Anda di halaman 1dari 17

REFERAT DOKTER MUDA

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


ASFIKSIA PADA KASUS TENGGELAM

PEMBIMBING
dr. Ariyanto Wibowo. Sp.FM

OLEH
Jespalcov A Pattinama
NIM. 202084033

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH RSUD DR. SOETOMO SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga referat yang berjudul “Asfiksia pada Kasus Tenggelam” sebagai salah satu
tugas dalam menempuh masa dokter muda di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dapat terselesaikan dengan lancar.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan referat ini tidak terlepas dari
doa dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Ariyanto Wibowo, dr., Sp.FM selaku dosen pembimbing referat kelompok di
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2. Orang tua dan semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu
persatu
3. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam referat, oleh karena itu penulis
meminta maaf dan menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis
berharap referat ini dapat bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi perkembangan
ilmu kedokteran.
Ambon, 11 Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................


1

1.1. Latar belakang ...................................................................................................


1
1.2. Tujuan ................................................................................................................
1
1.2.1 Tujuan umum ..................................................................................
1
1.2.2 Tujuan khusus ........................................................................................ 1
1.3. Manfaat ........................................................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................


3

2.1 Definisi Asfiksia akibat tenggelam .................................................................... 3


2.2 Klasifikasi kasus tenggelam .............................................................................. 3
2.3 Patofisiologi asfiksia akibat tenggelam ............................................................. 4
2.4 Temuan/pemeriksaan pada jenazah kasus tenggelam ........................................ 6
2.4.1 Pemeriksaan eksternal ................................................................................ 6
2.4.2 Pemeriksaan internal ................................................................................... 8
2.5 Pemeriksaan penunjang pada kasus tenggelam ................................................. 9

BAB 3 PENUTUP .........................................................................................................


10

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 10


3.2 Saran .................................................................................................................. 10

ii
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................

11

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan paru-paru antara tenggelam di air tawar dan air laut ................... 8

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gangguan difusi O2/CO2 oleh inhalasi air/cairan ...................................... 5


Gambar 2.2 Kongesti dan sianosis pada wajah ............................................................. 6
Gambar 2.3 Abrasi pada dahi ........................................................................................ 7
Gambar 2.4 Luka akibat baling-baling perahu .............................................................. 7
Gambar 2.5 Buih pada korban tenggelam ..................................................................... 7
Gambar 2.6 Kulit terlihat pucat dan mengkerut ............................................................ 8

v
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kematian akibat asfiksia merupakan kasus lazim yang ditemukan di kedokteran
forensik. Kematian akibat asfiksia dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu
penyebab asfiksia ialah tenggelam (Kanth dan Ramarao, 2019). Tenggelam merupakan
suatu proses gangguan pernapasan akibat perendaman (submersion) atau pencelupan
(immersion) dalam cairan (WHO, 2021).
Menurut World Health Organizatiion (WHO), diperkirakan sebanyak 236.000
orang meninggal akibat tenggelam. Data tersebut tidak termasuk kasus tenggelam akibat
bunuh diri, pembunuhan, dan bencana alam (WHO, 2021). Data dari bagian ilmu
forensik dan medikolegal RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado tahun 2013 – 2017
didapatkan sebanyak 11 kasus (42,3%) asfiksia akibat tenggelam (Rey et al, 2017).
Kasus tenggelam akibat pembunuhan lebih sering ditemukan pada anak-anak daripada
dewasa (Leth, 2018). Beberapa faktor risiko kematian akibat tenggelam adalah anakanak
berusia 1-9 tahun, bermukim di daerah rawan banjir, bepergian ke tempat wisata air,
sosio-ekonomi rendah, penggunaan alkohol, dan kondisi medis, seperti epilepsi (WHO,
2021).
Meskipun kasus tenggelam akibat bunuh diri dan pembunuhan memiliki prevalensi
yang kecil dibandingkan kasus tenggelam lainnya, korban tenggelam harus tetap
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah korban tewas sebelum atau sesudah
tenggelam. Penentuan tersebut dapat dilakukan dengan mengetahui riwayat korban
sebelumnya, pemeriksaan internal dan eksternal jenazah, dan pemeriksaan khusus
lainnya pada jenazah kasus tenggelam (Armstrong dan Erskine, 2018).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan terkait asfiksia pada kasus
tenggelam.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari asfiksia akibat tenggelam.
2. Mengetahui klasifikasi kematian akibat tenggelam.
3. Mengetahui patofisiologi dari asfiksia akibat tenggelam.
4. Mengetahui temuan/pemeriksaan pada jenazah kasus tenggelam.
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada kasus tenggelam.

