Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

DISFONIA EC NODUL PITA SUARA

Disusun Oleh:

Ratih Haerany Rowiyan, S.Ked 04054821719159


Nadia Mutiara, S.Ked 04084821820007
M. Rifqi Ulwan Hamidin, S.Ked 04084821820067

Pembimbing:
dr. Adelien, Sp. T.H.T.K.L

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus

Disfonia ec Nodul Pita Suara

Disusun oleh:

Ratih Haerany Rowiyan, S.Ked 04054821719159


Nadia Mutiara, S.Ked 04084821820007
M. Rifqi Ulwan Hamidin, S.Ked 04084821820067

Dosen Pembimbing:

dr. Adelien, Sp. T.H.T.K.L

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas


Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 22 Oktober – 25
November 2018.

Palembang, November 2018

Pembimbing,

dr. Adelien, Sp. T.H.T.K.L

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. karena atas rahmat dan
ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Disfonia ec
Nodul Pita Suara” sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di bagian Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Universitas Sriwijaya.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Adeline, Sp. T.H.T.K.L
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam


penyusunan laporan ini mengingat keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Terima kasih.

Palembang, November 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II STATUS PASIEN ............................................................................ 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 20
3.1 Anatomi dan Fisiologi Laring ................................................. 20
3.1.1. Anatomi Laring ..................................................... 20
3.1.2. Fisiologi Laring ...................................................... 24
3.2 Disfonia .................................................................................. 25
3.3 Nodul Pita Suara .................................................................... 27
3.3.1. Definisi .................................................................. 27
3.3.2. Epidemiologi ......................................................... 27
3.3.3. Etiologi .................................................................. 28
3.3.4. Patofisiologi .......................................................... 30
3.3.5. Gejala Klinis ......................................................... 32
3.3.6. Diagnosis ............................................................... 32
3.3.7. Diagnosis Banding ................................................ 34
3.3.8. Tata laksana ............................................................ 35
3.3.9. Prognosis ............................................................... 37
BAB IV KESIMPULAN….... ......................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 40

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Nodul pita suara adalah pembengkakan pita suara bilateral dengan ukuran
bervariasi yang ditemukan pada bagian tengah membran pita suara. Nodul ini
memiliki karakteristik berupa penebalan epitel dengan tingkatan reaksi in amasi
3
berbeda pada lapisan super sial lamina propia. Kelainan ini sering juga disebut
2
dengan “singer’snodes”, “screamer’s nodes” atau “teacher’s nodes”.
Prevalensi nodul pita suara pada populasi umum tidak diketahui pasti tetapi
telah dilaporkan bahwa hal ini menyebabkan suara serak pada 23,4% anak-anak, 0,5-
1,3% pasien klinik THT dan 6% pasien klinik phoniatric. Pada sebuah studi,
prevalensi yang ditemukan adalah 43% dari 218 kasus disfoni dari 1046 guru wanita
di Spanyol. Para guru rata-rata berbicara selama 102 menit per 8 jam. Pada penyanyi
3
yang bersuara serak, 25% mengalami nodul pita suara.
Strategi penanganan nodul pita suara dilakukan secara konservatif; terapi
wicara merupakan terapi paling utama. Pada terapi wicara ini, pasien diajari
bagaimana menggunakan suara dengan tepat, sehingga dengan demikian dapat
2
meregresi nodul- nodul tersebut.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identifikasi
Nama : Ny. SBK
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 41 Tahun (18 Januari 1977)
Alamat : JL. Junaidi Kahar gang Bima Sakti No. 59
Kota Lubuk Linggau
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Pegawai
Agama : Islam
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
No. Rekam medis : 1088807
Tanggal kunjungan : 2 November 2018 (Poliklinik Umum THT)

2.2. Anamnesis
(Autoanamnesis pada tanggal 2 November 2018)
Keluhan utama
Suara serak sejak ± 1 tahun yang lalu
Keluhan tambahan
Nyeri tenggorokan dan mual
Riwayat perjalanan penyakit
± 1 tahun yang lalu, pasien mengeluh suara serak yang dirasakan terus-
menerus dan bertambah berat bila pasien banyak bicara. Pasien juga mengeluh
mudah lelah saat biacara dan sulit untuk mengucapkan kalimat yang panjang.
Demam (-), nyeri tenggorokan (+), nyeri menelan (-), batuk (-), pilek (-).

2
3

Pasien berobat ke dokter umum dan diberi beberapa macam obat (pasien lupa
nama obat). Namun keluhan tidak ada perbaikan.
± 2 bulan SMRS, pasien mengeluh suara serak yang dirasakan semakin
memberat, bahkan kadang pasien mengaku tidak dapat mengeluarkan suara
sama sekali. Nyeri tenggorokan (+) kadanng-kadang, nyeri menelan (-).
Pasien juga mengeluh kadang terasa sesak napas, terutama saat mengucapkan
kalimat yang panjang. Demam (-), batuk (-), pilek (-), mual (+) kadang-
kadang, muntah (-). Pasien berobat ke dokter spesialis THT curiga nodul pita
suara lalu di beri obat yaitu Clindamysin 300 mg, Metilprednisolon 8 mg,
Lansoprazol, Sucralfat syr, N. Acetil Sistein.
Pasien bekerja sebagai guru SMA sejak 17 tahun yang lalu dan sering
mengajar dengan suara yang keras dan terus-menerus kira-kira ± 6 jam/hari
bicara di depan kelas.

