Oleh:
dr. Muhammad Riza Lubis
Pembimbing:
dr. Melia Fitri, Sp. P
Pendamping:
dr. Nurweti Emida
dr. Pretty Sepsinolla
Wahana:
RSUD LUBUK SIKAPING
PASAMAN
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan portofolio ini dengan baik. Pada portofolio ini, kami
sebagai penyusun mengambil judul mengenai “Hepatotoksik Imbas Obat”. Tujuan kami mengadakan
portofolio ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas internsip dan sekaligus menambah pengetahuan
bagi kami tentang hipertensi di Rumah SAkit Lubuk Sikaping.
Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan serta perhatian
dari pembimbing kami dr. Melia Fitri, Sp.P di Rumah Sakit Lubuk Sikaping yang telah membimbing dan
membantu kami dalam menyelesaikan portofolio ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa dalam portofolio ini tidak luput dari kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
portofolio ini. Namun kami berharap portofolio ini tidak hanya bermanfaat bagi kami tetapi juga Rumah
Sakit Lubuk Sikaping dan masyarakat.
Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
Borang Portofolio Kasus Paru
Topik : Hepatotoksik Imbas Obat
Tanggal (kasus) : 02 Januari 2020 Presenter : dr. Muhammad Riza Lubis
dr. Nurweti Emida
Tanggal Presentasi : Pendamping :
dr. Pretty Sepsinolla
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Lubuk Sikaping
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Laki-laki, berusia 51 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas, hal ini
□ Deskripsi : dialami pasien sejak 1 bulan SMRS. Pasien didiagnosis dengan Hepatotoksik
Imbas Obat.
Mengenali, melakukan penegakan diagnosis dan pengobatan awal pada
□ Tujuan :
hepatotoksik imbas obat
Bahan
□Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Nama : Tn. M, Laki-laki, 52 tahun, BB : ±
Data Pasien : No. Registrasi : 13.63.01
53 kg, TB : ± 164 cm
Nama RS : RSUD Lubuk Sikaping Telp : - Terdaftar sejak : 02 januari 2020
1. Gambaran Klinis :
Tn A, datang ke IGD dengan keluhan batuk yang dirasakan pasien sudah 1 bulan ini, dan
semakin memberat sejak 1 jam SMRS. Batuk dirasakan hilang timbul sejak 3 bulan SMRS.
Sesak nafas juga dirasakan pasien, tidak berkurang bila os beristirahat. Demam dirasakan
pasien sejak 3 bulan ini, bersifat hilang timbul. Nafsu makan menurun dijumpai. Mual
dijumpai, muntah dijumpai. Os mengaku merasakan penurunan berat badan dalam 1 bulan
terakhir. Keringat malam dijumpai tanpa os beraktifitas. Pasien saaat ini dalam pengobatan
4
TB paru dan sudah berjalan 3 bulan. Urin bewarna kemerahan disangkal. Riwayat
Hipertensi disangkal. Riwayat sakit diabetes disangkal.
2. Riwayat Pengobatan:
4. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :
Pasien bekerja sebagai petani.
Daftar Pustaka :
1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis. Surabaya,
Des. 1982 : 11-20.
2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis JAMA 1995 ; 273 :
220-26.
3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and in Philippines,
Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.
5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan Semiloka TB
Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum An
International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 – 47.
7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan Mutakhir
Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
8. Lee WM. Drug-Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349: 474-85.
9. Sudoyo, et al. 2006. Buku ajar Imu Penyakit Dalam Jilid 1 asa Zedisi 4. FKUI. Jakarta.
10. Liska, DJ. The Detoxification Enzyme Systems. Altern Med Rev 1998; 3(3): 187-198.
11. Navarro, VJ. Drug-Related Hepatotoxicity. N Engl J Med 2006; 354: 731-9.
12. Mehta, N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Download dari
http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview diakses pada 06 Januari 2020.
