BLOK 28
Disusun Oleh:
Kelompok B6
Tutor: dr. Medina A, Sp(K)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
Laporan Tutorial Skenario B Blok 28 Tahun 2021 dengan baik. Laporan ini
bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan laporan ini, penulis sangat
mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun ke arah
perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Cukup banyak kesulitan yang penulis
temui dalam penulisan laporan ini, tetapi penulis menyelesaikannya dengan cukup
baik.
Tim Penyusun
Kelompok B6
DAFTAR ISI
Daftar Isi
KATA PENGANTAR........................................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................
KEGIATAN DISKUSI.......................................................................................................................
I. Klarifikasi Istilah.................................................................................................................
V. Sintesis.................................................................................................................................
VII. Kesimpulan.........................................................................................................................
Ny. B, usia 40 tahun, mempunyai suami dan 4 orang anak dengan anak
terkecil berusia 4 tahun, dan sudah memakai kontrasepsi susuk, peserta BPJS
yang ditanggung pemerintah berobat ke poliklinik Puskesmas (dr A) yang bekerja
sama dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan), keluhan batuk
berdahak dan sesak nafas. Dari rekam medik didapatkan satu tahun yang lalu Ny.
B menderita tuberculosis dan diterapi dengan paket “multidrugs” sesuai standar.
Obat yang diberikan tidak dikonsumsi sesuai aturan dan masih tersisa. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 X/menit,
Pernafasan 30x permenit, suhu 37,6 C. Pada pemeriksaan paru terdapat ronchi
seluruh lapangan paru. Dr. A membuat kesimpulan Ny B harus dirujuk ke rumah
sakit (FKTL= Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut),), karena sesak nafas dan
kemungkinan sudah multi drugs resistance (MDR). Pada mulanya Ny. B dan
suaminya tidak bersedia untuk di rujuk ke Rumah sakit karena anaknya masih
kecil dan hanya minta obat yang sama saja. Dr. A memberikan penjelasan bahwa
penyakit tuberkulosisinya kemungkinan sudah resistance terhadap paket obat
sebelumnya dan risiko untuk menularkan kepada keluarga sangatlah tinggi.
Sementara itu Dr. A dan staf melakukan kunjungan sehat ke kediaman Ny.
B untuk melihat bagaimana kondisi tempat tinggalnya dan keluarganya yang lain.
Pengamatan Dr.A kediaman Tn B kurang layak huni dan pada pemeriksaan
keluarga ini kemungkin sudah tertular penyakit yang sama. Dr. A minta kepada
semua keluarga untuk diperiksa lebih lanjut (pemeriksaan sputum/gen expert) di
klinik Puskesmas.
Pada pemeriksaan semua keluaga Ny. B didapatkan dua anaknya juga
terinfeksi tuberculosis. Dr. A memberikan pengobatan kepada keduanya dengan
paket obat TBC juga diberikan penjelasan tentang pola hidup sehat untuk
memutus mata rantai TBC ini. Dr. A juga berkolaborasi dengan dinas terkait
untuk juga membedah rumah Ny. B supaya bisa layak huni dan sehat.
I. Klarifikasi Istilah
1. Rekam medik: Dalam kedokteran atau kedokteran gigi, catatan tertulis
kronologis yang mencakup keluhan awal pasien dan riwayat medis,
temuan fisik, hasil tes dan prosedur diagnostik, obat atau prosedur
terapeutik apa pun, dan perkembangan selanjutnya selama perjalanan
penyakit (Farlex Medical Dictionary).
2. Tuberkulosis: Penyakit menular yang sangat bervariasi pada manusia
dan beberapa vertebrata lain yang disebabkan oleh tubercle bacillus
dan jarang di AS oleh mikobakteri terkait (Mycobacterium bovis),
yang mempengaruhi terutama paru- paru tetapi dapat menyebar ke
area lain (seperti ginjal atau tulang belakang), dan ditandai dengan
demam, batuk, kesulitan bernapas, pembentukan tuberkel, kaseasi,
efusi pleura, dan fibrosis (Merriam Webster).
