Anda di halaman 1dari 29

Case

PPOK Eksaserbasi
Bisotopenia E.C. CML

Oleh:
Muhammad Zen Faris 04084821921116
Marini Suryati

Pembimbing:
dr. Yulianto Kusnadi, SpPD, KEMD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Case berjudul:
PPOK Eksaserbasi
Bisotopenia E.C. CML

Oleh:
Muhammad Zen Faris 04084821921116
Marini Suryati

telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 24 Februari – 4 Mei
2020

Palembang, Maret 2020


Pembimbing,

dr. Yulianto Kusnadi, SpPD, KEMD

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji penyusun haturkan kepada Tuhan YME yang selalu memberikan rahmat
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “PPOK
Eksaserbasi + Bisotopenia E.C. CML” ini tepat sesuai dengan jadwal yang telah
diberikan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dalam penulisan referat ini, terutama kepada dr. Yulianto Kusnadi, Sp.PD KEMD
sebagai pembimbing penulisan case ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan case ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Mudah-mudahan case ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran
bagi kita semua.

Palembang, Maret 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... ii
KATA PENGANTAR....................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

BAB II LAPORAN KASUS


2.1....................................................................................................Identita
s Pasien ................................................................................................... 2
2.2....................................................................................................Anamn
esis ...................................................................................................2
2.2.1 Keluhan Utama.............................................................. 2
2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit ........................................ 2
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu ............................................. 2
2.2.4 Riwayat Sosial Ekonomi .............................................. 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 5
2.5 Diagnosis, Diagnosis Banding, Terapi ..................................... 10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 11


BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Chronic myeloid leukemia (CML) merupakan penyakit yang ditandai oleh


proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi akibat adanya perubahan
patologik yang terjadi seperti gangguan adhesi sel imatur di sumsum tulang, aktivasi
mitosis sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan terjadinya
proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi hematopoiesis
ekstramedular.1
Angka kejadian Chronic myeloid leukemia (CML) adalah 1,5 per 100.000
penduduk per tahun dan lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Angka insiden ini meningkat secara perlahan dengan bertmbahnya usia hingga
pertengahan 4 dekade, hingga akhirnya meningkat dengan cepat. Walaupun demikian,
angka kejadian terhadap perempuan ternyata mengalami penurunan sebesar 1,8%
pada tahun 1994 hingga 2006 bila dibandingkan dengan tahun 1975 hingga 1994.1
Sampai saat ini belum ada korelasi yang jelas antara paparan obat-obatan
sitotoksik, ataupun peranan virus sebagai etiolog-nya. Diagnosis dan penatalaksanaan
yang tepat sangat penting dalam mencegah terjadinya progresifitas terhadap penyakit
dan membantu meningkatkan prognosis pada penderita CML yang memiliki
kelangsungan hidup berkisar antara 1 hingga 1,5 tahun.
PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan, yang
dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual. Asap
rokok merupakan penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab
lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1
antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.
Dalam National Health Interview Survey, sebuah survei tahunan dari sekitar
40.000 rumah tangga di Amerika Serikat menyatakan bahwa sekitar 10 juta orang
dewasa di Amerika Serikat didiagnosis PPOK berdasarkan diagnosis klinis dokter.
Saat ini PPOK menduduki peringkat nomor 4 dari penyakit yang paling sering
menyebabkan kematian di Amerika Serikat, yaitu sebesar 4,5% dari seluruh kematian.
Saat ini, laki-laki masih memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan pada PPOK (83 vs 57 per 100.000 populasi), tetapi angka kematian ini

1
semakin meningkat pada wanita dan stabil pada pria. Tingkat kematian akibat PPOK
pada wanita meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk
kronis dan produktif. Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Baku
emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Penatalaksanaan bisa dibedakan
berdasarkan derajat tingkat keparahan PPOK. PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai
peningkatan keluhan/gejala pada penderita PPOK berupa 3P yaitu: 1. Peningkatan
batuk/memburuknya batuk 2. Peningkatan produksi dahak/phlegm 3. Peningkatan
sesak nafas. Komplikasi bisa terjadi gagal nafas, infeksi berulang dan cor pulmonal.
Prognosa PPOK terganting dari stage/derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorboid lain.
Kompetensi dokter umum untuk PPOK adalah 3B artinya sebagai dokter
umum mampu menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana awal
kegawatdaruratan berdasarkan pemeriksaan yang sudah dilakukan. Kasus PPOK juga
masih sangat banyak di Indonesia sehingga dokter umum harus mengetahui dan
memahami mengenai diagnosis dan tatalaksana PPOK.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn.T
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jambi
Tanggal masuk : 29 Februari 2020 09:30 melalui IGD RSMH

