Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kehamilan ektopik adalah implantasi telur yang dibuahi di luar rongga


uterus, termasuk tuba fallopi (sekitar 97,7%), leher rahim, ovarium, daerah kornu
uterus, dan rongga perut. Dari kehamilan tuba, ampula adalah tempat implantasi
yang paling umum (80%), diikuti oleh isthmus (12%), fimbria (5%), cornua (2%),
dan interstitia (2-3%). Pada kehamilan ektopik (istilah ektopik berasal dari kata
Yunani ektopos, yang berarti tidak pada tempatnya), kehamilan tumbuh dan
menarik suplai darahnya dari tempat implantasi abnormal. Ketika kehamilan
membesar, kehamilan ektopik menciptakan potensi pecahnya organ, karena hanya
rongga uterus yang dirancang untuk memperluas dan mengakomodasi
perkembangan janin. Kehamilan ektopik dapat menyebabkan perdarahan masif,
infertilitas, atau kematian . Pada tahun 1992, jumlah kehamilan ektopik meningkat
menjadi 108.800. Secara bersamaan, tingkat kasus kematian menurun dari 35,5
kematian per 10.000 kasus pada tahun 1970 menjadi 2,6 per 10.000 kasus pada
tahun 1992. Peningkatan kejadian kehamilan ektopik sebagian telah dikaitkan
dengan peningkatan kemampuan dalam membuat diagnosis sebelumnya.
Kehamilan ektopik yang sebelumnya mengakibatkan abortus tuba atau reabsorpsi
spontan yang lengkap dan tetap tidak terdiagnosis secara klinis sekarang
terdeteksi.
Pada tahun antara 1980 dan 1990, terapi medis untuk kehamilan ektopik
yang dulu diimplementasikan sekarang telah digantikan dengan terapi bedah
dalam banyak kasus. Karena kemampuan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik
meningkat, dokter akan dapat melakukan intervensi lebih cepat, mencegah gejala
yang mengancam jiwa dan kerusakan tuba yang luas, serta diharapkan
melestarikan kesuburan di masa yang akan datang.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang
telah di buahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari
95% kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba Falopii).
Kejadian kehamilan ektopik tidak sama di antara senter pelayanan
kesehatan. Hal ini bergantung pada kejadian salpingitis seseorang. Di Indonesia
kejadian sekirar 5-6 per seribu kehamilan. Patofisiologi terjadinya kehamilan
ektopik tersering karena sel telur yang sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju
endometrium tersendat sehingga embrio sudah berkembang sebelum mencapai
kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di luar rongga Rahim. Bila kemudian
tempat nidasi tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buah
kehamilan, akan terjadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik terganggu.1
Berdasarkan
lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5
berikut ini:1
1. Kehamilan tuba, meliputi >95% yang terdiri atas:
Pars ampularis (55%), pars ismika (25%), pars fimbriae (17%), dan pars
interstisialis (2%)
2. Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium,
atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan
kehamilan sekunder dimana semula merupakan kehamilan tuba yang
kemudian abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars
abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio/buah kehamilannya
mengalami reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di
mesenterium/mesovarium atau di omentum
3. Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat sedikit
4. Kehamilan heterotopic, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin
berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik.
Kejadian sekitar satu per 15.000 – 40.000 kehamilan.

2
5. Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun
sangat jarang terjadi.

Gambar 2.1
Lokasi kejadian kehamilan ektopik

2.2 EPIDEMIOLOGI
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (1995), angka
kehamilan ektopik terus meningkat di Amerika Serikat sepanjang tahun 1990.
Setelah itu, karena semakin luasnya penerapan terapi rawat-jalan maka data pasti
tentang jumlah kehamilan ektopik yang sebenarnya tidak lagi tersedia setelah
tahun 1990. Dengan demikian, angka 1,9 persen pada tahun 1992 serupa dengan
angka 2,1 persen yang dilaporkan dari K Permanente of North Carolina pada lebih
dari 125.000 kehamilan dari tahun 1997 sampai 2000.2

3
Sejumlah alasan dapat menjelaskan, paling tidak secara parsial,
meningkatnya angka kehamilan ektopik di Amerika Serikat dan banyak negara
Eropa. Sebagian dari alasan tersebut adalah:
1. Meningkatnya prevalensi infeksi menular seksual, terutama yang
disebabkan oleh Clamydia trachomatis.
2. Identifikasi lebih dini kehamilan ektopik bila tidak akan mengalami
resorpsi spontan.
3. Popularitas kontrasepsi yang mempermudah kegagalan kehamilan mejadi
kehamilan ektopik.
4. Teknik sterilisasi tuba yang dengan kegagalan kontrasepsi akan
meningkatkan kemungkinan kehamilan ektopik.
5. Assisted reproductive technology.
6. Bedah tuba, termasuk salpingotomi untuk kehamilan tuba dan tuboplasti
untuk infertilitas.

