Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT DAN LAPSUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION

Disusun Oleh:

Wulan Apriliantisyah 111 2020 2129

Pembimbing :

Dr. dr. Nurelly N Waspodo, Sp.KK(K) FINSDV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN

KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

MUSLIM INDONESIA

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Dengan ini, yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Wulan Aprilantisyah

NIM : 11120202129

Judul Referat : Exanthematous Drug Erption

Telah menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Exanthematous Drug

Eruption” dan telah disetujui serta dibacakan di hadapan Dokter

Pembimbing Klinik dalamrangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Kulit dan

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, juli 2021

Menyetujui,

Dokter Pembimbing Klinik Mahasiswa

Dr. dr. Nurelly N Waspodo, Sp.KK(K) FINSDV Wulan Apriliantisyah

i
HALAMAN PENGESAHAN

Dengan ini, yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Wulan Apriliantisyah

NIM : 11120202129

Judul Laporan Kasus : Exanthematous Drug Erption

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus yang berjudul “Exanthematous

Drug Eruption” dan telah disetujui serta dibacakan di hadapan Dokter

Pembimbing Klinik dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Kulit Dan

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Juli 2021

Menyetujui,

Dokter Pembimbing Klinik Mahasiswa

Dr. dr. Nurelly N Waspodo, Sp.KK(K) FINSDV Wulan Apriliantisyah

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esakarena

dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah sehingga penulis

dapat menyelesaikan referat dan laporan kasus ini dengan judul

“Exanthematous Drug Erption” disusun sebagai salah satu syarat

menyelesaikan studi program profesi dokter bagian Kulit dan Kelamin di

Fakultas Kedokteran UniversitasMuslim Indonesia.

Penulis mengucapkan rasa terimakasih sebesar-besarnya atas

semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak

langsung selama penyusunan referat dan laporan kasus ini hingga selesai.

Secara khusus rasa terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada Dr. dr.

Nurelly N Waspodo, Sp.KK(K) FINSDV sebagai pembimbing yang sangat

baik, sabar dan mau meluangkan waktunya dalam penulisan referat dan

laporan kasusini. Terakhir saya sebagai penulis berharap, semoga referat

dan laporan kasus ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan

menambah wawasanbagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Makassar, Juli 2021

Wulan Apriliantisyah

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... 2

KATA PENGANTAR ................................................................................. 4

DAFTAR ISI............................................................................................... 5

BAB I ......................................................................................................... 6

PENDAHULUAN ....................................................................................... 6

BAB II ........................................................................................................ 7

LAPORAN KASUS.................................................................................... 7

BAB III ..................................................................................................... 12

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 18


BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi kulit adalah reaksi simpang obat yang paling umum. Drug-
related rash yang dilaporkan hampir seluruh obat, biasanya terjadi 10 kasus
per 1000 pengguna obat baru. Reaksi yang terjadi dapat berupa erupsi
ringan asimptomatik sampai yang mengancam nyawa. Exanthematous
Drug Eruption disebut juga morbilliform atau maculopapular. 1

Exanthematous Drug Eruption merupakan penyakit kulit yang


diinduksi obat dengan karakteristik makula eritem dan papul yang
menyebar cepat dan konfluens serta biasanya muncul pertama dari batang
tubuh. Waktu timbul reaksi berbeda-beda, sebagian besar kasus mulai
muncul bintik beberapa hari setelah minum obat penyebab, tetapi dapat
juga timbul segera, atau timbul sesudah beberapa minggu. Etiologi penyakit
ini umumnya penicillin, chephalosorin, golongan antibiotik sulfonamid, atau
antikonvulsan. Penicillin dan derivatnya merupakan penyebab erupsi obat
yang paling sering terjadi dengan berbagai macam variasi klinis, termasuk
tipe eksantematosa.1
BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama : Tn. R

Umur : 45 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Kumusdasmoro dalam 8/7Semarang

Pekerjaan :-

Agama : Islam

Suku : Jawa

Anamnesis

Keluhan utama : Bintik-bintik kemerahan di kepala, dada, punggung, perut,


tangan dan kaki.

