Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX DISEASE (LPRD)

Disusun Oleh :
Ade Arum Prawestri G4A019015
Bianca Alianajla G4A019017
Alfredo Fernanda G4A019021
Anggi Samudera.R G4A019027

Pembimbing:
dr. Wahyu Dwi Kusdaryanto, Sp. THT-KL

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2021
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX DISEASE (LPRD)

Disusun Oleh :
Ade Arum Prawestri G4A019015
Bianca Alianajla G4A019017
Alfredo Fernanda G4A019021
Anggi Samudera.R G4A019027

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di


Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui
Pada tanggal Maret 2021

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Wahyu Dwi Kusdaryanto, Sp.THT-KL


I. PENDAHULUAN

Refluks laringofaringeal, disebut juga dengan istilah extraesophageal


reflux, supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux
laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease, merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh aliran balik cairan dari lambung ke laring.

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) terjadi ketika asam lambung dan enzim


pepsin naik dari lambung menuju esofagus dan mengiritasi laring dan faring.
Gejala dari LPR ini akan mengakibatkan perubahan suara, nyeri pada
tenggorokan, batuk kering, susah menelan ataupun rasa penuh pada tenggorokan.
Adanya kegagalan dari fungsi sfingter atas esofagus atau upper oesophagal
sphincter (UOS) merupakan salah satu faktor untuk terjadinya LPR
Laryngopharyngeal reflux termasuk dari salah satu manifestasi refluks
ekstra esofagus yang berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD),
hanya saja kejadian GERD berhubungan dengan disfungsi dari sfingter bawah
esofagus atau lower esophagal sphincter. Angka kejadian LPR cukup sering,
diperkirakan LPR menyerang sekitar 20% dari populasi dewasa di Amerika
Serikat dan pada beberapa studi dikatakan 50% yang mengalami suara serak
menderita LPR.
Gejala dari LPR harus dibedakan dari gejala GERD. Kebanyakan pasien
dengan LPR tidak mengeluhkan adanya rasa terbakar di dada. Tujuh puluh satu
persen penderita mengeluhkan suara serak yang disertai rasa penuh di
tenggorokan. Pada setiap penderita yang dicurigai menderita LPR harus dilakukan
2 penilaian untuk melihat skor reflux. Penilaian tersebut adalah Reflux System
Indtex (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS). Dua penilaian ini digunakan untuk
menegakkan diagonosis dari LPR
Penatalaksanaan LPR dibagi menjadi 3 yaitu perubahan pola hidup dan
edukasi pasien, terapi medikamentosa dan terapi bedah. Hal yang perlu
diperhatikan dari LPR adalah skreening untuk menilai adanya kanker esofagal dan
esofagus Barret, karena LPR merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya
esophageal adenocarcinoma (EAC).
II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Traktus Aerodigestif Atas


a. Faring
Faring merupakan tabung muskular yang berukuran 12,5-14
cm yang merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai
esofagus. Faring adalah kontong fibrous yang membentuk seperti
corong dimana kantong ini dimulai dari dasar tengkorang dan
menyambung dengan esofagus setinggi vertebre servikal ke enam.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana.
Kedepan berhubungan dengan rongga mulut ismus orofaring,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding
posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring
dibentuk oleh (dari dalam keluar) : 1. Selaput lendir; 2. Fasia
faringobasiler; 3.Pembungkus otot; 4. Sebagian fasia bukofaringeal.
Berdasarkan letaknya faring dapat dibagi menjadi nasofaring,
orofaring, dan laringofaring (hipofaring) (Soeprdir et all, 2012).

Gambar 1 Anatomi Faring


1) Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid
dibelakang koana dengan dinding kaku dibagian superior,
posterior, dan lateral yang berhubungan dengan orofaring. Batas
nasofaring dibagian atas adalah dasarar tengkorak, dibagian bawah
adalah palatum mole, kedepan adalah rongga hidung, sedangkan
ke belakang adalah vetebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil,
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller,
kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di
atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius
spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.
2) Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas
atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas
epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vetebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil, serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum (Soepardi et all, 2012)
Gambar 2 Struktur orofaring dan cincin waldayer
3) Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan nasofaring dan
orofaring pada daerah setinggi os hyoid. Daerah laringofaring
menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan berakhir
pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring. Batas
laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
inferior ialah esophagus , serta batas posterior adalah vetebra
servikal.
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-
kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis
eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang
a. maksila interna.yakni cabang palatina superior. Fungsi faring yang
terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Dalam fungsi menelan terdapat 3 fase
yaitu 1. Fase oral; 2. Fase faringal; 3. Fase esofagal. Fase oral, bolus
makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja
(voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan
melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase
esofagal yaitu waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di
esofagus menuju lambung. Pada saat berbicara dan menelan terjadi
gerakan terpadu dari otot-lambung. Pada saat berbicara dan menelan
terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini
antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan mula-mula
melibatkan M.salpingofaring dan M.palatofaring. Kemudian
M.elevator veli palatini bersama-sama M.konstriktor faring
superior. Pada gerakan penutupan nasofaring M.elevator veli
palatinisuperior. Pada gerakan penutupan nasofaring M.elevator
veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai
dinding posterior faring (Soepardi et all, 2012).
b. Laring
Laring merupakan suatu penghubung antara faring dan trakea.
Laring berbentuk seperti kotak triangular. Bangunan laring tersusun
oleh satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa buah tulang rawan.
Tulang hyoid berbentuk seperti huruf “U” yang permukaan atasnya
dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendo dan
otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah katilago epiglotis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis, dankartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea.
(Widyastuti, 2003).
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja
pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik
menyebabkan gerakan bagian-bagian tertentu yang berhubungan
dengan gerak pita suara. Otot–oto ektrinsik laring terdiri dari
suprahioid (m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan
m.milohioid), dan infrahioid (m.sternohioid, m.omohioiddan
m.tirohioid). Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid
berfungsidan m.tirohioid). Otot-otot ekstrinsik laring yang
suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang
infrahioid menarik laring ke atas. Otot-otot intrinsik laring yang
terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid transversum, m.aritenoid
oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik
adalah otot aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara
ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot
abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral
(Widyastuti, 2003). Perdarahan laring berasal dari percabangan
a.tiroid superior dan inferior. Arteri yang memperdarahi laring
secara langsung dari kedua cabang arteri tersebut adalah a.laringis
superior dan a.laringis inferior (Ballenger, 2007)
Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus
laring, batas bawah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago
krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglotis,
tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua
belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas
lateralnya ialah membrane kuadrangularis,dan arkus kartilago tiroid.
Batas lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid,
konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid. Sedangkankartilago
aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid. Sedangkan
batas belakangnya ialah m.aritenois transverses dan lamina kartilago
krikoid (Ballenger, 2007).