Riwayat penyakit dahulu


Hipertensi : disangkal
Penyakit Jantung : disangkal
Penyakit Ginjal : disangkal
Penyakit Kelamin : disengkal
Diabetes Melitus : disangkal
Tuberkulosis : disangkal
Asma : disangkal
Alergi : disangkal
Maag : disangkal
Sakit gigi : disangkal
Keluar cairan dari telinga : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama disangkal
4

Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Alkohol : disangkal

2.3. Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalis
1) Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 36,5°C
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 155 cm
2) Pemeriksaan khusus
Kepala : konjungtiva forniks OS dan OD tidak
anemis, sklera tidak ikterik.
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-),
massa (-)
Thoraks : simetris, tidak tampak kelainan pada
dinding dada. Cor: batas jantung normal,
mur mur tidak ada, gallop tidak ada.
Pulmo: sonor dikedua lapangan paru,
vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-).
Abdomen : simetris, datar, nyeri tekan (-), timpani,
bising usus (+) normal
Ekstremitas : bentuk normal
5

b. Status Lokalis

Telinga
I. Telinga Luar Kanan Kiri
Regio Retroaurikula
 Abses - -
 Sikatrik - -
 Pembengkakan - -

 Fistula - -

 Jaringan granulasi - -

Regio Zigomatikus
 Kista Brankial Klep - -
- -
 Fistula
- -
 Lobulus Aksesorius
Aurikula
- -
 Mikrotia
- -
 Efusi perikondrium
- -
 Keloid
- -
 Nyeri tarik aurikula
- -
 Nyeri tekan tragus
Meatus Akustikus Eksternus
 Lapang/sempit
Lapang Lapang
 Oedema
- -
 Hiperemis
- -
 Pembengkakan - -
 Erosi - -
 Krusta - -
6

 Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) - -
 Perdarahan - -
 Bekuan darah - -

 Cerumen plug - -

 Epithelial plug - -

 Jaringan granulasi - -
- -
 Debris
- -
 Benda asing
- -
 Sagging
- -
 Exostosis
- -
- -
II.Membran Timpani
 Warna (putih/suram/hiperemis/hematoma) Putih Putih
 Bentuk (oval/bulat) Oval Oval
 Pembuluh darah Normal Normal

 Refleks cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7

 Retraksi - -

 Bulging - -
- -
 Bulla
- -
 Ruptur
- -
 Perforasi
- -
(sentral/perifer/marginal/attic)
- -
(kecil/besar/ subtotal/ total)
 Pulsasi
- -
 Sekret (serous/ seromukus/ mukopus/ pus)
- -
 Tulang pendengaran
Normal Normal
 Kolesteatoma
7

 Polip - -
 Jaringan granulasi - -
- -

Gambar Membran Timpani

III. Tes Khusus Kanan Kiri


1. Tes Garpu Tala
Tes Rinne Tidak Tidak
Tes Weber Dilakukan Dilakukan

Tes Scwabach
2. Tes Audiometri
Audiogram
8

3. Tes Fungsi Tuba Tidak Tidak


Tes Valsava dilakukan dilakukan
Tes Toynbee
4. Tes Kalori Tidak Tidak
Tes Kobrak dilakukan dilakukan

Hidung
I. Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
Tes aliran udara
Tes penciuman Tidak Tidak
 Teh dilakukan dilakukan
 Kopi
 Tembakau
9

II. Hidung Luar


Dorsum nasi Normal Normal
Akar hidung Normal Normal
Puncak hidung Normal Normal
Sisi hidung Normal Normal
Alanasi Normal Normal
Deformitas - -
Hematoma - -
Pembengkakan - -
Krepitasi - -
Hiperemis - -
Erosi kulit - -
Vulnus - -
Ulkus - -
Tumor - -
Duktus nasolakrimalis (tersumbat/tidak tersumbat) Tidak Tidak
tersumbat tersumbat
III. Hidung Dalam
1. Rinoskopi Anterior
a. Vestibulum nasi
 Sikatrik - -
 Stenosis - -
 Atresia - -

 Furunkel - -

 Krusta - -

 Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) - -

b. Kolumela
Utuh Utuh
 Utuh/tidak utuh
10

 Sikatrik - -
 Ulkus - -
c. Kavum nasi
 Luasnya (lapang/cukup/sempit) Lapang Lapang

 Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) - -

 Krusta - -

 Bekuan darah - -
- -
 Perdarahan
- -
 Benda asing
- -
 Rinolit
- -
 Polip
 Tumor
Eutropi, basah, Eutropi,
d. Konka Inferior
licin basah, licin
 Mukosa
(erutopi/ hipertropi/atropi)
Merah muda Merah muda
(basah/kering)
- -
(licin/taklicin)
Tidak dapat Tidak dapat
 Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
dinilai dinilai
 Tumor
e. Konka media
 Mukosa
(erutopi/ hipertropi/atropi)
(basah/kering)
(licin/taklicin)
Tidak dapat Tidak dapat
 Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
dinilai dinilai
 Tumor
f. Konka superior
11

 Mukosa
(erutopi/ hipertropi/atropi)
(basah/kering)
(licin/taklicin)
 Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
 Tumor
g. Meatus Medius Tidak dapat Tidak dapat

 Lapang/ sempit dinilai dinilai

 Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)
 Polip
 Tumor
h. Meatus inferior
Lapang Lapang
 Lapang/ sempit
- -
 Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus)
- -
 Polip
- -
 Tumor
i. Septum Nasi
 Mukosa
Eutropi Eutropi
(erutopi/ hipertropi/atropi)
Basah Basah
(basah/kering)
Licin Licin
(licin/taklicin)
 Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide)
Merah muda Merah muda
 Tumor
- -
 Deviasi
- -
(ringan/sedang/berat)
- -
(kanan/kiri)
(superior/inferior)
(anterior/posterior)
12

