Disusun Oleh :
Pembimbing :
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun oleh :
Maulita Zulfani G4A020015
Gusti Rama Dwitiya G4A020039
Delima Rochmah NS G4A020006
Nabilah Hanna P G4A020016
2
DAFTAR ISI
COVER...................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................4
KATA PENGANTAR............................................................................................5
I. PENDAHULUAN................................................................................6
II. LAPORAN KASUS.............................................................................8
A. Identitas Pasien...............................................................................8
B. Anamnesis......................................................................................8
C. Pemeriksaan Fisik.........................................................................10
D. Pemeriksaan Penunjang................................................................13
E. Diagnosis......................................................................................14
F. Tatalaksana...................................................................................15
G. Prognosis......................................................................................15
III. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................16
A. Anatomi Telinga...........................................................................16
B. Fisiologi Pendengaran..................................................................21
C. Definisi.........................................................................................24
D. Epidemiologi................................................................................24
E. Etiologi dan Faktor Risiko...........................................................25
F. Patofisiologi..................................................................................28
G. Penegakkan Diagnosis..................................................................28
H. Tatalaksana...................................................................................30
I. Komplikasi...................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................46
3
DAFTAR GAMBAR
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan
Kronik Tipe Tubotimpani” ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik untuk memperbaiki penulisan di masa yang akan
narasumber SMF Ilmu Penyakit THT-KL, terutama dr. Bagus Condro Prasetyo, Sp.
sampaikan, semoga referat ini dapat memberi manfaat khususnya bagi penulis yang
Penulis
5
BAB I
PENDAHULUAN
setiap gangguan suara baik organik maupun fungsional akibat kelainan organ-
organ fonasi, terutama laring (Soepardi, 2017). Menurut Reiter dkk (2015),
disfonia adalah perubahan kualitas suara pada nada maupun intensitas bisa
terjadi akibat gangguan fungsional atau organik, kelainan sistemik atau lokal.
didapatkan tiga penyakit terbanyak yang menyebabkan suara serak pada orang
dewasa adalah parese adduktor korda vokalis, vokal nodul dan tumor laring.
Sedangkan tiga penyakit terbanyak penyebab suara serak pada anak berturut-
turut adalah papiloma laring, vokal nodul, dan laringitis akut. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Haryuna di Medan, ditemukan pada 107 pasien dengan
Tumor ganas laring hingga saat ini masih menjadi masalah di bidang Ilmu
Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala dan Leher. Tumor ganas laring
merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di seluruh dunia. Pada
tahun 2011 diperkirakan 12.740 kasus baru tumor ganas laring di Amerika
Serikat dan diperkirakan 3560 orang meninggal (Irfandy dan Rahman, 2015).
6
dengan yang bukan perokok. Seiring berkembangnya waktu kebiasaan meokok
tidak hanya dimiliki oleh laki – laki saja, tetapi banyak juga wanita memiliki
tersering pada dekade usia 60 – 70 tahun dan jarang pada usia dibawah 30
tahun (Sarbini, 2013). Adapun dalam laporan kasus kali ini akan membahas
mendasarinya
7
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. K
2. Usia : 47 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Supir
5. Alamat : Purbalingga
6. Tgl Periksa : 28 November 2021
7. No. RM : O2181***
8. Metode Anamnesis : Autoanamnesis dan Alloanamnesis
B. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Suara serak
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT RSMS pada Senin, 28 November 2021
dengan keluhan suara serak sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan tidak
memberat oleh pemicu tertentu. Keluhan suara serak sedikit membaik
dengan minum air hangat. Suara serak semakin memberat selama 4 bulan
tanpa ada periode sembuh/hilang. Keluhan lain yang dirasakan pasien
adalah adanya batuk yang muncul sewaktu-waktu, rasa mengganjal di di
leher, dan mendengkur saat tidur. Nyeri dan gangguan menelan (-), rasa
terbakar di leher (-), demam (-), sesak napas (-), batuk berdarah (-), mual
(-), muntah (-), hidung tersumbat (-), keluhan telinga (-)
8
d. Riwayat penggunaan ET (-)
e. Riwayat alergi (-)
f. Riwayat sakit serupa (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat serupa dalam keluarga (-)
b. Riwayat tumor pada keluarga (-)
c. Riwayat alergi (-)
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang supir bus yang sering berbicara keras
ketika bekerja. Pasien adalah seorang perokok, merokok sebanyak 1
bungkus perhari. Konsumsi alcohol disangkal. Pasien tinggal dengan
istri dan ketiga anaknya hubungan pasien dengan keluarga pasien baik,
pasien menggunakan jaminan kesehatan BPJS Non PBI.
C. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : E4V5M6 (Compos mentis)
3. Vital sign
Tekanan Darah : 122/88mmHg
Nadi : 95 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.3 °C
4. Antropometri
BB : 70 kg
TB : 165 cm
IMT : 25.06 (Overweight)
Status Generalis
Bentuk kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
9
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), nyeri
tekan KGB (-)
Thorax
Pulmo : dinding gerak simetris, retraksi (-), taktil fremitus
kanan = kiri, sonor pada 6 lapang paru (+), SD
Vesikuler +/+, RBK(-), RBH (-), Wheezing (-),
Jantung : S1>S2, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Cembung, venektasi (-), BU (+) normal, timpani seluruh kuadran, nyeri tekan
(-), hepar lien tak teraba
Ekstremitas
AD AS
Aurikula Normotia, Normotia,
Eksternus Tragus pain(-),
Hiperemis (-) tragus pain (-),
Hiperemis (-)
Preaurikula Serumen
Nyeri tekan(-),(-), Serumen
Nyeri (-),(-),
tekan
discharge(-),(-)
benjolan discharge(-),
benjolan (-)
Membran Timpani Intak, (-)
edema edema (-) cahaya
Intak, reflek
reflek cahaya (+) di (+) di jam 7,
Retroaurikula jam 5,tekan (-),
Nyeri hiperemis
Nyeri tekan(-),
(-),
hiperemis(-),
benjolan (-), discharge (-)
benjolan (-),
discharge
edema (-) (-) edema (-)
10
b. Hidung
ND NS
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Discharge
c. Tenggorokan - -
Konka inferior Edema (-), hieprtrofi Edema (-) hieprtrofi
(-) (-)
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Massa (-) (-)
D.
