Disusun Oleh :
Ade Arum Prawestri G4A019015
Bianca Alianajla G4A019017
Alfredo Fernanda G4A019021
Anggi Samudera.R G4A019027
Pembimbing:
dr. Wahyu Dwi Kusdaryanto, Sp. THT-KL
REFERAT
LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX DISEASE (LPRD)
Disusun Oleh :
Ade Arum Prawestri G4A019015
Bianca Alianajla G4A019017
Alfredo Fernanda G4A019021
Anggi Samudera.R G4A019027
Telah disetujui
Pada tanggal Maret 2021
Mengetahui,
Pembimbing
c. Esofagus
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang
menghubungkan hipofaring dengan lambung. Bagian proksimalnya
disebut introitus esofagus yang terletak setinggi batas bawah kartilago
krikoid atau setinggi vertebra servikal enam, dari daerah servikal,
esofagus masuk ke dalam rongga toraks, dan berada di mediastinum
superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke mediastinum
posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi
vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm di depan vertebra,
akhirnya sampai di rongga abdomen dan bersatu dengan lambung di
daerah kardia (Seeley, 2004).
Berdasarkan letak anatominya, esophagus dibagia menjadi 3
bagian yaitu pars servikal (mulai dari krikofaringeal sampai
suprasternal), pars torasik (mulai dari suprasternal sampai diafragma),
dan pars abdominal (mulai dari diafragma sampai kardiak lambung).
Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang
bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas
antara esofagus dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat
lintang menjadi otot polos. Penyempitan kedua terletak di rongga dada
bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan bronkus utama kiri.
Penyempitan ini tidak bersifat sfingter. Penyempitan ketiga terletak
pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat esofagus berakhir pada
kardia lambung. Lower Esophageal Sphincter (LES) terletak pada
bagian ini dan otot polos pada bagian ini murni bersifat sfingter
(Seeley, 2004). Perdarahan esophagus berbeda-beda sesuai dengan
letak anatominya. Bagian pars servikal diperdarahi oleh a. tiroid
inferior, pars thorakal oleh cabang langsung dari aorta pars thorakal,
dan pars abdominal oleh a. frenikus dan a. gastrikus (Gray, 2008).
Gambar 4 Anatomi Esophagus
2. Definisi
Refluks laringofaringeal (LPR) didefinsikan sebagai kondisi
inflamasi traktus aerodigestif atas terkait efek langsung maupun tidak
langsung dari refluks gastrik atau duodenal, termasuk perubahan
morfologis pada traktus aerodigestif atas (Lechien et al., 2020).
3. Klasifikasi
LPR diklasifikasikan berdasarkan perkembangan keluhan
berdasarkan waktu terapeutik atau non-terapeutik menjadi akut dan kronik.
LPR akut terdiri atas perkembangan sporadik LPR yang dapat ditangani
dengan penanganan adekuat. Pasien dengan LPR akut tidak memiliki
gejala yang berjalan kronis. Pasien-pasien dengan LPR kronik memiliki
gejala LPR yang berjalan kronis yang tidak atau kurang merespon terapi
maupun seringnya rekurensi gejala (> 2 episode dalam setahun) yang
membutuhkan terapi berulang. Pada kedua definisi, LPR didiagnosis
dengan uji objektif atau penanganan empiris (Lechien et al., 2020).
4. Etiologi
Kerusakan mukosa secara langsung dari paparan asam, yang secara
tipikal ditemukan pada esofagus, merusak epitel laryngeal. Aliran silier
terganggu pada pH 5.0 dan berhenti pada pH 2.0; dengan adanya
penurunan aliran silier, akan didapatkan juga penurunan resistensi
terhadap infeksi (Brown dan Shermetaro, 2021).
Penyebab lain dari LPR yang ditemukan dalam penelitian-
penelitian sebelumnya adalah tidak ada atau kurangnya molekul
permukaan transmembran sel kunci yang berpotensi membantu dalam
pertahanan epithelial, menyebabkan sel epitel menjadi lebih rentan
terhadap kerusakan akibat refluks. Selain itu, seringkali ditemukan
abnormalitas pada respon sfingter esofagus atas (upper esophageal
sphincter/UES) dan relaksasi UES yang abnormal terhadap stimulasi
refluks cairan, yang berpotensi meningkatkan risiko timbulnya kerusakan
akibat paparan refluks (Stinnett, et al, 2018).