ANAMNESIS
Keluhan utama: Sesak nafas hebat sejak 3 hari SMRS
Keluhan tambahan: Perut semakin membesar sejak 1 tahun SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak ± 1 tahun SMRS, pasien mengeluh perut terasa membesar secara
perlahan lahan. Pasien mengeluh mudah terasa kenyang bila makan. Badan lemas ada,
mudah lelah saat beraktifitas ada, pusing sempoyongan tidak ada, mimisan gusi
berdarah tidak ada, demam tidak ada, timbul benjolan pada tubuh lain disangkal.
Pasien mengaku masih bisa menjalankan pekerjaan sebagai kuli panggul. Pasien
belum berobat.
Sejak ± 2 bulan SMRS, pasien mengeluh perut semakin membesar disertai
sesak nafas. Sesak dirasakan timbul perlahan, memberat dengan aktifitas dan
berkurang dengan istirahat. Batuk tidak ada. Demam tidak ada. Sembab tungkai tidak
ada. Pasien mengaku tidur dengan 1 bantal. Nyeri dada tidak ada. Pasien berobat di
RS Jambi dilakukan pemeriksaan, dikatakan kemungkinan keganasan. Pasien belum
dirujuk.
Sejak ± 3 hari SMRS pasien mengeluh sesak bertambah hebat, memberat
dengan aktifitas dan berkurang dengan istirahat, tidur dengan 1 bantal. Batuk ada
dengan dahak warna kuning, demam tidak ada. Batuk darah tidak ada. Pasien
kemudian berobat ke Rs di Jambi lalu dirujuk ke RSMH untuk penatalaksanaan lebih
lanjut.
Riwayat penyakit dahulu:

2
 Riwayat Sesak nafas (-)
 Riwayat sakit magh (-)
 Riwayat konsumsi obat penghilang nyeri (-)
 Riwayat sakit kuning (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat operasi (-)
 Riwayat merokok ± 16 batang selama 50 tahun
Riwayat sosial ekonomi:
 Penderita bekerja sebagai kuli panggul
 Kesan sosial ekonomi: sedang
 Biaya di tanggung sendiri

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: Tampak sakit ringan.
Tanda vital :
- Sensorium : Compos mentis
- Tensi : 110/70 mmHg
- Nadi : 90 x/mnt, irama regular, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 16 x/mnt
- Suhu : 37 o C
Pemeriksaan fisik :
- Kulit : petekie (-), pucat (+)
- Kepala : normocephali
- Mata : konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-.
- Telinga : tidak ada kelainan
- Hidung : nafas cuping hidung (-); epistaksis (-)
- Mulut : bibir sianosis (-); ginggiva pucat (-); ginggiva hipertrofi (-)
- Tenggorokan : pembesaran tonsil -/-; faring tidak hiperemis
- Leher : JVP (5-2) cmH2O,trakea di tengah; pembesaran KGB (-)

- Thorax :
- Paru

3
I : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, barrel chest (-)
Pa : Nyeri tekan (-), Stem fremitus kanan=kiri
Pc : Sonor seluruh lapangan paru
A : Bronkovaskular pada kedua lapangan paru, dengan ekspirasi
memanjang. Ronkhi basah sedang ada di apeks paru kanan dan basal paru
kiri. Wheezing ekspirasi di kedua lapangan paru
- Jantung
I : Ictus cordis tidak tampak
Pa : Ictus cordis tidak teraba
Pc : batas atas jantung di ICS linea sternalis dextra
batas kanan jantung linea strenalis dextra
batas kiri jantung di ICS V linea midclavicula sinistra
A : HR 90 x/menit, BJ I-II (+) normal, gallop (-), bising (-)

- Abdomen
I : Cembung (+), venektasi (+)
A : Bising usus (+) normal 5x/menit
Pa: Lemas, hepar teraba 1 jbac, tepi tumpul nodul (+) lien teraba
shuffner 6. Nyeri tekan tidak ada
Pc : Timpani, shifting dullness (-)
Genitalia : tidak diperiksa, pembesaran kelenjar inguinal (-)
- Ekstremitas : Superior Inferior
- Sianosis -/- -/-
- Bengkak -/- -/-
- Petekie -/- -/-
- Nyeri otot -/- -/-
- Eritema -/- -/-

4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HASIL LABORATORIUM
1 Desember 2019, Lubuk Linggau
Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 32.000 4.500-10.000 Ribu/ul
Eritrosit 2.6 4.2-6.2 Jut/ul
Hemaglobin 9.2 12.0-18.0 G/dl
Hematokrid 22 37-48 %
MCH 79 82-92 fl
MCV 33 27-31 pg
MCHC 42 32-36 %
Trombosit 391.000 150.000-500.000 Ribu/ul
LED 17 0-15 MM/jam
Hitung Jenis
 Basofil 0 0-1 %
 Eosinofil 1 1-3 %

