika
dokter mencoba untuk memisahkan dua digit (Duncan & Kakinoki, 2017)

7. Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnose (Katz,
2011).
8. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI sangat berguna sebelum operasi, namun tidak
menyingkirkan diagnosis banding lainnya (Sevy & Varacallo,
2021).
9. Ultrasonografi
USG berpotensi dapat mengidentifikasi lesi pada terowongan
karpal dan dapat mendeteksi kelainan pada nervus medianus.
USG juga dapat membantu memandu apabila akan dilakukan
suntikan steroid ke dalam terowongan karpal lainnya (Sevy &
Varacallo, 2021).
10. Elektrodiagnostik
Electromyography (EMG) dan Nerve Conduction Study (NCS)
merupakan pemeriksaan gold standar untuk diagnosis CTS.
Pemeriksaan elektrofisiologi juga dapat menilai tingkat
keparahan kerusakan saraf dan juga menentukan prognosis. CTS
biasanya dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Pada pasien
CTS ringan memiliki kelainan sensorik saja pada pengujian
elektrofisiologi, dan pada pasien CTS sedang memiliki kelainan
sensorik dan kelainan motorik (Sevy & Varacallo, 2021).
Secara umum hasil pemeriksaan elektrofisiologis pada CTS
berupa: menurunnya kecepatan hantar saraf (KHS) pada saat
melintasi terowongan karpal, memanjangnya latensi distal
motorik (LDM), menurunnya amplitudo sensory nerve action
potensial (SNAP), dan menurunnya amplitudo compound muscle
action potential (CMAP) saraf medianus, serta ditemukannya
aktifitas spontan berupa fibrilasi pada otot abductor pollicis
brevis. Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologis, derajat CTS
dapat ditentukan ringan, sedang dan berat. Derajat ringan bila
pada pemeriksaan elektrodiagnostik ditemukan abnormalitas
sensorik saraf medianus; sedang ditemukan pemanjangan LDM
terhadap abductor pollicis brevis dengan CMAP normal;
sedangkan berat bila ditemukan menurunnya CMAP atau EMG
abnormal pada otot thenar (Subadi, et al., 2021).

Dalam tulisan Putra pada tahun 2019, terdapat klasifikasi CTS berdasarkan
hasil pemeriksaan EMG menurut Sucher :
1. Ringan : terdapat pemanjangan distal sensory latency (DSL)
dan/atau median mixed nerve latency (MNL), normal atau
pemanjangan minimal distal motor latency (DML), semua
respon amplitude jarak yang normal, tidak ada conduction
block (CB) atau ringan dan tidak terdapat kelainan pada EMG
thenar.
2. Sedang : pemanjangan DSL, MNL, dan DML, amplitude
berkurang dan dapat mengalami penurunan, CB kemungkinan
ada, terdapat kelainan minor pada EMG thenar.
3. Berat : Sensorik dan/ atau motorik yang tidak terukur
(atau amplitude rendah dengan DSL/MNL/DML yang sangat
memanjang), terdapat CB dan terdapat kelainan pada EMG
thenar
Berdasarkan tulisan Tamba & Pudjowidyanto pada tahun 2008, terdapat
kriteria diagnosis CTS menurut The National Institute of Occupational Safety and
Health (NIOSH), yaitu terdapat :
1. Gejala sugestif : parestesia, hipoestesia, nyeri atau rasa tebal
yang mengenai paling tidak Sebagian dari distribusi nervus
medianus.
2. Ditemukan satu atau lebih hasil pemeriksaan Tinel’s sign,
Phalen sign atau penurunan/hilangnya sensasi terhadap pin
prick pada distribusi nervus medianus, atau pada hasil
elekrodiagnostik didapatkan disfungsi nervus medianus saat
melalui terowongan karpal.
3. Adanya bukti hubungan akibat kerja. Elektrodiagnostik berguna
untukkonfirmasi diagnosis pada penderita yang dicurigai
menderita CTS dan untuk menyingkirkan diagnosis neuropati
lainnya.
3.8 Tatalaksana
Pada penderita Carpal Tunnel Syndrome (CTS), pasien diinstruksikan
untuk memodifikasi gerakan pergelangan tangan yang memicu gejala. Seperti
menempatkan keyboard pada ketinggian yang tepat dan meminimalkan fleksi,
ekstensi, abduksi, dan adduksi tangan saat mengetik. Dianjurkan untuk
mengurangi aktivitas berulang jika memungkinkan. Konseling tentang
penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas aerobik juga dapat
bermanfaat. Dapat dianjurkan untuk membalut pergelangan tangan malam hari
yang dipasang dengan benar (Sevy & Varacallo, 2021). Berikut adalah terapi
yang dapat dilakukan pada penderita CTS :
a) Terapi Latihan
Terapi Latihan dianjurkan untuk penderita CTS derajat ringan dan sedang
atau pada penderita yang sedang menunggu operasi. Terapi latihan
bertujuan menurunkan tekanan intracarpal dan inflamasi, serta
memperbaiki aliran balik vena dengan cara menurunkan edema dan adesi.
Latihan yang paling sering dilakukan adalah median nerve glide
mobilization dan tendon glide. Latihan dilakukan satu sampai lima kali
per hari dengan lima sampai sepuluh repetisi (Subadi, et al., 2021).