5. Faktor Risiko
Studi menunjukkan bahwa beberapa faktor risiko LPR meliputi
jenis kelamin laki-laki, kejadian hernia hiatal, durasi gejala yang lebih
lama, pasien dengan IMT tinggi, pasien dengan riwayat penyakit refluks
erosif (ERD) dan Barret’s esophagus (BE) berkontribusi terhadap kejadian
LPR (Saruc et al., 2011). Selain itu, gaya hidup buruk seperti merokok dan
konsumsi alkohol turut dilaporkan sebagai salah satu faktor risiko kejadian
LPR (Spantideas et al., 2015). Makanan fermentasi juga menjadi salah
satu faktor risiko penting untuk perkembangan refluks laringofaring. Tidak
ada penyakit atau pengobatan bersamaan yang dilaporkan ditemukan
terkait dengan LPR (Kesari, 2017).
6. Epidemiologi
LPR dianggap sebagai entitas yang terpisah dari penyakit refluks
gastroesofageal (GORD) karena ada perbedaan mencolok antara kondisi
ini. Prevalensi GORD di populasi Inggris bervariasi antara 10,3 dan 18%.
Pasien dengan GORD memiliki skor LPR yang jauh lebih tinggi dengan
tingkat keparahan LPR yang berbanding lurus dengan GORD (Kamani,
2012).
Sulit untuk memperkirakan prevalensi LPR pada populasi umum
karena tidak tersedia metode diagnostik yang mudah dan diterima secara
umum untuk studi epidemiologi skala besar. Telah dilaporkan bahwa
hingga 10% pasien yang datang ke klinik spesialis THT dan lebih dari
50% pasien dengan suara serak adalah pasien dengan penyakit terkait
refluks. Episode LPR telah dilaporkan oleh 30-50% dari kontrol normal
dan prevalensi LPR pada populasi umum telah dilaporkan bervariasi
antara 7,1% hingga 64% (Spantiades, 2015). Studi yang ada menunjukkan
bahwa 10% pasien yang mengunjungi klinik THT memiliki gejala yang
disebabkan oleh refluks laringofaring, dan 55% pasien dengan suara serak
mengalami refluks laringofaring yang memengaruhi kualitas suara mereka
(Brown, 2020).
7. Patomekanisme
Sawar fisiologis tubuh terhadap LPR meliputi sfingter esofagus
bawah, bersihan esofagus yang dipengaruhi oleh peristalsis esofagus,
saliva, dan gravitasi, serta sfingter esofagus atas. Ketika seluruh sawar
pertahanan tersebut gagal, isi lambung akan berkontak dengan jaringan
laringofaring, menyebabkan kerusakan pada epitelium, disfungsi silier,
inflamasi, dan gangguan sensitivitas. Pada dasarnya, faring memiliki pH
netral (pH 7), sedangkan asam lambung memiliki rentang pH antara 1.5
hingga 2. Kerusakan faring disebabkan oleh penurunan pH dan paparan
terhadap komponen refluks seperti pepsin, garam empedu, dan enzim
pankreatik (Compagnolo et al., 2014). Hal ini dipengaruhi oleh sifat epitel
laring yang relatif lebih rentan terhadap asam dibandingkan oleh epitel
esofagus. Studi menunjukkan bahwa 50 kali episode refluks paparan asam
terhadap epitel esofagus masih dianggap normal, sedangkan tiga episode
terhadap epitel esofagus sudah dapat memberikan kerusakan yang berarti.