 Netrofil batang 3 2-6 %

 Netrofil segmen 80 50-70 %


9 20-40 %
 Limfosit
7 2-8 %
 Monosit
Kimia Darah
Gula darah sewaktu 142 80-180 mg/dl
Ureum 36 10-50 mg/dl
Kreatinin 1.3 0.6-1.3 mg/dl
Asam urat 2.6 2.6-7.2 mg/dl

5 Desember 2019, Jambi


Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi

5
Hemoglobin 9.9 12.3-15.3 mg/dl
Leukosit 287.300 4.400-11.300/ul
Eritrosit 3.0 4.0-5.2 juta/mm3
Trombosit 585.000 150.000-450.000/ul
Hematokrit 28 35-47%
MCV 90 80-100/fl
MCH 32 26-34 pg
MCHC 35 32-36 g/l
Hematologi Dasar
LED 10 1-15 mm/jam

Differential Count Nilai


Basofil 0
Blast 9
Mielosit 12
Metamielosit 20
Eosinofil 1
Netrofil batang 13 Gambaran Apusan Darah Tepi
Netrofil segmen 33 Eritrosit : Normokrom anisositosis
Limfosit 9
Monosit 3 ditemukan normoblast 1 per 100
leukosit
Leukosit : Jumlah meningkat, ditemukan semua seri granulosit dari mieloblast sampai
dengan neutrofil segmen
Trombosit : Jumlah meningkat giant thrombocyte (+) tersebar

1 Maret 2020, RSMH Palembang


Nama Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 8.2 11.40-15.00 g/dl
Eritrosit 2.70 4.00-5.70 106/mm3
Leukosit 46.73 4.73-10.89 103/mm3
Hematokrid 25 35-45 %
Trombosit 60 189-436 103/ul
RDW-CV 17.10 11-15 %
LED 20 <20 mm/jam
Hitung Jenis Leukosit
 Basofil 0 0-1 %

6
Pewarnaan Wright
Kepadatan Hiperceluler
Megakariot 57
Bentuk Promegakariot 47
Mieloblas 7
Progranulosit/Promielosit
 Eosinofil 1 - 1-6 %
Mielosit
 Netrofil 5 50-70 %
 Basofil
Limfosit 91 - 20-40 %
 Monosit 3 2-8 %
 Eosinofl 5

 Neutrofil 36
Metamielosit
 Basofil -
 Eosinofl 4

 Neutrofil 40
Inti Batang
 Basofil -
 Eosinofl 3

 Neutrofil 9
Inti Segmen
 Basofil 3
 Eosinofl 10

 Neutrofil 69
Giant Metamielosit
Giant stab
Inti segmen 6
Inti segmen >6
Morfologi eritrosit
Hemosiderin sumsum
Laboratorium Aspirasi
tulang
Sumsum Tulang
Partikel Ada
Sel-sel lemak - 4 Maret 2020, RSMH Palembang
Proeritroblas -
Eritroblas
 Basofil -
 Polikromatofilik -

 Asidofilik 12 Jakarta, 29 September 2017


Megaloblast BCR-ABL Qualitative test:
 Basofil - (B3a2 transcript detected (p210 /
 Polikromatofilik - Major Break Point Cluster
 Asidofilik - Region)
Limfoblas -
Limfosit 2
Promonosit -
Monosit -
Plasmosit (sel plasma) - 7
Histiosit
Sel tak dikenal/rusak
Sel mitosis -
Lain-lain (monoblas) -
DIAGNOSIS:
CML Fase Kronik

DIAGNOSIS BANDING:
CML Fase Kronik
CML Fase Akselerasi

TERAPI:
Non-Farmakologi:
Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatannya
Diet Nasi biasa
Rujuk kepada dokter spesialis penyakit dalam (Kompetensi 2)

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit mieloproliferatif menahun
dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik pada pluripoten sel stem. Kelainan
tersebut mengenai lineage mieloid, monosit, eritroid, megakariosit, limfosit B dan T.
Perubahan patologik yang terjadi berupa gangguan adhesi sel imatur di sumsum
tulang, aktivasi mitosis sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan
terjadinya proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi
hematopoiesis ekstramedular.1
Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan
diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas),
metamielosit, mielosit sampai granulosit.2,3 ,4

EPIDEMIOLOGI
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada
dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Umumnya menyerang
usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih
progresif.2,1 Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3 : 2, secara umum didapatkan 1
- 1,5/100.000 penduduk di seluruh negara.1
Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan
Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak. Beberapa
melaporan penyebab CML selain akibat paparan radiasi, bom atom adalah ankylosing
spondilitis pasca penyinaran.2,1

PATOFISIOLOGI
Terjadinya CML secara kronologi adalah tampak perubahan hematologi yang
pertama kali berupa basofilia dan trombositosis; diikuti dengan rendahnya aktivitas
neutrophil alkaline phosphatase (NAP); dijumpai granulosit imatur di dalam darah
tepi serta peningkatan kadar vitamin B12 serum. Setelah itu terjadi splenomegali yang
diikuti gejala subyektif. Paparan dengan zat karsinogen selama 2 - 7 tahun (15-20