1
1.3 Manfaat
1. Memberikan tambahan pengetahuan dan pemahaman terkait asfiksia pada kasus
tenggelam bagi dokter muda.
2. Menambah pengetahuan terkait asfiksia pada kasus tenggelam bagi masyarakat.

2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asfiksia akibat Tenggelam


Asfiksia merupakan kondisi yang disebabkan oleh terganggunya fungsi pernapasan
karena kekurangan oksigen pada udara yang dihirup yang mengakibatkan jaringan
kekurangan oksgien (dan gagal mengeluarkan CO2) dan dapat menyebabkan
ketidaksadaran atau kematian (Murthy dan Rao, 2018). Kematian akibat Asfiksia dapat
disebabkan oleh hanging (gantung diri), strangulation (pencekikan), suffocation, tekanan
eksternal pada dada, tenggelam, dan keracunan gas.
Pada kasus tenggelam, asfiksia terjadi karena aspirasi cairan ke saluran pernapasan.
Perendaman dari hidung dan mulut saja dalam beberapa waktu dapat menyebabkan
kematian akibat tenggelam (Reddy dan Murty, 2014).

2.2 Klasifikasi Kasus Tenggelam


Tenggelam dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu (Reddy dan Murty, 2014):
 Wet drowning
Wet drowning atau sering dikenal primary drowning (typical drowning) merupakan
kasus tenggelam yang terjadi karena air masuk ke paru-paru. Kematian terjadi
beberapa menit beberapa menit setelah tenggelam akibat cardiac arrest atau fibrilasi
ventrikel.
 Dry drowning
Pada kasus dry drowning, air tidak memasuki paru-paru, tetapi kematian terjadi
akibat spasme laring secara tiba-tiba yang menetap karena adanya air yang masuk ke
nasofaring atau laring. Hal tersebut dapat memicu timbulnya lendir tebal, busa, dan
buih yang dapat terjadi penyumbatan pada saluran pernapasan atas. Kasus dry
drowning terjadi pada 10-20% kasus pencelupan dan sering ditemukan pada
anakanak dan dewasa dibawah pengaruh alkohol atau obat sedatif-hipnotik.
 Secondary drowning
Secondary drowning disebut juga post-immersion drowning atau near drowning
merupakan kasus tenggelam berupa perendaman yang telah diresusitasi dan korban
selamat dalam waktu 24 jam. Korban bisa dalam keadaan sadar atau tidak sadar.
Korban dapat mengalami hipoksemia yang menyebabkan kerusakan otak, edema
paru, sepsis, gangguan elektrolit, edema otak, aritmia, dan anoksia myokardium.

3
Kematian terjadi setelah resusitasi pada 20% kejadian.
 Immersion syndrome
Kematian pada immersion syndrome disebabkan oleh cardiac arrest karena inhibisi
vagal. Inhibisi vagal akibat dari air dingin menstimulasi ujung saraf di permukaan
tubuh, air menghantam epigastrium, atau air dingin masuk ke gendang telinga,
hidung, faring, dan laring yang menstimulasi ujung saraf dari mukosa.

