Anda di halaman 1dari 18

REFERAT DOKTER MUDA

ONIKOLOGI FORENSIK
SAMPUL DEPAN

Oleh:
Kelompok Dokter Muda UNAIR KBK II
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Periode 3 - 23 Mei 2021

Ihsan Fahmi Rofananda 012023143079


Ihsan Fachry Arba 012023143080
Ida Fitriawati 012023143081
Muhammad Rae Galang Perdana 012023143129
Rodia Amanata Rofiq 012023143130
Shazia Hafazhah Aulia 012023143131

Pembimbing:
Dr. H. Ahmad Yudianto. dr., Sp.F(K), S.H., M.Kes

DEPARTEMEN/ SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOETOMO
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang dengan rahmat-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul “Onikologi Forensik” dengan baik dan tepat waktu.
Kata terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis tujukan untuk seluruh pihak yang telah
berjasa dalam terbentuknya referat ini sebagai salah satu tugas wajib untuk pendidikan dokter
muda di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Oleh karenanya, izinkan penulis untuk
menyebutkan pihak-pihak tersebut satu per satu.
1. Dr. H. Ahmad Yudianto. dr., Sp.F(K), S.H., M.Kes selaku Ketua Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga –
RSUD Dr. Soetomo Surabaya serta dosen pembimbing dari referat ini
2. Saliyah, dr., Sp.FM selaku Koordinator Pendidikan Dokter Muda Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga –
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Besar harapan kami sebagai penulis agar referat ini dapat menjadi tulisan yang bermanfaat dan
menambah wawasan pembaca.