(bentuk C/bentuk S)
 Krista
 Spina - -
 Abses - -

 Hematoma - -

 Perforasi - -

 Erosi septum anterior - -


- -

Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam

Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal


13

2. Rinoskopi Posterior Kanan Kiri


 Postnasal drip Tidak Tidak
 Mukosa dilakukan dilakukan
(licin/taklicin)
(merahmuda/hiperemis)
 Adenoid
 Tumor
 Koana (sempit/lapang)
 Fossa Russenmullery (tumor/tidak)
 Torus tobarius (licin/taklicin)
 Muara tuba
(tertutup/terbuka)
(sekret/tidak)

Gambar Hidung Bagian Posterior


14

IV. Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri


 Nyeri tekan/ketok
Infraorbitalis - -
Frontalis - -
Kantus medialis - -
 Pembengkakan - -
 Transiluminasi Tidak Tidak
Regio infraorbitalis dilakukan dilakukan
Regio palatum durum

I.Rongga Mulut Kanan Kiri


1. Lidah
(hiperemis/udem/ulkus/fissura) Normal Normal
(mikroglosia/makroglosia)
(leukoplakia/gumma)
(papilloma/kista/ulkus)
2. Gusi (hiperemis/udem/ulkus) Normal Normal
3. Bukal Normal Normal
(hiperemis/udem)
(vesikel/ulkus/mukokel)
4. Palatum durum Normal Normal
(utuh/terbelah/fistel)
(hiperemis/ulkus)
(pembengkakan/abses/tumor)
(rata/tonus palatinus)
5. Kelenjar ludah Normal Normal
(pembengkakan/litiasis)
15

(striktur/ranula)
6. Gigi geligi Normal Normal
(mikrodontia/makrodontia)
(anodontia/supernumeri)
(kalkulus/karies)
II.Faring Kanan Kiri
1. Palatum molle (hiperemis/udem/asimetris/ulkus) Normal Normal
2. Uvula (udem/asimetris/bifida/elongating) Tengah Tengah
3. Pilar anterior (hiperemis/udem/perlengketan) Normal Normal
(pembengkakan/ulkus)
4. Pilar posterior (hiperemis/udem/perlengketan) Normal Normal
(pembengkakan/ulkus)
5. Dindingbelakang faring (hiperemis/udem) Tenang Tenang
(granuler/ulkus) (secret/membran)
6. Lateral band (menebal/tidak) Normal Normal
7. Tonsil Palatina
(derajat pembesaran) T1 T1
(permukaan rata/tidak) Rata Rata
(konsistensi kenyal/tidak) Kenyal Kenyal
(lekat/tidak) Lekat Lekat
(kripta lebar/tidak) Tidak lebar Tidak lebar
(dentritus/membran) - -
(hiperemis/udem) - -
(ulkus/tumor) - -
16

Gambar rongga mulut dan faring

Rumus gigi-geligi

III.Laring Kanan Kiri


Laringoskopi tidak langsung (indirect)
 Dasar lidah (tumor/kista) - -
 Tonsila lingualis (eutropi/hipertropi) Eutropi Eutropi
 Valekula (benda asing/tumor) - -

 Fosa piriformis (benda asing/tumor) - -

 Epiglotis (hiperemis/udem/ulkus/membran) Normal Normal

 Aritenoid (hiperemis/udem/ulkus/membran) Normal Normal

 Pita suara
17

(hiperemis/udem/menebal)
Hiperemis Hiperemis
minimal minimal
(nodus/polip/tumor) Nodul berwarna Nodul berwarna
Putih Keabuan, Putih Keabuan,
Permukaan licin Permukaan licin
(geraksimetris/asimetris)

 Pita suara palsu (hiperemis/udem) Normal Normal


 Rima glottis (lapang/sempit) Lapang Lapang
 Trakea Normal Normal
Laringoskopi langsung (direct) Tidak dilakukan

Gambar laring (laringoskopi tidak langsung)


18

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Teleskop Laring

Keterangan:
Epiglotis dan eritenoid tenang, plica ventrikularis dan vokalis pergerakan
simetris, tampak massa di 1/3 anterior pita suara kanan dan kiri, permukaan
licin, rima glotis terbuka.

2.5. Diagnosis Banding


- Disfonia ec Nodul Pita Suara
- Disfonia ec Polip Pita Suara
- Reinke’s Edema

2.6. Diagnosis Kerja


Disfonia ec Susp Nodul Pita Suara
19

2.7. Tatalaksana
Non Medikamentosa
 Informed Consent
 Edukasi (KIE):
- Istirahat pita suara dengan megurangi berbicara
- Perbanyak minum air putih
- Hindari infeksi saluran nafas atas
- Hindari makan pedas, bersifat iritatif, minum air panas dan dingin, dan
hindari paparan asap rokok

Medikamentosa
 Omeprazol cap 20 mg 2x1
 Rencana tindakan operatif mikro laring

2.8. Pemeriksaan Anjuran


Pemeriksaan patologi anatomi

2.9. Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Laring


3.1 Anatomi Laring
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian
atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas
lebih besar daripada bagain bawah. Bagian atas laring adalah aditus laring
1,2
sedangkan bagian bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid.
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid terbentuk seperti huruf U, yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh
tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan
menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-
1,2
otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis,
kartilago tiroid. Kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilaggo kuneiformis dan kartilago tritesea. Kartilago krikoid dihubungkan
dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid
berupa lingkaran. Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang
terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan
kartilago krikoid, disebut kartilago krikoaritenoid. Sepasang kartilago
kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago kuneiformis terdapat
dalam lipatan ariepiglotik dan kartilago terletak di dalam ligamentum
1,2
hiotiroidlateral.
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulatio krikotiroid dan

20
21

artikulatio krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring


adalah seratokrikoid (anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid
medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal,
ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum
hioepiglotika, ligamentum,ventrikularis, ligamentum vocal yang
Menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum
1,2
tiroepiglotika.