Seorang pria berusia 45 tahun datang ke Poliklinik Rumah Sakit


(PRS) Bhayangkara dengan keluhan bitnik-bintik kemerahan di kepala,
dada, punggung, perut, tangan dan kaki sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan disertai rasa gatal di seluruh tubuh. Seminggu sebelumnya
pasien mengeluhkan terdapat bintik di kaki yang terasa gatal, pasien
menggaruknya dan bintik semakin melebar sebesar koin. Dua hari
kemudian, pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat Thiamphenicol
serta salep yang tidak diberikan informasi isinya. Tiga hari kemudian,
muncul bintik-bintik kemerahan yang gatal di dada dan punggung. Bintik-
bintik kemerahan semakin menyebar ke perut, tangan, dan kaki. Keluhan
seperti ini sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, kencing
manis, dan penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat alergi dan asma
bronkial disangkal. Riwayat penyakit seperti ini pada keluarga disangkal.

Riwayat Penyakit terdahulu

Riwayat sakit yang sama : Di sangkal

Riwayat Alergi Makanan : Di sangkal

Riwayat Konsumsi obat : 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien


mengkonsumsi Antibiotik Thiamphenicol

Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran : Penderita anak pertama dari ibu

G2A0, Hamil aterm. Bayi lahir spontan, tampa kelainan ditolong oleh

dokter. Bayi lahir langsung menangisdan berwarna merah, Berat badan saat

lahir 3000 gram, Panjang badan 49cm dan lingkar kepala 32. Selama hamil,

ibu penderita rutin memeriksakan kandungannya ke dokter dan rajin

mengkonsumsi obat yang diberikan dokter selama kehamilan.

Riwayat Pertumbuhan Dan Perkembangan : Penderita tumbuh dan


berkembang sesuai anak seusianya.

Riwayat Nutrisi : ASI Eksklusif 2 bulan ASI + MP ASI 3-6 bulan Makan >6

Bulan.

Riwayat Imunisasi : Riwayat imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat sakit yang sama : Di sangkal

Riwayat alergi : Di sangkal

Riwayat Asma : Di sangkal


Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

kesadaran : komposmentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 96 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

Suhu tubuh : 36,5o C.

Pada pemeriksaan status generalis kepala, leher, toraks, abdomen, dan


ekstremitas dalam batas normal.

Pemeriksaan status dermatologis

Didapatkan pada regio capitis, regio thorakalis anterior, regio thorakalis


posterior, regio abdominalis, regio ekstrimitas superior, dan regio
ekstrimitas inferior terdapat efloresensi maculopapular, multipel, beberapa
konfluens dan tersebar generalisata dan simetris.
Diagnosis : Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosis sebagai Exanthematous Drug Erption

Penatalaksanaan :

1. Mengidentifikasi dan menghentikan penggunaan obat penyabab,


serta memberikan informasi mengenai penyakit pasien.
2. Kortikosteroid topikal bethamethason dipropionate 0,05% dan
antihistamin chlorpheniramine maleat.
3. Terapi sistemik pada pasien diberikan antihistamin chlorpheniramine
maleat 4 mg setiap malam dan deksametason 3 mg setiap 8 jam.
4. Antihistamin golongan sedatif untuk mengatasi rasa gatal.
Glukokortikoid topikal dapat mengurangi tanda dan gejala ruam.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption adalah reaksi alergi
pada kulit atau mukokutan yang terjadi akibat pemberian obat sistemik, baik
yang masuk ke dalam tubuh secara peroral, pervaginam, per-rektal, atau
parenteral. Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, pengobatan, profilaksis. Termasuk dalam
pengertian obat ialah jamu. Perlu diingat bahwa obat topikal dapat pula
menyebabkan gejala sistemik akibat penyerapan obat oleh kulit.1

Reaksi obat yang merugikan (ADR) dapat didefinisikan sebagai


manifestasi klinis yang tidak diinginkan yang dihasilkan dari pemberian obat
tertentu. Penelitian telah menemukan kulit adalah salah satu organ yang
paling sering terlibat dalam reaksi obat yang merugikan. Sebuah spektrum
yang luas dari manifestasi kulit mulai dari ruam makulopapular hingga
nekrolisis epidermal toksik (TEN) dapat disebabkan oleh berbagai kelas
obat.2