Gambar 3 Anatomi Laring

c. Esofagus
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang
menghubungkan hipofaring dengan lambung. Bagian proksimalnya
disebut introitus esofagus yang terletak setinggi batas bawah kartilago
krikoid atau setinggi vertebra servikal enam, dari daerah servikal,
esofagus masuk ke dalam rongga toraks, dan berada di mediastinum
superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke mediastinum
posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi
vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm di depan vertebra,
akhirnya sampai di rongga abdomen dan bersatu dengan lambung di
daerah kardia (Seeley, 2004).
Berdasarkan letak anatominya, esophagus dibagia menjadi 3
bagian yaitu pars servikal (mulai dari krikofaringeal sampai
suprasternal), pars torasik (mulai dari suprasternal sampai diafragma),
dan pars abdominal (mulai dari diafragma sampai kardiak lambung).
Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang
bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas
antara esofagus dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat
lintang menjadi otot polos. Penyempitan kedua terletak di rongga dada
bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan bronkus utama kiri.
Penyempitan ini tidak bersifat sfingter. Penyempitan ketiga terletak
pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat esofagus berakhir pada
kardia lambung. Lower Esophageal Sphincter (LES) terletak pada
bagian ini dan otot polos pada bagian ini murni bersifat sfingter
(Seeley, 2004). Perdarahan esophagus berbeda-beda sesuai dengan
letak anatominya. Bagian pars servikal diperdarahi oleh a. tiroid
inferior, pars thorakal oleh cabang langsung dari aorta pars thorakal,
dan pars abdominal oleh a. frenikus dan a. gastrikus (Gray, 2008).
Gambar 4 Anatomi Esophagus
2. Definisi
Refluks laringofaringeal (LPR) didefinsikan sebagai kondisi
inflamasi traktus aerodigestif atas terkait efek langsung maupun tidak
langsung dari refluks gastrik atau duodenal, termasuk perubahan
morfologis pada traktus aerodigestif atas (Lechien et al., 2020).
3. Klasifikasi
LPR diklasifikasikan berdasarkan perkembangan keluhan
berdasarkan waktu terapeutik atau non-terapeutik menjadi akut dan kronik.
LPR akut terdiri atas perkembangan sporadik LPR yang dapat ditangani
dengan penanganan adekuat. Pasien dengan LPR akut tidak memiliki
gejala yang berjalan kronis. Pasien-pasien dengan LPR kronik memiliki
gejala LPR yang berjalan kronis yang tidak atau kurang merespon terapi
maupun seringnya rekurensi gejala (> 2 episode dalam setahun) yang
membutuhkan terapi berulang. Pada kedua definisi, LPR didiagnosis
dengan uji objektif atau penanganan empiris (Lechien et al., 2020).
4. Etiologi
Kerusakan mukosa secara langsung dari paparan asam, yang secara
tipikal ditemukan pada esofagus, merusak epitel laryngeal. Aliran silier
terganggu pada pH 5.0 dan berhenti pada pH 2.0; dengan adanya
penurunan aliran silier, akan didapatkan juga penurunan resistensi
terhadap infeksi (Brown dan Shermetaro, 2021).
Penyebab lain dari LPR yang ditemukan dalam penelitian-
penelitian sebelumnya adalah tidak ada atau kurangnya molekul
permukaan transmembran sel kunci yang berpotensi membantu dalam
pertahanan epithelial, menyebabkan sel epitel menjadi lebih rentan
terhadap kerusakan akibat refluks. Selain itu, seringkali ditemukan
abnormalitas pada respon sfingter esofagus atas (upper esophageal
sphincter/UES) dan relaksasi UES yang abnormal terhadap stimulasi
refluks cairan, yang berpotensi meningkatkan risiko timbulnya kerusakan
akibat paparan refluks (Stinnett, et al, 2018).
5. Faktor Risiko
Studi menunjukkan bahwa beberapa faktor risiko LPR meliputi
jenis kelamin laki-laki, kejadian hernia hiatal, durasi gejala yang lebih
lama, pasien dengan IMT tinggi, pasien dengan riwayat penyakit refluks
erosif (ERD) dan Barret’s esophagus (BE) berkontribusi terhadap kejadian
LPR (Saruc et al., 2011). Selain itu, gaya hidup buruk seperti merokok dan
konsumsi alkohol turut dilaporkan sebagai salah satu faktor risiko kejadian
LPR (Spantideas et al., 2015). Makanan fermentasi juga menjadi salah
satu faktor risiko penting untuk perkembangan refluks laringofaring. Tidak
ada penyakit atau pengobatan bersamaan yang dilaporkan ditemukan
terkait dengan LPR (Kesari, 2017).
6. Epidemiologi
LPR dianggap sebagai entitas yang terpisah dari penyakit refluks
gastroesofageal (GORD) karena ada perbedaan mencolok antara kondisi
ini. Prevalensi GORD di populasi Inggris bervariasi antara 10,3 dan 18%.
Pasien dengan GORD memiliki skor LPR yang jauh lebih tinggi dengan
tingkat keparahan LPR yang berbanding lurus dengan GORD (Kamani,
2012).
Sulit untuk memperkirakan prevalensi LPR pada populasi umum
karena tidak tersedia metode diagnostik yang mudah dan diterima secara
umum untuk studi epidemiologi skala besar. Telah dilaporkan bahwa
hingga 10% pasien yang datang ke klinik spesialis THT dan lebih dari
50% pasien dengan suara serak adalah pasien dengan penyakit terkait
refluks. Episode LPR telah dilaporkan oleh 30-50% dari kontrol normal
dan prevalensi LPR pada populasi umum telah dilaporkan bervariasi
antara 7,1% hingga 64% (Spantiades, 2015). Studi yang ada menunjukkan
bahwa 10% pasien yang mengunjungi klinik THT memiliki gejala yang
disebabkan oleh refluks laringofaring, dan 55% pasien dengan suara serak
mengalami refluks laringofaring yang memengaruhi kualitas suara mereka
(Brown, 2020).
7. Patomekanisme
Sawar fisiologis tubuh terhadap LPR meliputi sfingter esofagus
bawah, bersihan esofagus yang dipengaruhi oleh peristalsis esofagus,