Menurut World Health Organitation (2007), kehamilan ektopik adalah


penyebab hampir 5 persen kematian ibu hamil di negara maju. Namun, kematian
akibat kehamilan ektopik di Amerika Serikat kini semakin jarang terjadi setelah
tahun 1970-an. Penurunan ini kemungkinan besar disebabkan oleh membaiknya
diagnosis dan penatalaksanaan. Namun, menurut Grimes (2006), dari tahun 1991
sampai 1999, perkiraan angka kematian untuk kehamilan ektopik adalah 32 per
100.000 kelahiran dibandingkan dengan angka kematian ibu hamil sebesar 7 per
100.000 kelahiran hidup. Masih terdapat kesenjangan yang nyata antara wanita
kulit hitam dan kulit putih baik dari insiden maupun angka kematian-kasus.2

2.3 ETIOLOGI
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karemna secara
patofisiologi mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak
pembuahan sampai nidasi. Bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium

4
menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang disebutkan adalah
sebagai berikut:

1. Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu.
Keadaan uterus yang mengalami hypoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi
dengan baik. Juga pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau
diventrikel saluran tuba yang bersifat kongenital.
Adanya tumor disaluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang
menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi
kehamilan ektopik.
2. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti
dan tumbuh di saluran tuba.

3. Faktor ovarium

Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang


kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang
sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.

4. Faktor hormonal

Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat


mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.

5. Faktor lain

Termasuk di sini antara lain adalah pemakaian IUD dimana proses


peradangan yang dapat di timbul pada endometrium dan endosalping dapat

5
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah
menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan
ektopik.1
2.3.1 Faktor Resiko
Resiko Tinggi Resiko Sedang Resiko Rendah
Riwayat operasi tuba infertilitas Riwayat operasi
panggul/abdomen
Sterilisasi Riwayat infeksi genital
Riwayat kehamilan Pasangan seksual >1 Kebiasaan bilas vagina
ektopik
Paparan dietilstilbestrol Sedikit sampai tidak ada Usia pertama kali
(DES) intrauterine berhubungan seksual >18
tahun
Penggunaan AKDR Tidak ada Tertutup
Adanya patologi tuba Merokok
Tabel 1 Faktor resiko kehamilan ektopik terganggu7

2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi kehamilan ektopik:
2.4.1 Kehamilan Tuba
Fertilisasi dapat terjadi di bagian mana saja di tuba falopii, sekitar 55%
terjadi di ampulla, 25% di ismus, 17% di fimbria. Oleh karena lapisan submucosa
di tuba falopii tipis, memungkinkan ovum yang telah dibuahi dapat segera
menembus sampai ke epitel, zigot akan segera tertanam di lapisan muskuler.
Trophoblas berploriferasi dengan cepat dan menginvasi daerah sekitarnya. Secara
bersamaan, pembuluh darah ibu terbuka menyebabkan terjadi perdarahan di ruang
antara trofoblas, atau antara trofoblas dan jaringan di bawahnya. Dinding tuba
yang menjadi tempat implantasi zigot mempunyai ketahanan yang rendah
terhadap invasi trofoblas. Embrio atau janin pada kehamilan ektopik seringkali
tidak ditemukan atau tidak berkembang.

