Anda di halaman 1dari 17

Laporan Kasus

KATARAK KONGENITAL
E.C SUSPEK CONGENITAL RUBELLA SYNDROME

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata
Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh

Oleh:

GILANG WIDRATAMA PUTRA


1807101030012

Pembimbing:

dr. Rahmi Adriman, M.Kes, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Katarak Kongenital e.c Suspek Congenital Rubella Syndrome”. Shalawat
beserta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah
membawa umat manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata
RSUD dr.Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh. Ucapan
terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr.Rahmdi
Adriman, M.Kes, Sp.M. yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna
bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran
pada umumnya dan ilmu kesehatan mata khususnya. Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak untuk laporan kasus ini.

Banda Aceh, Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 2
2.1 Anatomi Lensa............................................................................. 2
2.2 Embriologi Lensa........................................................................ 4
2.3 Definisi Katarak Kongenital........................................................ 6
2.4 Epidemiologi Katarak Kongenital............................................... 6
2.5 Etiologi........................................................................................ 6
2.6 Patofisiologi................................................................................. 8
2.7 Manifestasi Klinis........................................................................ 11
2.8 Diagnosis .................................................................................... 11
2.9 Penatalaksanaan........................................................................... 13

BAB III LAPORAN KASUS .................................................................. 16


3.1 Identitas Pasien ........................................................................... 16
3.2 Anamnesis .................................................................................. 16
3.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................... 17
3.4 Foto Klinis Pasien ....................................................................... 20
3.5 Resume........................................................................................ 22
3.6 Diagnosa Kerja ........................................................................... 23
3.7 Terapi ........................................................................................ 23
3.8 Prognosis .................................................................................... 23

BAB IV ANALISA KASUS .................................................................... 24


BAB V KESIMPULAN ......................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia yang sebenarnya dapat
dicegah. Penyakit katarak merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kekeruhan lensa mata
sehingga mengganggu proses masuknya cahaya ke mata. Katarak dapat disebabkan karena
terganggunya mekanisme kontrol keseimbangan air dan elektrolit, karena denaturasi protein
lensa atau gabungan keduanya.(1,2)
Katarak kongenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir pada tahun pertama
kehidupan dan merupakan salah satu penyebab kebutaan pada anak yang sering di jumpai. Orang
tua akan menyadari untuk pertama kali dengan melihat ada bercak putih seperti awan pada mata
anak, tergantung pada derajat katarak yang dialami anak tersebut. Katarak kongenital dapat
disebabkan oleh kelainan genetik, infeksi intrauterin, berkaitan dengan sindroma, ataupun
idiopatik.(3)
Pada tahun 2010, prevalensi katarak di Amerika Serikat adalah 17,1%. Katarak paling
banyak mengenai ras putih (80%) dan perempuan (61%). Menurut hasil survei Riskesdas 2013,
prevalensi katarak di Indonesia adalah 1,4%, dengan responden tanpa batasan umur.(4,5)
Prevalensi katarak kongenital secara global mencapai angka 1-15 per 10000 anak, dan prevalensi
katarak kongenital di negara berkembang 10 kali lipat dibandingkan di negara maju. Ada sekitar
200.000 anak di seluruh dunia yang menderita kebutaan akibat katarak kongenital dan 133.000
diantaranya merupakan penduduk negara berkembang.(6)
Kelainan herediter, penyakit sistemik, dan gangguan metabolisme merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap terbentuknya katarak kongenital. Penelitian di India mendapatkan 7.2%
kasus merupakan herediter, 4.6% terkait sindrom rubella kongenital, 15.1% merupakan katarak
sekunder, dan 73% tidak dapat ditentukan. Kasus katarak kongenital yang bersifat herediter lebih
banyak terdapat pada kasus bilateral dibandingkan unilateral. Penelitian yang dilakukan terhadap
penderita katarak kongenital di UK mendapatkan 56% kasus bilateral dan hanya 6% kasus
unilateral yang merupakan herediter.(7)
Salah satu terapi untuk penderita katarak kongenital adalah operasi untuk mengangkat
opasitas lensanya. Terapi operasi ini dilakukan pada pasien dengan hasil red reflex yang negatif.