Surabaya, 15 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ..................................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 5
1.3.1. Tujuan Umum .......................................................................................................................... 5
1.3.2. Tujuan Khusus ......................................................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penulisan ........................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 7
2.1 Definisi Onikologi Forensik ........................................................................................... 7
2.2 Anatomi Kuku ................................................................................................................. 7
2.3 Teknik pengambilan sampel pada pemeriksaan kuku .................................................... 8
2.4 Pemeriksaan Kuku dalam Toksikologi Forensik ............................................................ 9
2.5 Pemeriksaan Kuku untuk Analisis DNA ...................................................................... 12
BAB III KASUS ...................................................................................................................... 14
3.1. Toksikologi Forensik .................................................................................................... 14
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 16
4.1. Kesimpulan ................................................................................................................... 16
4.2. Saran ............................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ilmu forensik telah berkembang sebagai bidang penyelidikan dari waktu ke waktu
(Morgan, 2019). Ilmu forensik dapat digunakan untuk mengenali suatu barang bukti berupa
spesimen biologis maupun benda lainnya pada investigasi kriminal untuk kepentingan hukum
(Morgan, 2019; Barbaro, 2019). Identifikasi spesimen biologis yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP) seringkali menjadi kunci penting bagi pihak kepolisian dan pengadilan
dalam mencari penyelesaian masalah kriminalitas. Spesimen biologis dapat ditemukan di tubuh
manusia, salah satu contohnya adalah kuku (Morgan, 2019; Morrison et al., 2018).
Onikologi Forensik adalah studi yang berkaitan dengan kuku jari tangan dan kuku jadi
kaki untuk kepentingan identifikasi forensik (Parmar, 2012). Kuku terdiri dari matriks
terkeratinisasi dan terdapat pada ujung terminal setiap jari (Capelle et al., 2014; Grover dan
Bansal, 2017). Matriks ini bisa menyimpan bahan kimia tertentu, yang berasal dari intoksikasi
seperti arsenik, atau paparan dari luar dari kadmium, besi, copper, timbal, dan magnesium
dalam waktu yang lama (Capelle et al., 2014).
Onikologi Forensik dalam beberapa kasus forensik memiliki beberapa keuntungan,
antara lain pemeriksaan kuku adalah pemeriksaan yang noninvasif, proses transpor dan
detection window yang panjang merupakan keunggulannya dibandingkan pemeriksaan dari
darah atau urine pada bidang toksikologi (Capelle et al., 2014). Pengumpulan sampel kuku juga
termasuk mudah dan penyimpaan kuku dapat dilakukan pada suhu kamar (Daniel et al., 2004).
Meskipun demikian, konsentrasi bahan kimia yang terkandung dalam kuku kemungkinan kecil
dan struktur keratin dalam kuku yang kompleks, sehingga memerlukan metode analisis yang
lebih sensitif dan khusus (Capelle et al., 2014). Selain itu, apakah perawatan kuku dapat
berpengaruh pada konsentrasi obat dalam kuku belum diketahui (Baumgartner, 2014).
Onikologi forensik tersering digunakan utuk mengidentifikasi DNA manusia. Dalam penelitian
Piccinini et al., (2003), sebanyak 35,6% kasus (11 dari 31), didapatkan DNA lain selain korban
dari pemeriksaan kuku (Piccinini et al, 2003). DNA dari pelaku didapatkan dengan
mengekstrak guntingan kuku korban yang memperjuangkan atau membela diri (Zamir, 2000).
Selain digunakan untuk mengidentifikasi DNA, onikologi forensik juga digunakan untuk
pemeriksaan toksikologi. Pemeriksaan pada kuku memungkinkan penyelidik untuk
menyelediki secara retrospektif terhadap penyalahgunaan obat kronis, memantau penggunaan
obat, hingga mengungkapkan papararan zat (Solimini et al., 2017). Pemeriksaan kuku juga
dapat diaplikasikan pada deteksi paparan obat dalam kandungan (Capelle et al., 2014).
Onikologi forensik dapat memberikan bantuan pada penyidik untuk mendapatkan salah
satu alat bukti baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata. Hal ini membuktikan
semakin pentingnya onikologi forensik dalam penyelidikan forensik. Oleh sebab itu, tenaga
kesehatan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam mengenai onikologi forensik guna
memaksimalkan fungsi dari onikologi forensik tersebut. Diharapkan referat ini dapat membuka
pandangan mengenai onikologi forensik, bagaimana cara pengambilan sampel yang tepat,
hingga implementasi onikologi forensik pada beberapa kasus.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi, kelebihan dna kekurangan dari onikologi forensik?
2. Bagaimana anatomi kuku dan jaringan sekitarnya?
3. Bagaimana cara pengambilan sampel kuku untuk keperluan forensik?
4. Bagaimana teknik dan analisis kuku dalam toksikologi Forensik ?
5. Bagaimana teknik dan analasis kuku dalam pemeriksaan DNA ?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman dokter
muda dalam pentingnya peran kuku dalam analisis forensik

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui definisi serta kelebihan dan kekurangan onikologi forensik
2. Mengetahui anatomi kuku dan jaringan sekitarnya
3. Mengetahui tata cara pengambilan sampel kuku untuk keperluan forensik
4. Mengetahui teknik dan analisis kuku dalam toksikologi Forensik
5. Mengetahui teknik dan analasis kuku dalam pemeriksaan DNA

1.4. Manfaat Penulisan


1. Bagi dokter muda, referat ini dapat digunakan sebagai referensi dan bahan bacaan
untuk menambah pengetahuan dan wawasan untuk memahami berbagai hal yang
berkaitan dengan onikologi forensik.
2. Bagi Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo Surabaya, referat ini dapat menjadi
referensi tambahan mengenai onikologi forensik.
3. Bagi penyidik diharapkan referat ini dapat menambah referensi dalam menangani
kasus-kasus yang mungkin dapat dilakukan onikologi forensik guna menambah bukti
perkara.
4. Bagi masyarakat atau pembaca pada umumnya, referat ini dapat menambah wawasan
mengenai onikologi forensik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Onikologi Forensik


