NYERI KANKER
Pembimbing:
Oleh:
Penulis
PENATALAKSANAAN NON FARMAKOLOGI NYERI
KANKER
Pembimbing,
Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
Dosen Pembimbing
Tabel 1. Klasifikasi sindrom nyeri yang disebabkan langsung oleh tumor padat ..... 18
Tabel 2. Teknik akupuntur dan gambaran klinis ....................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.10 Sebagai referensi yang dapat membantu praktisi klinis megnenali serta
melakukan penatalaksanaan terhadap nyeri kanker
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Langkah ketiga yaitu persepsi nyeri, yang merupakan hasil dari aktivitas
transmisi impuls yang memiliki komponen diskriminatif sensorik, afektif,
motivasi, emosional, dan perilaku.7 Terdapat tiga sistem bertanggung jawab
atas persepsi nyeri.
Keluhan utama
Identifikasi keluhan utama dapat membantu mengidentifikasi etiologi,
prognosis dan memandu intervensi terapeutik. Pada umumnya, identifikasi
sindrom nyeri sebagian besar didasarkan pada pengalaman klinis dokter,
namun seiring waktu beberapa upaya untuk menggambarkan serangkaian
sindrom nyeri yang paling umum pada pasien dengan nyeri kanker telah
dilakukan. Beberapa literatur melaporkan klasifikasi sindrom nyeri kanker
dengan detail anatomi yang digunakan dalam survei internasional yang
diterbitkan oleh IASP Task Force pada nyeri kanker, yang mengidentifikasi
beberapa sindrom sebagai yang paling umum dan menyarankan bahwa
diagnosis tumor primer dan karakteristik nyeri lebih sering dikaitkan dengan
sindrom nyeri spesifik (Lihat table 1).6,11
Onset dan kuantitas nyeri
Secara umum nyeri diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan nyeri
kronis/persisten. Nyeri kronis merupakan nyeri berulang yang berlangsung
selama lebih dari tiga bulan. Namun pada nyeri kanker, perkembangan
penyakit atau kerusakan jaringan dapat berkembang, sehingga sulit untuk
membedakan antara nyeri akut dan kronis.4,7 Pada populasi kanker, nyeri
yang miuncul lebih didefinisikan sebagai "breakthrough pain" (BTP) yaitu
eksaserbasi nyeri sementara yang terjadi bersamaan dengan nyeri dasar
yang terkontrol dengan baik, berlangsung dalam hitungan jam, bida terjadi
berulang dalam sehari, dan terasa seperti nyeri kronis. BTP pada pasien
nyeri kanker dianggap relevan untuk skema manajemen nyeri yang tepat.
Pedoman merekomendasikan mengobati BTP menggunakan opioid kerja
cepat atau pendek dengan dosis penyelamatan untuk membantu mengatasi
kegagalan dosis akhir.5,6
Lokasi
Kanker dapat menyerang jaringan tubuh mana pun, termasuk organ viseral,
tulang, jaringan lunak, dan saraf. Pada pasien dengan kanker metastatik
dapat memiliki lebih dari satu tempat nyeri. Informasi mengenai lokasi
anatomi nyeri penting untuk didapatkan agar dapat memudahkan penilaian
dan pemberian terapi secara adekuat.6
Intensitas dan kualitas Nyeri
Intensitas nyeri dianggap sebagai standar emas untuk penilaian nyeri, yang
sering memandu evaluasi dan pilihan pilihan pengobatan. Persepsi nyeri
setiap pasien sangat subjektif sehingga terapi sangat berorientasi pada apa
yang pasien rasakan. Metode yang digunakan untuk mengukur intensitas
paling sering dengan Numerical Rating Scales (NRS). Salah satu klasifikasi
yang digunakan untuk kedua tujuan ini mengidentifikasi tiga kategori nyeri
menurut tingkat keparahan nyeri: ringan (NRS 1-4), sedang (5-6), dan berat
(7-10). Namun, intensitas nyeri perlu menjadi bagian dari penilaian yang
komprehensif dan harus selalu dipertimbangkan dalam karakteristik