4
Pemeriksaan red reflex post operasi perlu dilakukan dan dicatat untuk diamati perubahan red
reflex sebelum dan setelah operasi. Usia anak penderita katarak kongenital saat dioperasi dapat
mempengaruhi prognosis penglihatan yang signifikan di kemudian hari. Keterlambatan usia
operasi dapat memperburuk prognosis, hal ini disebabkan karena timbulnya kelainan mata
lainnya pada penderita katarak kongenital, diantaranya ambliopia, strabismus, dan nistagmus.
Untuk mencapai hasil seoptimal mungkin, sebaiknya katarak kongenital bilateral dioperasi
sebelum usia 10 minggu, dan katarak kongenital unilateral dioperasi lebih cepat lagi, yaitu
sebelum usia 6 minggu.(8)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Katarak berasal dari bahasa Yunani yang berarti Katarrahakies, bahasa Inggris Cataract,
dan bahasa latin Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular, dimana
penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak dapat terjadi akibat
hidrasi, denaturasi protein atau keduanya.(9)
Katarak kongenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir pada tahun pertama
kehidupan dan merupakan salah satu penyebab kebutaan pada anak yang sering di jumpai. Orang
tua akan menyadari untuk pertama kali dengan melihat ada bercak putih seperti awan pada mata
anak, tergantung pada derajat katarak yang dialami anak tersebut. Katarak kongenital dapat
disebabkan oleh kelainan genetik, infeksi intrauterin, berkaitan dengan sindroma, ataupun
idiopatik.(3)

5
2.2 Anatomi
Lensa adalah bagian dari bola mata yang berbentuk bikonveks, avaskular, transparan,
terletak di belakang iris dan di depan vitreus, ditopang oleh Zonula Zinii yang melekat ke korpus
siliaris (Gambar 1).(2)

Gambar 1 : Bola Mata gambar 2: Lensa Mata


Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat vitreus.
Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali mineral yang biasa
ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan
jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi.
Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah ataupun saraf di lensa.(10)
Lensa terdiri dari kapsul, epitel, korteks, dan nukleus (Gambar 2). Kapsul lensa yang
bersifat elastik berfungsi untuk mengubah bentuk lensa pada proses akomodasi. Kapsul lensa
adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan
terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai
dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-
kelamaan menjadi kurang elastis.(2,10)

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Diperkirakan 50% penyebab katarak kongenital idiopatik, 30% herediter (20%
diantarnya autosomal dominan), selebihnya oleh karena sebab lain. Wanita sebagai pembawa
sifat (carrier) menunjukkan kekeruhan pada Y suture lensa tapi tidak terlihat jelas. Menurut

6
Friedman 50% katarak kongenital adalah mutasi baru, yang mana 8,3 - 23 bersifat familial.
Sementara itu pewarisan secara autosomal dominan, autosomal resesif dan X-linked jarang
ditemukan.(1,6,8)

Secara skematik penyebab terjadinya katarak kongenital dapat di bagi atas :

1. Idiopatik
2. Pewarisan Mendel
a) Autosomal Dominan
b) Autosomal Resesif
c) X-linked
3. Infeksi intrauterine
a) Rubella
b) Chicken pox/ Herpes zoster
c) Herpes Simpleks
d) Cytomegalovirus
4. Prematuritas

5. Gangguan Metabolik
a) Galaktosemia
b) Sindrom Lowe
c) Sindrom Alport
6. Gangguan Kromosom
a) Trisomy- 21 ( Sindrom Down )
b) Trisomy- 13 ( Sindrom Patau )
c) Trisomy- 18 ( Sindrom Edwar )
7. Abnormalitas Okuler
a) Mikroptalmia
b) Aniridia
c) Persisten Hiperplasia Primary Vitreous ( PHPV )