saliva, dan gravitasi, serta sfingter esofagus atas. Ketika seluruh sawar
pertahanan tersebut gagal, isi lambung akan berkontak dengan jaringan
laringofaring, menyebabkan kerusakan pada epitelium, disfungsi silier,
inflamasi, dan gangguan sensitivitas. Pada dasarnya, faring memiliki pH
netral (pH 7), sedangkan asam lambung memiliki rentang pH antara 1.5
hingga 2. Kerusakan faring disebabkan oleh penurunan pH dan paparan
terhadap komponen refluks seperti pepsin, garam empedu, dan enzim
pankreatik (Compagnolo et al., 2014). Hal ini dipengaruhi oleh sifat epitel
laring yang relatif lebih rentan terhadap asam dibandingkan oleh epitel
esofagus. Studi menunjukkan bahwa 50 kali episode refluks paparan asam
terhadap epitel esofagus masih dianggap normal, sedangkan tiga episode
terhadap epitel esofagus sudah dapat memberikan kerusakan yang berarti.
Selain refluks asam, refluk nonasam merupakan suatu tipe refluks
baru yang diketahui turut berkontribusi dalam patomekanisme penyakit
ini. Refuks nonasam memiliki manifestasi gejala yang menyerupai refluks
asam, namun refluks ini biasanya bersifat nonrefrakter terhadap
pengobatan inhibisi pompa proton (PPI). Terdapat dua mekanisme
patofisiologis terkait fenomena ini. Teori refleks, dikenal juga dengan teori
refleks esofago-trakheo-bronkhial, menyatakan bahwa reseptor di mukosa
terstimulasi oleh refluksat, menyebabkan aktivasi mediator inflamasi yang
menyebabkan gejala ekstraesofageal. Teori kedua, teori refluks proksimal
atau aspirasi mikro/makro, menyatakan bahwa iisi lambung mengalir
secara retrograde ke dalam tenggorokan oleh karena abnomalitas struktural
atau fungsional pada esofagus bawah. Refluksat tersebut dapat secara
langusng menstimulasi reseptor batuk atau meningkatkan produksi mukus
melalui refleks vagal yang berdampak pada timbulnya gejala
laringofaringeal (Stinnet, Dhillon, Akst, 2018).
Refluks pepsin, garam empedu, dan protein gastrointestinal lainnya
ke dalam mukosa traktus aerodigestif atas menyebabkan modifikasi
mukosa, termasuk jejas mukosal, reaksi inflamasi, mukosa kering,
penebalan epitel, dan mikrotrauma. Akumulasi mucus lengket
menginduksi postnasal drip dan sensasi globus, bersihan tenggorokan, dan
batuk. Temuan anatomis lain, seperti granuloma, kontak antara epiglottis
dan tonsil lingua hipertrofi, serta dinding posterior orofaring, dapat
menyebabkan sensasi globus. Sensasi globus dapat bersifat neurogenik.
Inflamasi pada palatum mole atau mukosa nasofaring dikaitkan dengan
postnasal drip. Disfonia dapat disebabkan oleh penrubahan mukosa
makro- dan mikroskopik yang mungkin dapat menginduksi modifikasi
sifat biomekanis plica vocalis, berkontribusi terhadap perkembangan lesi
kronik pada pita suara (Lechien et al., 2019).
Epitel plica vocalis adalah epitel skuamosa, silindris, dan
terstratifikasi. Hubungan-hubungan yang terbentuk oleh kompleks union
apikal membentuk suatu mekanisme sawar terhadap agen perusak, baik
eksternal maupun internal, termasuk LPR. Paparan asam dan pepsin pada
plica vocalis sehat menyebabkan penurunan resistensi elektrik transepitel
yang berdampak pada peningkatan permeabilitas epitel yang membuatnya
makin rawan terhadap perlukaan.
Cidera tak langung dari refleks vagal juga dapat berkontribusi
terhadap perkembangan LPR, sebagaimana stimulasi isi gastroduodenal ke
dalam esofagus bawah dapat menstimulasi kemoreseptor mukosa,
menyebabkan sekresi mukus laring, batuk, sensasi globus, dan bersihan
tenggorokan (Lechien et al., 2019). Nervus vagus mencakupi secara
ekstensif inervasi traktus aerodigestif, meliputi traktur respiratorik atas dan
bawah, serta traktus aerodigestif. Gangguan neorologis dapat
menyebabkan perubahan pada cabang aferen lengkung reflek laring dan
digestif, sedangkan beragam stimulus seperti asam dapat memicu
timbulnya gejala. Neuropati laring kronik dikaitkan dengan gerakan plica
vocalis paradoksal sebagai salah satu manifestasi sindroma iritabilitas
laring yang dilandasi oleh hipersensitivitas refleks aferen (Benniger &
Champagnolo, 2018).
Disfagia, odinofagia, tekanan telinga, dan nyeri tenggorokan juga
dapat berkembang sebagai reaksi inflamasi kronik mukosa (Lechien et al.,
2019). Disfagia sering kali didefinisikan sebagai suatu gejala yang
bermanifestasi sebagai kesulitan menelan selama pasase bolus padat
maupum cair atau persepsi obstruksi selama menelan. Terdapat beberapa
mekanisme yang telah dipostulasikan yang menjelaskan peran refluks
terhadap disfagia, di antaranya dengan menginduksi dismotilitas esofagus
secara sekunder oleh paparan refluksat berkepanjangan, melalui inflamasi
mukosa faringoesofagus dan pembentukan striktur esogafus, melalui
disfungsi krikofaringeal, serta obstruksi outlet.
Selain itu, penurunan tonus istirahat sfingter esofagus atas dan
bawah serta peningkatan tekanan intraabdominal juga dikaitkan dengan
bolus refluksat dan kejadian LPR (Kuo, 2019). Meskipun memiliki
riwayat LPR kronik, kebanyakan pasien mengalami episode akut refluks
melalui internalisasi/eksternalisasi pepsin yang dapat mengeksaserbasi
gejala yang ada, menyebabkan gambaran “perjalanan kronik” penyakit.
Etiologi dari gejala dapat bersifat mulitfaktorial pada pasien dengan LPR
yang disertai dengan obstructive sleep apnea syndrome (OSAS),
berdasarkan data terkini yang mendukung asosiasi yang kuat antara gejala
OSAS dan refluks (Lechien et al., 2019).
8. Gejala Klinis
LPR merupakan suatu penyakit yang berbeda dari penyakit refluks
gastroesofagus (GERD). Aliran retrograd isi gastroduodenal ke dalam
esofagus dan/atau struktur yang berdekatan dapat menyebabkan
komplikasi atau timbulnya gejala terkait refluks yang mengganggu,
