Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B

BLOK 28

Disusun Oleh:
Kelompok B6
Tutor: dr. Medina A, Sp(K)

1. Muhamad Primasra Gulfisaputra 04011181823026


2. Uray Anifa Rahmadita Putri Hendry 04011181823038
3. Rizky Amaliah 04011181823041
4. Sayyidah Ayatullah Assharrima 04011181823247
5. Abrar Rosyad Pradipta 04011281823074
6. Nadya Salsabila Elkarasjzi 04011281823077
7. Brian Randing Boen 04011281823080
8. Sherin Obella Balqis 04011281823158
9. Samantha Ferlin Boentara 04011281823161
10. Metta Rania Ridwan 04011281823170

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 28 Tahun 2021 dengan baik. Laporan ini
bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan laporan ini, penulis sangat
mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun ke arah
perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Cukup banyak kesulitan yang penulis
temui dalam penulisan laporan ini, tetapi penulis menyelesaikannya dengan cukup
baik.

Palembang, 21 Oktober 2021

Tim Penyusun

Kelompok B6
DAFTAR ISI

Daftar Isi
KATA PENGANTAR........................................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................

KEGIATAN DISKUSI.......................................................................................................................

SKENARIO A BLOK 28 TAHUN 2021...........................................................................................

I. Klarifikasi Istilah.................................................................................................................

II. Identifikasi Masalah.............................................................................................................

III. Analisis Masalah...................................................................................................................

IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan......................................................................................

V. Sintesis.................................................................................................................................

VI. Kerangka Konsep...............................................................................................................

VII. Kesimpulan.........................................................................................................................

VIII. Daftar Pustaka....................................................................................................................


KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Medina A, Sp.(K)


Moderator : Nadya Salsabila Elkarasjzi
Sekretaris : 1. Muhammad Primasra Gulfisaputra
2. Sayyidah Ayatullah Assharrima
3. Metta Rania Ridwan
Tanggal tutorial : 18 dan 19 Oktober 2021
Waktu : Pukul 13.00 WIB -selesai

Peraturan selama tutorial :


1. Jika ingin menyampaikan pendapat, angkat tangan terlebih dahulu.
2. Jangan memotong pembicaraan.
3. Boleh meminta instruksi ulang.
4. Hp harus di silent.
5. Setiap anggota harus saling menghargai saat anggota lain memberikan
pendapat.
6. Hp hanya boleh dipakai saat klarifikasi istilah.
7. Jika ingin ke toilet silahkan izin pada moderator dan tutor.
SKENARIO B BLOK 28 TAHUN 2021

Ny. B, usia 40 tahun, mempunyai suami dan 4 orang anak dengan anak
terkecil berusia 4 tahun, dan sudah memakai kontrasepsi susuk, peserta BPJS
yang ditanggung pemerintah berobat ke poliklinik Puskesmas (dr A) yang bekerja
sama dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan), keluhan batuk
berdahak dan sesak nafas. Dari rekam medik didapatkan satu tahun yang lalu Ny.
B menderita tuberculosis dan diterapi dengan paket “multidrugs” sesuai standar.
Obat yang diberikan tidak dikonsumsi sesuai aturan dan masih tersisa. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 X/menit,
Pernafasan 30x permenit, suhu 37,6 C. Pada pemeriksaan paru terdapat ronchi
seluruh lapangan paru. Dr. A membuat kesimpulan Ny B harus dirujuk ke rumah
sakit (FKTL= Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut),), karena sesak nafas dan
kemungkinan sudah multi drugs resistance (MDR). Pada mulanya Ny. B dan
suaminya tidak bersedia untuk di rujuk ke Rumah sakit karena anaknya masih
kecil dan hanya minta obat yang sama saja. Dr. A memberikan penjelasan bahwa
penyakit tuberkulosisinya kemungkinan sudah resistance terhadap paket obat
sebelumnya dan risiko untuk menularkan kepada keluarga sangatlah tinggi.

Ny.B bersedia untuk di rujuk ke RS, di RS dilakukan pemeriksaan oleh Dr


D, SpP didiagnosis dengan tuberculosis MDR dan sesuai dengan Panduan Praktek
kliniknya direncanakan akan dirawat di ruang isolasi dengan tekanan negative. Ny
B dirawat diruang isolasi selama 1 bulan dan diperbolehkan pulang dengan tetap
diberikan obat lanjutan yang harus dikonsumsi lama dan tidak boleh lagi putus
obat.

Sementara itu Dr. A dan staf melakukan kunjungan sehat ke kediaman Ny.
B untuk melihat bagaimana kondisi tempat tinggalnya dan keluarganya yang lain.
Pengamatan Dr.A kediaman Tn B kurang layak huni dan pada pemeriksaan
keluarga ini kemungkin sudah tertular penyakit yang sama. Dr. A minta kepada
semua keluarga untuk diperiksa lebih lanjut (pemeriksaan sputum/gen expert) di
klinik Puskesmas.
Pada pemeriksaan semua keluaga Ny. B didapatkan dua anaknya juga
terinfeksi tuberculosis. Dr. A memberikan pengobatan kepada keduanya dengan
paket obat TBC juga diberikan penjelasan tentang pola hidup sehat untuk
memutus mata rantai TBC ini. Dr. A juga berkolaborasi dengan dinas terkait
untuk juga membedah rumah Ny. B supaya bisa layak huni dan sehat.

I. Klarifikasi Istilah
1. Rekam medik: Dalam kedokteran atau kedokteran gigi, catatan tertulis
kronologis yang mencakup keluhan awal pasien dan riwayat medis,
temuan fisik, hasil tes dan prosedur diagnostik, obat atau prosedur
terapeutik apa pun, dan perkembangan selanjutnya selama perjalanan
penyakit (Farlex Medical Dictionary).
2. Tuberkulosis: Penyakit menular yang sangat bervariasi pada manusia
dan beberapa vertebrata lain yang disebabkan oleh tubercle bacillus
dan jarang di AS oleh mikobakteri terkait (Mycobacterium bovis),
yang mempengaruhi terutama paru- paru tetapi dapat menyebar ke
area lain (seperti ginjal atau tulang belakang), dan ditandai dengan
demam, batuk, kesulitan bernapas, pembentukan tuberkel, kaseasi,
efusi pleura, dan fibrosis (Merriam Webster).
3. Kontrasepsi susuk: Alat kontrasepsi yang dipasangkan yang
dipasangkan di bawah kulit lengan atas yang berbentuk kapsul silastik
yang lentur dimana di dalam setiap kapsul berisi hormon
levernorgestril yang dapat mencegah terjadinya kehamilan. (Jurnal
Poltekkes Denpasar).
4. FKTL: Pelayanan kesehatan yang melibatkan pemeriksaan ataupun
tindakan spesialis / sub spesialis sesuai dengan indikasi medis
(pelayanan kesehtaan BPJS)
5. Multi Drugs Resistance: Suatu keadaan dimana bakteri
resistenterhadap minimal tiga jenis antibiotik. (Jurnal fk unpad).
6. Gen expert: Alat diagnostik baru yang dapat mendiagnosis TB dengan
akurasi tinggi dan menilai resistensi rifampisin dalam waktu 2 jam.
(Jurnal UGM).
7. Rumah layak huni: Rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan
bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan
penghuni. (Penjelasan pasal 24a UU nomor 1 tahun 2011 tentang
perumahan dan kawasan permukiman)
8. Ruang isolasi dengan tekanan negatif: Ruangan untuk penempatan
bagi pasien dengan penyakitinfeksi yang menular agar tidak menular
kepada pasien lain, petugas dan pengunjung yang bertujuan untuk
mengurangi penularan penyakit lewat udara (Kemenkes).
9. Pola hidup sehat: sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar
kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang,
keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya
sendiri(mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat (Permenkes
RI2269/MENKES/PER/XI/2011).
10. Panduan praktek klinik (PPK): Prosedur yang dilaksanakan oleh
sekelompok profesi yang mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) yang dibuat oleh oraganisasi profesi dan disahkan
oleh pimpinan rumah sakit (Permenkes RI, 2014).
11. BPJS: Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. (Ebook seputar BPJS Kesehatan).
12. Paket multidrugs sesuai standar: Paduan OAT yang digunakan di
Indonesia. Paduan yang digunakan adalah :
1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E
3) Kategori Anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT
lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin,
Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta
OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol (PMK No. 67 tentang
penanggulangan tuberkulosis).
13. Puskesmas: Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes No. 75 Tahun
2014).

II. Identifikasi Masalah


1. Ny. B, usia 40 tahun, mempunyai suami dan 4 orang anak dengan anak
terkecil berusia 4 tahun, dan sudah memakai kontrasepsi susuk, peserta
BPJS yang ditanggung pemerintah berobat ke poliklinik Puskesmas (dr
A) yang bekerja sama dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan), keluhan batuk berdahak dan sesak nafas. (vvvv)
2. Dari rekam medik didapatkan satu tahun yang lalu Ny. B menderita
tuberculosis dan diterapi dengan paket “multidrugs” sesuai standar.
Obat yang diberikan tidak dikonsumsi sesuai aturan dan masih tersisa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
90 X/menit, Pernafasan 30x permenit, suhu 37,6 C. Pada pemeriksaan
paru terdapat ronchi seluruh lapangan paru. Dr. A membuat
kesimpulan Ny B harus dirujuk ke rumah sakit (FKTL= Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjut), karena sesak nafas dan kemungkinan
sudah multi drugs resistance (MDR). (vvv)
3. Pada mulanya Ny. B dan suaminya tidak bersedia untuk di rujuk ke
Rumah sakit karena anaknya masih kecil dan hanya minta obat yang
sama saja. Dr. A memberikan penjelasan bahwa penyakit
tuberkulosisinya kemungkinan sudah resistance terhadap paket obat
sebelumnya dan risiko untuk menularkan kepada keluarga sangatlah
tinggi.
Ny. B pun bersedia untuk di rujuk ke RS, di RS dilakukan pemeriksaan
oleh Dr D, SpP didiagnosis dengan tuberculosis MDR dan sesuai
dengan Panduan Praktek kliniknya direncanakan akan dirawat di ruang
isolasi dengan tekanan negative. Ny B dirawat diruang isolasi selama 1
bulan dan diperbolehkan pulang dengan tetap diberikan obat lanjutan
yang harus dikonsumsi lama dan tidak boleh lagi putus obat.
4. Sementara itu Dr. A dan staf melakukan kunjungan sehat ke kediaman
Ny. B untuk melihat bagaimana kondisi tempat tinggalnya dan
keluarganya yang lain. Pengamatan Dr.A kediaman Tn B kurang layak
huni dan pada pemeriksaan keluarga ini kemungkin sudah tertular
penyakit yang sama. Dr. A minta kepada semua keluarga untuk
diperiksa lebih lanjut (pemeriksaan sputum/gen expert) di klinik
Puskesmas. (vv)
5. Pada pemeriksaan semua keluarga Ny. B didapatkan dua anaknya juga
terinfeksi tuberculosis. Dr. A memberikan pengobatan kepada
keduanya dengan paket obat TBC juga diberikan penjelasan tentang
pola hidup sehat untuk memutus mata rantai TBC ini. Dr. A juga
berkolaborasi dengan dinas terkait untuk juga membedah rumah Ny.B
supaya bisa layak huni dan sehat. (v)

III. Analisis Masalah


1. Ny. B, usia 40 tahun, mempunyai suami dan 4 orang anak dengan
anak terkecil berusia 4 tahun, dan sudah memakai kontrasepsi
susuk, peserta BPJS yang ditanggung pemerintah berobat ke
poliklinik Puskesmas (dr A) yang bekerja sama dengan BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan), keluhan batuk
berdahak dan sesak nafas.
a. Apa saja jenis kepesertaan dalam BPJS?