individu pasien termasuk usia, fungsi kognitif, dan aspek psikologis.6
Tabel 1. Klasifikasi sindrom nyeri yang disebabkan langsung oleh tumor padat6
2.7 Penilaian Nyeri Kanker
Dikarenakan kompleksitas nyerinya, nyeri kanker dapat diklasifikasikan
menggunakan berbagai sistem. Hal ini juga turut mempengaruhi pemilihan
strategi tatalaksana untuk mencapai kontrol nyeri yang adekuat. Beberapa
sistem klasifikasi nyeri kanker di antaranya sebagai berikut.6
1. International Association for the Study of Pain Taxonomy (IASP)
Klasifikasi IASP mengkategorikan nyeri berdasarkan poin-poin berikut :
a) Regio anatomis nyeri
b) Sistem yang terlibat dalam nyeri yang dirasakan
c) Karakteristik temporal serta pola kemunculan nyeri
d) Intensitas nyeri dan onset
e) Etiologi
2. International Classification of Diseases-11 (ICD-11)
Pada klasifikasi ICD-11 terdapat 7 kategori pada Nyeri Kronis, dan satu di
antaranya merupakan Nyeri Kronis Berkaitan dengan Kanker. Poin ini terbagi
lagi menjadi Nyeri Kanker Kronis, serta Nyeri Post-Kanker Kronis. Nyeri
Kanker Kronis kemudian terbagi kembali ke dalam beberapa poin berdasarkan
lokasinya, di antaranya:6,12
Nyeri kanker viseral kronis (chronic visceral cancer pain)
Nyeri ini disebabkan oleh tumor primer maupun proses metastasis yang
merusak atau menimbulkan cedera pada organ-organ viseral di regio kepala-
leher, maupun pada daerah thoraks, abdomen, dn rongga panggul12
Nyeri kanker kronis berkaitan dengan muskuloskeletal (chronic bone
cancer pain)
Nyeri ini merupakan nyeri kanker kronis yang paling umum, disebabkan
oleh tumor primer maupun proses metastases yagn merusak kerangka
tulang12
Nyeri kanker kronis neuropatik atau somatosensorik (chronic neuropatic
cancer pain)
Nyeri ini disebabkan oleh tumor primer maupun proses metastases yang
merusak sistem saraf pusat serta perifer.
Sementara Nyeri Post-Kanker Kronis terbagi menjadi:12
Nyeri Kronis Post-Kanker berkaitan dengan obat-obatan (chronic postcancer
medicine pain)
Nyeri pada kelompok ini timbul akibat penggunaan obat-obatan antikanker,
termasuk kemoterapi sistemik, pengobatan hormonal, dan terapi biologis.
Obat-obatan antikanker yang paling umum diberikan adalah kemoterapi
sistemik, baik secara oral maupun intravena.
Nyeri Post-Radioterapi
Nyeri ini timbul akibat kerusakan lokal pada sistem saraf, tulang, maupun
jaringan lunak lainnya saat tatalaksana tumor primer maupun metastasisnya.
Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi di antaranya dosis treatment
keseluruhan, dosis besar per-radioterapi, serta kombinasi treatment surgikal
dan kemoterapi.12
Nyeri Kronis Post-Operasi Kanker
Nyeri ini paling sering ditemukan pasca tindakan surgikal pada jaringan
mammae (postmastectomy pain), serta treatment kanker paru-paru (post-
thoracotomy pain), namun dapat juga dialami pasca operasi knker atau
prosedur surgikal apapun (seperti bopsi jaringan, atau insersi drainase
torakal).
Nyeri Post-Kanker Kronis lainnya
Kategori ini meliputi nyeri kronis oleh treatment kanker yang tidak berkaitan
dengan obatobatan, radioterapi, serta prosedur surgikal, serta bilamana
etiologi tak diketahui.
3. Edmonton Classification System for Cancer Pain (ECS-CP)
Sistem klasifiksi ini awalnya dikembangkan guna menentukan indikator
prognosis untuk tatalaksana nyeri kanker. Sistemi ini mengalami revisi pada tahun
2005 dan kini memuat 5 domain, yakni mekanisme terjadinya nyeri, neyri
insidental, distres psikologis, perilaku adiktif, serta fungsi kognitif.
4. The Cancer Pain Prognostic Scale (CPPS)
Sistem ini dikembangkan guna memprediksi kemungkinan meredanya nyeri
pada penderita kanker dengan nyeri derajat sedang hingga berat. Klasifikasi ini
mengikutsertakan poin karakteristik nyeri, derajat nyeri paling berat yang dialami
oleh pasien, kondisi emosional, serta penggunaan opioid harian. Nilai CPPS ini
dapat dijumlahkan, mulai dari 0 hingga 17. Skor yang lebih besar mengindikasikan
kemungkinan nyeri mereda yang lebih besar.6,12
2.8 Tatalaksana Non-Farmakologi Nyeri Kanker
1. Radiofrequency Ablation (RFA)
RFA merupakan salah satu cara non farmakologi dalam meredakan nyeri
kanker. RFA juga sudah digunakan selama bertahun-tahun untuk pengobatan
nyeri seperti pada neuralgia trigeminal dan tumor tulang jinak yang
menyakitkan seperti osteoid osteoma. Ablasi radiofrekuensi adalah suatu
bentuk terapi invasif minimal dengan termal suhu tinggi yang membuat
nekrosis koagulasi dengan cara memanaskan jaringan ke temperature sekitar
45oC melalui sebuah jarum tipis yang dimasukkan melalui kulit atau melalui
sebuah insisi ke dalam jaringan kanker dengan dipandu oleh pencitraan seperti
USG, CT ataupun MRI. Selama prosedur, pasien dibius dengan anestesi umum
ataupun sedasi sadar. Mekanisme aksinya sendiri secara pasti masih belum
diketahui, namun diduga melalui pengubahan ekspresi gen di neuron melalui
neuromodulasi. Diperkirakan melalui mekanisme stimulasi sistem serotonergic
dan noradrenergic dan induksi jalur descending. 12,13,14
RFA dapat menjadi pengobatan tambahan pilihan yang relatif aman untuk
nyeri kanker yang tidak berespon pada obat-obatan. Terapi ini dapat
mengurangi nyeri secara signifikan dengan keunggulan biaya yang rendah,
kesederhanaan teknis, dan tingkat komplikasi yang relatif rendah. Namun perlu
diingat, bahwa terapi RFA bukanlah pengganti terapi nyeri kanker lainnya,
namun sebuah terapi komplemen.12,13,14
2. Cryoablation
Cryoablation merupakan suatu metode terapi yang digunakan untuk
meredakan nyeri kanker yang menggunakan jarum tipis yang dimasukkan
melalui kulit dan langsung ke lokasi jaringan kanker/tumor dengan memakai
gas argon dan helium suhu dingin yang ekstrim (-40oC) dengan dipandu oleh
pencitraan gambar seperti CT Scan, MRI, USG. Cryoablation menyebabkan
kerusakan seluler, kematian, dan nekrosis jaringan. 15,16
Cryoablation diketahui merusak saraf-saraf khususnya melalui
trauma fisikal langsung ke akson dan penghancuran mikrotubul yang berakibat
pada penghentian transport axonal. Hasil akhir dari kerusakan neuronal ini
ialah penurunan sensasi nyeri sebagai akibat dari penghentian konduksi,
aktivasi inhibisi descending, blokade sistem transmiter eksitatori, blokade
kanal natrium umum, atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut.
Keuntungan dari terapi ini ialah visualisasi langsung dari zona ablasi,
penurunan nyeri saat prosedur dan setelah prosedur. 15,17
3. Percutaneous Cordotomy (PCC)
PCC merupakan suatu prosedur pembedahan yang bertujuan
menghancurkan traktus spinal cord yang menghantarkan nyeri. Awalnya
metode ini digunakan secara luas untuk nyeri kronik, namun saat ini hanya
digunakan pada pasien nyeri kanker. Pada pasien dengan nyeri kanker yang
tidak terkendali dengan obat-obatan, metode ini dapat dipertimbangkan. Yang
paling umum dilakukan ialah melalui rute perkutan, karena prosedur operasi
terbuka dapat menimbulkan resiko dan komplikasi yang lebih tinggi.18
PCC adalah prosedur yang dilakukan pada pasien sadar (anastesi
lokal) dan menggunakan ablasi radiofrekuensi untuk menciptakan lesi panas di
traktus spinotalamikus lateral (pada kolumna anterolateral) di medulla spinalis
servikal atas setinggi C1-C2 yang mengganggu jalur nosiseptif dengan bantuan
fluoroskopi atau CT. PCC yang berhasil menghasilkan area analgesik di bawah
dermatom C4 pada sisi kontralateral tubuh. Hal itu sangat berguna khususnya
pada gejala nyeri kanker yang dominan pada 1 sisi. Tujuannya ialah untuk
mencapai pengurangan sensasi tusukan jarum dan hilangnya persepsi suhu di
daerah tubuh yang sakit. 18,19
Tingkat keparahan nyeri pasien harus mencapai level 3 sesuai tangga
nyeri WHO sebelum mempertimbangkan prosedur invasif ini. PCC
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan koagulasi, penurunan fungsi
ventilasi yang parah, dan jika pasien tidak dapat bekerja sama. PCC ini
merupakan prosedur paliatif, disarankan bagi pasien dengan lama harapan
hidup kurang dari 6 bulan dan memenuhi indikasi keparahan nyeri berat. 18,19
4. Stimulasi saraf listrik transkutan / Transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS)
TENS adalah intervensi nonfarmakologis murah yang digunakan dalam
pengobatan kondisi nyeri akut dan kronis. TENS mengaktifkan jaringan saraf
yang kompleks untuk menghasilkan pengurangan rasa sakit. Pada frekuensi dan
intensitas yang digunakan secara klinis, TENS mengaktifkan serat aferen
berdiameter besar.20 Masukan aferen ini dikirim ke sistem saraf pusat untuk
mengaktifkan sistem penghambatan desendens untuk mengurangi hiperalgesia.
Secara khusus, blokade aktivitas saraf di periaqueductal grey (PAG), rostral
ventromedial medulla (RVM) dan sumsum tulang belakang menghambat efek
analgesik TENS yang menunjukkan bahwa analgesia TENS dipertahankan
melalui jalur ini.21 Secara paralel, penelitian pada orang dengan fibromyalgia
menunjukkan bahwa TENS dapat mengembalikan modulasi nyeri sentral,
ukuran penghambatan sentral.22 Oleh karena itu, TENS mengurangi
hiperalgesia melalui mekanisme perifer dan sentral.
High frekuensi (HF) TENS meningkatkan konsentrasi beta-endorfin dalam
aliran darah dan cairan serebrospinal, dan metionin-enkefalin dalam cairan
serebrospinal.23 Analgesia menghasilkan pengurangan hiperalgesia oleh HF
TENS dengan blokade reseptor opioid di RVM atau sumsum tulang belakang,
atau transmisi sinaptik di PAG ventrolateral.24 Selanjutnya, pengurangan
hiperalgesia yang dihasilkan oleh HF TENS dicegah dengan blokade reseptor
muskarinik (M1 dan M3) dan reseptor GABAA di sumsum tulang belakang.25
Namun, blokade reseptor serotonin atau noradrenergik di sumsum tulang
belakang tidak berpengaruh pada pembalikan hiperalgesia yang dihasilkan oleh
HF TENS.26 Dengan demikian, HF TENS menghasilkan analgesia dengan
mengaktifkan mekanisme penghambatan endogen dalam sistem saraf pusat
yang melibatkan GABA opioid, dan reseptor muskarinik.
Pengurangan hiperalgesia oleh low frekuensi (LF) TENS dicegah dengan
blokade reseptor opioid di sumsum tulang belakang atau RVM atau sumsum
tulang belakang, dan dengan transmisi sinaptik di PAG ventrolateral.27
Selanjutnya, pengurangan hiperalgesia oleh LF TENS dicegah dengan blokade
GABAA, serotonin 5-HT2A dan 5-HT3, dan reseptor muskarinik M1 dan M3
di sumsum tulang belakang, 28 dan dikaitkan dengan peningkatan pelepasan
serotonin. 29 Selain itu, LF TENS tidak menghasilkan analgesia pada orang
30
yang toleran opioid tetapi HF TENS tidak. Dengan demikian, LF TENS
menggunakan jalur penghambatan descending klasik yang melibatkan jalur
PAG-RVM yang mengaktifkan reseptor opioid, GABA, serotonin dan
muskarinik untuk mengurangi aktivitas neuron kornu dorsalis dan rasa sakit
yang diakibatkannya.
5. Terapi Perilaku Kognitif/ Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
Saat ini perawatan psikologis yang paling banyak digunakan untuk nyeri
persisten. Ini melibatkan tiga langkah. Langkah pertama adalah pendidikan
nyeri. Nyeri digambarkan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang
kompleks yang dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan perilaku pasien. Dengan
mendiskusikan topik ini, pasien memahami bagaimana respons mereka sendiri
terhadap nyeri memengaruhi pengalaman nyeri mereka dan mulai mengenali
peran bahwa upaya koping mereka sendiri dapat berperan dalam pengendalian
nyeri. Langkah kedua adalah melatih satu atau lebih keterampilan koping untuk
mengelola rasa sakit (misalnya relaksasi atau pemecahan masalah). Untuk
setiap keterampilan, terapis memberikan alasan pendidikan, instruksi dasar, dan
praktik terpandu dan umpan balik. Langkah ketiga dalam pelatihan adalah
latihan di rumah dengan keterampilan yang dipelajari. Pasien awalnya didorong
untuk berlatih dalam situasi yang tidak menuntut (misalnya berbaring di
ruangan yang tenang) dan kemudian menerapkan keterampilan mereka untuk
tugas-tugas yang lebih menantang (misalnya mengelola rasa sakit yang
mungkin terjadi selama berjalan atau saat berpindah dari satu posisi ke posisi
lain). Langkah terakhir dalam pelatihan melibatkan membantu pasien
mengembangkan program untuk mempertahankan praktik keterampilan mereka
setelah pelatihan selesai dan untuk mengatasi kemunduran dan kekambuhan
dalam upaya koping mereka. 31 Beberapa strategi koping telah dipelajari pada
nyeri kanker, termasuk mengalihkan perhatian, reinterpretasi sensasi nyeri,
koping aktif, koping pasif, dan bencana. 32 Keyakinan tentang rasa sakit dan
kanker adalah target CBT. Keyakinan dan keyakinan spiritual tentang makna
hidup sering diabaikan dalam CBT, tetapi bisa menjadi kritis ketika nyeri
kanker terus-menerus.
Sebuah metaanalisis CBT pada penderita kanker telah menunjukkan bahwa
itu efektif untuk manajemen jangka pendek (<8 bulan) dari depresi, kecemasan
dan kualitas hidup penderita kanker. 33 Kangas dkk. telah melaporkan CBT sama
efektifnya dengan intervensi olahraga dalam mengobati kelelahan terkait
kanker. 34 Dua RCT telah menunjukkan bahwa CBT dapat direkomendasikan
untuk meningkatkan kontrol pasien atau keterampilan mengatasi untuk manfaat
jangka pendek dan menengah. 35. telah mendukung penggunaan teknik CBT
ketika diberikan secara individual untuk mengelola rasa sakit pada pasien
kanker payudara. 36 Tak satu pun dari percobaan telah mengeksplorasi efek
jangka panjang dari CBT.
6. Akupuntur
Akupunktur adalah teknik medis Tiongkok kuno, di mana jarum stainless
steel halus dimasukkan ke lokasi anatomi tertentu dari permukaan tubuh untuk
memperoleh respons neurohormonal dari sistem tubuh melalui stimulasi saraf.
Manipulasi tangan dan/atau elektrostimulasi sering diterapkan selama prosedur
untuk meningkatkan efektivitasnya. Mayoritas pasien yang mencari akupunktur
adalah untuk kondisi yang berhubungan dengan rasa sakit. Dalam 12 tahun
terakhir, Onkologi Integratif, cabang kedokteran integratif, telah berusaha
untuk menggabungkan terapi komplementer termasuk akupunktur ke dalam
perawatan onkologi arus utama konvensional. 37 Bukti yang dihasilkan oleh uji
klinis telah menunjukkan bahwa akupunktur aman dan efektif sebagai
pengobatan tambahan untuk mengelola gejala terkait kanker. 38
Secara klinis, terdapat dua peran akupunktur yang diterapkan pada
manajemen nyeri kanker, pertama adalah menggunakan akupunktur, bersama
dengan opioid, untuk meringankan kondisi nyeri kanker tertentu. Kedua adalah
menggunakan akupunktur untuk meminimalkan efek samping terkait opioid
termasuk konstipasi yang diinduksi opioid, pruritus, dan mual/muntah. Secara
longitudinal, akupunktur dapat diterapkan pada berbagai tahap pengobatan
kanker, dari nyeri pasca operasi, neuropati akibat kemoterapi, hingga nyeri leher
pasca perawatan kronis. Ketika intensitas nyeri parah,> 7 dari 10 pada skala
nyeri, hasil yang lebih baik dapat dicapai jika kombinasi akupunktur dan opioid
digunakan. Untuk nyeri ringan, 0–3 dari 10 skala nyeri, akupunktur saja
mungkin cukup untuk mencapai hasil yang memuaskan. Untuk nyeri sedang (4-
6 dari 10), baik kombinasi atau aplikasi individu dapat digunakan sambil
menunggu penilaian klinis dari dokter dan preferensi pasien. Pedoman Jaringan
Kanker Komprehensif Nasional (NCCN®) untuk nyeri kanker dewasa
merekomendasikan penggunaan akupunktur, sebagai bagian dari intervensi
integratif, dalam hubungannya dengan intervensi farmakologis yang
diperlukan.39 Pedoman NCCN menganggap intervensi integratif ini mungkin
sangat penting pada populasi yang rentan, misalnya, pasien lemah, lanjut usia
atau anak, di mana intervensi farmakologis standar mungkin kurang ditoleransi.
Akupunktur adalah salah satu pilihan pengobatan untuk nyeri kanker. Uji
klinis akupunktur untuk nyeri kanker menggunakan berbagai teknik yang
berhubungan dengan akupunktur. Teknik dan protokol tersebut dapat dipilih
dalam praktik onkologi untuk kondisi klinis dan populasi pasien yang berbeda.
Teknik terkait akupunktur yang umum digunakan dan gambaran klinisnya
dicantumkan dan dibandingkan (Tabel 2).
Tabel 2. Teknik akupuntur dan gambaran klinis.
2.9 Prognosis
Nyeri kanker dikaitkan dengan peningkatan tekanan emosional. Durasi
nyeri dan keparahan nyeri berkorelasi dengan risiko berkembangnya depresi.
kurangnya pengenalan sindrom nyeri yang sulit dapat menyebabkan kontrol nyeri
yang buruk, dan menunda rujukan ke spesialis nyeri. Pasien dengan kanker stadium
lanjut mungkin sering mengalami sindrom nyeri yang mungkin memerlukan
pendekatan diagnostik dan terapeutik khusus. Lima sampai dua puluh persen pasien
nyeri kanker memerlukan modalitas invasif untuk mencapai analgesia. Faktor lain
yang berkontribusi mungkin juga penting. Pasien yang mengalami kesulitan
mengatasi, kecemasan, dan tekanan psikologis mungkin juga memiliki kesulitan
yang lebih besar dengan kontrol nyeri. Kurangnya rencana institusional, atau
individu, untuk bertindak berdasarkan informasi yang diperoleh dapat
mempengaruhi manajemen nyeri. Dua kategori prognosis dikategorikan menjadi
dua yakni 40 :
1) Kategori prognosis baik, yang meliputi pasien dengan nyeri viseral, nyeri
somatik, nyeri non-insiden, tidak adanya somatisasi, tidak adanya toleransi
dan tidak adanya penyalahgunaan zat; dan
2) Kategori prognosis buruk, yang meliputi pasien dengan nyeri neuropatik,
etiologi nyeri campuran, nyeri insidental, penyalahgunaan zat, somatisasi,
dan toleransi.
Dalam satu penelitian, antara 20% dan 50% pasien kanker terus mengalami rasa
sakit dan keterbatasan fungsional bertahun-tahun setelah perawatan. Rasa sakit
yang tidak diobati menyebabkan permintaan untuk bunuh diri dengan bantuan
dokter. Nyeri yang tidak diobati juga menyebabkan pengunjungan rumah sakit
yang tidak perlu dan sering nya kunjungan ke unit gawat darurat.41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
The International Association for The Study of Pain mendefinisikan
nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan maupun ancaman
kerusakan jaringan. Sensasi nyeri dapat dipicu oleh berbagai stimulus, dan
dapat ditemukan pada berbagai penyakit. Berdasarkan 122 studi,
prevalensi nyeri pasca tatalaksana kuratif mencapai 39,3%. Sementara
nyeri selama treatment berlangsung mencapai 55%.
Secara umum nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi
terjadinya yaitu nyeri akut, nyeri kronis/persisten, breakthrough
pain/nyeri terobosan, dan nyeri refrakter. Patofisiologi nyeri kanker cukup
kompleks dimana terjadi interaksi antara sel kanker, sistem saraf perifer
dan pusat, dan sistem kekebalan tubuh. Nyeri kanker berasal dari
patofisiologi neurobiologis terkait penyakit dan pengobatan yang masih
belum sepenuhnya dipahami.