Disusun oleh:
DEENADEARLOVA PUTRI DARYANI
2110017099
Pembimbing:
dr. Nurindah Isty Rachmayanti, Sp. KFR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
“Carpal Tunnel Syndrome”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Moriko P., M.Kes., Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Nurindah Isty Rachmayanti, Sp.KFR., selaku Kepala Laboratorium Ilmu
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.dan dosen
pembimbing selama mengikuti stase Rehabilitasi Medik.
4. Tim rehabilitasi medik RSUD Aji Muhammad Parikesit, terima kasih atas
ilmu dan pengalaman yang diberikan.
5. Rekan-rekan dokter muda di Laboratorium Rehabilitasi Medik FK UNMUL
dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat disebutkan satu-satu persatu.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan laporan kasus ini.
Akhir kata, semoga laporan ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.
Penulis,
Deenadearlova Putri Daryani
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….1
1.2 Tujuan……………………………………………………………………..2
1.3 Manfaat........................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS..................................................................................3
2.1 Anamnesis…………………………………………………………………3
2.2 Pemeriksaan Fisik…………………………………………………………5
2.3 Diagnosis Kerja……………………………………………………………7
2.4 Diagnosis Fungsional………….…………………………………………..8
2.5 Penatalaksanaan…………………………………………………………...8
2.6 Prognosis…………………………………………………………………10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................11
3.1 Definisi.....................................................................................................11
3.2 Anatomi...................................................................................................11
3.3 Epidemiologi............................................................................................13
3.4 Etiologi.....................................................................................................14
3.5 Patofisiologi.............................................................................................15
3.6 Manifestasi Klinis....................................................................................17
3.7 Diagnosis.................................................................................................18
3.8 Tatalaksana...............................................................................................24
3.9 Komplikasi…………………………………………………...…………28
3.10 Prognosis..................................................................................................29
3.11 Diagnosis Banding……………………………………………………...29
BAB IV PENUTUP..............................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34
BAB I
PENDAHULUAN
55555 55555
b) Refleks Fisiologis
Biceps +2/+2
Triceps +2/+2
Brachioradialis +2/+2
c) Refleks Patologis
Hoffman -/-
Tromner -/-
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Terapi
Natrium Diklofenak 3x25 mg
Vit B Complex 2x1
Edukasi
Mengurangi pergerakan pergelangan tangan
Menghindari gerakan repetitif, selingi istirahat tiap 20 menit
Menggunakan peralatan yang ergonomis (bantalan pergelangan
tangan, mouse komputer yang ergonomis)
Menggunakan alternatif keyboard (pena digital, pengenal suara dan
dictation software)
Rajin berolahraga terutama jika berat badan dalam kategori
obesitas
Menghindari merokok dan konsumsi alkohol
Tempat kerja yang ergonomis
Jaga tangan bekerja dalam posisi netral
3.1 Definisi
Carpal Tunnel Syndrome atau Sindrom Terowongan Karpal (STK)
merupakan kumpulan gejala akibat kompresi pada nervus medianus di dalam
terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor
retinaculum (Noor, 2017). CTS merupakan kumpulan gejala dan tanda
penyakit yang diakibatkan oleh terjepitnya nervus medianus di terowongan
karpal pada pergelangan tangan (Permata & Ismaningsih, 2020). CTS
merupakan kondisi medis umum yang tetap menjadi salah satu bentuk
kompresi dari saraf medianus yang paling sering dilaporkan. CTS terjadi
ketika saraf medianus terjepit atau tertekan saat berjalan melalui pergelangan
tangan (Genova et al., 2020)
CTS merupakan suatu sindrom yang berhubungan dengan gerakan yang
berulang (repetitive motion) dan posisi yang menetap dengan durasi yang lama
yang dapat berpengaruh pada suplai darah ke tangan dan menimbulkan rasa
nyeri (Permata & Ismaningsih, 2020).