Hasil Pembelajaran :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab hepatotoksik imbas obat, terutama yang
disebabkan obat TB
5
2. Untuk mengetahui patofisiologi hepatotoksik imbas obat, terutama yang disebabkan obat TB
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan edukasi hepatotoksik imbas obat, terutama yang
disebabkan obat TB
1. Subjektif :
Keluhan Utama: Tn A, datang ke IGD dengan keluhan batuk yang dirasakan pasien
sudah 1 bulan ini, dan semakin memberat sejak 1 jam SMRS
2. Objektif :
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kooperasi : Kooperatif.
Keadaan gizi : Gizi cukup.
Tekanan darah : 110/70 mmHg.
Nadi : 78 kali / menit.
Suhu : 38,2 oC
Pernapasan : 31 kali / menit.
Antropometri
BB : 45 kg.
TB : 159 cm.
BMI : 17.7 = Kurus
STATUS GENERALISATA
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor (diameter
3mm/3mm), RC +/+.
Kulit : Pucat, turgor kulit baik, tidak ikterik, tidak sianosis
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, deviasi sudut mulut (-)
Leher : Trakea di tengah, JVP 5-2 cmH2O
KGB : tidak terdapat pembesaran di leher, axilla dan inguinal
6
a. Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat.
Palpasi : Iktus teraba pada 2 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bising tidak ada, bunyi jantung tambahan tidak ada.
b. Abdomen
Inspeksi : dalam batas normal
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : dalam batas normal
Perkusi : Shifting dullness (-)
c. Punggung :
Inspeksi : Tampak alignment tulang baik
Palpasi : Nyeri tekan CVA (-/-)
Nyeri ketuk CVA (-/-)
d. Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time < 2 detik, edema (-)
LABORATORIUM
Hb : 10.6 gr/dl Hematokrit : 35,3 %
Leukosit : 10.300 /mm3 Trombosit : 352.000 /mm3
Gol. Darah : B rhesus ?
Triple E : -
3. Assesment
DIAGNOSIS :
Diagnosis Kerja : Abortus Inkomplit e.c. susp. Rhesus inkompatibiliti
4. Plan
a. Umum
• Bed Rest
• IVFD RL 20 kpm
7
b. Khusus
• Inj. Seftriaxone 1gr (skin test dahulu)
c. Rencana
Kuretase
8
Follow up
9
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
10
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (MTB).1,2
Hepatotoksisitas (drug induced hepatitis) didefinisikan sebagai adanya kerusakan atau jejas pada
sel-sel hepar akibat dari zat-zat maupun agen-agen kimiawi.11
c. Patofisiologi TB
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat
kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya
kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
11
dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk
koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.2,6
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional,
yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).2,4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas seluler.2,5
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan
sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya
respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.2,7
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan
enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup
dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.4,5
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan
oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
12
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar
limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena
reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.3,5
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.3
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai
lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas
seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.3
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas
seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat
mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-
lain.4,5
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute
generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.2,3
13
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah
kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir
padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3
mm, yang secara histologi merupakan granuloma.4,5
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga
sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara
berulang.4,6
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi
komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen,
TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu
yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan
dewasa muda.3,4
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan
sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga
2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.12
14
Gambar 2.1. Patogenesis Tuberkulosis11
d. Diagnosis TB
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani,
pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinik tuberkulosis
dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah
paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat.
15
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Gold standar diagnosis TB
adalah pemeriksaan sputum BTA. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). 2,3
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktivitas penyakit.3,4
16
1. Sifat bakteri
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri penyebab yang memperlihatkan kecepatan tumbuh
yang lambat dan relative lebih resisten terhadap antibiotik bila dibandingkan dengan
mikroorganisme lainnya sifatnya yang persisten mengakibatkan waktu pengobatan yang lama.