Mukosa : Lembab, hiperemis (-)
E.
Lidah : Tremor (-), kotor (-)
d.
Uvula : Deviasi (-), hiperemis (-), edema (-)
11
pendengaran
Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi
Scwabach Sama dengan Sama dengan pemeriksa
pemeriksa
Kesimpulan : Fungsi pendengaran normal
G.
D. Pemeriksaan Penunjang
Usulan Pemeriksaan Penunjang :
Ht 47 % 40-52
PT 10.8 % 11,5-14,5
12
Hasil : Epiglotis tampak terfiksasi, massa pada plica vocalis
comisura anterior, pergerakan plica terganggu
3. Biopsi
E. Diagnosis
1. Diagnosis Kerja : Disfonia e.c massa glottis (T1N0M0)
2. Diagnosis Banding : Vocal nodul
F. Tatalaksana
1. Observasi
2. Tracheotomi bila ada sumbatan jalan napas
3. Kemoterapi bila hasil biopsi mengarah keganasan
4. Edukasi
a. Edukasi keluarga tentang penyakit, kondisi pasien, prognosis, dan
komplikasi penyakit
b. Edukasi keluarga tentang rencana/tatalaksana yang akan dilaksanakan
G. Prognosis
Ad Vitam : Dubia
Ad Sanationam : Dubia
Ad Functionam : Dubia Ad Malam
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Kerangka pendukung laring terdiri dari sebuah tulang yaitu hyoid, dan
empat buah kartilago, yaitu krikoid, tiroid, dan sepasang aritenoid. Kerangka
eksternal laring dibentuk oleh hyoid, tiroid, dan krikoid, yang saling berikatan
14
satu sama lain melalui membran tirohyoid dan krikotiroid (Sasaki, Kim &
tiroid oleh membran tirohyoid Kartilago krikoid dapat dianggap sebagai bagian
bawah dari laring. Sebagai satu-satunya cincin lengkap di seluruh jalan napas,
balon endotracheal tube. Tulang rawan tiroid terletak di atas krokoid. Sudut di
mana dua bagian tiroid bersatu pada bagian anterior lebih runcing pada pria
daripada pada wanita, dan ini menyebabkan penonjolan pada leher laki-laki
yang disebut Adam’s apple (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014;
Woodson, 2014).
aritenoid terletak pada pinggir posterior krioid dan merupakan titik fiksasi
kartilago tiroid. Tepat ditepi bawah pangkal epiglotis (Sasaki, Kim & LeVay,
15
infrahioid. Kartilago kornikulata merupakan tulang rawan berpasangan.
atau tangkai (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica,2014; Woodson, 2014).
2. Otot Laring
Terdapat 2 jenis otot yang mengatur pergerakan laring, yaitu otot intrinsik
yang menghubungkan tulang rawan laring satu sama lain, dan otot ekstrinsik
16
(adduktor) dan otot krikotiroid dan vokalis (tensor). Sedangkan otot
sekitarnya dan terbagi ke dalam otot elevator dan otot depresor laring.
3. Rongga Laring
Rongga laring terbagi atas tiga bagian yaitu supraglottis, glottis dan
subglottis yang dipisahkan oleh plika vestibularis dan plika vokalis. Plika
vestibularis sering disebut pita suara palsu, sedangkan plika vokalis sering
disebut dengan pita suara asli. Rongga supraglottis terdiri dari epiglottis,
17
yang juga merupakan batas atas dari glottis. Yang termasuk glottis adalah
(Beasly, 2008).
Yang dimaksud dengan pita suara ialah plika vokalis. Pita suara ini
ada dua: kanan dan kiri, berbentuk simetris yang ketika melakukan fonasi
(Lee, 2003).
Waktu lahir pita suara panjangnya sekitar 0,7 cm, pada wanita
hanya panjang pita suara saja yang mempengaruhi nada tetapi juga
ketegangan, elastisitas pita suara dan tekanan udara di trakea (Lee, 2003;
Woodson, 2014).