Gerakan laring dilaksanankan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan


otot-otot instrinsik. Otot ekstrindik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sedangkan otot instrinsik bekerja menyebabkan gerak baggian-
1,2
bagaian tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara. Otot
ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hyoid (suprahioid) dan
otot yang terletak di bawah tulang hyoid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik
yang suprahioid ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan
m.milohioid. otot yang infrahioid ialah m.sternohioid, m.omohioid dan
m,tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik
1,2
laring kebawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas.

Otot-otot instrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral,


.mtiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan
m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak dibagian lateral laring. Otot-otot
instrinsik laring yang terletak dibagian posterior ialah m.aritenoid
1,2
transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian
besar otot-otot instrinsik adalah otot adduktor (kontraksinya akan
mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid posterior
yang merupakan otot abductor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita
1,2
suara ke lateral).
22

Rongga Laring

Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas
bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas
depannya ialah permukaan belakang epiglottis, tuberkullum epiglotik,
ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid
dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membrane
kuadranngularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago
krikoid, sedangkan batas belakangnya adalah m.aritenoid transver ses dan
2
lamina kartilago krikoid.

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokal dan


ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli)
dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan
kanan disebut rima glottis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut
rima vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi laring dalam 3

bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik.2

Gambar 1. Potongan koronal laring memperlihatkan 3 bagian laring


23

Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di atas plika


vebtrikularis. Daerah ini disebut supraglotik. Antara plika vokalis dan plika
ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring morgagni. Rima
glottis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagain
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis,
dan terletak dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara
kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak dibagian posterior. Daerah
subglotik adalah rongga laring yang terletak dibawah plika vokalis.2

3.2 Fisiologi laring


Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, menelan, emosi serta
fonasi, fungsi laring sebagai proteksi ialah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan
rima glottis secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah
karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot. Penutupan
rima glottis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan
kanan mendekat karena adduksi otot-otot instrinsik. Selain itu dengan
reflex batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan
keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, secret yang berasal dari paru
2
dapat dikeluarkan.
Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya
rima glottis. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara dalam traktus
trakeo-bronkial akan dpat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan
2
demikian larign juga berfungsi sebagai alat pengatur sirkulari darah. Fungsi
laring dalam membantu proses memelan ialah dengan 3 mekanisme, yaitu
gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laingis dan mendorong
bolus makan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.
2
Laring juga berfungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak.
24

Fungsi lain laring adalah untuk fonasi, dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis adduksi, maka m.krikotiroid
akan merotasikan kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago
krikoaritenoid ke belakang. Plika vokalis kiri dalam keadaan yang efektif
untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong
kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor.
Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan Menentukan tinggi
rendahnya nada.2

Gambar 2. Kerangka laring dan membrananya (penampang anterior)


25

Gambar 3. Laring potongan mid sagital dan plika vokalis.

3.2 Disfonia
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang
disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu
penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan pada laring.
Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau yaitu suara
terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara
lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar
(spastik), suara terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara
(odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.
Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan dalam
ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri
dan kanan akan menimbulkan disfonia.4
26

Walaupun disfonia hanya merupakan gejala, tetapi bila prosesnya


berlangsung lama (kronik) keadaan ini dapat merupakan tanda awal dari
penyakit yang serius di daerah tenggorok, khususnya laring. Penyebab
disfonia dapat bermacam– macam yang prinsipnya menimpa laring dan
sekitarnya. Diantara lain radang, tumor (neoplasma), paralisis otot– otot
laring, kelainan laring seperti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada sendi
krikoaritenoid dan lain – lain.5
Ada suatu keadaan yang disebut sebagai disfonia ventrikular, yaitu
keadaan plika ventrikular yang mengambil alih fungsi fonasi dari pita suara,
misalnya sebagai akibat pemakaian suara yang terus menerus pada pasien
dengan laringitis akut. Inilah pentingnya istirahat berbicara (vocal rest) pada
pasien dengan laringitis akut, disamping pemberian obat – obatan. Radang
laring dapat akut atau kronik. Radang akut biasanya disertai gejala lain seperti
demam, malaise, nyeri menelan atau berbicara, batuk, disamping gangguan
suara. Kadang – kadang dapat terjadi sumbatan laring dengan gejala stridor
serta cekungan di suprasternal, epigastrium dan sela iga.6
Radang kronik nonspesifik, dapat disebabkan oleh sinusitis kronis,
bronkitis kronis atau karena penggunaan suara yang salah dan berlebihan
(vocal abuse) seperti sering berteriak – teriak atau berbicara keras. Vocal
abuse juga sering terjadi pada penyanyi, penceramah, aktor, dosen, guru dan
lain– lain. Radang kronik spesifik misalnya tuberkulosis. Selain gejala
gangguan suara, terdapat juga gejala penyakit lain yang menyertainya.6
Tumor laring dapat jinak atau ganas. Gejala tergantung dari lokasi
tumor, misalnya
tumor pada pita suara, gejala gangguan suara akan segera timbul dan bila
tumor tumbuh
menhadi besar dapat menimbulkan sumbatan jalan napas. Tumor jinak laring
seperti papiloma sering ditemukan pada anak dimana disfonia merupakan
gejala dini yang harus
27

diwaspadai. Begitu pula pad atumor ganas pita suara (karsinoma laring) sering
didapatkan
pada orangtua, perokok dengan gangguan suara yang menetap. Tumor ganas
sering disertai gejala lain, misalnya batuk (kadang– kadang batuk darah), berat
badan menurun, keadaan umum memburuk. Tumor pita suara non neoplastik
dapat berupa nodul, kista, polip atau edema submukosa (Reinke’s edema).
Lesi jinak yang lain dapat berupa sikatriks, keratosis, fisura, mixedem,
amilodosis, sarkoidosis dan lain– lain.6

3.3. Nodul Pita Suara


3.3.1. Definisi
Nodul pita suara merupakan pertumbuhan yang menyerupai jaringan
parut dan bersifat jinak pada pita suara. Kelainan ini disebut juga singer’s
nodule, screamer’s nodul atau teacher’s nodul.4 Bentuk kelainan ini dapat
dilihat seperti gambar 4.