3.2 Anatomi
Terowongan karpal merupakan lorong sempit di pergelangan tangan,
dengan lebar satu inci. Bagian bawah dan samping terowongan ini dibentuk
oleh tulang karpal, dan bagian atas terowongan ditutupi oleh jaringan ikat
yang disebut ligamentum karpal transversal (fleksor retinakulum). Nervus
medianus merupakan salah satu saraf utama yang fungsinya untuk mengontrol
sisi ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Terdapat sembilan
tendon fleksor yang mengontrol membengkoknya jari melewati terowongan
karpal. Bersama dengan sembilan tendon, nervus medianus berjalan dari
lengan ke tangan melalui terowongan karpal (American Academy of
Orthopaedic Surgeons, 2019; Duncan & Kakinoki, 2017)
Gambar 3.3 Carpal Tunnel: Penampang Wrist (Duncan & Kakinoki, 2017)
3.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya CTS adalah 1 sampai 3 individu
per 1000 individu per tahun, dengan prevalensi 50 per 1000 individu. Di
wilayah Inggris kejadian CTS adalah antara 6-17%, relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kejadian 5% di Amerika Serikat. Sebagian besar
insiden dan prevalensi terjadinya CTS terjadi di negara maju. Ras kulit putih
dua sampai tiga kali lebih rentan terkena CTS dibandingkan dengan orang
kulit hitam. Di Indonesia prevalensi angka kejadian CTS belum diketahui
secara pasti, namun suatu penelitian terbaru di kota Denpasar Indonesia
menemukan prevalensi kasus CTS pada pekerja garmen di Kota Denpasar
adalah 79,2% yaitu sebanyak 32 orang dari sejumlah 59 responden. Hasil
penelitian ini menemukan CTS didominasi oleh wanita dan pada perkerja
yang telah bekerja selama >2 tahun sebanyak 72,1% dengan kasus terbanyak
pada pekerja dengan durasi bekerja 8 jam sehari (51,2%) (Paramita, et al.,
2021; Sevy & Varacallo, 2021)
Usia puncak kejadian CTS adalah usia 40 sampai 60 tahun. Wanita
sepuluh kali lebih sering terkena CTS dibandingkan dengan pria. Data lain
menyebutkan tingkat kejadian CTS 9,2% pada wanita dan 6% pada pria (Sevy
& Varacallo, 2021; Genova et al., 2020).
3.4 Etiologi
CTS merupakan kondisi yang dihasilkan akibat peningkatan tekanan
pada terowongan karpal dan kompresi pada nervus medianus. Penyebab yang
paling umum adalah kecenderungan genetik, riwayat gerakan pergelangan
tangan berulang seperti mengetik, atau pekerjaan mesin, obesitas, gangguan
autoimun seperti rheumatoid artritis dan kehamilan. mayoritas kasus
terjadinya CTS adalah idiopatik. Adapun penyebab sekunder yang dibagi
menjadi 4 yaitu (Sevy & Varacallo, 2021) :
1. Kelainan pada wadah, yaitu kelainan pada dinding terowongan
yang dapat menyebabkan kompresi pada nervus medianus
a. Dislokasi atau subluksasi karpus
b. Fraktur atau konsolidasi miring dari radius distal
c. Arthrosis pergelangan tangan, radang sendi, radang sendi
menular
d. Akromegali
2. Kelainan pada isi
a. Hipertrofi tenosinovial
b. Rematik inflamasi dan infeksi
c. Diabetes mellitus (kelainan pergantian kolagen), amyloidosis
primer atau sekunder (hemodialisis kronis dengan deposisi
beta-2mikroglobulin)
d. Kelainan distribusi cairan (kehamilan, hipotiroidisme dan
gagal ginjal kronis (fistula arteriovenosa)
e. Hipertrofi arteri nervus medianus
f. Tumor intratunnel (lipoma, kista synovial, sarcoma synovial
atau tumor saraf (schwannoma, neurofibroma atau
lipofibroma)
g. Hematoma karena hemofilia, kecelakaan antikoagulan atau
trauma
h. Obesitas
3. Dynamic Carpal Tunnel Syndrome, tekanan di dalam terowongan
karpal meningkat selama gerakan ekstensi dan fleksi berulang
pada pergelangan tangan.