3. Kontrasepsi susuk: Alat kontrasepsi yang dipasangkan yang
dipasangkan di bawah kulit lengan atas yang berbentuk kapsul silastik
yang lentur dimana di dalam setiap kapsul berisi hormon
levernorgestril yang dapat mencegah terjadinya kehamilan. (Jurnal
Poltekkes Denpasar).
4. FKTL: Pelayanan kesehatan yang melibatkan pemeriksaan ataupun
tindakan spesialis / sub spesialis sesuai dengan indikasi medis
(pelayanan kesehtaan BPJS)
5. Multi Drugs Resistance: Suatu keadaan dimana bakteri
resistenterhadap minimal tiga jenis antibiotik. (Jurnal fk unpad).
6. Gen expert: Alat diagnostik baru yang dapat mendiagnosis TB dengan
akurasi tinggi dan menilai resistensi rifampisin dalam waktu 2 jam.
(Jurnal UGM).
7. Rumah layak huni: Rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan
bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan
penghuni. (Penjelasan pasal 24a UU nomor 1 tahun 2011 tentang
perumahan dan kawasan permukiman)
8. Ruang isolasi dengan tekanan negatif: Ruangan untuk penempatan
bagi pasien dengan penyakitinfeksi yang menular agar tidak menular
kepada pasien lain, petugas dan pengunjung yang bertujuan untuk
mengurangi penularan penyakit lewat udara (Kemenkes).
9. Pola hidup sehat: sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar
kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang,
keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya
sendiri(mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat (Permenkes
RI2269/MENKES/PER/XI/2011).
10. Panduan praktek klinik (PPK): Prosedur yang dilaksanakan oleh
sekelompok profesi yang mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) yang dibuat oleh oraganisasi profesi dan disahkan
oleh pimpinan rumah sakit (Permenkes RI, 2014).
11. BPJS: Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. (Ebook seputar BPJS Kesehatan).
12. Paket multidrugs sesuai standar: Paduan OAT yang digunakan di
Indonesia. Paduan yang digunakan adalah :
1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E
3) Kategori Anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT
lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin,
Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta
OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol (PMK No. 67 tentang
penanggulangan tuberkulosis).
13. Puskesmas: Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes No. 75 Tahun
2014).
V. Sintesis
A. TB-MDR
1. Pengertian TB-MDR
Tuberculosa Multi Drug Resistant (TB-MDR) didefinisikan sebagi
resistensi Mycobacterium Tuberculosis terhadap agen Obat Anti TB
(OAT) tanpa atau dengan lini pertama, yaitu Rifampisin (R) dan
Isoniazide (H) dimana kedua obat tersebut sangat penting pada
pengobatan TB yang telah diterapkan pada strategi DOTS (Kementerian
Kesehatan, 2013).
Kategori resistensi terhadap OAT secara umum dibagi menjadi:
a. Monoresistant : resistan terhadap salah satu OAT, misal resistan
terhadap Isoniazide.
b. Polyresistant: resistan terhadap lebih dari salah satu OAT, selain
kombinasi Isoniazide dan Rifampisin, misal resistan Isoniazide (H)
dan ethambutol, Rifampisin (R), Ethambutol, Isoniazide (H),
Ehambutol, Streptomisin(S), Rifampisin (R) Ethambutol dan
Streptomisin (S) .
c. Multidrug Resistant : resistant terhadap Isoniazide (H) dan
Rifampisin (R), dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya. Misal,
resistant HR, HRE, HRES.
d. Extensively Drug Resistant yaitu TB-MDR yang disertai resistensi
terhadap salah satu obat golongan Fluorokinolon dan salah satu dari
obat Injeksi lini kedua yaitu Kapreomisin (CM), Kanamisin (Km)
dan Amikasin (Am).
e. TB Resistant Rifampisisn yaitu resistan terhadap Rifampisin
(monoresisten, polyresistan, TB-MDR, TB-XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa
resisten OAT lainnya (Kementerian Kesehatan, 2013).