Selain refluks asam, refluk nonasam merupakan suatu tipe refluks
baru yang diketahui turut berkontribusi dalam patomekanisme penyakit
ini. Refuks nonasam memiliki manifestasi gejala yang menyerupai refluks
asam, namun refluks ini biasanya bersifat nonrefrakter terhadap
pengobatan inhibisi pompa proton (PPI). Terdapat dua mekanisme
patofisiologis terkait fenomena ini. Teori refleks, dikenal juga dengan teori
refleks esofago-trakheo-bronkhial, menyatakan bahwa reseptor di mukosa
terstimulasi oleh refluksat, menyebabkan aktivasi mediator inflamasi yang
menyebabkan gejala ekstraesofageal. Teori kedua, teori refluks proksimal
atau aspirasi mikro/makro, menyatakan bahwa iisi lambung mengalir
secara retrograde ke dalam tenggorokan oleh karena abnomalitas struktural
atau fungsional pada esofagus bawah. Refluksat tersebut dapat secara
langusng menstimulasi reseptor batuk atau meningkatkan produksi mukus
melalui refleks vagal yang berdampak pada timbulnya gejala
laringofaringeal (Stinnet, Dhillon, Akst, 2018).
Refluks pepsin, garam empedu, dan protein gastrointestinal lainnya
ke dalam mukosa traktus aerodigestif atas menyebabkan modifikasi
mukosa, termasuk jejas mukosal, reaksi inflamasi, mukosa kering,
penebalan epitel, dan mikrotrauma. Akumulasi mucus lengket
menginduksi postnasal drip dan sensasi globus, bersihan tenggorokan, dan
batuk. Temuan anatomis lain, seperti granuloma, kontak antara epiglottis
dan tonsil lingua hipertrofi, serta dinding posterior orofaring, dapat
menyebabkan sensasi globus. Sensasi globus dapat bersifat neurogenik.
Inflamasi pada palatum mole atau mukosa nasofaring dikaitkan dengan
postnasal drip. Disfonia dapat disebabkan oleh penrubahan mukosa
makro- dan mikroskopik yang mungkin dapat menginduksi modifikasi
sifat biomekanis plica vocalis, berkontribusi terhadap perkembangan lesi
kronik pada pita suara (Lechien et al., 2019).
Epitel plica vocalis adalah epitel skuamosa, silindris, dan
terstratifikasi. Hubungan-hubungan yang terbentuk oleh kompleks union
apikal membentuk suatu mekanisme sawar terhadap agen perusak, baik
eksternal maupun internal, termasuk LPR. Paparan asam dan pepsin pada
plica vocalis sehat menyebabkan penurunan resistensi elektrik transepitel
yang berdampak pada peningkatan permeabilitas epitel yang membuatnya
makin rawan terhadap perlukaan.
Cidera tak langung dari refleks vagal juga dapat berkontribusi
terhadap perkembangan LPR, sebagaimana stimulasi isi gastroduodenal ke
dalam esofagus bawah dapat menstimulasi kemoreseptor mukosa,
menyebabkan sekresi mukus laring, batuk, sensasi globus, dan bersihan
tenggorokan (Lechien et al., 2019). Nervus vagus mencakupi secara
ekstensif inervasi traktus aerodigestif, meliputi traktur respiratorik atas dan
bawah, serta traktus aerodigestif. Gangguan neorologis dapat
menyebabkan perubahan pada cabang aferen lengkung reflek laring dan
digestif, sedangkan beragam stimulus seperti asam dapat memicu
timbulnya gejala. Neuropati laring kronik dikaitkan dengan gerakan plica
vocalis paradoksal sebagai salah satu manifestasi sindroma iritabilitas
laring yang dilandasi oleh hipersensitivitas refleks aferen (Benniger &
Champagnolo, 2018).
Disfagia, odinofagia, tekanan telinga, dan nyeri tenggorokan juga
dapat berkembang sebagai reaksi inflamasi kronik mukosa (Lechien et al.,
2019). Disfagia sering kali didefinisikan sebagai suatu gejala yang
bermanifestasi sebagai kesulitan menelan selama pasase bolus padat
maupum cair atau persepsi obstruksi selama menelan. Terdapat beberapa
mekanisme yang telah dipostulasikan yang menjelaskan peran refluks
terhadap disfagia, di antaranya dengan menginduksi dismotilitas esofagus
secara sekunder oleh paparan refluksat berkepanjangan, melalui inflamasi
mukosa faringoesofagus dan pembentukan striktur esogafus, melalui
disfungsi krikofaringeal, serta obstruksi outlet.