Onikologi Forensik (kata Yunani, Onuks = paku, Logia = studi tentang) adalah mata
pelajaran yang berkaitan dengan studi tentang kuku jari tangan dan kaki untuk
administrasi peradilan yang lebih baik di pengadilan. Identifikasi berarti penentuan
individualitas seseorang. Kuku adalah jaringan penting untuk identifikasi manusia.
Salah satu keuntungan utama penggunaan kuku adalah bahwa, dibandingkan dengan
jaringan lain, ukuran sampel dan proses pengambilan sampel dapat dianggap relatif non
invasif dan non destruktif, namun setiap kuku memiliki catatan tersendiri tentang
informasi rinci tentang pewarisan genetik, penggunaan obat, patologi. , pola makan dan
riwayat lokasi serta paparan residu bahan peledak atau polutan lainnya. Berbeda dengan
jaringan lunak, kuku bertahan relatif baik di lingkungan dekomposisi. Selain itu,
berbeda dengan jaringan tahan lama lainnya (seperti tulang dan gigi), kuku mudah
terdekontaminasi dari sumber eksternal DNA. Jadi pemeriksaan paku sangat berguna
dalam banyak hal melawan kejahatan. Dalam tulisan ini dibahas tentang struktur dan
metode analisis kuku, kegunaan pemeriksaan, penggunaan obat dan kuku serta deteksi
DNA dari kuku (Parmar et al., 2012).

2.2 Anatomi Kuku


Kuku merupakan bagian dari skin appendage yang terdiri dari matriks
terkeratinisasi (Capelle et al., 2014; Grover dan Bansal, 2017). Matriks ini bisa
menyimpan bahan kimia tertentu, yang berasal dari intoksikasi seperti arsenik, atau
paparan dari luar dari kadmium, besi, copper, timbal, dan magnesium dalam waktu
yang lama (Capelle et al., 2014).
Gambar 1 menunjukkan struktur anatomi kuku jari tangan manusia. Secara umum,
kuku akan mengalami pertumbuhan memanjang dan menebal. Sehingga, bagian dari
matriks yang akan mengalami pertumbuhan membentuk kuku adalah pada matriks
germinal dan nail bed. Dalam Capelle et al., (2014) disebutkan bahwa kecepatan
pertumbuhan kuku tangan rata-rata adalah 3 mm per bulan, sedangkan kuku kaki rata-
rata 1,1 mm per bulan. Waktu regenerasi yaitu waktu yang diperlukan suatu matriks
germinal hingga membentuk ujung bebas (free edge) adalah 3-5 bulan untuk jari tangan,
dan 8-14 bulan untuk jari kaki (Capelle et al., 2014; Baumgartner, 2014).

Gambar 2.1 Struktur anatomi kuku jari tangan manusia (Sumber: Capelle et al., 2014)

Terdapat beberapa mekanisme yang memungkinkan suatu bahan kimia tertentu


bisa terkandung dalam kuku. Di antaranya adalah deposisi bahan pada matriks germinal
dan nail bed dari vaskularisasi setempat; difusi melalui keringat atau sebum, umumnya
dapat dideteksi setelah 24 jam; atau paparan dari sumber eksternal (Capelle et al., 2014;
Grover dan Bansal, 2017). Oleh karena pertumbuhan kuku yang relatif lambat, hal ini
memungkinkan deteksi akumulasi bahan kimia bisa berlangsung hingga beberapa bulan
atau tahun (Capelle et al., 2014).
Pemeriksaan kuku dalam beberapa kasus forensik memiliki beberapa keuntungan.
Pemeriksaan yang noninvasif, proses transpor dan penyimpanan yang mudah, dan
detection window yang panjang merupakan keunggulannya dibandingkan pemeriksaan
dari darah atau urine pada bidang toksikologi (Capelle et al., 2014). Sementara itu, jika
dibandingkan dengan rambut yang mempunyai kelebihan yang sama, kuku memiliki
pertumbuhan yang lebih lambat dan kecepatannya konstan, tidak mengandung melanin,
dan tidak terpengaruh dari kondisi-kondisi tertentu, seperti alopesia dan perawatan
rambut (Capelle et al., 2014). Meskipun demikian, konsentrasi bahan kimia yang
terkandung dalam kuku kemungkinan kecil dan struktur keratin dalam kuku yang
kompleks, sehingga memerlukan metode analisis yang lebih sensitif dan khusus
(Capelle et al., 2014). Selain itu, apakah perawatan kuku dapat berpengaruh pada
konsentrasi obat dalam kuku belum diketahui (Baumgartner, 2014).

