Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

: Disfonia E.C Massa Glottis (T1N0M0)

Disusun Oleh :

Maulita Zulfani G4A020015


Gusti Rama Dwitiya G4A020039
Delima Rochmah NS G4A020006
Nabilah Hanna P G4A020016

Pembimbing :

dr. Bagus Condro Prasetyo, Sp. THT-KL, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

: Disfonia e.c massa glottis (T1N0M0)

Disusun oleh :
Maulita Zulfani G4A020015
Gusti Rama Dwitiya G4A020039
Delima Rochmah NS G4A020006
Nabilah Hanna P G4A020016

Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan


sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, November 2021


Pembimbing

dr. Bagus Condro Prasetyo, Sp. THT-KL, M.Kes

2
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................4
KATA PENGANTAR............................................................................................5
I. PENDAHULUAN................................................................................6
II. LAPORAN KASUS.............................................................................8
A. Identitas Pasien...............................................................................8
B. Anamnesis......................................................................................8
C. Pemeriksaan Fisik.........................................................................10
D. Pemeriksaan Penunjang................................................................13
E. Diagnosis......................................................................................14
F. Tatalaksana...................................................................................15
G. Prognosis......................................................................................15
III. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................16
A. Anatomi Telinga...........................................................................16
B. Fisiologi Pendengaran..................................................................21
C. Definisi.........................................................................................24
D. Epidemiologi................................................................................24
E. Etiologi dan Faktor Risiko...........................................................25
F. Patofisiologi..................................................................................28
G. Penegakkan Diagnosis..................................................................28
H. Tatalaksana...................................................................................30
I. Komplikasi...................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................46

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Laring.................................................................................................16

Gambar 2.2 Otot Intrinsik Laring..........................................................................18

Gambar 2.3 Rongga laring dan Pita Suara.............................................................18

Gambar 2.4 Lapisan pita suara...............................................................................20

Gambar 2.5 Inervasi Laring...................................................................................21

Gambar 2.6 Proses penyebaran tumor glotis.........................................................31

Gambar 2.7 Laringoskopi indirek menggunakan kaca laring................................35

Gambar 2.8 Laringoskopi direk menggunakan laringoskop dan teleskop.............36

4
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan

anugerahnya sehingga penyusunan laporan kasus berjudul “Otitis Media Supuratif

Kronik Tipe Tubotimpani” ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam

penulisan referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis

mengharapkan saran dan kritik untuk memperbaiki penulisan di masa yang akan

datang. Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan

narasumber SMF Ilmu Penyakit THT-KL, terutama dr. Bagus Condro Prasetyo, Sp.

THT-KL, M.Kes selaku pembimbing penulis. Demikian yang dapat penulis

sampaikan, semoga referat ini dapat memberi manfaat khususnya bagi penulis yang

sedang menempuh pendidikan dan rekan-rekan yang membacanya.

Purwokerto, 09 November 2021

Penulis

5
BAB I
PENDAHULUAN

Disfonia adalah istilah umum yang d igunakan untuk menyebut

setiap gangguan suara baik organik maupun fungsional akibat kelainan organ-

organ fonasi, terutama laring (Soepardi, 2017). Menurut Reiter dkk (2015),

disfonia adalah perubahan kualitas suara pada nada maupun intensitas bisa

terjadi akibat gangguan fungsional atau organik, kelainan sistemik atau lokal.

Penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Siswanto di bagian endoskopi

Bagian THT-KL FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 1994

didapatkan tiga penyakit terbanyak yang menyebabkan suara serak pada orang

dewasa adalah parese adduktor korda vokalis, vokal nodul dan tumor laring.

Sedangkan tiga penyakit terbanyak penyebab suara serak pada anak berturut-

turut adalah papiloma laring, vokal nodul, dan laringitis akut. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Haryuna di Medan, ditemukan pada 107 pasien dengan

difonia didapatkan 64,5% merupakan lelaki, dengan umur terbanyak pada

kelompok umur diatas 60 tahun sebanyak 29,9%, dan dengan penyebab

terbanyak merupakan keganasan (19,6%) (Haryuna, 2009).

Tumor ganas laring hingga saat ini masih menjadi masalah di bidang Ilmu

Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala dan Leher. Tumor ganas laring

merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di seluruh dunia. Pada

tahun 2011 diperkirakan 12.740 kasus baru tumor ganas laring di Amerika

Serikat dan diperkirakan 3560 orang meninggal (Irfandy dan Rahman, 2015).

Karsinoma laring banyak mengenai laki – laki dibandingkan dengan

perempuan (5:1). Dimana terbanyak pada kelompok perokok bila dibandingkan

6
dengan yang bukan perokok. Seiring berkembangnya waktu kebiasaan meokok

tidak hanya dimiliki oleh laki – laki saja, tetapi banyak juga wanita memiliki

kebiasaan ini sehingga insinendinya mengalami peningkatan. Karsinoma laring

tersering pada dekade usia 60 – 70 tahun dan jarang pada usia dibawah 30

tahun (Sarbini, 2013). Adapun dalam laporan kasus kali ini akan membahas

hal-hal terkait disfonia dan seputar kemungkinan penyakit-penyakit yang

mendasarinya

7
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. K
2. Usia : 47 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Supir
5. Alamat : Purbalingga
6. Tgl Periksa : 28 November 2021
7. No. RM : O2181***
8. Metode Anamnesis : Autoanamnesis dan Alloanamnesis
B. Anamnesis

A. Keluhan Utama
Suara serak
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT RSMS pada Senin, 28 November 2021
dengan keluhan suara serak sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan tidak
memberat oleh pemicu tertentu. Keluhan suara serak sedikit membaik
dengan minum air hangat. Suara serak semakin memberat selama 4 bulan
tanpa ada periode sembuh/hilang. Keluhan lain yang dirasakan pasien
adalah adanya batuk yang muncul sewaktu-waktu, rasa mengganjal di di
leher, dan mendengkur saat tidur. Nyeri dan gangguan menelan (-), rasa
terbakar di leher (-), demam (-), sesak napas (-), batuk berdarah (-), mual
(-), muntah (-), hidung tersumbat (-), keluhan telinga (-)

C. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat pilek (-)


b. Riwayat benjolan di leher (-)
c. Riwayat sakit lambung (-)

8
d. Riwayat penggunaan ET (-)
e. Riwayat alergi (-)
f. Riwayat sakit serupa (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat serupa dalam keluarga (-)
b. Riwayat tumor pada keluarga (-)
c. Riwayat alergi (-)
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang supir bus yang sering berbicara keras
ketika bekerja. Pasien adalah seorang perokok, merokok sebanyak 1
bungkus perhari. Konsumsi alcohol disangkal. Pasien tinggal dengan
istri dan ketiga anaknya hubungan pasien dengan keluarga pasien baik,
pasien menggunakan jaminan kesehatan BPJS Non PBI.

C. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : E4V5M6 (Compos mentis)
3. Vital sign
Tekanan Darah : 122/88mmHg
Nadi : 95 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.3 °C
4. Antropometri
BB : 70 kg
TB : 165 cm
IMT : 25.06 (Overweight)

Status Generalis
Bentuk kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)

Telinga : Lihat Status Lokalis


Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), inflamasi (-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), karies (-)

9
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), nyeri
tekan KGB (-)
Thorax
Pulmo : dinding gerak simetris, retraksi (-), taktil fremitus
kanan = kiri, sonor pada 6 lapang paru (+), SD
Vesikuler +/+, RBK(-), RBH (-), Wheezing (-),
Jantung : S1>S2, gallop (-), murmur (-)
Abdomen

Cembung, venektasi (-), BU (+) normal, timpani seluruh kuadran, nyeri tekan
(-), hepar lien tak teraba
Ekstremitas

Akral hangat, CRT < 2 detik


Status Lokalis
a. Telinga

AD AS
Aurikula Normotia, Normotia,
Eksternus Tragus pain(-),
Hiperemis (-) tragus pain (-),
Hiperemis (-)
Preaurikula Serumen
Nyeri tekan(-),(-), Serumen
Nyeri (-),(-),
tekan
discharge(-),(-)
benjolan discharge(-),
benjolan (-)
Membran Timpani Intak, (-)
edema edema (-) cahaya
Intak, reflek
reflek cahaya (+) di (+) di jam 7,
Retroaurikula jam 5,tekan (-),
Nyeri hiperemis
Nyeri tekan(-),
(-),
hiperemis(-),
benjolan (-), discharge (-)
benjolan (-),
discharge
edema (-) (-) edema (-)

Meatus Akustikus Mukosa edem (-), Mukosa edem (-),

10
b. Hidung

ND NS
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Discharge
c. Tenggorokan - -
Konka inferior Edema (-), hieprtrofi Edema (-) hieprtrofi
(-) (-)
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Massa (-) (-)

D.
Mukosa : Lembab, hiperemis (-)
E.
Lidah : Tremor (-), kotor (-)
d.
Uvula : Deviasi (-), hiperemis (-), edema (-)

Tonsil : T2/T2, hiperemis (+/+), detritus (-/-), kripte


melebar (-/-)

Faring : Hiperemis (-), post nasal drip (-), granulasi (-)

Kelenjar getah bening


F. Pembengkakan (-)
e. Tes Audiologi
Tes Kanan Kiri

11
pendengaran
Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi
Scwabach Sama dengan Sama dengan pemeriksa
pemeriksa
Kesimpulan : Fungsi pendengaran normal
G.
D. Pemeriksaan Penunjang
Usulan Pemeriksaan Penunjang :

1. Pemeriksaaan Darah Lengkap (01/11/2021)

Hematologi Hasil Nilai N

HB 16.9 g/dl 13.2-17.3

Ht 47 % 40-52

Eri 5.52 4.40-5.90

Leu 6700 3.800-10.600

Trom 229000/uL 150.000-440.000

MCV 85,3 FL 80-100

MCH 30.6 pg/cell 26-34

MCHC 35.9% 32-38

PT 10.8 % 11,5-14,5

APTT 26.6 fL 9,4-12,4

2. Pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur

12
Hasil : Epiglotis tampak terfiksasi, massa pada plica vocalis
comisura anterior, pergerakan plica terganggu

3. Biopsi
E. Diagnosis
1. Diagnosis Kerja : Disfonia e.c massa glottis (T1N0M0)
2. Diagnosis Banding : Vocal nodul
F. Tatalaksana
1. Observasi
2. Tracheotomi bila ada sumbatan jalan napas
3. Kemoterapi bila hasil biopsi mengarah keganasan
4. Edukasi
a. Edukasi keluarga tentang penyakit, kondisi pasien, prognosis, dan
komplikasi penyakit
b. Edukasi keluarga tentang rencana/tatalaksana yang akan dilaksanakan
G. Prognosis
Ad Vitam : Dubia
Ad Sanationam : Dubia
Ad Functionam : Dubia Ad Malam

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Struktur Rangka Laring

Kerangka pendukung laring terdiri dari sebuah tulang yaitu hyoid, dan

empat buah kartilago, yaitu krikoid, tiroid, dan sepasang aritenoid. Kerangka

eksternal laring dibentuk oleh hyoid, tiroid, dan krikoid, yang saling berikatan

14
satu sama lain melalui membran tirohyoid dan krikotiroid (Sasaki, Kim &

LeVay, 2009; Sulica, 2014; Woodson, 2014).