Selain itu, penurunan tonus istirahat sfingter esofagus atas dan
bawah serta peningkatan tekanan intraabdominal juga dikaitkan dengan
bolus refluksat dan kejadian LPR (Kuo, 2019). Meskipun memiliki
riwayat LPR kronik, kebanyakan pasien mengalami episode akut refluks
melalui internalisasi/eksternalisasi pepsin yang dapat mengeksaserbasi
gejala yang ada, menyebabkan gambaran “perjalanan kronik” penyakit.
Etiologi dari gejala dapat bersifat mulitfaktorial pada pasien dengan LPR
yang disertai dengan obstructive sleep apnea syndrome (OSAS),
berdasarkan data terkini yang mendukung asosiasi yang kuat antara gejala
OSAS dan refluks (Lechien et al., 2019).
8. Gejala Klinis
LPR merupakan suatu penyakit yang berbeda dari penyakit refluks
gastroesofagus (GERD). Aliran retrograd isi gastroduodenal ke dalam
esofagus dan/atau struktur yang berdekatan dapat menyebabkan
komplikasi atau timbulnya gejala terkait refluks yang mengganggu,
serperti berdeham (throat clearing), heartburn, dan globus pharyngeus.
Penyakit refluks dapat dikategorikan sebagai LPR, esofagitis erosif, dan
penyakit refluks nonerosive (NERD). Kasus-kasus esofagitis erosif dan
NERD dikategorikan sebagai GERD (Kou, 2019).
Pada GERD, refluks isi lambung terbatas hanya pada esofagus.
Pada LPR, refluks isi lambung mempengaruhi laring dan faring. Meskipun
sering kali terjadi diagnosis silang antara GERD dan LPR, terdapat
beberapa perbedaan penting. GERD disertai dengan gejala asiditas dan
heartburn (sensasi terbakar di retrosternal), yang umumnya jarang
dijumpai pada pasien LPR. Gejala tersebut muncul umumnya pada malam
hari (refluks nokturnal). Pada LPR, refluks biasanya terjadi pada siang hari
(daytime refluxers). Gejala LRP terjadi saat pasien dalam posisi tegak
pada keadaan kelelahan fisik (seperti membungkuk, valsava, dan latihan
fisik), sedangkan GERD justru timbul saat pasien berbaring (Kou, 2019).
Sebagai tambahan, tidak seperti GERD yang utamanya timbul sebagai
refluks asam, LPR memiliki tiga subtipe yang dapat dideteksi dengan
pemeriksaan MII-pH, yaitu subtipe asam, nonasam, dan campuran. Studi
terkini menujukkan terdapat dua profill utama pasien LPR berdasarkan
MII-pH; pasien dengan GERD dan LPR asam yang timbul bersamaan,
serta pasien tanpa GERD dengan LPR nonasam atau campuran. Meskipun
LPR dan GERD memiliki perbedaan perubahan molekular pada
mukosa, keduanya saling terkait satu sama lain (Liu et al., 2020).
Gejala yang paling sering ditemukan terkait dengan LPR adalah
sensasi globus, berdeham, serak, mukus tenggorokan berlebih, atau
postnasal drip (Lechien et al., 2020). Sensasi globus atau globus faringeus
merupakan suatu sensasi benjolan atau benda asing tidak nyeri di dalam
tenggorokan (Kou, 2019). Gejala-gejala ini bersifat nonspesifik dan
mungkin terkait dengan alergi laringofaring akut, rhinitis, rhinosinusitis
kronik, merokok, penyalahgunaan alkohol, serta infeksi laringofaring
benigna (Lechien et al, 2020). LPR diketahui memberikan efek negatif
terhadap resistensi nasal serta kongesti nasal. Selain itu, beberapa peneliti
melaporkan bahwa refluks asam dapat dikaitkan dengan gangguan telinga
tengah dan dalam, seperti otitis media, tinnitus, dan vertigo perifer.