9
tahun) dapat terjadi CML fase kronik. Tiga sampai lima tahun kemudian CML dapat
mengalami perkembangan progresif menjadi bentuk agresif walaupun dalam
pengobatan. Pada keadaan agresif tersebut dapat terjadi 2 keadaan yaitu fase
akselerasi atau fase blastik (transformasi blastik = krisis blastik) menjadi AML/ALL/
leukemia bilineage serta kemungkinan terjadi perubahan menjadi mielofibrosis.1
Berikut ini adalah urutan kronologis perjalanan CML berdasarkan jumlah
lekosit dan perubahan hematologi serta tanda lain yang menyertainya yang terangkum
dalam tabel 1.1

Tabel 1. Urutan kronologis perjalanan CML


Jumlah leukosit Perubahan hematologis/ tanda lain
- 10 x 109 / L Kromosom Ph
Basofilia, Trombositosis
- 20 x 109 / L Aktivitas NAP rendah
- 30 x 109 / Granulosit imatur
- 40 x 109 / L Peningkatan kadar vitamin B12 serum
- 50 x 109 / L Splenomegali
Gejala subyektif

TANDA DAN GEJALA KLINIK


Dalam perjalanan penyakitnya, CML dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase
kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.1,2,6,7
Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase
kronis, bahkan sering kali diagnosa CML ditemukan secara kebetulan, misalnya saat
persiapan pra operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala
infeksi.2
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa
cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti
diremas di perut kanan atas. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya; rasa cepat
lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat
badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan
gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. 2,6
Pada fase akselerasi dan fase blastik, dijumpai tambahan kelainan pada
pemeriksaan sitogenetik maupun molekular. 1

10
Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka
seperti terlihat pada tabel 2. 2

Tabel 2. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi 2


Keluhan Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah badan 80
Penurunan berat badan 60
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut (infark limpa) 30
Demam 10

Setelah 2-3. tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau


mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis.
maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase
akselerasi adalah: lekositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif,
mieloblas di perifer mencapai 15- 30 %, promielosit >30 dan trombosit <
100.000/mm3 . Secara klinis fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya sudah
mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat. timbul
ptekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.2

KLASIFIKASI 8
Leukemia mieloid kronik mencakup enam tipe leukemia yang berbeda yaitu
 Leukemia mieloid kronik Ph positif (CML, Ph +/ Leukemia Granulositik
Kronik; CGL)
 Leukemia mieloid kronik Ph negatif (CML, Ph -)
 Leukemia mieloid kronik juvenilis
 Leukemia netrofilik kronik
 Leukemia eosinofilik
 Leukemia mielomonositik kronik (CMML)
MANIFESTASI KLINIS

11
Pada fase kronis pasien sering mengeluh rasa cepat kenyang. Hal ini
dimungkinkan akibat desakan limpa terhadap lambung. Nyeri seperti diremas di perut
kanan atas. Keluhan lain seperti rasa cepat lelah, badan lemah, demam yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi apabila penyakit
berlangsung lama. Setelah 2 sampai 3 tahun, beberapa pasien mengalami transformasi
progresif atau mengalami akselerasi.2,3,7,8,9,10

PATOGENESIS
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan
sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasiya
berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen
BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme diatas adalah
terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis
lainnya.2
Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya
peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi
terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat
molekular. 2

Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki,
diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi , sebagian ahli berpendapat akibat mutasi
spontan. Translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada
kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.2
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak
pada tabel 3. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau
kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena
patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11 akan tetapi dapat juga di daerah q l2
atau q l3 dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya. 2

Tabel 3. Variasi kelainan sitogenetik pada CML2


12
Kariotipik Gen-gen yang terlibat Istilah Klinik
t(9 ; 22)(q34;q12) BCR – JAK CML atipik
t(9 ; 22)(q34;q13) BCR - PDGFRB CML atipik
t(9 ; 22)(q34;q11) BCR – FGFR1 CML BCR - ABL negatif
t(8 ; 22)(p11;q11) BCR - FGFR1 CML BCR - ABL negatif
t(4 ; 22)(q12;q11) BCR - PDGFRA CML atipik
t(9 ; 12)(q34;p13) ABL – TEL CML atipik
Del(4)(q12) FIPIL 1- PDGFRA CML hipereosinofilia

Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua pasien
CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph + lebih rawan terhadap adanya kelainan
kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang
kromosom 17i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen
lain yang berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen
supresor tumor, seperti gen p53, p 16 dan gen Rb. 2