2. Daya tahan tubuh
Penelitian terhadap hewan percobaan memperlihatkan terdapat antibody yang spesifik terhadap
bakteri ini. Penderita yang pernah terinfeksi seharusnya memiliki antibody dalam tubuhnya,
namun sebagian penderita dapat terinfeksi kembali beberapa tahun setelah terjadinya infeksi
primer. Kemungkinan yang terjadi adalah mekanisme metabolik dalam tubuh dapat merusak
imunitas, sehingga bakteri yang sudah lama ‘tidur’ (dormant) dapat bangkit kembali
3. Kepatuhan Penderita
Pemberian obat TB menimbulkan kesembuhan klinis yang lebih cepat dari kesembuhan
bakteriologik dan keadaan ini menyebabkan penderita mengabaikan penyakit dan pengobatannya.
Pengobatan yang memerlukan waktu lama dapat menyebabkan penderita menghentikan
pengobatannya sebelum sembuh, apalagi bila selama pengobatan timbul efek samping. Faktor
pendidikan dan ekonomi serta sarana pelayanan kesehatan yang jauh dapat menyebabkan ketidak
patuhan penderita akan pengobatan penyakitnya.
Enam puluh tahun setelah Robert Koch menemukan bakteri penyebab TB, pada tahun 1940-an
mulai diperkenalkan obat antituberkulosis (OAT) yang sekarang ini dipakai secara luas, yaitu streptomisin
disusul kemudian pada tahun 1947 dengan paraaminosalisilat (PAS) dan pada tahun 1952 ditemukan
isoniazid (INH).
Pada tahun 1967 mulai diperkenalkan rifampisin sebagai OAT baru yang saat ini dipakai secara
luas pada pengobatan jangka pendek tuberkulosis paru bersama dengan OAT lainnya. Sifat farmakologik
OAT yang aman dan regimen terapi yang efisien menjadi dasar dalam pemilihan OAT yang digunakan
pada penderita.
Obat Anti Tuberkulosis yang ideal harus memenuhi persyaratan :
1. Non toksik
2. Mudah diserap dan diberikan secara oral
3. Meresap ke semua jaringan menembus sarang tuberkulosis
4. Aktif terhadap basil yang berada di dalam dan di luar sel, baik pada suasana asam
maupun suasana basa
5. Sanggup membunuh basil yang aktif, maupun yang tidak aktif (dormant)
17
1) INH (Isoniazid)4,5,7
Monografi
Struktur Kimia :
Farmakokinetika
Absorpsi : Diabsorbsi cepat dan lengkap, dan kecepatannya dapat dihambat oleh makanan.
Distribusi : Keseluruhan jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal, menembus
plasenta, dan masuk ke air susu. Ikatan protein berkisar antara 10-15%
Metabolisme: Dimetabolisme di hati, kecepatan metabolisme ditentukan oleh asetilasi secara
genetik.
18
Waktu paruh : pada asetilator cepat 30-100 menit, asetilator lambat 2-5 jam; mungkin
diperlambat oleh kerusakan hati atau ginjal parah. Waktu untuk mencapai kadar puncak 1-2 jam
Ekskresi : lewat urin (75-95%), tinja dan air liur.
Penggunaan
Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe tuberculosis.
Efek non terapi dapat dicegah dengan pemberian piridoksin dan pengawasan yang cermat pada
penderita. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama obat lain untuk tujuan pencegahan
dapat diberikan tunggal.
19
2) Rifampisin3,4,5
Monografi
Stabilitas
Rifampisisn kapsul harus terlindung udara,cahaya dan panas. Kapsul harus disimpan pada
wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya pada temperatur 15- 300C.
Sediaan serbuk rifampisin untuk injeksi harus terlindung dari cahaya dan panas dengan
temperatur ± 400C.
Identifikasi
Spektrum serapan inframerah zat yang didispersikan dalam minyak mineral P menunjukkan
maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada Rifampisin BPFI.
Mekanisme Kerja
Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya berikatan kuat
dengan RNA polimerase yang bergantung pada DNA sehingga akan menghambat sintesis
20
RNA bakteri. Pada mikobakteri resisten terjadi mutasi pada enzim RNA polimerase ini
sehingga tidak lagi mengikat rifampicin.