2.3 Teknik pengambilan sampel pada pemeriksaan kuku


Teknik pengambilan sampel kuku untuk pemeriksaan toksikologi dapat dilakukan
dengan nail clipping dan nail scraping (Baumgartner, 2014). Pada nail clipping, bagian
ujung bebas dari kuku (free edge) dipotong menggunakan pemotong kuku metal yang
telah disterilkan. Dalam Shu et al., (2015) untuk pemeriksaan toksikologi, sampel
diambil sekitar 2-3 mm dari 10 kuku jari tangan (100 mg). Untuk deteksi serial
kandungan obat dalam kuku biasanya memerlukan satu potongan kuku, sedangkan
untuk analisis DNA mungkin memerlukan hingga 10 kuku. Sementara itu, pada nail
scraping dilakukan pengerokan atau abrasi pada lapisan atas kuku menggunakan blade.
Untuk kasus otopsi, seluruh bagian kuku dapat diambil sebagai spesimen (Baumgartner,
2014).
Konsentrasi bahan kimia dalam kuku relatif kecil, sehingga memerlukan metode
analisis yang khusus dan preparasi sampel yang baik. Dalam Capelle et al., (2014),
tahap persiapan sampel atau preanalitik pemeriksaan kuku adalah sebagai berikut: tahap
dekontaminasi dengan pelarut seperti air, aseton, atau metanol, selama beberapa menit
dalam suhu ruang; tahap homogenisasi dengan cara dikeringkan, dipotong menjadi
bagian-bagian kecil atau dijadikan serbuk (pulverized/grinding); tahap ekstraksi; dan
tahap pembersihan (clean-up). Secara umum, metode analisis toksikologi pada
pemeriksaan ini berdasar pada liquid chromatography atau gas chromatography
dengan dan mass spectometry atau tandem mass spectometry (Capelle et al., 2014).
Dalam Rodrıguez et al., (2003); Bozzo et al., (2015), untuk analisis DNA,
pengambilan sampel kuku dapat dilakukan dengan clipping, pengerokan debris
(scraping), atau swabbing. Sampel bisa diambil dari TKP, di kamar mayat sebelum
dilakukan otopsi, atau sewaktu di ruang otopsi (Piccinini et al., 2003). Meski demikian,
metode yang biasanya digunakan di TKP adalah swabbing (Yudianto, 2019).
Scraping dilakukan dengan mengerok area di bawah ujung kuku atau hyponychium
dengan aplikator berbahan kayu (Saukko dan Knight, 2004; Foran et al., 2013). Sebagai
sampel rujukan atau reference samples, diambil darah dari korban dan/ atau terduga
pelaku kejahatan (Piccinini et al., 2003; Rodriguez et al., 2003). Barang bukti lain yang
mungkin terkait, seperti swab vagina pada kasus kejahatan seksual dapat dikumpulkan
(Piccinini et al., 2003).