2.4 Epidemiologi

7
Prevalensi katarak kongenital secara global mencapai angka 1-15 per 10000 anak, dan
prevalensi katarak kongenital di negara berkembang 10 kali lipat dibandingkan di negara maju.
Ada sekitar 200.000 anak di seluruh dunia yang menderita kebutaan akibat katarak kongenital
dan 133.000 diantaranya merupakan penduduk negara berkembang. Menurut Riskesdas tahun
2013, prevalensi katarak di Indonesia adalah 1,8% dan untuk provinsi Sumatera Barat
prevalensinya adalah 2,3%, sedangkan angka prevalensi khusus untuk katarak kongenital belum
tersedia. Data dari RSUP Dr. M. Djamil Padang didapatkan dari 180 kasus katarak berumur di
bawah 40 tahun yang dioperasi di bagian mata dari tahun 1991-1999, 31% merupakan kasus
katarak kongenital.(3,5)
Katarak kongenital lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita. Meskipun
secara umum tidak ada predileksi jenis kelamin tertentu terhadap kejadian katarak pada anak,
akan tetapi perbedaan angka prevalensi tersebut diamati untuk menghubungkan dengan
ekspektasi sosial terhadap peran anak laki-laki dalam masyarakat. Katarak kongenital bilateral
ditemukan lebih banyak dibandingkan unilateral. Jumlah penderita katarak kongenital bilateral
adalah 73% dan unilateral 27%, kemudian perbandingan penderita katarak kongenital pria
dengan wanita adalah 57.2% : 42.8% di RSUP Dr. M. Djamil Padang, pada tahun 1991-1999.(3,11)

2.5 Menifestasi Klinis


Gejala yang paling sering dan mudah dikenali adalah leukokoria. Gejala ini kadang-
kadang tidak terlihat jelas pada bayi yang baru lahir, karena pupil miosis. Bila katarak binokuler,
penglihatan kedua mata buruk sehingga orangtua biasanya membawa anak dengan keluhan anak
kurang melihat, tidak dapat fokus atau kurang bereaksi terhadap sekitarnya. Gejala lain yang
dapat di jumpai antar lain fotofobia, strabismus, nistagmus. Adanya riwayat keluarga perlu
ditelusuri karena kira-kira sepertiga katarak kongenital merupakan herediter. Riwayat kelahiran
yang berkaitan dengan prematuritas, infeksi maternal, pemakaian obat-obatan dan radiasi selama
kehamilan perlu ditanyakan.(2,12)
Katarak kongenital sering hadir bersamaan dengan kelainan okuler atau sistemik lain. Hal
ini didapatkan pada pasien-pasien dengan kelainan kromosom dan gangguan metabolik.
Kelainan okuler yang dapat ditemukan antara lain mikroptalmus, megalokornea, aniridia,
koloboma, pigmentasi retina, atrofi retina, dan lain-lain. Sedangkan kelainan non okuler yang di

8
dapat antara lain : retardasi mental, gagal ginjal, anomali gigi, penyakit jantung kongenital,
wajah mongoloid dan sebagainya. (2,12)

2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Memperhatikan anamnesa lengkap, onset dan tanda serta gejala dari status okuli
dari pemeriksaan mata sebelumnya dapat membantu prognosis penglihatan setelah terapi.
Selain itu, dalam anamnesa juga harus diperoleh informasi mengenai tumbuh kembang
anak, kebiasaan makan, kelainan tumbuh kembang lainnya, lesi kulit dan riwayat
keluarga.(2,13)
2. Fungsi Penglihatan
Perkembangan fungsi penglihatan dapat dibantu dari anamnesa, observasi dari
fiksasi dan refleks, pemeriksaan tingkah laku, dan pemeriksaan elektrofisiologi. Anak
dengan katarak kongenital bilateral biasanya menunjukkan penurunan penglihatan dan
perkembangan yang terlambat, fiksasi okuli dan pergerakan mata dapat menurun atau
tidak ada. Strabismus juga dapat di jumpai, khususnya pada anak dengan katarak
unilateral. Nistagmus terjadi karena kehilangan penglihatan awal dan sebagai tanda
bahwa penglihatan bisa menjadi turun setelah terapi. (2,13)