Biologi molekular pada Patogenesis CML


Pada kebanyakan pasien CML, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah
5,8-kb atau di daerah el 3-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break region
(M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesa protein dengan berat molekul
210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL . Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb
atau el yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan
mensintesa pl90(Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1990 menemukan satu lagi
variasi patahan ini pada 3` gen BCR antara el9-e20 yang selanjutnya akan terbentuk
p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai mikro bcr (-bcr) (Melo, 1996).
Melo (1997) menemukan bahwa 3` variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu
mayor (M-hcr), minor (m-bcr), dan mikro (-bcr) temyata berhubungan dengan
gambaran klinik penyakitnya. Pasien CML yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr
berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan
monositosis yang prominen, sedang patahan di -bcr berhubungan dengan netrofilia
dan/ atau trombosis. p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara
sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai
kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam

13
sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi
dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum
tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan
berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah
transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini menyebabkan aktivasi dan juga
represi dari proses transkripsi pada RNA sehingga terjadi kekacauan pada proses
proliferasi sel dan juga proses apoptosis, 2

Fase Perjalanan Penyakit


Perjalanan penyakit CML dibagi 3 fase, yaitu :2,5,7
1. Fase kronis
Pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blas dan sel promielosit kurang dari
10% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan produksi
granulosit berlebihan yang didominasi oleh neutrofil segmen. Gejala yang
dialami ringan dan relatif mempunyai respons baik terhadap terapi
konvensional.
2. Fase akselerasi atau transformasi akut
Fase ini sangat progresif, mempunyai blas lebih dari 10% tetapi kurang dari
20%. Pada fase ini jumlah leukosit bisa mencapai 300 ribu/mm 3 yang
didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan
kromosom lebih dari satu (selain kromosom Philadelphia)
3. Fase blastik atau krisis blastik
Pada fase ini pasien mempunyai blas lebih dari 20% pada darah serta sumsum
tulangnya. Sel blas telah menyebar ke jaringan lain dan organ di luar sumsum
tulang. Pada pasien ini, penyakit berubah menjadi leukemia mieloblastik akut
atau leukemia limfositik akut.

Diagnosis1-3,5,8,9-11
a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti, dapat ditemukan gejala klinis yang
berhubungan dengan hipermetabolisme, seperti penurunan berat badan,
kelelahan, anoreksia, keringat malam, splenomegali disertai rasa nyeri atau rasa
tidak nyaman, gangguan pencernaan, gejala gangguan trombosit : perdarahan,

14
memar, epistaksis, menorhagia, gejala hiperurisemia : gout dan gangguan ginjal
dan gangguan penglihatan.
b. Pemeriksaan fisik
Ditemukan tanda-tanda seperti : pucat, organomegali (splenomegali-
hepatomegali), limfadenopati, purpura atau perdarahan pada retina sebagai
akibat gangguan fungsi trombosit dan nyeri tulang sternum saat di palpasi.
c. Pemeriksaan penunjang Umumnya CML memperlihatkan penurunan jumlah
eritrosit, anemia yang mula-mula ringan. Kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl.
Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3, bahkan dapat mencapai 100.000/mm3.
Apusan darah tepi menunjukkan stadium lengkap dari semua seri granulositik
mulai dari mieloblas sampai neutrofil segmen. Komponen granulosit yang
paling menonjol adalah neutrofil segmen dan mielosit. Sel blas pada sediaan
darah tepi < 5%.

Fase kronik bila dijumpai kriteria berikut ini: 1


 Gambaran darah tepi dan sumsum tulang yang klasik dengan dominasi
mielosit dan neutrofil.
 Darah tepi didapatkan anemia normositik normokrom,
 Jumlah leukosit 20.000 - > 500.000/uL,
 Aktivitas NAP menurun, tampak terutama mielosit dan neutrofil. Kadang-
kadang didapatkan neutrofil yang warnanya terdiri dari campuran antara
granula basofil dan eosinofil, dapat disertai monositosis atau relatif
monositopenia.
 Jumlah trombosit dapat > 1.000.000/uL dengan morfologi abnormal.
Trombosit dengan ukuran besar tanpa ada granula dan dijumpai megakariosit
pada 25% kasus CML

Fase akselerasi bila dijumpai salah satu dan kriteria di bawah ini: 1
 Blas 10-19% di darah tepi / sumsum tulang
 basofilia  20%
 Trombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak disebabkan oleh
pengobatan atau trombositosis persisten (> 1000x 109/L) yang tidak responsif
terhadap pengobatan

15
 Ukuran limpa makin membesar dengan jumlah leukosit meningkat, tidak ada
respons terhadap pengobatan

Fase blastik didapatkan bila memenuhi salah satu kriteria di bawah ini: 1
 Blas  20% di darah tepi atau sumsum tulang
 Proliferasi blas ekstramedular
 Ditemukan kelompok / cluster sel bias pada biopsi sumsum tulang.
Pada fase akselerasi dan blastik, didapatkan kelainan sitogenetik minor, mayor
dan kelainan molekular. 1