6
2.4.2 Kehamilan Abdominal
Kehamilan abdominal dapat terjadi akibat implantasi langsung hasil
konsepsi di dalam kavum abdomen yang disebut sebagai kehamilan abdominal
primer, atau awalnya dari kehamilan tuba yang rupture dan hasil konsepsi yang
terlepas selanjutnya melakukan implantasi di kavum abdomen yang disebut
sebagai kehamilan abdominal sekunder.
Efek kehamilan tuba yang rupture terhadap kelangsungan kehamilan bervariasi,
tergantung pada luasnya kerusakan plasenta. Janin akan mati bila plasentanya
rusak cukup luas. Akan tetapi, jika sebagian besar plasenta tertahan di tempat
perlekatannya di tuba, perkembangan lanjut bisa terjadi. Selain itu, plasenta dapat
pula terlepas dari tuba dan mengadakan implantasi pada struktur panggul,
termasuk uterus, usus, ataupun dinding panggul.
Keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri abdomen, nausea, muntah,
malaise, dan nyeri saat janin bergerak. Gambaran klinik yang paling sering
ditemukan adalah nyeri tekan abdomen, presentasi janin abnormal, dan lokasi
serviks uteri yang berubah. USG merupakan metode pemeriksaan yang akurat
untuk menegakkan diagnosis, tetapi yang dapat didiagnosis sebelum terjadi
perdarahan intraabdominal kurang dari setengah kasus. Pilihan penanganan adalah
segera melakukan pembedahan, kecuali pada beberapa kasus tertentu, seperti usia
kehamilan mendekati viable. Jika memungkinkan jaringan plasenta sebaiknya
dikeluarkan, jika tidak, dapat dilakukan pemberiang metotreksat.1

2.4.3 Kehamilan Ovarial


Gejala klinik hamper sama dengan kehamilan tuba. Kenyataannya,
kehamilan ovarial seringkali dikacaukan dengan perdarahan korpus luteum saat
pembedahan, diagnosis seringkali dibuat setelah pemeriksaan histopatologi.
Kriteria diagnosis termasuk tuba ipsilateral utuh, jelas terpisah dari ovarium,
kantong gestasi berada di ovarium, kantong kehamilan berhubungan dengan
uterus melalui ligamentum ovarium, jaringan ovarium di dinding kantong gestasi.

2.4.4 Kehamilan Servikal


Riwayat dilatasi dan kuret merupakan faktor predisposisi kehamilan

7
servika, ditemukan pada lebih dari 2/3. Selain itu, tindakan In vitro fertilization
(IVF) dan riwayat seksio sesarea sebelumnya juga meningkatkan risiko. Gejala
yang umum ditemukan adalah perdarahan pervaginam tanpa disertai rasa nyeri.
Pada umumnya serviks membesar, hiperemis, atau sianosis. Seringkali diagnosis
ditegakkan hanya secara kebetulan saat melakukan pemeriksaan USG rutin atau
saat kuret karena dugaan abortus inkomplit. Diagnosis awal ditegakkan dengan
observasi kantong kehamilan di sekitar serviks saat melakukan pemeriksaan USG.
Bila kondisi hemodinamik stabil, penanganan konservatif untuk mempertahankan
uterus merupakan pilihan. Pemberian metotreksat dengan cara local dan atau
sistemik menunjukkan keberhasilan sekitar 80%. Histerektomi dianjurkan jika
kehamilan telah memasuki trimester kedua akhir ataupun ketiga.

2.4.5 Kehamilan Pars Interstisialis Tuba


Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada para interstisialis
tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya 1% dari semua kehamilan tuba.
Rupture pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir
bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera
dioperasi, akan menyebabkan kematian.
Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparotomy untuk membersihkan
isi kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber
perdarahan dengan melakukan irisan baji (wedge resection) pada kornu uteri di
mana tuba pars intertisialis berada. Perlu diperhatikan pasca tindakan ini untuk
kehamilan berikutnya.

2.4.6 Kehamilan Ektopik Ganda


Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan
kehamilan intrauterine. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda (combined
ectopic pregnancy). Frekuensinya berkisar 1 diantara 15.000 – 40.000 persalinan.
Di Indonesia dilaporkan sudah ada beberapa kasus.
Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik
yang terganggu. Pada laparotomy ditemukan selain kehamilan ektopik uterus
yang membesar sesuai dengan tuanya kehamilan, dan 2 korpora lutea.

8
Pengamatan lebih lanjut adanya kehamilan intrauterine menjadi lebih jelas.
Setelah laparotomy untuk mengelola kehamilan ektopiknya kehamilan
intrauterine dapat berlanjut seperti kehamilan lainnya.1

2.5 PATOFISIOLOGI
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai
endometrium untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan
kemudian akan mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada
umumnya. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk
pertumbuhan embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami
beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini:
2.5.1 Hasil Konsepsi Mati Dini dan Diresorbsi
Pada implanttasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeliuh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
2.5.2 Abortus ke Dalam Lumen Tuba (Abortus Tubaria)
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.
Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat
perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah ostium
tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba bergantung pada implantasi
telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan
pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis kea rah
peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini
disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti
lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian ismus
dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga

9
berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan
tuba membesar dan kebiruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke
rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglasi
dan akan membentuk hematokel retrouterina.