Gambar 3.13 Latihan nerve gliding. A. Pergelangan tangan posisi netral, jari-jari, dan
ibu jari posisi fleksi; B. Pergelangan tangan posisi netral, jari-jari dan ibu jari posisi
ekstensi; C. Pergelangan tangan dan jari-jari posisi ekstensi, ibu jariposisi netral; D.
Pergelangan tangan, jari-jari dan ibu jari ekstensi; E. Seperti D namun lengan bawah
supinasi; F. Seperti E dengan peregangan ibu jari (Subadi, et al., 2021).

Gambar 3.14 Latihan tendon gliding. (1) straight; (2) straight fist; (3) table top; (4) fist;
(5) hook. (Subadi, et al., 2021)
b) Terapi Modalitas
1. Terapi Panas
Terapi panas digunakan untuk efek analgesik, pengurangan
parestesia, kekakuan dan peningkatan konduksi saraf dan trofi. Terapi
panas eksogen melalui paraffin atau panas endogen dengan Ultra
High Frequency Therapy (UHFT) yang digunakan berdasarkan
stadium penyakit, tingkat keparahan gejala, selektivitas jaringan yang
dilakukan sesuai dengan presentasi air dan toleransi pasien
(Zaralieva, et al., 2020). Parafin diterapkan pada suhu sekitar 50oC,
durasi terapi selama 15-20 menit pada proyeksi anatomi terowongan
karpal dan telapak tangan. Sedangkan, pada UHFT diterapkan mulai
dosis atermik hingga dosis oligotermik dengan elektroda yang
digunakan untuk memanaskan jaringan. Jarak dari kulit pasien ke
elektroda sekitar 23 cm dengan durasi 8-10 menit (Zaralieva, et al.,
2020).
2. Terapi Laser
Terapi laser digunakan untuk nyeri dan parestesia. Terapi laser
menggunakan sinar laser dengan intensitas rendah dan tinggi
(Zaralieva, et al., 2020). Low Level Laser Therapy (LLLT) memiliki
efek meningkatkan produksi endhorpin, serotonin dan beberapa
mediator yang dapat menurunkan inflamasi (Subadi, et al., 2021).
3. Ultrasound Therapy
Terapi dengan ultrasound menggunakan efek fibrinolitik,
antiinflamasi dan anti iritasi dari ultrasound. Aplikasi pada proyeksi
terowongan karpal menggunakan transduser frekuensi rendah untuk
efek lebih dalam dan frekuensi tinggi untuk efek permukaan.
Intensitas ultrasound 0,8 sampai 1,0 W/cm2 dengan durasi 6 menit
(Zaralieva, et al., 2020).
4. Magnetotherapy
Menggunakan medan magnet impuls frekuensi rendah yang
ditetapkan dengan parameter 20-25 mT dengan perbandingan periode
terapidan istirahat 2:8. Magnetotherapy dikontraindikasikan pada
pasien dengan alat pacu jantung (Zaralieva, et al., 2020).
5. Phonophoresis
PH adalah metode modifikasi yang menggunakan US untuk
meningkatkan penyerapan kutaneous obat antiinflamasi topikal dari
kulit ke jaringan target yang lebih dalam. Teknik ini adalah teknik
non-invasif dan berisiko rendah. PH menggabungkan pengobatan AS
dan obat antiinflamasi; oleh karena itu, dapat terjadi peningkatan efek
yang menguntungkan. Ada banyak laporan tentang efeknya pada
kondisi muskuloskeletal. Baru-baru ini, laporan pengobatan PH pada
pasien CTS telah menunjukkan hasil positif menggunakan berbagai
obat dan desain penelitian (Boonhong and Thienkul, 2019).
6. Iontophoresis
Iontophoresis digunakan untuk menggabungkan efek analgesic dari
arus galvanic atau frekuensi rendah dengan efek fibrinolitik kalium
idodida. Larutan kalium iodida 5% digunakan untuk prosedur ini dan
ditempatkan pada bantal hidrofil disekitar elektroda negative.
Intensitas arus diberikan secara subjektif (maksimal 10mA) untuk
menghindari sensasi terbakar dan nyeri dengan durasi 20 menit
(Zaralieva, et al., 2020).
7. Shockwave Therapy (SWT)
Shockwave Therapy (SWT) menggunakan gelombang kejut yang
dihasilkan dengan frekuensi rendah (5-20 Hz) dengan tekanan 1-5 bar
yang diaplikasikan di daerah ligamentum carpal transversum.
Prosedur dilakukan 4-6 kali dengan 1-2 prosedur per minggu. SWT
sangat efektif pada tahap awal penyakit dan pada pasien dengan usia