Kepesertaan BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu


Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima
Bantuan Iuran (Non-PBI).
Kepesertaan PBI (Perpres No 101 Tahun 2011)

a. Kriteria Peserta PBI

 Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang


tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.
 Kriteria Fakir Miskin dan orang tidak mampu
ditetapkan oleh menteri di bidang sosial setelah
berkoordinasi dengan menteri dan /atau pimpinan
lembaga terkait
 Kriteria Fakir Miskin dan Orang tidak mampu
sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi lembaga
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang statistik untuk melakukan pendataan.
 Data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
telah diverifikasi dan divalidasi sebagaimana
dimaksud, sebelum ditetapkan sebagai data terpadu
oleh Menteri di bidang sosial, dikoordinasikan
terlebih dahulu dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan dan menteri dan/atau pimpinan lembaga
terkait.
 Data terpadu yang ditetapkan oleh Menteri dirinci
menurut provinsi dan kabupaten/kota.
 Data terpadu sebagaimana dimaksud menjadi dasar
bagi penentuan jumlah nasional PBI Jaminan
Kesehatan.
 Data terpadu sebagaimana dimaksud, disampaikan
oleh Menteri di bidang sosial kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan dan DJSN
 Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan mendaftarkan jumlah nasional
PBI Jaminan Kesehatan yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud sebagai peserta program
Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan
 Penetapan jumlah PBI Jaminan Kesehatan pada tahun
2014 dilakukan dengan menggunakan hasil
Pendataaan Program Perlindungan Sosial tahun 2011.

Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI)

Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana yang


dimaksud merupakan peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu yang terdiri atas (sesuai Perpres No 12 Tahun
2013):

1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri atas:


a) Pegawai Negeri Sipil
b) Anggota TNI
c) Anggota Polri
d) Pejabat Negara
e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri
f) Pegawai swasta
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan
huruf f yang menerima Upah.
2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri
atas pekerja di luar hubungan kerja dan pekerja mandiri.
3. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya, terdiri atas :
a) Investor
b) Pemberi Kerja
c) Penerima pensiun
d) Veteran
e) Perintis Kemerdekaan
f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai
dengan huruf e yang mampu membayar iuran.
4. Penerima Pensiun sebagaimana yang dimaksud terdiri atas:
a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun
b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan
hak pensiun
c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun
d) Penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c
e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima
pensiun sebagaimana yang dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun
5. Pekerja sebagaimana yang dimaksud termasuk warga negara
asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan
6. Jamingan Kesehatan bagi Pekerja warga Negara Indonesia
yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan tersendiri.
7. Anggota keluarga sebagaimana dimaksud meliputi:
a) Istri atau suami yang sah dari Peserta
b) Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah
dari Peserta, dengan kriteria:
 Tidak atau belum pernah menikah atau tidak
mempunyai penghasilan sendiri
 Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau
belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang
masih melanjutkan pendidikan formal

b. Apakah ada hubungan antara pemakaian kontrasepsi susuk


terhadap keluhan yang dialami pada kasus?
 Pada pasien yang mengalami tuberkulosis dan menggunakan
kontrasepsi implan/susuk dapat menurunkan efektivitas obat
tuberculosis
c. Apa saja yang ditanggung oleh BPJS terkait keluhan pasien pada
kasus ?
 pelayanan kesehatan pertama, yaitu Rawat Jalan Tingkat
Pertama (RJTP) dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP)
 pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu Rawat
Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) dan Rawat Inap Tingkat
Lanjutan (RITL)
 Rawat Jalan Tingkat Pertama (Kasus -> rawat jalan kemudian
di rujuk ke FKTL)
a. Administrasi pelayanan, meliputi biaya administrasi
pendaftaran peserta untuk berobat, penyediaan dan
pemberian surat rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan
untuk penyakit yang tidak dapat ditangani di fasilitas
kesehatan tingkat pertama;
b. Pelayanan promotif preventif, meliputi:
1) Kegiatan penyuluhan kesehatan perorangan
(promosi kesehatan saat kunjungan sehat);
2) skrining kesehatan (anamnesis)
a) Pelayanan skrining kesehatan diberikan
secara perorangan dan selektif.
b) Pelayanan skrining kesehatan ditujukan
untuk mendeteksi risiko penyakit dan
mencegah dampak lanjutan dari risiko
penyakit tertentu, meliputi: diabetes mellitus
tipe 2, hipertensi, kanker leher rahim, kanker
payudara, dan penyakit lain yang ditetapkan
oleh Menteri.
c) Pelayanan skrining kesehatan penyakit
diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi
dimulai dengan analisis riwayat kesehatan,
yang dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu)
tahun sekali.
d) Jika Peserta teridentifikasi mempunyai risiko
penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan
hipertensi berdasarkan riwayat kesehatan,
akan dilakukan penegakan diagnosa melalui
pemeriksaan penunjang diagnostik tertentu
dan kemudian akan diberikan pengobatan
sesuai dengan indikasi medis.
e) Pelayanan skrining kesehatan untuk penyakit
kanker leher rahim dan kanker payudara
dilakukan sesuai dengan indikasi medis.
3) pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
(Pemeriksaan fisik)
4) pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; (OAT
untuk TB)
5) pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pertama; (pemeriksaan paru)
 Rawat Jalan Tingkat Lanjutan
a. administrasi pelayanan; meliputi biaya administrasi
pendaftaran peserta untuk berobat, penerbitan surat
eligilibitas peserta, termasuk pembuatan kartu pasien.
b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan sub spesialis;
c. tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis;
d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
e. pelayanan alat kesehatan;
f. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis;
d. Bagaimana hubungan kerja sama BPJS dengan puskesmas dalam
penanganan kasus Ny. B ?
 Pelayanan kesehatan untuk penyakit Tuberkulosis (TB)
merupakan salah satu yang dijamin pembiayaannya oleh
program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat
(JKN-KIS) baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) maupun di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
(FKRTL). Tuberculosis (TB) merupakan penyakit menular
yang tergolong tinggi di indonesia. Penanggulangan TB di
puskesmas berupa pemberian obat anti-TB secara gratis pada
seluruh masyarakat tanpa mempertimbangkan pasien umum
atau pengguna jaminan kesehatan (BPJS). Hubungan kerjasama
BPJS dengan Puskesmas dalam penanganan kasus Ny. B
(penderita TB) diharapkan agar puskesmas sebagai fasilitas
kesehatan tingkat pertama mampu melakukan deteksi dini, dan
upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif sebelum akhirnya dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih lanjut.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 Tentang
Penanggulangan Tuberculosis pendanaan pelayanan kesehatan
perseorangan pasien TBC dibebankan kepada pendanaan
jaminan kesehatan.

Tabel 1. Pelayanan TB Tanpa Komplikasi atau Penyulit di


FKTP
e. Bagaimana tatalaksana awal yang diberikan dokter puskesmas (dr.
A) kepada Ny. B terhadap keluhannya?
 Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana
lini pertama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet tunggal
maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination).

f. Bagaimana penerapan kriteria dalam kaidah dasar bioetika pada


peserta BPJS?
 Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:
- Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati
hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to
self determination), dalam hal ini adalah peserta BPJS.
- Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang
mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan
pasien. Semua peserta BPJS harus diutamakan juga dalam
mendapat Tindakan demi kebaikan mereka.
- Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang
melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.
Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau
“above all do no harm”, peserta BPJS juga harus
mendapatkan Tindakan yang tidak akan memperburuk
keadaan mereka.
- Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan
fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumberdaya
(distributive justice). Keadilan juga harus ditegakkan pada
semua peserta BPJS secara merata.
g. Apa saja kaidah dasar bioetik yang harus dimiliki seorang dokter?
 Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika
kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran
Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang
sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika,
antara lain:
 Beneficence
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan,
kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang
lain, mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam makna
yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan
orang lain. Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral
untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau
kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip ini digambarkan
sebagai alat untuk memperjelas atau meyakinkan diri sendiri
(self-evident) dan diterima secara luas sebagai tujuan
kedokteran yang tepat.
 Non-maleficence
Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang
membahayakan atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”.
Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang
menyatakan “saya akan menggunakan terapi untuk membantu
orang sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi
saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau
mencelakakan mereka”.
 Justice
Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya
adalah memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat
sesuai dengan haknya. Situasi yang adil adalah seseorang
mendapatkan mendapatkan manfaat atau beban sesuai dengan
hak atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah tindakan
yang salah atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada
seseorang yang memiliki hak atau pembagian beban yang tidak
sama. Prinsip justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah
benda dan jasa (pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang
memerlukan seringkali melabihi batasan tersebut. Prinsip
justice kemudian diperlukan dalam pengambilan keputusan
tersebut.
 Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang
berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau
pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan
suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan
sendiri atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga
digunakan pada suatu kondisi individu yang maknanya
bermacam-macam seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas,
pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan menjadi diri
sendiri. Makna utama otonomi individu adalah aturan pribadi
atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari
campur tangan orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat
menghalangi pilihan yang benar, seperti karena pemahaman
yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi otonominya adalah
seseorang yang dikendalikan oleh orang lain atau seseorang
yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan
rencananya.

2. Dari rekam medik didapatkan satu tahun yang lalu Ny. B


menderita tuberculosis dan diterapi dengan paket “multidrugs”
sesuai standar. Obat yang diberikan tidak dikonsumsi sesuai
aturan dan masih tersisa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 X/menit, Pernafasan 30x
permenit, suhu 37,6 C. Pada pemeriksaan paru terdapat ronchi
seluruh lapangan paru. Dr. A membuat kesimpulan Ny B harus
dirujuk ke rumah sakit (FKTL= Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjut),), karena sesak nafas dan kemungkinan sudah multi drugs
resistance (MDR).
a. Apakah keluhan yang dialami Ny. B sekarang ada hubungannya
dengan tuberculosis yang dulu?
 Ya, ada. Ny. B memiliki riwayat konsumsi obat yang tidak
sesuai aturan, sementara pengobatan TBC harus dilakukan
sesuai standar sehingga TBC Ny. B tidak sembuh dan terjadi
resisten obat yang mengakibatkan timbulnya keluhan.
b. Bagaimana standar tatalaksana pengobatan tuberculosis?
Prinsip paduan pengobatan TB MDR adalah:
1) Pengobatan pasien TB MDR terdiri atas 2 tahap: tahap awal
dan tahap lanjutan. Pengobatan TB MDR memerlukan waktu
lebih lama daripada pengobatan pasien TB bukan MDR, yaitu
sekitar 19-24 bulan.
2) Pada tahap awal pasien akan mendapat paduan OAT lini kedua
minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya
adalah OAT suntik. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua
yang dipakai pada tahap awal dilanjutkan kecuali OAT suntik.
3) PAS dan dosis tinggi Levofloksasin diberikan bila diperkirakan
atau terbukti ada resistensi terhadap fluoroquinolon.
Capreomisin diberikan bila terbukti adanya resistensi terhadap
kanamisin
4) Dosis obat berdasarkan Berat Badan - Obat suntikan
(Kanamisin atau Capreomisin) digunakan minimal selama 6
bulan dan 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
5) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah konversi biakan.
Definisi konversi biakan adalah: pemeriksaan dahak biakan 2
kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan 30 hari,
menunjukkan hasil negatif.
6) Pengobatan dilakukan dengan pengawasa nlangsung oleh PMO
(Pengawas Minum Obat), pengawasan dilaksanakan dengan
ketat dalam arti pasien harus dalam pengawasan penuh oleh
PMO ketika pasien menelan obat.
7) Cara pemberian Obat: pada pasien yang mendapat Sikloserin
harus ditambahkan Piridoksin (Vitamin B6) dengan dosis 50
mg untuk setiap 250 mg sikloserin.
8) Semua obat sebaiknya diberiakn dalam dosis tunggal, kecuali
jika terjadi efek samping, bebapa obat diberikan dalam dosis
terbagi seperti: PAS, Sikloserin, Ethionamid.