2.5.3 Ruptur Dinding Tuba


Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya, rupture pada pars interstisial terjadi
pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptut ialan
penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Rupture dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan seperti koitus dan
pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut,
kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan
kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam
lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba
abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruput sekunder dapat
terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas,
pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang rupture terjadi di arah
ligamentum itu.jika janin giduo terus, terdapat kehamilan intraligamenter.
Pada rupture ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi
bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari
tuba. Perdarahan dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh
dalam keadaan anemia atau syok oleh karena hemoragia. Darah tertampung pada
rongga perut akan mengalir ke kavum Douglasi yang makin lama makin banyak
dan akhirnya dapat memenuhi rongga abdomen. Bila penderita ini tidak dioperasi
dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan
yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat
direbsorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam
rongga perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk

10
mencukupi kebtuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan
implantasinya ke jaringan disekitarnya, misalnya ke sebagian uterus, ligamentum
latum, dasar panggul, dan usus.1

2.6 GAMBARAN KLINIS


Wanita dengan kehamilan tuba memperlihatkan beragam gejala klinis
yang sebagian besar bergantung pada ada tidaknya rupture. Manifestasi pasien
yang lebih awal dan teknik diagnostic yang lebih baik memungkinkan sebagian
besar kasus terdeteksi sebelum rupture. Biasanya wanita yang bersangkutan tidak
mencurigai kehamilan tuba dan beranggapan bahwa kehamilannya normal, atau
beranggapan ia mengalami keguguran. Gejala dan tanda kehamilan ektopik sering
samar atau bahkan tidak ada.
Tanpa diagnosis dini, perjalanan alami kasus “klasik” ditandai oleh
keterlambatan haid (dengan lama bervariasi) diikuti oleh spotting atau perdarahan
ringan per vagina. Jika terjadi rupture, pasien biasanya mengalami nyeri hebat di
abdomen bawah dan panggul yang sering diungkapkan sebagai nyeri yang tajam,
menusuk, atau merobek. Terjadi gangguan vasomotor, berkisar dari vertigo
hingga sinkop. Dijumpai nyeri tekan pada palpasi abdomen, dan pemeriksaan
dalam bimanual, terutama penggoyangan serviks, menyebabkan nyeri hebat.
Forniks posterior vagina mungkin menonjol karena darah berkumpul di cul-de-sac
rektouterus, atau mungkin teraba suatu massa nyeri tekan di salah satu sisi uterus.
Gejala iritasi diafragma, yang ditandai oleh nyeri di leher atau bahu, terutama
ketika inspirasi, mungkin timbul pada sekitar separuh wanita dengan perdarahan
intraperitoneum yang cukup besar.
Sebagian besar wanita datang untuk berobat pada awal perkembangan
kehamilan ektopik. Pada sebagian, diagnosis ditegakkan bahkan sebelum gejala
muncul. Temuan yang umum dijumpai mencakup berikut:
1. Nyeri. Nyeri panggul dan abdomen dilaporkan oleh 95 persen wanita
dengan kehamilan tuba. Pada gestasi tahap lanjut, Dorfman dkk (1984)
melaporkan bahwa sering timbul gejala saluran cerna (80%) dan dizziness
atau kepala terasa ringan (58%). Pada rupture, nyeri dapat timbul dimana

11
saja di abdomen.
2. Perdarahan abnormal. Amenorea dengan spotting atau perdarahan per
vagina dilaporkan oleh 60 sampai 80 persen wanita dengan kehamilan
tuba. Sekitar seperempat menyangka perdarahan ini sebagai haid sejati.
Meskipun perdarahan per vagina yang berlebihan menandakan abortus
inkomplet namun hal ini kadang juga dijumpai pada gestasi tuba.
3. Nyeri tekan abdomen dan panggul. Pada kehamilan ektopik dini yang
belum rupture, nyeri tekan jarang dijumpai. Namun, dengan rupture, nyeri
tekan hebat sewaktu pemeriksaan abdomen dan vagina, terutama ketika
serviks digerakkan, terdapat pada lebih dari tiga perempat wanita.
4. Perubahan uterus. Meskipun minimal pada awalnya, uterus kemudian
dapat terdorong ke salah satu sisi oleh massa ektopik. Uterus juga
mungkin membesar akibat rangsangan hormon. Derajat perubahan
endometrium menjadi desidua bervariasi. Temuan desidua uterus tanpa
trofoblas menandakan kehamilan ektopik, tetapi ketiadaan jaringan
desidua tidak menyingkirkannya.
5. Tanda-tanda vital. Meskipun umumnya normal sebelum rupture, respons
terhadap perdarahan derajat sedang dapat berupa tidak adanya perubahan
tanda vital, peningkatan ringan tekanan darah, atau respons vasovagus
disertai bradikardia dan hipotensi. Birkhahn dkk. (2003) mencatat bahwa
pada 25 wanita dengan kehamilan ektopik rupture, sebagian besar
memiliki frekuensi jantung kurang dari 100 per menit dan tekanan darah
sistolik lebih besar dari pada 100 mmHg pada saat datang. Tekanan darah
akan turun dan nadi meningkat hanya jika perdarahan berlanjut dan
hipovolemianya menjadi signifikan.2