muda (Zaralieva, et al., 2020). SWT memicu ekspresi adenosine
triphosphate (ATP) untuk aktivasi jalur signal sel,
meningkatkanpermeabilitas membrane sel, mobilisasi kalsium,
angiogenesis, efek anti-inflamasi, dan merangsang makrofag (Subadi,
et al., 2021).
c) Terapi Medikamentosa
Pasien dengan CTS ringan hingga sedang merespons manajemen
konservatif, yang mencakup pembalutan pergelangan tangan pada malam
hari selama setidaknya tiga minggu. Jika pengobatan konservatif gagal,
suntikan steroid ke dalam terowongan karpal dapat bermanfaat. Suntikan
steroid mungkin juga bermanfaat sebelum manajemen bedah atau ketika
pembedahan relatif dikontraindikasikan seperti pada kehamilan.
Pengukuran saraf median dengan ultrasound dapat memprediksi respons
terhadap injeksi steroid (Sevy & Varacallo, 2021)
d) Pembedahan
Pasien yang tidak membaik setelah pengobatan konservatif dan mereka
yang memiliki gejala yang parah seperti yang didefinisikan oleh tes
elektrofisiologi harus dipertimbangkan untuk operasi. Pengobatan
definitif untuk sindrom terowongan karpal persisten adalah intervensi
bedah dengan pelepasan terowongan karpal setelah studi konduksi saraf
menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan. Pelepasan terowongan
karpal biasanya dilakukan oleh ahli bedah saraf/ortopedi/plastik atau ahli
bedah tangan. Prosedur ini dapat dilakukan baik secara terbuka atau
endoskopi. Pelepasan terowongan karpal dianggap sebagai operasi kecil
di mana ligamen karpal transversal atau retinakulum fleksor dipotong,
membuka lebih banyak ruang di terowongan karpal dan mengurangi
tekanan pada nervus medianus (Sevy & Varacallo, 2021).
3.9 Komplikasi
Dalam buku yang ditulis oleh Sevy & Varacallo pada tahun 2021, Carpal
Tunnel Syndrome dapat menyebabkan :
1. Kerusakan nervus medianus yang ireversibel, yang menyebabkan
kerusakan permanen dan kecacatan.
2. Nyeri pergelangan tangan dan tangan kronis dengan atau tanpa
distrofirefleks simpatis.
3. CTS dapat menyebabkan atrofi dan kelemahan otot-otot di pangkal
ibu jari di telapak tangan. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya
ketangkasan jari-jari yang terkena.
3.10 Prognosis
Carpal tunnel syndrome (CTS) biasanya progresif dari waktu ke waktu
dan dapat menyebabkan kerusakan saraf median permanen. Sindrom ini
berulang sampai tingkat tertentu bahkan setelah manajemen bedah pada
sepertiga pasien setelah 5 tahun. Hampir 90% dari kasus CTS ringan sampai
sedang merespon manajemen konservatif. Namun, banyak pasien berkembang
hingga membutuhkan pembedahan. Pasien dengan CTS sekunder akibat
diabetes atau patah tulang pergelangan tangan cenderung memiliki prognosis
yang kurang baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki penyebab yang
jelas. Pasien yang memiliki studi elektrofisiologi normal memiliki hasil
operasi yang jauh lebih baik daripada individu dengan kelainan pada tes ini
dan juga lebih banyak komplikasi. Kehilangan aksonal pada pengujian
elektrofisiologi juga merupakan faktor prognostik yang buruk (Sevy &
Varacallo, 2021).
3.11 Diagnosis Banding
1. Trigger Finger
Trigger fringer atau volar flexor tenosynovitis merupakan suatu kondisi
peradangan synovia pada jari tanan tak bisa diluruskan setelah
menggenggam. Keluhan seperti ini banyak terjadi pada perempuan dengan
usia 30 tahun ke atas. Aktivitas rumah tangga seperti memasak, mencuci,
menggunting rumput atau menggendong bayi sering disebut sebagai
pemicu. Pada pemeriksaan, pasien dapat merasakan jari tangan tidak bisa
diluruskan setelah menggenggam dan diiringi rasa nyeri pada pangkal jari.
Kondisi ini biasanya terjadi pada jari tengah, jari manis, dan kelingking
(Noor, 2017).

