Anda di halaman 1dari 42

1

Laporan Kasus

EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE

Oleh

Nabilla Oktavia Kesumadanoe, S.Ked 04084821921141

Odhiva Zelika Maharani , S.Ked 04084821921099

Zaimah Shalsabilla, S.Ked 04084821921036

Pembimbing

dr.Agustina Br Haloho, Sp.An, MKes

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
2

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus


Extended Spectrum Beta Lactamase

Oleh:
Nabilla Oktavia Kesumadanoe, S.Ked
Odhiva Zelika Maharani , S.Ked
Zaimah Shalsabilla, S.Ked

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 11 November – 16 Desember 2019

Palembang, Desember 2019

Dr Agustina Br Haloho, Sp.An, MKes


3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan berkat-Nya Laporan Kasus yang berjudul “Extended Spectrum
Beta Lactamase” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada Dr Agustina Br Haloho, Sp.An, Mkes atas bimbingannya
sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.
4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................ii

KATA PENGANTAR ...............................................................................................iii

DAFTAR ISI ..............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1

BAB II STATUS PASIEN ..........................................................................................3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................

BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................3

BAB V KESIMPULAN..............................................................................................3

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................3
5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting khususnya
dinegara berkembang, masih merupakan penyakit infeksi. Obat andalan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain antijamur,
antiprotozoal, antibakteri/antibiotik, dan antivirus. Antibiotik merupakan obat
yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara
tidak irasional khususnya untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak
memerlukan antibiotik (Kemenkes, 2016). Sejak antibiotik pertama kali
ditemukan oleh Paul Erhlich pada tahun 1910, antibiotik telah mengalami
perkembangan yang pesat dalam jenis dan kekuatan untuk membunuh bakteri.
Antibiotika merupakan substansi antibakterial yang dihasilkan oleh berbagai
spesies mikroorganisme (bakteri, fungi dan actinomycetes) yang menekan
pertumbuhan mikroorganisme lain. Resistensi antibiotik merupakan
kemampuan bakteri yang meningkat dalam menghindar dari antibiotik yang
diberikan. Hal ini menyebabkan bakteri tersebut tidak responsif terhadap
antibiotik yang diberikan. Resistensi terhadap antibiotik adalah salah satu
masalah yang telah cukup lama diketahui mengancam kesehatan masyarakat.
Multiple Drug Resistand Organism (MDRO) merupakan
mikroorganisme, umumnya bakteri yang resisten terhadap satu kelas atau lebih
agen antimikroba. Walaupun nama-nama dari MDRO tertentu mendeskripsikan
resistensi hanya pada satu agen (misal. Methichilin Resistance Staphylococcus
Aureus/MRSA, Vancomycin Resistent Enterococcus/VRE), pathogen-patogen
ini seringkali resisten terhadap antimikroba lain yang sering digunakan. Selain
MRSA dan VRE, contoh MDRO lainnya yaitu mikroorganisme penghasil
6

ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase). ESBL adalah enzim hasil mutasi
dari enzim beta-laktamse Temoneira-1 (TEM-1), Temoneira-2 (TEM-2), dan
Sulphydryl-1 (SHV-1) yang biasa ditemukan pada family Enterobacteriaceae,
yang secara normal akan memberikan resistensi pada penisilin dan sefalosforin
generasi pertama (Yusuf dkk., 2011). Enterobacteriaceae adalah kelompok
bakteri basil gram negatif yang besar dan heterogen dengan habitat alaminya di
saluran cerna manusia dan hewan (Chudlori, Kuswandi dan Indrayudha, 2012).
Famili Enterobacteriaceae memiliki banyak genus seperti Escherichia coli,
Klebsiella, Salmonella, Shigella, Enterobacter, Proteus, Serratia dan lain-lain.
Enterobacteriaceae terdiri dari 25 genus dan 110 spesies, tetapi hanya 20-25
spesies yang memiliki arti klinis, dan spesies lainnya jarang ditemukan (Slama,
2008).
Penelitian tentang ESBL yang dilakukan oleh Nazmi pada periode 2012–
2015 menemukan bahwa angka kejadian infeksi bakteri E.coli dan
K.pneumoniae ESBL secara berurutan ialah 35% dari 323 kasus dan 45% dari
69 kasus. Dibandingkan unit rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit swasta
pada tahun 2012-2015 kasus infeksi bakteri E.coli ESBL paling banyak
ditemukan pada unit rawat jalan (42%). Sebaliknya pada infeksi bakteri
K.pneumoniae ESBL banyak ditemukan pada unit rawat inap (58%) (Nazmi
dkk., 2017). Berdasarkan data di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad
Hoesin pada periode 2017, kejadian ESBL umumnya disebabkan oleh
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae ss. pneumoniae dan Klebsiella
pneumoniae ss. Ozaenae. Pada penelitian periode 2017, ESBL paling tinggi
berasal dari spesimen urin (untuk Escherichia coli) dan sputum (untuk
Klebsiella pneumoniae ss. pneumoniae) (Liana dan Patricia, 2018). Organisme
yang telah menjadi resisten terhadap antibiotik ini, jika menyebar akan
mengancam masyarakat dan menyebabkan hadirnya jenis infeksi baru yang
lebih sukar untuk diobati dan menghabiskan biaya pengobatan yang lebih
mahal. Infeksi oleh bakteri yang telah resisten juga akan memperpanjang lawa
rawat dan meningkatkan angka kematian, jika dibandingkan dengan infeksi
yang bukan disebabkan oleh bakteri resisten antibiotik. Resistensi akan
7

menyebabkan kesulitan dalam pemelihan antibiotic yang tepat karena


ketidakefektifan antibiotika lini pertama sehingga dibutuhkan antibiotika lini
kedua yang lebih sering menyebabkan efek samping, biaya yang lebih mahal
serta toksisitas yang lebih tinggi.
8

BAB II
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Widy Astuti
Usia : 66 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Med Rec : 1147632

II. Anamnesis
Sejak 2 minggu yang lalu pasien mengeluh perut kembung disertai
muntah, BAB -, dan dilakukan operasi laparatomi 1 hari sebelum
masuk ICU. 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh
sesak, demam, dan batuk berdahak. Riwayat DM tidak ada, hipertensi
tidak ada dan riwayat CVD tidak ada.

III. Assesment
Neurologis
 Kesadaran: Dibawah Pengaruh Obat (DPO)
 Pupil: Isokor, Refleks cahaya +/+, diameter 3 mm/3mm

Kardiovaskular
 Tekanan darah: 100/68 mmHg
 Heart Rate: 48x/menit (dengan support norepinephrine 0,1
mc/kg/menit)

Respiratori
 SIMV 12
 FTot 22
 PEEP 5
 PS 10
 I : E= 1 :2
 FiO2 50%
 VT 400/400 – 450 ML
 SpO2 100%

Traktus Gastrointestinal
9

 Inspeksi: Distensi (+)


 NGT (+) Residu + Cairan hijau

Traktus Genitourinari

 Volume urin: 0,5 ml/kg/jam


IV. Diagnosis
Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP
+ Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden.

V. Follow Up
Perawatan ICU hari ke-1, 5 November 2019, masuk jam 23.00 WIB

S Tidak dapat dinilai

O CNS: DPO pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 113/76 mmHg


• HR: 115 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.3
mcg/kg/m
Resp : on vent SIMV 16, FTot 22, PEEP 5, PS 10, I : E 1 :2, FiO2 50%,
VT 400/400 – 450 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi +

GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam

Lab: 15.1/48/27.190/534.000 D/C: -

Ur/Cr: 47/0.79, Na/K/Cl/Ca: 151/3.7/111/6.8, Bil. Tot: 0.50 Alb 2.3

AGD: FiO2 60 ph: 7.271 pCO2: 61.7 pO2: 72.9 SO2: 91.6 HCO3: 28.7
Laktat:3.7, BE: 1.6, PO2/FIO2: 121.5

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden +
Hipoalbumin + Hipokalemia + Hipocalcemia
10

P Meropenem 1 gr / 8 jam iv (E1)

Metronidazole 500 mg/8 jam (E1)

Omeperazol 40 mg / 24 jam iv

N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv

Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv

Morfin 10 mcg/kg/jam iv

Dexmedetomidin 0.3 mcg/kg/jam

Furosemide 2 mg/jam iv

Evaluasi tanda-tanda vital

Nebulisasi dan suction berkala

Diet:

D5 6 x 50 ml

Perwatan ICU hari ke-2 (6 November 2019)

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E3M5VT pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 130/80 mmHg


• HR: 125 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.3
mcg/kg/m
Resp : on vent SIMV 16, FTot 22, PEEP 8, PS 10, I : E 1 :2, FiO2 60%,
VT 400/400 – 450 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB +

GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 1263 ml (balans kumulatif -1487
11

ml)

Lab: 13.0/40/20.300/453.000 D/C: -

Ur/Cr: 66/1.20, Na/K/Cl/Ca: 150/3/113/7.3, Bil. Tot: - Alb 2.4

AGD: FiO2 40.0 ph: 7.410 pCO2: 37.4 pO2: 115.9 SO2: 99 HCO3: 23.9
Laktat: 1.9, BE: -0.9, PO2/FIO2: 289.8

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden +
Hipoalbumin + Hipokalemia + Hipocalcemia

P Meropenem 1 gr / 8 jam iv (E2)

Metronidazole 500 mg/8 jam (E2)

Omeperazol 40 mg / 24 jam iv

N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv

Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv

Morfin 10 mcg/kg/jam iv

Dexmedetomidin 0.3 mcg/kg/jam

Furosemide 2 mg/jam iv

Ca gluconas 2 gr / 24 jam iv,

KCL 25 mEq /NaCl 500/ 4 jam iv

Albumin 25%/24 jam iv.

Evaluasi tanda-tanda vital

Nebulisasi dan suction berkala

Diet:

Diet cair tinggi protein 6 x 100 kkal

Perawatan ICU hari ke-3 (7 November 2019)


12

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E3M5VT pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 116/74 mmHg


• HR: 128 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.3
mcg/kg/m
Resp : on vent SIMV 16, FTot 16, PEEP 8, PS 10, I : E 1 :2, FiO2 60%,
VT 400/400 – 450 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB +

GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 2778 ml (balans kumulatif -4265
ml)

Lab: 9.6/29/13.620/334.000 D/C: -

Ur/Cr: 58/0.95, Na/K/Cl/Ca: 149/2.4/110/8.1, Bil. Tot: 0.60 Alb 2.5

AGD: FiO2 50.0 ph: 7.441 pCO2: 44.3 pO2: 54.5 SO2: 88.3 HCO3: 30.4
Laktat: 1.6, BE: 6.1, PO2/FIO2: 109.1

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden + Hipoalbumin
+ Hipokalemia + Hipocalcemia

P Meropenem 1 gr / 8 jam iv (E3)


Metronidazole 500 mg/8 jam (E2)
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv
Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv
Morfin 10 mcg/kg/jam iv
Furosemide 40 mg/24 jam PO.
KCL 32 mEq /NaCl 500/ 4 jam iv
Albumin 25%/24 jam iv.
13

Evaluasi tanda-tanda vital


Weaning ventilator
Koreksi KCL 32 mEq /NS 100 ml / 4 jam, lanjut KN2 500 ml / 24 jam
Stop Furosmide Iv, ganti Furosemide 40 mg PO.
Diet:
Diet cair tinggi protein 6 x 100 kkal

Perawatan ICU hari ke-4 (8 November 2019)

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E4M6VT pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 134/93 mmHg


• HR: 102 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.3
mcg/kg/m
Resp : on vent SIMV 5, FTot 14, PEEP 5, PS 10, I : E 1 :2, FiO2 60%, VT
400/400 – 450 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB +

GUT: urin (+) >0.5 ml/kg/jam, balans – 1551 ml (balans kumulatif -5716
ml)

Lab: 11.6/35/14.000/406.000 D/C: 0/1/84/8/7

Ur/Cr : 43/0.74, Na/K/Cl/Ca: 151/2.3/103/8.6, bil. Tot: 0.70 Alb 2.8

AGD: FiO2: 50 ph: 7.530 pCO2: 42.1 pO2: 136.0 SO2: 99.8

HCO3: 35.5 Laktat: 2.2, BE :12.6, PO2/FIO2: 272.0

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden +
Hipoalbumin + Hipokalemia
14

P Meropenem 1 gr / 8 jam iv (D4)


Metronidazole 500 mg/8 jam (E2)
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv
Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv
Morfin 10 mcg/kg/jam iv
Furosemide 40 mg/24 jam PO.
KCL 50 mEq /NaCl 100/ 8 jam iv
Evaluasi tanda-tanda vital
Weaning ventilator
Koreksi KCL 50 mEq /NS 100 ml / 8 jam, lanjut KN2 500 ml / 24 jam
Diet:

Diet cair tinggi protein 6 x 200 kkaL

Perawatan ICU hari ke-5 (9 November 2019)

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E3M5VT pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 116/74 mmHg


• HR: 128 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.3
mcg/kg/m
Resp : on vent SIMV 16, FTot 16, PEEP 8, PS 10, I : E 1 :2, FiO2 60%,
VT 400/400 – 450 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB +

GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 572 ml (balans kumulatif -6388 ml)

Lab: 12.8/40/14.780/452.000 D/C: 0/0/90/6/4


15

Ur/Cr: 32/0.71, Na/K/Cl/Ca: 152/2.3/97/9.2, bil. Tot: -

Alb 2.8

AGD: FiO2: 50 ph: 7.508 pCO2: 50.4 pO2: 124.3 SO2: 99.5

HCO3: 37.6 Laktat: 2.5, BE :14.9, PO2/FIO2: 316.3

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden+
Hipoalbumin + Hipokalemia + Hipocalcemia

P Meropenem 1 gr / 8 jam iv (D5)


Metronidazole 500 mg/8 jam (E5)
Omeperazol 40 mg / 24 jam iv
N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv
Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv
Morfin 10 mcg/kg/jam iv
Furosemide 40 mg/24 jam PO.
KCL 32 mEq /NaCl 500/ 4 jam iv
Evaluasi tanda-tanda vital
Weaning ventilator
Koreksi KCL 30 mEq /NS 100 ml / 4 jam, lanjut KN2 500 ml / 24 jam
Diet:
Diet cair tinggi protein 6 x 100 kkal

Perawatan ICU hari ke-6 (10 November 2019)

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E4M6VT pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 147/91 mmHg


• HR: 85 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.3 mcg/kg/m
16

Resp : on vent PS 10, FTot 14, PEEP 5, I : E 1 :2, FiO2 50%, VT 420 –
450 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB +

GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 218 ml (balans kumulatif -6606 ml)

Lab: 12.2/38/14.710/431.000 D/C: 0/2/81/8/9

Ur/Cr : 45/0.76, Na/K/Cl/Ca: 147/2.4/96/-, bil. Tot: 0.80

Alb 2.6

AGD: FiO2: 40 ph: 7.536 pCO2: 46.3 pO2: 130.0 SO2: 99.7

HCO3: 39.6 Laktat: 2.2, BE :16.8, PO2/FIO2: 324.9

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden

+ Hipoalbumin + Hipokalemia

P Meropenem 1 gr / 8 jam iv (D6)

Metronidazole 500 mg/8 jam (E6)

Omeperazol 40 mg / 24 jam iv

N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv

Nor-Epinefrin 0.3mcg/kg/m iv

Morfin 10 mcg/kg/jam iv

Furosemide 40 mg/24 jam PO.

KCL 32 mEq /NaCl 500/ 4 jam iv

Evaluasi tanda-tanda vital

Weaning ventilator

Koreksi KCL 32 mEq /NS 100 ml / 4 jam, lanjut KN2 500 ml / 24 jam
17

Ganti antibiotic Amikasin 1 gram / 24 jam iv (D1)

Diet:

Diet cair tinggi protein 6 x 200 kkal

Perawatan ICU hari ke-7 (11 November 2019)

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E4M6VT pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 130/80 mmHg


• HR: 85 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.2 mcg/kg/m
Resp : on vent PS 10, FTot 14, PEEP 5, I : E 1 :2, FiO2 40%, VT 350 – 420
ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB +

GUT: urin (+) 0.5 ml/kg/jam, balans – 1480 ml (balans kumulatif -8086 ml)

Lab: 13.1/40/15.120/464.000 D/C: 0/1/80/9/10

Ur/Cr : 49/0.74, Na/K/Cl/Ca: 148/2.9/102/9.1, bil. Tot: 0.90 Bil 2.7 Alb 2.7

AGD: FiO2: 40 ph: 7.548 pCO2: 38.4 pO2: 122.3 SO2: 99.7

HCO3: 33.7 Laktat: 2.4, BE :11.1, PO2/FIO2: 305.8

Hasil kultur sputum:

Tanggal pemeriksaan : 5-11-2019

Nama kuman : klebsiella pneumonia ssp pneumoniae

No. Nama antibiotic Interpretation MIC

1 Ampicilin (AMP) R >=32


18

2 Ciprofloxacin I 0.5

3 Gentamicin S <=1

4 Trimetrohprim/Sulfamethoxazole R >=320

5 Nitrofurantoin S 32

6 Tigecycline S <=0.5

7 Ceftriaxone R >=64

8 Amikacin S <=2

9 Ampicillin / sulbactam R >=32

10 Aztreonam R >=64

11 Cefepime R >=64

12 Ceftazdime R 16

13 Ertapenem S <=0.5

14 Meropenem S <=0.25

15 Piperacillin / Tazobactam S 8

16 ESBL + Pos

17 Cefazoline (urine) R >=64

18 Cefazoline (other) R >=64

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden+ Hipoalbumin
+ Hipokalemia

P Amikasin 1 gram/24 jam (D1)

Metronidazole 500 mg/8 jam (E7)

Omeperazol 40 mg / 24 jam iv

N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv

Nor-Epinefrin 0.2 mcg/kg/m iv

Paracetamol 1 gram/ 8 jam iv


19

Fluconazol 400 mg / 24 jam iv

Furosemide 40 mg/24 jam PO.

KCL 32 mEq /NaCl 100/ 4 jam iv

Evaluasi tanda-tanda vital

Weaning ventilator

Koreksi KCL 32 mEq /NS 100 ml / 4 jam, lanjut KN2 500 ml / 24 jam

Stop Morfin, diganti dengan Paracetamol 1 gr/ 8 jam iv

Diet:

Diet cair tinggi protein 6 x 200 kkal

Perawatan ICU hari ke-8 (12 November 2019)

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E4M6VT pupil isokor Ø 3mm/3mm RC +/+

CVS:

• TD: 130/80 mmHg


• HR: 85 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.2 mcg/kg/m
Resp : on vent PS 10, FTot 14, PEEP 5, I : E 1 :2, FiO2 40%, VT 350 –
420 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB -

GUT: urin (+) <0.5 ml/kg/jam, balans +257 ml (balans kumulatif -6349
ml)

Lab: 12.6/39/9.760/450.000 D/C: 0/0/73/16/11

Ur/Cr : 58/0.77, Na/K/Cl/Ca: 156/3.4/113/8.6, bil. Tot: 1.10 Alb 2.6

AGD: FiO2: 40 ph: 7.507 pCO2: 39.3 pO2: 122.9 SO2: 99.8
20

HCO3: 31.4 Laktat: 2.1, BE :8.2, PO2/FIO2: 307.2

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden

+ Hipoalbumin + Hipokalemia

P Amikasin 1 gram/24 jam (D2)

Metronidazole 500 mg/8 jam (E8)

Omeperazol 40 mg / 24 jam iv

N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv

Nor-Epinefrin 0.2 mcg/kg/m iv

Paracetamol 1 gram/ 8 jam iv

Fluconazol 400 mg / 24 jam iv

Furosemide 40 mg/24 jam PO

Evaluasi tanda-tanda vital

Weaning ventilator

Rencana Ekstubasi

Diet:

Diet cair tinggi protein 6 x 200 kkal

Perawatan ICU hari ke-9 (13 November 2019)

S Tidak dapat dinilai

O CNS: E1M1VT pupil isokor Ø 4mm/4mm RC menurun

CVS:

• TD: 92/61 mmHg


• HR: 143 x/menit ; Support + Nor-epinephrine 0.3
mcg/kg/m, Vasopressin 0.03 ui/menit, Dobutamin 5
21

mcg/kg/menit iv
Resp : on vent SIMV 16, FTot 16, PEEP 8, PS 10, I : E 1 :2, FiO2 40%,
VT 400/400 – 450 ML, SpO2 100%

GIT: Distensi (-), NGT (+), residu (-), Colostomi + BAB -

GUT: urin (+) 10 ml/3 jam, balans +100 ml (balans kumulatif -6249 ml)

Lab: 12/37/16.200/133.000 D/C: 0/0/87/6/7

Ur/Cr : 1263/2.24, Na/K/Cl/Ca: 156/3.9/116/7.5, bil. Tot: 0.70 Alb 2.4

AGD: FiO2: 40 ph: 7.472 pCO2: 33.1 pO2: 85.6 SO2: 97.5

HCO3: 24.5 Laktat: 3.3, BE : 0.6, PO2/FIO2: 214.0

A Respiratory Failure on Mechanical Ventilation ec. Syok Septic ec. CAP +


Post Laparatomy Hemicolectomy ai. Tumor colon Asenden

+ Hipoalbumin + Hipokalemia

P Amikasin 1 gram/24 jam (D2)

Metronidazole 500 mg/8 jam (E8)

Omeperazol 40 mg / 24 jam iv

N-Acetyl Cystein 400 mg/8 jam iv

Nor-Epinefrin 0.7 mcg/kg/m iv

Vasopressien 0.03 iu/menit iv

Dobutamin 10 mcg/kg/menit

Paracetamol 1 gram/ 8 jam iv

Fluconazol 400 mg / 24 jam iv

Furosemide 40 mg/24 jam PO.

Evaluasi tanda-tanda vital

Dobutamin 10 mcg/kg/menit
22

Inform consent keluarga tentang kondisi terminal

Diet:

Diet cair tinggi protein 6 x 100 kkal


23

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa kimia, dihasilkan oleh mikroorganisme
khususnya dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara sintetik yang
biasanya senyawa ini dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
bakteri atau mikroorganisme lainnya. Namun seiring berjalannya waktu,
satu demi satu bakteri mulai resisten terhadap pemberian antibiotik. Hal ini
menyebabkan prognosis yang buruk bagi penderita karena infeksi yang
tidak teratasi dengan cepat (Bezoen, Haren dan Hanekamp, 2000). Salah
satu antibiotika yang dipakai adalah golongan Beta-laktam yang bekerja
menghambat sintesis dinding sel (Torok, Moran dan Cooke, 2017).
Resistensi terhadap Beta-laktam dapat terjadi di berbagai tingkatan. Salah
satu resistensi dapat terjadi adalah resistensi terhadap Extended Spectrum
Beta-Lactamase (Whalen, Finkel dan Panavelil, 2015). Pada penelitian ini,
antibiotik yang ditampilkan adalah antibiotik yang diuji berdasarkan
Performance Standard for Antimicrobial Susceptibility Testing: Clinical and
Laboratory Standard Institute (CLSI) tahun 2017. Antibiotik beta-laktam
tersusun atas komponen cincin beta-laktam yang terdiri dari 4 jenis yaitu
penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan carbapenem (Michael J. Neal,
2012). Keempat kelompok ini memiliki cincin beta lactam, yang dapat
dihidrolisis oleh enzim beta lactamase. Komponen cincin beta-laktam
bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara
mengikat enzim Beta-Lactamase (Biutifasari, 2018).

2.2. Extended Spectrum Beta Lactamase


2.2.1 Definisi
24

Beta-lactamase adalah enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri


yang berfungsi untuk melawan atau mempertahankan diri terhadap
antibiotik beta-laktam seperti penicillin, cephamycin, carbapenem, dan
cephalosporin (Whalen, Finkel dan Panavelil, 2015). Antibiotik golongan
ini memiliki unsur yang sama dalam struktur molekul mereka yaitu 4 cincin
atom dan disebut sebagai beta-laktam (Torok, Moran dan Cooke, 2017).
Enzim Beta-lactamase bekerja untuk merusak dan menon-aktifkan molekul
ini (Pulungan, 2017). Beta-lactamase pertama kali ditemukan pada tahun
1940 oleh Abraham dan Chain. Enzim ini berhasil ditemukan dari isolat S.
aureus dan disebut sebagai penicillinase. Sejak saat itu semakin banyak
penemuan Beta-lactamase yang baru, antara lain pada tahun 1963
ditemukan TEM-1 (dari isolat E.coli), 1974 ditemukan SHV-1 (dari isolat
E.coli). Antibiotik beta-laktam dapat digunakan untuk melawan bakteri
Gram positif dan Gram negatif. Beta-lactamase diproduksi oleh bakteri
Gram negatif dan ternyata enzim Beta-lactamase terdiri dari berbagai
golongan sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya (Kola dkk., 2007).

2.2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologis, ESBL didapatkan di beberapa negara dengan
prevalensi berbeda-beda. ESBL pertama kali ditemukan di benua Eropa
tepatnya di Jerman pada tahun 1983 (Rupp dan Fey, 2013). Survei yang
dilakukan di Perancis menunjukkan terdapat 40% K. pneumoniae yang
mengalami resistensi terhadap ceftazidim. Hal yang berbeda ditemukan di
Belanda dengan prevalensi ESBL positif pada E.coli dan K. Pneumoniae
(Jogoboyo, 2011). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CDC (Centers
for Disease Control and Prevention) pada tahun 2013, setiap tahunnya
terjadi 26.000 infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae penghasil
ESBL dan sekitar 1.700 diantaranya meninggal dunia (Molton dkk., 2013).
Pada tahun 1983, di Jerman, suatu beta-lactamase berhasil diidentifikasi
dari isolat Klebsiella ozaenae. Enzim ini mampu menghidrolisis cefotaxime
dan ceftazidime. Penelitian ini menemukan bahwa jenis beta-lactamase ini
25

berbeda dengan SHV-1. Posisi glycine diganti oleh serine pada posisi 238.
Mutasi ini menunjukkan extended-spectrum beta-lactamase. Enzim ini
diklasifikasikan sebagai SVH-2 (Song dkk., 2007).
Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Study for Monitoring
Antimicrobial Resistance Trends (SMART) di Asia pada tahun 2007,
prevalensi E.coli dan Klebsiella spp. penghasil ESBL yang berasal dari
infeksi intra-abdominal secara berturut turut adalah 42, 27 % dan 35,8%
(Cheong dkk., 2017). Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian untuk
mengetahui prevalensi ESBL telah dilakukan meskipun belum dilakukan
secara terpusat. Penelitian yang dilakukan di RS. Ciptomangunkusumo,
Jakarta pada bulan Januari-Desember 2011, menunjukkan prevalensi ESBL
mencapai 58%, 42% pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit
(Taslim dan Maskoen, 2017). Penelitian lain yang dilakukan pada Januari
2010 sampai April 2010 di 3 rumah sakit besar di Indonesia yaitu RS. Dr.
Sutomo, Surabaya, RS. Dr. Kariadi, Semarang dan RS. Dr. Saiful Anwar,
Malang didapatkan 300 sampel yang dinyatakan positif ESBL (Hadi dkk.,
2013).

2.2.3 Klasifikasi
Menurut Bush Jacoby Medeiros, Beta-lactamase diklasifikasi menjadi
4 kelas dan beberapa subkelas. Ada banyak cara yang digunakan untuk
mengklasifikasi Beta-Lactamase, namun yang sering digunakan adalah
klasifikasi menurut Ambler molecular dan Bush Jakoby Medeiros functional
classification. Ambler membagi Beta -Lactamase ke dalam empat kelompok
utama (A - D). Dasar pembagian ini terletak pada homologi protein
(kesamaan dalam asam amino), bukan karakteristik phenotype. Serine Beta
-Lactamase adalah dasar klasifikasi Beta -Lactamase kelas A, C, dan D,
sebaliknya enzim kelas B adalah Metallo- Beta -Lactamase. Klasifikasi
Bush Jacoby Medeiros membagi grup Beta -Lactamase berdasarkan
kesamaan fungsi (substrat dan profil inhibitor). Ada empat grup utama dan
beberapa subgrup dalam sistem ini. Klasifikasi ini lebih relevan untuk
26

praktisi medis atau mikrobiologi di laboratorium karena berdasarkan Beta-


Lactamase inhibitor dan Beta-Lactamase substrate (Biutifasari, 2018).
Tabel 1. Klasifikasi Bush Jacoby Medieros functional dan Ambler molecular beta
lactamase. (Lanjutan)

Klasifikasi Klasifikasi Substrat Karakteristik


molekular

2be A Ekstended- Meningkatkan hidrolisis oxymino β-


Spektrum lactam(cefotaxime,ceftazidime,ceftri
Sefalosporin, axone,cefepime, aztreonam)
Monobaktam

2br A Penisilin Resisten terhadap clavulanic acid,


sulbactam, dan tazobactam

2ber A Ekstended- Meningkatkan hidrolisis oxymino β-


spektrum lactam dikombinasi dengan resisten
Sefalosporin, clavulanic acid, sulbactam,
Monobaktam tazobactam.

2c A Karbenisilin Meningkatkan hidrolisis

carbenicilin

2ce A Karbenisilin Meningkatkan hidrolisis


Sefepime carbenicilin, cefepime, dan
cefpirome.

2d D Kloksasilin Meningkatkan hidrolisis cloxacillin


atau oxacillin

2de D Ekstended- Menghidrolisis cloxacillin atau


spektrum oxacillin dan oxymino β-lactams
Sefalosporin,
Monobaktam

2df D Karbapenem Menghidrolisis cloxacillin atau


oxacillin dan carbapenem.

2e A Ekstended- Menghidrolisis cephalosporin,


spektrum menginhibisi clavulanic acid, tetapi
Sefalosporin, tidak aztreonam
Monobaktam

2f A Karbapenem Meningkatkan hidrolisis


carbapenem, oxymino β-lactams,
27

cephamycins

3a B (B1), Karbapenem Menghidrolisis spectrum luas


carbapenem tetapi tidak
B (B3) monobactam

3b B (B2) Karbapenem Lebih menghidrolisis carbapenems

Tidak Tidak - -
termasuk diketahui

2.2.4 Faktori Risiko Infeksi Bakteri ESBL

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, antara faktor risiko


kejadian ESBL antara lain yaitu adanya infeksi saluran kemih yang
berulang, riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya, penderita Diabetes
Mellitus, dan penggunaan kateter atau alat lain di saluran kemih (Anggarini,
Hadi dan Hapsari, 2013). Wanita lebih rentan terkena ESBL karena
kebanyakan kasus ISK pada wanita. Hal ini dikarenakan uretra wanita lebih
pendek dan usia yang lebih dari 65 tahun juga merupakan faktor risiko
ESBL (Nazmi dkk., 2017). Penelitian lain mencari faktor risiko ESBL
dengan pemeriksaan laboratorium dasar seperti hemoglobin, leukosit, CRP
dan lainnya (Mcpherson dan Pincus, 2007). Hasil penelitian ini
menunjukkan albumin dan limfosit yang rendah berhubungan dengan
kejadian ESBL pada pasien dengan infeksi (Biutifasari, 2018). Selain itu,
menurut Yusuf dkk, risiko lain seperti usia tua, lama rawat inap, lama sakit,
lama perawatan di ICU, adanya tindakan invasif juga merupakan beberapa
faktor penyebab terjadinya ESBL. Penggunaan alat perawatan antara lain
penggunaan ventilator, kateter urin, nasogastric tube, hemodialisis,
penggunaan termometer atau gel ultrasonografi yang terkontaminasi pasien
lain atau tangan pekerja kesehatan juga merupakan faktor risiko ESBL
(Abdullah dkk., 2012).

2.2.5 Inhibisi Sistem Dinding Sel


28

Agen-agen yang mengganggu sintesis dinding sel akan menghambat


sintesis peptidoglikan. Agen-agen tersebut selain aktif melawan
perkembangan bakteri juga merupakan bakterisida. Bakteri Gram-negatif -
antimikroba beta-laktam masuk melalui saluran porin di membran luar dan
berikatan dengan Penicillin Binding Protein (PBPs) pada permukaan
membran sitoplasma. Hal ini menghalangi fungsi dinding sel, sehingga
menyebabkan dinding sel melemah atau rusak yang kemudian menjadi lisis
atau terjadi kematian sel. Bakteri gram positif tidak memiliki membran luar
sehingga antimikroba beta-laktam berdifusi langsung melalui dinding sel
dan berikatan ke PBP, yang kemudian menyebabkan kelemahan dan lisisnya
dinding sel. Glikopeptida menghambat sintesis dinding sel dengan cara
mengikat bagian terminal dari D-ALA-D-ALA prekursor peptidoglikan,
sehingga menghambat aksi transglikosidase dan transpeptidase (Torok,
Moran dan Cooke, 2017)

2.2.6 Mekanisme Resistensi


Ada beberapa cara yang dapat menyebabkan mikroorganisme menjadi
resisten terhadap agen antimikroba yaitu dari produksi enzim yang
dihasilkan, perubahan permeabilitas membran luar, perubahan target sel,
efflux pumps, dan perubahan jalur metabolisme (Torok, Moran dan Cooke,
2017).
a. Produksi enzim
Beta-laktamase adalah enzim yang menghidrolisis obat beta-laktam.
Pada bakteri gram-negatif, obat beta-laktam memasuki sel melalui saluran
porin dan bertemu dengan beta-laktamase di periplasmik. Hal ini
menghasilkan hidrolisis dari molekul beta-laktam, sebelum mereka
mencapai PBP (Penicillin Binding Protein). Pada bakteri gram positif, beta-
laktamase disekresikan secara ekstraseluler ke sekitarnya dan
menghancurkan molekul beta-laktam sebelum masuk ke dalam sel.
b. Perubahan Permeabilitas Membran Luar
29

Bakteri Gram-negatif dapat menjadi resisten terhadap antibiotik beta-


laktam dengan perubahan permeabilitas pada membran luar. Terjadinya
mutasi dapat mengakibatkan hilangnya saluran porin di membran luar
sehingga tidak lagi memungkinkan untuk masuknya molekul antibiotik ke
dalam sel. Perubahan dalam proton motive force juga dapat menyebabkan
berkurangnya permeabilitas di membran dalam.
c. Perubahan Target Sel
PBPs pada bakteri Gram-positif dan Gram-negatif dapat mengalami
perubahan karena adanya mutasi, sehingga beta-laktam tidak dapat lagi
mengikatnya. Metilasi pada rRNA dapat menyebabkan resistensi pada
makrolides, linkosamides, dan streptogramin. Sedangkan mutasi pada gen
kromosom untuk DNA girase dan topoisomerase IV dapat menyebabkan
resistansi quinolone

d. Efflux Pumps
Berbagai macam efflux pumps dapat mengakibatkan resistensi
antimikroba pada bakteri gram-positif dan gram-negatif. Protein
transmembran membentuk saluran yang secara aktif mengeksport agen
antimikroba keluar dari sel secepat saat agen tersebut masuk kedalam sel.
Hal ini merupakan mekanisme utama resistensi terhadap tetrasiklin.

e. Perubahan Jalur Metabolisme


Pada beberapa mikroorganisme terjadi perubahan jalur metabolisme.
Saat terjadi mutasi yang menonaktifkan timidilat sintetase maka akan
memblok konversi deoxyuridylate ke timidilat. Hasil mutasi ini akan
menggunakan timin eksogen atau timidin untuk proses sintesis DNA yang
akan mengakibatkan resistensi terhadap folate synthesis antagonists.
30

2.2.7 Inhibitor Beta-Laktamase


Hidrolisis cincin beta-laktam, baik dengan pembelahan enzimatik
dengan beta-laktamase atau dengan asam, akan menghancurkan aktivitas
antimikroba dari antibiotik beta-laktam. Inhibitor Beta-Laktamase, seperti
klavulanat asam, sulbaktam, dan tazobactam, mereka semua memiliki cincin
beta-laktam tetapi tidak memiliki aktivitas antibakteri yang signifikan atau
menyebabkan efek yang merugikan secara signifikan. Sebaliknya, mereka
akan mengikat dan mengnonaktifkan beta-laktamase, dengan demikian
dapat melindungi antibiotik yang biasanya merupakan substrat untuk enzim-
enzim ini. Oleh karena itu inhibitor beta-laktamase diformulasikan dalam
kombinasi dengan beta laktamase sensitif antibiotik (Whalen, Finkel dan
Panavelil, 2015).
2.2.8 Mekanisme Resistensi Antibiotik pada Bakteri ESBL
Antibiotik beta-laktam bekerja membunuh bakteri dengan mekanisme
inhibisi sintesis dinding sel bakteri, menghalangi enzim yang bertanggung
jawab untuk pembentukan lapisan peptidoglikan penyusun dinding sel
bakteri (Shaikh, Fatima dan Shakil, 2015). Pada tahun 1927, Sir Alexander
Felming menemukan antibiotik pertama dan dinamakan Penisilin (Torok,
Moran and Cooke, 2017). Penisilin merupakan antibiotik golongan beta-
laktam dengan struktur kimiawi yang terdiri dari empat cincin beta-laktam,
tiga cincin karbon dan satu atom nitrogen (Marganingrum, 2007). Dalam
mengatasi aktivitas antibiotik yakni menurunkan efektivitas suatu antibiotik
sehingga menimbulkan kegagalan terapi antibiotik. Dalam menginaktifasi
antibiotik golongan beta-laktam, bakteri menghasilkan enzim yang disebut
Beta-Laktamase melalui proses hidrolisis (Gambar 1). Enzim Beta-
Laktamase merusak aktivitas antibiotik dan memotong struktur kimia cincin
pada antibiotik tersebut sehingga beta-laktam menjadi tidak efektif dalam
melawan bakteri (Katzung, 2011). Ketika antibiotik beta-laktam kehilangan
kemampuannya untuk membunuh atau menghambat suatu bakteri pathogen
maka bakteri ini tergolong ke dalam bakteri yang resistensi antibiotik
golongan beta-laktam. (Bonnet, 2004).
31

Gambar 1. Mekanisme Resistensi terhadap Beta-laktam (Muttaqien dan Soleha,


2014)

2.2.9 Metode Deteksi ESBL


ESBL dapat dideteksi secara clinical microbiology (phenotypic) dan
molecular detection (genotypic). ESBL secara phenotypic dideteksi dengan
cara Standard NCLLS interpretive criteria, ESBL confirmatory test, Double-
disk approximation test, E-test ESBL strips, Vitek ESBL tests, dan Phoenix
ESBL test. ESBL secara genotypic dideteksi dengan cara DNA probes, PCR,
Oligotyphing, PCR-RFLP, PCR-SCCP, LCR, dan Nucleotide sequencing
(Biutifasari, 2018). Salah satu alat pemeriksaan mikrobiologi otomatis untuk
mengidentifikasi bakteri dan uji kepekaan antimikroba adalah Vitek 2
Compact (Anggraini dkk., 2018). Penelitian yang dilakukan pada periode
April-Desember Tahun 2017 di Rumah Sakit Umum Pusat Palembang
menggunakan alat ini untuk mendeteksi ESBL. Metode ini mampu
mengidentifikasi bakteri dengan menggunakan kartu yang tersedia dalam
rentang yang luas termasuk gram negatif, gram positif, anaerob dan
Corynebacterium, Bacillus, Meisseria haemophilus, dan jamur. National
Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) atau Clinical
Laboratory Standard Institute (CLSI) memperkenalkan metode yang
32

digunakan untuk skrining ESBL. Berikut adalah 2 jenis uji yang dapat
digunakan untuk skrining ESBL:

a. Uji Double Disk Synergy


Metode ini pertama kali ditemukan oleh Jarlier et.al pada tahun
1988 dengan menggunakan agar Mueller Hinton (Rupp dan Fey,
2013). Skrining dengan metode uji Double Disk Synergy memiliki
tingkat kesulitan yang tidak tinggi dan menggunakan a\lat dan bahan
yang cukup sederhana. Uji double disk synergy dilakukan dengan
menggunakan cakram augmentin (20 µg amoxicillin dan 10 µg asam
klavulanat) dan cakram cefotaxim (30 µg), ceftazidime (30 µg) serta
cefpodoxime (30 µg) yang diletakkan di sekitar cakram augmentin
sekitar 16-20 mm (Rupp dan Fey, 2013). Seperti yang diketahui,
ESBL adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotik golongan
pencillin, cephalosporin golongan I,II,III serta aztreonam. Dengan
pemberian asam klavulanat sebagai inhibitor beta laktamase maka
enzim beta laktamase dapat dihambat. Oleh karena itu, interpretasi
hasil yang positif ESBL dari metode uji Double Disk Synergy
(Gambar 2) adalah dengan adanya peningkatan zona hambat dari
cephalosporin ke arah cakram asam klavulanat. Dikarenakan hasil
positif dari uji Double Disk Synergy ini tidak memakai satuan angka
yang pasti sebagai batasan hasil positif dan negatif, tingkat
subjektivitas dalam menginterpretasikan hasil merupakan kelemahan
dalam metode in (Rupp dan Fey, 2013).
Meskipun memiliki kelemahan, metode double disk synergy
memilki tingkat sensitivitas yang cukup baik yaitu berkisar 79%-96%
(Giriyapur dkk., 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Giriyapur (2011) dari 313 sampel Enterobacteriaceae, 176 sampel
(56,23%) merupakan bakteri penghasil ESBL yang diskrining dengan
metode double disk synergy, sementara 200 sampel (63,89%)
dinyatakan bakteri penghasil ESBL dengan metode uji phenotypic
33

confirmatory. Hal ini menunjukkan bahwa metode double disk


synergy dapat diandalkan untuk skrining bakteri penghasil ESBL.
ESBL (+) ESBL (-)

Gambar 2. Hasil Uji Double Disk Synergy

b. Uji Phenotypic Confirmatory


Metode ini menggunakan cefotaxime, ceftazidime, cefotaxim
yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dan juga ceftazidime
yang dikombinasikan dengan asam klavulanat. Biakan bakteri yang
telah disesuaikan kekeruhannya 0,5 McFarland diinokulasikan ke
dalam agar Muller Hinton (Cappuccino and Welsh, 2017). Cefotaxime
dan cefotaxime klavulanat diletakkan dengan jarak 20 mm diantara
keduanya. Hal yang sama juga dilakukan pada ceftazidime dan
ceftazidime klavulanat. Isolat bakteri dinyatakan positif ESBL jika
setelah diinkubasi 1 malam pada suhu 37oC, terdapat peningkatan
diameter > 5 mm pada zona inhibisi dengan cakram antibiotik
(cefotaxim, ceftazidim) yang dikombinasikan dengan asam klavulanat
dibandingkan dengan zona inhibisi dengan cakram antibiotik tanpa
kombinasi (Doi dan Paterson, 2007).
34

2.2.10 Sistem Skoring Italian Model Score dan Duke Model Score
Untuk memulai terapi antibiotik secara tepat waktu pada saat masuk
rumah sakit, beberapa institusi kesehatan memahami pentingnya memiliki
sebuah alat stratifikasi faktor risiko untuk mengidentifikasi pasien-pasien
yang memiliki risiko tinggi infeksi bakteri penghasil ESBL. Penelitian yang
telah dilakukan oleh Tumbarello dkk pada tahun 2011 di Itali, dengan cara
mengidentifikasi faktor-faktor risiko dengan model regresi logistic yang
kemudian diubah ke sebuah aturan yang berdasarkan nilai yang memberikan
skor untuk setiap faktor risiko. Sistem skoring ini dikenal dengan Italian
Score (Tumbarello dkk., 2011)

Tabel 2. Skoring Italian Model Score (Tumbarello dkk., 2011)

Kriteria penilaian Skor

Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon 2


dalam 3 bulan terakhir
Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3

Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3


Charlson Comorbidity Score ≥ 4 2
Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2

Pada penelitian tersebut, Tumbarello dkk menggunakan cutoff skor 8


atau lebih untuk mendapatkan spesifisitas yang tinggi (96%) dan nilai
prediktif positif 80%, namun hanya memiliki sensitivitas 50%. Namun pada
saat divalidasi di institusi lain, yaitu di Duke University Hospital, maka pada
tahun 2013, Steven dkk mengusulkan suatu sistem skoring baru yang lebih
sederhana, yang dikenal dengan Duke Model Score.

Tabel 3. Skoring Duke Model Score (Johnson dkk., 2013)


35

Kriteria penilaian Skor

Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon 3


dalam 3 bulan terakhir
Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 2
Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 4
Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 5
Riwayat Penggunaan imunosupresan 3 bulan terakhir 2

Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas


dan positif prediktif nilai yang tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau
lebih dari 8, maka pada Duke model score, memiliki spesifisitas 95% dan
nilai prediktif positif 79%. Namun, sistem skoring ini belum diuji pada
populasi dan organisme lain, seperti di Indonesia, khususnya di RS. H.
Adam Malik, Medan

2.2.11 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL


Adanya sistem skoring yang valid akan membantu klinisi dalam
menghadapi infeksi bakteri ESBL. Pemahaman menyeluruh terhadap
kondisi klinis pasien dan pertimbangan praktis seperti biaya, kenyamanan
dalam pemberian obat, kepatuhan pasien, efek samping obat, efikasi
antibiotik yang dipilih harus menjadi unsur-unsur penting dalam pemilihan
intervensi klinis yang paling sesuai.

a. Pendekatan non farmakologis


Pendekatan tanpa antibiotik dalam manajemen infeksi ESBL
merupakan suatu langkah kritis dalam terapi. Eliminasi dari sumber
infeksi adalah manajemen penting dari infeksi, tidak terkecuali infeksi
ESBL. Jika sumber infeksi merupakan benda asing seperti alat
prostetik, penggantian atau pengeluaran alat prostetik itu menjadi
sangat penting. Hal ini disebabkan karena infeksi ESBL dihubungkan
36

dengan tindakan operasi implan atau alat-alat lainnya, dengan


terbentuknya biofilm. Pertumbuhan bakteri yang lambat, yang diikuti
dengan penetrasi antibiotik yang terhalang oleh biofilm ini
menyebabkan eradikasi dan terapi dari infeksi yang berhubungan
dengan implan ini menjadi sulit. Pendekatan non farmakologis dalam
manajemen infeksi ESBL termasuk penggantian jalur intravaskular
yang terkolonisasi (central venous catheter, peripheral venous
catheter), kateter urin yang terkolonisasi, drainase dari abses intra
abdominal maupun intra viseral lainnya, dan pengeluaran dari katup
jantung atau sendi buatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
antibiotik saja dalam infeksi ESBL yang terkait dengan alat-alat
implan tidak memberikan hasil klinis yang baik.
b. Pendekatan Farmakologis
Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi
berkurang dengan adanya kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis
beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten terhadap
antibiotik beta laktam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin.
Selain itu resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti
trimetroprim-sulfametoksazol, aminogikosida khususnya gentamisin.
Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi
seperti yang disebutkan sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu
dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya. Pada hasil kultur
umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap
bakteri ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik di antara
beberapa antibiotik yang sensitif untuk ESBL seperti Tabel 4.

Tabel 4. Rekomendasi Pengobatan (Johnson dkk., 2013)


Tipe Infeksi Pilihan Terapi Terapi second-line

Infeksi Traktus Urinarius Kuinolon Amoksisilin/


37

Klavulanat
Bakterimia Karbapenem Kuinolon
Hospital-acquired Pneumonia Karbapenem Kuinolon
Infeksi intra-abdominal Karbapenem Kuinolon ( tambah
Metronidazol)
Meningitis Meropenem Intrathecal
polymyxin B
1

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pemeriksaan kultur sputum pasien ini ditemukan adanya kuman Klebsiella
Pneumonia ssp pneumonia. Klebsiella pneumonia adalah kuman pathogen yang bersifat
oportunistik yang sering dikaitkan dengan kejadian infeksi pada pasien rawat inap.
Berdasarkan Nathisuwan dkk (2001), Kuman yang paling banyak memproduksi ESBL
adalah kuman famili Enterobacteriaceae, terutama Klebsiella pneumonia dan
Escherichia coli. Kasus ESBL di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin
pada periode 2017&2018 yang paling tinggi didapatkan secara berurutan adalah
K.pneumoniae, E.coli dan K.ozaenae (Norlaila, 2019). Hasil penelitian ini serupa
dengan penelitian-penelitian sebelumnya, ESBL di Amerika Latin, yang dilakukan oleh
SENTRY menunjukkan dari 10.000 sampel yang dikumpulkan dari 10 senter, 45%
berasal dari K. pneumonia dan 10.8% dari Escherichia coli (Bell dkk., 2007).

Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram negatif yang berbentuk batang (basil),
tergolong bakteri yang tidak dapat melakukan pergerakan (non motil). Berdasarkan
kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri fakultatif
anaerob, dan banyak ditemukan di mulut, kulit, dan saluran usus. Klebsiella
pneumoniae dapat menyebabkan pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut
yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia yang disebabkan oleh
Klebsiella pneumoniae dapat berupa pneumonia komuniti atau Community Acquired
Pneumonia (CAP). Pada kasus ini, kejadian CAP dikaitkan dengan Strain baru dari
Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan pneumonia nosokomial atau hospitality
acquired pneumonia, yang berarti penyakit pneumonia tersebut di dapatkan saat pasien
berada di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan. Klebsiella pneumoniae
umumnya menyerang orang dengan kekebalan tubuh lemah, seperti alkoholis, orang
dengan penyakit diabetes dan orang dengan penyakit kronik paru-paru (Keynan &
Rubinstein, 2007). Pada pasien ini, infeksi Klebsiella pneumonia dikaitkan dengan
faktor risiko yaitu pasien geriatri dan infeksi luka operasi.
2

Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu anggota famili Enterobacteriaceae


dan merupakan salah satu bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Bakteri ini
berada dalam sistem pernafasan dan pencernaan kurang lebih 5% pada individu normal
(Zulfiani, V., 2016 ).

Infeksi pada bakteri Gram negatif, seperti E.coli, Enterobacter spp, dan
Klebsiella pneumoniae biasa diobati dengan golongan antibiotika tertentu, seperti
antibiotika golongan penicilin (amoksisilin klavulanat, amoksisilin dan ampisilin),
aminoglikosida (gentamicin dan tobramicin), sefalosporin (ceftazidime, cefotaxime,
cefadroxil dan cefuroxime), kotrimoksazol (Sulfametoxazol /trimetropin), dan
kuinolons (ciprofloxacin dan norfloxacin) (Lubis, 2015). Antibiotik golongan
betalaktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dalam penanganan
infeksi Klebsiella pneumonia. Namun, dengan berjalannya waktu, antibiotik ini menjadi
kurang sensitif akibat dihasilkannya enzim betalaktamase oleh bakteri. Produksi enzim
betalaktamase ini merupakan mekanisme utama terjadinya resistensi bakteri terhadap
antibiotik betalaktam dengan cara menghidrolisis cincin betalaktam pada antibiotik
(Shahcheraghi, 2009).

Kuman klebsiella di ICU

Infeksi Klebsiella pneumonia di dalam darah terkait dengan pneumonia (community


atau ventilator-acquired), traktus urinarius, patologis intra abdomen dan infeksi pada
CVC. Menurut Hermawan (2007), salah satu penyebab ESBL ialah infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat atau timbul pada pasien selama dirawat
di rumah sakit, yang secara operasional meliputi infeksi yang terjadi setelah 2x24 jam
pasien mendapat rawat inap di rumah sakit (WHO, 2002). Enzim-enzim ESBL ini
ditemukan secara khusus pada bakteri gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia,
Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli.
3

Kejadian ESBL pada kasus ini terjadi pada ruang perawatan ICU di RSMH. Hal
ini sesuai dengan penelitian Yuwono yang menyatakan bahwa kejadian ESBL terutama
ditemukan di ICU, bangsal bedah dan tempat lain di rumah sakit. Berdasarkan
penelitian lain, kejadian ESBL berdasarkan asal ruangan rawat jalan dan rawat inap,
didapatkan rawat inap lebih tinggi dikarenakan salah satu faktor risiko infeksi adalah
penggunaan antibiotik jangka panjang, prosedur invasif, dan pemakaian kateter urin
jangka lama (Nazmi dkk., 2017).

Pilihan antibiotika yang digunakan pada pasien ini yaitu berupa meropenem
pada hari perawatan 1-ke 6 kemudian diganti dengan amikasin pada hari perawatan ke-
7. Meropenem adalah golongan antibiotik beta laktam yang masuk dalam kategori
karbapenem dengan mekanisme kerja yaitu membentuk ikatan secara kovalen dengan
penicillin-binding protein (PBP) yang berperan dalam sintesis mukopeptida di dinding
sel bakteri. Efek bakterisidal terjadi akibat inhibisi dari pertumbuhan di tingkat seluler
serta hilangnya integritas dinding sel menyebabkan lisis dari dinding sel. Meropenem
umumnya stabil terhadap mayoritas enzim betalaktamase, termasuk AmpC
betalaktamase, dan extended-spectrum beta-lactamases. Namun, resistensi terhadap
meropenem dapat terjadi ketika bakteri mengubah struktur protein binding proteins, dan
menghasilkan enzim metallo-beta-lactamases yang dapat secara cepat mendegradasi
meropenem, atau ketika permeabilitas membran bakteri berubah sebagai akibat
hilangnya spesifitas outer membrane porins (Zhannel dkk, 2007).

Enzim-enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi dalam


menghidrolisis substrat beta laktam dari golongan penicillin, cephalosporin generasi I,II,
III serta monobactam, tetapi tidak dapat menyerang sefamisin (sefoksitin, sefotetan dan
sefmetazole) dan karbapenem (imipenem, meropenem, doripenem, dan ertapenem).
ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh
antibiotik beta laktam, termasuk penisilin, sefalosporin, dan monobaktam aztreonam.
Oleh karena itu, digunakan antibiotika golongan lain sebagai pengobatan lini kedua
pada kasus ini yaitu amikasin. Berdasarkan penelitian Kuntaman dkk (2011), antibiotika
alternatif yang dapat diunakan untuk eradikasi bakteri penghasil-ESBL (yang telah
resisten terhadap meropenem) antara lain fosfomycin, amikasin dan kombinasi
4

sefoperazone-sulbactam. Pada pasien ini, dipilih antibiotika amikasin berdasarkan hasil


kultur sputum yang menunjukkan bahwa kuman Klebsiella pneumonia sensitive
terhadap pemberian amikasin.
5

BAB V

KESIMPULAN

Beta-lactamase adalah enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri yang


berfungsi untuk melawan atau mempertahankan diri terhadap antibiotik beta-laktam
seperti penicillin, cephamycin, carbapenem, dan cephalosporin (Whalen, Finkel dan
Panavelil, 2015).

Anda mungkin juga menyukai