2.3 Patofisiologi Asfiksia akibat Tenggelam


Tenggelam sebagian besar mengakibatkan asfiksia yang berpengaruh ke banyak
sistem organ lain. Secara fisiologis, respirasi merupakan proses involuntari/tidak disadari
yang dikendalikan oleh sistem saraf pusat yang bertujuan untuk pertukaran oksigen (O 2)
dan karbon dioksida (CO2) darah dan jaringan dan memengaruhi pH darah.
Asfiksia dapat didefinisikan dengan obstruksi berkepanjangan pada bagian
manapun dari saluran pernapasan yang memicu penurunan atau ketiadaan kadar O2 pada
organ/jaringan (hipoksia atau anoksia) dan darah arteri (hipoksemia). Salah satu
penyebab asfiksia adalah laringospasme. Aktivasi nervus-nervus laring oleh benda asing
atau cairan dapat memicu laringospasme, yang merupakan mekanisme protektif.
Pada saat tenggelam diarea air yang dalam, seseorang akan menengadahkan kepala
diatas air untuk bernapas hingga kelelahan. kepala akan terendam dan air akan mulai
masuk hidung dan mulut yang dapat memicu respon fisiologis berupa menahan napas
atau apnea. Kepala tidak harus terendam air seluruhnya, seperti pada kasus
tenggelam/pencelupan ditempat yang dangkal seperti wastafel, ember, dan area air yang
dangkal. Menahan napas akan berlanjut hingga titik tertentu atau saat konsentrasi O 2 dan
CO2 dalam darah sedang kritis yang menyebabkan keadaan hipoksia, hipoksemia, dan
hiperkarbia. Kondisi ini memicu reflek gasping atau megap-megap yang menimbulkan
inhalasi udara, jika kepala berada diatas air, atau air, cairan, dan debris, jika kepala masih
terendam dalam air. Laringospasme atau bronkospasme sementara akibat stimulasi
mukosa orofaring dan laring kemungkinan bisa membatasi atau menghalangi masuknya
air ke dalam paru-paru yang biasa dikenal dengan dry drowning. Laring dapat relaksasi
yang memudahkan air untuk masuk ke dalam paru-paru. Adanya cairan yang berada di
saluran pernapasan terminal dan alveoli mengganggu difusi bebas O2 pada membran
alveoli dengan kapiler. Membran aveoli dengan kapiler yang semipermeabel juga
memudahkan transudasi protein darah menuju ke ruang alveoli yang menyebabkan
edema paru (lihat gambar 2.1).

4
Gambar 2.1 Gangguan difusi O2/CO2 oleh inhalasi air/cairan (Armstrong dan Erskine,
2018).

Pada kasus tenggelam yang terendam dan terjadi inhalasi air, air tawar yang relatif
hipotonik akan berdifusi melewati membran aveoli dengan kapiler yang semipermeabel
ke sirkulasi tubuh yang mengakibatkan dilusi dari elektrolit, sedangkan air asin (air laut)
yang hipertonik akan menarik plasma keluar dari sirkulasi menuju ke alveoli yang
menyebabkan hemokonsentrasi.
Terganggunya difusi O2 berakibat hipoksia dan hipoksemia yang semakin berat
sehingga terjadi anoksia, penurunan energi pada otak dengan perburukan fungsi otak,
kegagalan metabolisme energi pada otak, penurunan kesadaran, dan kerusakan sel saraf
yang bersifat irreversibel. Hipoksia sistemik berat bersamaan dengan hiperkarbia juga
menyebabkan asidosis respiratori dan metabolik, sistem kardiovaskular kolaps dengan
kegagalan organ multisistem, dan kematian (Armstrong dan Erskine, 2018).

5
2.4 Temuan/Pemeriksaan pada Jenazah Kasus Tenggelam
2.4.1 Pemeriksaan Eksternal
Pemeriksaan eksternal pada kasus tenggelam bervariasi dan biasanya nonspesifik.
Beberapa temuan pada pemeriksaan eksternal jenazah kasus tenggelam, sebagai
berikut:
 Apabila jenazah dipindahkan dari air sesaat setelah kematian, pakaian korban basah,
kulit terasa basah, dingin, lembab, dan terlihat pucat karena vasokonstriksi pembuluh
darah. Lumpur, alga, rumput, pasir, dan hewan air dapat ditemukan pada tubuh
korban. Wajah bisa terlihat kongesti dan sianosis akibat hipoksia (lihat gambar 2.2)
(Reddy dan Murty, 2014).

Gambar 2.2 Kongesti dan sianosis pada wajah (Armstrong dan Erskine, 2018).