Kategori resistan TB secara klinis dibagi menjadi:
a. Resistensi primer yaitu penderita sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1
bulan.
b. Resistensi inisial yaitu bila penderita tidak diketahui secara pasti
apakah sebelumnya sudah pernah mendapat pengobatan OAT atau
belum.
c. Resistensi Sekunder yaitu apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan. (Soepandi, 2010).
2. Mekanisme Resistensi
Mycobacterium tuberculosis memiliki karakteristik pertumbuhan yang
lambat, dorman, memiliki komponen dinding sel yang kompleks,
merupakan organisme intraseluler serta memiliki homogenitas genetik.
Resistensi alamiah terhadap banyak antibiotika merupakan salah satu
keunikan yang dimiliki oleh M. tuberculosis. Resistensi ini terjadi akibat
adanya dinding sel yang sangat hidrofobik dan berperan sebagai barrier
permeabilitas. Mycobacterium tuberculosis (Mtb) memiliki kemampuan
untuk mengembangkan resistensi secara alamiah terhadap berbagai
antibiotika. Mtb mengembangkan mekanisme resistensi yang berbeda
dengan bakteri lain pada umumnya. Resistensi hanya akan
menguntungkan bakteri pada saat terpapar dengan obat target. Pada
paparan OAT yang tidak adekuat, bakteri yang sensitif akan mati dan
bermutasi kemudian akan berkembang biak dengan pesat tanpa adanya
persaingan yang berarti dalam hal nutrisi.
Macam- macam mekanisme resistensi OAT:
a. Mekanisme resistensi terhadap Isoniazide (H)
Isoniazid direkomendasikan untuk terapi tuberkulosis sejak tahun
1952, dan masih dipertahankan hingga sekarang. Isoniazide aktif
terhadap M.tuberculosis, M. bovis dan M.kansasii, bersifat
bakterisidal pada basil yang aktif dan bakteriostatik pada kuman
yang metabolismenya tidak aktif. Isoniazide masuk ke dalam sel M.
tuberculosis dalam bentuk pro-drug, bahan yang belum aktif sebagai
obat.
b. Mekanisme resistensi terhadap Rifampisin (R)
Rifampisin merupakan obat yang paling poten dan memiliki
spektrum luas yang dimiliki dari sekian jenis OAT, serta dapat
berdiffusi ke dalam jaringan, sel manusia ataupun bakteri sehingga
sangat efektif. Sebagian besar isolat klinis M. tuberculosis (Mtb)
yang resisten terhadap rifampisin terjadi mutasi yang menyebabkan
menyebabkan terjadinya penurunan afinitas terhadap rifampisin.
c. Mekanisme resistensi terhadap Etambutol
Resistensi etambutol pada Mtb paling sering dikaitkan dengan
mutasi pada gen, mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang
resisten.
d. Mekanisme resistensi terhadap Pirazinamid
Pirazinamid merupakan analog nikotinamide yang pertama kali
sebagai antituberkulosis pada tahun 1952. Pirazinamid bertanggung
jawab untuk membunuh kuman Mtb yang semi dorman yang tidak
mampu dibunuh oleh obat antituberkulosis lainnya. Aktivitas
pirazinamid spesifik untuk kuman mikobakterium tuberkulosis dan
tidak memiliki efek terhadap mikobakterium lainnya. Target utama
dari pirazinamid adalah enzim yang berperan dalam sintesis asam
lemak. Pirazinamid merupakan pro drug yang harus dikonversi
menjadi bentuk aktifnya sehingga menyebabkan terganggunya
sintesis lemak dan piraziname tidak dapat menjadi bentuk aktif.