4. Paparan Getaran, menyebabkan konsekuensi ultrastruktural yang
terdiri dari kompresi mikrosirkulasi dan edema intraneural setelah
cedera mielin dan akson.
3.5 Patofisiologi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) terjadi secara kronis akibat terjadinya
penebalan fleksor retinaculum yang menyebabkan kompresi nervus medianus.
Misalnya, aktivitas yang memerlukan gerakan berulang dengan kontraksi kuat
pada pergelangan tangan menimbulkan tekanan pada sarung tendon sehingga
sarung tendon membengkak. Apabila terjadi secara terus menerus akan
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular. Sehingga mengganggu
nutrisi intravascular yang menimbulkan hipoksia kemudian anoksia yang akan
menyebabkan rusaknya endotel dan timbul nyeri lokal terganggu (Amitamara,
2015). Kompresi pada nervus ini dapat menimbulkan gangguan sensorik
berupa paresthesia terutama pada ujung jari telunjuk, jari tengah, sisi ibu jari
dari jari manis dan ibu jari. Perkembangan selanjutnya akan terjadi gangguan
motorik akibat dari atrofi otot-otot thenar (Salim, 2017). Penyebab lain yang
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan endotel adalah kebocoran protein
yang menyebabkan terjadinya edema epineural. Hipotesa ini menerangkan
bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam atau
pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerakkan atau diurut,
mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada aliran darah. Apabila
keadaan ini terus berlanjut akan menyebabkan kerusakan pada serabut saraf
akibat fibrosis epineural. Saraf menjadi atrofi dan akan digantikan oleh
jaringan ikat sehingga fungsi nervus medianus terganggu (Amitamara, 2015;
Tana, Halim, Delima & Ryadina, 2004).
Literatur lain menjelaskan bahwa CTS dapat terjadi oleh adanya
kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal transversal yang
berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT).
IMT yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi
fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal ≥25 lebih mungkin
untuk terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang mempunyai berat
badan ramping. Literatur lain menyebutkan bawa pasien dengan BMI lebih
besar dari 29 memiliki risiko sindrom terowongan karpal yang 2,5 kali lebih
tinggi daripada risiko individu ramping (BMI <20). American Obesity
Association menemukan bahwa 70% dari penderita CTS memiliki kelebihan
berat badan. Resiko CTS meningkat setiap peningkatan IMT sebanyak 8%.
Patofisiologi di balik hubungan IMT dengan terjadinya CTS masih belum
dipahami dengan baik, namun hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah jaringan lemak yang ada di dalam terowongan karpal atau karena
adanya peningkatan dari tekanan cairan pada terowongan karpal pada
individu dengan obesitas (Tana, Halim, Delima & Ryadina, 2004; Duncan &
Kakinoki, 2017).
Gambar 3.6 Penderita CTS yang mengalami atrofi dari otot thenar (Salim, 2017)
3.7 Diagnosis
Pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis Carpal Tunnel Syndrome (CTS), yaitu :
1. Tinel’s sign
Hasil tes akan mendukung diagnosis apabila timbul parestesia
atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus dengan cara
melakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan
sedikit dorsofleksi. Tes ini secara diagnostik valid dalam
persentase antara 58% dan 67% dari kasus pasien yang tes
elektromiografinya positif (Permata & Ismaningsih, 2020;
Duncan & Kakinoki, 2017).