Mekanisme yang mendasari gangguan telinga dalam tersebut mungkin
terkait dengan masuknya material refluks (terutama asam hidroklorat dan
pepsin) ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius dan
mempengaruhi struktur tulang (Kou, 2019).
9. Penegakan Diagnosis
Diagnosis LPR sulit ditegakkan hanya berdasarkan keluhan gejala
saja. Sejauh ini, belum ada baku emas dalam diagnosis LPR. Namun,
konsensus menyepakati bahwa pasien dengan gejala dan tanda LPR yang
disertai dengan setidaknya sekali episode refluks esofagus proksimal yang
terukur dengan MII-pH dianggap sebagai pasien LPR (Lechiet et al.,
2019).
a. Anamnesis
Penggalian riwayat klinis yang baik tidak dapat dipisahkan
untuk mengidentifikasi patologi ini. Pasien harus ditanyakan mengenai
gelaja refluks umum dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan
patologi kepala dan leher, meskipun perlu tetap diingat bahwa tidak
adanya gejala-gejala tersebut tidak menyingkirkan penyakit ini. Perlu
diperhatikan bahwa pasien dengan LPR tidak biasanya datang dengan
manifestasi klinis klasik GERD, sebagaimana ditunjukkan pada
banyak pasien LPR yang tidak mengalami esofagitis atau epigastralgia.
Manifestasi klinis LPR mencakup beragam tanda dan gejala penyakit
otolaring, meliputi disfonia (71%), batuk kering (51%), berdeham
(42%), globus faringis (47%), dan sekresi hipofaring (47%). Gejala
lain seperti disfagia (35%), sensasi post-nasal drip (PND), saliva pahit,
odinfagia, dan spasme alring juga dapat ditemui. Pada beberapa kasus,
batuk dapat menjadi kronik dengan batuk berulang yang dapat
membangunkan pasien di malam hari (Fandino, Tarazona, dan Diaz,
2011).
Sebagaimana diketahui bahwa disfonia merupakan salah satu
gejala utama LPR yang dapat dijumpai pada 50% pasien dengan
perubahan suara dan/atau patologi laring. Namun demikian,
manifestasi penyakit ini pada anak-anak berbeda dengan dewasa.
Anak-anak dapat datang dengan keluhan tonsilitis, laryngitis, dan
tracheitis berulang, yang terjadi sebagai dampak dari eksposisi
abnormal oleh asam terhadap saluran napas atas. Pada kasus ini,
adanya pH asam menghasilkan inflamasi yang menyebabkan
perubahan pada flora bakteri dan proses infeksi berulang (Fandino,
Tarazona, dan Diaz, 2011).
Penggunaan alat bantu diagnosis berupa indeks gejala refluks
(Reflux Symptom Index; RSI) dapat membantu menegakkan diagnosis
berdasarkan gejala yang dikeluhkan oleh pasien. RSI merupakan suatu
kuesioner outcome 9-butir yang mengukur derajat keparahan gejala.
Nilai RSI >13 mengindikasikan kecenderungan LPR (sugestif LPR)
(Luchien et al., 2019). Namun demikian, RSI memiliki banyak
kelemahan. Pertama, gejala LPR biasanya tidak spesifik dan dapat
ditemukan pada subjek tanpa refluks, sedangkan RSI sendiri tidak
mempertimbangkan banyak gejala LPR lainnya, seperti nyeri
tenggorokan, odinofagia, tekanan telinga, sendawa, dan halitosis.
Kedua, RSI memberikan evaluasi derajat keparahan keluhan dengan
skala analog visual (VAS) namun tidak memperhitungkan frekuensi
keluhan sehingga evaluasi bersifat subjektif dan rentan bias karena
dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Ketiga, beberapa gejala yang
dideskripsikan dalam RSI (heartburn, nyeri dada, regurgitasi, dan
dyspepsia) dikelompokkan dalam 1 butir pertanyaan sehingga
menyebabkan kebingungan dalam penilaian keluhan tersebut.
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda yang paling sering ditemukan pada pasien dengan LPR
adalah hipertrofi komisura posterior, eritema arytenoid, orofaring, dan
pilar anterior. Tanda lain yang banyak ditemukan pada pasien LPR
adalah coated tongue dan eritema uvula. Tanda lain yang mungkin
dapat ditemukan adalah adanya gangguan dental kronik, seperti lubang
pada gigi atau erosi gigi (Lechien, et al, 2020).