Tulang hyoid yang berbentuk U merupakan tulang yang menyokong laring

dan mengokohkan hipofaring. Tulang hyoid dihubungkan dengan kartilago

tiroid oleh membran tirohyoid Kartilago krikoid dapat dianggap sebagai bagian

bawah dari laring. Sebagai satu-satunya cincin lengkap di seluruh jalan napas,

krikoid sangat penting dalam mempertahankan patensi jalan nafas. Namun,

kekakuan segmen ini tampaknya dapat menjadi salah satu predisposisi

terjadinya cedera mukosa akibat tekanan endoluminal, seperti stenosis akibat

balon endotracheal tube. Tulang rawan tiroid terletak di atas krokoid. Sudut di

mana dua bagian tiroid bersatu pada bagian anterior lebih runcing pada pria

daripada pada wanita, dan ini menyebabkan penonjolan pada leher laki-laki

yang disebut Adam’s apple (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014;

Woodson, 2014).

Aritenoid merupakan tulang rawan yang berpasangan, berbentuk pyramid dan

bersendian dengan bagian posterosuperior dari kartilago krikoid. Sepasang

aritenoid terletak pada pinggir posterior krioid dan merupakan titik fiksasi

untuk pergerakan plika vokalis, masing-masing ke anterior garis tengah

kartilago tiroid. Tepat ditepi bawah pangkal epiglotis (Sasaki, Kim & LeVay,

2009; Sulica, 2014; Woodson, 2014).

Epiglotis merupakan tulang rawan elastis yang membentuk dinding

anterior laring berbentuk seperti daun. Berfungsi terutama sebagai panahan

masuknya makanan ke dalam laring. Melekat pada tulang hioid melalui

ligamentum hioepiglotika yang membagi epiglotis menjadi suprahioid dan

15
infrahioid. Kartilago kornikulata merupakan tulang rawan berpasangan.

Melekat pada bagian apex dari kartilago aritenoid. Sedangkan sepasang

kartilago kuneiform melekat pada lipatan ariepiglotika pada bagian depan

kartilago kornikulata dan menyangga lipatan, berbentuk menyerupai batang

atau tangkai (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica,2014; Woodson, 2014).

Gambar2.1 Laring (tampak posterior) (Hiatt & Gartner, 2010).

2. Otot Laring

Terdapat 2 jenis otot yang mengatur pergerakan laring, yaitu otot intrinsik

yang menghubungkan tulang rawan laring satu sama lain, dan otot ekstrinsik

yang menghubungkan laring dengan struktur di sekitarnya (Sasaki, Kim &

LeVay, 2009, Woodson, 2014).

a. Otot intrinsik, berfungsi untuk menggerakkan pita suara dan aditus

laring. Otot-otot intrinsik terdiri dari otot krikoaritenoid posterior

(abduktor), otot krikoaritenoid lateral, interaritenoid, tiroaritenoid

16
(adduktor) dan otot krikotiroid dan vokalis (tensor). Sedangkan otot

tiroepiglotik , interaritenoid an ariepiglotik berfungsi membuka dan

menutup aditus laring.

b. Otot ekstrinsik, berfungsi menghubungkan laring dengan struktur di

sekitarnya dan terbagi ke dalam otot elevator dan otot depresor laring.

Otot-otot elevator termasuk didalamnya stilofaringeus, salpingofaringeus,

palatofaringeus, tirohioid, milohioid, digastrik, stilohioid, geniohioid.

Sedangkan otot-otot depressor, termasuk di dalamnya sternohioid,

sternotiroid, dan omohioid. Berfungsi menggerakkan laring ke bawah

pada saat proses inspirasi.

Gambar 2.2 Otot Intrinsik Laring (Sulica, 2014).

3. Rongga Laring

Rongga laring terbagi atas tiga bagian yaitu supraglottis, glottis dan

subglottis yang dipisahkan oleh plika vestibularis dan plika vokalis. Plika

vestibularis sering disebut pita suara palsu, sedangkan plika vokalis sering

disebut dengan pita suara asli. Rongga supraglottis terdiri dari epiglottis,

aryepiglottis sampai ke arytenoid. Batas bawahnya adalah pita suara palsu

17
yang juga merupakan batas atas dari glottis. Yang termasuk glottis adalah

plika vokalis, komisura anterior dan posterior. Di bawahnya adalah

subglottis sampai ke batas bawah krikoid yang berhubungan dengan trakea

(Beasly, 2008).

Gambar 2.3. Rongga laring dan Pita Suara (John, 2009)

Yang dimaksud dengan pita suara ialah plika vokalis. Pita suara ini

ada dua: kanan dan kiri, berbentuk simetris yang ketika melakukan fonasi

bergerak ke medial bertemu merapat di garis median. Untuk

menggerakkan pita suara ke medial ini diperlukan koordinasi banyak otot

(Lee, 2003).

Waktu lahir pita suara panjangnya sekitar 0,7 cm, pada wanita

dewasa 1,6 – 2 cm dan pada laki-laki dewasa 2 – 2,4 cm. Perpanjangan

pita suara disebabkan otot krikoaritenoid dan otot tiroaritenoid. Tidak

hanya panjang pita suara saja yang mempengaruhi nada tetapi juga

ketegangan, elastisitas pita suara dan tekanan udara di trakea (Lee, 2003;

Woodson, 2014).

Pita suara atau plika vokalis (vocal cord/ vocal fold) berperan

dalam memproduksi suara, dan terdiri 2 pita yang kuat disebut ligamentum

vokale. Setiap ligamen memanjang dari dari kartilago aritenoid ke

kartilago tiroid dan besifat elastis. Pita suara terletak di dalam rongga

18
laring, meluas dari dasar ventrikel Morgagni kebawah sampai setinggi

kartilago krikoid dengan jarak 0,8 cm sampai 2 cm. Pita suara berada di

atas batas inferior kartilago tiroid. Secara histologi tepi bebas pita suara

diliputi oleh epitel berlapis yang tebalnya 8-10 sel dan cenderung menipis

pada prosesus vokalis (Lee, 2003; Woodson, 2014).

Pita suara sebagai organ fonasi terdiri atas komponen body dan

cover. Komponen body dibentuk oleh kedua otot tiroatenoid yang

mengandung serat aduksi dan abduksi. Komponen cover terdiri darilapisan

luar yang diliputi epitel skuamosa berlapis, lapisan dalam, dan lamina

propia. Lamina propia terbagi atas 3 lapisan yaitu superfisial, intermedia,

dan profunda (Asyari et al., 2017).

Lapisan superfisial dikenal juga dengan ruang Rinke yang tersusun

atas jaringan ikat longgar sehingga menyebabkan lapisan ini lebih

fleksibel dan mudah bergerak. Lapisan intermedia dan profunda bersama-

sama membentuk ligamen vokal (Asyari et al., 2017).

Gambar 2.4 Lapisan pita suara

Kebanyakan lesi jinak mukosa pita suara ditemukan pada lapisan

superfisial, jika lesiberada di permukaan superior pita suara yang jauh dari

tepi daerah vibrasi mungkin tidak mengganggu suara walaupun lesinya

19
besar. Hal ni penting untuk menentukan jenis intervensi bedah yang

dilakukan (Asyari et al., 2017).

4. Pendarahan laring

Perdarahan untuk laring terdiri dari dua cabang, yaitu arteri tiroid

superior dan arteri tiroid inferior. Arteri tiroid superior merupakan cabang

arteri karotis eksterna. Arteri tiroid inferior merupakan cabang dari trunkus

tiroservikal dari arteri subklavia. Aliran balik vena laring dibawa oleh

vena tiroid superior dan media, yang bergabung dengan vena jugularis

interna dan vena tiroid inferior (Spector, 1994; Dhingra, 2007; Sasaki,

Kim & LeVay, 2009). 2.1.7

5. Persarafan laring

Laring dipersarafi oleh nervus laringeal rekuren dan superior yang

merupakan cabang nervus vagus. Nervus laringeal superior melewati arteri

karotis interna dan eksterna membawa inervasi sensori dan motorik ke

laring. Sensasi dari vestibulum dan ventrikel laring, di atas pita suara asli

dibawa oleh laringeus internal cabang dari nervus vagus, dan sensasi di

bawah pita suara asli dibawa oleh nervus rekuren laringeus cabang dari

nervus vagus. Inervasi motorik semua otot laring dibawa oleh nervus

rekuren laringeus cabang nervus vagus, kecuali m. krikotiroid yang

diinervasi oleh laringeus eksternal (Lee,2003; Dhingra, 2007).

20
Gambar 2.5 Inervasi Laring (Probst, Grover & Iro, 2010).

B. Fisiologi

Secara fisiologi laring mempunyai tiga fungsi utama, sebagai respirasi,

fonasi dan proteksi jalan nafas (Cohen, 2006).

1. Respirasi

Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi, yang

menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif.

Fungsi laring sebagai respirasi menyebabkan perubahan tekanan intratorakal.

Bila laring menutup akan meningkatkan tekanan intratorakal (Cohen, 2006;

Sulica, 2014).

Muskulus krikoaritenoid posterior merupakan satu-satunya otot abduktor

pada vocal fold yang dapat menghindari tekanan negatif pada intra luminal

dengan cara kontraksi diafragma (inspirasi). Muskulus krikoaritenoid posterior

juga mampu bekerja sebagai reseptor dari tekanan udara, temperatur,

kelembaban dan konsentrasi co2 (Cohen, 2006; Sulica, 2014).

Tekanan intratorakal menjadi negatif pada saat inspirasi dapat

meningkatkan curah jantung. Hal ini menyebabkan pengosongan vaskular

21
intratorakal lebih efektif. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam

traktus trakeobronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi dalam tubuh

(Cohen, 2006; Hermani dan Hutauruk, 2012).

2. Fonasi

Laring berada diatas dari trakeobronkial dan paru-paru. Dimana pada

prinsipnya berfungsi sebagai sumber dari fonasi dan udara. Fonasi dihasilkan

dari interaksi antara udara dan pita suara yang berasal dari teori

myoelasticaerodynamic (Sulica, 2014; Woodson, 2014).