Gambar 3.8 1. Phalen’s test; 2. Reverse Phalen’s test (Simpson & Day, 2011)
4. Flick Sign
Penderita diminta mengibas-ngibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS. Pada saat anamnesis pasien dapat
mendemonstrasikan gerakan menjentikkan pergelangan tangan dan
tangan (mirip dengan menggoyangkan termometer) ketika
menjelaskan bagaimana gejalanya berkurang (Katz, 2011; Simpson
& Day, 2011).
Gambar 3.11 Pemeriksaan pada otot abductor pollicis brevis; jari pertama
pasien tegak lurus dengan telapak tangan; tekanan dilakukan langsung ke
arah adduksi (Duncan & Kakinoki, 2017)
Gambar 3.12 Otot thenar dan opponens pollicis dapat diuji dengan meminta
pasien menyentuh ujung ibu jari untuk ujung jari kelima dan melawan ketika
dokter mencoba untuk memisahkan dua digit (Duncan & Kakinoki, 2017)
7. Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnose (Katz,
2011).
8. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI sangat berguna sebelum operasi, namun tidak
menyingkirkan diagnosis banding lainnya (Sevy & Varacallo,
2021).
9. Ultrasonografi
USG berpotensi dapat mengidentifikasi lesi pada terowongan
karpal dan dapat mendeteksi kelainan pada nervus medianus.
USG juga dapat membantu memandu apabila akan dilakukan
suntikan steroid ke dalam terowongan karpal lainnya (Sevy &
Varacallo, 2021).
10. Elektrodiagnostik
Electromyography (EMG) dan Nerve Conduction Study (NCS)
merupakan pemeriksaan gold standar untuk diagnosis CTS.
Pemeriksaan elektrofisiologi juga dapat menilai tingkat
keparahan kerusakan saraf dan juga menentukan prognosis. CTS
biasanya dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Pada pasien
CTS ringan memiliki kelainan sensorik saja pada pengujian
elektrofisiologi, dan pada pasien CTS sedang memiliki kelainan
sensorik dan kelainan motorik (Sevy & Varacallo, 2021).
Secara umum hasil pemeriksaan elektrofisiologis pada CTS
berupa: menurunnya kecepatan hantar saraf (KHS) pada saat
melintasi terowongan karpal, memanjangnya latensi distal
motorik (LDM), menurunnya amplitudo sensory nerve action
potensial (SNAP), dan menurunnya amplitudo compound muscle
action potential (CMAP) saraf medianus, serta ditemukannya
aktifitas spontan berupa fibrilasi pada otot abductor pollicis
brevis. Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologis, derajat CTS
dapat ditentukan ringan, sedang dan berat. Derajat ringan bila
pada pemeriksaan elektrodiagnostik ditemukan abnormalitas
sensorik saraf medianus; sedang ditemukan pemanjangan LDM
terhadap abductor pollicis brevis dengan CMAP normal;
sedangkan berat bila ditemukan menurunnya CMAP atau EMG
abnormal pada otot thenar (Subadi, et al., 2021).
Dalam tulisan Putra pada tahun 2019, terdapat klasifikasi CTS berdasarkan
hasil pemeriksaan EMG menurut Sucher :
1. Ringan : terdapat pemanjangan distal sensory latency (DSL)
dan/atau median mixed nerve latency (MNL), normal atau
pemanjangan minimal distal motor latency (DML), semua
respon amplitude jarak yang normal, tidak ada conduction
block (CB) atau ringan dan tidak terdapat kelainan pada EMG
thenar.
2. Sedang : pemanjangan DSL, MNL, dan DML, amplitude
berkurang dan dapat mengalami penurunan, CB kemungkinan
ada, terdapat kelainan minor pada EMG thenar.
3. Berat : Sensorik dan/ atau motorik yang tidak terukur
(atau amplitude rendah dengan DSL/MNL/DML yang sangat
memanjang), terdapat CB dan terdapat kelainan pada EMG
thenar
Berdasarkan tulisan Tamba & Pudjowidyanto pada tahun 2008, terdapat
kriteria diagnosis CTS menurut The National Institute of Occupational Safety and
Health (NIOSH), yaitu terdapat :
1. Gejala sugestif : parestesia, hipoestesia, nyeri atau rasa tebal
yang mengenai paling tidak Sebagian dari distribusi nervus
medianus.