Gambar 5 Tanda oral dan orofaringeal yang berhubungan dengan LPR. (A) Eritema
faring, (A,B) eritema pilar anterior, (B) eritema uvula, (C) coated tongue, (D)
perbaikan tanda coated tongue pada pasien LPR yang sudah menjalani terapi (Lechien
et al, 2020).
Sebuah sistem penilaian yang disebut sebagai reflux sign
assessment (RSA) disusun sebagai pedoman penilaian objektif
terhadap tanda-tanda LPR. RSA adalah instrument penilaian klinis
yang terdiri atas 16 poin yang menilai temuan laringeal dan ekstra-
laringeal pada LPR. Poin-poin dalam RSA dibagi menjadi empat area
pemeriksaan, yakni RSA kavitas oris, RSA faringeal, dan RSA
laringeal. Pada RSA kavitas oris, poin temuannya adalah eritema pilar
anterior, edema dengan/tanpa eritema, dan coated tongue. Pada RSA
faringeal, temuan yang diperhatikan dalam RSA adalah eritema
orofaringeal, granulasi orohipofaringeal, hipertrofi tonsil lingualis,
mukus lengket di faring, kontak antara epiglottis dan basis lingualis.
Pada RSA laringeal, poin-poin temuan yang diperhatikan adalah
eritema/edema epiglottis, eritema/edema ventricular band, eritema
larigeal, granulasi inflamasi inter-aritenoid, hipertrofi komisura
posterior, eritema retrokrikoid, edema retrokrikoid, mukus lengket
endolaringeal, vocal fold granuloma, laringeal keratosis, dan ulserasi
vocal fold. Nilai paling tinggi yang dapat dicapai pada RSA adalah 61
(Lechien, et al, 2020).
1. LPR adalah suatu kondisi inflamasi traktus aerodigestif atas terkait efek
langsung maupun tidak langsung dari refluks gastrik atau duodenal, termasuk
perubahan morfologis pada traktus aerodigestif atas.
2. Epidemiologi LPR tidak diketahui secara pasti. Sekitar 10% pasien THT yang
datang ke klinik dan >50% pasien dengan keluhan suara serak terkait dengan
penyakit refluks.
3. Beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian LPR terkait diet
dan gaya hidup.
4. Secara garis besar, patomekanisme yang mendasari LPR adalah kegagalan
sawar fisiologis tubuh yang diperankan oleh esofagus terhadap paparan isi
lambung. Gangguan anatomis maupun fisiologis pada sfingter esofagus
menyebabkan paparan isi lambung terhadap mukosa laring dan faring yang
berdampak pada timbulnya kejadian LPR.
5. LPR dan GERD adalah dua entitas yang berbeda, meskipun memiliki dasar
patofisiologi yang serupa. Tidak adanya gejala khas GERD pada mayoritas
penderita LPR, berupa heartburn dan asiditas, melandasi perbedaan di antara
keduanya.
6. Diagnosis LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis terkait gejala refluks,
pemeriksaan fisik dengan laringoskopi, dan pemeriksaan penunjang melalui
monitor MII-pH.
7. Tatalaksana terkait LPR terkait dengan perubahan diet dan gaya hidup.
Medikamentosa pilihan yang dapat digunakan adalah PPI, antihistamin H2,
prokinetik, dan pelapis lambung (alginate dan magaldrate).
8. Komplikasi LPR paling banyak terkait dampak inflamasi pada laring, seperti
spasme laring, granuloma, stenosis, dan degenerasi polypoid yang dapat
berdampak pada kejadian obstruksi jalan napas.
9. Prognosis keberhasilan LPR baik dengan catatan terapi harus diikuti dengan
modifikasi diet dan gaya hidup yang ketat.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, JJ. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok dan Leher, Jilid I. Jakarta:
Bina Rupa Aksara: 2007.