serperti berdeham (throat clearing), heartburn, dan globus pharyngeus.
Penyakit refluks dapat dikategorikan sebagai LPR, esofagitis erosif, dan
penyakit refluks nonerosive (NERD). Kasus-kasus esofagitis erosif dan
NERD dikategorikan sebagai GERD (Kou, 2019).
Pada GERD, refluks isi lambung terbatas hanya pada esofagus.
Pada LPR, refluks isi lambung mempengaruhi laring dan faring. Meskipun
sering kali terjadi diagnosis silang antara GERD dan LPR, terdapat
beberapa perbedaan penting. GERD disertai dengan gejala asiditas dan
heartburn (sensasi terbakar di retrosternal), yang umumnya jarang
dijumpai pada pasien LPR. Gejala tersebut muncul umumnya pada malam
hari (refluks nokturnal). Pada LPR, refluks biasanya terjadi pada siang hari
(daytime refluxers). Gejala LRP terjadi saat pasien dalam posisi tegak
pada keadaan kelelahan fisik (seperti membungkuk, valsava, dan latihan
fisik), sedangkan GERD justru timbul saat pasien berbaring (Kou, 2019).
Sebagai tambahan, tidak seperti GERD yang utamanya timbul sebagai
refluks asam, LPR memiliki tiga subtipe yang dapat dideteksi dengan
pemeriksaan MII-pH, yaitu subtipe asam, nonasam, dan campuran. Studi
terkini menujukkan terdapat dua profill utama pasien LPR berdasarkan
MII-pH; pasien dengan GERD dan LPR asam yang timbul bersamaan,
serta pasien tanpa GERD dengan LPR nonasam atau campuran. Meskipun
LPR dan GERD memiliki perbedaan perubahan molekular pada
mukosa, keduanya saling terkait satu sama lain (Liu et al., 2020).
Gejala yang paling sering ditemukan terkait dengan LPR adalah
sensasi globus, berdeham, serak, mukus tenggorokan berlebih, atau
postnasal drip (Lechien et al., 2020). Sensasi globus atau globus faringeus
merupakan suatu sensasi benjolan atau benda asing tidak nyeri di dalam
tenggorokan (Kou, 2019). Gejala-gejala ini bersifat nonspesifik dan
mungkin terkait dengan alergi laringofaring akut, rhinitis, rhinosinusitis
kronik, merokok, penyalahgunaan alkohol, serta infeksi laringofaring
benigna (Lechien et al, 2020). LPR diketahui memberikan efek negatif
terhadap resistensi nasal serta kongesti nasal. Selain itu, beberapa peneliti
melaporkan bahwa refluks asam dapat dikaitkan dengan gangguan telinga
tengah dan dalam, seperti otitis media, tinnitus, dan vertigo perifer.
Mekanisme yang mendasari gangguan telinga dalam tersebut mungkin
terkait dengan masuknya material refluks (terutama asam hidroklorat dan
pepsin) ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius dan
mempengaruhi struktur tulang (Kou, 2019).
9. Penegakan Diagnosis
Diagnosis LPR sulit ditegakkan hanya berdasarkan keluhan gejala
saja. Sejauh ini, belum ada baku emas dalam diagnosis LPR. Namun,
konsensus menyepakati bahwa pasien dengan gejala dan tanda LPR yang
disertai dengan setidaknya sekali episode refluks esofagus proksimal yang
terukur dengan MII-pH dianggap sebagai pasien LPR (Lechiet et al.,
2019).
a. Anamnesis
Penggalian riwayat klinis yang baik tidak dapat dipisahkan
untuk mengidentifikasi patologi ini. Pasien harus ditanyakan mengenai
gelaja refluks umum dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan
patologi kepala dan leher, meskipun perlu tetap diingat bahwa tidak
adanya gejala-gejala tersebut tidak menyingkirkan penyakit ini. Perlu
diperhatikan bahwa pasien dengan LPR tidak biasanya datang dengan
manifestasi klinis klasik GERD, sebagaimana ditunjukkan pada
banyak pasien LPR yang tidak mengalami esofagitis atau epigastralgia.
Manifestasi klinis LPR mencakup beragam tanda dan gejala penyakit
otolaring, meliputi disfonia (71%), batuk kering (51%), berdeham
(42%), globus faringis (47%), dan sekresi hipofaring (47%). Gejala
lain seperti disfagia (35%), sensasi post-nasal drip (PND), saliva pahit,
odinfagia, dan spasme alring juga dapat ditemui. Pada beberapa kasus,
batuk dapat menjadi kronik dengan batuk berulang yang dapat
membangunkan pasien di malam hari (Fandino, Tarazona, dan Diaz,
2011).
Sebagaimana diketahui bahwa disfonia merupakan salah satu
gejala utama LPR yang dapat dijumpai pada 50% pasien dengan
perubahan suara dan/atau patologi laring. Namun demikian,
manifestasi penyakit ini pada anak-anak berbeda dengan dewasa.
Anak-anak dapat datang dengan keluhan tonsilitis, laryngitis, dan
tracheitis berulang, yang terjadi sebagai dampak dari eksposisi
abnormal oleh asam terhadap saluran napas atas. Pada kasus ini,
adanya pH asam menghasilkan inflamasi yang menyebabkan
perubahan pada flora bakteri dan proses infeksi berulang (Fandino,
Tarazona, dan Diaz, 2011).
Penggunaan alat bantu diagnosis berupa indeks gejala refluks
(Reflux Symptom Index; RSI) dapat membantu menegakkan diagnosis
berdasarkan gejala yang dikeluhkan oleh pasien. RSI merupakan suatu
kuesioner outcome 9-butir yang mengukur derajat keparahan gejala.
Nilai RSI >13 mengindikasikan kecenderungan LPR (sugestif LPR)
(Luchien et al., 2019). Namun demikian, RSI memiliki banyak
kelemahan. Pertama, gejala LPR biasanya tidak spesifik dan dapat
ditemukan pada subjek tanpa refluks, sedangkan RSI sendiri tidak
mempertimbangkan banyak gejala LPR lainnya, seperti nyeri
tenggorokan, odinofagia, tekanan telinga, sendawa, dan halitosis.
Kedua, RSI memberikan evaluasi derajat keparahan keluhan dengan
skala analog visual (VAS) namun tidak memperhitungkan frekuensi
keluhan sehingga evaluasi bersifat subjektif dan rentan bias karena
dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Ketiga, beberapa gejala yang
dideskripsikan dalam RSI (heartburn, nyeri dada, regurgitasi, dan
dyspepsia) dikelompokkan dalam 1 butir pertanyaan sehingga
menyebabkan kebingungan dalam penilaian keluhan tersebut.