Gambar 4. Nodul pita suara

3.3.2. Epidemiologi
Nodul pita suara merupakan kelainan yang sering terjadi pada anak
laki-laki dan wanita dewasa.5 Nodul dua sampai tiga kali lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibanding anak perempuan, yaitu usia 8-12 tahun. suara
28

serak yang kronis terjadi lebih dari 5% pada anak-anak sekolah. Anak-anak
biasanya tidak peduli pada suara seraknya. Dari anak-anak tersebut yang
menderita suara serak yang kronis, nodul adalah penyebab sebanyak 38-78%.
Ini membuat nodul pita suara sebagai penyebab tersering gangguan suara pada
anak-anak usia sekolah. Pada dewasa, wanita lebih sering terkena dari laki-
laki. Lesi biasanya berasal dari trauma pada mukosa pita suara yang tertekan
sewaktu vibrasi yang berlebihan.1
Prevalensi nodul pita suara pada populasi umum tidak diketahui pasti
tetapi telah dilaporkan bahwa hal ini menyebabkan suara serak pada 23,4%
anak-anak, 0,5- 1,3% pasien klinik THT dan 6% pasien klinik phoniatric.
Pada sebuah studi, prevalensi yang ditemukan adalah 43% dari 218 kasus
disfoni dari 1046 guru wanita di Spanyol. Para guru rata-rata berbicara selama
102 menit per 8 jam. Pada penyanyi yang bersuara serak, 25% mengalami
nodul pita suara.3

3.3.3. Etiologi
Nodul pita suara biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan pemakaian
suara (vocal abuse) dalam waktu lama, berlebihan dan dipaksakan seperti
pada seorang guru, penyanyi, anak-anak dan lain-lain. Faktor-faktor penyebab
laringitis kronis sangat berpengaruh di sini. Tetapi penggunaan suara yang
berlebihan secara terus menerusmerupakan faktor pencetus yang terpenting.
Akibatnya lesi paling sering terdapat pada pemakai suara professional.1
Hal-hal lain yang dapat menyebabkan nodul pita suara di antaranya :
sorakan,sering berbicara atau berbicara yang keras, batuk sering dan keras
untuk membersihkantenggorokan, penggunaan suara yang tidak biasa atau
kuat selama bermain atau marah, pengguna nada yang terlalu tinggi. Orang-
orang dengan kebiasaan seperti ini akan menyebabkan cedera pada pita
suaranya. Jika hal ini terjadi, pita suara awalnya akan mengalami penebalan
29

dan menjadi merah. Jika penyalahgunaan suara berlanjut maka penebalan


pada tengah pita suara akan berkembang menjadi sebuauh nodul.1
Terbentuknya nodul pita suara karena cara berbicara yang salah (vocal
abuse). Yang disebut cara berbicara yang salah seperti:5
a. Terlalu keras
b. Terlalu lama atau banyak bersuara
c. Terlalu tinggi nadanya
d. Terlalu rendah
e. Ditekan
f. Salah cara menyanyi
g. Berteriak
Berteriak atau berbicara di area dengan suasana berisik (misalnya:
restoran atau lapangan terbang) juga dapat menjadi salah satu penyebab.
Nodul pita suara dapat juga disebabkan oleh infeksi, alergi, dan re uks.
6
Kebiasaan merokok dinyatakan sebagai faktor tambahan.

Pada awalnya terdapat edema dan vasodilatasi (diatesis prenodular)


pada pita suara, sehingga menyebabkan penambahan massa namun tidak
4
terlalu memengaruhi ketegangan pita suara. Vocal abuse menjelaskan
perlakuan suara (vocal behaviour) yang berhubungan dengan kualitas suara
normal yang seringkali menyebabkan abnormalitas pita suara dan
6
menghasilkan disfonia.
30

Gambar 5. Penyebab gangguan fungsi suara

3.3.4. Patofisiologi
Nodul pita suara disebabkan oleh penggunaan suara yang salah, yaitu
bicara yang terlalu keras, terlalu lama atau terlalu tinggi. Lesi terjadi pada
pertemuan 1/3 anterior dan 2/3 posterior dari tepi bebas pita suara yaitu
pada tengah atau pusat dari pita suara yang membraneus karena daerah ini
merupakan pusat dari gerakan vibrasi dari pita suara. Sebagai akibat trauma
mekanis ini akan timbul reaksi radang. Kemudian terjadi perubahan-
perubahan yang selanjutnya timbul penebalan. Pengerasan setempat yang
31

akhirnya membentuk nodu;. Nodul ini yang menghalangi kedua pita suara
1,7
salling merapat pada waktu fonasi sehinggatimbul gangguan suara (parau).