Benniger, MS & Campagnolo, A. 2018. Chronic laryngopharyngeal vagal
neuropathy. Braz. J. Otorhinolaryngol. 84(4).
Brown, J. and Shermetaro, C., 2020. Laryngopharyngeal reflux. StatPearls
[Internet]. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519548/
Fandino, Luis HJ., Tarazona, Natalia M., Diaz, Javier AO. 2011. Reflux
laryngitis: An Otolaryngologist’s perspective. Rev Col Gastoenterol.
26(3):193-200.
Gray H. 2008. Chapter 35: Mediastinum. In: Standring S, ed. Gray's Anatomy:
The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Ed. New York, NY:
Churchill Livingstone Elsevier
Kesari, S. P., Chakraborty, S., & Sharma, B. (2017). Evaluation of risk factors for
laryngopharyngeal reflux among Sikkimese population. Kathmandu Univ.
Med. J.(KUMJ), 15, 29-34.
Kuo, Chin-Lung. 2019. Laryngopharyngeal Reflux: An Update. Archives of
Otorhinolaryngology-Head & Neck Surgery. 3(1):1. DOI:
10.24983/scitemed.aohns.2019.00094.
Lechien, Jerome R., Akst, Lee M., Hamdan, Abdul L., Schindler, A., Karkos,
Petros D., Barillari, Maria R., Calvo-Henriquez, C., Crevier-Buchman, L.,
Finck, C., Eun, Young-Gyu, Saussez, S., Vaezi, Michael F. 2019.
Evaluation and Management of Laryngopharyngeal Reflux Disease: State
of the Art Review.
Lechien, Jerome R., Saussez, S., Muls, V., Barillari, Maria R., Chiesa-Estomba,
Carlos M., Hans, S., Karkos, Petros D. 2020. Laryngopharyngeal Reflux:
A State-of-the-Art Algorithm Management for Primary Care Physicians.
Journal of Clinical Medicine. 9(3618):1-18. Doi:10.3390/jcm9113618
Lechien, JR., Mouawad, F, Barillari MR< Nacci, A, Khoddami, SM, Enver, N,
Raghunandhan, SK, Henriiquez, CC, Eun, YG, Saussez, S. 2019.
Treatment of laryngopharyngeal reflux disease:
Liu, D, Qian, T, Sun, S, Jiang, JJ. 2020. Laryngopharyngeal Reflux and
Inflammatory Responses in Mucosal Barruer Dysfunction of the Upper
Aerodigestive Tract. Journal of Inflammation Research. 13:1291-1304.
Patel, DA, Blanco, M, Vaezi, MF. 2018. Laryngopharyngeal reflux and fucntional
laryngeal disorder: perspective and common practice of the general
gastroenterologist. Gastroenterology & Hepatology. 14(9): 512.
Rusmarjono, Hermani B. 2011. Nyeri Tenggorokan. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI.
Saruc, M, Aksoy, EA, Vardereli, E, Karaaslan, M, Cicek, B, Ince, U, Oz, F,
Tozun, N. 2011. Risk factors for laryngopharyngeal reflux. Laryngology.
269: 1189-1194.
Seeley, Stephen, Tate. 2004. Chapter 23, Respiratory System In: Anatomy and
Physiology. The McGraw-Hill Companies.
Spantideas, N, Drosou, E, Bougea, A, Assimakopoulos, D. 2015.
Laryngopharyngeal reflux disease in the Greek general population,
prevalence and risk factors. BMC Ear, Nose, and Throat Disorders. 15:7.
Spencer M. Laryngopharyngeal Reflux and Singers: Diabolus in Gula. Journal of
Singing. 2006.
Stinnet, S., Dhillon, V., Akst, L. 2018. Laryngopharyngeal Reflux: Current
Concepts on Etiology and Pathophysiology and Its Role in Dysphagia.
Current Otorhinolaryngology Reports. 196-202.
Stinnett, S., Dhillon, V. and Akst, L., 2018. Laryngopharyngeal Reflux: Current
Concepts on Etiology and Pathophysiology and Its Role in
Dysphagia. Current Otorhinolaryngology Reports, 6(2), pp.196-202.
Widayastuti P, 2003. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.