Farmakokinetika
1. Absorpsi :Secara oral absorbsi baik, makanan dapat memperlambat atau menurunkan
puncak.
2. Distribusi : Karena sangat lifofilik, dapat menembus sawar darah otak. Berdifusi dari
darah ke cairan serebrospinal, difusi cukup kuat tanpa atau dengan adanya inflamasi.
3. Metabolisme : Di hati, mengalami resirkulasi enterohepatik.
4. Waktu paruh : 3-4 jam, diperlama oleh adanya gangguan hati.
5. Ekskresi : Melalui tinja (60-65%) dan urin (sekitar 30%) sebagai bentuk utuh.
Penggunaan
Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberculosis dan sering
digunakan bersama isoniazid utnuk terapi tuberculosis jangka pendek. Efek sampingnya
beraneka ragam, tetapi insidennya rendah dan jarang sampai perlu menghentikan terapi.
(Farmakologi dan Terapi, edisi IV, hal 601)
21
3) Pyrazinamide4,6
Monografi
Indikasi
Antituberkulosa.
Penggunaan bukan sebagai obat tunggal, tetapi dikombinasi dengan paling sedikit satu macam
obat antituberkulosa. Misalnya Rifampisin dan INH.
Stabilitas Penyimpanan
Simpan pada suhu kamar yang terkontrol 20°C hingga 25°C
Tablet pyrazine-2-carboxamide harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, dilindungi dari
cahaya, kelembaban dan suhu panas yang berlebihan.
Kontraindikasi
Hemodialisa
Efek Samping
Atralgia namun minimal, jika keluhan memberat penggunaan segera dihentikan. Selain itu
pyrazinamide dapat juga menyebabkan hepatoksisitas.
Interaksi
- Dengan Obat Lain : Menurunkan efek : absorbsi menurun jika digunakan bersama
alumunium hidroksida. Hindari penggunaan bersama dengan antasida yang mengandung
alumunium, beri jarak minimal 4 jam dari pemberian etambutol.
- Dengan Makanan : Dapat digunakan bersama dengan makanan karena absorbsi tidak
dipengaruhi oleh makanan, dapat menyebabkan iritasi lambung.
22
2.3 Metabolisme Obat di Hati11,12
Hepar merupakan salah satu organ terpenting untuk memetabolisme obat dan senyawa-senyawa
eksogen, terutama yang berasal dari absorpsi di traktus gastrointestinal. Oleh karena itu, hepar merupakan
organ yang rentan terkena paparan, baik dari obat-obat yang dibawa dari saluran pencernaan melalui vena
portal maupun produk-produk metabolit yang dihasilkan oleh hepar itu sendiri, yang selanjutnya masuk ke
sirkulasi sistemik melalui vena hepatik.
Akan tetapi, hati bukanlah target utama dari reaksi obat yang dapat merugikan organ-organ dalam
tubuh. Hanya sekitar 9,5% reaksi obat yang menimbulkan kerusakan hati.1 Meskipun prevalensi kerusakan
hati yang diinduksi obat-obatan mungkin relatif tidak tidak terlalu tinggi dalam masyarakat, namun angka
kematian dalam kasus-kasus tersebut seringkali cukup tinggi, dan pada banyak kasus juga dapat
menimbulkan kegagalan hati.
Obat-obatan dan senyawa-senyawa eksogen lain dapat mempengaruhi hati dengan berbagai cara.
Beberapa zat kimia seperti bahan-bahan yang digunakan di laboratorium dan industri, bahan kimia alami
(microcystins misalnya) maupun obat herbal dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Bahan kimia yang
menyebabkan luka hati yang disebut hepatotoxins.
Gambar 2.3 Ilustrasi mekanisme dari kerusakan sel-sel hepar akibat obat-obatan, yang melibatkan metabolisme obat,
kerusakan hepatosit, aktivasi sel-sel imun innate, dan produksi mediator-mediator.