Pita suara atau plika vokalis (vocal cord/ vocal fold) berperan
dalam memproduksi suara, dan terdiri 2 pita yang kuat disebut ligamentum
kartilago tiroid dan besifat elastis. Pita suara terletak di dalam rongga
18
laring, meluas dari dasar ventrikel Morgagni kebawah sampai setinggi
kartilago krikoid dengan jarak 0,8 cm sampai 2 cm. Pita suara berada di
atas batas inferior kartilago tiroid. Secara histologi tepi bebas pita suara
diliputi oleh epitel berlapis yang tebalnya 8-10 sel dan cenderung menipis
Pita suara sebagai organ fonasi terdiri atas komponen body dan
luar yang diliputi epitel skuamosa berlapis, lapisan dalam, dan lamina
superfisial, jika lesiberada di permukaan superior pita suara yang jauh dari
19
besar. Hal ni penting untuk menentukan jenis intervensi bedah yang
4. Pendarahan laring
Perdarahan untuk laring terdiri dari dua cabang, yaitu arteri tiroid
superior dan arteri tiroid inferior. Arteri tiroid superior merupakan cabang
arteri karotis eksterna. Arteri tiroid inferior merupakan cabang dari trunkus
tiroservikal dari arteri subklavia. Aliran balik vena laring dibawa oleh
vena tiroid superior dan media, yang bergabung dengan vena jugularis
interna dan vena tiroid inferior (Spector, 1994; Dhingra, 2007; Sasaki,
5. Persarafan laring
laring. Sensasi dari vestibulum dan ventrikel laring, di atas pita suara asli
dibawa oleh laringeus internal cabang dari nervus vagus, dan sensasi di
bawah pita suara asli dibawa oleh nervus rekuren laringeus cabang dari
nervus vagus. Inervasi motorik semua otot laring dibawa oleh nervus
20
Gambar 2.5 Inervasi Laring (Probst, Grover & Iro, 2010).
B. Fisiologi
1. Respirasi
Sulica, 2014).
pada vocal fold yang dapat menghindari tekanan negatif pada intra luminal
21
intratorakal lebih efektif. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam
2. Fonasi
prinsipnya berfungsi sebagai sumber dari fonasi dan udara. Fonasi dihasilkan
dari interaksi antara udara dan pita suara yang berasal dari teori
subglotis akan menyebabkan pita suara tertutup. Pada tekanan tertentu, udara
mulai terdorong ke bagian bawah pita suara. Penutupan dari pita suara
memiliki dimensi vertikal, dengan naiknya pita suara dari inferior ke superior.
Udara yang lewat akan menyebabkan kontriksi dari pita suara, dan
menyebabkan lumen supraglotik melebar (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica,
2014). Udara di glotis akan menekan pita suara lateral yang akan kembali ke
tepi dari glotis. Karakteristik siklus glotis tergantung pada elastisitas penutupan
pita suara dan aktivitas otot-otot intrinsik laring serta tekanan udara (Sasaki,
Getaran pita suara dari siklus glotik akan merubah tekanan udara yang
konstan menjadi tekanan yang teratur, yang di kenal sebagai suara. Selama
fonasi, pita suara bergetar menimbulkan tidak hanya satu nada melainkan
22
Suara merupakan suatu gelombang yang terbentuk dari amplitudo, frekuensi
suara, nada dan kualitas suara. Hal ini akan merubah siklus glotis (tekanan
udara) atau myoelastic contribution (anatomi serta kekakuan) pada pita suara
dari pita suara, menurunkan tekanan, dan mengurangi frekuensi. Karena dalam
fonasi yang kuat pada frekuensi rendah, tidak hanya mukosa tetapi juga otot
23
peregangan pita suara, dengan mengurangi massa dan meningkatkan tekanan
sehingga menghasilkan frekuensi tinggi (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica,
2014).
Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila plika
bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
3. Proteksi
sfingter, dimana pita suara dan pita suara palsu, kartilago aritenoid dan lipatan
piriformis lalu menuju muara esofagus. Pada saat otot faring berkontraksi
Fungsi laring sebagai proteksi adalah mencegah makanan dan benda asing
masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis
24
pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot intrinsik laring. Dalam hal ini
C. Definisi
fonasi, terutama laring (Soepardi, 2017). Menurut Reiter dkk (2015), disfonia
adalah perubahan kualitas suara pada nada maupun intensitas bisa terjadi akibat
gangguan fungsional atau organik, kelainan sistemik atau lokal. Pada disfonia
ireguler osilasi.
laring adalah keganasan yang terdapat pada pita suara, kotak suara atau daerah
usulnya dari sel skuamosa yang membentuk mayoritas epital laring. Kanker
berdekatan, dengan cara metastasis ke kelenjar getah bening daerah leher rahim
atau yang lebih jauh melewati aliran darah. Karsinoma sel skuamosa
merupakan keganasan laring yang paling sering terjadi 94 persen (ACS, 2016).
Tumor glotis laring adalah tumor yang mengenai plika vokalis, komisura
25
inferior otot- otot intrinsic pita suara. Batas atasnya adalah batas lateral
(Calhoun, 2001).
D. Epidemiologi
didapatkan tiga penyakit terbanyak yang menyebabkan suara serak pada orang
dewasa adalah parese adduktor korda vokalis, vokal nodul dan tumor laring.
Sedangkan tiga penyakit terbanyak penyebab suara serak pada anak berturut-
turut adalah papiloma laring, vokal nodul, dan laringitis akut. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Haryuna di Medan, ditemukan pada 107 pasien dengan
Tumor ganas laring hingga saat ini masih menjadi masalah di bidang Ilmu
Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala dan Leher. Tumor ganas laring
merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di seluruh dunia. Pada
tahun 2011 diperkirakan 12.740 kasus baru tumor ganas laring di Amerika
Serikat dan diperkirakan 3560 orang meninggal (Irfandy dan Rahman, 2015).
aerodigestif bagian atas. Dari penelitian diluar negeri didapatkan kanker kepala
leher merupakan 5% dari seluruh keganasan pada tubuh manusia dan kejadian
26
urutan ke tiga atau ke empat dengan insidensi sekitar 6-13% dari keganasan di
tidak hanya dimiliki oleh laki – laki saja, tetapi banyak juga wanita memiliki
tersering pada dekade usia 60 – 70 tahun dan jarang pada usia dibawah 30
Kasus tumor ganas laring di RS. M. Djamil Padang periode Januari 2011-
E. Faktor Etiologi
misalnya laringitis akut atau kronis, tumor jinak (polip pita suara, nodul,
Rinke’s edema, kista, dan papiloma), trauma laring, presbifonia, dan tumor
Sampai saat ini etiologi dari tumor ganas laring belum banyak diketahui
secara pasti, namun dari berbagai penelitian didapatkan kebiasaan merokok dan
minum alkohol mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya tumor ganas laring.