Lama dan Cara Pengobatan:

 Lama pengobatan adalah minimal 18 bulan setelah konversi


biakan.
Pengobatan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Satu bulan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis
bukan bulan kalender. Satu bulan pengobatan adalah bila
pasien mendapatkan 28 dosis pengobatan (1bulan= 4 minggu =
28 hari)
 Cara menentukan lama pengobatan:
a. Tahap awal, lama pengobatannya adalah: RUMUS: a + 4
bulan, dimana a= bulan pertama tercapai konversi biakan.
Lama tahap awal minimal 6 bulan. Bila sampai bulan ke-8
pasien tidak konversi maka pengobatan dinyatakan gagal
b. Tahap lanjutan, lama pengobatan tahap lanjutan adalah
total lama pengobatan dikurangi dengan lama pengobatan
tahap awal.
c. Total lama pengobatan adalah: RUMUS a + 18 bulan,
dimana a= bulan pertama tercapai konversi biakan. Yang
digunakan sebagai tanggal konversi adalah tanggal
pengambilan dahak dimana setelah diperiksa biakan yang
hasilnya negatif.
d. Setiap pemberian suntikan maupun obatoral selama masa
pengobatan dibawah pengawasan petugas kesehatan yang
berperan sebagai PMO.
c. Bagaimana aspek etikolegal untuk penanganan kasus tuberkulosis?
 Beneficience
- Dokter memberikan pelayanan yang terbaik untuk pasien
TB (pengobatan)
- Pencegahan pasien TB menjadi TB-MDR
 Non-Maleficience
- Pengendalian faktor resiko atau komplikasi TB
- Pada TB-MDR memberikan second therapy
 Autonomy
- Memberikan hak untuk memilih apakah pasien setuju
dengan terapi yang akan kita lakukan
 Justice
- Seorang dokter memperlakukan sama rata dan adil tanpa
memandang nilai sosio, ekonomi, agama, budaya, dan
lain-lain.
d. Bagaimana penerapan bioetika pada pasien yang tidak teratur
minum obat?
 Prinsip yang ditegakkan beneficence dan non-malaficence.
Memberikan pengertian pada pasien dan keluarga untuk teratur
minum obat dan menjelaskan apa yang terjadi jika pasien tidak
teratur minum obat.
e. Bagaimana tata cara rujukan pada kasus?
 FKTP dan rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas untuk
mendiganosis pasien TB resisten obat wajib merujuk pasien ke
pusat rujukan atau sub rujukan TB resistan obat. Berikut ini
adalah alur rujukan diagnosis pasien terduga TB resistan obat:
 Keterangan Bagan :
1. FKTP merujuk pasien terduga TB resistan obat ke pusat
rujukan/sub rujukan TB resistan obat.
2. Rumah sakit merujuk pasien terduga TB resistan obat ke
pusat rujukan/sub rujukan TB resistan obat
3. Pusat rujukan/sub rujukan TB resistan obat dapat merujuk
balik untuk tatalaksana pengobatan ke FKTP atau FKRTL
satelit TB resistan obat.
4. FKTP dan rumah sakit yang merujuk pasien terduga TB
resistan obat mendapatkan laporan hasil pemeriksaan TB
resistan obat dari pusat rujukan/sub rujukan TB resistan
obat.
5. Tatalaksana pengobatan TB resistan obat hanya dapat
dilaksanakan di pusat rujukan/sub rujukan, FKTP dan
FKRTL satelit TB resistan obat.
f. Apa saja komponen dari rekam medik?
 Isi Rekam Medis
a. Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien,
pemeriksaan pasien, diagnosis, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain baik dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya sesuai
dengan kompetensinya.
b. Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan
tersebut, antara lain foto rontgen, hasil laboratorium dan
keterangan lain sesuai dengan kompetensi keilmuannya.
 Rekam Medis Pasien Rawat Jalan
Isi rekam medis sekurang-kurangnya memuat catatan/dokumen
tentang:
2. identitas pasien;
3. pemeriksaan fisik;
4. diagnosis/masalah;
5. tindakan/pengobatan;
6. pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
 Rekam Medis Pasien Rawat Inap
Rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya
memuat:
1. identitas pasien;
2. pemeriksaan;
3. diagnosis / masalah;
4. persetujuan tindakan medis (bila ada);
5. tindakan/pengobatan;
6. pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
g. Apa saja jenis obat yang termasuk dalam multidrugs resistant?
 Multidrug resistant : resistant terhadap Isoniazide (H) dan
Rifampisin (R), dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.
Misal, resistant HR, HRE, HRES.
h. Apa yang terjadi bila obat yang diberikan kepada Ny. B tidak
dikonsumsi sesuai aturan dan masih tersisa?
 Ny. B akan mengalami multi drugs resistance (MDR) seperti
yang terjadi pada kasus ini.
i. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
paru?
Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Interpretasi
TD <120/<80 120/80 mmHg Normal
mmHg
Nadi 60-100 x/menit 90 x/menit Normal
Pernafasan 16-24 x/min 30 x/menit Takipneu
Suhu 36 – 37.5 C 37.6 C Sedikit
Meningkat
Pemeriksaan Ronki pada Abnormal
Paru seluruh
lapangan paru

j. Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan paru?
 Ronchi seluruh lapangan paru: terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis -> aktivasi respon imun -> terjadi inflamasi ->
inspirasi-ekspirasi -> ronki.

3. Pada mulanya Ny. B dan suaminya tidak bersedia untuk di rujuk


ke Rumah sakit karena anaknya masih kecil dan hanya minta obat
yang sama saja. Dr. A memberikan penjelasan bahwa penyakit
tuberkulosisinya kemungkinan sudah resistance terhadap paket
obat sebelumnya dan risiko untuk menularkan kepada keluarga
sangatlah tinggi.
Ny. B pun bersedia untuk di rujuk ke RS, di RS dilakukan
pemeriksaan oleh Dr D, SpP didiagnosis dengan tuberculosis
MDR dan sesuai dengan Panduan Praktek kliniknya
direncanakan akan dirawat di ruang isolasi dengan tekanan
negative. Ny B dirawat diruang isolasi selama 1 bulan dan
diperbolehkan pulang dengan tetap diberikan obat lanjutan yang
harus dikonsumsi lama dan tidak boleh lagi putus obat.
a. Bagaimana pencegahan yang dilakukan agar keluarga Ny. B tidak
tertular?
 Menutup mulut setiap kali tertawa, bersin, atau batuk,
 Memakai masker,
 Membungkus tisu setelah digunakan untuk menutup mulut,
 Memastikan pengobatan dilakukan secara rutin,
 Memeriksakan diri ke dokter untuk evaluasi,
 Menjauhkan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru saat
batuk,
 Menghindari penularan melalui dahak pasien penderita TB
Paru,
 Memastikan kamar dengan ventilasi baik, membuka jendela
rumah untuk pencegahan penularan TB Paru dalam keluarga,
 Menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan penularan
TB Paru dalam keluarga.
b. Apakah penerapan bioetik yang dilakukan dr. A sudah tepat?
 Ya, sudah tepat. Dapat di lihat pada mulanya Ny. B dan
suaminya tidak bersedia untuk di rujuk ke Rumah sakit karena
anaknya masih kecil dan hanya minta obat yang sama saja. Dr.
A memberikan penjelasan bahwa penyakit tuberkulosisinya
kemungkinan sudah resistance terhadap paket obat sebelumnya
dan risiko untuk menularkan kepada keluarga sangatlah tinggi.
Disini dr. A telah melakukan suatu tindakan yang berhubungan
dengan kaidah beneficence yaitu mengusahakan agar kebaikan
atau manfaat lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya,
dan meminimalisasi akibat buruk.
soDan dr. A juga telah melakukan suatu tindakan yang
berhubungan dengan kaidah autonomy yaitu dr. A
menunjukkan bahwa setiap keputusan itu berada di tangan
pasien, dan dr. A tidak mengintervensi keputusan dari ibu
tersebut. Dia memberikan penjelasan mengenai TB yang
diderita Tn. B dan istrinya, hingga akahirnya mereka setuju
untuk dirujuk, atas keinginan mereka sendiri.
c. Bagaimana tata cara rujukan Ny. B yang merupakan pengguna
BPJS?
 Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun
vertical.
1) Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar
pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk
tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas,
peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara
atau menetap.
2) Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar
pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat
dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
3) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih
rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan
apabila:
a) Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik
atau subspesialistik;
b) Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
4) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih
tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan
apabila :
a) Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh
tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah
sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
b) kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat
pertama atau kedua lebih baik dalam menangani
pasien tersebut;
c) pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat
ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang
lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi
dan pelayanan jangka panjang; dan/atau
d) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
d. Bagaimana nasehat yang perlu diberitahu ibu sehingga tidak terjadi
putus obat?
 Agar pasien tidak putus obat maka perlu Pengawasan menelan
obat secara langsung setiap hari oleh petugas kesehatan. TBC
resitan obat dan TBC MDR 36 dapat disembuhkan, meskipun
membutuhkan waktu sekitar 18-24 bulan. Harga obat TBC lini
kedua jauh lebih mahal (± 100 kali lipat dibandingkan
pengobatan TBC biasa) dan penanganannya lebih sulit. Selain
paduan pengobatannya yang rumit, jumlah obatnya lebih
banyak dan efek samping yang disebabkan juga lebih berat.
e. Apa saja langkah pencegahan penularan TB terhadap anggota
keluarga lainnya?
 Menurut standar rumah sehat Kemenkes yang diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 yaitu:
 Bahan Bangunan. Tidak terbuat dari bahan yang dapat
jadi tempat tumbuh mikro organisme patogen & tidak
terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat dan debu
dengan kriteria:

o Debu total tidak lebih dari 150 μg/m3.

o Asbes bebas tidak lebih dari 0.5 fiber/m3/4 jam.

o Timah hitam tidak lebih dari 300 mg/kg.

 Komponen & Penataan Ruang. Harus memenuhi kriteria


fisik dan biologis, berupa:
o Lantai kedap air, mudah dibersihkan.

o Dinding ruang tidur dan ruang keluarga dilengkapi


ventilasi untuk sirkulasi udara, sementara dinding
kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air &
mudah dibersihkan.

o Langit-langit mudah dibersihkan dan tidak rawan


kecelakaan (ambrol).

o Bumbungan rumah dengan tinggi di atas 10 metir


harus dilengkapi penangkal petir.

o Komposisi ruangan harus terdiri dari ruang tamu,


ruang keluarga, ruang makan, ruang idur, ruang
dapur, ruang mandi, dan ruang bermain anak.

o Ruang dapur harus dilengkapi saranan pembuangan


asap.

 Pencahayaan. Rumah harus dilengkapi pencahayaan alam


atau buatan dengan intensitas minimal 60 lux dan tidak
menyilaukan.

 Kualitas udara. Kualitas udara dalam rumah harus


memenuhi ketentuan berikut:

o Suhu udara di kisaran 18-30 derajat Celcius.

o Kelembapan udara di kisaran 40-70%.

o Konsentrasi gas SO2 tidak lebih dari 0.10 ppm/24


jam.

o Konsentrasi gas CO (monoksida) tidak lebih dari


100 ppm/8 jam

 Ventilasi. Harus lega, terdapat ventilasi alami permanen


minimal 10% dari luas lantai.
 Binatang Penular Penyakit. Tidak ada tikus yang
bersarang di rumah.

 Air. Air bersih harus tersedia minimal 60 liter/hari/orang


(untuk kebutuhan minum, makan, mandi, bersih-bersih).
Standar air harus sesuai dengan peraturan di atas.

 Penyimpanan Makanan. Rumah harus dilengkapi


penyimpanan makanan yang aman, misalnya lemari
makanan atau lemari pendingin.

 Limbah. Limbah yang berasal dari rumah tidak boleh


mencemari air, mencemari tanah, dan menimbulkan bau.

 Kepadatan Penghuni Rumah. Ruang tidur di rumah


minimal seluas 8 meter persegi, dan maksimal 2 orang tidur
dalam satu ruang tidur (kecuali anak di bawah 5 tahun).

f. Apa indikasi pasien diperbolehkan pulang setelah diisolasi selama


1 bulan?
Apabila responnya dan keadaan umumnya sudah baik, maka pasien
TB yg diisolasi sudah boleh pulang dengan tetap memperhatikan
pemakaian APD dan Protokol Kesehatan untuk pasien TB.
g. Prinsip bioetika apa saja yang diperlukan dalam kasus?
 Semua prinsip bioetika kedokteran harus diterapkan pada kasus
ini. Mulai dari Otonomi, Beneficience, Non maleficence, dan
justice.
h. Bagaimana kewajiban dokter terhadap teman sejawat dalam kode
etik kedokteran Indonesia?
 Kewajiban dokter terhadap teman sejawat:
Pasal 18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan
Pasal 19. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari
teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau
berdasarkan prosedur yang etis
i. Bagaimana kaidah bioetik terhadap Ny.B dan suaminya apabila
tidak mau dirujuk?
 Sesuai dengan prinsip autonomi, mengikuti keinginan pasien
yang tidak mau dirujuk. Namun seorang dokter harus berusaha
mengedukasi mengenai penyakit pasien tanpa adanya promosi
untuk keuntungan sendiri maupun ancaman terhadap pasien
sehingga terdapat kemungkinan pasien akan lebih memahami
penyakit dan tata cara penyembuhan pasien sendiri.
j. Apa kemungkinan yang terjadi jika pasien putus obat kembali?
Bakteri M.tb bisa jadi resisten sehingga pengobatan harus teratur
dan sesuai jadwal.
k. Bagaimana penerapan kaidah dasar bioetik?
l. Kaidah dasar bioetika beneficence dalam tatalaksana pasien: dokter
harus selalu bersikap dan bertindak membantu pasien demi
kepentingan terbaik pasien/kliennya.
2. Kaidah dasar bioetika non-maleficent dalam tatalaksana/perujukan
pasien: dokter harus selalu bersikap dan bertindak membantu pasien
demi kepentingan terbaik pasien/kliennya (tidak mencelakakan/
memperburuk pasien).
3. Kaidah dasar bioetika autonomy dalam mengambil keputusan medik
pada pasien: dokter harus selalu bersikap dan bertindak membantu
pasien demi kepentingan terbaik pasien/kliennya (menghormati hak-
hak pasien).
4. Kaidah dasar bioetikaetik justice dalam mematuhi hak dan
kewajiban pasien dalam memberikan layanan: dokter harus selalu
bersikap dan bertindak membantu pasien demi kepentingan terbaik
pasien/kliennya.

4. Sementara itu Dr. A dan staf melakukan kunjungan sehat ke


kediaman Ny. B untuk melihat bagaimana kondisi tempat
tinggalnya dan keluarganya yang lain. Pengamatan Dr.A
kediaman Tn B kurang layak huni dan pada pemeriksaan
keluarga ini kemungkin sudah tertular penyakit yang sama. Dr. A
minta kepada semua keluarga untuk diperiksa lebih lanjut
(pemeriksaan sputum/gen expert) di klinik Puskesmas.
a. Apa yang harus dilakukan saat melakukan kunjungan sehat pada
kasus?
 Pelayanan penyuluhan kesehatan perorangan atau kelompok.
 Kunjungan rumah (home visit)
 Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan:
- Promosi Kesehatan
1) Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB
ditujukan untuk:
a) Meningkatkan komitmen para pengambil
kebijakan
b) Meningkatkan keterpaduan pelaksanaan program
c) Memberdayakan masyarakat
2) Peningkatan komitmen para pengambil kebijakan
dilakukan melalui kegiatan advokasi kepada
pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah.
3) Peningkatan keterpaduan pelaksanaan program
dilakukan melalui kemitraan dengan lintas program
atau sektor terkait dan layanan keterpaduan
pemerintah dan swasta (Public Private Mix).
4) Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui kegiatan
menginformasikan, mempengaruhi, dan membantu
masyarakat agar berperan aktif dalam rangka
mencegah penularan TB, meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat, serta menghilangkan
diskriminasi terhadap pasien TB.
5) Perorangan, swasta, lembaga swadaya masyarakat,
dan organisasi masyarakat dapat melaksanakan
promosi kesehatan dengan menggunakan substansi
yang selaras dengan program penanggulangan TB.
- Surveilans TB
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis
sistematis terus menerus terhadap data dan informasi
tentang kejadian penyakit TB atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhinya untuk mengarahkan
tindakan penanggulangan yang efektif dan efisien, yang
akan diselenggarakan dengan berbasis indikator dan
berbasis kejadian. Dalam penyelenggaraan Surveilans TB
dilakukan pengumpulan data secara aktif dan pasif baik
secara manual maupun elektronik. Pengumpulan data
secara aktif merupakan pengumpulan data yang diperoleh
langsung dari masyarakat atau sumber data lainnya.
Pengumpulan data secara pasif merupakan pengumpulan
data yang diperoleh dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
- Pengendalian Faktor Risiko
1) Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk
mencegah, mengurangi penularan dan kejadian
penyakit TB.
2) Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan cara:
a) membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat
b) membudayakan perilaku etika berbatuk
c) melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas
perumahan dan lingkungannya sesuai dengan
standar rumah sehat
d) peningkatan daya tahan tubuh
e) penanganan penyakit penyerta TB
f) penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi
TB di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan di luar
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
- Penemuan dan Penanganan Kasus TB
Penemuan kasus TB dilakukan secara aktif dan pasif.
Penemuan kasus TB secara aktif dilakukan melalui:
investigasi dan pemeriksaan kasus kontak, skrining
secara massal terutama pada kelompok rentan dan
kelompok berisiko, dan skrining pada kondisi situasi
khusus. Penemuan kasus TB secara pasif dilakukan
melalui pemeriksaan pasien yang datang ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Penemuan kasus TB ditentukan
setelah dilakukan penegakan diagnosis, penetapan
klasifikasi, dan tipe pasien TB.
Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB dilakukan
melalui kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata
rantai penularan dan/atau pengobatan pasien. Maka dari
itu dilakukan tata laksana yang terdiri atas:
1) Pengobatan dan penanganan efek samping di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
2) Pengawasan kepatuhan menelan obat
3) Pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil
pengobatan
4) Pelacakan kasus mangkir
- Pemberian Kekebalan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB
dilakukan melalui imunisasi BCG terhadap bayi.
Penanggulangan TB melalui imunisasi BCG terhadap
bayi dilakukan dalam upaya mengurangi risiko tingkat
keparahan TB. Tata cara pemberian imunisasi
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan.
- Pemberian Obat Pencegahan
Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada:
1) Anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat
dengan pasien TB aktif
2) Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak
terdiagnosa TB
3) Populasi tertentu lainnya Pemberian obat
pencegahan TB pada anak dan orang dengan HIV
dan AIDS (ODHA) selama 6 (enam) bulan.
Pemberian obat pencegahan TB pada populasi
tertentu diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b. Apa yang dimaksud dengan kunjungan sehat dan siapa saja yang
dapat melakukan kunjungan sehat?
 Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-
PK) merupakan kegiatan kunjungan rumah yang bertujuan
untuk meningkatkan akses keluarga terhadap pelayanan
kesehatan yang komprehensif, mendukung tercapainya Standar
Pelayanan Minimal (SPM), dan JKN dalam rangka
mewujudkan Indonesia sehat. Program ini dilaksanakan di
seluruh puskesmas di Indonesia secara bertahap sejak tahun
2016. Puskesmas sesuai dengan mandatory dari Permenkes No.
75 tahun 2014 melaksanakan kunjungan rumah dalam rangka
meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan akses
pelayanan kesehatan. Kegiatan kunjungan dilakukan dengan
mengintegrasikan kegiatan UKP dan UKM secara
berkesinambungan berdasarkan data pada profil keluarga.
Kegiatan kunjungan ini dilakukan oleh Petugas Puskesmas.
c. Bagaimana hubungan kasus ini dengan kediaman Ny. B yang
kurang layak huni?
d. Bagaimana kriteria rumah layak huni dan sehat?
e. Apakah tindakan kunjungan sehat dr A telah sesuai dengan etika
kedokteran?
 Ya, kunjungan sehat dr. A telah sesuai etika kedokteran karena
telah memandanga kasus ini dari masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak
hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa
sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah
pada masa yang akan datang.
f. Bagaimana indikasi dan prosedur pemeriksaan sputum/gen expert
sesuai kasus?
 Indikasi pemeriksaan sputum (BTA) adalah bagi pasien yang
memiliki gejala TB dan berkontak erat atau memiliki keluarga
serumah yang juga menderita TB paru, sementara pemeriksaan
genexpert dianjurkan untuk kasus kecurigaan TB paru BTA
negatif atau TB multidrug resisten (keluarga yang berkontak
erat), serta jika memiliki penyakit HIV.
g. Apa kaidah dasar bioetik yg dilakukan dr. A pada saat kunjungan
sehat?
 Autonomy (Menghargai hak menentukan nasib sendiri,
menghargai martabat pasien, Menghargai privasi, Menjaga
rahasia pasien), beneficence (bertindak membantu demi
kebaikan pasien), non maleficence (tidak memandang pasien
hanya sebagai objek) , dan justice (Menghargai hak sehat
pasien)
h. Bagaimana penerapan KDB beneficence pada kasus (anmal ini)?
 Disini dokter memberi perhatian penuh kepada pasien, dalam
mengusahakan agar kebaikan serta manfaatnya lebih besar
dibandingkan dengan kerugian yang akan diterima pasien.
Dokter memberikan pelayanan yang terbaik untuk pasien TB
(pengobatan)
i. Bagaimana perapan KDB non maleficent pada kasus?
 Dokter A menerapkan non-maleficence dengan meminta semua
keluarga melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mendiagnosa awal dan memberikan tatalaksana secara cepat
bila ada anggota keluarga yang terdiagnosa TBC sehingga tidak
akan lebih merugikan Ny B dan keluarga.

5. Pada pemeriksaan semua keluarga Ny. B didapatkan dua anaknya


juga terinfeksi tuberculosis. Dr. A memberikan pengobatan
kepada keduanya dengan paket obat TBC juga diberikan
penjelasan tentang pola hidup sehat untuk memutus mata rantai
TBC ini. Dr. A juga berkolaborasi dengan dinas terkait untuk
juga membedah rumah Ny.B supaya bisa layak huni dan sehat.
a. Siapa saja pihak yang terlibat dalam penanganan kasus?
 Keluarga, masyarakat sekitar, dinas kesehatan provinsi dan
kabupaten setempat.
b. Bagaimana cara memberikan edukasi agar pasien tidak lalai dalam
pengobatan TB?
 Agar pasien tidak putus obat maka perlu Pengawasan menelan
obat secara langsung setiap hari oleh petugas kesehatan. TBC
resitan obat dan TBC MDR dapat disembuhkan, meskipun
membutuhkan waktu sekitar 18-24 bulan. Harga obat TBC lini
kedua jauh lebih mahal (± 100 kali lipat dibandingkan
pengobatan TBC biasa) dan penanganannya lebih sulit. Selain
paduan pengobatannya yang rumit, jumlah obatnya lebih
banyak dan efek samping yang disebabkan juga lebih berat.
c. Bagaimana penerapan kaidah dasar bioetik dalam penatalaksanaan
kasus ini dan dalam memutus rantai TBC?
Dokter A pada kasus di atas menerapkan prinsip Beneficence, yaitu
prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan demi
kebaikan pasien (rujukan dan pengobatan TB MDR).
Dokter A juga menerapkan prinsip Autonomy dengan memberikan
penjelasan mengenai kondisi Ny. B dan keluarga agar dapat
mengerti alasan tindakan yang dilakukan Dokter A, bukannya
memaksa pasien untuk dirujuk tanpa menjelaskan ataupun
mendengarkan pendapat pasien.
Dokter A memberikan penjelasan dengan harapan membuat Ny.B
dan keluarga bersedia untuk dirujuk ke Rumah Sakit juga
merupakan penerapan Non-maleficence, yaitu prinsip bahwa
keputusan yang memiliki nilai lebih baik terhadap keselamatan
pasien.
d. Apakah upaya kolaborasi dengan dinas terkait yang dilakukan dr.
A untuk membedah rumah Ny. B agar layak huni dan sehat telah
sesuai dengan kaidah dasar bioetik?
 Upaya kolaborasi dengan dinas-dinas terkait yang dilakukan
oleh dr. A telah sesuai dengan keenam kaidah dasar bioetik
e. Bagaimana pola hidup sehat untuk menanggulangi dan memutus
rantai penularan TB?
 Melakukan gerakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)
dengan cara
f. Bagaimana penerapan PPK pada TB anak?
g. Bagaimana penerapan KDB beneficence dan justice pada kasus ?
 Merujuk pasien ke FKTL disertai penjelasan mengapa pasien
perlu dirujuk, yaitu demi kebaikan pasien serta anggota
keluarganya.
 Melakukan perawatan dan edukasi kepada pasien agar pasien
dapat sembuh sepenuhnya dari penyakitnya dan tidak
menularkan penyakitnya kepada anggota keluarganya
 Melakukan kujungan sehat ke rumah pasien dan berkoordinasi
dengan dinas terkait untuk membedah rumah pasien agar layak
huni dan sehat
 Melakukan pemeriksaan dan tatalaksana terhadap anggota
keluarga pasien terkait serta memberi edukasi agar keluarga
pasien juga kembali sehat dan terbebas penyakit dengan
menerapkan pola hidup sehat.
Hipotesis:. Dr. A selaku dr penanggung jawab Ny. B pada kasus TB MDR telah
menerapkan kaidah dasar bioetik berupa autonomy, beneficience, non
maleficence, dan justice serta dilakukan kerja sama lintas sektor untuk
mengendalikan penyakit TBC yang menular

IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

No Pokok What I What I don’t What I Have to How will I


. Bahasan Know? Know? Prove? Learn?
1. TB-MDR Definisi TB- Tatalaksana Isolasi dengan ruangan Jurnal,
MDR sesuai paduan tekanan negatif ebook/textb
praktik klinis (indikasi dan prosedur) ook, artikel
(PKK)
2. Bioetika 4 prinsip Ciri-ciri yang - KDB beneficence
Kedokteran kaidah dasar terdapat di kriteria menurut
bioetika dalam kaidah Basic of Bioethics
kedokteran dasar bioetika (Robert Mc
(Autonomy, (KDB)  Veatch)
Justice, kriterianya - Penerapan aspek
Beneficence, kaidah dasar
dan Non- bioetika
Maleficent) (autonomy, justice,
beneficence dan
non-maleficent)
dalam tatalaksana,
mengambil
keputusan medik,
mematuhi hak-
kewajiban pasien
dalam memberikan
layanan dan
perujukan pasien
3. Sistem Pengertian, Tata cara -
Rujukan tujuan, dan perujukan
BPJS manfaat BPJS sesuai kasus
kesehatan
4. Pengendalian Pengertian Upaya Kunjungan sehat
Penyakit penyakit pengendalian
Menular menular dan
penanggulangan
TB
5. Etika Profesi Pengertian Prinsip etik Isi KODEKI
Dokter dan etika dan kedokteran (kewajiban dan hak
Hukum hukum profesi dokter)

V. Sintesis
A. TB-MDR
1. Pengertian TB-MDR
Tuberculosa Multi Drug Resistant (TB-MDR) didefinisikan sebagi
resistensi Mycobacterium Tuberculosis terhadap agen Obat Anti TB
(OAT) tanpa atau dengan lini pertama, yaitu Rifampisin (R) dan
Isoniazide (H) dimana kedua obat tersebut sangat penting pada
pengobatan TB yang telah diterapkan pada strategi DOTS (Kementerian
Kesehatan, 2013).
Kategori resistensi terhadap OAT secara umum dibagi menjadi:
a. Monoresistant : resistan terhadap salah satu OAT, misal resistan
terhadap Isoniazide.
b. Polyresistant: resistan terhadap lebih dari salah satu OAT, selain
kombinasi Isoniazide dan Rifampisin, misal resistan Isoniazide (H)
dan ethambutol, Rifampisin (R), Ethambutol, Isoniazide (H),
Ehambutol, Streptomisin(S), Rifampisin (R) Ethambutol dan
Streptomisin (S) .
c. Multidrug Resistant : resistant terhadap Isoniazide (H) dan
Rifampisin (R), dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya. Misal,
resistant HR, HRE, HRES.
d. Extensively Drug Resistant yaitu TB-MDR yang disertai resistensi
terhadap salah satu obat golongan Fluorokinolon dan salah satu dari
obat Injeksi lini kedua yaitu Kapreomisin (CM), Kanamisin (Km)
dan Amikasin (Am).
e. TB Resistant Rifampisisn yaitu resistan terhadap Rifampisin
(monoresisten, polyresistan, TB-MDR, TB-XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa
resisten OAT lainnya (Kementerian Kesehatan, 2013).
Kategori resistan TB secara klinis dibagi menjadi:
a. Resistensi primer yaitu penderita sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1
bulan.
b. Resistensi inisial yaitu bila penderita tidak diketahui secara pasti
apakah sebelumnya sudah pernah mendapat pengobatan OAT atau
belum.
c. Resistensi Sekunder yaitu apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan. (Soepandi, 2010).
2. Mekanisme Resistensi
Mycobacterium tuberculosis memiliki karakteristik pertumbuhan yang
lambat, dorman, memiliki komponen dinding sel yang kompleks,
merupakan organisme intraseluler serta memiliki homogenitas genetik.
Resistensi alamiah terhadap banyak antibiotika merupakan salah satu
keunikan yang dimiliki oleh M. tuberculosis. Resistensi ini terjadi akibat
adanya dinding sel yang sangat hidrofobik dan berperan sebagai barrier
permeabilitas. Mycobacterium tuberculosis (Mtb) memiliki kemampuan
untuk mengembangkan resistensi secara alamiah terhadap berbagai
antibiotika. Mtb mengembangkan mekanisme resistensi yang berbeda
dengan bakteri lain pada umumnya. Resistensi hanya akan
menguntungkan bakteri pada saat terpapar dengan obat target. Pada
paparan OAT yang tidak adekuat, bakteri yang sensitif akan mati dan
bermutasi kemudian akan berkembang biak dengan pesat tanpa adanya
persaingan yang berarti dalam hal nutrisi.
Macam- macam mekanisme resistensi OAT:
a. Mekanisme resistensi terhadap Isoniazide (H)
Isoniazid direkomendasikan untuk terapi tuberkulosis sejak tahun
1952, dan masih dipertahankan hingga sekarang. Isoniazide aktif
terhadap M.tuberculosis, M. bovis dan M.kansasii, bersifat
bakterisidal pada basil yang aktif dan bakteriostatik pada kuman
yang metabolismenya tidak aktif. Isoniazide masuk ke dalam sel M.
tuberculosis dalam bentuk pro-drug, bahan yang belum aktif sebagai
obat.
b. Mekanisme resistensi terhadap Rifampisin (R)
Rifampisin merupakan obat yang paling poten dan memiliki
spektrum luas yang dimiliki dari sekian jenis OAT, serta dapat
berdiffusi ke dalam jaringan, sel manusia ataupun bakteri sehingga
sangat efektif. Sebagian besar isolat klinis M. tuberculosis (Mtb)
yang resisten terhadap rifampisin terjadi mutasi yang menyebabkan
menyebabkan terjadinya penurunan afinitas terhadap rifampisin.
c. Mekanisme resistensi terhadap Etambutol
Resistensi etambutol pada Mtb paling sering dikaitkan dengan
mutasi pada gen, mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang
resisten.
d. Mekanisme resistensi terhadap Pirazinamid
Pirazinamid merupakan analog nikotinamide yang pertama kali
sebagai antituberkulosis pada tahun 1952. Pirazinamid bertanggung
jawab untuk membunuh kuman Mtb yang semi dorman yang tidak
mampu dibunuh oleh obat antituberkulosis lainnya. Aktivitas
pirazinamid spesifik untuk kuman mikobakterium tuberkulosis dan
tidak memiliki efek terhadap mikobakterium lainnya. Target utama
dari pirazinamid adalah enzim yang berperan dalam sintesis asam
lemak. Pirazinamid merupakan pro drug yang harus dikonversi
menjadi bentuk aktifnya sehingga menyebabkan terganggunya
sintesis lemak dan piraziname tidak dapat menjadi bentuk aktif.
Apabila Pirazinamide tidak dapat berubah menjadi bentuk aktif
maka sintesis asam lemak tidak terganggu dan menyebabkan
resistensi Mtb terhadap Pirazinamide.
e. Mekanisme resistensi terhadap Streptomisin (S)
Proses resistensi pada streptomisin karena terjadinya mutasi gen
dengan target utama dari kerja streptomisin adalah mekanisme pada
tingkat ribosom. Streptomisin akan berinteraksi dengan ribosom
yang akan menyebabkan terjadinya perubahan pada ribosom dan
menyebabkan terjadinya misreading pada mRNA(messenger
Ribonucleat Acid) maka terjadi resistensi terhadap streptomisin.
(Nofriyanda, 2010).
3. Penatalaksanaan TB-MDR
Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit ditempuh
dengan waktu 18 bulan setelah terjadi konversi biakan. Pengobatan
dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap awal yang meliputi tahap
pengobatan dengan menggunakan obat suntikan (Kanamisin atau
Kapreomisin) yang dberikan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4
bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap berikutnya yakni tahap
pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan pemberian
suntikan dihentikan. Bulan disini yang dimaksud adalah 4minggu.
Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan diawasi oleh Pengawas Minum Obat (PMO) yang telah
ditunjuk, PMO disini yang dimaksud adalah tenaga kesehatan atau kader
kesehatan yang telah dilatih. Pemberian obat suntik harus diberikan oleh
petugas kesehatan.
Penatalaksaan terapi pada TB-MDR di tahap awal berupa suntikan yang
diberikan 5hari seminggu (senin-jumat), obat per oral ditelan 7 hari
(setiap hari, senin-minggu) didepan PMO. Penatalaksanaan pada tahap
lanjutan berupa obat per oral ditelan selama 6 hari dalam seminggu
(senin-sabtu, minggu tidak minumm obat) didepan PMO. Tahap lanjutan
tidak mendapat terapi suntikan. Cara menentukan lama pengobatan
yakni:
a. Tahap awal Lama pengobatan adalah "a + 4 bulan", a disini yang
dimaksud adalah bulan pertama tercapai konversi biakan. Lama
tahap awal minimum 6 bulan. Bila hasil biakan di bulan ke-8 pasien
tidak konversi maka pengobatan dinyatakan gagal.
b. Tahap lanjutan Lama pengobatan lanjutan adalah total lama
pengobatan dikurangi lama pengobatan tahap awal dimana total lama
pengobatan adalah "a + 18 bulan", a disini yang dimaksud adalah
bulan pertama tercapai konversi biakan (Kementerian Kesehatan,
2013)
4. Efek Samping Pengobatan TB-MDR
Pengobatan TB-MDR mempunyai efek samping sebagai berikut
(Kementerian Kesehatan RI, 2013):

No OAT Efek Samping Efek Samping Berat


Ringan-Sedang
1. Ethambutol Alergi kulit , mual Kelainan fungsi hati,
muntah. gangguan penglihatan,
alergi toksik menyeluruh
dan Steven Johnson
Syndrome (SJS).
2. Kanamisin (Km) Alergi kulit, Kelainan fungsi ginjal,
neuropati perifer, gangguan elektrolit
nyeri ditempat (Barrter Like syndrome),
suntikan, gangguan gangguan pendengaran,
elektrolit, vertigo. shock anafilaktif, alergi
toksik menyeluruh dan
SJS.
3. Pirazinamid Alergi kulit, mual Kelainan fungsi hati,
muntah, atralgia, perdarahan lambung,
anoreksia. alergi toksik menyeluruh
dan SJS.
4. Levofloksasin Gangguan tidur, Kelainan fungsi hati,
atralgia, neuropati tendinitis, kejang, alergi
perifer, anoreksia, toksik menyeluruh dan
mual muntah, SJS.
depresi.
5. Moxifloksasin Gangguan tidur. Alergi toksik menyeluruh
dan SJS.
6. Sikloserin Neuropati perifer , Gangguan psikotik
nyeri kepala, depresi, (Suicidal tendency),
perubahan perilaku kejang, alergi toksik
menyeluruh dan SJS.
7. Para Amino Alergi kulit , mual Kelainan fungsi hati,
Salisilat muntah, diare, perdarahan lambung,
gastritis. alergi toksik menyeluruh
dan SJS, hypotiroid.
8. Capreomisin Alergi kulit, nyeri Kelainan fungsi ginjal,
ditempat suntikan, gangguan elektrolit
gangguan elektrolit, (Barrter like syndrome),
vertigo. gangguan pendengaran,
shock anafilaktif, alergi
toksik menyeluruh dan
SJS.
9. Etionamide Neuropati perifer, Kelainan fungsi hati,
mual muntah , perdarahan lambung,
depresi , metalik alergi toksik menyeluruh
taste, gastritis, nyeri dan SJS, hypotiroid.
kepala, anoreksia.

B. Bioetika Kedokteran
1. Pengertian
Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran
membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan
permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan. Etika kedokteran
berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran saja, terutama
hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman
sejawat. Oleh karena itu, sejak tiga dekade terakhir ini telah
dikembangkan bioetika atau yang disebut juga dengan etika biomedis.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran,
tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa
sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa
yang akan datang.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di
bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro,
masa kini dan masa mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial,
agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika selain
membicarakan bidang medis, seperti abortus, euthanasia, transplantasi
organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik, membahas pula
masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup
kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional,
lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi
perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia
dan hewan percobaan.
Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh Institude for the Study
of Society, Ethics and Life Sciences, Hasting Center, New York pada
tahun 1969. Kini terdapat berbagai isu etika biomedik.
Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir
yang dipelopori oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya
Jakarta. Perkembangan ini sangat menonjol setelah universitas Gajah
Mada Yogyakarta yang melaksanakan pertemuan Bioethics 2000; An
International Exchange dan Pertemuan Nasional I Bioetika dan
Humaniora pada bulan Agustus 2000. Pada waktu itu, Universitas Gajah
Mada juga mendirikan center for Bioethics and Medical humanities.
Dengan terselenggaranya Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora
pada tahun 2002 di Bandung, Pertemuan III pada tahun 2004 di Jakarta,
dan Pertemuan IV tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknya
Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) tahun
2002, diharapkan studi bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas
di seluruh Indonesia pada masa datang.
Humaniora merupakan pemikiran yang beraitan dengan martabat dan
kodrat manusia, seperti yang terdapat dalam sejarah, filsafat, etika,
agama, bahasa, dan sastra.

2. Perkembangan Etika
Etika kedokteran atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan istilah
Bioetika yang sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Setiap waktu
diulas, dibahas dan dikembangkan sampai kepada pengertian yang kita
anut sekarang ini. Semuanya ini dilakukan agar profesi kedokteran selalu
siap untuk menjawab tantangan jaman. Perkembangan ini akan terus
berlanjut, sesuai dengan berkembangnya bio-teknologi, khususnya
teknologi biomedis, dan perkembangan masyarakat. Karena itu kita harus
selalu memberi makna dan pengertian yang “up-to-date” mengenai
Bioetika ini. Untuk itu kita perlu mengkaji ulang paradigma-paradigma
yang berkaitan dengan Bioetika dan mempelajari isu-isu yang
berkembang, baik di masya-rakat umum, maupun di kalangan kedokteran
sendiri.
Etika terdiri dari dua jenis, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika
umum membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak dalam
mengambil keputusan etis. Penilaiannya adalah prinsip moral, yaitu baik
dan buruk. Sementara etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip
dasar dalam bidang khusus atau disebut etika terapan, misalnya etika
kedokteran, etika kefarmasian, etika keperawatan dan lain-lain.
Seseorang dikatakan bahagia bila ia telah memiliki seluruh tatanan
moral. Tatanan moral tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: yang
pertama Logika, dimana dasarnya pikiran, tujuannya kebenaran, nilainya
benar-salah, hasilnya ilmu. Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Secara
filsafati jiwa terdiri dari unsur akal (intellect), rasa (emotion), dan
kehendak (will). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
hidup lain. Akal akan berusaha untuk mendapatkan kebenaran yang
paling dalam (the truth), dan dari sini akal manusia terus berkembang
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang kedua Etika, dimana dasarnya kehendak, tujuannya kebaikan,
nilainya baikburuk, hasilnya keserasian. Unsur ‘kehendak’ selalu
mencapai kebaikan (goodness) didalam tata kehidupan. Yang ketiga
Etiket (Etiquette), dimana dasarnya kehormatan, nilainya sopantidak
sopan, hasilnya tata krama. Yang keempat Estetika, dimana dasarnya
perasaan (feeling), tujuannya keindahan, hasil ciptaannya seni (art).
Unsur ‘rasa’ manusia selalu ingin mencari keindahan yang paling dalam
(the beauty), dari sini berkembang rasa estetika manusia. Dalam
kenyataannya unsur akal, rasa dan kehendak tersebut saling mendukung
dan saling mempengaruhi dalam setiap tindakan manusia.
Meskipun sebagai objek material, etik mempelajari manusia, tetapi objek
formal yang dipelajari adalah tindakan atau perilaku manusia. Sehingga
etik tidak dapat dipisahkan dengan beberapa istilah lain yang mirip-mirip
dengan etik yaitu adab, akhlak, susila, etiket dan moral.
Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat akses informasi yang
beredar seolah tak terbendung. Masyarakat semakin cerdas dalam
menentukan pilihan, yang salah satunya adalah pilihan dalam urusan
kesehatan. Dengan akses informasi yang tak terbatas inilah, masyarakat
semakin diperdalam pengetahuannya dalam bidang kesehatan, terutama
mengenai hak hak yang wajib mereka dapat dan bahkan mengenai
penyakit yang mereka derita.
Seorang dokter yang baik tentu harus memperhatikan hal tersebut, agar
bisa mengimbangi pasien yang datang untuk berobat padanya.
Penerapan kaidah bioetik merupakan sebuah keharusan bagi seorang
dokter yang berkecimpung didalam dunia medis, karena kaidah bioetik
adalah sebuah panduan dasar dan standar, tentang bagaimana seorang
dokter harus bersikap atau bertindak terhadap suatu persoalan atau kasus
yang dihadapi oleh pasiennya.
Kaidah bioetik harus dipegang teguh oleh seorang dokter dalam proses
pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak mempunyai
ikatan lagi dengan dokter yang bersangkutan.

3. Prinsip-prinsip Dasar Bioetika


Prinsip-prinsip dasar etika adalah suatu aksioma yang mempermudah
penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus dibersamakan dengan prinsip-
prinsip lainnya atau yang disebut spesifik. Tetapi pada beberapa kasus,
kerana kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk
digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir
disebut dengan Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik
kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang
sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, antara
lain:
a. Beneficence
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan,
kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang lain,
mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam makna yang lebih
luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain.
Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral untuk
melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang
lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk
memperjelas atau meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan
diterima secara luas sebagai tujuan kedokteran yang tepat.
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini
bukanlah satu-satunya prinsip yang harus dipertimbangkan,
melainkan satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus
dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat,
resiko, dan biaya (sebagai hasil dari tindakan) serta tidak
menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban. Kritik yang
sering muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang
kepentingan umum yang diletakan di atas kepentingan pribadi.
Sebagai contoh, dalam penelitian kedokteran, atas dasar
kemanfaatan untuk kepentingan umum sering prosedur penelitian
yang membahayakan individu subjek penelitian diperbolehkan.
Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga
dipertimbangkan. Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk
kebaikan individu seorang pasien maupun kebaikan masyarakat
keseluruhan.
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan
komponen penting dalam moralitas. Karena luasnya cakupan
kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan dalam praktek
(kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa
contoh penerapan prinsip beneficence ini adalah:
- Melindungi dan menjaga hak orang lain
- Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain
- Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain
- Membantu orang dengan berbagai keterbatasan
- Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik,
menghormati martabat manusia, dokter tersebut juga harus
mengusahakan agar pasiennya dirawat dalam keadaan kesehatan.
Dalam suatu prinsip ini dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang
terbaik bagi pasien. Beneficence membawa arti menyediakan
kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah
positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang
buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu:

- Mengutamakan alturisme
- Memandang pasien atau keluarga bukanlah tindakan tidak
hanya menguntungkan seorang dokter
- Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan suatu keburukannya
- Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
- Memaksimalkan hak-hak pasien secara keseluruhan
- Menerapkan Golden Rule Principe, yaitu melakukan hal
yang baik seperti yang orang lain inginkan
- Memberi suatu resep
b. Non-malficence
Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang
membahayakan atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”. Prinsip
ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan
“saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit
berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya tidak akan
pernah menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan
mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang
kedokteran terutama kasus kontroversial terkait dengan kasus
penyakit terminal, penyakit serius dan luka serius. Prinsip ini
memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan untuk
mempertahankan atau mengakhiri kehidupan. Penerapannya dapat
dilakukan pada pasien yang kompeten maupun tidak kompeten.
Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang
kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk menerima
atau menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang
manfaat dan hambatannya dalam situasi atau kondisi tertentu.
Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai
satu kesatuan dengan prinsip beneficence (mengutamakan
tindakan untuk kebaikan pasien). Namun, banyak juga yang
membedakannya. Pertimbangannya antara lain pemikiran bahwa
kewajiban untuk tidak membahayakan atau mencelakakan pasien,
tentu berbeda dengan kewajiban untuk membantu pasien,
walaupun keduanya untuk kebaikan pasien.
Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
- Menolong pasien emergensi
- Mengobati pasien yang luka
- Tidak membunuh pasien
- Tidak memandang pasien sebagai objek
- Melindungi pasien dari serangan
- Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
- Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
- Tidak melakukan White Collar Crime
c. Justice
Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya
adalah memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat
sesuai dengan haknya. Situasi yang adil adalah seseorang
mendapatkan mendapatkan manfaat atau beban sesuai dengan hak
atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah tindakan yang salah
atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada seseorang yang
memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama. Prinsip
justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa
(pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali
melabihi batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan
dalam pengambilan keputusan tersebut.
Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice, antara
lain:
1) Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)
2) Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)
3) Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)
4) Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)
5) Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya
(merit)
6) Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-
market exchange)
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter
memperlakukan sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan
dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi,
pandangan politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan
sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat mengubah
sikap dokter terhadap pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri:
- Memberlakukan segala sesuatu secara universal
- Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia
lakukan
- Menghargai hak sehat pasien
- Menghargai hak hukum pasien
d. Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang
berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau
pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan
suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri
atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan
pada suatu kondisi individu yang maknanya bermacam-macam
seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi,
kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama
otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri
sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain
maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang
benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang
yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan
oleh orang lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai
dengan hasrat dan rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi.
Meskipun demikian, secara umum ada beberapa cara menerapkan
prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran. Cara-cara
tersebut antara lain:
1) Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya
(tell the truth)
2) Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of
others)
3) Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect
confidential information)
4) Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap
pasien (obtain consent for interventions with patients)
5) Membantu orang lain membuat keputusan yang penting
(when ask, help others make important decision).
Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai
kompetensi pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi
kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga
begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu
definisi kompetensi pasien yang dapat diterima adalah
”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu tugas atau
perintah”.
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia.
Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang
mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini
pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sendiri. Autonomy bermaksud menghendaki,
menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien
demi dirinya sendiri. Autonomy mempunyai ciri-ciri:
- Menghargai hak menentukan nasib sendiri
- Berterus terang menghargai privasi
- Menjaga rahasia pasien
- Melaksanakan Informed Consent

C. Rujukan Layanan Kesehatan


Sistem rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan
kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib
dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial,
dan seluruh fasilitas kesehatan.

Ketentuan Umum

1. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:


a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga
2. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik.
4. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter
gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan sub spesialistik
5. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang- undangan yang berlaku
6. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan
sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak
sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan
7. Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS
Kesehatan akan melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas
kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada kelanjutan kerjasama.

Pelayanan Kesehatan yang Dijamin

Pelayanan kesehatan yang dijamin meliputi:

1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non


spesialistik mencakup:
a. Administrasi pelayanan
b. Pelayanan promotif dan preventif
c. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non
operatif
e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
f. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
g. Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama
h. Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi
2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan
kesehatan mencakup:
a. Rawat jalan yang meliputi:
1) Administrasi pelayanan
2) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan sub- spesialis
3) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
4) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
5) Pelayanan alat kesehatan implant
6) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis
7) Rehabilitasi medis
8) Pelayanan darah
9) Pelayanan kedokteran forensik
10) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan.
b. Rawat inap yang meliputi:
1) Perawatan indap non intensif
2) Perawatan inap di ruang intensif
3) Pelayanan kesehatan lain ditetapkan oleh Menteri

Mekanisme Pelayanan Rujukan TB Bagi Bagi Peserta Jaminan


Kesehatan Nasional (JKN)

1. Alur Rujukan Parsial Antar FKTP


FKTP satelit yakni DPM, klinik swasta dan puskesmas satelit yang
sudah terlatih TB yang tidak memiliki fasilitas mikroskopis wajib
merujuk pasien terduga TB tanpa penyulit baik pasiennya sendiri,
spesimen atau fiksasi spesimen ke FKTP mikroskopis untuk penegakan
diagnosisnya.

Keterangan Alur Rujukan :


a. Laboratorium swasta yang telah mengikuti jaga mutu TB (PME=
pemeriksaan mutu eksternal)
b. FKTP satelit rujukan (puskesmas satelit wajib merujuk pasien TB
tanpa komplikasi ke FKTP mikroskopis).
c. DPM/Klinik Pratama bisa merujuk diagnosis TB ke FKTPrujukan
mikroskopis (PRM) atau laboratorium swasta.
d. FKTP rujukan mikroskopis dapat menerima rujukan pemeriksaan
mikroskopis dari FKTPsatelit.
e. Surat rujukan bagi pasien FKTPsatelit yang terlatih berlaku sampai
diagnosis ditegakkan.
f. Laboratorium swasta dan FKTP mikroskopis wajib memberikan
laporan hasil pemeriksaan mikroskopik ke FKTPsatelit.
2. Alur Rujukan dari FKTP ke Rumah Sakit
Berikut ini adalah alur rujukan pasien TB untuk penegakan diagnosis
dari FKTP ke Rumah Sakit:

Kriteria rujukan :

a. TB dengan kondisi khusus seperti TB dengan kehamilan, TB


dengan hepatitis, TB dengan gangguan fungsi ginjal dan TB
dengan DM
b. TB Paru sputum negatif dengan kriteria: klinis tidak membaik
setelah pemberian antibiotik spektrum luas, terduga HIV, dan
kondisi klinis berat.
c. Terduga TB ekstra paru. TB ekstra paru dapat dirujuk balik
ataupun diberikan tatalaksana pengobatan di rumah sakit. Kriteria
berikut ini perlu diperhatikan dalam rujuk balik, yaitu: diagnosis
sudah ditegakkan, sudah memulai pengobatan OAT, tidak ada
komplikasi, tidak ada efek samping OAT dan kondisi klinis baik.
d. Terduga TB Anak di FKTP yang tidak memiliki tuberkulin. Pasien
TB anak dapat dirujuk balik apabila tidak disertai dengan
malnutrisi.
e. TB dengan HIV

Penjelasan alur rujukan :

a. FKTP merujuk untuk penegakan diagnosis pasien dengan kondisi


sesuai poin 1,2,3,4 dan 5 diatas ke rumah sakit.
b. Rumah sakit melakukan rujuk balik untuk kondisi pasien yang
tertera dalam poin 1, 3 dan 4.
c. Surat rujukan pasien dari FKTP ke rumah sakit berlaku selama
periode pengobatan
d. Rujukan pasien menggunakan formulir TB 05 dan atau TB 09
e. Pasien TB ekstra paru dan TB anak dapat dirujuk balik ke FKTP
semula untuk tatalaksana pengobatan.

3. Alur Rujukan Pasien Terduga TB Resistan Obat


FKTP dan rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas untuk
mendiganosis pasien TB resistan obat wajib merujuk pasien ke pusat
rujukan atau sub rujukan TB resistan obat.
Berikut ini adalah alur rujukan diagnosis pasien terduga TB resistan
obat :
Keterangan Bagan :
a. FKTP merujuk pasien terduga TB resistan obat ke pusat
rujukan/sub rujukan TB resistan obat.
b. Rumah sakit merujuk pasien terduga TB resistan obat ke pusat
rujukan/sub rujukan TB resistan obat
c. Pusat rujukan/sub rujukan TB resistan obat dapat merujuk balik
untuk tatalaksana pengobatan ke FKTPatau FKRTLsatelit TB
resistan obat.
d. FKTP dan rumah sakit yang merujuk pasien terduga TB resistan
obat mendapatkan laporan hasil pemeriksaan TB resistan obat dari
pusat rujukan/sub rujukan TB resistan obat.
e. Tatalaksana pengobatan TB resistan obat hanya dapat dilaksanakan
di pusat rujukan/sub rujukan, FKTP dan FKRTLsatelit TB resistan
obat.

D. Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Menular


1. Pendahuluan
Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga
perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan efisien.
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
menimbulkan kesakitan, kecacatan, dan kematian yang tinggi sehingga
perlu dilakukan upaya penanggulangan.
2. Definisi
- Penyakit Menular adalah penyakit yang dapat menular ke manusia
yang disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur,
dan parasit.
- Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat
menyerang paru dan organ lainnya.
- Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya disebut
Penanggulangan TB adalah segala upaya kesehatan yang
mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan
aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi
kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau
kematian, memutuskan penularan mencegah resistensi obat dan
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat Tuberkulosis.
3. Tujuan
Pengaturan Penanggulangan Penyakit Menular ditujukan untuk:
a. melindungi masyarakat dari penularan penyakit
b. menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
Penyakit Menular
c. mengurangi dampak sosial, budaya, dan ekonomi akibat Penyakit
Menular pada individu, keluarga, dan masyarakat.
4. Klasifikasi
Berdasarkan cara penularannya, Penyakit Menular dikelompokkan
menjadi:
a. penyakit menular langsung
Terdiri atas:
Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Campak, Typhoid, Kolera, Rubella,
Yellow Fever, Influensa, Meningitis, Tuberkulosis, Hepatitis,
penyakit akibat Pneumokokus, penyakit akibat Rotavirus, penyakit
akibat Human Papiloma Virus (HPV), penyakit virus ebola, MERS-
CoV, Infeksi Saluran Pencernaan, Infeksi Menular Seksual, Infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV), Infeksi Saluran Pernafasan,
Kusta; dan Frambusia.
b. penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit.
Terdiri atas:
Malaria, Demam Berdarah, Chikungunya, Filariasis dan Kecacingan,
Schistosomiasis, Japanese Enchepalitis, Rabies, Antraks, Pes,
Toxoplasma, Leptospirosis, Flu Burung (Avian Influenza), dan m.
West Nile.
5. Peran
a. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (ketersediaan obat, dan
perbekalan kesehatan, menjamin ketersediaan sarana dan prasarana
laboratorium, menjamin ketersediaan anggaran, menjamin
ketersediaan teknologi, dan masyarakat bertanggung jawab
menyelenggarakan Penanggulangan TB.
b. Setiap dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
harus menetapkan unit kerja yang bertanggung jawab sebagai
pengelola program Penanggulangan TB
c. Puskesmas harus menetapkan dokter, perawat, dan analis
laboratorium terlatih yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
program Penanggulangan TB.
d. Rumah sakit harus menetapkan Tim DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan program Penanggulangan TB
e. Tenaga non kesehatan merupakan tenaga yang telah memperoleh
pelatihan teknis dan manajemen dan melakukan peran bantu dalam
penanganan pasien, pemberian penyuluhan, pengawas menelan obat,
dan pengendalian faktor risiko  diri, keluarga dan masyarakat
6. Penanggulangan Penyakit Menular
Penanggulangan Penyakit Menular dilakukan melalui upaya pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan. Upaya pencegahan dilakukan untuk
memutus mata rantai penularan, perlindungan spesifik, pengendalian
faktor risiko, perbaikan gizi masyarakat dan upaya lain sesuai dengan
ancaman Penyakit Menular. Upaya pengendalian dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan faktor risiko penyakit dan/atau
gangguan kesehatan. Upaya pemberantasan dilakukan untuk meniadakan
sumber atau agen penularan, baik secara fisik, kimiawi dan biologi.
Dilaksanakan melalui upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan.
Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan:
a. promosi kesehatan;
b. surveilans TB;
c. pengendalian faktor risiko;
d. penemuan dan penanganan kasus TB;
e. pemberian kekebalan;
f. pemberian obat pencegahan.
7. Kegiatan Penanggulangan TB
a. Promosi Kesehatan
Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB ditujukan untuk:
1) meningkatkan komitmen para pengambil kebijakan: kegiatan
advokasi.
2) meningkatkan keterpaduan pelaksanaan program: kemitraan
dengan lintas program atau sektor terkait dan layanan
keterpaduan pemerintah dan swasta (Public Private Mix).
3) memberdayakan masyarakat: kegiatan menginformasikan,
mempengaruhi, dan membantu masyarakat agar berperan aktif
dalam rangka mencegah penularan TB, meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat, serta menghilangkan diskriminasi
terhadap pasien TB.
Sasaran promosi kesehatan penanggulangan TB adalah:
1) Pasien, individu sehat (masyarakat) dan keluarga sebagai
komponen dari masyarakat.
2) Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, petugas kesehatan,
pejabat pemerintahan, organisasi kemasyarakatan dan media
massa.
Diharapkan dapat berperan dalam penanggulangan TB sebagai
berikut:
Promosi kesehatan dalam penanggulangan TB diselenggarakan
dengan strategi pemberdayaan masyarakat, advokasi dan kemitraan.
1) Pemberdayaan masyarakat
Proses pemberian informasi tentang TB secara terus menerus
serta berkesinambungan untuk menciptakan kesadaran, kemauan
dan kemampuan pasien TB, keluarga dan kelompok masyarakat.
Metode yang dilakukan adalah melalui komunikasi efektif,
demontrasi (praktek), konseling dan bimbingan yang dilakukan
baik di dalam layanan kesehatan ataupun saat kunjungan rumah
dengan memanfaatkan media komunikasi seperti lembar balik,
leaflet, poster atau media lainnya.
2) Advokasi
Advokasi adalah upaya atau proses terencana untuk memperoleh
komitmen dan dukungan dari pemangku kebijakan yang
dilakukan secara persuasif, dengan menggunakan informasi
yang akurat dan tepat.
3) Kemitraan
Kemitraan merupakan kerjasama antara program
penanggulangan TB dengan institusi pemerintah terkait,
pemangku kepentingan, penyedia layanan, organisasi
kemasyarakatan yang berdasar atas 3 prinsip yaitu kesetaraan,
keterbukaan dan saling menguntungkan.
b. Surveilans TB
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit TB
atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhinya untuk
mengarahkan tindakan penanggulangan yang efektif dan efisien.
Terdapat 2 jenis surveilans TB, yaitu: Surveilans berbasis indikator
(berdasarkan data pelaporan), dan Surveilans berbasis kejadian
(berupa survei: periodik dan sentinel).
Tujuan:
1) Berbasis indikator, memperoleh gambaran yang akan digunakan
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program
Penanggulangan TB.
2) Berbasis kejadian, meningkatkan kewaspadaan dini dan
tindakan respon terhadap terjadinya peningkatan TB resistan
obat.
Pelaksanaan
Pelaksanaan: dilakukan pengumpulan data secara aktif dan pasif baik
secara manual maupun elektronik.
1) Pengumpulan data secara aktif merupakan pengumpulan data
yang diperoleh langsung dari masyarakat atau sumber data
lainnya.
2) Pengumpulan data secara pasif merupakan pengumpulan data
yang diperoleh dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
c. Pengendalian Faktor Risiko
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis (M.tb).
Seorang pasien TB, khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk
dan bersin dapat mengeluarkan percikan dahak yang mengandung
M.tb. Orang-orang disekeliling pasien TB tsb dapat terpapar dengan
cara mengisap percikan dahak. Infeksi terjadi apabila seseorang yang
rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui
mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga
mencapai alveoli.
Tujuan: mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit TB
Upaya yang dilakukan adalah:
1) Pengendalian Kuman Penyebab TB
a) Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan
pengobatan tetap tinggi
b) Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid
TB) yang mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV,
diabetes, dll.
2) Pengendalian Faktor Risiko Individu
a) Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat, makan makanan bergizi, dan tidak merokok
b) Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara
membuang dahak bagi pasien TB
c) Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas
nutrisi bagi populasi terdampak TB
d) Pencegahan bagi populasi rentan
i. Vaksinasi BCG bagi bayi baru lahir
ii. Pemberian profilaksis INH pada anak di bawah lima
tahun
iii. Pemberian profilaksis INH pada ODHA selama 6
bulan dan diulang setiap 3 tahun
iv. Pemberian profilaksis INH pada pasien dengan
indikasi klinis lainnya seperti silikosis
3) Pengendalian Faktor Lingkungan
a) Mengupayakan lingkungan sehat
b) Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan
dan lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat
4) Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
a) Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko
tinggi penularan TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan,
tempat kerja, institusi pendidikan berasrama, dan tempat
lain yang teridentifikasi berisiko.
b) Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil,
belum ada program, padat penduduk).
5) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat dalam
pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian
utama. Semua fasyankes yang memberi layanan TB harus
menerapkan PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi
segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB.
Upaya tersebut berupa Penanggulangan infeksi dengan 4 pilar
yaitu:
a) Pengendalian secara Manajerial
b) Pengendalian secara administratif
c) Pengendalian lingkungan fasyankes
d) Pemanfaatan Alat Pelindung Diri

d. Penemuan Kasus TB
Tujuan: mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai
dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan diagnosis,
menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB. Setelah
diagnosis ditetapkan dilanjutkan pengobatan yang adekuat sampai
sembuh, sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.
- Penemuan kasus TB secara aktif dan/atau masif berbasis
keluarga dan masyarakat, dapat dibantu oleh kader dari
posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Kegiatan ini dapat berupa:
a) Investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak
erat dengan pasien TB.
b) Penemuan di tempat khusus: Lapas/Rutan, tempat kerja,
asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo.
c) Penemuan di populasi berisiko: tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh
- Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif intensif di fasilitas
kesehatan dengan jejaring layanan TB melalui Public-Private
Mix (PPM), dan kolaborasi berupa kegiatan TB-HIV, TB-DM
(Diabetes Mellitus), TB-Gizi, Pendekatan Praktis Kesehatan
paru (PAL = Practical Approach to Lung health), Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa
Sakit (MTDS).
- Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
e. Penanganan Kasus TB
Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB dilakukan melalui
kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata rantai penularan
dan/atau pengobatan pasien.
Tata laksana kasus terdiri atas:
a) pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
b) pengawasan kepatuhan menelan obat;
c) pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan;
dan/atau
d) pelacakan kasus mangkir.
Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed
Treatment)
Paduan pengobatan yang dianjurkan akan menyembuhkan sebagian
besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat.
Agar hal hal tersebut tercapai, sangat penting memastikan bahwa
pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran, dengan
pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat)
untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian
pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan. Pasien bisa memilih datang ke fasyankes
terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung
kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat
diberikan secara rawat jalan.
a) Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani
dan dihormati oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan
bersamasama dengan pasien.
b) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di
Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain
lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan,
PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c) Tugas seorang PMO
1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB
yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk
segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
d) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau
kutukan.
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan
cara pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan
lanjutan).
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara
teratur
f. Pemberian Kekebalan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan
melalui imunisasi BCG terhadap bayi yang dilakukan dalam upaya
mengurangi risiko tingkat keparahan TB.
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang
berat adalah dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan
pengobatan pencegahan (profilaksis).
g. Pemberian Obat Pencegahan
Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada:
a) anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan
pasien TB aktif;
b) orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa
TB;
c) populasi tertentu lainnya.

E. Etika Profesi Dokter dan Hukum


1. Pengertian
Etika menurut penjelasan Bartens berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu
ethos, sedangkan dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat
istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah to ether
artinya adat kebiasaan. Sebuah etika atau ethics merupakan bagaimana
kita memperhatikan atau mempertimbangkan perilaku manusia dalam
pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan
penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan
“kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang
lain.
Dalam kamus besar bahasa indonesia, pengertian profesi adalah bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan,
dan sebagainya) tertentu. Profesi pada hakekatnya adalah suatu
pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan
dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa karena orang
tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan tersebut. Suatu
profesi bukanlah dimaksud untuk mencari keuntungan bagi dirinya
sendiri, melainkan untuk pengabdian kepada masyarakat. Ini berarti
profesi tidak boleh sampai merugikan, merusak atau menimbulkan
kerugian bagi orang dan masyarakat. Sebaliknya profesi itu harus
berusaha menimbulkan kebaikan, keberuntungan dan kesempurnaan serta
kesejahteraan bagi masyarakat. Ini berarti seorang tenaga kesehatan harus
lebih mengutamakan kepentingan masyarakat untuk meningkatkan
produktifitas fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Prinsip-Prinsip Etika Profesi
a. Tanggung jawab. Setiap orang yang mempunyai profesi diharapkan
selalu bertanggungjawab dalam dua arah:
1) Dalam pelaksanaan pekerjaanya tersebut dan dalam pelaksanaan
hasilnya dimaksudkan supaya kaum professional diharapkan
dapat bekerja sebaik mungkin dengan standar diatas rata-rata,
dengan hasil yang sangat baik. Tugasnya dapat dipertanggung
jawabkan dari segi tuntutan profesionalnya. Untuk bisa
bertanggungjawab dalam hal pelaksanaan dan hasil dari
tugasnya. Oleh karena itu supaya diterapkan dalam kompetisi
prima, bekerja secara efisien dan efektif.
2) Dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada umumnya. Setiap professional diharapkan
bertanggungjawab atas dampak dari tugasnya terhadap
profesinya, tempat bekerja, sejawat dan keluarganya.
Professional berkewajiban melakukan hal yang tidak merugikan
kepentinga orang lain. Bahkan diharuskan mengusahakan hal
yang berguna bagi orang lain.
b. Keadilan, prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa
saja apa yang menjadi haknya. Dalam rangka pelaksanaa sebuah
profesi, tuntutan itu berarti: di dalam manjelankan profesinya setiap
orang profesi tidak boleh melanggar hak orang lain, lembaga atau
negara. Sebaliknya kaum professional perlu menghargai hak pihak-
pihak lain.

Etik kedokteran yang dewasa ini merupakan suatu kode dilandaskan pada
lafal sumpah hipprocates. Hipprocates telah menyusun lafal sumpah
dokter dan dikenal sebagai lafal sumpah hipprocates, yang merupakan
dasar moral kedokteran. sumpah hipprocates telah menjadi pedoman
perilaku etik bagi dokter di seluruh dunia.( Pitono Soeparto ,2006:h.14).
Hukum kesehatan menurut anggaran dasar perhimpunan hukum
kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan
dan penerapannya.

3. Kode Etik Kedokteran


Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku dokter dalam
hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan
mitra kerja. Rumusan perilaku dokter sebagai anggota profesi disusun
oleh organisasi profesi bersama pemerintah menjadi satu kode etik
profesi yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) (MKEK, 2002
& 2012).
Etik profesi yang tertua adalah etik kedokteran yang merupakan prinsip-
prinsip moral atau asas-asas akhlak yang harus diterapkan oleh para
dokter dalam hubungannya dengan pasien sejawatnya dan masyarakat
umumnya pekerjaan profesi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional
b. pekerjaannya berlandaskan etika profesi
c. mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan
d. pekerjaannya Legal melalui perizinan
e. anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat
f. anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi
4. Landasan etik kedokteran adalah:
a. Sumpah Hipprocates (460-377 SM)
b. Deklarasi Geneva (1948)
c. International Code of Medical Ethics (1949)
d. Lafal sumpah dokter Indonesia (1960)
e. Kode etik kedokteran Indonesia ( 1983)
f. Pernyataan-pernyataan (deklarasi) Ikatan Dokter sedunia (world
medical association, WMA), yaitu antara lain:
1) Deklarasi Geneva (1948) tentang lafal sumpah dokter
2) Deklarasi Helsinki (1964) tentang riset klinik c. Deklarasi
Sydney (1968) tentang saat kematian
3) Deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas
indikasi medik
4) Deklarasi Tokyo(1975) tentang penyiksaan.
5. Kewajiban dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia terdiri dari:
1) Kewajiban Umum
a) Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter.
b) Pasal 2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan
keputusan profesional secara indipenden, dan mempertahankan
perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi.
c) Pasal 3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang
mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
d) Pasal 4. Seorang dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan
yang bersifat memuji diri.
e) Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan
pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kebaikan pasien
tersebut.
f) Pasal 6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam
mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau
pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap
hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
g) Pasal 7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan
dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
h) Pasal 8. Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan secara kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
i) Pasal 9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk
mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasiennya dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi,
atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.
j) Pasal 10. Seorang dokter wajib menghormati dan hak-hak
pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta
wajib menjaga kepercayaan pasien.
k) Pasal 11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban
dirinya melindungi hidup makhluk insani.
l) Pasal 12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib
memperhatikan keseluruhan aspek pelayanan kesehatan
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun
psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi pendidik
dan pengabdi sejati masyarakat. Pasal 13. Setiap dokter dalam
bekerja sama dengan para pejabat lintas sektoral di bidang
kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati.
2) Kewajiban dokter terhadap pasien
a) Pasal 14. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan seluruh keilmuan dan keterampilannya untk
kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan
pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian untuk itu.
b) Pasal 15. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan
pasiennya agar senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga
dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan atau
penyelesaian masalah pribadi lainnya.
c) Pasal 16. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia.
d) Pasal 17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.
3) Kewajiban dokter terhadap teman sejawat
a) Pasal 18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan
b) Pasal 19. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari
teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau
berdasarkan prosedur yang etis
4) Kewajiban dokter terhadap diri sendiri
a) Pasal 20. Setiap dokter wajib memelihara kesehatanya, supaya
dapat bekerja dengan baik.
b) Pasal 17. Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.
Selain memiliki kewajiban dan tanggung jawab, dokter juga memiliki
hak-hak yang dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan, hukum,
dan personal individu sebagai manusia. Adapun hak-haknya tersebut
diatur antara lain dalam Undang-undang Praktik Kedokteran, yaitu:
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur; memberikan pelayanan
medis menurut standar prosedur; memperoleh informasi lengkap dan
jujur dari pasien atau keluarganya, dan menerima imbalan jasa. Hak
dokter sebagai pengembang profesi adalah: hak memperoleh informasi
yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan
digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik; hak atas
imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya
kepada pasien; hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam
melaksanakan transaksi terapeutik ; hak membela diri terhadap tuntutan
atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya; hak
untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau
keluarganya.

VI. Kerangka Konsep


VII. Kesimpulan
Dokter A selaku dokter penanggung jawab Ny. B pada kasus TB-MDR
telah menerapkan kaidah dasar bioetik (Non-maleficent, Beneficence,
Autonomy, dan Justice) dalam memberikan layanan kedokteran sebagai
seorang dokter yang profesional serta dilakukan kerjasama lintas sektor
untuk mengendalikan penyakit TB yang menular.

DAFTAR PUSTAKA
BPJS Kesehatan. Panduan Praktik Pelayanan Kesehatan.
Ebbesen M. 2016. Bioethics across Cultures – Philosophical and Empirical
Justification of the Four Principles of Biomedical Ethics. J Clin Res
Bioeth; 7: 1-3
Lawrence DJ. 2007. The Four Principles of Biomedical Ethics: A Foundation for
Current Bioethical Debate. J Chiropr Humanit ;14:34-40
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang
Penanggulangan Penyakit Menular
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesa Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis.
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 7 Tahun 2019
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Kinerja
pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Shahid Athar S. 2011. Principles of Biomedical Ethics. JIMA;43 :140-143

Anda mungkin juga menyukai