23
Metabolisme obat di hati biasanya dibagi menjadi dua fase, yakni fase 1 dan fase 2. Reaksi fase 1
termasuk oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi dan banyak lagi reaksi kimia lain. Fase ini penting untuk
meningkatkan kemampuan penyerapan air dari obat-obat tertentu sehingga mampu memetabolisme agen-
agen kimiawi dalam obat-obat tersebut. Fase 2 paling sering terjadi di sitosol, dimana terjadi konjugasi
melalui enzim transferase.
Sejumlah enzim terkait dihasilkan di retikulum endoplasma, yakni cytochrome P-450, yang
penting sebagai enzim pemetabolisme. Cytochrome P-450 adalah komponen oksidase terminal dari rantai
transportasi elektron.
Sistem Tahap II
Reaksi konjugasi pada tahap 2 umumnya mengikuti aktivasi tahap 1, dimana akan mengakibatkan
xenobiotik yang telah larut air dapat diekskresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi
konjugasi terdapat dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi glutation, serta asam
amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor yang tercukupi melalui makanan. Banyak yang dketahui
mengenai peran dari system enzim tahap 1 pada metabolisme kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun
lingkungan dan komponen makanan tertentu. Walaupun begitu, peran detoksifikasi tahap 1 pada praktek
klinik tida terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap 2 lebih diperhatikan dalam penelitian dan
praktek klinik. Dan hanya sedikit yang diketahui saat ini mengenai peran system detoksifikasi pada
metabolism zat endogen.
24
Mekanisme hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada membran kanalikuli
dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-
asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas
sitoplasmik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan
memacu kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem
sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat
membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran.
Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan
sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset yang
melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria
dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang
dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler yang terpengaruh.
Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah gambar yang dipengaruhi melalui 6 cara (Gambar 4).
a. Kerusakan hepatosit : Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan
penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang-benang aktin di
permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport : obat yang mempengaruhi protein transport di membran
kanalikuli dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan
pompa transport misal multidrug resistance–associated protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi
bilirubin, menyebabkan kolestasis.
c. Aktivasi sel T sitolitik : ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen,
mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.
d. Apoptosis hepatosit : aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-? menyebabkan
berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria : beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda
pada ?-oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat sintesis dinucleotide
adenine nicotinamide dan dinucleotide adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya
produksi ATP) dan enzim rantai respirasi.
f. Kerusakan duktus biliaris : metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat menyebabkan
kerusakan epitel duktus biliaris.
25
Gambar 2.4 Mekanisme hepatotoksisitas
Terdapat 3 karakteristik penting dari sistem P-450 dalam drug induced toxicity:
1. Perbedaan Genetik
Setiap protein P-450 berbeda dan bervariasi dalam proses metabolism obat pada setiap individu.
Variasi genetik dalam metabolism P-450 harus dipertimbangkan untuk setiap pemberian obat.
Amiodarone,
Rifampicin, cimetidine, Caffeine,
Carbamazepine, ciprofloxacin, clozapine,
Phenobarbital, fluconazole, omeprazole,
Phenytoin, fluoxetine, losartan,
(St John's wort), erythromycin, theophylli
isoniazid,
26
3. Penghambatan Kompetitif
Beberapa obat dapat menghambat P-450 sehingga menghalangi bio transformasi kompetitif
mereka. Hal ini dapat menyebabkan akumulasi obat yang harus dimetabolisme oleh enzim. Jenis
interaksi obat juga dapat mengurangi tingkat generasi substrat beracun.
2. Sitotoksik injury
Tipe ini mengacu pada kerusakan dari parenkim dan merupakan tipe hepatotoksisitas yang relatif
lebih serius daripada tipe sebelumnya.8
27
3. Cholestatic injury
Jenis ini meliputi terperangkapnya aliran empedu dan menimbulkan jaundice yang dapat terlihat
mirip dengan obstruksi bilier. Tipe ini relatif kurang serius dibanding sitotoksik injury, dengan tingkat
kematian yang lebih rendah.