Apabila Pirazinamide tidak dapat berubah menjadi bentuk aktif
maka sintesis asam lemak tidak terganggu dan menyebabkan
resistensi Mtb terhadap Pirazinamide.
e. Mekanisme resistensi terhadap Streptomisin (S)
Proses resistensi pada streptomisin karena terjadinya mutasi gen
dengan target utama dari kerja streptomisin adalah mekanisme pada
tingkat ribosom. Streptomisin akan berinteraksi dengan ribosom
yang akan menyebabkan terjadinya perubahan pada ribosom dan
menyebabkan terjadinya misreading pada mRNA(messenger
Ribonucleat Acid) maka terjadi resistensi terhadap streptomisin.
(Nofriyanda, 2010).
3. Penatalaksanaan TB-MDR
Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit ditempuh
dengan waktu 18 bulan setelah terjadi konversi biakan. Pengobatan
dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap awal yang meliputi tahap
pengobatan dengan menggunakan obat suntikan (Kanamisin atau
Kapreomisin) yang dberikan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4
bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap berikutnya yakni tahap
pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan pemberian
suntikan dihentikan. Bulan disini yang dimaksud adalah 4minggu.
Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan diawasi oleh Pengawas Minum Obat (PMO) yang telah
ditunjuk, PMO disini yang dimaksud adalah tenaga kesehatan atau kader
kesehatan yang telah dilatih. Pemberian obat suntik harus diberikan oleh
petugas kesehatan.
Penatalaksaan terapi pada TB-MDR di tahap awal berupa suntikan yang
diberikan 5hari seminggu (senin-jumat), obat per oral ditelan 7 hari
(setiap hari, senin-minggu) didepan PMO. Penatalaksanaan pada tahap
lanjutan berupa obat per oral ditelan selama 6 hari dalam seminggu
(senin-sabtu, minggu tidak minumm obat) didepan PMO. Tahap lanjutan
tidak mendapat terapi suntikan. Cara menentukan lama pengobatan
yakni:
a. Tahap awal Lama pengobatan adalah "a + 4 bulan", a disini yang
dimaksud adalah bulan pertama tercapai konversi biakan. Lama
tahap awal minimum 6 bulan. Bila hasil biakan di bulan ke-8 pasien
tidak konversi maka pengobatan dinyatakan gagal.
b. Tahap lanjutan Lama pengobatan lanjutan adalah total lama
pengobatan dikurangi lama pengobatan tahap awal dimana total lama
pengobatan adalah "a + 18 bulan", a disini yang dimaksud adalah
bulan pertama tercapai konversi biakan (Kementerian Kesehatan,
2013)
4. Efek Samping Pengobatan TB-MDR
Pengobatan TB-MDR mempunyai efek samping sebagai berikut
(Kementerian Kesehatan RI, 2013):
B. Bioetika Kedokteran
1. Pengertian
Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran
membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan
permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan. Etika kedokteran
berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran saja, terutama
hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman
sejawat. Oleh karena itu, sejak tiga dekade terakhir ini telah
dikembangkan bioetika atau yang disebut juga dengan etika biomedis.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran,
tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa
sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa
yang akan datang.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di
bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro,
masa kini dan masa mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial,
agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika selain
membicarakan bidang medis, seperti abortus, euthanasia, transplantasi
organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik, membahas pula
masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup
kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional,
lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi
perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia
dan hewan percobaan.
Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh Institude for the Study
of Society, Ethics and Life Sciences, Hasting Center, New York pada
tahun 1969. Kini terdapat berbagai isu etika biomedik.
Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir
yang dipelopori oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya
Jakarta. Perkembangan ini sangat menonjol setelah universitas Gajah
Mada Yogyakarta yang melaksanakan pertemuan Bioethics 2000; An
International Exchange dan Pertemuan Nasional I Bioetika dan
Humaniora pada bulan Agustus 2000. Pada waktu itu, Universitas Gajah
Mada juga mendirikan center for Bioethics and Medical humanities.