Siklus glotis yang terakumulasi dari tekanan udara terhadap dinding

subglotis akan menyebabkan pita suara tertutup. Pada tekanan tertentu, udara

mulai terdorong ke bagian bawah pita suara. Penutupan dari pita suara

memiliki dimensi vertikal, dengan naiknya pita suara dari inferior ke superior.

Udara yang lewat akan menyebabkan kontriksi dari pita suara, dan

menyebabkan lumen supraglotik melebar (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica,

2014). Udara di glotis akan menekan pita suara lateral yang akan kembali ke

garis tengah. Dipengaruhi oleh penurunan tekanan intraluminal untuk menutup

tepi dari glotis. Karakteristik siklus glotis tergantung pada elastisitas penutupan

pita suara dan aktivitas otot-otot intrinsik laring serta tekanan udara (Sasaki,

Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014).

Getaran pita suara dari siklus glotik akan merubah tekanan udara yang

konstan menjadi tekanan yang teratur, yang di kenal sebagai suara. Selama

fonasi, pita suara bergetar menimbulkan tidak hanya satu nada melainkan

beberapa nada (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014).

22
Suara merupakan suatu gelombang yang terbentuk dari amplitudo, frekuensi

dan morfologi gelombang, yang masing-masing berhubungan dengan kerasnya

suara, nada dan kualitas suara. Hal ini akan merubah siklus glotis (tekanan

udara) atau myoelastic contribution (anatomi serta kekakuan) pada pita suara

(Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica, 2014; Woodson, 2014).

Amplitudo dari gelombang suara dianggap sebagai intensitas suara. Kuatnya

suara akan meningkatkan tekanan udara di subglotik. Perubahan elastisitas

pada pita suara terjadi untuk mengimbangi peningkatan tekanan yang

berlebihan (Sulica, 2014; Woodson, 2014).

Dalam keadaan normal, meningkatnya tekanan dari pita suara dengan

kontraksi otot (terutama tiroaritenoid dan krikotiroid) meningkatkan ketahanan

glotis, dan mengembalikan keseimbangan untuk mempertahankan siklus glottis

(Sulica, 2014; Woodson, 2014).

Tekanan dari pita suara akan mempengaruhi nada. Mekanisme untuk

mengontrol nada melibatkan interaksi antara krikoaritenoid, muskulus

tiroaritenoid dan tekanan udara. Kontraksi dari muskulus krikotiroid akan

menyebabkan pita suara memanjang, meningkatkan tekanan, dan

meningkatkan frekuensi. Sebaliknya, kontraksi dari tiroaritenoid memendek

dari pita suara, menurunkan tekanan, dan mengurangi frekuensi. Karena dalam

fonasi yang kuat pada frekuensi rendah, tidak hanya mukosa tetapi juga otot

vokalis ikut terlibat dalam getaran. Hasilnya kontraksi meningkatkan tekanan

dan frekuensi (Sulica, 2014; Woodson, 2014).

Nada dan kekuatan suara berhubungan dengan aerodinamik dan myoelastic

phenomena. Tekanan udara yang lebih besar cenderung meningkatkan

23
peregangan pita suara, dengan mengurangi massa dan meningkatkan tekanan

sehingga menghasilkan frekuensi tinggi (Sasaki, Kim & LeVay, 2009; Sulica,

2014).

Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila plika

vokalis adduksi, maka m. krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke

bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan

m. krikotiroid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke

belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan efektif untuk berkontraksi.

Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke

depan sehingga plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada

(Hermani & Hutauruk, 2012; Woodson, 2014).

3. Proteksi

Fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas adalah mencegah terjadinya

aspirasi makanan atau minuman ke dalam saluran nafas/paru pada saat

menelan. Penutupan laring sangat mirip dengan mekanisme kerja suatu

sfingter, dimana pita suara dan pita suara palsu, kartilago aritenoid dan lipatan

ariepiglotika saling merapat dan bersatu. Epiglotis bekerja mendorong dan

mengarahkan makanan menjauhi laring tetapi sebaliknya menuju sinus

piriformis lalu menuju muara esofagus. Pada saat otot faring berkontraksi

mendorong bolus kearah inferior, maka otot krikofaringeal akan relaksasi

sehingga memudahkan bolus mencapai esofagus (Cohen, 2006; Sulica, 2014).

Fungsi laring sebagai proteksi adalah mencegah makanan dan benda asing

masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis

secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena

24
pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot intrinsik laring. Dalam hal ini

kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m. tiroaritenoid dan m.

aritenoid. Selanjutnya m. ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter (Sasaki, Kim

& LeVay, 2009; Hermani & Hutauruk, 2012).

C. Definisi

Disfonia adalah istilah umum yang d igunakan untuk menyebut setiap

gangguan suara baik organik maupun fungsional akibat kelainan organ-organ

fonasi, terutama laring (Soepardi, 2017). Menurut Reiter dkk (2015), disfonia

adalah perubahan kualitas suara pada nada maupun intensitas bisa terjadi akibat

gangguan fungsional atau organik, kelainan sistemik atau lokal. Pada disfonia

fungsional tidak ditemukan kelainan organik, disfonia ini terjadi akibat

abnormalitas tonus otot pita suara sehingga menimbulkan gangguan dan

ireguler osilasi.

Karsinoma laring juga dapat dikenali sebagai kanker laring. Karsinoma

laring adalah keganasan yang terdapat pada pita suara, kotak suara atau daerah

lain yang terdapat pada tenggorokan. Kebanyakan karsinoma laring, asal-

usulnya dari sel skuamosa yang membentuk mayoritas epital laring. Kanker

laring dapat berproliferasi dengan lanjutan lansung ke struktur yang

berdekatan, dengan cara metastasis ke kelenjar getah bening daerah leher rahim

atau yang lebih jauh melewati aliran darah. Karsinoma sel skuamosa

merupakan keganasan laring yang paling sering terjadi 94 persen (ACS, 2016).

Tumor glotis laring adalah tumor yang mengenai plika vokalis, komisura

anterior dan komisura posterior. Batas inferiornya adalah ketebalan mukosa

antara 5 – 10 mm dibawah tepi bebas plika vokalis, 10 mm merupakan batas

25
inferior otot- otot intrinsic pita suara. Batas atasnya adalah batas lateral

ventrikel, sedangkan dasar ventrikel sendiri termasuk dalam daerah glottis

(Calhoun, 2001).

D. Epidemiologi

Penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Siswanto di bagian endoskopi

Bagian THT-KL FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 1994

didapatkan tiga penyakit terbanyak yang menyebabkan suara serak pada orang

dewasa adalah parese adduktor korda vokalis, vokal nodul dan tumor laring.

Sedangkan tiga penyakit terbanyak penyebab suara serak pada anak berturut-

turut adalah papiloma laring, vokal nodul, dan laringitis akut. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Haryuna di Medan, ditemukan pada 107 pasien dengan

difonia didapatkan 64,5% merupakan lelaki, dengan umur terbanyak pada

kelompok umur diatas 60 tahun sebanyak 29,9%, dan dengan penyebab

terbanyak merupakan keganasan (19,6%) (Haryuna, 2009).

Tumor ganas laring hingga saat ini masih menjadi masalah di bidang Ilmu

Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala dan Leher. Tumor ganas laring

merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di seluruh dunia. Pada

tahun 2011 diperkirakan 12.740 kasus baru tumor ganas laring di Amerika

Serikat dan diperkirakan 3560 orang meninggal (Irfandy dan Rahman, 2015).

Laring merupakan lokasi tersering terjadinya kanker pada saluran

aerodigestif bagian atas. Dari penelitian diluar negeri didapatkan kanker kepala

leher merupakan 5% dari seluruh keganasan pada tubuh manusia dan kejadian

tumor ganas laring sekitar 1-2%. Sedangkan penelitian di Indonesia menduduki

26
urutan ke tiga atau ke empat dengan insidensi sekitar 6-13% dari keganasan di

bidang THT-KL (Sarbini, 2013).

Karsinoma laring banyak mengenai laki – laki dibandingkan dengan

perempuan (5:1). Dimana terbanyak pada kelompok perokok bila dibandingkan

dengan yang bukan perokok. Seiring berkembangnya waktu kebiasaan meokok

tidak hanya dimiliki oleh laki – laki saja, tetapi banyak juga wanita memiliki

kebiasaan ini sehingga insinendinya mengalami peningkatan. Karsinoma laring

tersering pada dekade usia 60 – 70 tahun dan jarang pada usia dibawah 30

tahun (Sarbini, 2013).

Kasus tumor ganas laring di RS. M. Djamil Padang periode Januari 2011-

Desember 2012 tercatat 13 kasus baru dan ditatalaksana dengan laringektomi

total sebanyak 6 kasus. Kejadian tumor ganas laring berhubungan dengan

kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol. Pada individu yang mengkonsumsi

keduanya, faktor resikonya menjadi sinergi dan kemungkinan terjadi kanker

lebih tinggi (Irfandy dan Rahman, 2015).

E. Faktor Etiologi

Disfonia organik timbul apabila adanya kelainan organik pita suara,

misalnya laringitis akut atau kronis, tumor jinak (polip pita suara, nodul,

Rinke’s edema, kista, dan papiloma), trauma laring, presbifonia, dan tumor

ganas (Asyari et al, 2017).

Sampai saat ini etiologi dari tumor ganas laring belum banyak diketahui

secara pasti, namun dari berbagai penelitian didapatkan kebiasaan merokok dan

minum alkohol mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya tumor ganas laring.

27
Berikut di bawah ini akan diuraikan etiologi dari tumor ganas laring: (Calhoun,

2001; Sarbini, 2013).

1. Merokok

Merokok tembakau merupakan factor resiko yang paling sering

untuk terjadinya tumor laring, makin banyak merokok resiko makin

besar dan di daerah tempat merokok 5 sampai 35 kali lebih banyak dari

daerah bukan tempat merokok. Ethyl nitrit didapatkan sebagai bahan

karsinogen pada asap rokok. Merokok lebih dari 40 batang sigaret

perhari mortalitas 15/100.000 sedangkan pada yang bukan perokok

0,6/100.000. Insiden karsinoma laring dapat diturunkan dengan

berhenti merokok dan menghindar dari asap rokok.

Berat ringannya perokok dibagi atas perokok ringan bila merokok

20 batang rokok sigaret perhari, perokok sedang 20 – 39 batang rokok

dan 40 batang rokok atau lebih perhari lebih dari 20 tahun.

Scanlon FF mendapatkan perokok sigaret non filter paling sering

sebagai penyebab keganasan. Pemaparan asap tembakau terutama

sigaret menyebabkan metaplasia dan perubahan kearah keganasan.