Nodul ini pada awalnya masih “reversible” artinya bisa pulih kembali
jika diperbaiki cara bicaranya yang salah dengan bantuan bina wicara (speech
therapy). Tapi jika nodulnya sudah lama dan permanen maka diperlukan
5
operasi bedah laring mikroskopis.
Asal nodul pita suara berhubungan dengan anatomi pita suara yang
khas. Nodul dapat bilateral dan simetris pada pertemuan sepertiga anterior dan
dua pertiga posterior pita suara. Pada daerah ini terjadi kerja maksimal yang
membebani pita suara, seperti aktivitas berteriak dan bernyanyi. Lesi biasanya
berasal dari trauma pada mukosa pita suara sewaktu vibrasi yang berlebihan
dan dijumpai adanya daerah penebalan mukosayang terletak pada pita suara.
Selain itu, menurut Benninger nodul dapat bilateral namun seringkali
asimetris,4 sedangkan menurut Nurbaiti nodul dapat ditemukan unilateral jika
pitasuara kontralateralnya terdapat kelumpuhan.8 Nodul berkembang sebagai
penebalan hiperplastik dari epitelium karena vocal abuse.1
Pada tepi bebas pita suara, terdapat ruang potensial subepitel (Reinke’s
Space), yang mudah diinfiltrasi oleh cairan edema atau darah, dan mungkin
inilah yang terjadi pada lesi yang disebabkan oleh trauma akibat penggunaan
suara berlebih. Karena nodul merupakan reaksi inflamasi terhadap trauma
mekanis, terlihat perubahan inflamasi yang progresif. Nodul yang baru
biasanya lunak dan berwarna merah. Ditutupi oleh epitel skuamosa dan
stroma di bawahnya mengalami edema serta memperlihatkan peningkatan
vaskularisasi, dilatasi pembuluh darah dan pendarahan sehingga menimbulkan
nodul polipoid dalam berbagai tingkat pembentukan. Jika trauma atau
penyalahgunaan suara ini berlanjut, maka nodul menjadi lebih matang dan
lebih keras karena mengalami fibrosisdan hialinisasi. Nodul yang matang
32

seperti pada penyanyi profesional tampak pucat danfibrotik. Epitel


permukaannya menjadi tebal dan timbul keratosis, akantosis, dan
parakeratosis.5 Nodul yang fibrotik dan matang jarang ditemukan pada anak-
anak dan biasanya ditemukan terlambat.6

3.3.5. Gejala Klinis


Pada awalnya pasien mengeluhkan suara pecah pada nada tinggi dan
gagal dalam mempertahankan nada. Selanjutnya pasien menderita serak yang
digambarkan sebagai suara parau, yang timbul pada nada tinggi, terkadang
disertai dengan batuk. Nada rendah terkena belakangan karena nodul tidak
berada pada posisi yang sesuai ketika nada dihasilkan. Kelelahan suara
biasanya cepat terjadi sebelum suara serak menjadi jelas dan menetap. Jika
nodul cukup besar, gangguan bernafas adalah gambaran yang paling umum.2
5,6
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penderita nodul pita suara :
1. Suara terdengar kasar, serak dan pecah.
2. Menghilangnya kemampuan bernyanyi nada tinggi dengan halus
3. Menurunnya kemampuan modulasi suara
4. Meningkatnya pengeluaran udara saat berbicara (breathiness) dan suara
parau

5. Pada saat bernyanyi terasa seperti me- maksa
6. Pemanasan suara yang lebih lama

7. Peningkatan tegangan otot leher dan masalah tenggorokan.

3.3.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laringoskopi, baik tidak langsung dan langsung. Pada pemeriksaan
laringoskop langsung digunakan endoskopi seperti laringoskopi serat optik
atau video stroboskopi. Pada anak,laring dapat dilihat melalui laringoskopi
33

serat optik. Laringoskop dengan jelas dapat menunjukkan penampakan kecil,


tergambar jelas lesi pita suara sebagai penebalan mukosa pita suara berbentuk
fusiform.
Lesi ini dapat dibedakan dari pita suara normal karena berwarna
keputihan. Lesi dapat beragam tergantung lamanya penyakit. Nodul akut
dapat berupa polipoid, merah dan edema. Nodul kronis biasanya kecil, pucat,
runcing, dan simetris. Nodul biasanya bilateral dan tampak pada pertemuan
sepertiga anterior dan dua pertiga posterior pita suara seperti yang tampak
pada gambar 6.

Gambar 6. Gambaran Nodul Pita Suara Bilateral

Biopsi akan memastikan nodul tersebut bukanlah suatu keganasan,


gambaran patologiknya ialah epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dan di sekitarnyaterdapat jaringan yang mengalami kongesti.4
34

3.3.7. Diagnosis Banding


1. Laringitis kronis non spesifik
Kelainan radang kronis sering mengenai mukosa laring dan menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinis. Penyebab pasti belum diketahui,
tetapi mungkin ada salah satu atau lebih penyebab iritasi laring yang
menetap, seperti penggunaan suara yang berlebihan, bahan yang dihirup
seperti asap rokok danasap industri, bernapas melalui mulut secara terus
menerus akibat obstruksi hidung mengakibatkan gangguan kelembaban
udara pernapasan dan perubahanmukosa laring.

2. Polip pita suara


Suara serak juga merupakan keluhan utamanya, tetapi ini bervariasi,
tergantung besar dan lokasi polip. Perubahan suara berkisar dari tak serak
sampai afoni. Bila polip menonjol di antara pita suara, pasien merasakan
ada sesuatu yangm mengganggu di tenggorokannya. Bila polipnya besar
dan dapat bergerak mungkin dapat terjadi seperti serangan tercekik.

3. Papilloma laring
Gejala awal penyakit ini adalah suara serak dan karena sering terjadi pada
anak, biasanya disertai dengan tangis yang lemah. Papiloma dapat
membesar kadang-kadang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang
mengakibatkan sesak dan stridor sehingga memerlukan trakeostomi.