 Jenazah yang terbawa arus atau terseret melawan permukaan tanah akan
menimbulkan abrasi/luka lecet dan laserasi/goresan pada bagian tubuh yang terbuka,
seperti dahi, punggung tangan, lutut, dan bagian atas kaki (lihat gambar 2.3). Luka
setelah kematian akibat serangan hewan laut atau air tawar dan perubahan lingkungan
dapat mengubah atau mengaburkan luka antemortem. Salat satunya, luka akibat
baling-baling bambu berbentuk seperti potongan yang teratur (lihat gambar 2.4)
(Armstrong dan Erskine, 2018).
 Buih atau busa halus dan berwana putih dapat terlihat pada mulut dan lubang hidung
(lihat gambar 2.5). buih atau busa terbentuk karena cairan/air mengiritasi membran
mukus/selaput lendir pada saluran pernapasan.
 Cutis anserina atau goose-skin merupakan kulit pada tubuh korban terlihat mengkerut
dan berbentuk butiran yang sering ditemukan pada bagian paha. Cutis anserina terjadi
akibat spasme dari muskulus arektor pili yang dipicu oleh kontak kulit dengan air
dingin.
 Cadaveric spasm dapat ditunjukkan dengan rumput, daun, kerikil, ranting, atau benda
lain yang digenggam kuat di tangan korban.
6
Gambar 2.3 Abrasi pada dahi (Armstrong dan Erskine, 2018).

Gambar 2.4 Luka akibat baling-baling perahu (Armstrong dan Erskine, 2018).

Gambar 2.5 Buih pada korban tenggelam (Armstrong dan Erskine, 2018).

 Kulit yang basah terjadi karena penyerapan air pada lapisan terluar kulit. Setelah
beberapa jam, kulit akan menjadi basah, menebal, mengekerut, dan berwarna putih,
yang disebut washerwoman’s hands (lihat gambar 2.6) (Reddy dan Murty, 2014).

7
Gambar 2.6 Kulit terlihat pucat dan mengkerut (Armstrong dan Erskine, 2018).

2.4.2 Pemeriksaan Internal


 Paru-paru akan tampak membesar/terjadi edema, lembek, dan krepitan dengan aposisi
atau tumpang tindih pada tepi medial. Buih dan cairan berwarna putih, pink, atau
merah keluar setelah dilakukan irisan pada laring, trakea, bronkus, dan parenkim paru
(Armstrong dan Erskine, 2018).
 Pemeriksaan paru-paru juga juga dapat membedakan apakah korban tenggelam di air
tawar atau air asin (air laut). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbedaan paru-paru antara tenggelam di air tawar dan air laut (Reddy
dan Murty, 2014).
Tenggelam Air Tawar Tenggelam Air Laut
Ukuran dan berat Seperti balon tetapi ringan Seperti balon dan berat
Warna Merah muda pucat Keunguan atau kebiruan
Konsistensi Emfisematus Lembut dan seperti jeli
Bentuk setelah diangkat Tetap; tidak kolaps/jatuh Berubah; cenderung
dari tubuh mendatar
Terdengar krepitasi; Tidak ada krepitasi; buih
Pembedahan sedikit buih dan tidak ada dan cairan yang banyak
cairan

 Lambung berisi air pada 70% kasus tenggelam. Selain air, debris pada daerah sekitar
tempat terjadinya tenggelam, seperti lumpur, dapat ditemukan dalam lambung. Pada
beberapa kasus, muntah dapat terjadi selama fase gasping yang tidak sadar dan isi
lambung dapat ditemukan pada saluran pernapasan.

8
 Otak memadat dan membengkak dengan gyrus yang rata. Organ lainnya juga terjadi
pemadatan (Reddy dan Murty, 2014).
2.5 Pemeriksaan Penunjang pada Kasus Tenggelam
Pemeriksaan penunjang sebagian besar merupakan pemeriksaan laboratorium.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan, diantaranya (Reddy dan Murty, 2014):
 Pemeriksaan diatom
Diatom merupakan organisme uniseluler termasuk dalam kelas Bacillariophyceae.
Diatom memiliki dinding yang mengandung silika, klorofil, dan diatomin/pigmen
coklat, berbentuk bundar, segitiga, oval, persegi panjang, linier, dan sebagainya, dan
tersebar baik di air tawar maupun air laut. Diatom masuk ke dalam sirkulasi tubuh
melalui cairan yang menerobos dinding alveoli yang ruptur dan masuk ke sirkulasi
darah. Tubuh dengan sirkulasi yang masih hidup merupakan satu-satunya cara untuk
mengedarkan diatom dari paru-paru ke organ lain, seperti otak, sumsum tulang, hepar.
Sumsum tulang masih menjadi spesimen pemeriksaan diatom yang sangat cocok dan
reliabel pada kasus kematian akibat tenggelam. Sumsum tulang yang tersering
digunakan adalah tulang panjang, seperti tulang femur, tibia, dan humerus. Jaringan
organ ginjal, hepar, atau otak juga dapat digunakan pada pemeriksaan ini. Penemuan
diatom yang sama antara di area tenggelam dan jaringan tubuh korban mendukung
sebab kematian akibat tenggelam.
 Pemeriksaan darah secara kimia atau Gettler test
Pada keadaan normal, kadar klorida (Cl-) pada ruang jantung kanan dan kiri hampir
sama, sekitar 600mg per 100ml. Ketika tenggelam di air tawar, air (cairan hipotonik)
akan masuk ke sirkulasi darah melalui paru-paru dan terjadi hemodilusi hingga 72&
dalam 3 menit yang menimbulkan darah di ruang jantung kiri akan memiliki kadar Cl -
dibawah 50% dari kadar normal. Pada kasus tenggelam di air laut, air dari sirkulasi
darah akan tertarik ke alveoli hingga 42% yang menimbulkan hemokonsentrasi
sehingga kadar Cl- di ruang jantung kiri akan meningkat 30-40%. Perbedaan kadar Cl -
sebanyak 25% merupakan hasil yang signifikan.
 Pemeriksaan berat jenis plasma
Pada kasus tenggelam, berat jenis plasma pada jantung kiri lebih kecil daripada
jantung kanan.
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