Tembakau dan alcohol dapat merusak permukaan mukosa laring

dimana sel pada lapisan ini harus tumbuh cepat untuk mengadakan

perbaikan kerusakan sel. Kedua factor resiko tersebut merusak DNA

yang menimbulkan perubahan sel menjadi tumor.

Perokok pasif atau sekunder adalah orang sekitar orang yang

sedang merokok dimana sama – sama menerima iritasi dan toxin

seperti karbon monosida, nikotin, hydrogen sianida, dan ammonia

28
sama dengan karsinogen seperti benzene,nitrosamine, vinil khlorida,

arsenic dan hidrokarbon. Selama merokok nicotine dengan cepat

diabsorbsi ke dalam darah menuju ke otak menyebabkan efek adiktif.

2. Alkohol

Alkohol dapat menyebabkan iritasi pada mukosa, kerusakan hepar,

imunokompetensi menurun, sebagai kofaktor perubahan nitrit menjadi

ntrosamine dan mempermudah absorbs karsinogen. Pemakaian

kombinasi dengan tembakau akan lebih meningkatkan resiko

terjadinya karsinoma laring. Efek tembakau dan alcohol saling

sinergis. Menurut Cauvi JM mendapatkan pemakai tembakau dan

alcohol paa penderita karsinoma squamosa supraglotis lebih dari 90%.

3. Radiasi

Radiasi telah lama diketahui sebagai karsinogenik. Adanya tumor

yang diinduksi radiasi (radiation-induced tumor) pernah dilaporkan

yaitu sebanyak 2 kasus karsinoma squamosa. Riwayat terpapar radiasi

akan meningkatkan terjadinya karsinoma laring pada penderita

tirotoksikosis dan limfadenopati servik benigna setelah mendapat

radioterapi dan terjadinya peningkatan kejadian 25 – 30 tahun setelah

radiasi.

4. Pekerjaan

Faktor pekerjaan sebagai penyebab terjadinya karsinoma laring

dipengaruhi dengan adanya konsumsi rokok dan kebiasaan minum

alcohol. Beberapa peneliti mendapatkan pada sekelompok orang yang

29
pekerjaannya berhubungan dengan debu kayu, asap cat, nikel terdapat

peningkatan karsinoma laring daripada kelompok lainnya.

5. Faktor – faktor lain

Beberapa peneliti mendapatkan infeksi papiloma virus, refluks

gastroesofageal dan keadaan imunosupresi berpengaruh untuk

terjadinya karsinoma laring.

Infeksi virus Human Papilloma yang awalnya pertumbuhan benign

dapat menjadi maligna pada waktu kemudian. Penderita infeksi virus

25% dapat menjadi karsinoma laring, dimana virus menginvasi sel

hidup untuk reproduksi dengan menempel pada reseptor permukaan sel

target. Setelah masuk sel terjadi integrasi material genetic dengan host

yang dengan mekanisme tertentu dapat menjadi kanker dan secara

tidak langsung hal ini terjadi melalui proses imunodefisiensi.

F. Patofisiologi

Paparan terdahap karsinogen berulang-ulang akan menyebabkan struktur

DNA sel normal akan terganggu sehingga terjadi diferensiasi dan proliferasi

abnormal. Adanya mutasi serta perubahan pada fungsi dan karakteristik sel

berakibat padaburuknya sistem perbaikan sel dan terjadilah apoptosis serta

kematian sel. Pro-onkogen akan terus meningkat sementara tumor supressor

gen menurun, keadaan ini mengakibatkan proliferasi terus-menerus dari sel

anaplastik yang akan mengambil suply oksigen, darah dan nutrien dari sel

normal sehingga penderitaakan mengalami penurunan berat badan. Selain itu

akan terjadi penurunan serta destruksi komponen darah, penurunan trombosit

menyebabkan gangguan perdarahan, penurunan jumlah eritrosit menyebabkan

30
anemia dan penurunan leukosit menyebabkan gangguan status imunologi

pasien. Proliferasi sel kanker yang terus berlanjut hingga membentuk suatu

masa mengakibatkan kompresi pada pembuluh darah sekitar dan saraf sehingga

terjadilah odinofagi, disfagi, dan nyeri pada kartilago tiroid. Massa tersebut

juga mengakibatkan hambatan pada jalan nafas. Iritasi pada nervus laringeus

menyebabkan suara menjadi serak. Jika mutase yang terjadi sangat progresif,

kanker dapat bermetastasis ke jaringan sekitar dan kelenjar getah bening

(Munir, 2007).

Gambar 2.6 Proses penyebaran tumor glotis

Struktur laring (gambar) seperti membran dan tulang rawan memainkan

peran penting dalam penyebaran tumor laring: 1) conus elasticus menghambat

penyebaran tumor ke inferior glotis sehingga penyebaran ke subglotis terjadi

pada stadium lanjut, 2) tumor yang melibatkan komisura anterior biasanya

menyebar ke tulang rawan tiroid karena pada daerah ini lebih tipis di garis

tengah sedangkan daerah lateral lebih tebal, 3) ruang paraglotis mengandung

otot vokalis lebih tipis di ruang krikotiroid lateral sehingga tumor glotis dapat

menyebar ke leher melalui rute ini sehingga tumor ganas glotis dapat

31
terdiagnosis tidak tepat karena mengevaluasi penyebaran ke daerah ini sulit.

Ruang paraglotis terhubung dengan ruang preepiglotis dan tumor glotis

menyebar ke supraglotis melalui rute ini. 4) tumor ganas epiglotis dapat

menyebar langsung ke preepiglotis melalui perlekatan tulang rawan epiglotis

sehingga ruang ini harus benar-benar tereseksi sewaktu laringektomi

supraglotis (Irfandy dan Rahman, 2015).

G. Penegakkan Diagnosis

Evaluasi penilaian suara serak meliputi penilaian faktor anatomi, fisiologis, dan
perilaku yang mempengaruhi produksi vokal secara keseluruhan. Penilaian
dimulai dengan deskripsi dari suara, simtomatologi, dan riwayat medis dan sosial.
Visualisasi laring diperlukan untuk menentukan status dari pita suara. Secara
umum, pemeriksaan laring harus dilakukan setiap kali suara serak berlangsung
lama lebih dari 2 minggu (Feierabend & Malik, 2009). Pada kasus-kasus khusus,
prosedur diagnostik yang lebih canggih dapat diindikasikan.

Kualitas vokal dapat dideskripsikan menggunakan berbagai istilah subjektif


termasuk serak, parau , keras, atau desah.. Namun, tidak ada dari seluruh istilah
ini merupakan diagnostik. Sebaliknya, tingkat keparahan disfonia dapat dinilai
dengan mengamati abnormalitas pada pitch, kenyaringan, atau fluktuasi dalam
kualitas vokal (Lundy& Casiano, 1999)

Anamnesa

Evaluasi pasien dengan disfonia dimulai dengan anamnesa yang cermat.


Anamnesa yang rinci sangat membantu untuk menggambarkan secara spesifik
karakteristik suara dan faktor sosial dan medis yang berkontribusi. Hampir setiap
sistem tubuh dapat menyebabkan keluhan suara; karena itu, anamnesa harus
menyelidiki seluruh bidang. Persepsi pasien mengenai suara serak sebagai
perubahan dalam kualitas suara mungkin sama sekali berbeda dari pemahaman
dokter mengenai gejala tersebut. Minta pasien untuk menggambarkan perubahan
kualitas suara sespesifik mungkin, karena kualitas vokal mungkin menunjukkan
etiologi spesifik (Feierabend & Malik, 2009). Pastikan onset, durasi, dan waktu

32
perubahan suara, serta apakah ada fluktuasi vokal dan kelelahan suara. Gejala akut
lebih mungkin terkait dengan penyalahgunaan vokal, infeksi atau inflamasi, atau
cedera akut.

Tanyakan pasien tentang pola pengunaan suara dan permintaan vokal


dalam pekerjaan dan lingkungan. Pasien dapat menggunakan suara mereka cukup
berbeda di tempat kerja dibandingkan dengan ketika bersosialisasi atau berada di
rumah. Berbicara lebih dari kebisingan latar belakang yang berlangsung dalam
waktu lama, bekerja atau merawat anak-anak muda, bersorak di acara olahraga,
atau bernyanyi tanpa menggunakan teknik yang optimal dapat menyebabkan
gangguan suara hiperfungsional (Lundy& Casiano, 1999)

Menanyakan informasi mengenai segala obat atau zat yang dapat


berkontribusi untuk pengeringan selaput lendir saluran vokal adalah penting. Zat-
zat ini termasuk antihistamin, diuretik, obat psikotropika, tembakau, produk yang
mengandung kafein (kopi, teh, soda, dan cokelat), alkohol, dan dosis tinggi
vitamin C. Selain itu, obat anti-inflamasi nonsteroidal (NSAID) seperti ibuprofen
atau aspirin dapat berkontribusi untuk terjadinya perdarahan pita suara karena
sifat antikoagulan dari agen ini (Lundy& Casiano, 1999)

Semua pasien dengan suara serak yang menetap selama lebih dari dua
minggu yang tidak disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, memerlukan
evaluasi. Anamnesa dapat menghasilkan informasi penting untuk mempersempit
diagnosis banding. Setiap pasien dengan suara serak dan riwayat penggunaan
tembakau, diagnosis pertama yang perlu dipertimbangkan adalah kanker kepala
dan leher, karena suara serak sering menjadi satu-satunya gejala yang
muncul(Feierabend & Malik, 2009).

Tanyakan mengenai gejala lain yang menyertai seperti nyeri, sulit


menelan, batuk atau sesak napas, gejala gastroesophageal reflux, seperti rasa
asam di mulut di pagi hari; penyakit sinonasal yang berkaitan (rhinitis alergi atau
sinusitis kronis). Pasien juga harus ditanya tentang riwayat operasi di kepala dan
leher sebelumnya atau operasi lain yang membutuhkan intubasi(Feierabend &
Malik, 2009).

33
TABEL 2.1 Petunjuk klinis yang menunjukkan penyebab spesifik dari suara serak
Kualitas vokal Kemungkinan penyebab
Arthritis, disfonia spasmodik atau fungsional, masa
Desah
pada pita suara, paralisis pita suara
Ragu-ragu. tercekik Disfonia spasmodik
Parau, serak, teredam,
Parkinson disease
atau sengau
Serak memburuk
Laryngopharyngeal reflux(LPR)
pada pagi hari
Serak memburuk
Myasthenia gravis, penyalahgunaan vokal
pada akhir hari (sore)
Seperti klakson
Sarkoidosis
(Honking)
Hipotiroid, laryngopharyngeal reflux, leukoplakia,
Bernada rendah muscle tension dysphonia, edema Reinke, edema pita
suara, paralisis pita suara
Laryngopharyngeal reflux, muscle tension dysphonia,
Keras (raspy)
lesi pita suara
Scanning speech dan
Multiple sclerosis
disartria
Lemah (volume suara
Paralisis pita suara, Parkinson disease
menurun)
Suara menghilang,
tetapi suara bisikan Conversion aphonia
baik
Tegang, artikulasi
Muscle tension dysphonia
dipaksakan
Laryngopharyngeal reflux, muscle tension dysphonia,
Tegang
disfonia spasmodic
Tebal, suara dalam
Akromegali
dan berbicara lamban
Muscle tension dysphonia, myasthenia gravis,
Kelelahan vokal
Parkinson disease, penyalahgunaan vocal

34
Pemeriksaan Klinik

Pemeriksaan klinik pada pasien dengan disfonia meliputi pemeriksaan


umum (status generalisata) dan pemeriksaan THT (Telinga, Hidung, dan
Tenggorok). Pemeriksaan fisik dilakukan secara teliti dengan perhatian khusus
pada bagian kepala dan leher, dilanjutkan dengan penilaian ketajaman
pendengaran, mukosa saluran napas atas, mobilitas lidah dan fungsi saraf kranial.
Jika kecurigaan klinis tinggi, pasien juga harus diperiksa untuk tanda-tanda
penyakit sistemik seperti hipotiroidisme, atau disfungsi neurologis, seperti tremor,
penyakit Parkinson atau multiple sclerosis (American Cancer Society, 2016).

Pemeriksaan Penunjang

A. Visualisasi laring

Visualisasi laring memungkinkan penilaian pita suara dan melihat apakah


terdapat lesi, atau eritema, atau edema mukosa, serta gerakan abnormal yang
mungkin menunjukkan masalah sistemik yang mendasari.

Laringoskopi tidak langsung (indirek). Visualisasi laring dapat dilakukan


melalui pemeriksaan laringoskopi tidak langsung dengan menggunakan kaca
laring.

Gambar 2.7. Laringoskopi indirek menggunakan kaca laring.

35
Laringoskopi langsung (direk). Apabila diperlukan visualisasi yang lebih
detail, pencahayaan, dan pembesaran, dapat dilakukan laringoskopi langsung
dengan menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau
serat optik (fiberoptic telescope atau nasofaringoskopi fleksibel) atau
mikroskop (mikrolaringoskopi). Pada laringoskopi langsung dapat juga
dilakukan biopsi tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau bila
diperlukan tindakan (manipulasi) bagian tertentu pada laring seperti aritenoid,
plika vokalis, plika ventrikularis, daerah komisura anterior atau subglotik.
Pengunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video (video-
laringoskopi) sehingga akan memberikan visualisasi laring yang lebih jelas
baik dalam keadaan diam (statis) maupun pada saat bergerak (dinamis)( Lundy
&Casiano, 1999)

A A B B
Gambar 2.8 Gambar A menunjukkan laringoskopi direk menggunakan
laringoskop dan teleskop laring kaku (rigid). Gambar B menunjukkan laringoskopi
direk menggunakan nasofaringoskopi fleksibel atau fiber optic.

36
Video-stroboskopi (Strobovideolaryngoscopy). Pita suara biasanya bergetar
selama berbicara, bernyanyi atau bersenandung pada tingkat 80 sampai 400
kali per detik. Getaran ini terlalu cepat untuk dapat dilihat dengan mata
telanjang, karena itu, tidak dapat sepenuhnya dievaluasi dengan laringoskopi
tidak langsung (kaca laring).Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis
akan lebih jelas dengan menggunakan video-stroboskopi dimana gerakan pita
suara dapat diperlambat (slowmotion) sehingga dapat dilihat getaran (vibrasi)
pita suara dan gelombang mukosanya (mucosal wave). Video-stroboskopi
dilakukan dengan menggunakan teleskop yang kaku dengan sudut 700 atau
nasofaringoskopi fleksibel. Video-stroboskopi ini penting terutama dalam
mengevaluasi kasus lesi halus yang mempengaruhi getaran pita suara. Mode
ini memungkinkan untuk penemuan lesi kecil seperti bekas luka pada pita
suara, perdarahan, kista intracordal, atau invasi epitelial pada awal karsinoma
glotis (Lee, 2003).

B. Penilaian Suara dan Aliran Udara


1. Penilaian Suara Objektif
Selain secara anatomis fungsi laring dan pita suara juga dapat
dinilai dengan menganalisa produk yang dihasilkannya yaitu suara.
Analisa suara dapat dilakukan secara perseptual yaitu dengan
mendengarkan suara dan meilai derajat (grade), kekasaran (roughness),
keterengahan (breathyness), kelemahan (astenitas), dan kekakuan
(strain). Penilaian suara secara objektif mendokumentasikan status suara
pada saat evaluasi dan menetapkan dasar untuk perbandingan lebih lanjut
setelah pengobatan. Hasilnya juga dapat dibandingkan dengan data
normatif yang telah ditentukan. Cara sederhana mendokumentasikan
suara adalah melalui rekaman suara. Namun, perekaman (audiotape)
masih bersifat subjektif. Perubahan halus dalam produksi suara sulit
untuk dinilai. Analisis yang lebih canggih meliputi analisis akustik dan
aerodinamis(Lee, 2003).

2. Analisis akustik

37
Analisis akustik memeriksa energi dalam sinyal listrik yang
mewakili suara. Pengukuran spesifik dapat diambil untuk mengukur
keteraturan getaran pita suara. Istilah frekuensi dasar mengacu pada
jumlah getaran pita suara per detik dan berkorelasi dengan persepsi pitch.
Pita suara pria dewasa bergetar antara 100 dan 130 Hz, sedangkan pita
suara perempuan bergetar antara 200 dan 230 Hz. Tingkat nada tinggi
abnormal untuk usia dan jenis kelamin mungkin berhubungan dengan
hiperkontraksi dari otot krikotiroid dan mungkin merupakan disfonia
fungsional atau kompensasi. Rentang pitch dapat diukur dan berkorelasi
dengan fleksibilitas dari otot intrinsik laring. Orang dewasa sehat mampu
menghasilkan rentang tiga oktaf, meskipun biasanya hanya empat sampai
lima nada yang digunakan dalam percakapan umum. Sekarang ini
analisis akustik dilakukan dengan menggunakan program komputer
seperti CSL (Computerized Speech Laboratory), Multyspeech, ISA
(Intelegence Speech Analysis), dan MDVP (Multi Dimensional Voice
Programe). Hasil pemeriksaan ini berupa parameter-parameter akustik
dan spektrogram dari gelombang yang dianalisis, yang kemudian dapat
dibandingkan antara suara yang normal dan yang mengalami gangguan.

3. Analisis aerodinamika
Suara tergantung pada dukungan napas yang konstan, dengan
demikian, bahkan masalah pernapasan halus dapat mengakibatkan
disfungsi suara. Pengukuran aerodinamika berguna dalam mengukur
aliran udara selama respirasi dan fonasi. Skrining fungsi paru dapat
dilakukan untuk menyingkirkan segala masalah yang mendasari pada
paru-paru yang mungkin mencegah kapasitas yang memadai untuk aliran
udara yang teratur selama mengeluarkan suara. Waktu fonasi maksimum
(Maximum Phonation Time - MPT) adalah ukuran jumlah waktu pasien
dapat mempertahankan suara vokal pada satu napas. Orang dewasa sehat
biasanya dapat memperpanjang vokal untuk antara 15 dan 25 detik.
Penurunan nilai MPT biasanya berhubungan dengan penutupan glotis
yang tidak sempurna dan kehilangan udara dan/atau penggunaan yang

38
tidak efisien (yaitu, suatu kelainan) dalam mendukung paru-paru.
Penyanyi, pelari jarak jauh, dan perenang sering mampu mempertahankan
suara yang lebih lama dari 25 detik; namun nilai tersebut masih berada
dalam batas normal dan merupakan penurunan fungsi saat pasien ini hadir
dengan gangguan suara.

4. Penilaian aliran udara glotal (glottal airflow)


Penilaian aliran udara glotal adalah pengukuran sensitif yang
menangkap jumlah udara yang melewati pita suara selama fonasi. Aliran
udara glotal (cc/detik) yang diukur dengan membagi total volume udara
yang melewati pita suara selama fonasi oleh jumlah waktu dalam detik.
Aliran glotal memberikan informasi mengenai fungsi sumber daya dan
efisiensi pita suara dalam mengendalikan aliran udara. Peningkatan aliran
udara glotal biasanya dikaitkan dengan penutupan glotis yang tidak
sempurna. Pasien biasanya datang dengan suara desah atau bisikan.
Peningkatan aliran udara glotal sering terlihat pada pasien dengan
kelumpuhan pita suara unilateral. Penurunan aliran udara glotal lebih
biasanya ditemukan pada pasien denganhiperaduksi pita suara (disfonia
spasmodik).
C. Pemeriksaan penunjang lainnya

Ketika imobilitas pita suara terdeteksi, diferensial diagnosis termasuk


cedera denervasi atau fiksasi krikoaritenoid. Ketika dilakukan dalam 6
bulan dari cedera, elektromiografi (EMG) mungkin dapat menjelaskan
etiologi: cedera denervasi biasanya menunjukkan tanda-tanda denervasi
pada EMG, dan fiksasi krikoaritenoid menunjukkan aktivitas listrik
normal. Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan meliputi
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, mikrobiologi dan
patologi anatomi

39
D. DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Lesi Laring Jinak (Benign Laryngeal Lesions) (American Cancer


Society, 2016)
a. Sering
- Laryngitis
Laringitis (akut atau kronis) mungkin etiologi yang paling umum
dari suara serak. laringitis akut biasanya virus dan bersifat self-
limiting. Tatalaksananya ialah dengan peningkatan hidrasi dan
konservasi suara. Ketika gejala laringitis disertai dengan infeksi
saluran pernapasan bagian atas, dekongestan sangat membantu. Nilai
antihistamin terbatas karena mereka efek pengeringan, yang
kontraproduktif dengan yang diperlukan pelumasan laring. Laringitis
kronis lebih mungkin berhubungan dengan hyperfungsi kronis dan
paparan iritasi. Dalam beberapa kasus, radang tenggorokan bisa
menjadi prekursor untuk pengembangan nodul pita suara.

- Nodul dan polyp pita suara (Vocal cord nodules and polyps)
Lesi jinak yang paling umum dijumpai pada orang dewasa adalah
polip. Nodul, polip, dan kista intracordal biasanya terkait dengan
hiperfungsi vokal dan paparan iritan. Lesi ini mengganggu penutupan
glottic dan memungkinkan udara melarikan diri selama fonasi
sehingga menghasilkan suara serak. Nodul dan polip terbentuk di
persimpangan dari dua pertiga anterior vibrating edge pita suara, yang
merupakan titik kekuatan maksimal dengan menyuarakan. Granuloma
prosesus vokalis (Vocal process granuloma/intubation granuloma)
Granuloma dan ulkus kontak ditemukan di bagian posterior dari
laring sekitar proses vokal dan arytenoids. Granuloma dan ulkus
kontak sering berkaitan dengan penyakit refluks laryngotracheal dan
berkaitan dengan pembersihan tenggorokan kronis dan kebiasaan nada
rendah. Baik granuloma dan ulkus kontak mengakibatkan stress
berlebih pada bagian tulang rawan pita suara, sehingga terjadi ulserasi
traumatis dan pembentukan granuloma sekunder.

40
- Edema Reinke (Reinke Edema)
Meskipun mekanisme pasti edema Reinke belum teridentifikasi,
ada hubungan yang sangat kuat antara merokok dengan perkembangan
edema Reinke. Fitur yang membedakan dari kondisi ini adalah sifat
berdifusi pembengkakan, yang merupakan akumulasi cairan di lapisan
superfisial lamina propria dari lipatan vokal. Pasien hadir dengan
pembengkakan difus dari pita suara, yang biasanya bilateral. Pita
merasa berlumpur ketika dimanipulasi selama microlaryngoscopy, dan
pembengkakan dapat digulung di bawah instrumen.

- Kista Intrakordal
Kista Intracordal dapat berupa kista retensi lendir atau kista
sederhana yang mengandung keratin epidermoid. Laringoskopi
menunjukkan kista unilateral biasanya dari sepertiga tengah pita suara
dengan luas sesuai hiperkeratosis pada pita suara yang berlawanan.
Stroboscopy menunjukkan hilangnya gelombang mukosa di lokasi
lesi.

- Kista Sakular
Kista sakular laring muncul sebagai divertikulum dari ujung
anterior ventrikel laring. Ini memanjang ke atas antara lipat vokal
palsu dan permukaan bagian dalam kartilago tiroid dan mengandung
kelenjar mukus. Sebuah kista sakular terjadi sebagai akibat dari
obstruksi kelenjar ini, yang mungkin sekunder dari sebuah anomali
kongenital atau didapat.
Pemeriksaan menunjukkan perluasan lipatan aryepiglottic oleh
kista di dalamnya, yang dapat meluas ke leher melalui membran
thyrohyoid. CT-Scan menunjukkan kista memperluas ke supraglottis,
dan tidak adanya udara di dalam lesi membedakannya dari suatu
laryngocele. Jaringan mesodermal mungkin tidak terlihat di dinding
kista sakular kongenital dan dapat mempengaruhi pendekatan bedah.

41
- Laryngocele
Laryngocele adalah ekspansi abnormal dari ventrikel laring, yang
dapat dibatasi oleh kartilago tiroid (internal laryngocele) atau meluas
melalui membran krikotiroid ke leher (eksternal laryngocele).
Perkembangan laryngocele sering dikaitkan dengan aktivitas yang
menyebabkan peningkatan tekanan intralaryngeal –secara klasik
adalah bermain terompet-tetapi dapat terjadi sekunder diakibatkan
keganasan dalam ventrikel laring, yang harus disingkirkan.

- Papilomatosis
Recurrent Respiratory Papilomatosis (RRP) ditandai dengan
perkembangan lesi berkutil eksofitik, terutama dalam laring, tetapi
yang dapat ditemukan di hidung, faring, dan trakea. Kondisi ini jinak
tetapi terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ada
distribusi bimodal; RRP onset remaha umumnya didiagnosis antara
usia 2 dan 4 tahun dan lebih agresif dari onset RRP dewasa, yang
puncak pada dekade ketiga.
RRP disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV), subtipe 6
dan 11, dan kurang sering oleh subtipe 16 dan 18. HPV 6 dan 11 juga
merupakan penyebab paling umum dari papilomatosis genital, dan
transmisi dari saluran genital diyakini menjadi penyebab utama dari
RRP. Transmisi vertikal virus dari ibu ke anak terjadi baik sebagai
infeksi rahim ascending atau melalui kontak langsung di jalan lahir.
Namun, risiko seorang anak berkembang RRP setelah melahirkan per
vaginam bersamaan kehadiran acuminatum kondiloma diperkirakan
hanya 1 dari 400. Faktor yang menimbulkan kerentanan masih berada
dalam penyelidikan.

b. Jarang5
- Kondroma

42
Kondroma adalah tumor jinak dari kartilago laring sering
mempengaruhi laki-laki di dekade keempat dekade keenam. Pasien
hadir dengan disfonia perlahan progresif, dispnea, dan disfagia, karena
itu, pertumbuhan ini bisa meniru neoplasma jinak ganas dalam
presentasi mereka. Kondroma biasanya muncul sebagai firm lesion
yang halus dari laring subglottic atau salah satu kartilago lainnya.
Kadang-kadang, mereka hadir sebagai benjolan di leher. CT scan
berguna dalam menggambarkan tingkat neoplasma sedangkan laser
CO2 berguna dalam melakukan biopsi. Namun, pengobatan definitif
bergantung pada bedah eksisi tumor total melalui pendekatan terbuka.
Eksisi endoskopik dipergunakan untuk tumor berukuran kecil.

- Neoplasma Neuronal : Schwanomma dan Neurofibroma


Neoplasma Neurogenik adalah tumor langka dan biasanya entah
schwannomas atau Neurofibroma. Ini telah dikonfirmasi bahwa
neoplasma sel granular juga berasal dari selubung saraf. Schwannoma
berasal dari sel Schwann yang menutupi serat saraf di luar sistem saraf
pusat. Lesi ini soliter, neoplasma dibungkus kapsul yang jinak dan,
meskipun mereka dapat tumbuh lambat mengalami perubahan
sarkomatous. Neurofibroma adalah proliferasi jinak serabut saraf dan
sering multipel (misalnya, dalam penyakit von Recklinghausen).
Berbeda dengan schwannomas, mereka tidak dibungkus kapsul.
Karena neoplasma neurogenik yang tumbuh dengan lambat, pasien
datang dengan perubahan suara, kliring tenggorokan, dan sensasi
benjolan di tenggorokan. Batuk dan gangguan pernapasan akan
mengikuti.
Neoplasma neurogenik terletak di submukosa dan seringkali
berada di lipatan aryepiglottic. CT scan secara akurat dapat
menentukan luasnya lesi sebelum perawatan. Tumor kecil mungkin
direseksi dengan endoskopi, tetapi tumor yang lebih besar
memerlukan pendekatan bedah terbuka.

43
- Amyloidosis
Laring adalah situs yang paling umum di saluran pernapasan untuk
deposisi amiloid. Presentasi pasien ditandai oleh adanya massa
submukosa, yang mungkin timbul di mana saja di laring dan dapat
mengganggu mobilitas pita suara. Diagnosis dikonfirmasi oleh
kehadiran birefringence "hijau apel" dilihat dengan mikroskop
polarisasi setelah pewarnaan dengan pewarna merah Kongo.
Pengobatan melibatkan reseksi lokal, biasanya dilakukan endoskopi.
Amiloid laring biasanya primer dan lokal, tetapi telah dikaitkan
dengan keterlibatan jantung dan evaluasi sistemik menyeluruh sangat
penting.

- Sarcoidosis
Satu sampai lima persen pasien dengan sarkoidosis hadir dengan
lesi dalam laring. Epiglottis adalah situs pada organ fonasi yang paling
sering terlibat. Umumnya granuloma kecil dan non-caseating yang
nampak secara histologis, tapi kondisi granulomatosa lain seperti
infeksi jamur atau mikobakteri harus disingkirkan. Remisi spontan
terjadi, sehingga pengobatan umumnya simtomatik, reseksi
endoskopik dan steroid sistemik hanya digunakan dalam kasus
khusus.

- Granulomatosis Wegener (Wegener’s Granulomatosis)


Wegener granulomatosis adalah penyakit autoimun multisistemik
yang mungkin melibatkan granulomata nekrotik pada saluran
pernapasan, vaskulitis luas, dan glomerulonefritis. Penyakit fokal
mungkin timbul pada seluruh pohon laryngotracheobronchial, tetapi
sangat terkait dengan wilayah subglottic. Presentasi biasanya dengan
gejala obstruktif, meskipun disfonia mungkin hadir. Penyakit sistemik
diatasi dengan agen imunosupresif. Penyakit lokal tanpa keterlibatan
sistemik secara optimal dikelola dengan pengobatan lokal, termasuk
kortikosteroid intralesi.

44
a. Lesi Laring Ganas (Malignant Laryngeal Lesions)5

- Karsinoma Sel Skuamosa (KSS)


Setiap tahun, 11.000 kasus baru kanker laring didiagnosis di
Amerika Serikat (1% dari diagnosa kanker baru), dan sekitar sepertiga
akan meninggal karenanya. Rasio laki-laki dibandingkan perempuan
untuk kanker laring adalah 4:1, namun persentase relatif wanita yang
menderita kanker laring telah meningkat dalam beberapa waktu
terakhir. Kanker laring paling umum ditemukan pada dekade keenam
dan ketujuh dalam kehidupan dan lebih umum di antara kelompok
sosial ekonomi rendah, yang sering mengalami keterlambatan
diagnosis. Lebih dari 90% kanker laring adalah karsinoma sel skuamosa
(KSS) dan secara langsung terkait dengan tembakau dan penggunaan
alkohol yang berlebihan. Karena sifat kompleks dan beragam penyakit
ini, rencana perawatan yang terbaik disampaikan melalui format papan
tumor multidisiplin.
Jika lesi berasal dari pita suara, suara serak persisten adalah tanda
paling awal. Kadang-kadang, pasien datang dengan dispnea, stridor,
disfagia, odinofagia, hemoptisis, penurunan berat badan disebabkan
oleh nutrisi yang buruk, dan halitosis disebabkan oleh nekrosis tumor,
yang menandakan penyakit sudah berada pada tahap lanjut. Pasien juga
mungkin datang dengan massa di leher akibat metastasis ke kelenjar
getah bening regional. Temuan laringoskopik konsisten dengan
gambaran tumor berbentuk jamur yang rapuh dengan tepi yang
menumpuk dan penampilan granular dengan beberapa daerah nekrosis
pusat dan / atau daerah hiperemia (erythroplasia) atau hiperkeratosis
(leukoplakia). Trakeostomi darurat kadang-kadang diperlukan jika
tumor cukup besar untuk menyebabkan obstruksi saluran napas atas.
Pada tahap awal KSS dapat diobati dengan terapi radiasi atau laser
cordectomy dengan persentase tingkat kesembuhan lebih dari 90%.
Pasien dengan penyakit yang lebih lanjut mungkin menjadi kandidat

45
untuk dikombinasikan kemoterapi / radiasi terapi (protokol konservasi
laring) dan / atau laryngectomy parsial atau total.

- Keganasan lain pada laring


Dapat berupa karsinoma kelenjar liur (salivary gland carcinoma),
sarkoma, dan neoplasma lain (metastasis, invasi keganasan tiroid, tumor
karsinoid, dan limfoma) yang hadir dalam insidens yang lebih rendah
dibandingkan KSS.

b. Paralisis Pita Suara (Vocal Cord Paralysis)

Dalam kasus paralisis pita suara unilateral, ketiadaan gerak pada salah satu
pita suara dapat diamati pada pemeriksaan. Tergantung pada posisinya,
penutupan glotis yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya udara.
Pasien dengan paralisis pita suara unilateral paling sering mengeluhkan
suara mendesah, kualitas vokal serak dengan volume menurun dan
kelelahan jika berbicara dalam waktu lama. Perlindungan jalan napas saat
menelan merupakan proses yang melibatkan lipat banyak lapis epiglotis,
gerakan anterior dan superior dari seluruh laring, kontak antara kartilago
arytenoid dan epiglotis, penutupan lipat palsu, dan penutupan lipat benar
vokal. Penutupan glotis yang tidak lengkap yang dapat menyebabkan
aspirasi cairan. Pasien kadang-kadang batuk ketika minum cairan karena
kesulitan ini melindungi jalan napas. Etiologi yang paling umum dari
paralisis pita suara unilateral adalah iatrogenik, yaitu operasi toraks, kepala-
leher, dan basis kranii dimana di saraf laring mengalami kompresi,
regangan, ataupun terpaksan dikorbankan. Pada beberapa kasus tidak
ditemukan penyebab khusus (idiopatik) (Lundy &Casiano, 1999)
Paralisis pita suara bilateral dapat menyebabkan fiksasi lipat vokal dalam
abduksi atau posisi adduksi. Paralisis pita suara bilateral yang posisinya
terlateralisasi menghasilkan kualitas vokal yang terdengar sangat mendesah
dan menyebabkan angka aspirasi yang sangat tinggi. Paralisis pita suara
bilateral dalam posisi median menimbulkan bahaya obstruksi jalan nafas

46
yang perlu ditangani segera, pada kasus ini suara pasien terdengar normal.
Etiologi paralisis pita suara bilateral termasuk penyakit neurologis, trauma,
dan intubasi. Membedakan antara kelumpuhan sebenarnya dan imobilitas
disebabkan oleh dislokasi arytenoid atau proses lain yang mengganggu
mobilitas sendi adalah penting. Laringoskopi direk, palpasi sendi, dan
pemeriksaan EMG berguna selama pengkajian. Pasien dengan onset baru
dari paralisis pita suara bilateral perlu diperiksa dengan CT-Scan untuk
menyingkirkan lesi neoplastik sepanjang perjalanan saraf laringeus rekuren
pada sisi ipsilateral. CT dari dasar tengkorak ke mediastinum biasanya
diperlukan (Lundy &Casiano, 1999)

c. Disfonia Spasmodik (Spasmodic Dysphonia)

Disfonia spasmodik. Disfonia spasmodik adalah distonia fokal dimana


spasme pita suara dalam posisi aduksi selama fonasi. Kualitas vokal yang
dihasilkan adalah karakteristik tegang dan seolah-olah dicekik. Pasien
tampak seperti sedang mencoba untuk berbicara sementara sedang tersedak.
Laring biasanya normal pada pemeriksaan, meskipun hiperaduksi dari
lipatan vokal sejati dan struktur supralaryngeal dapat dilihat (Wareing &
Obholzer, 2008)
Kadang-kadang, pasien mungkin juga hadir dengan distonia yang
lebih umum dalam kelompok otot yang lain dari mulut, wajah, dan / atau
leher. Penyakit ini pernah dianggap gangguan psikogenik, namun kini
dianggap sebagai gangguan suara neurologis, meskipun dapat diperburuk
oleh stres. Disfonia spasmodik paling sering menyerang perempuan di pada
dekade keempat dan kelima dari kehidupan. Belum ada pengobatan untuk
penyembuhan total sampai saat ini. Injeksi toksin botulinum ke dalam otot
thyroarytenoid mengurangi gejala secara temporer dengan menyebabkan
chemodenervation sementara dan melemahnya resultan dari vokal lipat
adduction.12 Hasil -13 biasanya berlangsung rata-rata 4 bulan, dan karena
itu pengobatan harus diulang secara berkala (Wareing & Obholzer, 2008)

47
d. Disfonia Fungsional (Functional Dysphonia)

Dalam gangguan suara fungsional, kelainan suara pasien tidak sesuai


dengan pengamatan laring. Dalam kebanyakan kasus, pita suara dan
gerakan pita suara mereka normal meskipun terdapat berbagai tingkat
disfonia. Gangguan fungsional dapat disebabkan faktor psikogenik atau
teknis. Gangguan konversi mempengaruhi gangguan bicara dan suara
mungkin termasuk aphonia, suara serak, hembusan nafas berat, nada terlalu
tinggi, prosodi yang abnormal, bisu, batuk kebiasaan, dan paradoks gerakan
pita suara. Pemeriksaan laring menunjukan gambaran normal. Bukti terkuat
untuk disfonia fungsional adalah reversibilitas gejala psikologis dimana
tiba-tiba disfonia menghilang dan / atau berulang tanpa perubahan status
medis pasien. Selama evaluasi, pasien-pasien ini sering diamati melakukan
tugas non-fonasi seperti membersihkan tenggorokan dengan kualitas vokal
yang relatif normal meskipun aphonic atau sangat dysphonic. Dalam kasus
ini, pasien biasanya menekan kebutuhan psikologis yang mendasari, dan
keuntungan sekunder sering dijumpai (Wareing & Obholzer, 2008)

e. Trauma Laring (Laryngeal Trauma)5

Laring memiliki tiga fungsi penting: perlindungan jalan nafas, pengaturan


pernapasan, dan fonasi. Cedera pada laring yang dihasilkan dari trauma
akan sangat membahayakan. Untungnya, trauma laring jarang terjadi yaitu
hanya dalam persentase kecil dari korban trauma. Standar protokol telah
dikembangkan untuk membantu memandu evaluasi yang akurat dan
identifikasi cedera yang memerlukan intervensi operasi. Diagnosis dini dan
pengobatan sangat penting untuk mencegah konsekuensi yang mengerikan,
termasuk kematian (Wareing & Obholzer, 2008)

Trauma laring dapat disebabkan cedera eksternal, cedera penetrasi,


dan intubasi. Tubuh mempunyai mekanisme refleks untuk melindungi
saluran pernafasan, yaitu refleks menundukan kepala. Selain itu juga
terdapat otot-otot leher, sternum, dan mandibula sehingga relatif sedikit

48
daerah saluran nafas yang tidak terlindungi. Cedera eksternal dapat terjadi
ketika mekanisme tubuh tidak sanggup melindungi yaitu misalnya pada
kecelakaan kendaraan bermotor dan kegiatan olah raga yang keras. Cedera
penetrasi terjadi pada kasus penembakan dan seringkali melibatkan
kerusakan multistruktur. Cedera intubasi terjadi pada pemakaian ventilator
jangka panjang yang dapat menyebabkan fibrosis dan/atau stenosis laring,
paralisis pita suara, dan pembentukan granulasi (Wareing & Obholzer,
2008)

H. Tatalaksana

Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan

diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi

tersebut. Diagnosis disfonia berupa anamnesis, pemeriksaan klinik, dan

pemeriksaan penunjang. Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene,

terapi suara dan bicara serta tindakan operatif (Hermani & Abdurrahman, 2007)

a. Peranan Terapi Suara

Kebanyakan gangguan suara memiliki etiologi multifaktorial yang

terkait dengan iritasi dari refluks , alergi, merokok, hidrasi yang tidak

memadai, penyalahgunaan vokal,dan / atau vokal kronis yang berfungsi

berlebihan. Nodul pada pita suara jarang disebabkan oleh episode berteriak

; adapun kombinasi paparan iritasi dan penyalahgunaan merupakan

penyebab lebih sering. Rehabilitasi diarahkan untuk membangun

keseluruhan kebersihan vokal dan mendidik pasien tentang konservasi

vokal. Komponen utama dari terapi suara melibatkan tentang edukasi

pasien tentang anatomi dasar dan fisiologi mekanisme produksi vokal.

Pasien harus memahami hubungan antara gangguan suara yang spesifik

49
dan faktor penyebab. Pemahaman ini memfasilitasi kerjasama dengan

regimen terapi.

b. Konservasi Vokal

Pasien dengan gangguan suara yang disebabkan karena fungsi

berlebihan harus dinasehati mengenai metode-metode konservasi vokal.

Mengistirahatkan suaranya , jarang diperlukan kecuali dalam kasus-kasus

perdarahan pita suara akut. Sedangkan istirahat vokal memungkinkan

perbaikan pembengkakan jaringan ,namun perbaikan suara bersifat

sementara dan disfonia dapat kembali sampai perilaku vokal lebih tepat

dipelajari.

Konservasi vokal adalah metode yang lebih praktis dan realistis

mengurangi penggunaan vokal, terutama pada pasien dengan

penyalahgunaan vokal perilaku. Mengurangi sumber yang jelas dari

penyalahgunaan vokal (misalnya, berteriak dan menjerit) hanya bagian

dari program. pembersihan tenggorokan berulang seperti berdeham

adalah iritan plika vokalis dan harus dihindari.

Metode konservasi vokal bersifat individu dengan gaya hidup

spesifik pasien. Berbicara melebihi latar belakang suara harus dihindari

(imsalnya, musik di mobil atau televisi) adalah sumber umum dari

contoh yang tak perlu. Dalam beberapa kasus, suara kerja tidak dapat

dihindari, namun pasien dapat mengambil manfaat dari menggunakan ‘

amplifier’ misalkan pada guru sekolah yang harus mengeluarkan suara

mereka untuk mendapatkan perhatian para siswa muda mereka dapat

menggunakan peluit untuk mencapai tujuan yang sama.

