Anda di halaman 1dari 31

PENATALAKSANAAN NON FARMAKOLOGI

NYERI KANKER

Pembimbing:

Dr.dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S(K)

Oleh:

Ayuti Bulaan 1902612144


Jansen Hadinata Soetanto 1902612173
Wita Fitriyani 1902612204
Christina Zita Manuela Serrano 1902612217
Nur Aisyah Frahanah Binti Abd. Jalil 1902612228

DALAM RANGKA MENGIKUTI


KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia- Nya, tinjauan pustaka yang berjudul “Penatalaksaan Non-
Farmakologi Nyeri Kanker” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tinjauan
Pustaka ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Departemen / KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP
Sanglah Denpasar. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tinjauan sistematis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr.dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen/KSM


Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi
dan memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian
ini,
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S(K) selaku Penanggung Jawab Pendidikan
Dokter Muda Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Denpasar
yang telah memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis selama
proses pembelajaran di bagian ini,
3. Dr.dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp.S(K) selaku pembimbing dalam
pembuatan tinjauan sistematis ini yang telah memberikan saran, dan
masukan dalam penyempurnaan tinjauan sistematis ini, dan
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
tinjauan sistematis ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Oktober 2021

Penulis
PENATALAKSANAAN NON FARMAKOLOGI NYERI
KANKER

Lembar Persetujuan Pembimbing

Tanggal, Oktober 2021

Pembimbing,

Dr.dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp.S(K)


NIP. 197509222009121002

Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Prof. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K)


NIP. 195610101983121001

DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI PROGRAM STUDI


PENDIDIKAN DOKTER
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
Lembar Persetujuan Pembimbing

PAPER INI TELAH DISETUJUI UNTUK DIPRESENTASIKAN PADA


TANGGAL, OKTOBER 2021

Dosen Pembimbing

Dr.dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp.S(K)

Mengetahui Penanggung Jawab Pendidikan Dokter Muda

(dr. Ida Ayu Sri Indrayani Sp.S(K))


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2


Lembar Persetujuan Pembimbing .................................................................................. 4
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 5
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... 6
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. 7
BAB I .................................................................................................................................. 8
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 8
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 8
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 8
1.3 Tujuan ...................................................................................................................... 9
1.4 Manfaat .................................................................................................................... 9
BAB II .............................................................................................................................. 10
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 10
2.1 Definisi ................................................................................................................... 10
2.2 Epidemiologi .......................................................................................................... 10
2.3 Klasifikasi Nyeri .................................................................................................... 11
2.4 Fisiologi Nyeri........................................................................................................ 12
Gambar 1. Fisiologi Perjalan Nyeri4 ......................................................................... 12
2.5 Patofisiologi Nyeri Kanker ................................................................................... 14
2.6 Manifestasi Klinis dan Penilaian Nyeri Kanker................................................. 16
Tabel 1. Klasifikasi sindrom nyeri yang disebabkan langsung oleh tumor padat6.... 18
2.7 Penilaian Nyeri Kanker ........................................................................................ 19
2.8 Tatalaksana Non-Farmakologi Nyeri Kanker.................................................... 21
Tabel 2. Teknik akupuntur dan gambaran klinis ....................................................... 26
2.9 Prognosis ................................................................................................................ 26
BAB III............................................................................................................................. 28
PENUTUP........................................................................................................................ 28
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 29
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Fisiologi Perjalan Nyeri4 ......................................................................... 12


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi sindrom nyeri yang disebabkan langsung oleh tumor padat ..... 18
Tabel 2. Teknik akupuntur dan gambaran klinis ....................................................... 26
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

The International Association for The Study of Pain mendefinisikan


nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan maupun ancaman
kerusakan jaringan. Sensasi nyeri dapat dipicu oleh berbagai stimulus, dan
dapat ditemukan pada berbagai penyakit.

Nyeri merupakan masalah yang juga terjadi pada penderita kanker.


Nyeri pada penderita kanker dapat disebabkan oleh tumor primer maupun
proses metastasis yang mengikutinya. Kanker dapat menimbulkan nyeri
melalui ekstensinya pada jaringan-jaringan lunak, keterlibatan viseral,
keterlibatan tulang, kompresi saraf, maupun melalui peningkatan tekanan
intrakranial.

Nyeri kanker dapat memberi konsekuensi berat pada kualitas hidup


penderita, serta mempengaruhi respon psikososial seseorang. Beberapa
penderita kanker mengalami kesulitan berpikir dan berkonsentrasi, serta
kesulitan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari akibat nyeri yang
dialami. Pada sebuah studi tahun 2016, lebih dari sepertiga pasien kanker
mengatakan bahwa nyeri yang dialami mempersulit pasien dan tak dapat
ditolerir.

Tinjauan pustaka berikut menguraikan berbagai aspek nyeri kanker,


khususnya penatalaksanaan non-medikamentosa pada penderita nyeri
kanker yang diharapkan dapat membantu meningkatkan pemahaman
dokter umum serta membantu pemilihan tatalaksana pada pasien.
1.2 Rumusan Masalah

1.1.1 Apa itu nyeri kanker?

1.1.2 Bagaimana prevalensi nyeri kanker?

1.1.3 Bagaimana patofisiologi terjadinya nyeri kanker?


1.1.4 Bagaimana penilaian terhadap nyeri kanker?
1.1.5 Bagaimana penatalaksanaan non-farmakologis nyeri kanker?
1.3 Tujuan

1.1.6 Untuk mengetahui definisi, serta sebaran kejadian (epidemiologi) nyeri


kanker

1.1.7 Untuk mengetahui patofisiologi nyeri kanker

1.1.8 Untuk mengetahui penilaian yang dilakukan terhadap nyeri kanker

1.1.9 Untuk mengetahui tatalaksana nyeri pada penderita kanker, khususnya


tatalaksana non-farmakologis
1.4 Manfaat

1.1.10 Sebagai referensi yang dapat membantu praktisi klinis megnenali serta
melakukan penatalaksanaan terhadap nyeri kanker
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan maupun
ancaman kerusakan jaringan1. Sementara itu, nyeri kanker adalah
suatu gejala nyeri yang bersifat kompleks dan senantiasa berubah.
Merupakan hasil akhir dari berbagai mekanisme nyeri yang
meliputi mekanisme nyeri inflamasi, nyeri neuropatik, iskemik dan
mekanisme kompresi pada berbagai lokasi2.
2.2 Epidemiologi