Gambar 3.15 Trigger Finger


2. De Quirvain’s
Penyakit de Quirvain merupakan suatu kondisi tendovaginitis stenosis
pada kompartemen dorsal pertama dari pergelangan tangan. Tendovagiitis
merupakan suatu inflamasi dan penipisan dari retinakular dan menjadi
karakteristik dari penyakit de Quirvain. Manifestasi klinis berupa keluhan
nyeri dan penurunan dari rentang gerak sendi pada pergelangan tangan
merupakan tanda penting dari penyakit ini. Pada pemeriksaan dengan tes
Finkelstein didapatkan adaya nyeri lokal akibat terperangkapnya tendon di
dalam kompartemen yang mengalami inflamasi (Noor, 2017).

Gambar 3.16 tes Finkelstein untuk diagnosis De Quirvain’s

3. Claw Hand
Claw hand merupakan salah satu bentuk kecacatan pada tangan yang biasa
disebut jari-jari kriting. Claw hand terjadi akibat kerusakan saraf ulnaris
dan saraf medianus, dimana kita ketahui bahwa kedua saraf tersebut
mempersarafi otot-otot pada jari-jari . Claw hand termasuk kecacatan fisik
pada tangan yaitu metacarpopalangeal joint hyperextensi, proximal
interpalangeal joint fleksi, dan distal interpalangeal joint fleksi.
Kelumpuhan atau claw hand tersebut dianggap permanen jika pada waktu
mulai terjadinya kelemahan sampai lumpuh diatas 6 bulan

Gambar 3.17 Claw Hand (Lane & Nallamothu, 2019)


4. Ape Hand
Ape Hand merupakan deformitas fisik yang menyebabkan
ketidakmampuan utuk melakukan abduksi atau oposisi dari ibu jari
sehingga menyebabkan ibu jari hanya dapat melakukan sedikit gerakan
abduksi atau oposisi atau tidak bisa sama sekali. Abduksi ibu jari adalah
kemampuan untuk menggerakkan tegak lurus (90°) menjauhi bidang
telapak tangan. Oposisi adalah kemampuan metacarpal pertama untuk
dapat mengayun di atas permukaan telapak tangan, sehingga ibu jari dan
ujung jari kelingking bersentuhan. Ibu jari juga dapat melakukan gerakan
fleksi dan ekstensi yang terbatas. Ape hand biasanya disebabkan oleh
adanya parese dari nervus medianus yang umumnya disebabkan oleh
adanya cedera yang dalam pada pergelangan tangan ataupun lengan bawah
dimana hal ini dapat mengganggu fungsi otot thenar (Frothingham and
Morrison, 2022).

Gambar 3.18 Ape Hand


5. Drop Hand
Drop Hand atau yang secara internasional dikenal dengan Wrist Drop,
dikenal dalam dunia medis sebagai Radial Nerve Palsy, merupakan
kondisi dimana seseorang tak mampu mengekstensikan pergelangan
tangannya dan pergelangan tangan tersebut bergantung dalam kondisi
flaksid. Seseorang dengan wrist drop tidak dapat melakukan gerakan
dimana jemarinya harus mengarah ke atas langit-langit. Walaupun
penyebab wrist drop bervariasi, neuropati nervus radialis seringkali terjadi
oleh karena cidera kompresi yang melingkupi kematian sel saraf radialis.
Pada umumnya, nyeri merupakan sinyal bahaya sebelum neuropati radialis
berkembang sebagaimana lengan menahan tekanan pada periode
berkepanjangan. Namun, suatu saat terdapat kondisi dimana nyeri tersebut
tidak terasa atau diabaikan seperti pada stupor oleh pengaruh zat kimia
atau secara psikis. Satu contoh adalah ketika duduk bergelayut pada kursi
atau tidur semalam dengan pasangan yang kepalanya istirahat diatas
lengan. Kompresi pada nervus radialis atau trauma dapat terjadi pada
berbagai titik pada jaras anatomisnya dan dapat memiliki berbagai macam
etiologi. Lokasi kompresi tersering adalah pada lengan bawah proksimal
pada area otot supinator dan melingkupi cabang interoseus posterior
(Bhisma, 2013).