Tabel 2.1 Reflux Symptoms Index

Dalam satu bulan terakhir, bagaimanakah 0 = tidak ada masalah, 5 = parah


permasalahan berikut mempengaruhi Anda? / sangat mengganggu
Serak atau adanya keluhan terkait suara 0 1 2 3 4 5
Berdeham (throat clearing) 0 1 2 3 4 5
Mukus atau postnasal drip berlebihan 0 1 2 3 4 5
Sulit menelan makanan, minuman, atau pil 0 1 2 3 4 5
Batuk setelah makan atau berbaring 0 1 2 3 4 5
Kesulitan bernafapas atau tersedak 0 1 2 3 4 5
Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
Sensasi mengganjal di tenggorokan 0 1 2 3 4 5
Heartburn, nyeri dada, atau asam lambung naik 0 1 2 3 4 5

Terkait dengan hal tersebut, maka dikembangkanlah kuesioner


serupa yaitu reflux symptom score (RSS). RSS terdiri atas 22 butir
pernyataan yang mencakup gejala-gejala otolaringologis, digestif, dan
respiratorik dan mengevaluasi frekuensi, keparahan, serta dampak
potensialnya terhadap kualitas hidup pasien. Versi ringkas RSS, yakni
RSS-12 yang berisi 12 butir pernyataan, dibuat berdasarkan keluhan
dan temuan paling umum yang dijumpai pada kohort menggunakan
RRS. Baik RRS maupun RRS-12 dilaporkan memiliki sifat
diskriminatif yang lebih baik dari RSI. RSS-12 > 11 sugestif
mengarahkan ke diagnosis LPR.
Tabel 2.2 Reflux Symptoms Score

b. Pemeriksaan Fisik
Tanda yang paling sering ditemukan pada pasien dengan LPR
adalah hipertrofi komisura posterior, eritema arytenoid, orofaring, dan
pilar anterior. Tanda lain yang banyak ditemukan pada pasien LPR
adalah coated tongue dan eritema uvula. Tanda lain yang mungkin
dapat ditemukan adalah adanya gangguan dental kronik, seperti lubang
pada gigi atau erosi gigi (Lechien, et al, 2020).

Gambar 5 Tanda oral dan orofaringeal yang berhubungan dengan LPR. (A) Eritema
faring, (A,B) eritema pilar anterior, (B) eritema uvula, (C) coated tongue, (D)
perbaikan tanda coated tongue pada pasien LPR yang sudah menjalani terapi (Lechien
et al, 2020).
Sebuah sistem penilaian yang disebut sebagai reflux sign
assessment (RSA) disusun sebagai pedoman penilaian objektif
terhadap tanda-tanda LPR. RSA adalah instrument penilaian klinis
yang terdiri atas 16 poin yang menilai temuan laringeal dan ekstra-
laringeal pada LPR. Poin-poin dalam RSA dibagi menjadi empat area
pemeriksaan, yakni RSA kavitas oris, RSA faringeal, dan RSA
laringeal. Pada RSA kavitas oris, poin temuannya adalah eritema pilar
anterior, edema dengan/tanpa eritema, dan coated tongue. Pada RSA
faringeal, temuan yang diperhatikan dalam RSA adalah eritema
orofaringeal, granulasi orohipofaringeal, hipertrofi tonsil lingualis,
mukus lengket di faring, kontak antara epiglottis dan basis lingualis.
Pada RSA laringeal, poin-poin temuan yang diperhatikan adalah
eritema/edema epiglottis, eritema/edema ventricular band, eritema
larigeal, granulasi inflamasi inter-aritenoid, hipertrofi komisura
posterior, eritema retrokrikoid, edema retrokrikoid, mukus lengket
endolaringeal, vocal fold granuloma, laringeal keratosis, dan ulserasi
vocal fold. Nilai paling tinggi yang dapat dicapai pada RSA adalah 61
(Lechien, et al, 2020).

Gambar 6 Reflux Sign Assessment (Lechien et al., 2020)


c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laringoskopi
Temuan laringoskopik yang digunakan untuk diagnosis
refluks adalah tanda-tanda nonspesifik dari iritasi dan inflamasi
laring. Pemeriksaan laring mengindentifikasi adanya edema dan
eritema, terutama di regio posterior. Temuan utama ini digunakan
oleh banyak investigator untuk diagnosis LPR. Granuloma, ulkus
kontak, dan pseudosulcus (edema infraglotis) juga merupakan
temuan yang umum dijumpai pada hampir 90% kasus LPR
(Chapagnolo et al., 2014). Belafsky et al. mengembangkan sebuah
sistem penilaian objektif yang disebut sebagai reflux finding score
(RFS), yang didasari atas 8 (delapan) temuan laringoskopik: edema
subglotis, edema ventrikular, eritema, edema plika vokalis, edema
laring difus, hipertrofi komisura posterior, granuloma atau jaringan
granulasi, dan mukus endolaringeal yang tebal. Rentang nilai RFS
adalah dari 0 (paling baik) hingga 26 (paling buruk) (Patel et al.,
2018).