2.7 DIAGNOSIS
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya, sehingga sebagian besar penderita mengalami
abortus tuba atau rupture tuba sebelum keadaan menjadi jelas. Bila diduga ada

12
kehamilan ektopik yang belum terganggu, penderita segera dirawat di rumah
sakit. Alat bantu diagnostic yang dapat digunakan ialah ultrasonografi,
laparoskopi, atau kulduskopi.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak
mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali.
Untuk mempertajam diagnosis, maka tiap perempuan dalam masa reproduksi
dengan keluhan nyeri perut bagian bawah atau kelainan haid, kemungkinan
kehamilan ektopik harus dipikirkan. Pada umumnya dengan anamnesis yang teliti
dan pemeriksaan yang cermat diagnosis dapat ditegakkan, walaupun biasanya alat
bantu diagnostic seperti kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi masih
diperlukan anamnesis. Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan
kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian
bawah, nyeri bahu, tenesmus, dapat dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi
setelah nyeri perut bagian bawah.1
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu, terumata bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematocrit dapat dilakukan secara serial dengan
jarak satu jam selama 3 kali berutut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan
hematocrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus
jenis tidak mendadak biasanya ditemukan anemia; tetapi, harus diingat bahwa
peurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.
Pemeriksaan laboratorium biasanya menggunakan beta-human chorionic
gonadotropin (β- hCG) untuk mendiagnosis kehamilan, dan untuk membantu
menentukan potensi pasien mengalami kehamilan ektopik. β-hCG diproduksi oleh
trofoblas dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid
berikutnya. Jika serum β-hCG negative, kemunkinan besar tidak terjadi
kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien dengan tes
serum β-hCG negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan
kadar β-hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai mencapai
puncaknya 100.000 mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah mencapai

13
nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis dengan USG.
Pemeriksaan tunggal tes β-hCG kuantitatif ini berguna untuk mendiagnosis
kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara kehamilan ektopik atau
kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium umum lainnya adalah
pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah
bila terjadi perdarahan yang sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk
membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik
ini atau dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi
hingga dapat lebih dari 20.000.
Perhitungan leukosit secara berturut menunjukan adanya perdarahan bila
leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi
pelvik, dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000
biasanya menunjuk pada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila
positif. Akan tetapi, tes negative tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan
ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsis dan degenerasi trofoblat
menyebabkan produksi human chorionic gonadotropin menurun dan
menyebabkan tes negative.1
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu sering keliru dengan abortus
insipiens atau abortus inkompletus yang kemudian dilakukan kuretase. Bila hasil
kuretase meragukan jumlah sisa hasil konsepsinya, maka kita perlu curiga
terjadinya kehamilan ektopik terganggu yang gejala dan tandanya tidak khas.
Pada umumnya dilatasi dan kerokan untuk menunjang diagnosis kehamilan
ektopik tidak dianjurkan. Berbagai alasan dapat dikemukakan:
1. Kemungkinan adanya kehamilan dalam uterus bersama kehamilan ektopik
2. Hanya 12 sampai 19 % kerokan pada kehamilan ektopik menunjukan reaksi
desidua
3. Perubahan endometrium yang berupa reaksi Arias-Stella tidak khas untuk
kehamilan ektopik. Namun, jika jaringan yang dikeluarkan bersama dengan
perdarahan terdiri atas desidua tanpa vili korialis, hal itu dapat memperkuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu.
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah

14
dalam kavum Douglasu ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu
membuat diagnosus kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis dapat
dilaksanakan denga urutan berikut.
1. Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
2. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptic
3. Speculum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks;
dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak
4. Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam kavum Douglasi dan dengan semprit
dilakukan penghisapan
5. Bila pada penghisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain
kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan:
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku;
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk
- Darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang
berupa beluan-bekuan kecil; darah ini menunjukan adanya hematokel
retrouterina.

Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostic terakhir untuk


kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostic yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat
dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglasi,
dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit
visualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan
laparotomy.1

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium


A. Human Chorionic Gonadotropin (-hCG). Penentuan kehamilan secara
cepat dan akurat sangat penting dalam mengevaluasi wanita dengan
keluhan yang mengarah kepada kehamilan ektopik. Uji-uji kehamilan
serum dan urin yang saat ini ada dan menggunakan metode enzyme-linked
immunosorbent assays (ELISA) untuk -hCG cukup sensitive untuk kadar
10 sampai 20 mIU/mL dan positif pada lebih dari 99 persen kehamilan

15
ektopik. Namun, meskipun jarang pernah dilaporkan kasus-kasus
kehamialn ektopik dengan pemeriksaan -hCG serum yang negative.
B. Progesteron Serum. Pengukuran progesterone serum satu kali sudah dapat
digunakan untuk menetapkan bahwa kehamilan berkembang normal
dengan tingkat kepercayaan tinggi. Nilai yang melebihi 25 g/mL
menyingkirkan kehamilan ektopik dengan sensitivitas 92,5 persen.
Sebaliknya nilai yang kurang dari 5 g/mL ditemukan hanya pada 0.3%
kehamilan normal. Karena itu, nilai <5 g/mL menandakan kehamilan
intrauterus dengan janin meninggal atau suatu kehamilan ektopik. Karena
pada sebagian besar kehamilan ektopik kadar progesterone bervariasi
antara 10 dan 25 g/mL maka pemakaian klinis pemeriksaan ini terbatas
(American College of Obstetricians and Gynecologist, 2008)
C. Penanda-penanda Serum Baru. Sejumlah penelitian sebelumnya telah
dilakukan untuk mengevaluasi beberapa penanda baru untuk mendeteksi
kehamilan ektopik. Penanda-penanda ini mencakup Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF), antigen kanker 125 (CA125), keratin kinase,
fibronektin janin, dan proteomika berbasis spektrometri massa. Belum ada
satupun yang saat ini digunakan secara klinis.
D. Hemogram. Setelah perdarahan, volume darah yang berkurang akan
dipulihkan kearah normal dengan hemodilusi dalam satu hari atau lebih.
Bahkan setelah perdarahan yang cukup banyak, hemoglobin atau
hematocrit mungkin pada awalnya hanya memperlihatkan penurunan
ringan. Karena itu, setelah perdarahan akut, penurunan kadar hemoglobin
atau hematocrit setelah beberapa jam merupakan indeks yang lebih
bermanfaat daripada kadar awal. Pada sekitar separuh wanita dengan
kehamilan ektopik terganggu (rupture), dapat dijumpai leukositosis
dengan derajat bervariasi hingga 30.000/L.2
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang
 Sonografi
Temuan-temuan pada kehamilan abdomen dengan menggunakan sonografi

16
umumnya tidak menghasilkan diagnosis yang pasti. Oligohidroamnion sering
dijumpai tetapi tidak spesifik. Namun, pada sebagian kasus yang dicurigai,
temuan sonografi mungkin bersifat diagnostic. Sebagai contoh, kepala janin
mungkin tampak terletak tepat di samping kandung kemih ibu tanpa disekat oleh
jaringan uterus . Namun, bahkan pada kondisi ideal sonografi tidak dapat
mendiagnosis kehamilan abdomen pada separuh kasus.2

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Metode ini dapat digunakan untuk memastikan diagnosis kehamilan


abdomen setelah kecurigaan pada pemeriksaan sonografi. Meskipun dilaporkan
bersifat akurat dan spesifik tetapi cara ini tidak sepenuhnya dapat diandalkan.
Kehamilan abdomen sering salah didiagnosis sebagai plasenta previa, dan
sebaliknya, kehamilan intrauterus disertai fibroid degenerative salah didiagnosis
sebagai kehamilan abdomen. Jika teridentifikasi adanya kehamilan abdomen
makan pencitraan MR harus dilakukan untuk memberi informasi maksimal
tentang implantasi plasenta.2

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa diferensial dari kehamilan ektopik yaitu:2,4