9
3.1 Kesimpulan
1. Asfiksia akibat tenggelam terjadi karena aspirasi cairan ke saluran pernapasan
sehingga mengganggu fungsi pernapasan yang mengakibatkan tidak sadar atau
kematian karena kekurangan oksigen.
2. Kasus tenggelam dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: wet drowning, dry
drowning, secondary/near drowning, dan immersion syndrome.
3. Tenggelam sebagian besar mengakibatkan asfiksia, yaitu obstruksi dari saluran
pernapasan yang memicu penurunan atau ketiadaan kadar oksigen (hipoksia atau
anoksia, dan hipoksemia). Hipoksia sistemik berat bersamaan dengan hiperkarbia
dapat menyebabkan kegegalan organ multisistem hingga kematian.
4. Pada pemeriksaan jenazah kasus tenggelam, pemeriksaan eksternal dan internal
diperlukan untuk menemukan tanda-tanda fisik pada korban yang tewas akibat
tenggelam.
5. Beberapa permeriksaan penunjang pada kasus tenggelam adalah pemeriksaan diatom
pada tulang panjang atau organ lain, pemeriksaan darah secara kimia atau Gettler
test, dan pemeriksaan berat jenis plasma.

3.2 Saran
1. Selalu mengembangkan pengetahuan terkait pemeriksaan korban kasus tenggelam
dengan referensi/literatur terbaru.
2. Pemahaman dan ketelitian dibutuhkan untuk menentukan cara kematian pada
jenazah yang diduga tenggelam.
3. Dokter umum harus mengetahui mekanisme perujukan kepada dokter spesialis
forensik dan medikolegal untuk melakukan tatalaksana bedah mayat pada kasus
tenggelam.

DAFTAR PUSTAKA

10
Armstrong, E.J., & Erskine, K.L. (2018). Investigation of Drowning Deaths: A Practical
Review. Academic forensic pathology, 8(1), 8–43.
Kanth, Z.S., & Ramarao, B. (2019). A Study of Asphyxial Death. Medico-legal Update,
19(2), pp. 286–288.
Leth, P.M. (2019). Homicide by drowning. Forensic Science, Medicine and Pathology.
doi:10.1007/s12024-018-0065-9.
Murthy, V.K., & Rao, P.C.S. (2018). Prospective Study of Mechanical Asphyxial Deaths.
International Journal of Contemporary Medical Research, 5(8), pp. H1-H4.
Reddy, K.S.N., & Murty, O.P. 2014. The Essentials of Forensic Medicine and Toxicology.
Edisi ke-33. New Delhi: Jaypee.
Rey, N.E.K., Mallo, J.F., & Kristanto, E.G. (2017). Gambaran Kasus Kematian dengan
Asfiksia di Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP Prof. Dr. R. D Kandou
Manado Periode 2013 – 2017. Jurnal e-Clinic, 5(2), pp. 200–205.
World Health Organization (WHO). 2021. Drowning [online]. Tersedia di laman:
https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/drowning [Diakses 9 Juli 2021].

11

Anda mungkin juga menyukai