Gambar 7 Gambaran temuan umum pada laringoskopi direk penderita


LPR: (1) sekresi lengket, (2) eritema pilar anterior dan lidah kotor, (3)
nodularitas pada dinding faring posterior, (4) keratosis laring, (5)
hipertrofi komisura posterior dan granulasi interaritenoid, (6) eritema
laring difus, (7) ulserasi laring, dan (8) granuloma. Temuan ini bersifat
nonspesifik dan harus dipertimbangkan dalam skoring temuan lengkap
(Lechien et al., 2019).
Salah satu indikasi primer dari laringoskopi pada populasi
penderita LPR adalah untuk mengeliminasi diagnose malignansi.
Ada kesamaan yang signifikan antara gejala LPR dan gejala
karsinoma laringeal stadium awal, maka dari itu, penggalian
riwayat klinis yang teliti (termasuk faktor risiko keganasan dan
riwayat pengobatan untuk memastikan pasien tidak sedang dalam
terapi dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I)),
serta pemeriksaan laringoskopi direk juga diperlukan sebagai
evaluasi langkah awal pada semua pasien yang dicurigai menderita
LPR (Patel, et al, 2018).
2) Monitor MII-pH
Kejadian refluks paling baik didemonstrasikan oleh
pemantauan impedance pH intraluminal. Metode ini dapat
mendeteksi cairan refluks asam dan non-asam, serta gaseous fluid.
LPR terjadi saat pH sensor proksimal jatuh ke angka <4 selama
atau sesaat setelah paparan asam distal (dekat dengan lower
esophageal sphincter/LES), dan LPR dikonfirmasi saat waktu
paparan asam total (persentase waktu selama pemantauan 24 jam
saat sensor mendeteksi pH <4) adalah >1% (Campagnolo et al,
2014).
Pemantauan pH dilakukan dengan menggunakan keteter
transnasal double-probe (esofageal dan faringeal), tetapi cara ini
sudah tidak rutin dilakukan pada praktik klinis karena memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah dari metode pemantauan pH untuk LPR
menimbulkan hipotesis bahwa refluks non-asam mungkin memiliki
peran dalam pasien dengan gejala refrakter setelah pengobatan
dengan PPI (Patel et al., 2018).
3) Uji coba terapi empirik
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang yang
bersifat diagnostic dan terapeutik. Terapi empirikal dengan
menggunakan PPI dilaksanakan dengan cara memberikan PPI
sebanyak dua kali per hari selama dua hingga tiga bulan. Pada
pasien yang tidak menanggapi percobaan PPI dan memiliki tes
refluks negatif dari terapi, refluks tidak mungkin menjadi etiologi
gejala mereka, dan harus ada evaluasi untuk etiologi alternatif
menggunakan pendekatan multidisiplin dengan THT, alergi,
neurologi, dan spesialis paru berdasarkan gejala (Patel et al., 2018 ;
Campagnolo et al, 2014).
4) Deteksi pepsin dan garam empedu
Deteksi pepsin, garam empedu, serta tripsin di saliva dan
mukosa faring atau laring merupakan salah satu pendekatan
diagnostik yang menjanjikan. Studi menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas dekteksi pepsin secara berturut-turut mencapai 64%
dan 68%. Namun, dalam praktik sehari-hari, metode ini dibatasi
oleh tidak adanya baku emas untuk menentukan karakteristik
epidemiologisnya (Lechien et al., 2019). Metode ini dapat
digunakan untuk membantu penegakan diagnosis apabila terdapat
tanda dan gejala LPR pada pasien, namun hasil MII-pH negatif,
atau pada kasus-kasus meragukan yang membutuhkan pemeriksaan
tambahan lebih lanjut (Lechien et al., 2019).
10. Tatalaksana
Tatalaksana untuk LPR dapat meliputi modifikasi gaya hidup dan
terapi farmakologis, dimana tatalaksana farmakologis pilihan untuk LPR
masih berupa pemberian PPI sekali hingga dua kali sehari. Namun,
pendekatan terapeutik ini masih menunjukkan rerata kesuksesan terapi
yang tidak pasti dan mengacu pada luaran terapeutiknya, sejumlah pasien
menunjukkan resistensi terhadap medikasi ini (Lechien et al., 2019).
Terlepas dari skema terapi apapun yang dipilih, konsensus
merekomendasikan untuk melaksanakan terapi setidaknya selama 8
minggu. Idealnya, periode awal selama 3 bulan dapat diajukan, yang mana
setelahnya revisi terapi dapat dilakukan dalam 3 bulan selanjutnya.
Bagan 2.1 Pendekatan terapeutik personal untuk subtipe spesifik LPR
(Luchien et al., 2019)
a. Modifikasi diet dan behavioral
Perubahan diet dan gaya hidup masih merupakan tahapan
terapeutik pertama pada penatalaksanaan LPRD. Sebagai tambahan,
pendekatan ini merupakan tatalaksana empiris paling ekonomis pada
pasien dengan LPR ringan. Pada praktiknya, pasien yang berkomitmen
dan menjalankan modifikasi diet dan gaya hidup memiliki perbaikan
gejala yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang tidak menjaga
dietnya. Lebih jauh lagi, penelitian terkini menunjukkan bahwa diet
yang dijalankan dengan baik dapat seefisien penatalaksanaan dengan
PPI. Diet alkalin, protein, rendah lemak, dan rendah asam efektif
karena tipe makanan ini dapat dicerna dengan baik, serta menurunkan
jumlah relaksasi sesaat sfingter esofagus yang terkait dengan jumlah
episode LPRD (Lechien et al., 2019).
b. PPI
PPI menurunkan sekresi ion H+ lambung dengan ikatan kovalen
dengan H+/K+-ATPase. Inhibisi pompa proton meningkatkan pH
droplet gas refluksat dan membatasi aktivitas ekstraseluler pepsin pada
jaringan traktus aerodigestif atas. Namun, jika ditinjau dari sudut
pandang patofisiologis, PPI tidak memiliki aktivitas intraseluler pepsin
dan berdampak rendah terhadap aktivitas tripsin serta garam empedu
yang tidak terkonjugasi, yang dapat melukai mukosa laringifaring pada
suasana nonasam. Terlebih lagi, asupan PPI tidak mengubah jumlah
keseluruhan episode refluks harian (Lechien et al., 2019).
PPI memiliki masa paruh waktu pendek (90 menit) dimana satu