Dengan terselenggaranya Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora
pada tahun 2002 di Bandung, Pertemuan III pada tahun 2004 di Jakarta,
dan Pertemuan IV tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknya
Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) tahun
2002, diharapkan studi bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas
di seluruh Indonesia pada masa datang.
Humaniora merupakan pemikiran yang beraitan dengan martabat dan
kodrat manusia, seperti yang terdapat dalam sejarah, filsafat, etika,
agama, bahasa, dan sastra.
2. Perkembangan Etika
Etika kedokteran atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan istilah
Bioetika yang sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Setiap waktu
diulas, dibahas dan dikembangkan sampai kepada pengertian yang kita
anut sekarang ini. Semuanya ini dilakukan agar profesi kedokteran selalu
siap untuk menjawab tantangan jaman. Perkembangan ini akan terus
berlanjut, sesuai dengan berkembangnya bio-teknologi, khususnya
teknologi biomedis, dan perkembangan masyarakat. Karena itu kita harus
selalu memberi makna dan pengertian yang “up-to-date” mengenai
Bioetika ini. Untuk itu kita perlu mengkaji ulang paradigma-paradigma
yang berkaitan dengan Bioetika dan mempelajari isu-isu yang
berkembang, baik di masya-rakat umum, maupun di kalangan kedokteran
sendiri.
Etika terdiri dari dua jenis, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika
umum membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak dalam
mengambil keputusan etis. Penilaiannya adalah prinsip moral, yaitu baik
dan buruk. Sementara etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip
dasar dalam bidang khusus atau disebut etika terapan, misalnya etika
kedokteran, etika kefarmasian, etika keperawatan dan lain-lain.
Seseorang dikatakan bahagia bila ia telah memiliki seluruh tatanan
moral. Tatanan moral tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: yang
pertama Logika, dimana dasarnya pikiran, tujuannya kebenaran, nilainya
benar-salah, hasilnya ilmu. Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Secara
filsafati jiwa terdiri dari unsur akal (intellect), rasa (emotion), dan
kehendak (will). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
hidup lain. Akal akan berusaha untuk mendapatkan kebenaran yang
paling dalam (the truth), dan dari sini akal manusia terus berkembang
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang kedua Etika, dimana dasarnya kehendak, tujuannya kebaikan,
nilainya baikburuk, hasilnya keserasian. Unsur ‘kehendak’ selalu
mencapai kebaikan (goodness) didalam tata kehidupan. Yang ketiga
Etiket (Etiquette), dimana dasarnya kehormatan, nilainya sopantidak
sopan, hasilnya tata krama. Yang keempat Estetika, dimana dasarnya
perasaan (feeling), tujuannya keindahan, hasil ciptaannya seni (art).
Unsur ‘rasa’ manusia selalu ingin mencari keindahan yang paling dalam
(the beauty), dari sini berkembang rasa estetika manusia. Dalam
kenyataannya unsur akal, rasa dan kehendak tersebut saling mendukung
dan saling mempengaruhi dalam setiap tindakan manusia.
Meskipun sebagai objek material, etik mempelajari manusia, tetapi objek
formal yang dipelajari adalah tindakan atau perilaku manusia. Sehingga
etik tidak dapat dipisahkan dengan beberapa istilah lain yang mirip-mirip
dengan etik yaitu adab, akhlak, susila, etiket dan moral.
Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat akses informasi yang
beredar seolah tak terbendung. Masyarakat semakin cerdas dalam
menentukan pilihan, yang salah satunya adalah pilihan dalam urusan
kesehatan. Dengan akses informasi yang tak terbatas inilah, masyarakat
semakin diperdalam pengetahuannya dalam bidang kesehatan, terutama
mengenai hak hak yang wajib mereka dapat dan bahkan mengenai
penyakit yang mereka derita.