Gambar 3.19 Drop Hand


BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati pada nervus
medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan tepatnya di bawah
fleksor retinaculum. Penyebab yang paling umum adalah kecenderungan genetic,
riwayat gerakan pergelangan tangan berulang seperti mengetik, atau pekerjaan
mesin, obesitas, gangguan autoimun seperti rheumatoid artritis dan kehamilan.
Gejala klasik pada Carpal Tunnel syndrome (CTS) adalah nyeri, kesemutan, rasa
menggelanyar pada jari-jari I, II, III dan IV, sesuai dengan distribusi nervus
medianus. Pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis Carpal Tunnel Syndrome (CTS), yaitu Tinel’s sign,
Phalen’s test, Wrist Extension test, MRI, ultrasonografi, dan elektrodiagnostik.
Tatalaksana yang dapat diberikan pada penderita CTS adalah terapi latihan, terapi
modalitas, terapi medikamentosa, dan terapi pembedahan.
4.2 Saran
Sebaiknya sebagai tenaga kesehatan, terutama dokter layanan primer yang
akan menjadi lini pertama pelayanan kesehatan, memiliki pengetahuan, dan
keterampilan melakukan pemeriksaan guna membantu menegakkan diagnosis
Carpal Tunnel Syndrome dan memberikan penanganan yang optimal bagi pasien
baik secara medikamentosa dan non medikamentosa termasuk tindakan
rehabilitasi medik yang diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Amanda, E., 2013. Carpal Tunnel Syndrome: Patogenesis and clinical


findings. [online] Calgary guide. Available at:
<https://calgaryguide.ucalgary.ca/carpal-tunnel-syndrome-
pathogenesis-and-clinical-findings/> [Accessed 5 April 2022].
Amitamara, B. D. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Carpal
Tunnel Syndrome Dekstra di RSUD Saras Husada Purworejo.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Bhisma, M., 2013. Radial Nerve Palsy / "Drop Hand" Patofisiologi dan
Diagnosa.
Boonhong, J. and Thienkul, W., 2019. Effectiveness of Phonophoresis
Treatment in Carpal Tunnel Syndrome: A Randomized Double‐
blind, Controlled Trial. PM&amp;R, 12(1), pp.8-15.
Duncan, S. and Kakinoki, R., 2017. Carpal Tunnel Syndrome and Related
Median Neuropathies. Switzerland: Springer Nature, pp.1-307.
Frothingham, S. and Morrison, W., 2022. Ape Hand: Median Nerve,
Symptoms, Causes, vs. Claw Hand. [online] Healthline. Available
at: <https://www.healthline.com/health/ape-hand> [Accessed 18
April 2022].
Genova, A., Dix, O., Saefan, A., Thakur, M. and Hassan, A., 2020. Carpal
Tunnel Syndrome: A Review of Literature. Cureus,.
Lane R., Nallamothu, S. V., Claw Hand. 2019. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507781/
Mumenthaler, M., Mattle, H. and Taub, E., 2006. Fundamentals of
neurology. Stuttgart: Thieme.
Noor, Z., 2017. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. 3rd ed. Jakarta:
Salemba Medika, pp.345-349.
Permata, A., & Ismaningsih. (2020). Aplikasi Neuromuscular Taping pada
Kondisi Carpal Tunnel Syndrome Untuk Mengurangi Nyeri. Jurnal
Ilmiah Fisioterapi (JIF).
Rambe, A. 2008. Sindroma Terowongan Karpal. Bagian Neurologi FK
USU.
Salawati, L. and Syahrul, 2014. Carpal Tunnel Syndrome. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 14(1), pp.29-37.
Salim, D., 2017. Penegakkan Diagnosis dan Penatalaksanaan Carpal Tunnel
Syndrome. Jurnal Kedokteran Meditek, 23(63), pp.67-70.
Sevy, J. O., & Varacallo, M. (2021). Carpal Tunnel Syndrome. StatPearls.
Subadi, I., Hidayati, H. B., Fidiana, & Sulastri, N. (2020). Medical
Rehabilitation Management of Carpal Tunnel Syndrome. Journal of
Pain Headache and Vertigo (JPHV)
Tamba, L. and Pudjowidyanto, H., 2008. Karakteristik Penderita Sindroma
Terowongan Karpal (STK) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi
Medik RS Dr. Kariadi Semarang 2006. Media Medika Indonesiana,
43(1), pp.10-16.
Tana, L., Halim, F., Delima and Ryadina, W., 2004. Carpal Tunnel
Syndrome pada Pekerja Garmen di Jakarta. Buletin Peneliti
Kesehatan, 32(2), pp.73-82.

Anda mungkin juga menyukai