2. Ditemukan satu atau lebih hasil pemeriksaan Tinel’s sign,
Phalen sign atau penurunan/hilangnya sensasi terhadap pin
prick pada distribusi nervus medianus, atau pada hasil
elekrodiagnostik didapatkan disfungsi nervus medianus saat
melalui terowongan karpal.
3. Adanya bukti hubungan akibat kerja. Elektrodiagnostik berguna
untukkonfirmasi diagnosis pada penderita yang dicurigai
menderita CTS dan untuk menyingkirkan diagnosis neuropati
lainnya.
3.8 Tatalaksana
Pada penderita Carpal Tunnel Syndrome (CTS), pasien diinstruksikan
untuk memodifikasi gerakan pergelangan tangan yang memicu gejala. Seperti
menempatkan keyboard pada ketinggian yang tepat dan meminimalkan fleksi,
ekstensi, abduksi, dan adduksi tangan saat mengetik. Dianjurkan untuk
mengurangi aktivitas berulang jika memungkinkan. Konseling tentang
penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas aerobik juga dapat
bermanfaat. Dapat dianjurkan untuk membalut pergelangan tangan malam hari
yang dipasang dengan benar (Sevy & Varacallo, 2021). Berikut adalah terapi
yang dapat dilakukan pada penderita CTS :
a) Terapi Latihan
Terapi Latihan dianjurkan untuk penderita CTS derajat ringan dan sedang
atau pada penderita yang sedang menunggu operasi. Terapi latihan
bertujuan menurunkan tekanan intracarpal dan inflamasi, serta
memperbaiki aliran balik vena dengan cara menurunkan edema dan adesi.
Latihan yang paling sering dilakukan adalah median nerve glide
mobilization dan tendon glide. Latihan dilakukan satu sampai lima kali
per hari dengan lima sampai sepuluh repetisi (Subadi, et al., 2021).
Gambar 3.13 Latihan nerve gliding. A. Pergelangan tangan posisi netral, jari-jari, dan
ibu jari posisi fleksi; B. Pergelangan tangan posisi netral, jari-jari dan ibu jari posisi
ekstensi; C. Pergelangan tangan dan jari-jari posisi ekstensi, ibu jariposisi netral; D.
Pergelangan tangan, jari-jari dan ibu jari ekstensi; E. Seperti D namun lengan bawah
supinasi; F. Seperti E dengan peregangan ibu jari (Subadi, et al., 2021).
Gambar 3.14 Latihan tendon gliding. (1) straight; (2) straight fist; (3) table top; (4) fist;
(5) hook. (Subadi, et al., 2021)
b) Terapi Modalitas
1. Terapi Panas
Terapi panas digunakan untuk efek analgesik, pengurangan
parestesia, kekakuan dan peningkatan konduksi saraf dan trofi. Terapi
panas eksogen melalui paraffin atau panas endogen dengan Ultra
High Frequency Therapy (UHFT) yang digunakan berdasarkan
stadium penyakit, tingkat keparahan gejala, selektivitas jaringan yang
dilakukan sesuai dengan presentasi air dan toleransi pasien
(Zaralieva, et al., 2020). Parafin diterapkan pada suhu sekitar 50oC,
durasi terapi selama 15-20 menit pada proyeksi anatomi terowongan
karpal dan telapak tangan. Sedangkan, pada UHFT diterapkan mulai
dosis atermik hingga dosis oligotermik dengan elektroda yang
digunakan untuk memanaskan jaringan. Jarak dari kulit pasien ke
elektroda sekitar 23 cm dengan durasi 8-10 menit (Zaralieva, et al.,
2020).