3. Pemeriksaan Segmen Anterior


Pemeriksaan dengan slit-lamp dapat menjelaskan morfologi dari katarak dan
dapat membantu menentukan penyebab dan prognosis. Hal yang berhubungan dengan
kornea abnormal, iris dan pupil dapat dicatat. Slit lamp yang mudah dibawa secara
khusus membantu pemeriksaan bayi dan anak. Glaukoma bisa dikesampingkan
karena katarak dan glaukoma dihubungkan dengan rubella congenital dan Lowe
Syndrome. (2,13)
4. Pemeriksaan Funduskopi
Suatu pemeriksaan untuk melihat keadaan retina dan optic disc untuk
memperkirakan penglihatan potensial dari mata. Ketika katarak sudah komplit dan
menghambat aksis penglihatan. B-ultrasonografi dapat digunakan untuk menyingkirkan
retina dan vitreous patologis. Secara khusus penting dilakukan pada pasien dengan
katarak bilateral yang tebal untuk melihat adanya retinoblastoma. (2,13)

9
2.7 Tatalaksana
Tatalaksana definitif untuk katarak saat ini adalah tindakan bedah. Beberapa penelitian
seperti penggunaan vitamin C dan E dapat memperlambat pertumbuhan katarak, namun belum
efektif untuk menghilangkan katarak.(1,2)
Tujuan tindakan bedah katarak adalah untuk mengoptimalkan fungsi penglihatan.
Keputusan melakukan tindakan bedah tidak spesifik tergantung dari derajat tajam penglihatan,
namun lebih pada berapa besar penurunan tersebut mengganggu aktivitas pasien. Indikasi
lainnya adalah bila terjadi gangguan stereopsis, hilangnya penglihatan perifer, rasa silau yang
sangat mengganggu, dan simtomatik anisometrop. Indikasi medis operasi katarak adalah bila
terjadi komplikasi antara lain: glaukoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik,
dislokasi lensa ke bilik depan, dan katarak sangat padat sehingga menghalangi pandangan
gambaran fundus karena dapat menghambat diagnosis retinopati diabetika ataupun glaukoma.
(1,2)

Beberapa jenis tindakan bedah katarak :


1. Ekstraksi Katarak Intrakapsuler (EKIK).
EKIK adalah jenis operasi katarak dengan membuang lensa dan kapsul secara
keseluruhan. EKIK menggunakan peralatan sederhana dan hampir dapat dikerjakan pada
berbagai kondisi. Terdapat beberapa kekurangan EKIK, seperti besarnya ukuran irisan
yang mengakibatkan penyembuhan luka yang lama, menginduksi astigmatisma pasca
operasi, cystoid macular edema (CME), dan ablasio retina. Meskipun sudah banyak
ditinggalkan, EKIK masih dipilih untuk kasuskasus subluksasi lensa, lensa sangat padat,
dan eksfoliasi lensa. Kontraindikasi absolut EKIK adalah katarak pada anak-anak,
katarak pada dewasa muda, dan ruptur kapsul traumatik, sedangkan kontraindikasi relatif
meliputi miopia tinggi, sindrom Marfan, katarak Morgagni, dan adanya vitreus di kamera
okuli anterior. (1,2)
2. Ekstraksi Katarak Ekstrakapsuler (EKEK)
a) EKEK konvensional
EKEK adalah jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan
korteks lensa melalui lubang di kapsul anterior. EKEK meninggalkan kantong
kapsul (capsular bag) sebagai tempat untuk menanamkan lensa intraokuler (LIO).

10
Teknik ini mempunyai banyak kelebihan seperti trauma irisan yang lebih kecil
sehingga luka lebih stabil dan aman, menimbulkan astigmatisma lebih kecil, dan
penyembuhan luka lebih cepat. Pada EKEK, kapsul posterior yang intak
mengurangi risiko CME, ablasio retina, edema kornea, serta mencegah
penempelan vitreus ke iris, LIO, atau kornea. (1,2)
b) Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Teknik EKEK telah dikembangkan menjadi suatu teknik operasi dengan
irisan sangat kecil (7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan jahitan, teknik ini
dinamai SICS. Oleh karena irisan yang sangat kecil, penyembuhan relatif lebih
cepat dan risiko astigmatisma lebih kecil dibandingkan EKEK konvensional.
SICS dapat mengeluarkan nukleus lensa secara utuh atau dihancurkan. Teknik ini
populer di negara berkembang karena tidak membutuhkan peralatan
fakoemulsifikasi yang mahal, dilakukan dengan anestesi topikal, dan bisa dipakai
pada kasus nukleus yang padat. Beberapa indikasi SICS adalah sklerosis nukleus
derajat II dan III, katarak subkapsuler posterior, dan awal katarak kortikal. (1,2)
c) Fakoemulsifikasi
Teknik operasi fakoemulsifikasi menggunakan alat tip ultrasonik untuk
memecah nukleus lensa dan selanjutnya pecahan nukleus dan korteks lensa
diaspirasi melalui insisi yang sangat kecil. Dengan demikian, fakoemulsifikasi
mempunyai kelebihan seperti penyembuhan luka yang cepat, perbaikan
penglihatan lebih baik, dan tidak menimbulkan astigmatisma pasca bedah. Teknik
fakoemulsifikasi juga dapat mengontrol kedalaman kamera okuli anterior serta
mempunyai efek pelindung terhadap tekanan positif vitreus dan perdarahan
koroid. Teknik operasi katarak jenis ini menjadi pilihan utama di negara-negara
maju. (1,2)
2.8 Prognosis

Keterlambatan usia operasi dapat memperburuk prognosis, hal ini disebabkan karena
timbulnya kelainan mata lainnya pada penderita katarak kongenital, diantaranya ambliopia,
strabismus, dan nistagmus. Operasi sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada penderita katarak
kongenital melihat banyaknya kelainan mata lain yang dapat timbul sehingga mempengaruhi
prognosis nantinya. Lateralitas juga dapat diperhitungkan saat menentukan jadwal operasi.

11
Katarak kongenital unilateral sebaiknya dioperasi lebih cepat karena kemungkinan untuk
timbulnya ambliopia dan kelainan mata lainnya lebih cepat dibanding katarak bilateral. Untuk
mencapai hasil seoptimal mungkin, sebaiknya katarak kongenital bilateral dioperasi sebelum usia
10 minggu, dan katarak kongenital unilateral dioperasi lebih cepat lagi, yaitu sebelum usia 6
minggu.(8,14)

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : MF
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No.Cm : 1-23-25-92
Alamat : Aceh Selatan
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Pemeriksaan : 27 Desember 2019

3.2 Anamnesis
 Keluhan Utama : Penglihatan menurun pada mata kiri
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUDZA dibawa oleh keluarganya dengan keluhan penurunan
penglihatan pada mata kiri yang sudah dialami pasien sejak 3 hari terakhir. Menurut

12
pengakuan keluarga pasien, awalnya pasien sedang makan sate kemudian tanpa sengaja
mata kiri pasien tertusuk oleh lidi sate tersebut. Segera setelah kejadian tersebut pasien
mengeluhkan nyeri pada mata kirinya, kemudian pandangan menjadi kabur hingga tidak
dapat melihat menggunakan mata kirinya. Pasien juga mengeluh kedua mata merah, sedikit
berair, silau jika terkena cahaya. Riwayat mual dan muntah tidak ada, riwayat sakit kepala
tidak ada.

 Riwayat Penyakit Keluarga: Disangkal

 Riwayat Pengobatan: Pasien telah berobat ke puskesmas namun tidak mengetahui nama
obat yang diberikan.