dosis oral tunggal sebesar 20 mg dapat menginhibisi 70% aktivitas
enzim pompa. Pada praktiknya, masa paruh inhibisi sekresi asam
gaster berlangusng sekitar 24 jam. Sekitar 20% pompa proton
disintesis lagi dalam periode 24 jam dimana sintesis pompa lebih
banyak terjadi pada malam hari dibandingkan siang hari. Dengan
asumsi 70% pompa teraktivasi saat sarapan dan PPI diberikan 30
sampai 60 menit sebelumnya, maka dapat dihitung bahwa pemberian
dosis sehari sekali dapat mengihibisi 66% produksi asam. Dengan kata
lain, terlepas dari sifat farmakologis obat, meningkatkan dosis secara
virtual tidak berefek hingga dosis optimal tercapai. Namun, hal ini
dapat di atasi dengan meningkatkan frekuensi dosis. Pemberian dosis
pagi dan sore sebelum makan dapat menginhibisi 80% luaran
maksimal asam lambung. Sehingga, pemberian PPI sebanyak dua kali
sehari dianggap lebih baik terhadap kendali paparan asam esofagus
baik pada siang maupun malam hari.
Secara farmakologis, penggunaan PPI dua kali 20 mg sehari
dianggap sebagai pendekatan paling efektif untuk menghambat sekresi
asam lambung, namun, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
pendekatan ini memiliki efek rendah terhadap varian LPRD nonasam
atau dalam suasana asam yang rendah (Lechien et al., 2019).
c. Histamin H2R
Penggunaan H2R tdak disarankan dalam tatalaksana
farmakologis LPR. Studi yang ada membandingkan efikasi PPI vs
H2R + PPI tidak melaporkan bukti klinis terhadap penggunaan H2R
pada LPR. Terlebih lagi, penggunaan PPI sehari sekali dengan
ranitidin pada malam hari dianggap sebagai pendekatan yang tidak
ekonomis daripada penggunaan PPI dua kali sehari (Lechien et al.,
2019).
d. Prokinetik
Penambahan prokinetik pada PPI masih dianggap kontroversial
pada GERD, terlepas dari perannya untuk meningkatkan tekanan
sfingter esofagus. Studi menunjukkan bukti yang beragam terkait
superioritas PPI dan prokinetik dibandingkan dengan penggunaan PPI
saja. Kontroversi efikasi prokinetik pada LPRD menggambarkan
kurangnya bukti kejadian gangguan dismotilitas esofagus pada kasus
ini (Lechien et al., 2019).
e. Alginate dan magaldrate
Alginate bekerja dengan membentuk lapisan yang mengapung
di atas isi gaster yang dapat dipertahankan dalam lambung hingga 4
jam. Gaviscon diperkaya dengan potensi bioadhesif yang berfungsi
sebagai biofilm protektif pada mukosa esofagus dan traktus
aerodigestif tinggi. Obat ini juga dapat mereduksi frekuensi kejadian
refluks asam. Studi menunjukkan penggunaan aliginate atau
magaldrate dengan PPI dapat meredakan gejala secara signifikan pada
pasien dengan LPR campuran dan nonasam (Lechien et al., 2019).
11. Komplikasi
LPR dapat menyebabkan beberapa manifestasi buruk pada faring
dan laringotrakeal jika tidak diobati dengan baik. Komplikasi LPR yang
paling memprihatinkan adalah komplikasi yang dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, dan termasuk spasme laring, gerakan pita suara
paradoksikal, granuloma, stenosis, degenerasi polipoid, dan bahkan
karsinoma laring. Tidak hanya semua kelainan ini memiliki hubungan
dengan LPR, tetapi jika LPR tidak ditangani secara adekuat sebelum
operasi, tingkat kekambuhan dan komplikasi menjadi lebih tinggi (Postma,
2006). Komplikasi jangka panjang LPR yang signifikan adalah gangguan
bronkopulmonalis, pneumonia berulang, batuk kronis, radang tenggorokan
kronis atau berulang, dan gangguan rongga mulut (Close, 2002;
Spantiades, 2015).
a. Granuloma
Etiologi granuloma laring adalah multifaktorial, tetapi LPR harus
selalu dicurigai berperan. Granuloma dapat terjadi akibat kombinasi
ulserasi mukosa akut pada proses vokal, LPR, dan trauma vokal kronis
akibat pembersihan tenggorokan atau gaya bicara yang keras. Dengan
sendirinya, trauma vokal kronis dapat menyebabkan ulkus pita suara
dan granuloma; namun, dalam kebanyakan kasus LPR adalah kofaktor
(Postma, 2006).
b. Laringospasme paroksismal
Laringospasme adalah keluhan yang tidak umum, tetapi pasien yang
mengalami gejala menakutkan ini biasanya dapat menggambarkan
kejadian dengan jelas. Laringospasme sering bersifat paroksismal, dan
biasanya terjadi tanpa peringatan, bahkan membangunkan beberapa
pasien dari tidur. Dalam beberapa kasus, serangan mungkin memiliki
pola yang dapat diprediksi, seperti saat berolahraga. Beberapa pasien
menyadari hubungan antara LPR dan serangan spasme laring, yang
lainnya tidak (Postma, 2006).
c. Stenosis Laring
Refluks laringofaring merupakan penyebab utama sebagian besar
kasus stenosis glotis subglotis dan posterior. Hal itu dapat
menyebabkan, atau memperlama peradangan laring (Postma, 2006).
d. Disfagia
Refluks laringofaring dapat menyebabkan peradangan, edema, dan
penurunan sensasi laring dan faring, yang dapat menyebabkan disfagia.
Refluks laringofaring juga telah diimplikasikan sebagai kemungkinan
penyebab divertikulum Zenker (Postma, 2006).
e. Kanker Laring
Faktor risiko terpenting untuk berkembangnya karsinoma laring adalah
tembakau dan alkohol; namun, LPR juga tampaknya menjadi kofaktor
penting, terutama pada non-perokok (Postma, 2006).
12. Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya
hidup. Literatur menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan
laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu
dengan omeprazol dan sekitar 79% kasus mengalami kekambuhan setelah
berhenti berobat. Prognosis keberhasilan dengan menggunakan
Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu memberikan angka
keberhasilan 86% (Brown, 2020).
III. KESIMPULAN