2. Terapi Laser
Terapi laser digunakan untuk nyeri dan parestesia. Terapi laser
menggunakan sinar laser dengan intensitas rendah dan tinggi
(Zaralieva, et al., 2020). Low Level Laser Therapy (LLLT) memiliki
efek meningkatkan produksi endhorpin, serotonin dan beberapa
mediator yang dapat menurunkan inflamasi (Subadi, et al., 2021).
3. Ultrasound Therapy
Terapi dengan ultrasound menggunakan efek fibrinolitik,
antiinflamasi dan anti iritasi dari ultrasound. Aplikasi pada proyeksi
terowongan karpal menggunakan transduser frekuensi rendah untuk
efek lebih dalam dan frekuensi tinggi untuk efek permukaan.
Intensitas ultrasound 0,8 sampai 1,0 W/cm2 dengan durasi 6 menit
(Zaralieva, et al., 2020).
4. Magnetotherapy
Menggunakan medan magnet impuls frekuensi rendah yang
ditetapkan dengan parameter 20-25 mT dengan perbandingan periode
terapidan istirahat 2:8. Magnetotherapy dikontraindikasikan pada
pasien dengan alat pacu jantung (Zaralieva, et al., 2020).
5. Phonophoresis
PH adalah metode modifikasi yang menggunakan US untuk
meningkatkan penyerapan kutaneous obat antiinflamasi topikal dari
kulit ke jaringan target yang lebih dalam. Teknik ini adalah teknik
non-invasif dan berisiko rendah. PH menggabungkan pengobatan AS
dan obat antiinflamasi; oleh karena itu, dapat terjadi peningkatan efek
yang menguntungkan. Ada banyak laporan tentang efeknya pada
kondisi muskuloskeletal. Baru-baru ini, laporan pengobatan PH pada
pasien CTS telah menunjukkan hasil positif menggunakan berbagai
obat dan desain penelitian (Boonhong and Thienkul, 2019).
6. Iontophoresis
Iontophoresis digunakan untuk menggabungkan efek analgesic dari
arus galvanic atau frekuensi rendah dengan efek fibrinolitik kalium
idodida. Larutan kalium iodida 5% digunakan untuk prosedur ini dan
ditempatkan pada bantal hidrofil disekitar elektroda negative.
Intensitas arus diberikan secara subjektif (maksimal 10mA) untuk
menghindari sensasi terbakar dan nyeri dengan durasi 20 menit
(Zaralieva, et al., 2020).
7. Shockwave Therapy (SWT)
Shockwave Therapy (SWT) menggunakan gelombang kejut yang
dihasilkan dengan frekuensi rendah (5-20 Hz) dengan tekanan 1-5 bar
yang diaplikasikan di daerah ligamentum carpal transversum.
Prosedur dilakukan 4-6 kali dengan 1-2 prosedur per minggu. SWT
sangat efektif pada tahap awal penyakit dan pada pasien dengan usia
muda (Zaralieva, et al., 2020). SWT memicu ekspresi adenosine
triphosphate (ATP) untuk aktivasi jalur signal sel,
meningkatkanpermeabilitas membrane sel, mobilisasi kalsium,
angiogenesis, efek anti-inflamasi, dan merangsang makrofag (Subadi,
et al., 2021).
c) Terapi Medikamentosa
Pasien dengan CTS ringan hingga sedang merespons manajemen
konservatif, yang mencakup pembalutan pergelangan tangan pada malam
hari selama setidaknya tiga minggu. Jika pengobatan konservatif gagal,
suntikan steroid ke dalam terowongan karpal dapat bermanfaat. Suntikan
steroid mungkin juga bermanfaat sebelum manajemen bedah atau ketika
pembedahan relatif dikontraindikasikan seperti pada kehamilan.