Pemeriksaan sitogenetik yang dilakukan selama fase akselerasi mungkin


memperlihatkan banyak kelainan sitogenetik, termasuk kromosom Philadelphia ganda
atau tripel. Gambaran lain adalah pewarnaan sitokimia pada blas, yang pada sekitar
25% kasus memperlihatkan penanda-penanda limfoblastik. Ini mungkin
mencerminkan suatu dediferensiasi atau mengisyaratkan bahwa penyakit primer
adalah penyakit sel bakal imatur dengan kemampuan memperlihatkan ciri-ciri mieloid
dan limfoid. Penanda limfoblas, yaitu termincil deoxynucleotidyl transfernse (TdT)
mungkin ditemukan pada sel-sel bias ini. Sekitar 60 sampai 70% pasien akan
mengalami transformasi mieloblastik. 7
Pemeriksaan genetik pada CML dilakukan dengan metode sitogenetik
konvensional, FISH, maupun RT-PCR. 9
Pemeriksaan sitogenetik konvensional dapat mendeteksi adanya kromosom
Philadelphia pada 95% pasien CML. Bila hasil pemeriksaan sitogenetik tidak
memperlihatkan adanya kromosom Philadelphia (± 10%) perlu dilakukan deteksi
7,8,9
bcr/abl menggunakan FISH atau RT-PCR. . Kelompok pasien negatif-Ph ini
umumnya berusia lebih tua dan memperlihatkan hitung trombosit dan sel darah putih
inisial yang lebih rendah. Kelangsungan hidup rata-rata pasien hanyalah 8 bulan,
dibandingkan dengan 40 bulan pada LMK positif-Ph. 7
Pemeriksaan molekuler untuk deteksi t(9:22)(q34;q11) tidak memerlukan
pembiakan sel dan dapat menggunakan sampel baik darah tepi maupun sumsum
tulang. Tapi bila ada kelainan kromosom lainnya maka tidak akan terdeteksi dengan
cara ini. Untuk itu yang sering dideteksi pada CML antara lain trisomi 8, kromosom
Philadelphia ekstra, isokromosom 17q11, yang mempunyai makna dalam prognosis.

16
Karena itu pada CML pemeriksaan sitogenetik konvensional tetap diperlukan, juga
sebagai baseline untuk monitor terapi. 9
Pemeriksaan FISH pada awal diagnosis juga bermanfaat sebagai baseline
untuk monitor MRD. Karena itu pada awal diagnosis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan FISH disamping sitogenetik konvensional. 9

DIAGNOSA BANDING
- CML fase kronik: leukemia mielomonositik kronik,
trombositosis esensial, leukemia netrofilik kronik2
- CML fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom
mielodisplasia2

PENGOBATAN
Tujuan terapi pada CML adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi
hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi
hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. 2

Tahapan terapi 4
Tahapan terapi pada CML dibedakan atas beberapa tahap yaitu umum, fase
kronis, fase krisis blas dan cangkok sumsum tulang. Berikut ini adalah penjelasan
tahap-tahap tersebut.
1. Umum
Profilaksis peninggian asam urat
Profilaksis tromboemboli bila trombosit > 750.000/mm3
2. Fase kronis :
Hidroksi urea (Hydrea®, oap @ 500 mg), dosis disesuaikan dengan jumlah
lekosit:
20.000-150.000/mm3 : 50 mg/kg BB/hari/hari/p.o dalam dua dosis
sampai lekosit 20.000/ mm3
> 150.000/ mm3 : perlu lekoferesis dulu, kemudian 20 mg/kg
BB/hari (15-25 mg/BB) sampai lekosit 5.000-
15.000
Selanjutnya dosis pemeliharaan sehingga lekosit
17
tidak kurang dari 5000/ mm3 dan trombosit
tidak kurang dari 75.000/ mm3.

Interferon  5MU seminggu 3 x / s.c, sampai terjadi krisis blas/ progresivitas,


tidak diberi bila terjadi efek samping berat atau jumlah lekosit kurang dari
2.000/ mm3.
Terapi lain :
- Busulfan (Myleran®) 0,1 mg/kg BB/p.o
Bila lekosit berkurang 50% dosis dikurangi separuhnya
Bila lekosit  20.000/ mm3 obat dihentikan, hanya dilakukan observasi
- Radioterapi, terutama bila splenomegali sangat besar dan tidak mengecil
dengan kemoterapi

3. Leukemi granulositik kronik dalam krisis blas


3.1. Krisis non limfoblastik :
Hidroksiurea 15-25 mg/kg BB/ p.o
6-MP (Purinethol® tab @ 50 mg) 1,5-2,5 mg/kg BB/p.o
Prednison 60 mg/ m2 /p.o
Bila tidak ada respons dalam 2 minggu dosis menjadi 2 x lipat (kecuali
prednison), bila ada respon dosis menjadi separuhnya, lalu kembali ke
pengobatan fase kronis.
Dosis 6-MP dan hidroksiurea harus disesuaikan dengan jumlah lekosit dan
trombosit.
Lekosit Trombosit Dosis (%)
> 5.000 > 150.000 100
3.000-5.000 100.000-150.000 50
20.000-3.000 75.000-100.000 25
< 2.000 < 75.000 0

3.2. Krisis limfoblastik : sesuai pengobatan Leukemia Limfositik Akut

4. Cangkok sumsum tulang alogenik. 4

18
Merupakan terapi definitif untuk CML. Cangkok sumsum tulang (CST) dapat
memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. Tidak
dilakukan pada CML dengan kromosom Ph negatif atau Bcr-Abl negatif. 2
Indikasi cangkok sumsum tulang: 2
1. Usia tidak lebih dari 60 tahun,
2. Ada donor yang cocok,
3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.

PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah
diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka
median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Kombinasi
hidrea dan interferon memberi hasil median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun.
Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan
hidup belum dapat ditentukan. 2
Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien CML, antara lain: 2
1. Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan berat badan, demam, keringat malam.
2. Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia
eosinofilia, kromosom Ph negatif, Bcr-Abl negatif
3. Terapi: memerlukan waktu lama (> 3 bulan) untuk mencapai remisi,
memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang wanita dengan keluhan perut terasa membesar sejak ± 2 bulan SMRS
dan nyeri pada perut kiri bagian atas. Nyeri terasa seperti terbakar dan menjalar
sampai kebelakang. Pasien juga mengeluh sering sakit kepala yang terus menerus dan
dirasakan seperti ditimpa beban berat. Pasien juga mengeluh sering berdebar-debar
dan badan terasa lemah disertai berkurangnya nafsu makan dan penurunan berat
badan. Demam tidak ada. Mual dan muntah tidak ada. Sesak nafas tidak ada. BAK (+)
dalam batas normal. BAB (+) seperti kotoran kambing namun pasien selalu
mengkonsumi obat pencahar dahulu jika ingin BAB. Kemudian pasien berobat ke RS
di Lubuk Linggau dikatakan sakit CML. Kemudian 1 minggu yang lalu mengeluh
perasaan senap pada perut dan dirasakan semakin membesar. Mengeluh penurunan
berat badan masih ada, dan kini pasien sering merasa lemah badan dan cepat kenyang
walaupun dengan porsi yang lebih sedikit dari biasanya.
Tidak adanya gejala yang khas terhadap pasien yang mengarahkan pada
penyakit infeksi seperti hepatitis dan malaria dapat menyingkirkan kemungkinan
adanya peranan infeksi terhadap keluhan pasien. Kemudian tidak adanya riwayat
penggunaan obat-obatan penghilan nyeri dan riwayat sakit magh dapat membantu
menyingkirkan gastritis erosive sebagai penyebab mual dan nyeri pada perut bagian
kiri atas.
Pemeriksaan fisik didapatkan TD : 110/70 mmHg, N : 90 x/menit, RR : 16 x/menit,
suhu : 37 0C. konjungtiva palpebra pucat +/+ dan hepar teraba 3jbac lien membesar
Shuffner IV.
Dari pemeriksaan fisik mengindikasikan bahwa terdapat kcurigaan terhadap anemia
dan adanya pembesaran limfa yang tidak disebabkan oleh penyakit infeksi. Adanya
perasaan mual dan cepat kenyang serta senap yang semakin terasa oleh pasien
kemungkinan diakibatkan oleh pembesaran limfa yang menyebabkan terjadinya
pendesakan terhadap gaster dan menimbulkan keluhan seprti yang dirasakan oleh
pasien.

21
Selama rawat jalan di RS, hasil laboratorium didapatkan :
 Anemia normokrom normositer (berdasar MCV dan MCH), biasa terjadi pada
penyakit kronis termasuk penderita keganasan.3 Pada penderita ini dijumpai
anemia normokrom normositer dengan retikulosit normal yang disebabkan
karena respon sumsum tulang yang tidak adekuat terhadap anemia akibat dari
proliferasi sel-sel mieloid yang berlebihan sehingga menekan seri eritroid.

 Adanya penurunan kadar HB dengan peningkatan retikulosit, bahwa sumsum


tulang berespon baik terhadap anemia dengan membuat lebih banyak eritosit.

 Jumlah leukosit meningkat. Leukositosis disebabkan oleh adanya gen BCR-


ABL pada kromosom Ph atau P210 yang mempunyai aktivitas tirosin kinase
tinggi sehingga menyebabkan hilangnya kontrol proliferasi sel induk
pluripoten pada sistem hematopoiesis dan penghambatan apoptosis sehingga
klon-klon ini bisa hidup lebih lama dibanding sel normal. 8 Pada sediaan apus
darah tepi pasien ini ditemukan semua seri sel-sel mieloid.

 Trombositosis diduga disebabkan oleh adanya patahan pada gen BCR-ABL di


daerah micro bcr (μ-bcr). Menurut Melo variasi letak patahan berhubungan
dengan gambaran klinik penyakitnya.