17
2.8.1 Infeksi pelvik
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan
jarang setelah mengenai amenorrhea. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang
dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi
pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,50C, selain itu leukositosis
lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan tes kehamilan
menunjukkan hasil negatif.
2.8.2 Abortus imminens/ inkomplit
Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu perdarahan lebih
merah sesudah amenorrhea, rasa nyeri yang sering berlokasi di daerah median dan
adanya perasaan subjektif penderita yang merasakan rasa tidak enak di perut lebih
menunjukkan ke arah abortus imminens atau permulaan abortus insipiens. Pada
abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus, dan
gerakan serviks uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.
2.8.3 Tumor ovarium
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenorrhea, dan perdarahan
pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih
bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.
2.8.4 Ruptur korpus luteum
Ruptur korpus luteum merupakan fenomena umum dengan presentasi
mulai dari tanpa gejala sampai gejala meniru abdomen akut dan sekuele
bervariasi. Resolusi mungkin spontan (paling sering); perdarahan intraperitoneal
dan kematian dapat terjadi. Meskipun kebanyakan pasien hanya membutuhkan
observasi, beberapa membutuhkan laparoskopi atau laparotomi untuk mencapai
hemostasis.
2.8.5 Salpingitis akut
Salpingitis adalah inflamasi pada tuba fallopi. Salpingitis (biasanya
bilateral) menjalar ke ovarium hingga juga terjadi oophoritis. Salpingitis dan
oophoritis diberi nama adnexitis. Salpingitis akut, tuba menjadi merah dan
bengkak dan sekretnya banyak hingga dinding dalam tuba dapat menempel jadi
satu. Paling sering disebabkan oleh gonococcus, disamping itu oleh

18
staphylococus, streptococus dan bakteri TBC. Kasus salpingitis yang ringan
mungkin tidak ada gejala. Saat gejala muncul, biasanya muncul setelah periode
menstruasi. Gejala yang biasa muncul adalah:
 Suhu tubuh tinggi
 Nyeri kiri dan kanan di perut bagian bawah terutama kalau ditekan
 Mual dan muntah, ada gejala abdomen akut karena terjadi
perangsangan peritoneum
 Toucher: nyeri kalau portio digoyangkan, nyeri kiri dan kanan dari
uterus, kadang-kadang ada penebalan dari tuba, tuba yang sehat
tidak dapat diraba.
 Nyeri saat menstruasi
 Nyeri saat coitus
 Secret purulen di ostium serviks pada pemeriksaan inspekulo
Infeksi dapat menyebar ke bagian lain lewat kelenjar limfe. Organisme
penyebab infeksi ini diperkirakan mencapai tuba falopii dan ovarium yang
sebelumnya sudah cidera tersebut lewat cairan limfe atau darah. Pada salah satu
dari dua kasus tubo-ovarium yang menjadi komplikasi dalam pertengahan
kehamilan dan dirawat di RS dilakukan histerektomi di samping salpingo-
ooforektomi bilateral. Pasien yang menderita salpingitis periodik akan timbul
kerusakan tuba yang irreversible sehingga menyebabkan hidrosalping, piosalping
atau abses tubo ovarium. Waktu yang terbaik untuk pembedahan adalah saat
proses inflamasi menghilang secara maksimal diantara rekurensi. Pasien dapat
disembuhkan setelah menjalani proses kesembuhan pasca bedah yang sangat
rumit. Walaupun terjadi perlekatan yang luas dalam rongga panggul akibat infeksi
pelvis sebelumnya, pasien biasanya tidak mengalami efek yang berarti selama
kehamilannya.

2.8.6 Appendicitis akut


Gejala dan tanda kehamilan muda, amenorrhea, dan perdarahan
pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih
bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.

19
Tabel 2 Diagnosis Banding KET5

2.9 TATALAKSANA
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomy. Dalam
tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu;
kondisi penderita saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi
kehamilan ektopik, kondisi anatomi organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro
dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Hasil
pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada
kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya
dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita
buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi.6
2.9.1 Terapi Bedah

Salpingektomi
Jika tuba mengalami kerusakan hebat atau tuba kontralateral baik. Jika
implantasi terjadi di pars interstisial, mungkin dapar dilakukan reseksi kornu