2.4 Pemeriksaan Kuku dalam Toksikologi Forensik


Dalam pemeriksaan toksikologi, bahan pemeriksaan bisa diambil dari cairan tubuh
(darah, urine), kuku, dan rambut. Di antara bahan tersebut, kuku memiliki keunggulan
seperti detection window yang panjang dan prosedur yang noninvasif (Capelle et al.,
2014). Pada pemeriksaan toksikologi postmortem, pemeriksaan kuku bisa mendukung
ada tidaknya penyalahgunaan obat secara kronik (Capelle et al., 2014). Selain itu,
pemeriksaan kuku bermanfaat pada kasus kejahatan seksual yang menggunakan obat.
Pada kasus ini, umumnya paparan obat tidak berlangsung kronik, sehingga pemeriksaan
darah dan urine lebih dipilih. Akan tetapi, beberapa korban kemungkinan baru akan
melapor setelah beberapa hari, sehingga pemeriksaan kuku bisa menjadi pertimbangan
pada kasus tertentu, seperti penggunaan zolpidem (Capelle et al., 2014).
Pemeriksaan kuku juga dapat diaplikasikan pada deteksi paparan obat dalam
kandungan (in utero drug exposure). Pada prinsipnya kuku pada neonatus dibentuk
sejak usia kehamilan trimester kedua, dan terus tumbuh setelahnya. Paparan beberapa
bahan kimia yang disebutkan di beberapa literatur di antaranya adalah terhadap kokain,
opioid, nikotin, kafein, dan alkohol (Capelle et al., 2014). Namun, untuk alkohol,
konsumsi yang < 15-30 g alkohol per hari kemungkinan bisa tidak terdeteksi pada kuku.
Pada pemeriksaan toksikologi, pengambilan sampel dilakukan dengan nail
clipping dan nail scraping (Baumgartner, 2014). Jika dibandingkan dengan teknik
clipping, nail scraping mengambil area yang lebih luas dari kuku, sehingga lebih
potensial terdapat kontaminasi dari luar atau keringat, mengingat salah satu mekanisme
yang diduga berkaitan dengan akumulasi obat dalam kuku adalah inkorporasi melalui
keringat atau kontaminasi dari lingkungan eksternal (Baumgartner, 2014). Sehingga,
pada scraping, konsentrasi obat yang terukur bisa lebih tinggi daripada clipping dan
kurang direkomendasikan pada pemeriksaan antemortem (Baumgartner, 2014).
Konsentrasi obat dalam kuku bisa dipengaruhi oleh beberapa hal. Beberapa faktor
yang berkaitan dengan pertumbuhan kuku yang relatif cepat adalah kuku jari tangan,
laki-laki, usia muda, kehamilan, aliran darah, hipertiroidisme, dan kondisi tertentu
seperti psoriasis (Capelle et al., 2014). Akan tetapi, belum banyak penelitian mengenai
faktor yang secara signifikan memengaruhi kadar obat dalam kuku.
Tabel 1. Aplikasi klinis pemeriksaan kuku pada deteksi paparan beberapa obat
(Sumber: Grover dan Bansal, 2017)
Obat Aplikasi klinis
Amfetamin dan derifat
Untuk deteksi dan kuantifikasi fenilalkilamin
fenilalkilamin
Untuk monitoring komplians terhadap program rumatan
Metadon
metadon
Kokain Untuk deteksi pada kasus penyalahgunaan obat
Cannabinoid Untuk deteksi pada kasus penyalahgunaan obat
Alkohol (etil
Untuk evaluasi konsumsi alkohol secara kronik
glukoronid)
Antimikotik (terbinafin Dapat terdeteksi pada nail clipping setelah 3-4 minggu
dan itrakonazol) penggunaan obat.
Untuk deteksi pada kasus kejahatan seksual dengan obat atau
Zolpidem penggunaan secara reguler. Pemeriksaan kuku bisa menjadi
alternatif atau pelengkap dari analisis rambut.
SSRI (fluoksetin dan
paroksetin) dan SNRI
Untuk monitoring penggunaan obat
(venlafaxine dan
duloxetine)
Triklosan dan
Untuk deteksi adanya kontaminasi di kuku
triklokarban
Sebagai marker status selenium pada penelitian
Selenium epidemiologis dan alternatif untuk paparan kronik selenium
yang tidak dapat dideteksi dari darah.
Untuk analisis paparan kronik yang tidak dapat dideteksi dari
darah dan urine. Pada analisis kuku postmortem dapat untuk
mendeteksi paska paparan, namun tidak memastikan sebab
kematian dikarenakan tidak adanya korelasi kadar arsen
Arsenik
dalam darah dan pada kuku. Mees’ lines seringkali dipakai
sebagai indikator keracunan arsen atau talium dalam kurun
minggu hingga bulan sebelum kematian (Baumgartner,
2014).