4. Keratosis laring
Gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah suara serak yang
persisten.Sesak nafas dan stridor tidak selalu ditemukan. Selain itu ada
rasa yang mengganjal di tenggorokan, tanpa rasa sakit dan disfagia.Pada
keratosis laring, terjadi penebalan epitel, penambahan lapisan sel
dengangambaran pertandukan pada mukosa laring. Tempat yang sering
mengalami pertandukan adalah pita suara dan fossa interaritenoid.
35

5. Pachydermia laring.
Ini merupakan suatu pembentukan hiperplasia lokal dari epitel pada pita
suara,yang terjadi akibat proses yang kronik. Lesi bersifat bilateral
simetris, dan daerah yang terkena pada posterior suara dan interaritenoid.
Gejala yang ditemukan adalah serak yang kronis, rasa kering dan batuk.
Masa bilateral pada pita suara dan interaritenoid, dengan benjolan
kemerahan.2

3.3.8. Tata laksana


Kunci dari penatalaksanaan adalah membuat pasien mengerti bahwa
penyalahgunaan suara adalah penyebab dari nodul. Secara keseluruhan terapi
dari nodul pita suara mencakup :
a. Istirahat suara total
Hal ini adalah penting untuk penanggulangan awal. Dengan
istirahat suara, nodul yang kecil dapat dengan sendirinya dan hilang
seluruhnya.2 Karena istirahat bersuara merupakan salah satu tekhnik
untuk mengistirahatkan organ-organ pembentuk suara.3
b. Eksisi mikrolaring
Hal ini dilakukan jika nodul fibrotik, nodul besar, dan curiga
keganasan. Nodul yang sudah matur juga bisa diangkat dengan laser CO2,
menggunakan teknik shaving. Menurut Benninger, hal ini dilakukan jika
terdapat beberapa keadaan berikut ;4
1. Nodul pita suara dicurigai terjadi pada anak, ketidakpatuhan penderita
dalam menjalani pemeriksaan,
2. Pada dewasa, jika ekstirpasi nodul memang diinginkan dan jika
1
diagnosis masih samar. Namun menurut Hajar dan Saragih,
pembedahan pada anak tidak mendapat tempat sebagai
penatalaksanaan nodul pita suara.
36

Pasca tindakan penderita harus istirahat suara total, sekurang-


kurangnya seminggu, sebaiknya 2 minggu.8 Masih dalam rentang
tersebut, Hajar dan Saragih, mengharuskan penderita menjalani istirahat
suara total selama 10-14 hari dan sebelum operasi dilakukan, penderita
menjalani terapi bicara selama 6 bulan.1
c. Terapi berbicara
Terapi berbicara pra dan pasca tindakan adalah utama untuk
memperbaiki traumavokal dan untuk mencegah berulangnya kembali
setelah eksisi pembedahan, selain itu untuk mengubah pola berbicara
yang lebih santai dan memperbaiki teknik berbicara yang salah.
Menurut Benninger, terapi bicara harus digunakan sebagai terapi
lini pertama dan utama pada anak-anak dan dewasa. Dokumentasi dari
gambaran nodul di klinik suara menunjukkan kemajuan terapi dan
meningkatkan kepatuhan terapi bicara.4

Terapi Operatif
Pengangkatan nodul dengan cara operasi menjadi pilihan jika nodul
tersebut menetap meskipun sudah mengecil dan pasien merasakan suaranya
tetap tidak membaik setelah terapi yang adekuat (umumnya minimum 3
bulan). Beberapa penulis memilih menggunakan teknik microdissection.
6
Vocal fold stripping tidak termasuk dalam operasi nodul.
Lama istirahat pita suara yang diperlukan setelah operasi masih
kontroversial. Biasa- nya pasien diminta beristirahat berbicara selama 4 hari.
Pada awal hari ke-4, pasien diperbolehkan menggunakan suara secara
perlahan-lahan di bawah supervisi ahli terapi wicara. Cornut dan Bouchayer
(1989) menyatakan pada kurang lebih 160 penyanyi yang telah dioperasi
mikro laring (laryngeal microsurgery), sebagian besar fungsi suara untuk
6
bernyanyi kembali secara penuh.
37

Gambar Tahapan operasi pada artis teater profesional yang telah menderita nodul pita suara
selama lebih dari 2 tahun. A, Pandangan saat operasi setelah penatalaksanaan konservatif. B
dan C, nodul dijepit secara super sial dan ditarik ke arah medial mengggunakan Buchayer
forcep. Gunting yang bengkok menjauhi pita suara digunakan untuk pemindahan nodul.
Nodul yang dipindahkan terletak pada level super sial, hal ini untuk meminimalkan jaringan
parut dan regenerasi mukosa pada ligamen vokal yang mendasari. D, pita suara setelah
dieksisi. Pasien merasakan adanya perbaikan kapabilitas vokal dan tidak ada jaringan parut
6
pada pemeriksaan stroboskopi.