3.3 Pemeriksaan Fisik


1. Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
2. Status Oftalmologis
OD (Mata Kanan) Penilaian OS (Mata Kiri)
5/10 Visus 1/~
Ortoforia Uji Hirscberg Ortoforia

Gerakan Bola Mata

Tenang Palpebra Superior Blefarospasme (+)


Tenang Palpebra Inferior Tenang
Tenang Conjungtiva Tarsal Superior Hiperemis (+)
Tenang Conjungtiva Tarsal Inferior Hiperemis (+)
Injeksi silier (+), injeksi
Tenang Conjungtiva Bulbi
konjungtiva (+)
Jernih Kornea Laserasi (+)
Dalam COA Dalam
Bulat, RCL (+), RCTL (+) Pupil Bulat, RCL (+), RCTL (+)
Kripta (+) Iris Kripta (+)
Jernih Lensa Keruh
Jernih Vitreous Sulit dinilai
Baik Retina Sulit dinilai

13
3.4 Foto Klinis

Gambar 11. Foto klinis pasien


3.5 Resume
Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 9 tahun, pasien datang dengan penurunan
penglihatan pada mata kiri yang sudah dialami pasien sejak 3 hari yang lalu. Keluhan
dialami pasien secara mendadak setelah mata kirinya tertusuk lidi sate, kemudian terasa
nyeri dan merah pada mata kiri, mata berair dan pengelihatan menurun. Keluhan mual dan
muntah disangkal. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOS 1/~, befarospasme pada

14
kelopak mata kiri atas, dijumpai injeksi konjungtiva, injeksi siler, laserasi kornea dan lensa
tampak keruh.

3.6 Diagnosa Kerja


1. Katarak traumatik OS ec trauma okuli perforans
2. Laserasi Kornea OS ec trauma okuli perforans
3.7 Terapi
Medikamentosa
 Ciprofloksasin 500mg 2x sehari ½ tablet
 Metilprednisolon 4mg 3x sehari 1 tablet
 Vigamox ED 8x sehari OS
Tindakan Bedah
 Ekstraksi katarak
 Repair kornea
3.8 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Lens and cataract. 2014-2015 Basic and clinical
Science course. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2015.

2. Suhardjo SU, Agni AN. Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed. Yogyakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2012.

3. Lely RW, Kristina RHK. Katarak pediatrik: Profil klinik dan faktor determinan hasil
terapi. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 27(3):178-183; 2013.

4. Cataracts statistics and data [Internet]. National Eye Institute; 2010 [8th November
2016]; Available from: https://nei.nih.gov/eyedata/cataract.

5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013.

16
6. Rajavi Z, Mokhtari S, Sabbaghi H, Yaseri M. Long-term visual outcome of congenital
cataract at a tertiary referral center from 2004 to 2014. Journal of Current
Ophthalmology, 27:103-109; 2015.

7. Yi J, Yun J, Li ZK, Xu CT, Pan BR. Epidemiology and molecular genetics of congenital
cataracts. Int J Ophthalmol, 4(4):422-432; 2011.

8. American Academy of Ophthalmology. Pediatric ophthalmology and strabismus. Section


6. Singapore: Basic and Clinical Science Cource, pp: 245-260; 2014.

9. Ilyas, Sidarta. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, p.200-11; 2007.

10. Bobrow JC. Lens and Cataract. American Academy of Opthalmology. Section 11.
Edition 2005-2006. San Francisco, USA. p. 19-23, 5-10, 91-105, 199 – 204.

11. Sayuti K, Aziz A, Nasrul M. Profil Leukokoria pada anak di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. MKA, 37(1):38-43; 2014.

12. Gimbel HV, Condon GP, Kohnen T, Olson RJ, Halkiadakis I. Late in-the-bag intraocular
lens dislocation: incidence, prevention, and management. J Cataract Refract Surg.
2005;31(11):2193-2204.

13. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 6th ed. Edinburgh:
Butterworth Heinemann/Elsevier; 2007.

14. Lee S, Park J. Strabismus and nystagmus in the congenital cataracts. Acta
Ophthalmologica, 92(s253); 2014.

17

Anda mungkin juga menyukai