Seorang dokter yang baik tentu harus memperhatikan hal tersebut, agar
bisa mengimbangi pasien yang datang untuk berobat padanya.
Penerapan kaidah bioetik merupakan sebuah keharusan bagi seorang
dokter yang berkecimpung didalam dunia medis, karena kaidah bioetik
adalah sebuah panduan dasar dan standar, tentang bagaimana seorang
dokter harus bersikap atau bertindak terhadap suatu persoalan atau kasus
yang dihadapi oleh pasiennya.
Kaidah bioetik harus dipegang teguh oleh seorang dokter dalam proses
pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak mempunyai
ikatan lagi dengan dokter yang bersangkutan.
- Mengutamakan alturisme
- Memandang pasien atau keluarga bukanlah tindakan tidak
hanya menguntungkan seorang dokter
- Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan suatu keburukannya
- Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
- Memaksimalkan hak-hak pasien secara keseluruhan
- Menerapkan Golden Rule Principe, yaitu melakukan hal
yang baik seperti yang orang lain inginkan
- Memberi suatu resep
b. Non-malficence
Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang
membahayakan atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”. Prinsip
ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan
“saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit
berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya tidak akan
pernah menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan
mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang
kedokteran terutama kasus kontroversial terkait dengan kasus
penyakit terminal, penyakit serius dan luka serius. Prinsip ini
memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan untuk
mempertahankan atau mengakhiri kehidupan. Penerapannya dapat
dilakukan pada pasien yang kompeten maupun tidak kompeten.
Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang
kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk menerima
atau menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang
manfaat dan hambatannya dalam situasi atau kondisi tertentu.
Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai
satu kesatuan dengan prinsip beneficence (mengutamakan
tindakan untuk kebaikan pasien). Namun, banyak juga yang
membedakannya. Pertimbangannya antara lain pemikiran bahwa
kewajiban untuk tidak membahayakan atau mencelakakan pasien,
tentu berbeda dengan kewajiban untuk membantu pasien,
walaupun keduanya untuk kebaikan pasien.
Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
- Menolong pasien emergensi
- Mengobati pasien yang luka
- Tidak membunuh pasien
- Tidak memandang pasien sebagai objek
- Melindungi pasien dari serangan
- Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
- Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
- Tidak melakukan White Collar Crime
c. Justice
Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya
adalah memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat
sesuai dengan haknya. Situasi yang adil adalah seseorang
mendapatkan mendapatkan manfaat atau beban sesuai dengan hak
atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah tindakan yang salah
atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada seseorang yang
memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama. Prinsip
justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa
(pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali
melabihi batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan
dalam pengambilan keputusan tersebut.
Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice, antara
lain:
1) Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)
2) Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)
3) Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)
4) Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)
5) Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya
(merit)
6) Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-
market exchange)
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter
memperlakukan sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan
dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi,
pandangan politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan
sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat mengubah
sikap dokter terhadap pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri:
- Memberlakukan segala sesuatu secara universal
- Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia
lakukan
- Menghargai hak sehat pasien
- Menghargai hak hukum pasien
d. Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang
berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau
pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan
suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri
atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan
pada suatu kondisi individu yang maknanya bermacam-macam
seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi,
kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama
otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri
sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain
maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang
benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang
yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan
oleh orang lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai
dengan hasrat dan rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi.
Meskipun demikian, secara umum ada beberapa cara menerapkan
prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran. Cara-cara
tersebut antara lain:
1) Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya
(tell the truth)
2) Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of
others)
3) Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect
confidential information)
4) Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap
pasien (obtain consent for interventions with patients)
5) Membantu orang lain membuat keputusan yang penting
(when ask, help others make important decision).
Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai
kompetensi pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi
kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga
begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu
definisi kompetensi pasien yang dapat diterima adalah
”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu tugas atau
perintah”.
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia.
Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang
mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini
pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sendiri. Autonomy bermaksud menghendaki,
menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien
demi dirinya sendiri. Autonomy mempunyai ciri-ciri:
- Menghargai hak menentukan nasib sendiri
- Berterus terang menghargai privasi
- Menjaga rahasia pasien
- Melaksanakan Informed Consent
Ketentuan Umum
Kriteria rujukan :
d. Penemuan Kasus TB
Tujuan: mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai
dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan diagnosis,
menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB. Setelah
diagnosis ditetapkan dilanjutkan pengobatan yang adekuat sampai
sembuh, sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.
- Penemuan kasus TB secara aktif dan/atau masif berbasis
keluarga dan masyarakat, dapat dibantu oleh kader dari
posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Kegiatan ini dapat berupa:
a) Investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak
erat dengan pasien TB.
b) Penemuan di tempat khusus: Lapas/Rutan, tempat kerja,
asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo.
c) Penemuan di populasi berisiko: tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh
- Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif intensif di fasilitas
kesehatan dengan jejaring layanan TB melalui Public-Private
Mix (PPM), dan kolaborasi berupa kegiatan TB-HIV, TB-DM
(Diabetes Mellitus), TB-Gizi, Pendekatan Praktis Kesehatan
paru (PAL = Practical Approach to Lung health), Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa
Sakit (MTDS).
- Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
e. Penanganan Kasus TB
Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB dilakukan melalui
kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata rantai penularan
dan/atau pengobatan pasien.
Tata laksana kasus terdiri atas:
a) pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
b) pengawasan kepatuhan menelan obat;
c) pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan;
dan/atau
d) pelacakan kasus mangkir.
Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed
Treatment)
Paduan pengobatan yang dianjurkan akan menyembuhkan sebagian
besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat.
Agar hal hal tersebut tercapai, sangat penting memastikan bahwa
pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran, dengan
pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat)
untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian
pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan. Pasien bisa memilih datang ke fasyankes
terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung
kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat
diberikan secara rawat jalan.
a) Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani
dan dihormati oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan
bersamasama dengan pasien.
b) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di
Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain
lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan,
PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c) Tugas seorang PMO
1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB
yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk
segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
d) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau
kutukan.
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan
cara pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan
lanjutan).
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara
teratur
f. Pemberian Kekebalan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan
melalui imunisasi BCG terhadap bayi yang dilakukan dalam upaya
mengurangi risiko tingkat keparahan TB.
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang
berat adalah dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan
pengobatan pencegahan (profilaksis).
g. Pemberian Obat Pencegahan
Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada:
a) anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan
pasien TB aktif;
b) orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa
TB;
c) populasi tertentu lainnya.
Etik kedokteran yang dewasa ini merupakan suatu kode dilandaskan pada
lafal sumpah hipprocates. Hipprocates telah menyusun lafal sumpah
dokter dan dikenal sebagai lafal sumpah hipprocates, yang merupakan
dasar moral kedokteran. sumpah hipprocates telah menjadi pedoman
perilaku etik bagi dokter di seluruh dunia.( Pitono Soeparto ,2006:h.14).
Hukum kesehatan menurut anggaran dasar perhimpunan hukum
kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan
dan penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA
BPJS Kesehatan. Panduan Praktik Pelayanan Kesehatan.
Ebbesen M. 2016. Bioethics across Cultures – Philosophical and Empirical
Justification of the Four Principles of Biomedical Ethics. J Clin Res
Bioeth; 7: 1-3
Lawrence DJ. 2007. The Four Principles of Biomedical Ethics: A Foundation for
Current Bioethical Debate. J Chiropr Humanit ;14:34-40
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang
Penanggulangan Penyakit Menular
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesa Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis.
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 7 Tahun 2019
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Kinerja
pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Shahid Athar S. 2011. Principles of Biomedical Ethics. JIMA;43 :140-143