2.5 Pemeriksaan Kuku untuk Analisis DNA
Dimulai tahun 1996, analisis DNA dari nail clipping pada otopsi rutin dilakukan
pada kasus kematian akibat tusukan, strangulasi, gantung diri, pencekikan, dan kasus
pembunuhan lain (Piccinini et al., 2003). Hal ini mengingat pada beberapa kasus
kejahatan seksual, bisa didapatkan rambut, fragmen kulit atau debris, dan bercak darah
dari pelaku pada lipatan kuku korban diakibatkan dari upaya perlawanan korban.
Bahan-bahan yang tertinggal tersebut memberikan peluang dilakukannya identifikasi
forensik.
Untuk analisis DNA, sampel kuku akan diambil dari jari tangan dengan nail
scrapping, clipping, atau swabbing untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium forensik
(Saukko dan Knight, 2004; Bozzo et al., 2015). Menurut Dogan et al., (2020), belum
ada standar atau prosedur rutin dalam hal sampling, penyimpanan, transfer, dan analisis
pada pemeriksaan kuku untuk analisis DNA. Untuk keperluan trace evidence, selain
dilakukan pemeriksaan DNA juga dilakukan pemeriksaan golongan darah (Saukko dan
Knight, 2004). Reference sample didapatkan dari darah korban dan/atau terduga pelaku.
Teknik molekuler yang digunakan dalam analisis DNA melalui kuku meliputi
beberapa proses. Setelah diambil, baik melalui kerokan kulit, pemotongan kuku, atau
swab, sampel kuku biasanya dikirim dalam amplop berlabel untuk dilakukan
pemeriksaan di laboratorium forensik. Berikutnya dilakukan ekstraksi DNA dan
purifikasi. Foran et al., (2013) membandingkan dua teknik ekstraksi DNA dari kuku
yang sebelumnya terdeposit darah, yaitu dengan organic extraction menggunakan
fenol-kloroform dan dengan kit komersial. Hasilnya, pada ekstraksi DNA
menggunakan kit komersial, total DNA asing yang terisolasi lebih banyak
dibandingkan dengan ekstraksi dengan fenol-kloroform (Foran et al., 2013).
Berikutnya, dilakukan kuantifikasi DNA dengan menggunakan Real-Time PCR,
amplifikasi lokus STR (Short Tandem Repeat), dan pemisahan amplikon dengan
genetic analyzer (Foran et al., 2013; Udogadi 2020). Tahap akhir adalah analisis data
dan pembandingan dengan database sekuens DNA.
STR adalah sekuens DNA yang mengandung unit-unit pengulangan (core
sequence) kurang dari 1 kb. Jumlah pengulangan marker STR merupakan hal yang
penting untuk identifikasi DNA (Wyner et al., 2020). Untuk identifikasi STR,
digunakan (Combined DNA Index System) CODIS atau GenBank sebagai database
sekuens DNA yang diamplifikasi (Udogadi et al., 2020). Beberapa lokus STR sebagai
sistem identifikasi forensik menurut the Federal Bureau of Identification (FBI) adalah
CSF 1PO, TH01, TP0X, vWA, FGA, D3S1358, D5S818,D7S820, D13S317, D16S539,
D8S1179, D18S51, dan D21S11 (Yudianto, 2019; Udogadi, 2020). Dengan STR, DNA
yang terdegradasi dapat dilakukan analisis DNA (Yudianto, 2019). Selain itu, untuk
menghasilkan profil DNA yang lengkap dengan amplifikasi menggunakan kit
komersial sekitar 1 nanogram (Yudianto, 2019).(Udogadi et al., 2020; Wyner et al.,
2020)
Dalam penelitian Piccinini et al., (2003), sebanyak 35,6% kasus (11 dari 31),
didapatkan DNA lain selain korban dari pemeriksaan kuku. Hal ini mengindikasikan
adanya kontak korban dengan orang lain. Selain itu, sebanyak 7 dari 11 kasus di atas
ternyata sesuai dengan DNA terduga pelaku kejahatan, sedangkan 4 lainnya tidak ada
sampel terduga untuk dilakukan perbandingan. Akan tetapi, deteksi adanya DNA asing
dapat ditemui pada beberapa kasus, yang ternyata tidak berhubungan dengan kasus
homisidal, melainkan karena aktivitas atau kontak korban dengan orang lain sebelum
meninggal (Piccinini et al, 2003; Bozzo et al., 2015). Materi genetik asing bisa juga
ditemukan pada populasi umum, namun cenderung tidak bertahan untuk waktu yang
lama (Grover dan Bansal, 2017). Dengan demikian, interpretasi hasil analisis DNA
asing harus dihubungan dengan informasi lain dari kasus kematian terkait (Piccinini et
al., 2003).
BAB III
KASUS

3.1. Toksikologi Forensik


Contoh kasus 1
Seorang penjual keliling berusia 45 tahun dirawat di rumah sakit dengan
kelemahan yang tidak dapat dijelaskan dan penurunan berat badan selama lebih dari
enam bulan. Dia telah dirawat di rumah sakit beberapa kali tanpa ditemukan diagnosis
pasti. seorang dokter kulit / ahli patologi umum melihat kukunya. Beberapa pita
leukonikia sejati melintang ditemukan. Kuku dan rambut dianalisis logam berat
termasuk arsenik. Arsenik ditemukan. Pada saat itu, dokter mengingat kasus serupa.
Laki-laki 43 tahun lainnya yang juga sedang travelling penjual telah disajikan dengan
kelemahan dan bobot kerugian. Setelah diselidiki lebih lanjut, kedua pria itu ditemukan
ditemukan memiliki wilayah penjualan yang serupa. 43-tahun telah meninggal karena
sebab yang tidak dapat dijelaskan. Tubuhnya digali dan ditemukan arsenik.
Penyelidikan menemukan bahwa kedua pria itu sering makan siang di tempat yang
sama ketika mereka berada di kota yang sama dan dilayani pelayan yang sama. Sejak
kuku tumbuh dengan kecepatan sekitar 0,1-0,15 mm per hari, perkiraan kasar ketika
pria berusia 45 tahun itu berada di konter makan siang itu ditentukan dengan mengukur
jarak antara garis Mee’s di kukunya (Gambar 3.1). Jarak tersirat sesuai dengan
kunjungannya di konter makan siang. Pria berusia 45 tahun itu meninggal dan kukunya
difoto saat otopsi. Pelayan itu ditangkap dan dihukum karena pembunuhan (Daniel et
al., 2004).

Gambar 3.1 Mee’s line pada kuku korban kasus 1 (Sumber: Daniel et al., 2004)

Contoh kasus 2
Seorang gadis berusia 16 tahun diterima di Universitas dari Alabama di rumah
sakit Birmingham karena kelemahan, penurunan berat badan, dan foot drop selama
beberapa bulan. Dermatologi dikonsultasikan mengenai kuku abnormal pasien. Di
setiap kukunya, dia ditemukan memiliki garis melintang putih. Garis itu tidak teraba,
homogen, dan memanjang di seluruh lebar lempeng kuku yang memiliki kontur lunulae
(Gambar 3.2). Menurut pasien, antreannya tumbuh dengan lempeng kuku.
Penampilannya konsisten dengan garis Mee. Rambut dan paku dianalisis dan arsenik
ditemukan. Investigasi kriminal pun dilakukan. Setelah mengambil sejarah lebih lanjut,
ayahnya baru saja meninggal. mayatnya digali dan arsenik ditemukan. Kemudian
diketahui bahwa suami sebelumnya dari anak tersebut ibu meninggal di usia paruh
baya. Tubuhnya digali dan arsenik ditemukan lagi. Tentang itu waktu, ibunya
menghilang. Dia ditemukan beberapa tahun kemudian dan didakwa serta dihukum
karena pembunuhan dan percobaan pembunuhan (Daniel et al., 2004).

Gambar 3.2 Mee’s line pada kuku pasien kasus 2 (Sumber: Daniel et al., 2004)
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Kuku merupakan salah satu faktor penting dalam analisis forensik. Melalui
pengambilan sampel berupa nail scrapping ataupun nail clipping, kuku dapat
digunakan untuk identifikasi identitas, melalui analaisis DNA. selain itu kuku juga
dapat digunakan sebagai bahan untuk pemeriksaan toksikologi forensik khususnya
dalam melihat riwayat konsumsi obat.
4.2. Saran
Dokter umum, perlu memiliki pemahaman yang penting mengenai pentingnya
kuku dalam bidang forensik, sehingga sampel dapat diambil untuk dilanjutkan proses
analisis, baik untuk identifikasi DNA maupun pemeriksaan toksikologi forensik,
supaya dapat melengkapi bukti-bukti yang mengarah pada penyebab kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Barbaro, A., 2019. Women in Forensics: An international overview. Forensic Science


International: Synergy, 1, pp.137-139.
Baumgartner, M. . (2014) ‘Nails : an adequate alternative matrix in forensic toxicology
for drug analysis ?’, Bioanalysis, 6, pp. 2189–2191.
Bozzo, W. R. et al. (2015) ‘Forensic Science International : Genetics Supplement Series
Analysis of DNA from fingernail samples in criminal cases’. Elsevier Ireland Ltd,
5, pp. 601–602.
Cappelle, D. et al. (2014) ‘Nail analysis for the detection of drugs of abuse and
pharmaceuticals : a review Nail analysis for the detection of drugs of abuse and
pharmaceuticals : a review’, (December). doi: 10.1007/s11419-014-0258-1.
Daniel, C., Piraccini, B. and Tosti, A., 2004. The nail and hair in forensic science. Journal
of the American Academy of Dermatology, 50(2), pp.258-261.
Dogan, M., Ercan, O. and Tufek, G. (2020) ‘Significance of Fingernail DNA Evidence
in Terms of Forensic Genetics and Comparison of Different Analysis Method’,
Turkiye Klinikleri Journal of Forensic Medicine and Forensic Sciences, pp. 162–
166. doi: 10.5336/forensic.2020-73788.
Grover, C. and Bansal, S. (2017) ‘The nail as an investigative tool in medicine : What a
dermatologist ought to know’. doi: 10.4103/ijdvl.IJDVL.
Morgan, R., 2019. Forensic science. The importance of identity in theory and practice.
Forensic Science International: Synergy, 1, pp.239-242.
Morrison, J., Watts, G., Hobbs, G. and Dawnay, N., 2018. Field-based detection of
biological samples for forensic analysis: Established techniques, novel tools, and
future innovations. Forensic Science International, 285, pp.147-160.
Parmar, Pragnesh & Rathod, G.B. (2012). Forensic onychology: An essential entity
against crime. Journal of Indian Academy of Forensic Medicine. 34. 355-357.
Parmar, Pragnesh, 2012. Forensic onychology: An essential entity against crime. Journal
of Indian Academy of Forensic Medicine, 34(4), pp. 355-357.
Piccinini, A. et al. (2003) ‘A 5-year study on DNA recovered from fingernail clippings
in homicide cases in Milan’, 1239, pp. 929–932.
Rodrıguez, A. . et al. (2003) ‘Genetic analysis of fingernail debris : application to forensic
casework’, 1239, pp. 921–924.
Shu, I. et al. (2015) ‘Detection of Drugs in Nails : Three Year Experience’, pp. 624–628.
Solimini, R., Minutillo, A., Kyriakou, C., Pichini, S., Pacifici, R. and Busardo, F., 2017.
Nails in Forensic Toxicology: An Update. Current Pharmaceutical Design,
23(36).
Udogadi, N. S. et al. (2020) ‘Forensic DNA Profiling : Autosomal Short Tandem Repeat
as a Prominent Marker in Crime Investigation’, Malays J Med Sci., 27(4), pp. 22–
35.
Wyner, N. et al. (2020) ‘Forensic Autosomal Short Tandem Repeats and Their Potential
Association With Phenotype’, 11(August), pp. 1–7. doi:
10.3389/fgene.2020.00884.
Yudianto, A. (2019) DNA Touch dalam Identifikasi Forensik. Edited by A. Yudianto.
Surabaya: Scopindo Media Pustaka.
Zamir, A., 2000. An evaluation of the relevance of routine DNA typing of fingernail
clippings for forensic casework. J Forensic Sci, 45(1), pp. 158

Anda mungkin juga menyukai