Pengukuran saraf median dengan ultrasound dapat memprediksi respons
terhadap injeksi steroid (Sevy & Varacallo, 2021)
d) Pembedahan
Pasien yang tidak membaik setelah pengobatan konservatif dan mereka
yang memiliki gejala yang parah seperti yang didefinisikan oleh tes
elektrofisiologi harus dipertimbangkan untuk operasi. Pengobatan
definitif untuk sindrom terowongan karpal persisten adalah intervensi
bedah dengan pelepasan terowongan karpal setelah studi konduksi saraf
menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan. Pelepasan terowongan
karpal biasanya dilakukan oleh ahli bedah saraf/ortopedi/plastik atau ahli
bedah tangan. Prosedur ini dapat dilakukan baik secara terbuka atau
endoskopi. Pelepasan terowongan karpal dianggap sebagai operasi kecil
di mana ligamen karpal transversal atau retinakulum fleksor dipotong,
membuka lebih banyak ruang di terowongan karpal dan mengurangi
tekanan pada nervus medianus (Sevy & Varacallo, 2021).
3.9 Komplikasi
Dalam buku yang ditulis oleh Sevy & Varacallo pada tahun 2021, Carpal
Tunnel Syndrome dapat menyebabkan :
1. Kerusakan nervus medianus yang ireversibel, yang menyebabkan
kerusakan permanen dan kecacatan.
2. Nyeri pergelangan tangan dan tangan kronis dengan atau tanpa
distrofirefleks simpatis.
3. CTS dapat menyebabkan atrofi dan kelemahan otot-otot di pangkal
ibu jari di telapak tangan. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya
ketangkasan jari-jari yang terkena.
3.10 Prognosis
Carpal tunnel syndrome (CTS) biasanya progresif dari waktu ke waktu
dan dapat menyebabkan kerusakan saraf median permanen. Sindrom ini
berulang sampai tingkat tertentu bahkan setelah manajemen bedah pada
sepertiga pasien setelah 5 tahun. Hampir 90% dari kasus CTS ringan sampai
sedang merespon manajemen konservatif. Namun, banyak pasien berkembang
hingga membutuhkan pembedahan. Pasien dengan CTS sekunder akibat
diabetes atau patah tulang pergelangan tangan cenderung memiliki prognosis
yang kurang baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki penyebab yang
jelas. Pasien yang memiliki studi elektrofisiologi normal memiliki hasil
operasi yang jauh lebih baik daripada individu dengan kelainan pada tes ini
dan juga lebih banyak komplikasi. Kehilangan aksonal pada pengujian
elektrofisiologi juga merupakan faktor prognostik yang buruk (Sevy &
Varacallo, 2021).
3.11 Diagnosis Banding
1. Trigger Finger
Trigger fringer atau volar flexor tenosynovitis merupakan suatu kondisi
peradangan synovia pada jari tanan tak bisa diluruskan setelah
menggenggam. Keluhan seperti ini banyak terjadi pada perempuan dengan
usia 30 tahun ke atas. Aktivitas rumah tangga seperti memasak, mencuci,
menggunting rumput atau menggendong bayi sering disebut sebagai
pemicu. Pada pemeriksaan, pasien dapat merasakan jari tangan tidak bisa
diluruskan setelah menggenggam dan diiringi rasa nyeri pada pangkal jari.
Kondisi ini biasanya terjadi pada jari tengah, jari manis, dan kelingking
(Noor, 2017).
3. Claw Hand
Claw hand merupakan salah satu bentuk kecacatan pada tangan yang biasa
disebut jari-jari kriting. Claw hand terjadi akibat kerusakan saraf ulnaris
dan saraf medianus, dimana kita ketahui bahwa kedua saraf tersebut
mempersarafi otot-otot pada jari-jari . Claw hand termasuk kecacatan fisik
pada tangan yaitu metacarpopalangeal joint hyperextensi, proximal
interpalangeal joint fleksi, dan distal interpalangeal joint fleksi.
Kelumpuhan atau claw hand tersebut dianggap permanen jika pada waktu
mulai terjadinya kelemahan sampai lumpuh diatas 6 bulan