27
Berikut di bawah ini akan diuraikan etiologi dari tumor ganas laring: (Calhoun,
1. Merokok
besar dan di daerah tempat merokok 5 sampai 35 kali lebih banyak dari
dimana sel pada lapisan ini harus tumbuh cepat untuk mengadakan
28
sama dengan karsinogen seperti benzene,nitrosamine, vinil khlorida,
2. Alkohol
3. Radiasi
radiasi.
4. Pekerjaan
29
pekerjaannya berhubungan dengan debu kayu, asap cat, nikel terdapat
target. Setelah masuk sel terjadi integrasi material genetic dengan host
F. Patofisiologi
DNA sel normal akan terganggu sehingga terjadi diferensiasi dan proliferasi
abnormal. Adanya mutasi serta perubahan pada fungsi dan karakteristik sel
anaplastik yang akan mengambil suply oksigen, darah dan nutrien dari sel
30
anemia dan penurunan leukosit menyebabkan gangguan status imunologi
pasien. Proliferasi sel kanker yang terus berlanjut hingga membentuk suatu
masa mengakibatkan kompresi pada pembuluh darah sekitar dan saraf sehingga
terjadilah odinofagi, disfagi, dan nyeri pada kartilago tiroid. Massa tersebut
juga mengakibatkan hambatan pada jalan nafas. Iritasi pada nervus laringeus
menyebabkan suara menjadi serak. Jika mutase yang terjadi sangat progresif,
(Munir, 2007).
menyebar ke tulang rawan tiroid karena pada daerah ini lebih tipis di garis
otot vokalis lebih tipis di ruang krikotiroid lateral sehingga tumor glotis dapat
menyebar ke leher melalui rute ini sehingga tumor ganas glotis dapat
31
terdiagnosis tidak tepat karena mengevaluasi penyebaran ke daerah ini sulit.
G. Penegakkan Diagnosis
Evaluasi penilaian suara serak meliputi penilaian faktor anatomi, fisiologis, dan
perilaku yang mempengaruhi produksi vokal secara keseluruhan. Penilaian
dimulai dengan deskripsi dari suara, simtomatologi, dan riwayat medis dan sosial.
Visualisasi laring diperlukan untuk menentukan status dari pita suara. Secara
umum, pemeriksaan laring harus dilakukan setiap kali suara serak berlangsung
lama lebih dari 2 minggu (Feierabend & Malik, 2009). Pada kasus-kasus khusus,
prosedur diagnostik yang lebih canggih dapat diindikasikan.
Anamnesa
32
perubahan suara, serta apakah ada fluktuasi vokal dan kelelahan suara. Gejala akut
lebih mungkin terkait dengan penyalahgunaan vokal, infeksi atau inflamasi, atau
cedera akut.
Semua pasien dengan suara serak yang menetap selama lebih dari dua
minggu yang tidak disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, memerlukan
evaluasi. Anamnesa dapat menghasilkan informasi penting untuk mempersempit
diagnosis banding. Setiap pasien dengan suara serak dan riwayat penggunaan
tembakau, diagnosis pertama yang perlu dipertimbangkan adalah kanker kepala
dan leher, karena suara serak sering menjadi satu-satunya gejala yang
muncul(Feierabend & Malik, 2009).
33
TABEL 2.1 Petunjuk klinis yang menunjukkan penyebab spesifik dari suara serak
Kualitas vokal Kemungkinan penyebab
Arthritis, disfonia spasmodik atau fungsional, masa
Desah
pada pita suara, paralisis pita suara
Ragu-ragu. tercekik Disfonia spasmodik
Parau, serak, teredam,
Parkinson disease
atau sengau
Serak memburuk
Laryngopharyngeal reflux(LPR)
pada pagi hari
Serak memburuk
Myasthenia gravis, penyalahgunaan vokal
pada akhir hari (sore)
Seperti klakson
Sarkoidosis
(Honking)
Hipotiroid, laryngopharyngeal reflux, leukoplakia,
Bernada rendah muscle tension dysphonia, edema Reinke, edema pita
suara, paralisis pita suara
Laryngopharyngeal reflux, muscle tension dysphonia,
Keras (raspy)
lesi pita suara
Scanning speech dan
Multiple sclerosis
disartria
Lemah (volume suara
Paralisis pita suara, Parkinson disease
menurun)
Suara menghilang,
tetapi suara bisikan Conversion aphonia
baik
Tegang, artikulasi
Muscle tension dysphonia
dipaksakan
Laryngopharyngeal reflux, muscle tension dysphonia,
Tegang
disfonia spasmodic
Tebal, suara dalam
Akromegali
dan berbicara lamban
Muscle tension dysphonia, myasthenia gravis,
Kelelahan vokal
Parkinson disease, penyalahgunaan vocal
34
Pemeriksaan Klinik
Pemeriksaan Penunjang
A. Visualisasi laring
35
Laringoskopi langsung (direk). Apabila diperlukan visualisasi yang lebih
detail, pencahayaan, dan pembesaran, dapat dilakukan laringoskopi langsung
dengan menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau
serat optik (fiberoptic telescope atau nasofaringoskopi fleksibel) atau
mikroskop (mikrolaringoskopi). Pada laringoskopi langsung dapat juga
dilakukan biopsi tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau bila
diperlukan tindakan (manipulasi) bagian tertentu pada laring seperti aritenoid,
plika vokalis, plika ventrikularis, daerah komisura anterior atau subglotik.
Pengunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video (video-
laringoskopi) sehingga akan memberikan visualisasi laring yang lebih jelas
baik dalam keadaan diam (statis) maupun pada saat bergerak (dinamis)( Lundy
&Casiano, 1999)
A A B B
Gambar 2.8 Gambar A menunjukkan laringoskopi direk menggunakan
laringoskop dan teleskop laring kaku (rigid). Gambar B menunjukkan laringoskopi
direk menggunakan nasofaringoskopi fleksibel atau fiber optic.
36
Video-stroboskopi (Strobovideolaryngoscopy). Pita suara biasanya bergetar
selama berbicara, bernyanyi atau bersenandung pada tingkat 80 sampai 400
kali per detik. Getaran ini terlalu cepat untuk dapat dilihat dengan mata
telanjang, karena itu, tidak dapat sepenuhnya dievaluasi dengan laringoskopi
tidak langsung (kaca laring).Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis
akan lebih jelas dengan menggunakan video-stroboskopi dimana gerakan pita
suara dapat diperlambat (slowmotion) sehingga dapat dilihat getaran (vibrasi)
pita suara dan gelombang mukosanya (mucosal wave). Video-stroboskopi
dilakukan dengan menggunakan teleskop yang kaku dengan sudut 700 atau
nasofaringoskopi fleksibel. Video-stroboskopi ini penting terutama dalam
mengevaluasi kasus lesi halus yang mempengaruhi getaran pita suara. Mode
ini memungkinkan untuk penemuan lesi kecil seperti bekas luka pada pita
suara, perdarahan, kista intracordal, atau invasi epitelial pada awal karsinoma
glotis (Lee, 2003).
2. Analisis akustik
37
Analisis akustik memeriksa energi dalam sinyal listrik yang
mewakili suara. Pengukuran spesifik dapat diambil untuk mengukur
keteraturan getaran pita suara. Istilah frekuensi dasar mengacu pada
jumlah getaran pita suara per detik dan berkorelasi dengan persepsi pitch.
Pita suara pria dewasa bergetar antara 100 dan 130 Hz, sedangkan pita
suara perempuan bergetar antara 200 dan 230 Hz. Tingkat nada tinggi
abnormal untuk usia dan jenis kelamin mungkin berhubungan dengan
hiperkontraksi dari otot krikotiroid dan mungkin merupakan disfonia
fungsional atau kompensasi. Rentang pitch dapat diukur dan berkorelasi
dengan fleksibilitas dari otot intrinsik laring. Orang dewasa sehat mampu
menghasilkan rentang tiga oktaf, meskipun biasanya hanya empat sampai
lima nada yang digunakan dalam percakapan umum. Sekarang ini
analisis akustik dilakukan dengan menggunakan program komputer
seperti CSL (Computerized Speech Laboratory), Multyspeech, ISA
(Intelegence Speech Analysis), dan MDVP (Multi Dimensional Voice
Programe). Hasil pemeriksaan ini berupa parameter-parameter akustik
dan spektrogram dari gelombang yang dianalisis, yang kemudian dapat
dibandingkan antara suara yang normal dan yang mengalami gangguan.
3. Analisis aerodinamika
Suara tergantung pada dukungan napas yang konstan, dengan
demikian, bahkan masalah pernapasan halus dapat mengakibatkan
disfungsi suara. Pengukuran aerodinamika berguna dalam mengukur
aliran udara selama respirasi dan fonasi. Skrining fungsi paru dapat
dilakukan untuk menyingkirkan segala masalah yang mendasari pada
paru-paru yang mungkin mencegah kapasitas yang memadai untuk aliran
udara yang teratur selama mengeluarkan suara. Waktu fonasi maksimum
(Maximum Phonation Time - MPT) adalah ukuran jumlah waktu pasien
dapat mempertahankan suara vokal pada satu napas. Orang dewasa sehat
biasanya dapat memperpanjang vokal untuk antara 15 dan 25 detik.
Penurunan nilai MPT biasanya berhubungan dengan penutupan glotis
yang tidak sempurna dan kehilangan udara dan/atau penggunaan yang
38
tidak efisien (yaitu, suatu kelainan) dalam mendukung paru-paru.
Penyanyi, pelari jarak jauh, dan perenang sering mampu mempertahankan
suara yang lebih lama dari 25 detik; namun nilai tersebut masih berada
dalam batas normal dan merupakan penurunan fungsi saat pasien ini hadir
dengan gangguan suara.
39
D. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
- Nodul dan polyp pita suara (Vocal cord nodules and polyps)
Lesi jinak yang paling umum dijumpai pada orang dewasa adalah
polip. Nodul, polip, dan kista intracordal biasanya terkait dengan
hiperfungsi vokal dan paparan iritan. Lesi ini mengganggu penutupan
glottic dan memungkinkan udara melarikan diri selama fonasi
sehingga menghasilkan suara serak. Nodul dan polip terbentuk di
persimpangan dari dua pertiga anterior vibrating edge pita suara, yang
merupakan titik kekuatan maksimal dengan menyuarakan. Granuloma
prosesus vokalis (Vocal process granuloma/intubation granuloma)
Granuloma dan ulkus kontak ditemukan di bagian posterior dari
laring sekitar proses vokal dan arytenoids. Granuloma dan ulkus
kontak sering berkaitan dengan penyakit refluks laryngotracheal dan
berkaitan dengan pembersihan tenggorokan kronis dan kebiasaan nada
rendah. Baik granuloma dan ulkus kontak mengakibatkan stress
berlebih pada bagian tulang rawan pita suara, sehingga terjadi ulserasi
traumatis dan pembentukan granuloma sekunder.
40
- Edema Reinke (Reinke Edema)
Meskipun mekanisme pasti edema Reinke belum teridentifikasi,
ada hubungan yang sangat kuat antara merokok dengan perkembangan
edema Reinke. Fitur yang membedakan dari kondisi ini adalah sifat
berdifusi pembengkakan, yang merupakan akumulasi cairan di lapisan
superfisial lamina propria dari lipatan vokal. Pasien hadir dengan
pembengkakan difus dari pita suara, yang biasanya bilateral. Pita
merasa berlumpur ketika dimanipulasi selama microlaryngoscopy, dan
pembengkakan dapat digulung di bawah instrumen.
- Kista Intrakordal
Kista Intracordal dapat berupa kista retensi lendir atau kista
sederhana yang mengandung keratin epidermoid. Laringoskopi
menunjukkan kista unilateral biasanya dari sepertiga tengah pita suara
dengan luas sesuai hiperkeratosis pada pita suara yang berlawanan.
Stroboscopy menunjukkan hilangnya gelombang mukosa di lokasi
lesi.
- Kista Sakular
Kista sakular laring muncul sebagai divertikulum dari ujung
anterior ventrikel laring. Ini memanjang ke atas antara lipat vokal
palsu dan permukaan bagian dalam kartilago tiroid dan mengandung
kelenjar mukus. Sebuah kista sakular terjadi sebagai akibat dari
obstruksi kelenjar ini, yang mungkin sekunder dari sebuah anomali
kongenital atau didapat.
Pemeriksaan menunjukkan perluasan lipatan aryepiglottic oleh
kista di dalamnya, yang dapat meluas ke leher melalui membran
thyrohyoid. CT-Scan menunjukkan kista memperluas ke supraglottis,
dan tidak adanya udara di dalam lesi membedakannya dari suatu
laryngocele. Jaringan mesodermal mungkin tidak terlihat di dinding
kista sakular kongenital dan dapat mempengaruhi pendekatan bedah.
41
- Laryngocele
Laryngocele adalah ekspansi abnormal dari ventrikel laring, yang
dapat dibatasi oleh kartilago tiroid (internal laryngocele) atau meluas
melalui membran krikotiroid ke leher (eksternal laryngocele).
Perkembangan laryngocele sering dikaitkan dengan aktivitas yang
menyebabkan peningkatan tekanan intralaryngeal –secara klasik
adalah bermain terompet-tetapi dapat terjadi sekunder diakibatkan
keganasan dalam ventrikel laring, yang harus disingkirkan.
- Papilomatosis
Recurrent Respiratory Papilomatosis (RRP) ditandai dengan
perkembangan lesi berkutil eksofitik, terutama dalam laring, tetapi
yang dapat ditemukan di hidung, faring, dan trakea. Kondisi ini jinak
tetapi terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ada
distribusi bimodal; RRP onset remaha umumnya didiagnosis antara
usia 2 dan 4 tahun dan lebih agresif dari onset RRP dewasa, yang
puncak pada dekade ketiga.
RRP disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV), subtipe 6
dan 11, dan kurang sering oleh subtipe 16 dan 18. HPV 6 dan 11 juga
merupakan penyebab paling umum dari papilomatosis genital, dan
transmisi dari saluran genital diyakini menjadi penyebab utama dari
RRP. Transmisi vertikal virus dari ibu ke anak terjadi baik sebagai
infeksi rahim ascending atau melalui kontak langsung di jalan lahir.
Namun, risiko seorang anak berkembang RRP setelah melahirkan per
vaginam bersamaan kehadiran acuminatum kondiloma diperkirakan
hanya 1 dari 400. Faktor yang menimbulkan kerentanan masih berada
dalam penyelidikan.
b. Jarang5
- Kondroma
42
Kondroma adalah tumor jinak dari kartilago laring sering
mempengaruhi laki-laki di dekade keempat dekade keenam. Pasien
hadir dengan disfonia perlahan progresif, dispnea, dan disfagia, karena
itu, pertumbuhan ini bisa meniru neoplasma jinak ganas dalam
presentasi mereka. Kondroma biasanya muncul sebagai firm lesion
yang halus dari laring subglottic atau salah satu kartilago lainnya.
Kadang-kadang, mereka hadir sebagai benjolan di leher. CT scan
berguna dalam menggambarkan tingkat neoplasma sedangkan laser
CO2 berguna dalam melakukan biopsi. Namun, pengobatan definitif
bergantung pada bedah eksisi tumor total melalui pendekatan terbuka.
Eksisi endoskopik dipergunakan untuk tumor berukuran kecil.
43
- Amyloidosis
Laring adalah situs yang paling umum di saluran pernapasan untuk
deposisi amiloid. Presentasi pasien ditandai oleh adanya massa
submukosa, yang mungkin timbul di mana saja di laring dan dapat
mengganggu mobilitas pita suara. Diagnosis dikonfirmasi oleh
kehadiran birefringence "hijau apel" dilihat dengan mikroskop
polarisasi setelah pewarnaan dengan pewarna merah Kongo.
Pengobatan melibatkan reseksi lokal, biasanya dilakukan endoskopi.
Amiloid laring biasanya primer dan lokal, tetapi telah dikaitkan
dengan keterlibatan jantung dan evaluasi sistemik menyeluruh sangat
penting.
- Sarcoidosis
Satu sampai lima persen pasien dengan sarkoidosis hadir dengan
lesi dalam laring. Epiglottis adalah situs pada organ fonasi yang paling
sering terlibat. Umumnya granuloma kecil dan non-caseating yang
nampak secara histologis, tapi kondisi granulomatosa lain seperti
infeksi jamur atau mikobakteri harus disingkirkan. Remisi spontan
terjadi, sehingga pengobatan umumnya simtomatik, reseksi
endoskopik dan steroid sistemik hanya digunakan dalam kasus
khusus.
44
a. Lesi Laring Ganas (Malignant Laryngeal Lesions)5
45
untuk dikombinasikan kemoterapi / radiasi terapi (protokol konservasi
laring) dan / atau laryngectomy parsial atau total.
Dalam kasus paralisis pita suara unilateral, ketiadaan gerak pada salah satu
pita suara dapat diamati pada pemeriksaan. Tergantung pada posisinya,
penutupan glotis yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya udara.
Pasien dengan paralisis pita suara unilateral paling sering mengeluhkan
suara mendesah, kualitas vokal serak dengan volume menurun dan
kelelahan jika berbicara dalam waktu lama. Perlindungan jalan napas saat
menelan merupakan proses yang melibatkan lipat banyak lapis epiglotis,
gerakan anterior dan superior dari seluruh laring, kontak antara kartilago
arytenoid dan epiglotis, penutupan lipat palsu, dan penutupan lipat benar
vokal. Penutupan glotis yang tidak lengkap yang dapat menyebabkan
aspirasi cairan. Pasien kadang-kadang batuk ketika minum cairan karena
kesulitan ini melindungi jalan napas. Etiologi yang paling umum dari
paralisis pita suara unilateral adalah iatrogenik, yaitu operasi toraks, kepala-
leher, dan basis kranii dimana di saraf laring mengalami kompresi,
regangan, ataupun terpaksan dikorbankan. Pada beberapa kasus tidak
ditemukan penyebab khusus (idiopatik) (Lundy &Casiano, 1999)
Paralisis pita suara bilateral dapat menyebabkan fiksasi lipat vokal dalam
abduksi atau posisi adduksi. Paralisis pita suara bilateral yang posisinya
terlateralisasi menghasilkan kualitas vokal yang terdengar sangat mendesah
dan menyebabkan angka aspirasi yang sangat tinggi. Paralisis pita suara
bilateral dalam posisi median menimbulkan bahaya obstruksi jalan nafas
46
yang perlu ditangani segera, pada kasus ini suara pasien terdengar normal.
Etiologi paralisis pita suara bilateral termasuk penyakit neurologis, trauma,
dan intubasi. Membedakan antara kelumpuhan sebenarnya dan imobilitas
disebabkan oleh dislokasi arytenoid atau proses lain yang mengganggu
mobilitas sendi adalah penting. Laringoskopi direk, palpasi sendi, dan
pemeriksaan EMG berguna selama pengkajian. Pasien dengan onset baru
dari paralisis pita suara bilateral perlu diperiksa dengan CT-Scan untuk
menyingkirkan lesi neoplastik sepanjang perjalanan saraf laringeus rekuren
pada sisi ipsilateral. CT dari dasar tengkorak ke mediastinum biasanya
diperlukan (Lundy &Casiano, 1999)
47
d. Disfonia Fungsional (Functional Dysphonia)
48
daerah saluran nafas yang tidak terlindungi. Cedera eksternal dapat terjadi
ketika mekanisme tubuh tidak sanggup melindungi yaitu misalnya pada
kecelakaan kendaraan bermotor dan kegiatan olah raga yang keras. Cedera
penetrasi terjadi pada kasus penembakan dan seringkali melibatkan
kerusakan multistruktur. Cedera intubasi terjadi pada pemakaian ventilator
jangka panjang yang dapat menyebabkan fibrosis dan/atau stenosis laring,
paralisis pita suara, dan pembentukan granulasi (Wareing & Obholzer,
2008)
H. Tatalaksana
diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi
terapi suara dan bicara serta tindakan operatif (Hermani & Abdurrahman, 2007)
terkait dengan iritasi dari refluks , alergi, merokok, hidrasi yang tidak
berlebihan. Nodul pada pita suara jarang disebabkan oleh episode berteriak
49
dan faktor penyebab. Pemahaman ini memfasilitasi kerjasama dengan
regimen terapi.
b. Konservasi Vokal
sementara dan disfonia dapat kembali sampai perilaku vokal lebih tepat
dipelajari.
contoh yang tak perlu. Dalam beberapa kasus, suara kerja tidak dapat
50
c. Terapi Perilaku Suara
2. Intervensi Medis
pasien dengan suara serak adalah sangat jarang kecuali pasien dengan rinosinusitis
hanya pada pasien yang memiliki yang penting kepentingan berbicara atau
kronis.4
mengurangi tingkat suara serak. Oleh karena itu, perlu diagnosis yang sepatutnya
adalah penting dalam rangka untuk mengobati penyebab suara serak pasien dan
51
untuk mengurangi kesempatan berulang suara serak. Kortikosteroid harus
diresepkan untuk tidak lebih dari 4 sampai 5 hari di samping konservasi suara.
panggilan suara mereka selama periode waktu. Selain itu, pentingnya pemanasan
disfonia.
3. Intervensi Bedah
Peran intervensi bedah tergantung pada penyebab suara serak pasien. Pasien
dengan nodul pada plika vokalis atau polip biasanya memiliki riwayat
Pada pasien yang membutuhkan intervensi bedah, terapi suara harus dimulai
sementara menghapus daerah yang terkena saja. Pasien dengan paralisis pita
suara dan disfonia yang tidak membaik selama 3 bulan dan menunjukkan
lemak, kolagen, atau polytef tergantung pada preferensi ahli bedah dan
52
laryngologists karena kesempatan meningkat untuk Granuloman dan distorsi
4. PENCEGAHAN
Pencegahan Hidrasi
serangan balik efek obat itu dehidrasi. Pasien harus disarankan untuk
minum cairan yang memadai sampai warna urine mereka relatif jernih
(yaitu, "pee-pale”).
sehat dan perilaku yang tidak biasanya tidak memfasilitasi refluks dapat
yang teratur seperti makan siang hari dibandingkan tidak makan dan
53
(misalnya, kafein dan coklat). Pasien juga harus menghindari makan
setelah makan terakhir mereka sebelum pergi tidur. Pada pasien yang
lambung turun saat pasien sedang tidur. Selain itu, konsumsi antasida 30
baik juga dapat berfungsi sebagai langkah preventif untuk menjaga baik
54
DAFTAR PUSTAKA
Asyari, A., Novialdi, Fitri, F., Azizah, N., 2017. Disfonia akibat Polip Pita Suara.
Majalah Kedokteran Andalas. Vol. 40, No. 1, Hal. 52-63.
Beasley N., 2008. Anatomy of the Larynx and Tracheobronchial. In: Scott
Brown’s Otolaryngology Head and Neck Surgery, 2(7) London: Edward
Arnold Publishers. hal. 2130-40.
Calhoun KH. Tumor Biology and Immunology of Head and Neck Cancer. In:
Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition.
Volume 2. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 1212-
1220.
Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. -6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 369-376
Cohen, J.I., George, L.R., Harjanto, K.S., Effendi, C., 2006. Trans, Anatomi dan
Fisiologi Laring, Boies, Buku Ajar Penyakit THT (6th Ed.),Penerbit
EGC,Jakarta, hal.369
Dhingra, P.L., 2007. Anatomy and physiology of larynx, In: Diseases Ear, Nose
and Throat (4th Ed.) New Delhi, India, hal.259-63.
Feierabend RH, Malik SN. Hoarseness in Adults [Internet]. 2009 [updated 2009
August 15, cited 2021 December 09]. Available from:
www.aafp.org/afp/2009/0815/p363.html
Haryuna, TS. Distribusi gambaran klinik laring pada penderita dengan suara serak
di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik
Medan. Majalah Kedokteran Nusantara.2009;42(1):33-40.
55
Hermani, B., Hutahuruk, A., Efiaty, A.S., 2012. (Ed.) Disfonia, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher 6 th, Jakarta,
Indonesia: Balai Penerbit FKUI, hal.231-34.
Hiatt J. & Gartner L., 2010. Palate, Pharynx and Larynx. In: Textbook of Head
and Neck Anatomy. 4th ed. Philadelphia : Lihalincott Williams and Wilkins,
hal. 256-62.
Johns M. M., & Parikh S., 2009. Benign laryngeal lesions. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17. Centennial edition.
Shelton, Connecticut: People’s Medical Publishing House, hal. 878-83.
Lee, K.J., 2003. The larynx. In: Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. (8th ed.) Mc. Graw-Hill Company,USA, hal.749.
Munir M. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher: Keganasan di Bidang Telinga Hidung Tenggorok. 6th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 162-173.
Probst J.A., Grevers G. dan Iro H., 2010. Larynx and Trachea. In: Basic
Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning Guide. Stuttgart: Georg-
Thieme Verlag. hal.338-45.
Sasaki C. T., Kim Y. H. dan LeVay A. J., 2009. Development, anatomy, and
physiology of the larynx. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery 17. Centennial edition. Connecticut : People’s Medical
Publishing House. hal.847-57
56
Soepardi, E.A. dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. (edisi ke-7). Jakarta : Badan Penerbit FKUI, hal. 207-212
Sulica, L., 2014. Voice: Anatomy, Physiology, and Clinical Evaluation. In:
Johnson J.T., Rosen C.A, eds, Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology.5th ed, Philadelphia : Lihalincott Williams & Wilkins,
hal.945-56.
Wareing M., Obholzer R. (2008). Chapter 29. Benign Laryngeal Lesions. In A.K.
Lalwani (Ed), CURRENT Diagnosis & Treatment in Otolaryngology—
Head & Neck Surgery, 2e. Retrieved December 27, 2011 from
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=2827547
Woodson G. E. & Zaya N. E., 2008. The larynx. In: Essential Otolaryngology
Head & Neck Surgery. 9th ed. KJ Lee ed. Connecticut : Mc Graw Hill
Companies. hal.56.
57