1. LPR adalah suatu kondisi inflamasi traktus aerodigestif atas terkait efek
langsung maupun tidak langsung dari refluks gastrik atau duodenal, termasuk
perubahan morfologis pada traktus aerodigestif atas.
2. Epidemiologi LPR tidak diketahui secara pasti. Sekitar 10% pasien THT yang
datang ke klinik dan >50% pasien dengan keluhan suara serak terkait dengan
penyakit refluks.
3. Beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian LPR terkait diet
dan gaya hidup.
4. Secara garis besar, patomekanisme yang mendasari LPR adalah kegagalan
sawar fisiologis tubuh yang diperankan oleh esofagus terhadap paparan isi
lambung. Gangguan anatomis maupun fisiologis pada sfingter esofagus
menyebabkan paparan isi lambung terhadap mukosa laring dan faring yang
berdampak pada timbulnya kejadian LPR.
5. LPR dan GERD adalah dua entitas yang berbeda, meskipun memiliki dasar
patofisiologi yang serupa. Tidak adanya gejala khas GERD pada mayoritas
penderita LPR, berupa heartburn dan asiditas, melandasi perbedaan di antara
keduanya.
6. Diagnosis LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis terkait gejala refluks,
pemeriksaan fisik dengan laringoskopi, dan pemeriksaan penunjang melalui
monitor MII-pH.
7. Tatalaksana terkait LPR terkait dengan perubahan diet dan gaya hidup.
Medikamentosa pilihan yang dapat digunakan adalah PPI, antihistamin H2,
prokinetik, dan pelapis lambung (alginate dan magaldrate).
8. Komplikasi LPR paling banyak terkait dampak inflamasi pada laring, seperti
spasme laring, granuloma, stenosis, dan degenerasi polypoid yang dapat
berdampak pada kejadian obstruksi jalan napas.
9. Prognosis keberhasilan LPR baik dengan catatan terapi harus diikuti dengan
modifikasi diet dan gaya hidup yang ketat.
DAFTAR PUSTAKA

Ballenger, JJ. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok dan Leher, Jilid I. Jakarta:
Bina Rupa Aksara: 2007.
Benniger, MS & Campagnolo, A. 2018. Chronic laryngopharyngeal vagal
neuropathy. Braz. J. Otorhinolaryngol. 84(4).
Brown, J. and Shermetaro, C., 2020. Laryngopharyngeal reflux. StatPearls
[Internet]. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519548/
Fandino, Luis HJ., Tarazona, Natalia M., Diaz, Javier AO. 2011. Reflux
laryngitis: An Otolaryngologist’s perspective. Rev Col Gastoenterol.
26(3):193-200.
Gray H. 2008. Chapter 35: Mediastinum. In: Standring S, ed. Gray's Anatomy:
The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Ed. New York, NY:
Churchill Livingstone Elsevier
Kesari, S. P., Chakraborty, S., & Sharma, B. (2017). Evaluation of risk factors for
laryngopharyngeal reflux among Sikkimese population. Kathmandu Univ.
Med. J.(KUMJ), 15, 29-34.
Kuo, Chin-Lung. 2019. Laryngopharyngeal Reflux: An Update. Archives of
Otorhinolaryngology-Head & Neck Surgery. 3(1):1. DOI:
10.24983/scitemed.aohns.2019.00094.
Lechien, Jerome R., Akst, Lee M., Hamdan, Abdul L., Schindler, A., Karkos,
Petros D., Barillari, Maria R., Calvo-Henriquez, C., Crevier-Buchman, L.,
Finck, C., Eun, Young-Gyu, Saussez, S., Vaezi, Michael F. 2019.
Evaluation and Management of Laryngopharyngeal Reflux Disease: State
of the Art Review.
Lechien, Jerome R., Saussez, S., Muls, V., Barillari, Maria R., Chiesa-Estomba,
Carlos M., Hans, S., Karkos, Petros D. 2020. Laryngopharyngeal Reflux:
A State-of-the-Art Algorithm Management for Primary Care Physicians.
Journal of Clinical Medicine. 9(3618):1-18. Doi:10.3390/jcm9113618
Lechien, JR., Mouawad, F, Barillari MR< Nacci, A, Khoddami, SM, Enver, N,
Raghunandhan, SK, Henriiquez, CC, Eun, YG, Saussez, S. 2019.
Treatment of laryngopharyngeal reflux disease:
Liu, D, Qian, T, Sun, S, Jiang, JJ. 2020. Laryngopharyngeal Reflux and
Inflammatory Responses in Mucosal Barruer Dysfunction of the Upper
Aerodigestive Tract. Journal of Inflammation Research. 13:1291-1304.
Patel, DA, Blanco, M, Vaezi, MF. 2018. Laryngopharyngeal reflux and fucntional
laryngeal disorder: perspective and common practice of the general
gastroenterologist. Gastroenterology & Hepatology. 14(9): 512.
Rusmarjono, Hermani B. 2011. Nyeri Tenggorokan. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI.
Saruc, M, Aksoy, EA, Vardereli, E, Karaaslan, M, Cicek, B, Ince, U, Oz, F,
Tozun, N. 2011. Risk factors for laryngopharyngeal reflux. Laryngology.
269: 1189-1194.
Seeley, Stephen, Tate. 2004. Chapter 23, Respiratory System In: Anatomy and
Physiology. The McGraw-Hill Companies.
Spantideas, N, Drosou, E, Bougea, A, Assimakopoulos, D. 2015.
Laryngopharyngeal reflux disease in the Greek general population,
prevalence and risk factors. BMC Ear, Nose, and Throat Disorders. 15:7.
Spencer M. Laryngopharyngeal Reflux and Singers: Diabolus in Gula. Journal of
Singing. 2006.
Stinnet, S., Dhillon, V., Akst, L. 2018. Laryngopharyngeal Reflux: Current
Concepts on Etiology and Pathophysiology and Its Role in Dysphagia.
Current Otorhinolaryngology Reports. 196-202.
Stinnett, S., Dhillon, V. and Akst, L., 2018. Laryngopharyngeal Reflux: Current
Concepts on Etiology and Pathophysiology and Its Role in
Dysphagia. Current Otorhinolaryngology Reports, 6(2), pp.196-202.
Widayastuti P, 2003. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai