Laporan Kasus
Oleh
Pembimbing
2019
2
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Nabilla Oktavia Kesumadanoe, S.Ked
Odhiva Zelika Maharani , S.Ked
Zaimah Shalsabilla, S.Ked
Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 11 November – 16 Desember 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan berkat-Nya Laporan Kasus yang berjudul “Extended Spectrum
Beta Lactamase” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada Dr Agustina Br Haloho, Sp.An, Mkes atas bimbingannya
sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.
4
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................3
BAB V KESIMPULAN..............................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................3
5
BAB I
PENDAHULUAN
ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase). ESBL adalah enzim hasil mutasi
dari enzim beta-laktamse Temoneira-1 (TEM-1), Temoneira-2 (TEM-2), dan
Sulphydryl-1 (SHV-1) yang biasa ditemukan pada family Enterobacteriaceae,
yang secara normal akan memberikan resistensi pada penisilin dan sefalosforin
generasi pertama (Yusuf dkk., 2011). Enterobacteriaceae adalah kelompok
bakteri basil gram negatif yang besar dan heterogen dengan habitat alaminya di
saluran cerna manusia dan hewan (Chudlori, Kuswandi dan Indrayudha, 2012).
Famili Enterobacteriaceae memiliki banyak genus seperti Escherichia coli,
Klebsiella, Salmonella, Shigella, Enterobacter, Proteus, Serratia dan lain-lain.
Enterobacteriaceae terdiri dari 25 genus dan 110 spesies, tetapi hanya 20-25
spesies yang memiliki arti klinis, dan spesies lainnya jarang ditemukan (Slama,
2008).
Penelitian tentang ESBL yang dilakukan oleh Nazmi pada periode 2012–
2015 menemukan bahwa angka kejadian infeksi bakteri E.coli dan
K.pneumoniae ESBL secara berurutan ialah 35% dari 323 kasus dan 45% dari
69 kasus. Dibandingkan unit rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit swasta
pada tahun 2012-2015 kasus infeksi bakteri E.coli ESBL paling banyak
ditemukan pada unit rawat jalan (42%). Sebaliknya pada infeksi bakteri
K.pneumoniae ESBL banyak ditemukan pada unit rawat inap (58%) (Nazmi
dkk., 2017). Berdasarkan data di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad
Hoesin pada periode 2017, kejadian ESBL umumnya disebabkan oleh
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae ss. pneumoniae dan Klebsiella
pneumoniae ss. Ozaenae. Pada penelitian periode 2017, ESBL paling tinggi
berasal dari spesimen urin (untuk Escherichia coli) dan sputum (untuk
Klebsiella pneumoniae ss. pneumoniae) (Liana dan Patricia, 2018). Organisme
yang telah menjadi resisten terhadap antibiotik ini, jika menyebar akan
mengancam masyarakat dan menyebabkan hadirnya jenis infeksi baru yang
lebih sukar untuk diobati dan menghabiskan biaya pengobatan yang lebih
mahal. Infeksi oleh bakteri yang telah resisten juga akan memperpanjang lawa
rawat dan meningkatkan angka kematian, jika dibandingkan dengan infeksi
yang bukan disebabkan oleh bakteri resisten antibiotik. Resistensi akan
7
BAB II
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : Widy Astuti
Usia : 66 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Med Rec : 1147632
II. Anamnesis
Sejak 2 minggu yang lalu pasien mengeluh perut kembung disertai
muntah, BAB -, dan dilakukan operasi laparatomi 1 hari sebelum
masuk ICU. 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh
sesak, demam, dan batuk berdahak. Riwayat DM tidak ada, hipertensi
tidak ada dan riwayat CVD tidak ada.
III. Assesment
Neurologis
Kesadaran: Dibawah Pengaruh Obat (DPO)
Pupil: Isokor, Refleks cahaya +/+, diameter 3 mm/3mm
Kardiovaskular
Tekanan darah: 100/68 mmHg
Heart Rate: 48x/menit (dengan support norepinephrine 0,1
mc/kg/menit)
Respiratori
SIMV 12
FTot 22
PEEP 5
PS 10
I : E= 1 :2
FiO2 50%
VT 400/400 – 450 ML
SpO2 100%
Traktus Gastrointestinal
9
Traktus Genitourinari
V. Follow Up
Perawatan ICU hari ke-1, 5 November 2019, masuk jam 23.00 WIB
CVS:
AGD: FiO2 60 ph: 7.271 pCO2: 61.7 pO2: 72.9 SO2: 91.6 HCO3: 28.7
Laktat:3.7, BE: 1.6, PO2/FIO2: 121.5
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv
Morfin 10 mcg/kg/jam iv
Furosemide 2 mg/jam iv
Diet:
D5 6 x 50 ml
CVS:
GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 1263 ml (balans kumulatif -1487
11
ml)
AGD: FiO2 40.0 ph: 7.410 pCO2: 37.4 pO2: 115.9 SO2: 99 HCO3: 23.9
Laktat: 1.9, BE: -0.9, PO2/FIO2: 289.8
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv
Morfin 10 mcg/kg/jam iv
Furosemide 2 mg/jam iv
Diet:
CVS:
GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 2778 ml (balans kumulatif -4265
ml)
AGD: FiO2 50.0 ph: 7.441 pCO2: 44.3 pO2: 54.5 SO2: 88.3 HCO3: 30.4
Laktat: 1.6, BE: 6.1, PO2/FIO2: 109.1
CVS:
GUT: urin (+) >0.5 ml/kg/jam, balans – 1551 ml (balans kumulatif -5716
ml)
AGD: FiO2: 50 ph: 7.530 pCO2: 42.1 pO2: 136.0 SO2: 99.8
CVS:
GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 572 ml (balans kumulatif -6388 ml)
Alb 2.8
AGD: FiO2: 50 ph: 7.508 pCO2: 50.4 pO2: 124.3 SO2: 99.5
CVS:
Resp : on vent PS 10, FTot 14, PEEP 5, I : E 1 :2, FiO2 50%, VT 420 –
450 ML, SpO2 100%
GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 218 ml (balans kumulatif -6606 ml)
Alb 2.6
AGD: FiO2: 40 ph: 7.536 pCO2: 46.3 pO2: 130.0 SO2: 99.7
+ Hipoalbumin + Hipokalemia
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv
Morfin 10 mcg/kg/jam iv
Weaning ventilator
Koreksi KCL 32 mEq /NS 100 ml / 4 jam, lanjut KN2 500 ml / 24 jam
17
Diet:
CVS:
GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 1480 ml (balans kumulatif -8086 ml)
Ur/Cr : 49/0.74, Na/K/Cl/Ca: 148/2.9/102/9.1, bil. Tot: 0.90 Bil 2.7 Alb 2.7
AGD: FiO2: 40 ph: 7.548 pCO2: 38.4 pO2: 122.3 SO2: 99.7
2 Ciprofloxacin I 0.5
3 Gentamicin S <=1
4 Trimetrohprim/Sulfamethoxazole R >=320
5 Nitrofurantoin S 32
6 Tigecycline S <=0.5
7 Ceftriaxone R >=64
8 Amikacin S <=2
10 Aztreonam R >=64
11 Cefepime R >=64
12 Ceftazdime R 16
13 Ertapenem S <=0.5
14 Meropenem S <=0.25
15 Piperacillin / Tazobactam S 8
16 ESBL + Pos
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
Weaning ventilator
Koreksi KCL 32 mEq /NS 100 ml / 4 jam, lanjut KN2 500 ml / 24 jam
Diet:
CVS:
GUT: urin (+) <0.5 ml/kg/jam, balans +257 ml (balans kumulatif -6349
ml)
AGD: FiO2: 40 ph: 7.507 pCO2: 39.3 pO2: 122.9 SO2: 99.8
20
+ Hipoalbumin + Hipokalemia
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
Weaning ventilator
Rencana Ekstubasi
Diet:
CVS:
mcg/kg/menit iv
Resp : on vent SIMV 16, FTot 16, PEEP 8, PS 10, I : E 1 :2, FiO2 40%,
VT 400/400 – 450 ML, SpO2 100%
GUT: urin (+) 10 ml/3 jam, balans +100 ml (balans kumulatif -6249 ml)
AGD: FiO2: 40 ph: 7.472 pCO2: 33.1 pO2: 85.6 SO2: 97.5
+ Hipoalbumin + Hipokalemia
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
Dobutamin 10 mcg/kg/menit
Dobutamin 10 mcg/kg/menit
22
Diet:
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa kimia, dihasilkan oleh mikroorganisme
khususnya dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara sintetik yang
biasanya senyawa ini dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
bakteri atau mikroorganisme lainnya. Namun seiring berjalannya waktu,
satu demi satu bakteri mulai resisten terhadap pemberian antibiotik. Hal ini
menyebabkan prognosis yang buruk bagi penderita karena infeksi yang
tidak teratasi dengan cepat (Bezoen, Haren dan Hanekamp, 2000). Salah
satu antibiotika yang dipakai adalah golongan Beta-laktam yang bekerja
menghambat sintesis dinding sel (Torok, Moran dan Cooke, 2017).
Resistensi terhadap Beta-laktam dapat terjadi di berbagai tingkatan. Salah
satu resistensi dapat terjadi adalah resistensi terhadap Extended Spectrum
Beta-Lactamase (Whalen, Finkel dan Panavelil, 2015). Pada penelitian ini,
antibiotik yang ditampilkan adalah antibiotik yang diuji berdasarkan
Performance Standard for Antimicrobial Susceptibility Testing: Clinical and
Laboratory Standard Institute (CLSI) tahun 2017. Antibiotik beta-laktam
tersusun atas komponen cincin beta-laktam yang terdiri dari 4 jenis yaitu
penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan carbapenem (Michael J. Neal,
2012). Keempat kelompok ini memiliki cincin beta lactam, yang dapat
dihidrolisis oleh enzim beta lactamase. Komponen cincin beta-laktam
bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara
mengikat enzim Beta-Lactamase (Biutifasari, 2018).
2.2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologis, ESBL didapatkan di beberapa negara dengan
prevalensi berbeda-beda. ESBL pertama kali ditemukan di benua Eropa
tepatnya di Jerman pada tahun 1983 (Rupp dan Fey, 2013). Survei yang
dilakukan di Perancis menunjukkan terdapat 40% K. pneumoniae yang
mengalami resistensi terhadap ceftazidim. Hal yang berbeda ditemukan di
Belanda dengan prevalensi ESBL positif pada E.coli dan K. Pneumoniae
(Jogoboyo, 2011). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CDC (Centers
for Disease Control and Prevention) pada tahun 2013, setiap tahunnya
terjadi 26.000 infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae penghasil
ESBL dan sekitar 1.700 diantaranya meninggal dunia (Molton dkk., 2013).
Pada tahun 1983, di Jerman, suatu beta-lactamase berhasil diidentifikasi
dari isolat Klebsiella ozaenae. Enzim ini mampu menghidrolisis cefotaxime
dan ceftazidime. Penelitian ini menemukan bahwa jenis beta-lactamase ini
25
berbeda dengan SHV-1. Posisi glycine diganti oleh serine pada posisi 238.
Mutasi ini menunjukkan extended-spectrum beta-lactamase. Enzim ini
diklasifikasikan sebagai SVH-2 (Song dkk., 2007).
Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Study for Monitoring
Antimicrobial Resistance Trends (SMART) di Asia pada tahun 2007,
prevalensi E.coli dan Klebsiella spp. penghasil ESBL yang berasal dari
infeksi intra-abdominal secara berturut turut adalah 42, 27 % dan 35,8%
(Cheong dkk., 2017). Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian untuk
mengetahui prevalensi ESBL telah dilakukan meskipun belum dilakukan
secara terpusat. Penelitian yang dilakukan di RS. Ciptomangunkusumo,
Jakarta pada bulan Januari-Desember 2011, menunjukkan prevalensi ESBL
mencapai 58%, 42% pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit
(Taslim dan Maskoen, 2017). Penelitian lain yang dilakukan pada Januari
2010 sampai April 2010 di 3 rumah sakit besar di Indonesia yaitu RS. Dr.
Sutomo, Surabaya, RS. Dr. Kariadi, Semarang dan RS. Dr. Saiful Anwar,
Malang didapatkan 300 sampel yang dinyatakan positif ESBL (Hadi dkk.,
2013).
2.2.3 Klasifikasi
Menurut Bush Jacoby Medeiros, Beta-lactamase diklasifikasi menjadi
4 kelas dan beberapa subkelas. Ada banyak cara yang digunakan untuk
mengklasifikasi Beta-Lactamase, namun yang sering digunakan adalah
klasifikasi menurut Ambler molecular dan Bush Jakoby Medeiros functional
classification. Ambler membagi Beta -Lactamase ke dalam empat kelompok
utama (A - D). Dasar pembagian ini terletak pada homologi protein
(kesamaan dalam asam amino), bukan karakteristik phenotype. Serine Beta
-Lactamase adalah dasar klasifikasi Beta -Lactamase kelas A, C, dan D,
sebaliknya enzim kelas B adalah Metallo- Beta -Lactamase. Klasifikasi
Bush Jacoby Medeiros membagi grup Beta -Lactamase berdasarkan
kesamaan fungsi (substrat dan profil inhibitor). Ada empat grup utama dan
beberapa subgrup dalam sistem ini. Klasifikasi ini lebih relevan untuk
26
carbenicilin
cephamycins
Tidak Tidak - -
termasuk diketahui
d. Efflux Pumps
Berbagai macam efflux pumps dapat mengakibatkan resistensi
antimikroba pada bakteri gram-positif dan gram-negatif. Protein
transmembran membentuk saluran yang secara aktif mengeksport agen
antimikroba keluar dari sel secepat saat agen tersebut masuk kedalam sel.
Hal ini merupakan mekanisme utama resistensi terhadap tetrasiklin.
digunakan untuk skrining ESBL. Berikut adalah 2 jenis uji yang dapat
digunakan untuk skrining ESBL:
2.2.10 Sistem Skoring Italian Model Score dan Duke Model Score
Untuk memulai terapi antibiotik secara tepat waktu pada saat masuk
rumah sakit, beberapa institusi kesehatan memahami pentingnya memiliki
sebuah alat stratifikasi faktor risiko untuk mengidentifikasi pasien-pasien
yang memiliki risiko tinggi infeksi bakteri penghasil ESBL. Penelitian yang
telah dilakukan oleh Tumbarello dkk pada tahun 2011 di Itali, dengan cara
mengidentifikasi faktor-faktor risiko dengan model regresi logistic yang
kemudian diubah ke sebuah aturan yang berdasarkan nilai yang memberikan
skor untuk setiap faktor risiko. Sistem skoring ini dikenal dengan Italian
Score (Tumbarello dkk., 2011)
Klavulanat
Bakterimia Karbapenem Kuinolon
Hospital-acquired Pneumonia Karbapenem Kuinolon
Infeksi intra-abdominal Karbapenem Kuinolon ( tambah
Metronidazol)
Meningitis Meropenem Intrathecal
polymyxin B
1
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pemeriksaan kultur sputum pasien ini ditemukan adanya kuman Klebsiella
Pneumonia ssp pneumonia. Klebsiella pneumonia adalah kuman pathogen yang bersifat
oportunistik yang sering dikaitkan dengan kejadian infeksi pada pasien rawat inap.
Berdasarkan Nathisuwan dkk (2001), Kuman yang paling banyak memproduksi ESBL
adalah kuman famili Enterobacteriaceae, terutama Klebsiella pneumonia dan
Escherichia coli. Kasus ESBL di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin
pada periode 2017&2018 yang paling tinggi didapatkan secara berurutan adalah
K.pneumoniae, E.coli dan K.ozaenae (Norlaila, 2019). Hasil penelitian ini serupa
dengan penelitian-penelitian sebelumnya, ESBL di Amerika Latin, yang dilakukan oleh
SENTRY menunjukkan dari 10.000 sampel yang dikumpulkan dari 10 senter, 45%
berasal dari K. pneumonia dan 10.8% dari Escherichia coli (Bell dkk., 2007).
Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram negatif yang berbentuk batang (basil),
tergolong bakteri yang tidak dapat melakukan pergerakan (non motil). Berdasarkan
kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri fakultatif
anaerob, dan banyak ditemukan di mulut, kulit, dan saluran usus. Klebsiella
pneumoniae dapat menyebabkan pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut
yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia yang disebabkan oleh
Klebsiella pneumoniae dapat berupa pneumonia komuniti atau Community Acquired
Pneumonia (CAP). Pada kasus ini, kejadian CAP dikaitkan dengan Strain baru dari
Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan pneumonia nosokomial atau hospitality
acquired pneumonia, yang berarti penyakit pneumonia tersebut di dapatkan saat pasien
berada di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan. Klebsiella pneumoniae
umumnya menyerang orang dengan kekebalan tubuh lemah, seperti alkoholis, orang
dengan penyakit diabetes dan orang dengan penyakit kronik paru-paru (Keynan &
Rubinstein, 2007). Pada pasien ini, infeksi Klebsiella pneumonia dikaitkan dengan
faktor risiko yaitu pasien geriatri dan infeksi luka operasi.
2
Infeksi pada bakteri Gram negatif, seperti E.coli, Enterobacter spp, dan
Klebsiella pneumoniae biasa diobati dengan golongan antibiotika tertentu, seperti
antibiotika golongan penicilin (amoksisilin klavulanat, amoksisilin dan ampisilin),
aminoglikosida (gentamicin dan tobramicin), sefalosporin (ceftazidime, cefotaxime,
cefadroxil dan cefuroxime), kotrimoksazol (Sulfametoxazol /trimetropin), dan
kuinolons (ciprofloxacin dan norfloxacin) (Lubis, 2015). Antibiotik golongan
betalaktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dalam penanganan
infeksi Klebsiella pneumonia. Namun, dengan berjalannya waktu, antibiotik ini menjadi
kurang sensitif akibat dihasilkannya enzim betalaktamase oleh bakteri. Produksi enzim
betalaktamase ini merupakan mekanisme utama terjadinya resistensi bakteri terhadap
antibiotik betalaktam dengan cara menghidrolisis cincin betalaktam pada antibiotik
(Shahcheraghi, 2009).
Kejadian ESBL pada kasus ini terjadi pada ruang perawatan ICU di RSMH. Hal
ini sesuai dengan penelitian Yuwono yang menyatakan bahwa kejadian ESBL terutama
ditemukan di ICU, bangsal bedah dan tempat lain di rumah sakit. Berdasarkan
penelitian lain, kejadian ESBL berdasarkan asal ruangan rawat jalan dan rawat inap,
didapatkan rawat inap lebih tinggi dikarenakan salah satu faktor risiko infeksi adalah
penggunaan antibiotik jangka panjang, prosedur invasif, dan pemakaian kateter urin
jangka lama (Nazmi dkk., 2017).
Pilihan antibiotika yang digunakan pada pasien ini yaitu berupa meropenem
pada hari perawatan 1-ke 6 kemudian diganti dengan amikasin pada hari perawatan ke-
7. Meropenem adalah golongan antibiotik beta laktam yang masuk dalam kategori
karbapenem dengan mekanisme kerja yaitu membentuk ikatan secara kovalen dengan
penicillin-binding protein (PBP) yang berperan dalam sintesis mukopeptida di dinding
sel bakteri. Efek bakterisidal terjadi akibat inhibisi dari pertumbuhan di tingkat seluler
serta hilangnya integritas dinding sel menyebabkan lisis dari dinding sel. Meropenem
umumnya stabil terhadap mayoritas enzim betalaktamase, termasuk AmpC
betalaktamase, dan extended-spectrum beta-lactamases. Namun, resistensi terhadap
meropenem dapat terjadi ketika bakteri mengubah struktur protein binding proteins, dan
menghasilkan enzim metallo-beta-lactamases yang dapat secara cepat mendegradasi
meropenem, atau ketika permeabilitas membran bakteri berubah sebagai akibat
hilangnya spesifitas outer membrane porins (Zhannel dkk, 2007).
BAB V
KESIMPULAN