3.3.9. Prognosis
Prognosis penatalaksanaan nodul pita suara seluruhnya adalah baik.
Penggunaan yang berlebihan secara berlanjut dari suara akan menyebabkan
lesi ini timbul kembali. Nodul ini dapat dicegah atau disembuhkan dengan
istirahat suara dan dengan mempelajari kegunaan suara dengan tepat. Jika
kebiasaan yang salah dalam berbicara tidak diubah maka kesempatan akan
tinggi untuk kambuh kembali.1
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. SBK perempuan 41 tahun, datang ke poliklinik THT RSMH dengan


keluhan utama suara serak (Disfonia). Keluhan dirasakan sejak 1 tahun yang lalu dan
semakin memberat sejak 2 bulan terakhir. Pasien mengaku kadang tidak dapat
mengeluarkan suara sama sekali. Pasien juga mengeluh mual dan kadang nyeri
tenggorokan, namun tidak ada demam, batuk dan nyeri menelan. Pasien mengaku
tada riwayat sering nyeri tenggorokan sebelumnya. Pasien berprofesi sebagai guru
SMA selama 17 tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis, pemeriksaan telinga, dan
hidung dalam batas normal. pemeriksaan tenggorok didapatkan arcus faring simetris,
uvula ditengah, dinding belakang faring hiperemis (-), tonsil T1-T1. Pasien dilakukan
pemeriksaan laringoskopi indirect didapatkan pita suara hiperemis minimal, plica
ventrikularis dan vokalis pergerakan simetris, tampak nodul berwarna putih keabuan
dengan permukaan licin. Pada pemeriksaan teleskop laring didapatkan epiglottis dan
eritenoid tenang, plica ventrikularis dan vokalis pergerakan simetris, tampak massa di
1/3 anterior pita suara kanan dan kiri, berwarna putih keabuan dengan permukaan
licin dan rima glottis terbuka.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan teleskop laring
pasien didiagnosis disfonia ec susp nodul pita suara dan didiagnosis banding dengan
polip pita suara dan reinke’s edema. Pada anamnesis diketahui bahwa pasien
berprofesi sebagai guru SMA, dimana profesi guru merupakan profesi yang banyak
menggunakan suara (Vocal Abuse) dan beresiko tinggi untuk mengalami disfonia.
Vocal Abuse dapat menyebabkan akumulasi cairan pada submukosa sehingga akan
terjadi pembengkakan submukosa. Vocal Abuse yang lama dapat mengakibatkan
hialinisasi reinke’s space dan penebalan epitelium dasar. Perubahan tersebut akan

38
39

mengurangi kemampuan ketegangan pita suara dan penutupan glottis yang tidak
sempurna sehingga akan terjadi gangguan produksi suara (Disfonia).
Pada pemeriksaan teleskop laring diketahui bahwa pergerak pita suara
simetris, sehingga keluhan disfonia bukan disebabkan oleh kelumpuhan pita suara.
Massa yang ditemukan pada 1/3 anterior pita suara kanan dan kiri (Bilateral)
dicurigai sebagai lesi jinak pita suara, karena massa berwarna putih keabuan dan
permukaan licin. Lesi jinak pita suara terdiri dari nodul, polip, maupun kista. Keluhan
utama dari ketiga jenis lesi tersebut sama yaitu berupa suara parau. Nodul pita suara
sering dijumpai pada wanita dewasa muda dan predileksi nodul pita suara di 1/3
anterior atau medial pita suara dan bilateral seperti pada kasus ini. Sedangkan pada
polip pita suara biasanya terjadi unilateral dan terdapat tangkai pada massa tersebut.
Reinke’s Edema tipikal terjadi pada wanita perokok setelah masa menopause. Lokasi
bilateral atau unilateral dengan adanya edema pada pita suara. Pada kasus ini, riwayat
merokok maupun alkohol disangkal.
Tatalaksana utama pada disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang
menjadi etiologinya. Pada kasus ini disfonia disebabkan oleh nodul pita suara.
Penanggulangan awal adalah istirahat berbicara dan terapi suara. Pada kasus ini
diberikan terapi simptomatik berupa omeprazole cap 20 mg 2x1 untuk mengurangi
rasa mual yang dikeluhkan. Selain itu untuk mencegah terjadinya muntah atau reflux
gastroesofageal karena cairan lambung yang asam akan memperparah gejala disfonia.
Pada pasien ini juga direncakan tindakan operatif mikro laring untuk mengambil
massa nodul di pita suara dan untuk selanjutnya diperiksakan ke patologi anatomi.
Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan untuk membedakan lesi jinak atau ganas,
dan untuk menentukan lesi tersebut berupa nodul, polip maupun kista. Gambaran
patologi yang diharapkan pada nodul pita suara adalah epitel gepeng berlapis yang
mengalami proliferasi dan di sekitarnya terdapat jaringan yang mengalami kongesti.
40

DAFTAR PUSTAKA

1. Hajar, Siti, Saragih, Rahman A. Nodul Pita Suara. Majalah Kedokteran


Nusantara Volume 38. 2005
2. Hermani, Bambang A, Hartono, Cahyono A. Kelainan Laring. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi keenam.
Balai Penerbitan FK UI. Jakarta, 2008.
3. Kadriyan, Hamsu. Aspek Fisiologis dan Biomekanis Kelelahan Bersuara serta
Penatalaksanaannya. Majalah Cermin Dunia Kedokteran Volume 34. Grup
PT. Kalbe Farma Tbk. Jakarta, 2007.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ketujuh, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesi. Jakarta, 2015.
5. Moore, Keith L, Agur, Anne MR. Anatomi Klinis Dasar . Hipokrates. Jakarta,
2002.
6. Hermani, Bambang H, Syahrial M. Disfonia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi keenam. Penerbit. Balai
Penerbitan FK UI. Jakarta, 2008.
7. Dhillon R S, East AS. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery third
edition. Harcourt Publishers McGraw Hil Company. London, 2006.
8. Iskandar, Nurbaiti. Pemakaian Mikroskop pada Diagnostik dan Bedah Laring
dalam Cermin Dunia Kedokteran Volume 43. Jakarta, 1987.
9. Prof.Dr. Efiaty,dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Penerbit. FK UI Jakarta 2007.
10. Soetjipto D, Mangunkusumo Vocal Nodule Diagnosis and therapy. Jakarta.
FK UI.2002.

Anda mungkin juga menyukai