 Splenomegali terjadi karena adanya hematopoiesis extramedular akibat tidak


efektifnya hematopoiesis di sumsum tulang.

 Peningkatan kadar asam urat. Pada keganasan biasanya turn-over cell yang
tinggi menyebabkan peningkatan asam urat. Peningkatan produksi asam urat
tersebut dapat menyebabkan artritis gout, batu asam urat dan nefropati.

 Pada hampir semua keadaan penyakit yang mengalami kerusakan dan


destruksi sel aktivitas LDH meningkat Isoenzim LD2,3 dan 4 sering
meningkat pada pasien dengan keganasan dan beban tumor yang besar karena
metabolisme dan pertukaran sel tumor. Peningkatan LDH pada pemeriksaan
penyaring, mengarahkan pada kemungkinan keganasan tersamar. Pemeriksaan

22
Laktat Dehidrogenase (LDH) serum akan membantu menegakkan diagnosa,
memantau terapi dan follow up terapi.

 Pada pasien ini hasil BMP menunjukkan sumsum tulang hiperseluler dengan
granulositik hiperplasia dan jumlah sel blas 2% sehingga mendukung
diagnosis Chronic Myelocytic Leukemia (CML) fase kronis.

 Analisis sitogenetik dilakukan untuk memperkuat diagnosis dengan


pemeriksaan kromosom Philadelphia (Ph). Adanya kromosom Ph memastikan
diagnosis CML dan menunjukkan prognosis yang lebih baik. CML dengan
kromosom Ph positip memiliki prognosis yang baik karena telah ditemukan
terapi penghambat kerja enzim tirosin kinase yang dikode oleh gen BCR-ABL.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Wirawan R. Patogenesis dan Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia. Dalam:


Oesman F, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007.
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007: 49-61
2. Fadjari H.Leukemia granulositik kronis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 698-701
3. Djamil LS. Pembacaan preparat darah tepi leukemia. Dalam: Budiwiyono I,
Adhipireno P, editors. Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Undip/ RS Dr Kariadi. Semarang. 1995: 38-46.
4. Budiwiyono I.Diagnosis keganasan darah menggunakan preparat darah tepi.
Dalam: Suromo LB, Hertanto BR, editors. Simposium akreditasi
Laboratorium, Limbah laboratorium dan analisis dampak lingkungan,
pemeriksaan keganasan hematologi, seminar industri serta MUSWIL ILKI
Jateng 2004. Pengurus ILKI Jawa Tengah. 2004: 13-23.
5. B. Löwenberg, J.J. Cornelissen, P. Sonneveld. Leukemia akut dan kronik.
Dalam: Arjono, alih bahasa. Onkologi. Edisi V. Panitia Kanker RSUP Dr
Sardjito. Yogyakarta. 1999: 641-60.
6. Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R. Lekemi granulositik kronik. Dalam:
Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R, editors. Pedoman terapi hematologi
onkologi. PT Alumni . Bandung Edisi I.1997: 28-30
7. Sacher R.A., McPherson R.A.. Penyakit sel darah putih. Dalam: Hartanto H,
editor. Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan klinis hasil
pemeriksaan laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 109-52.
8. Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Leukemia mieloid kronik dan
mielodisplasia. Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta
Hematologi, 4th edition. Jakarta: EGC; 2005: 167-76.
9. Harahap AR. Penanda genetik chronic myeloid leukemia: Deteksi kromosom
Philadelphia, bcr/abl fusion gene dan protein 210. Dalam: Oesman F, editor.
Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007. Departemen Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 62-73

24
10. Pradana AP. Keganasan hematologik. Dalam: Budiwiyono I, Adhipireno P,
editors. Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Undip/ RS Dr Kariadi. Semarang. 1995: 27-36
11. Kosasih AS. Immunophenotyping pada leukemia. Dalam: Marzuki
Suryaatmadja, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2004.
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2004:178-193.
12. Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Genetika keganasan hematologik.
Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4 th edition.
Jakarta: EGC; 2005: 134-49
13. Isbister PJ, Pittiglio DH. Anemia. Dalam: Kartini A, Hartawan B, Mandera LI,
editors. Ronardy DH, alih bahasa. Hemtologi Klinik Pendekatan Berorientasi
Masalah. Edisi 1. Jakarta. Hipokrates: 1999: 38-98.
14. Mansyur Arif. Aspek Molekular Leukemia Mielositik Kronik. Forum
Diagnosticum . Prodia. Bandung: 2007 (1): 1-11)
15. Anonymous. Chronic_myelogenous_leukemia. Availabble from URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Chronic_myelogenous_leukemia
16. Sacher R.A., McPherson R.A.. Hemostasis dan Uji Fungsi Hemostatik .
Dalam: Hartanto H, editor. Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan
klinis hasil pemeriksaan laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 153-83

25

Anda mungkin juga menyukai