Sebuah studi yang mengikutsertakan data epidemiologi dari


122 artikel mendeskripsikan prevalensi nyeri, severitas nyeri, serta
faktor-faktor determinan nyeri sebagai berikut3. Berdasarkan 122
studi, prevalensi nyeri pasca tatalaksana kuratif mencapai 39,3%.
Sementara nyeri selama pengobatan berlangsung mencapai 55%.
Pada jumlah yang lebih besar, yakni 66.4%, nyeri dialami oleh
penderita kanker tahap lanjut, di mana penyakit telah memasuki
tahap metastasis maupun terminal. Pada 52 studi yang
mengevaluasi severitas nyeri, sebanyak 38% pasien melaporkan
nyeri berintensitas sedang hingga berat. Dari jumlah tersebut,
27,6% dialami pasca pengobatan kuratif, 32,4% oleh pasien yang
sedang dalam pengobatan antikanker, dan 51,9% dialami oleh
pasien-pasien terminal dengan kanker tahap lanjut maupun
metastatik. Studi yang sama juga menemukan prevalensi nyeri pada
penderita kanker prostat secara signifikan lebih rendah
dibandingkan kanker kepala, kanker leher, kanker paru-paru, serta
kanker payudara. Studi-studi dari Asia menampilkan prevalensi
nyeri kanker yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
studi-studi di Eropa3.
2.3 Klasifikasi Nyeri
Secara umum nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi terjadinya
yaitu nyeri akut, nyeri kronis/persisten, breakthrough pain/nyeri terobosan,
dan nyeri refrakter.4
 Nyeri akut memiliki onset yang cepat dan biasanya berlangsung kurang dari
3 sampai 6 bulan. Nyeri akut biasanya bermanifestasi lebih berat dan akan
hilang setelah faktor pencetus seperti luka sudah sembuh.
 Nyeri kronis berlangsung lebih dari 3 sampai 6 bulan dan persisten. Nyeri
kronis atau persisten dapat datang dengan cepat atau lambat, dan dapat
bermanifestasi dari ringan hingga berat. Nyeri kronis tidak hilang kecuali
penyebab dasarnya diobati, tetapi biasanya dapat dikurangi atau
dikendalikan dengan minum obat nyeri secara teratur.
 Breakthrough pain/nyeri terobosan didefinisikan sebagai eksaserbasi nyeri
sementara yang terjadi bersamaan dengan nyeri dasar yang terkontrol
dengan baik.2 Ini adalah peningkatan nyeri yang intens yang memiliki onset
tiba-tiba, berlangsung dalam hitungan jam, dan terasa seperti nyeri kronis.
Nyeri ini bisa terjadi berkali-kali dalam sehari, bahkan ketika rasa sakit
kronis dikendalikan oleh obat nyeri biasa yang diminum sepanjang waktu.
Beberapa literatur menyebutkan Breakthrough pain sering memiliki
penyebab yang sama dengan nyeri kronis misalnya pada pasien kanker.
Beberapa orang mengalami nyeri ini selama aktivitas tertentu, seperti
berjalan atau berpakaian. Bagi yang lain, itu terjadi secara tiba-tiba tanpa
sebab yang jelas. Sangat penting untuk mengelola jenis rasa sakit ini. Nyeri
ini tidak dikendalikan oleh dosis obat nyeri biasa. Biasanya diobati dengan
dosis tambahan obat pereda nyeri atau jenis obat lain.
 Nyeri refrakter adalah nyeri yang tidak berkurang dengan intervensi
terapeutik yang tersedia.
2.4 Fisiologi Nyeri
Proses nyeri dalam perjalanan penyakitnya dapat dikategorikan sebagai nyeri
nosiseptif dan nyeri neuropatik.4
a) Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif dapat digambarkan lebih lanjut sebagai nyeri
somatik dan nyeri viseral. Nosiseptor memiliki saluran yang dapat
diaktifkan oleh rangsangan berbahaya atau trauma jaringan. Nosiseptor ini
dapat diaktifkan oleh tiga kategori rangsangan yaitu terjadinya trauma
mekanis, termal (>45 ° C atau di bawah 5 ° C) dan polimodal. Polymodal
adalah kombinasi dari rangsangan mekanis, termal, atau kimia berbahaya.
Terdapat empat mekanisme penting yang terlibat dalam nosiseptif yaitu
proses transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.5,6

Gambar 1. Fisiologi Perjalan Nyeri4


Tahapan pertama dalam fisiologi nyeri yaitu proses transduksi yang dimulai
ketika ujung saraf bebas dari neuron aferen primer menerima rangsangan
berbahaya kemudian mengaktifkan saluran ion spesifik pada terminal
nosiseptif dengan melepaskan molekul inflamasi (serotonin, bradikinin,
histamin, prostaglandin, dan zat p) dari jaringan yang rusak. Respon
inflamasi ini mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
vaskular, dan nyeri.5 Tahapan kedua yaitu transmisi rangsangan dari zona
transduksi menuju kornu dorsalis medula spinalis kemudian diteruskan ke
batang otak, dan akhirnya melalui koneksi antara talamus, korteks, dan
tingkat otak yang lebih tinggi.4,5,6 Selama tahap ini, pertukaran ion
menciptakan potensi aksi untuk mengirimkan impuls nyeri dari satu neuron
ke neuron lain melalui dua spinotalamikus traktus ke otak, jalur ascending
dan descending. Serabut A delta dan C berperan dalam proses transmisi. 4,7
Serabut A delta adalah serabut konduksi cepat dan bertanggung jawab atas
nyeri tajam yang segera, sedangkan Serabut C kecil dan bertanggung jawab
untuk mentransmisikan nyeri tumpul yang konstan (lihat Gambar 1).

Langkah ketiga yaitu persepsi nyeri, yang merupakan hasil dari aktivitas
transmisi impuls yang memiliki komponen diskriminatif sensorik, afektif,
motivasi, emosional, dan perilaku.7 Terdapat tiga sistem bertanggung jawab
atas persepsi nyeri.

 Sistem diskriminatif sensorik dimediasi oleh korteks somatosensori


yang mengidentifikasi keberadaan, lokasi, dan intensitas nyeri.5
 Sistem motivasi afektif dimediasi oleh formasi retikuler, sistem limbik,
dan batang otak yang bertanggung jawab atas respons emosional dan
perilaku terhadap rasa sakit.
 Sistem evaluasi kognitif didasarkan pada perilaku yang dipelajari dari
pengalaman nyeri masa lalu.7
Ambang batas nyeri atau toleransi nyeri pada paien bersifat subjektif
sehingga persepsi nyeri juga dapat berbeda. Persepsi nyeri juga dapat
dipengaruhi oleh factor genetik, jenis kelamin, budaya, ekspektasi, peran
social, usia, kondisi fisik ataupun mental dan sebagainya. Tahapan
modulasi merupakan proses terakhir dimana modulasi mengacu pada
perubahan input sensorik baik dengan stimulasi maupun dengan
penghambatan pelepasan neurotransmitter oleh struktur supraspinal (pons,
medula, dan otak tengah) untuk memodulasi transmisi impuls nyeri di
sumsum tulang belakang dan otak.4,7
b) Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik adalah jenis nyeri kronis akibat lesi primer atau
disfungsi sistem saraf somatosensori yang memprovokasi perubahan jangka
panjang dalam struktur jalur nyeri (neuroplastisitas) dan pemrosesan
informasi sensorik yang abnormal. Nyeri neuropati ditandai dengan adanya
amplifikasi nyeri tanpa stimulasi oleh cedera atau inflamasi yang biasanya
di deskripsikan seperti sensasi terbakar, tertusuk, kesemutan dan tidak dapat
dilokalisir lokasinya. Nyeri neuropatik dapat dikategorikan berdasarkan
mekanisme terjadinya menjadi nyeri neuropatik perifer dan nyeri neuropatik
sentral. Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf perifer yang
mengakitbatkan peningkatan sensibilitas dan rangsangan dari neuron
sensorik primer di akar sel ganglion dorsal. Nyeri neuropatik perifer
berhubungan dengan penyakit (diabetes) atau pengobatan (pembedahan,
kemoterapi, radiasi). Neuropati sentral merupakan hasil dari cedera pada
otak atau sumsum tulang belakang. Adanya stimulasi berulang yang
progresif dari neuron grup C pada kornu dorsalis mengakibatkan
peningkatan sensitivitas pada persignalan pusat sehingga terjadi perubahan
patologis pada system saraf sentral yang mengakibatkan nyeri kronis. Dapat
ditemui pada cidera kepala atau cidera saraf spinal, tumor, lesi vaskuler,
multiple sclerosis, penyakit Parkinson, dan posherpetik neuralgia.7,8

2.5 Patofisiologi Nyeri Kanker


Patofisiologi nyeri kanker cukup kompleks dimana terjadi interaksi
antara sel kanker, sistem saraf perifer dan pusat, dan sistem kekebalan tubuh.
Nyeri kanker berasal dari patofisiologi neurobiologis terkait penyakit dan
pengobatan yang masih belum sepenuhnya dipahami.4
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif dapat diklasifikasikan menjadi nyeri somatik atau
nyeri viseral. Nyeri kanker somatik dihasilkan dari invasi ganas pada kulit,
jaringan ikat, tulang, atau sendi, dan biasanya digambarkan sebagai sensasi
nyeri yang terlokalisir dan terdefinisi dengan baik. Mekanisme penyebab
nyeri kanker yaitu pelepasan mediator nosiseptif akibat produksi sitokin dan
faktor nekrosis oleh tumor yang meningkatkan aktivitas proteolitik akibat
kerusakan jaringan sehingga menghasilkan sensitisasi dan hiperalgesia.
Contoh nyeri kanker somatik seperti mukositis akibat radiasi atau
kemoterapi, nyeri insisi pascaoperasi atau kejang otot akibat kerusakan
jaringan. Nyeri somatik dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai nyeri
superfisial (nyeri kulit akibat kanker kulit) dan nyeri dalam (infiltrasi
sumsum tulang oleh sel kanker).4,5,6 Sebaliknya, nyeri viseral bersifat difus
dan tidak terlokalisasi dengan baik dan bisa menjadi akibat dari distensi
organ, impaksi, atau peradangan. Ada beberapa mekanisme nyeri viseral
yaitu iskemia yang disebabkan oleh invasi tumor atau kompresi suplai darah
visceral, distensi dan kontraksi dinding visceral berongga, peregangan
kapsul organ viseral padat, kompresi atau traksi ligamen, pembuluh darah,
atau mesenterium, pembentukan mediator inflamasi yang dilepaskan karena
infiltrasi tumor, kompresi struktur saraf yang mensuplai visera, dan
peregangan permukaan serosa atau mukosa.9 Contoh nyeri viseral seperti
nyeri akibat infiltrasi jaringan oleh sel kanker atau oleh metastasis, seperti
nyeri dada pleuritik akibat efusi pleura sekunder akibat kanker paru-paru.4,7
b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik (NP) muncul pada sekitar 19% pasien dengan nyeri
kanker dan 39% jika pasien dengan nyeri campuran juga disertakan.10
Karakteristik klinis NP berbeda dari ditemukan pada pasien dengan nyeri
nosiseptif dan ditandai dengan adanya perubahan sensorik baik dalam hal
gejala dan tanda hipersensitivitas (positif) dan hiposensitivitas (negatif).
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan oleh Oosterling et al,11
menemukan bahwa lebih dari 40% pasien kanker dengan nyeri sedang
hingga berat memiliki gejala neuropatik yang mengganggu aktivitas sehari-
hari mereka. Pada pasien dengan kanker, nyeri neuropatik terjadi akibat
infiltrasi ganas pada saraf atau kerusakan saraf selama intervensi bedah.
Penyebab paling umum dari nyeri neuropatik adalah invasi langsung kanker
dan kerusakan saraf yang diakibatkannya. Jenis nyeri ini biasanya muncul
sebagai plexopathy, yang didefinisikan sebagai "cedera pada serabut saraf
dalam distribusi tertentu," biasanya brakialis, toraks, dan lumbosakral.
Plexopathy lumbosakral biasanya disebabkan oleh limfoma atau kanker
usus besar. Beberapa pengobatan kanker menghasilkan nyeri neuropatik
sebagai efek samping seperti pembedahan atau cedera saraf akibat radiasi
dan neuropati akibat kemoterapi. Obat kemoterapi utama yang
menyebabkan neuropati adalah cisplatin, vincristine, dan procarbazine.4

2.6 Manifestasi Klinis dan Penilaian Nyeri Kanker


Penilaian nyeri kanker sangat penting dalam mengidentifikasi mekanisme
yang mendasari sehingga dapat memberikan gambaran pengambilan keputusan
untuk penatalaksanaan nyeri yang adekuat. Dalam Pratik medis dilakukan
anamnesis untuk mendapatkan riwayat nyeri yang komprehensif dan
pemeriksaan klinis untuk penilaian nyeri. Dalam melakukan anamnesis dapat
digunakan pendekatan yang sistematis dengan basic 4 yaitu riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat pengobatan, riwayat penyakit
dalam keluarga, serta riwayat sosial-ekonomi). Untuk menggali lebih detail
mengenai riwayat penyakit sekarang dapat dilakukan dengan panduan sacred 7
yaitu onset, lokasi, intensitas secara kuantitas dan kualitas, kronologis, factor
memperberat dan memperingan, serta keluhan penyerta.6,11 Karakteristik nyeri
dan karakteristik pasien yang relevan dengan nyeri kanker biasanya digunakan
dalam praktik klinis untuk mengklasifikasikan atau mengkategorikan nyeri
dalam domain tertentu. Beberapa penekanan yang dapat dilakukan saat
melakukan anamnesis penilaian nyeri kanker yaitu:6

 Keluhan utama
Identifikasi keluhan utama dapat membantu mengidentifikasi etiologi,
prognosis dan memandu intervensi terapeutik. Pada umumnya, identifikasi
sindrom nyeri sebagian besar didasarkan pada pengalaman klinis dokter,
namun seiring waktu beberapa upaya untuk menggambarkan serangkaian
sindrom nyeri yang paling umum pada pasien dengan nyeri kanker telah
dilakukan. Beberapa literatur melaporkan klasifikasi sindrom nyeri kanker
dengan detail anatomi yang digunakan dalam survei internasional yang
diterbitkan oleh IASP Task Force pada nyeri kanker, yang mengidentifikasi
beberapa sindrom sebagai yang paling umum dan menyarankan bahwa
diagnosis tumor primer dan karakteristik nyeri lebih sering dikaitkan dengan
sindrom nyeri spesifik (Lihat table 1).6,11
 Onset dan kuantitas nyeri
Secara umum nyeri diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan nyeri
kronis/persisten. Nyeri kronis merupakan nyeri berulang yang berlangsung
selama lebih dari tiga bulan. Namun pada nyeri kanker, perkembangan
penyakit atau kerusakan jaringan dapat berkembang, sehingga sulit untuk
membedakan antara nyeri akut dan kronis.4,7 Pada populasi kanker, nyeri
yang miuncul lebih didefinisikan sebagai "breakthrough pain" (BTP) yaitu
eksaserbasi nyeri sementara yang terjadi bersamaan dengan nyeri dasar
yang terkontrol dengan baik, berlangsung dalam hitungan jam, bida terjadi
berulang dalam sehari, dan terasa seperti nyeri kronis. BTP pada pasien
nyeri kanker dianggap relevan untuk skema manajemen nyeri yang tepat.
Pedoman merekomendasikan mengobati BTP menggunakan opioid kerja
cepat atau pendek dengan dosis penyelamatan untuk membantu mengatasi
kegagalan dosis akhir.5,6
 Lokasi
Kanker dapat menyerang jaringan tubuh mana pun, termasuk organ viseral,
tulang, jaringan lunak, dan saraf. Pada pasien dengan kanker metastatik
dapat memiliki lebih dari satu tempat nyeri. Informasi mengenai lokasi
anatomi nyeri penting untuk didapatkan agar dapat memudahkan penilaian
dan pemberian terapi secara adekuat.6
 Intensitas dan kualitas Nyeri
Intensitas nyeri dianggap sebagai standar emas untuk penilaian nyeri, yang
sering memandu evaluasi dan pilihan pilihan pengobatan. Persepsi nyeri
setiap pasien sangat subjektif sehingga terapi sangat berorientasi pada apa
yang pasien rasakan. Metode yang digunakan untuk mengukur intensitas
paling sering dengan Numerical Rating Scales (NRS). Salah satu klasifikasi
yang digunakan untuk kedua tujuan ini mengidentifikasi tiga kategori nyeri
menurut tingkat keparahan nyeri: ringan (NRS 1-4), sedang (5-6), dan berat
(7-10). Namun, intensitas nyeri perlu menjadi bagian dari penilaian yang
komprehensif dan harus selalu dipertimbangkan dalam karakteristik
individu pasien termasuk usia, fungsi kognitif, dan aspek psikologis.6

Tabel 1. Klasifikasi sindrom nyeri yang disebabkan langsung oleh tumor padat6
2.7 Penilaian Nyeri Kanker
Dikarenakan kompleksitas nyerinya, nyeri kanker dapat diklasifikasikan
menggunakan berbagai sistem. Hal ini juga turut mempengaruhi pemilihan
strategi tatalaksana untuk mencapai kontrol nyeri yang adekuat. Beberapa
sistem klasifikasi nyeri kanker di antaranya sebagai berikut.6
1. International Association for the Study of Pain Taxonomy (IASP)
Klasifikasi IASP mengkategorikan nyeri berdasarkan poin-poin berikut :
a) Regio anatomis nyeri
b) Sistem yang terlibat dalam nyeri yang dirasakan
c) Karakteristik temporal serta pola kemunculan nyeri
d) Intensitas nyeri dan onset
e) Etiologi
2. International Classification of Diseases-11 (ICD-11)
Pada klasifikasi ICD-11 terdapat 7 kategori pada Nyeri Kronis, dan satu di
antaranya merupakan Nyeri Kronis Berkaitan dengan Kanker. Poin ini terbagi
lagi menjadi Nyeri Kanker Kronis, serta Nyeri Post-Kanker Kronis. Nyeri
Kanker Kronis kemudian terbagi kembali ke dalam beberapa poin berdasarkan
lokasinya, di antaranya:6,12
 Nyeri kanker viseral kronis (chronic visceral cancer pain)
Nyeri ini disebabkan oleh tumor primer maupun proses metastasis yang
merusak atau menimbulkan cedera pada organ-organ viseral di regio kepala-
leher, maupun pada daerah thoraks, abdomen, dn rongga panggul12
 Nyeri kanker kronis berkaitan dengan muskuloskeletal (chronic bone
cancer pain)
Nyeri ini merupakan nyeri kanker kronis yang paling umum, disebabkan
oleh tumor primer maupun proses metastases yagn merusak kerangka
tulang12
 Nyeri kanker kronis neuropatik atau somatosensorik (chronic neuropatic
cancer pain)
Nyeri ini disebabkan oleh tumor primer maupun proses metastases yang
merusak sistem saraf pusat serta perifer.
Sementara Nyeri Post-Kanker Kronis terbagi menjadi:12
 Nyeri Kronis Post-Kanker berkaitan dengan obat-obatan (chronic postcancer
medicine pain)
Nyeri pada kelompok ini timbul akibat penggunaan obat-obatan antikanker,
termasuk kemoterapi sistemik, pengobatan hormonal, dan terapi biologis.
Obat-obatan antikanker yang paling umum diberikan adalah kemoterapi
sistemik, baik secara oral maupun intravena.
 Nyeri Post-Radioterapi
Nyeri ini timbul akibat kerusakan lokal pada sistem saraf, tulang, maupun
jaringan lunak lainnya saat tatalaksana tumor primer maupun metastasisnya.
Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi di antaranya dosis treatment
keseluruhan, dosis besar per-radioterapi, serta kombinasi treatment surgikal
dan kemoterapi.12
 Nyeri Kronis Post-Operasi Kanker
Nyeri ini paling sering ditemukan pasca tindakan surgikal pada jaringan
mammae (postmastectomy pain), serta treatment kanker paru-paru (post-
thoracotomy pain), namun dapat juga dialami pasca operasi knker atau
prosedur surgikal apapun (seperti bopsi jaringan, atau insersi drainase
torakal).
 Nyeri Post-Kanker Kronis lainnya
Kategori ini meliputi nyeri kronis oleh treatment kanker yang tidak berkaitan
dengan obatobatan, radioterapi, serta prosedur surgikal, serta bilamana
etiologi tak diketahui.
3. Edmonton Classification System for Cancer Pain (ECS-CP)
Sistem klasifiksi ini awalnya dikembangkan guna menentukan indikator
prognosis untuk tatalaksana nyeri kanker. Sistemi ini mengalami revisi pada tahun
2005 dan kini memuat 5 domain, yakni mekanisme terjadinya nyeri, neyri
insidental, distres psikologis, perilaku adiktif, serta fungsi kognitif.
4. The Cancer Pain Prognostic Scale (CPPS)
Sistem ini dikembangkan guna memprediksi kemungkinan meredanya nyeri
pada penderita kanker dengan nyeri derajat sedang hingga berat. Klasifikasi ini
mengikutsertakan poin karakteristik nyeri, derajat nyeri paling berat yang dialami
oleh pasien, kondisi emosional, serta penggunaan opioid harian. Nilai CPPS ini
dapat dijumlahkan, mulai dari 0 hingga 17. Skor yang lebih besar mengindikasikan
kemungkinan nyeri mereda yang lebih besar.6,12
2.8 Tatalaksana Non-Farmakologi Nyeri Kanker
1. Radiofrequency Ablation (RFA)
RFA merupakan salah satu cara non farmakologi dalam meredakan nyeri
kanker. RFA juga sudah digunakan selama bertahun-tahun untuk pengobatan
nyeri seperti pada neuralgia trigeminal dan tumor tulang jinak yang
menyakitkan seperti osteoid osteoma. Ablasi radiofrekuensi adalah suatu
bentuk terapi invasif minimal dengan termal suhu tinggi yang membuat
nekrosis koagulasi dengan cara memanaskan jaringan ke temperature sekitar
45oC melalui sebuah jarum tipis yang dimasukkan melalui kulit atau melalui
sebuah insisi ke dalam jaringan kanker dengan dipandu oleh pencitraan seperti
USG, CT ataupun MRI. Selama prosedur, pasien dibius dengan anestesi umum
ataupun sedasi sadar. Mekanisme aksinya sendiri secara pasti masih belum
diketahui, namun diduga melalui pengubahan ekspresi gen di neuron melalui
neuromodulasi. Diperkirakan melalui mekanisme stimulasi sistem serotonergic
dan noradrenergic dan induksi jalur descending. 12,13,14
RFA dapat menjadi pengobatan tambahan pilihan yang relatif aman untuk
nyeri kanker yang tidak berespon pada obat-obatan. Terapi ini dapat
mengurangi nyeri secara signifikan dengan keunggulan biaya yang rendah,
kesederhanaan teknis, dan tingkat komplikasi yang relatif rendah. Namun perlu
diingat, bahwa terapi RFA bukanlah pengganti terapi nyeri kanker lainnya,
namun sebuah terapi komplemen.12,13,14
2. Cryoablation
Cryoablation merupakan suatu metode terapi yang digunakan untuk
meredakan nyeri kanker yang menggunakan jarum tipis yang dimasukkan
melalui kulit dan langsung ke lokasi jaringan kanker/tumor dengan memakai
gas argon dan helium suhu dingin yang ekstrim (-40oC) dengan dipandu oleh
pencitraan gambar seperti CT Scan, MRI, USG. Cryoablation menyebabkan
kerusakan seluler, kematian, dan nekrosis jaringan. 15,16
Cryoablation diketahui merusak saraf-saraf khususnya melalui
trauma fisikal langsung ke akson dan penghancuran mikrotubul yang berakibat
pada penghentian transport axonal. Hasil akhir dari kerusakan neuronal ini
ialah penurunan sensasi nyeri sebagai akibat dari penghentian konduksi,
aktivasi inhibisi descending, blokade sistem transmiter eksitatori, blokade
kanal natrium umum, atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut.
Keuntungan dari terapi ini ialah visualisasi langsung dari zona ablasi,
penurunan nyeri saat prosedur dan setelah prosedur. 15,17
3. Percutaneous Cordotomy (PCC)
PCC merupakan suatu prosedur pembedahan yang bertujuan
menghancurkan traktus spinal cord yang menghantarkan nyeri. Awalnya
metode ini digunakan secara luas untuk nyeri kronik, namun saat ini hanya
digunakan pada pasien nyeri kanker. Pada pasien dengan nyeri kanker yang
tidak terkendali dengan obat-obatan, metode ini dapat dipertimbangkan. Yang
paling umum dilakukan ialah melalui rute perkutan, karena prosedur operasi
terbuka dapat menimbulkan resiko dan komplikasi yang lebih tinggi.18
PCC adalah prosedur yang dilakukan pada pasien sadar (anastesi
lokal) dan menggunakan ablasi radiofrekuensi untuk menciptakan lesi panas di
traktus spinotalamikus lateral (pada kolumna anterolateral) di medulla spinalis
servikal atas setinggi C1-C2 yang mengganggu jalur nosiseptif dengan bantuan
fluoroskopi atau CT. PCC yang berhasil menghasilkan area analgesik di bawah
dermatom C4 pada sisi kontralateral tubuh. Hal itu sangat berguna khususnya
pada gejala nyeri kanker yang dominan pada 1 sisi. Tujuannya ialah untuk
mencapai pengurangan sensasi tusukan jarum dan hilangnya persepsi suhu di
daerah tubuh yang sakit. 18,19
Tingkat keparahan nyeri pasien harus mencapai level 3 sesuai tangga
nyeri WHO sebelum mempertimbangkan prosedur invasif ini. PCC
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan koagulasi, penurunan fungsi
ventilasi yang parah, dan jika pasien tidak dapat bekerja sama. PCC ini
merupakan prosedur paliatif, disarankan bagi pasien dengan lama harapan
hidup kurang dari 6 bulan dan memenuhi indikasi keparahan nyeri berat. 18,19
4. Stimulasi saraf listrik transkutan / Transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS)
TENS adalah intervensi nonfarmakologis murah yang digunakan dalam
pengobatan kondisi nyeri akut dan kronis. TENS mengaktifkan jaringan saraf
yang kompleks untuk menghasilkan pengurangan rasa sakit. Pada frekuensi dan
intensitas yang digunakan secara klinis, TENS mengaktifkan serat aferen
berdiameter besar.20 Masukan aferen ini dikirim ke sistem saraf pusat untuk
mengaktifkan sistem penghambatan desendens untuk mengurangi hiperalgesia.
Secara khusus, blokade aktivitas saraf di periaqueductal grey (PAG), rostral
ventromedial medulla (RVM) dan sumsum tulang belakang menghambat efek
analgesik TENS yang menunjukkan bahwa analgesia TENS dipertahankan
melalui jalur ini.21 Secara paralel, penelitian pada orang dengan fibromyalgia
menunjukkan bahwa TENS dapat mengembalikan modulasi nyeri sentral,
ukuran penghambatan sentral.22 Oleh karena itu, TENS mengurangi
hiperalgesia melalui mekanisme perifer dan sentral.
High frekuensi (HF) TENS meningkatkan konsentrasi beta-endorfin dalam
aliran darah dan cairan serebrospinal, dan metionin-enkefalin dalam cairan
serebrospinal.23 Analgesia menghasilkan pengurangan hiperalgesia oleh HF
TENS dengan blokade reseptor opioid di RVM atau sumsum tulang belakang,
atau transmisi sinaptik di PAG ventrolateral.24 Selanjutnya, pengurangan
hiperalgesia yang dihasilkan oleh HF TENS dicegah dengan blokade reseptor
muskarinik (M1 dan M3) dan reseptor GABAA di sumsum tulang belakang.25
Namun, blokade reseptor serotonin atau noradrenergik di sumsum tulang
belakang tidak berpengaruh pada pembalikan hiperalgesia yang dihasilkan oleh
HF TENS.26 Dengan demikian, HF TENS menghasilkan analgesia dengan
mengaktifkan mekanisme penghambatan endogen dalam sistem saraf pusat
yang melibatkan GABA opioid, dan reseptor muskarinik.
Pengurangan hiperalgesia oleh low frekuensi (LF) TENS dicegah dengan
blokade reseptor opioid di sumsum tulang belakang atau RVM atau sumsum
tulang belakang, dan dengan transmisi sinaptik di PAG ventrolateral.27
Selanjutnya, pengurangan hiperalgesia oleh LF TENS dicegah dengan blokade
GABAA, serotonin 5-HT2A dan 5-HT3, dan reseptor muskarinik M1 dan M3
di sumsum tulang belakang, 28 dan dikaitkan dengan peningkatan pelepasan
serotonin. 29 Selain itu, LF TENS tidak menghasilkan analgesia pada orang
30
yang toleran opioid tetapi HF TENS tidak. Dengan demikian, LF TENS
menggunakan jalur penghambatan descending klasik yang melibatkan jalur
PAG-RVM yang mengaktifkan reseptor opioid, GABA, serotonin dan
muskarinik untuk mengurangi aktivitas neuron kornu dorsalis dan rasa sakit
yang diakibatkannya.
5. Terapi Perilaku Kognitif/ Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
Saat ini perawatan psikologis yang paling banyak digunakan untuk nyeri
persisten. Ini melibatkan tiga langkah. Langkah pertama adalah pendidikan
nyeri. Nyeri digambarkan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang
kompleks yang dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan perilaku pasien. Dengan
mendiskusikan topik ini, pasien memahami bagaimana respons mereka sendiri
terhadap nyeri memengaruhi pengalaman nyeri mereka dan mulai mengenali
peran bahwa upaya koping mereka sendiri dapat berperan dalam pengendalian
nyeri. Langkah kedua adalah melatih satu atau lebih keterampilan koping untuk
mengelola rasa sakit (misalnya relaksasi atau pemecahan masalah). Untuk
setiap keterampilan, terapis memberikan alasan pendidikan, instruksi dasar, dan
praktik terpandu dan umpan balik. Langkah ketiga dalam pelatihan adalah
latihan di rumah dengan keterampilan yang dipelajari. Pasien awalnya didorong
untuk berlatih dalam situasi yang tidak menuntut (misalnya berbaring di
ruangan yang tenang) dan kemudian menerapkan keterampilan mereka untuk
tugas-tugas yang lebih menantang (misalnya mengelola rasa sakit yang
mungkin terjadi selama berjalan atau saat berpindah dari satu posisi ke posisi
lain). Langkah terakhir dalam pelatihan melibatkan membantu pasien
mengembangkan program untuk mempertahankan praktik keterampilan mereka
setelah pelatihan selesai dan untuk mengatasi kemunduran dan kekambuhan
dalam upaya koping mereka. 31 Beberapa strategi koping telah dipelajari pada
nyeri kanker, termasuk mengalihkan perhatian, reinterpretasi sensasi nyeri,
koping aktif, koping pasif, dan bencana. 32 Keyakinan tentang rasa sakit dan
kanker adalah target CBT. Keyakinan dan keyakinan spiritual tentang makna
hidup sering diabaikan dalam CBT, tetapi bisa menjadi kritis ketika nyeri
kanker terus-menerus.
Sebuah metaanalisis CBT pada penderita kanker telah menunjukkan bahwa
itu efektif untuk manajemen jangka pendek (<8 bulan) dari depresi, kecemasan
dan kualitas hidup penderita kanker. 33 Kangas dkk. telah melaporkan CBT sama
efektifnya dengan intervensi olahraga dalam mengobati kelelahan terkait
kanker. 34 Dua RCT telah menunjukkan bahwa CBT dapat direkomendasikan
untuk meningkatkan kontrol pasien atau keterampilan mengatasi untuk manfaat
jangka pendek dan menengah. 35. telah mendukung penggunaan teknik CBT
ketika diberikan secara individual untuk mengelola rasa sakit pada pasien
kanker payudara. 36 Tak satu pun dari percobaan telah mengeksplorasi efek
jangka panjang dari CBT.
6. Akupuntur
Akupunktur adalah teknik medis Tiongkok kuno, di mana jarum stainless
steel halus dimasukkan ke lokasi anatomi tertentu dari permukaan tubuh untuk
memperoleh respons neurohormonal dari sistem tubuh melalui stimulasi saraf.
Manipulasi tangan dan/atau elektrostimulasi sering diterapkan selama prosedur
untuk meningkatkan efektivitasnya. Mayoritas pasien yang mencari akupunktur
adalah untuk kondisi yang berhubungan dengan rasa sakit. Dalam 12 tahun
terakhir, Onkologi Integratif, cabang kedokteran integratif, telah berusaha
untuk menggabungkan terapi komplementer termasuk akupunktur ke dalam
perawatan onkologi arus utama konvensional. 37 Bukti yang dihasilkan oleh uji
klinis telah menunjukkan bahwa akupunktur aman dan efektif sebagai
pengobatan tambahan untuk mengelola gejala terkait kanker. 38
Secara klinis, terdapat dua peran akupunktur yang diterapkan pada
manajemen nyeri kanker, pertama adalah menggunakan akupunktur, bersama
dengan opioid, untuk meringankan kondisi nyeri kanker tertentu. Kedua adalah
menggunakan akupunktur untuk meminimalkan efek samping terkait opioid
termasuk konstipasi yang diinduksi opioid, pruritus, dan mual/muntah. Secara
longitudinal, akupunktur dapat diterapkan pada berbagai tahap pengobatan
kanker, dari nyeri pasca operasi, neuropati akibat kemoterapi, hingga nyeri leher
pasca perawatan kronis. Ketika intensitas nyeri parah,> 7 dari 10 pada skala
nyeri, hasil yang lebih baik dapat dicapai jika kombinasi akupunktur dan opioid
digunakan. Untuk nyeri ringan, 0–3 dari 10 skala nyeri, akupunktur saja
mungkin cukup untuk mencapai hasil yang memuaskan. Untuk nyeri sedang (4-
6 dari 10), baik kombinasi atau aplikasi individu dapat digunakan sambil
menunggu penilaian klinis dari dokter dan preferensi pasien. Pedoman Jaringan
Kanker Komprehensif Nasional (NCCN®) untuk nyeri kanker dewasa
merekomendasikan penggunaan akupunktur, sebagai bagian dari intervensi
integratif, dalam hubungannya dengan intervensi farmakologis yang
diperlukan.39 Pedoman NCCN menganggap intervensi integratif ini mungkin
sangat penting pada populasi yang rentan, misalnya, pasien lemah, lanjut usia
atau anak, di mana intervensi farmakologis standar mungkin kurang ditoleransi.
Akupunktur adalah salah satu pilihan pengobatan untuk nyeri kanker. Uji
klinis akupunktur untuk nyeri kanker menggunakan berbagai teknik yang
berhubungan dengan akupunktur. Teknik dan protokol tersebut dapat dipilih
dalam praktik onkologi untuk kondisi klinis dan populasi pasien yang berbeda.
Teknik terkait akupunktur yang umum digunakan dan gambaran klinisnya
dicantumkan dan dibandingkan (Tabel 2).
Tabel 2. Teknik akupuntur dan gambaran klinis.

2.9 Prognosis
Nyeri kanker dikaitkan dengan peningkatan tekanan emosional. Durasi
nyeri dan keparahan nyeri berkorelasi dengan risiko berkembangnya depresi.
kurangnya pengenalan sindrom nyeri yang sulit dapat menyebabkan kontrol nyeri
yang buruk, dan menunda rujukan ke spesialis nyeri. Pasien dengan kanker stadium
lanjut mungkin sering mengalami sindrom nyeri yang mungkin memerlukan
pendekatan diagnostik dan terapeutik khusus. Lima sampai dua puluh persen pasien
nyeri kanker memerlukan modalitas invasif untuk mencapai analgesia. Faktor lain
yang berkontribusi mungkin juga penting. Pasien yang mengalami kesulitan
mengatasi, kecemasan, dan tekanan psikologis mungkin juga memiliki kesulitan
yang lebih besar dengan kontrol nyeri. Kurangnya rencana institusional, atau
individu, untuk bertindak berdasarkan informasi yang diperoleh dapat
mempengaruhi manajemen nyeri. Dua kategori prognosis dikategorikan menjadi
dua yakni 40 :

1) Kategori prognosis baik, yang meliputi pasien dengan nyeri viseral, nyeri
somatik, nyeri non-insiden, tidak adanya somatisasi, tidak adanya toleransi
dan tidak adanya penyalahgunaan zat; dan
2) Kategori prognosis buruk, yang meliputi pasien dengan nyeri neuropatik,
etiologi nyeri campuran, nyeri insidental, penyalahgunaan zat, somatisasi,
dan toleransi.
Dalam satu penelitian, antara 20% dan 50% pasien kanker terus mengalami rasa
sakit dan keterbatasan fungsional bertahun-tahun setelah perawatan. Rasa sakit
yang tidak diobati menyebabkan permintaan untuk bunuh diri dengan bantuan
dokter. Nyeri yang tidak diobati juga menyebabkan pengunjungan rumah sakit
yang tidak perlu dan sering nya kunjungan ke unit gawat darurat.41
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
The International Association for The Study of Pain mendefinisikan
nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan maupun ancaman
kerusakan jaringan. Sensasi nyeri dapat dipicu oleh berbagai stimulus, dan
dapat ditemukan pada berbagai penyakit. Berdasarkan 122 studi,
prevalensi nyeri pasca tatalaksana kuratif mencapai 39,3%. Sementara
nyeri selama treatment berlangsung mencapai 55%.
Secara umum nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi
terjadinya yaitu nyeri akut, nyeri kronis/persisten, breakthrough
pain/nyeri terobosan, dan nyeri refrakter. Patofisiologi nyeri kanker cukup
kompleks dimana terjadi interaksi antara sel kanker, sistem saraf perifer
dan pusat, dan sistem kekebalan tubuh. Nyeri kanker berasal dari
patofisiologi neurobiologis terkait penyakit dan pengobatan yang masih
belum sepenuhnya dipahami.

Dikarenakan kompleksitas nyerinya, nyeri kanker dapat


diklasifikasikan menggunakan berbagai sistem. Hal ini juga turut
mempengaruhi pemilihan strategi tatalaksana untuk mencapai kontrol
nyeri yang adekuat. Tatalaksana non-farmakologi pada nyeri kanker yg
dapat dilakukan adalah Radiofrequency Ablation (RFA), Cryoablation,
Percutaneous Cordotomy (PCC), Transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS), Cognitive Behavioural Therapy, Akupuntur.
Prognosis dari nyeri kanker dibedakan atas dua kategori.
DAFTAR PUSTAKA
1. IASP Announces Revised Definition of Pain - International Association for the
Study of Pain (IASP). International Association for the Study of Pain (IASP). 2021
2. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpinan Dokter Spesialis Saraf Indonesia;
2016.
3. Van den Beuken-van Everdingen M, Hochstenbach L, Joosten E, Tjan-Heijnen V, Janssen
D. Update on Prevalence of Pain in Patients With Cancer: Systematic Review and Meta-
Analysis. 2021.
4. Russo, Marguerite M., and Thiruppavai Sundaramurthi. "An overview of cancer
pain: epidemiology and pathophysiology." Seminars in oncology nursing. Vol. 35.
No. 3. WB Saunders, 2019.
5. BrantJM, RodgersBB, GallagherE, Sundaramurthi T. Breakthrough cancer pain:
asystematic review of pharmacologic management. Clin J Oncol Nurs. 2017;21:71–
80.
6. LeppertW, Zajaczkowska R, Wordliczek J, Dobrogowski J, Woron J, Krzakowski
M. Pathophysiology and clinical characteristics of pain in most common locations
in cancer patients. Jphysiol Pharmacol.2016;67:787–799.
7. Das V. Introduction to pain pathways and pain “targets”. Prog Mol Biol Transl
Sci. 2015;131:1–30.
8. Ellison, Deborah L. "Physiology of pain." Crit Care Nurs Clin North Am 29.4
(2017): 397-406.
9. Caraceni, Augusto, and Morena Shkodra. "Cancer pain assessment and
classification." Cancers 11.4 (2019): 510.
10. Hanna M, Zbigniew Z, eds. Cancer Pain. London:Springer;2013.
11. Bennett, M.I.; Rayment, C.; Hjermstad, M.; Aass, N.; Caraceni, A.; Kaasa, S.
Prevalence and Aetiology of Neuropathic Pain in Cancer Patients: A Systematic
Review. Pain 2012, 153, 359–365. [CrossRef]
12. Oosterling A, teBoveldt N, Verhagen C. Neuropathic pain components in patients
with cancer: prevalence, treatment, and interference with daily activities. Pain
Pract. 2016;16:413–421
13. Rayment, C.; Bennett, M.I. Definition and Assessment of Chronic Pain in Advanced
Disease. Oxf. Textb. Palliat. Med. 2015, 519–524. [CrossRef]
14. Portenoy, R.K.; Ahmed, E. Cancer Pain Syndromes. Hematol. Oncol. Clin. N. Am.
2018, 32, 371–386. [CrossRef] [PubMed]
15. Bennett M, Kaasa S, Barke A, Korwisi B, Rief W, Treede R. The IASP
classification of chronic pain for ICD-11: chronic cancer-related pain. Pain.
2019;160(1):38-44.
16. Patti J, Neeman Z, Wood B. Radiofrequency ablation for cancer-associated pain.
The Journal of Pain [Internet]. 2002 [cited 23 October 2021];3(6):471-473.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2408947/
17. Locklin JK, Mannes A, Berger A, Wood BJ. Palliation of soft tissue cancer pain
with radiofrequency ablation. J Support Oncol. 2004 Sep-Oct;2(5):439-45. PMID:
15524075; PMCID: PMC2408960.
18. Deniz S, Bakal O, Inangil G. Application of Radiofrequency in Pain Management.
Pain Management [Internet]. 2016 [cited 23 October 2021];. Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/50353
19. Ferrer-Mileo L, Luque Blanco A, González-Barboteo J. Efficacy of Cryoablation
to Control Cancer Pain: A Systematic Review. Pain Practice [Internet]. 2018 [cited
23 October 2021];18(8):1083-1098. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29734509/
20. Erinjeri J, Clark T. Cryoablation: Mechanism of Action and Devices. Journal of
Vascular and Interventional Radiology [Internet]. 2010 [cited 23 October
2021];21(8):S187-S191. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6661161/
21. Bittman R, Peters G, Newsome J, Friedberg E, Mitchell J, Knight J et al.
Percutaneous Image-Guided Cryoneurolysis. American Journal of Roentgenology
[Internet]. 2018 [cited 23 October 2021];210(2):454-465. Available from:
https://www.ajronline.org/doi/pdfplus/10.2214/AJR.17.18452
22. Teoli D, An J. Cordotomy. [Updated 2021 May 10]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535446/
23. Poolman M, Makin M, Briggs J, Scofield K, Campkin N, Williams M et al.
Percutaneous cervical cordotomy for cancer-related pain: national data (response
to letter by Professor S Mercadante). BMJ Supportive & Palliative Care [Internet].
2020 [cited 23 October 2021];10(4):414-414. Available from:
https://spcare.bmj.com/content/10/4/429
24. Running A, Seright T. Integrative oncology: managing cancer pain with
complementary and alternative therapies. Curr Pain Headache Rep. 2012
Aug;16(4):325–33
25. Ezzo J, Vickers A, Richardson MA, et al. Acupuncture-point stimulation for
chemotherapy-induced nausea and vomiting. J Clin Oncol. 2005 Oct
1;23(28):7188–7198
26. National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice Guidelines in
Oncology: Adult Cancer Pain. [[cited 2012 Dec. 1, 2012]];version
2. 2012 Available
from: http://www.nccn.org/professionals/physician_gls/f_guidelines.asp#pain.
27. Guthiel, EA. Music and our emotions. New York: Liveright, 1952:28-29.
28. Bailey LM. Music therapy as an intervention in pain management. New York-New
Jersey Cancer Nursing Regional Committee, Hand- book on interventions in pain
management 1983;2:39-46
29. Fellner CH. Alterations in pain perceptions under conditions of multiple sensory
modality stimulation. Psychosomatics 1971 Sept/ Oct:313-315.
30. Wolfe DE. Pain rehabilitation and music therapy. Journal of Music Therapy 1978
Win- ter;4:162-178.
31. Locsin RF. The effect of music on the pain of selected post-operative patients.
Journal of Advanced Nursing 1981:1:19-25.
32. Bailey LM. The effects of live music versus tape-recorded music on hospitalized
cancer patients. Music Therapy 1983;2:17-28.
33. Radhakrishnan R, Sluka KA. Deep tissue afferents, but not cutaneous afferents,
mediate TENS-induced antihyperalgesia. J. Pain. 2005;6:673–680.
34. Desantana JM, Da Silva LF, De Resende MA, Sluka KA. Transcutaneous electrical
nerve stimulation at both high and low frequencies activates ventrolateral
periaqueductal grey to decrease mechanical hyperalgesia in arthritic
rats. Neuroscience. 2009;163(4):1233–1241.
35. Dailey DL, Rakel BA, Vance CG, et al. Transcutaneous electrical nerve stimulation
reduces pain, fatigue and hyperalgesia while restoring central inhibition in primary
fibromyalgia. Pain. 2013;154:2554–2562.
36. Han JS, Chen XH, Sun SL, et al. Effect of low and high frequency TENS on met-
enkephalinarg-phe and dynorphin A immunoreactivity in human lumbar
CSF. Pain. 1991;47:295–298
37. DeSantana JM, da Silva LF, De Resende MA, Sluka KA. Transcutaneous electrical
nerve stimulation at both high and low frequencies activates ventrolateral
periaqueductal grey to decrease mechanical hyperalgesia in arthritic
rats. Neuroscience. 2009;163:1233–124
38. Maeda Y, Lisi TL, Vance CG, Sluka KA. Releaes of GABA and activation of
GABAA receptors in the spinal cord mediates the effects of TENS in rats. Brain
Res. 2007;1136:43–50
39. Radhakrishnan R, King EW, Dickman J, et al. Blockade of spinal 5-HT receptor
subtypes prevents low, but not high, frequency TENS-induced antihyperalgesia in
rats. Pain. 2003;105:205–213.
40. Sluka KA, Lisi TL, Westlund KN. Increased release of serotonin in the spinal cord
during low, but not high, frequency TENS in rats with joint inflammation. Arch.
Phys. Med. Rehab. 2006;87:1137–1140.
41. Chandran P, Sluka KA. Development of opioid tolerance with repeated
transcutaneous electrical nerve stimulation administration. Pain. 2003;102:195–
201.

Anda mungkin juga menyukai