20
uterus.1

Salpingotomi
Jika hasil konsepsi masih berada di tuba, masih memungkinkan untuk
mempertahankan tuba dengan mengeluarkan produk konsepsi dan melakukan
rekonstruksi tuba, hal ini terutama dilakukan bila tuba kontralateral rusak atau
tidak ada. Sekitar 6% kasus membutuhkan pembedahan ulang atau pengobatan
bila jaringan trofoblas masih tertinggal.6
Kesempatan hamil intrauterine untuk kedua tindakan tersebut
menunjukkan angka yang sama, walaupun risiko kehamilan ektopik berulang
lebih besar pada tindakan salpingotomi.1 Salpingektomi merupakan pilihan
terutama bila tuba rupture, mengurangi perdarahan, dan operasi lebih singkat.
Kedua tindakan tersebut dapat dilakukan dengan laparotomy ataupun laparoskopi.
Keuntungan laparoskopi adalah penyembuhan lebih cepat, perlengketan yang
terbentuk lebih minimal, dan merupakan pilihan bila kondisi pasien masih baik.6
2.9.2 Medikamentosa
Terapi medikamentosa untuk kehamilan ektopik dengan pemberian
merotreksat, baik secara sistemik maupun dengan injeksi ke kehamilan ektopik
melalui laparoskopi atau dengan bantuan USG.6
Syarat pemberian metotreksat adalah:1
1. Tidak ada kehamilan intrauterine
2. Belum terjadi rupture
3. Ukuran massa adneksa kurang lebih sama dengan 4cm
4. Kadar beta-hCG kurang lebih sama dengan 10.000 mIU/ml
Metotreksat menghambat produksi hCG oleh trofoblas, dan selanjutnya akan
menurunkan produksi progesterone oleh korpus luteum. Efek samping yang dapat
terjadi adalah distress abdomen, demam, dizziness, imunosupresi, leukopenia,
malaise, nausea, stomatitis ulseratif, fotosensitif, dan fatique.6

2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi kehamilan ektopik dapat menjadi sekunder bila salah
diagnosis, diagnosis terlambat, atau pengobatan yang tidak teapat. Kegagalan

21
dalam membuat diagnosis kehamilan ektopik yang tepat dapat menyebabkan
ruptur tuba atau uterus (tergantung pada lokasi kehamilan), yang pada akhirnya
dapat menyebabkan perdarahan masif, syok, koagulopati intravaskular diseminata
(DIC), dan kematian. Kehamilan ektopik adalah penyebab utama kematian ibu
pada trimester pertama, terhitung 9-13% dari semua kematian terkait kehamilan.
Di Amerika Serikat, diperkirakan 30-40 wanita meninggal setiap tahun karena
kehamilan ektopik. Setiap kali tatalaksana bedah dipilih sebagai pengobatan
pilihan, pertimbangkan komplikasi yang disebabkan operasi, apakah itu
laparotomi atau laparoskopi. Termasuk perdarahan, infeksi, dan kerusakan pada
organ di sekitarnya, seperti usus, kandung kemih, dan ureter, dan ke pembuluh
darah utama di dekatnya. Infertilitas juga dapat menyebabkan komplikasi
sekunder karena kehilangan organ reproduksi setelah operasi. Juga pertimbangkan
risiko dan komplikasi sekunder untuk anestesi.3

2.11 PROGNOSIS
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dan kawan-kawan
(1971) melaporkan 1 kematian diantara 826 kasus, dan Wilson dan kawan-kawan
(1971) 1 antara 591. Akan tetapi, bila pertolongan terlambat, angka kematian
dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2
dari 120 kasus, sedangkan Tarjiman dan kawan-kawan (1973) 4 dari 138
kehamilan ektopik.1
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat
bilateral. Sebagian perempuan menjadi steril setelah mengalami kehamilan
ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan antara 0% ampai 14.6%. untuk perempuan dengan anak sudah cukup,
sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis. Dengan sendirinya
hal ini perlu disetujui oleh suami-isteri sebelumnya.1

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawiro, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka: Jakarta.


2. Cunningham FG.2001. Ectopic Pregnancy. Williams Obstetrics. 21st ed.
New York: McGraw-Hills.
3. Sepilian, Vicken P. 2017. Ectopic Pregnancy.
https://emedicine.medscape.com/article/2041923
4. Bader TJ. 2005. Ectopic Pregnancy. Ob/Gyn Secrets. 3rd ed. Philadelphia:
Elsevier-Mosby.
5. Anthonius BM. 2001. Kehamilan Ektopik. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
6. Prawiro, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka: Jakarta
7. Tanto, Chris dkk. 2014. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

23

Anda mungkin juga menyukai