5. Lemak hati
Lemak hati (steatosis) dapat dianggap sebagai jenis cedera sitotoksik, tetapi juga bisa menjadi
bentuk kerusakan hati kronis.
28
6. Sirosis
Sirosis makronodular dapat langsung terjadi setelah kerusakan hati akut, dan kolestasis jaundice
dapat mengakibatkan sirosis bilier primer.
7. Phospholipidosis
Hal ini mungkin dapat terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan seperti Coralgil, (4, 4'-
diethylaminoethoxyhexestrol dihidroklorida), dan ditandai oleh hepatosit yang penuh dengan lipid (10).
8. Tumor hepar
Lesi neoplastik dapat muncul akibat penggunaan obat-obatan. Adenoma dari sel hati telah terbukti
memiliki keterkaitan dengan penggunaan kontrasepsi steroid (11).
9. Lesi vascular
Oklusi vena hepatika, seperti efek thrombogenic dari kontrasepsi steroid, dapat mengakibatkan
kerusakan hati.
29
b. Umur : reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar meningkat pada orang
dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi obat, penurunan aliran darah hepar, variasi ikatan
obat, dan volume hepar yang lebih rendah. Ditambah lagi, kurangnya asupan makanan, infeksi,
dan sering mondok di rumah sakit menjadi alasan penting akan terjadinya hepatotoksisitas obat.
c. Jenis Kelamin : walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih banyak pada
wanita.
d. Konsumsi alkohol : peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alkohol
menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme obat. Alkohol
menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya lebih rentan terhadap toksisitas
obat
e. Penyakit hepar : pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya memiliki
peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang
mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya. Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus
berdasarkan pengetahuan mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien
dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik meningkat jika diberikan
terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada
obat
f. Faktor genetik : gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P-450
menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik. Debrisoquine
merupakan obat antiaritmia yang menyebabkan rendahnya metabolisme karena ekspresi dari P-
450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.
g. Penyakit lain : seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap reaksi obat
karena rendahnya simpanan glutation
h. Formulasi obat : obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar dibandingkan
dengan obat-obatan short-acting.
2.7 Diagnosis12
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas karena obat
berdasarkan :
Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-
90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari sejak
mulai minum obat dan tidak lebih 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan
tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling
tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan enzim
31
hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 30 hari untuk reaksi
hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
Alternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi hati tiap kasus.
Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan dua
kali lipat enzim hati.
Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria
pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat.
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan sekecil apapun
adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat
pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif
lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau
histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan resiko tinggi
kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama
minum obat dan membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosis
hepatotoksisitas karena obat.
32
33
2.8 Hepatotoksisitas obat anti tuberkulosis (OAT)12
Obat anti tuberkulosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol/streptomisin,
dan tiga obat yang disebut pertama bersifat hepatotoksik. Faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang
pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alkohol,
memiliki dasar penyakit hati, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis viral yang meningkat di negara
sedang berkembang, hipoalbuminemia, tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan
dan status asetilatornya. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLA-DR2 dengan
tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan kerentanan
terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga
dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin
serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko
hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik.
Pada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV mempunyai resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti
tuberkulosis lima dan empat kali lipat. Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan
HbeAg-negatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek INH, rifampisin, etambutol
dan/atau pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan.
Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi
aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respons
adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan
konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang
berkembang menjadi seperti hepatitis viral; 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru
muncul beberapa bulan kemudian.
35
BAB III
KESIMPULAN
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang selalu ada pada setiap obat
yang diberikan, karena hati merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan bahan asing yang
masuk ke dalam tubuh. Kejadian jejas hati karena obat mungkin jarang terjadi, namun akibat yang
ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang
dianjurkan.sebagian lagi tergantung dosis obat. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mudah
menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui proses biokimiawi di
dalam hepatosit, menghasilkan produk larut air yang diekskresikan ke dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui system enzim sitokrom P-450.
Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol/streptomisin,
dan tiga obat yang disebut pertama bersifat hepatotoksik. Faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang
pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alkohol,
memiliki dasar penyakit hati, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis viral yang meningkat di negara
sedang berkembang, hipoalbuminemia, tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan
dan status asetilatornya. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLA-DR2 dengan
tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan kerentanan
terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga
dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin
serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko
hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik.
Pada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV mempunyai resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti
tuberkulosis lima dan empat kali lipat. Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan
HbeAg-negatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek INH, rifampisin, etambutol
dan/atau pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan.
Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi
aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respons
adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan
konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang
berkembang menjadi seperti hepatitis viral; 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru
muncul beberapa bulan kemudian.
36
Mekanisme terjadinya jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transpor pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas asam empedu. Terjadi
penumpukan asam empedu di dalam hati karena gangguan transpor pada kanalikuli yang menghasilkan
translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan
sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu, banyak reaksi hepatoseluler
melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi
yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim. Kompleks enzim-obat ini migrasi ke permukaan
sel di dalam vesikel untuk berperan sebagai imunogen bagi sel T sitotoksik dan berbagai sitokin.
Gambaran klinis hepatotoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit
hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Oleh karena itu riwayat pemakaian obat atau substansi
hepatotoksik lain harus diungkap. Onset umumnya cepat, gejala berupa malaise dan ikterus, serta dapat
terjadi gagal hati akut yang berat terutama bila pasien masih minum obat itu setelah terjadi onset. Bila
jejas hepatosit lebih dominan maka konsentrasi aminotransferase akan meningkat paling tidak lima kali
batas atas normal, sedangkan kenaikan akalifosfatase dan billirubin menonjol pada kolestasis. Mayoritas
reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan
apoptosis bervariasi. Pada kasus gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak
minum obat bahkan sesudah obat penyebab dihentikan. Berdasarkan Internatonal Concensus Criteria,
maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
1. waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi nyata adalah sugestif (5-
90hari dari awal minum obat) atau kompatibel (<5 hari atau >90 hari Sejak mulai minum obat dan
tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari
dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
2. perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling
tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan
konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk
reaksi kolestatik) dari reaksi obat.\
3. alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan telita, termasuk biopsi hati pada
setiap kasus
4. dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan 2 kali
lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua dari tiga
kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat. Mengidentifikasi reaksi obat
37
dengan pasti adalah hal yang sulit, tapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus
dipertimbangkan pada pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan
seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif. Obat harus menjadi diagnosis banding
pada setiap abnormalitas tes fungsi hati atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yanng menjadi
penyebab berhubungan dengan resiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit
sebelum minum obat dan membaik secara nyata setelah obat tersebut dihentikan merupakan hal esensial
dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat.
Terapi untuk mengatasi hepatotoksisitas imbas obat belum ada antidotum yang spesifik Oleh
karena itu terapi efek hepatotoksik yang baik adalah segera menghentikan penggunaan obat-obat yang
dicurigai.
38
DAFTAR PUSTAKA
13. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis. Surabaya,
Des. 1982 : 11-20.
14. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis JAMA 1995 ;
273 : 220-26.
15. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
16. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and in
Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.
17. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan Semiloka TB
Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
18. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum An
International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 – 47.
19. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan Mutakhir
Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
20. Lee WM. Drug-Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349: 474-85.
21. Sudoyo, et al. 2006. Buku ajar Imu Penyakit Dalam Jilid 1 asa Zedisi 4. FKUI. Jakarta.
22. Liska, DJ. The Detoxification Enzyme Systems. Altern Med Rev 1998; 3(3): 187-198.
23. Navarro, VJ. Drug-Related Hepatotoxicity. N Engl J Med 2006; 354: 731-9.
24. Mehta, N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Download dari
http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview diakses pada 06 Januari 2020.
39