50
c. Terapi Perilaku Suara

Terapi perilaku suara juga dapat diindikasikan untuk

meningkatkan aspek teknis penggunaan suara. Terapi perilaku

mencakup dukungan napas perut, penggunaan level intensitas ‘pitch’

yang tepat, memperbaiki kalimat, dan teknik khusus lainnya.4

Umpan balik sangat penting untuk proses terapi untuk memberikan

pasien kemampuan untuk membedakan antara target perilaku vokal dan

perilaku yang tidak tepat. Auditori, visual, sensorik, dan isyarat

kinestetik semua digunakan untuk meningkatkan kemampuan pasien

untuk memantau suara dalam sesi latihan. Mesin ‘biofeedback’ yang

canggih juga tersedia untuk menyediakan tampilan visual mewakili

sinyal vokal. Tergantung pada dasar etiologi dan keparahan dari

gangguan suara, terapi mungkin memerlukan minggu ke bulan.

2. Intervensi Medis

Indikasi untuk penggunaan antibiotik dan / atau antihista-dekongestan pada

pasien dengan suara serak adalah sangat jarang kecuali pasien dengan rinosinusitis

bersamaan atau laryngotrakeitis bakterial, yang dapat menyebabkan atau

komplikasi suara serak pasien. Kortikosteroid harus digunakan konservatif dan

hanya pada pasien yang memiliki yang penting kepentingan berbicara atau

bernyanyi dan yang tidak memiliki kecenderungan untuk penyalahgunaan vokal

kronis.4

Kortikosteroid dengan mengurangi edema pada tingkat glotik sehingga

mengurangi tingkat suara serak. Oleh karena itu, perlu diagnosis yang sepatutnya

adalah penting dalam rangka untuk mengobati penyebab suara serak pasien dan

51
untuk mengurangi kesempatan berulang suara serak. Kortikosteroid harus

diresepkan untuk tidak lebih dari 4 sampai 5 hari di samping konservasi suara.

Biasanya, pasien diberitahu untuk menggunakan suara mereka hanya untuk

panggilan suara mereka selama periode waktu. Selain itu, pentingnya pemanasan

sebelum pertunjukan harus menekankan kepada penyanyi.

Berikut adalah obat-obatan yang dapat menyebabkan suara serak. Penting

pemantauan pasien untuk tidak menggunakan produk yang dapat menyebabkan

disfonia.

3. Intervensi Bedah

Peran intervensi bedah tergantung pada penyebab suara serak pasien. Pasien

dengan nodul pada plika vokalis atau polip biasanya memiliki riwayat

penyalahgunaan vokal yang harus diatasi. Penghilangan lesi tanpa mengatasi

penyalahgunaan vokal dapat menyebabkan kekambuhan dalam 1 tahun eksisi.

Pada pasien yang membutuhkan intervensi bedah, terapi suara harus dimulai

sebelum operasi untuk meminimalkan penyalahgunaan vokal dantrauma

sekunder pada periode pasca operasi. Teknik phonosurgikal untuk

menghilangkan lesi jinak fokus pada pelestarian mukosa yang normal

sementara menghapus daerah yang terkena saja. Pasien dengan paralisis pita

suara dan disfonia yang tidak membaik selama 3 bulan dan menunjukkan

tanda-tanda prognostic miskin pada mungkin ‘reinnervation’ pada EMG

(yaitu fibrillation potentials or absent activity ) adalah kandidat untuk

medialization laryngoplasty (thyroplasty tipe I). Injeksi pita suara dengan

lemak, kolagen, atau polytef tergantung pada preferensi ahli bedah dan

pengalaman. Namun, injeksi polytef kurang dimanfaatkan oleh sebagian

52
laryngologists karena kesempatan meningkat untuk Granuloman dan distorsi

permanen integritas struktur pita suara.4

4. PENCEGAHAN

Pasien harus dikonseling tentang pentingnya hidrasi yang memadai

dan tindakan pencegahan antirefluks.

Pencegahan Hidrasi

Lubrikasi saluran vokal sangat penting untuk produksi vokal yang

jelas. Oleh karena itu pasien harus menghilangkan produk yang

mengeringkan mukosa termasuk produk berkafein, alkohol, dan

antihistamin. Meskipun pengering atau diuretik obat tidak dapat

dihilangkan, hidrasi meningkat dapat membantu untuk melakukan

serangan balik efek obat itu dehidrasi. Pasien harus disarankan untuk

minum cairan yang memadai sampai warna urine mereka relatif jernih

(yaitu, "pee-pale”).

Tindakan Pencegahan Antirefluks

Tindakan pencegahan antirefluks, pasien tidak perlu memiliki bukti

terdokumentasi bahwa pasien memiliki penyakit refluks

gastroesofageal untuk menerima pencegahan konservatif pengobatan.

Sebuah rencana pencegahan menekankan pada pola kebiasaan makanan

sehat dan perilaku yang tidak biasanya tidak memfasilitasi refluks dapat

diberikan kepada pasien. Pasien dinasehati tentang pentingnya makan

yang teratur seperti makan siang hari dibandingkan tidak makan dan

kemudian sering kelaparan di malam hari. Selain itu, pasien harus

menghindari produk yang diketahui untuk relaksasi sfingter esophagus

53
(misalnya, kafein dan coklat). Pasien juga harus menghindari makan

atau minum sebelum tidur; pasien harus menunggu 2 sampai 3 jam

setelah makan terakhir mereka sebelum pergi tidur. Pada pasien yang

lebih bergejala, mengangkat kepala tempat tidur sekitar 6 sampai 8

membantu untuk memungkinkan gravitasi untuk menjaga sekresi

lambung turun saat pasien sedang tidur. Selain itu, konsumsi antasida 30

menit setelah makan dan sebelum tidur membantu untuk menetralisir

asam. Kadang-kadang histamin- antagonis seperti omeprazol dan

ranitidine dapatjuga sangat membantu. Praktek konservasi vokal yang

baik juga dapat berfungsi sebagai langkah preventif untuk menjaga baik

kualitas vokal. Pasien harus dianjurkan untuk menghindari jelas sumber

penyalahgunaan vokal seperti berteriak dan menjerit. Selain itu, pasien

harus dikonseling sumber-sumber lain mengenai penggunaan vokal

berlebihan termasuk berdeha

54
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. Laryngeal and Hypopharyngeal Cancers. Washington:


American Cancer Society; 2016.

Asyari, A., Novialdi, Fitri, F., Azizah, N., 2017. Disfonia akibat Polip Pita Suara.
Majalah Kedokteran Andalas. Vol. 40, No. 1, Hal. 52-63.

Beasley N., 2008. Anatomy of the Larynx and Tracheobronchial. In: Scott
Brown’s Otolaryngology Head and Neck Surgery, 2(7) London: Edward
Arnold Publishers. hal. 2130-40.

Calhoun KH. Tumor Biology and Immunology of Head and Neck Cancer. In:
Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition.
Volume 2. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 1212-
1220.

Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. -6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 369-376

Cohen, J.I., George, L.R., Harjanto, K.S., Effendi, C., 2006. Trans, Anatomi dan
Fisiologi Laring, Boies, Buku Ajar Penyakit THT (6th Ed.),Penerbit
EGC,Jakarta, hal.369

Dhingra, P.L., 2007. Anatomy and physiology of larynx, In: Diseases Ear, Nose
and Throat (4th Ed.) New Delhi, India, hal.259-63.

Feierabend RH, Malik SN. Hoarseness in Adults [Internet]. 2009 [updated 2009
August 15, cited 2021 December 09]. Available from:
www.aafp.org/afp/2009/0815/p363.html

Haryuna, TS. Distribusi gambaran klinik laring pada penderita dengan suara serak
di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik
Medan. Majalah Kedokteran Nusantara.2009;42(1):33-40.

Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FK
UI. 2007.h. 194-198.

55
Hermani, B., Hutahuruk, A., Efiaty, A.S., 2012. (Ed.) Disfonia, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher 6 th, Jakarta,
Indonesia: Balai Penerbit FKUI, hal.231-34.

Hiatt J. & Gartner L., 2010. Palate, Pharynx and Larynx. In: Textbook of Head
and Neck Anatomy. 4th ed. Philadelphia : Lihalincott Williams and Wilkins,
hal. 256-62.

Johns M. M., & Parikh S., 2009. Benign laryngeal lesions. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17. Centennial edition.
Shelton, Connecticut: People’s Medical Publishing House, hal. 878-83.

Lee, K.J., 2003. The larynx. In: Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. (8th ed.) Mc. Graw-Hill Company,USA, hal.749.

Lundy SD, Casiano RR. Diagnosis and Management of Hoarseness. 1999.


[dikutip 2011 Desember 25]. Available from: http://www.turner-
white.com/pdf/hp_oct99_hoarse.pdf.

Munir M. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher: Keganasan di Bidang Telinga Hidung Tenggorok. 6th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 162-173.

Probst J.A., Grevers G. dan Iro H., 2010. Larynx and Trachea. In: Basic
Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning Guide. Stuttgart: Georg-
Thieme Verlag. hal.338-45.

Reiter R dkk. 2015. Hoarseness-Causes and Treatments. Deutsches Ärzteblatt


International | Dtsch Arztebl Int.112: 329–37.

Sarbini T. Faktor Merokok Sebagai Predisposis Tumor Ganas Laring. Untuk


Gelar Magister Kesehatan. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Bandung. 2013.

Sasaki C. T., Kim Y. H. dan LeVay A. J., 2009. Development, anatomy, and
physiology of the larynx. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery 17. Centennial edition. Connecticut : People’s Medical
Publishing House. hal.847-57

56
Soepardi, E.A. dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. (edisi ke-7). Jakarta : Badan Penerbit FKUI, hal. 207-212

Spector, G.T., 1994. Anatomi Perkembangan Laring. In: Ballanger JJ.


Ed:Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala Leher. Alih Bahasa: staf
Ahli Bagian THT RSCM-FK UI, Jilid I. (13th ed.). Binarupa Aksara,
Jakarta, hal.415-23, 424-34.

Sulica, L., 2014. Voice: Anatomy, Physiology, and Clinical Evaluation. In:
Johnson J.T., Rosen C.A, eds, Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology.5th ed, Philadelphia : Lihalincott Williams & Wilkins,
hal.945-56.

Surgery, A. A.-H. (2011). Health information : Hoarseness. Retrieved 12 28,


2011, from American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Web site: http://entmd.org/HealthInformation/hoarseness.cfm

Wareing M., Obholzer R. (2008). Chapter 29. Benign Laryngeal Lesions. In A.K.
Lalwani (Ed), CURRENT Diagnosis & Treatment in Otolaryngology—
Head & Neck Surgery, 2e. Retrieved December 27, 2011 from
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=2827547

Woodson G. E. & Zaya N. E., 2008. The larynx. In: Essential Otolaryngology
Head & Neck Surgery. 9th ed. KJ Lee ed. Connecticut : Mc Graw Hill
Companies. hal.56.

57

Anda mungkin juga menyukai