Erupsi obat eksantematosa (juga disebut morbiliform atau erupsi


obat makulopapular) adalah erupsi yang diinduksi obat yang paling umum.
Mereka dan sindrom Stevens-Johnson (SJS) yang lebih jarang dan lebih
serius, nekrolisis epidermal toksik (TEN), pustulosis eksantema
generalisata akut (AGEP), dan reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala
sistemik (DRESS) adalah reaksi hipersensitivitas yang dimediasi sel-T,
tertunda (tipe IV).3

3.2 Epidemiologi dan Etiologi

Adverse drug reaction (ADR) didefinisikan oleh World Health


Organisation (WHO) sebagai respons terhadap obat yang tidak terduga,
yang terjadi pada dosis normal yang diberikan pada manusia. ADR terjadi
pada 6,5% pasien di rumah sakit, dengan tingkat mortalitas sekitar 2%.
ADR yang tersering berupa erupsi kulit (cutaneous adverse drug
reaction/CADR), yaitu sekitar 30-45% dari keseluruhan ADR dan 2-7%
diantaranya adalah erupsi obat berat.4

Faktor presiposisi CADR bersifat multifaktorial. Mayoritas CADR


merupakan akibat dari efek farmakologi obat, dengan variasi
farmakodinamik dan farmakokinetik obat pada pasien. Faktor farmakologi,
faktor imunologi, dan faktor genetik berperan serta pada patogenesis
CADR. Faktor farmakologi yang berperan pada CADR diantaranya dosis,
formulasi obat, abnormalitas farmakokinetik dan farmakodinamik, serta
interaksi obat. Perubahan obat menjadi bahan metabolit juga dapat
merupakan penyebab terjadinya CADR.4

Faktor yang dapat meningkatkan risiko kemungkinan terjadinya


CADR termasuk umur tua atau balita, penggunaan multidrugs, penyakit
yang menyertai, riwayat CADR terdahulu, faktor genetik, serta penggunaan
pada dosis yang tinggi.4

Reaksi kulit adalah salah satu efek samping obat yang paling umum,
termasuk penisilin, sefalo sporin, agen antimikroba sulfonamida, dan
allopurinol (dengan insiden hingga 50 kasus per 1000 pengguna baru), dan
terutama obat anti kejang amina aromatik, termasuk karbamazepin. ,
fenitoin, dan lamotrigin (dengan insiden hingga 100 kasus per 1000
pengguna baru).2-7 Ruam terkait obat dilaporkan terjadi pada hampir
semua obat resep, biasanya melebihi 10 kasus per 1000 pengguna baru.
Reaksi ini dapat berkisar dari erupsi ringan tanpa gejala hingga kondisi
yang mengancam jiwa. Reaksi kulit mungkin sulit dibedakan dari ruam
umum yang tidak berhubungan dengan penggunaan obat, terutama
eksantema virus.3

3.3 Manifestasi Klinis


Jenis yang paling umum adalah ruam makulopapular (MPR) yang
ditandai dengan makula eritematosa yang berkembang dalam papula
dengan diameter 1 hingga 5 mm dan dapat menyatu dalam plak. MPR
melibatkan wajah, leher, atau batang tubuh bagian atas dan menyebar
secara tipikal secara bilateral dan simetris ke arah ekstremitas. MPR dapat
disertai dengan pruritus dan demam ringan. MPR Self-limiting dan sembuh
dalam 7-14 hari setelah berhenti melakukan pengobatan. Dengan resolusi,
lesi dapat menjadi kecoklatan dan deskuamasi dapat terjadi. EDE biasanya
dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, meskipun bukti
mekanisme seperti itu jarang terjadi. Ada waktu yang membedakan
terjadinya lesi. Pada paparan obat pertama, lesi muncul setelah fase
sensitisasi, 5-14 hari setelah dimulainya terapi dan kadang-kadang setelah
penghentian obat. Pada pasien yang sebelumnya tersensitisasi, lesi kulit
berkembang setelah pajanan ulang dengan obat yang sama dalam 6 jam
sampai 5-7 hari. Obat yang paling umum terlibat termasuk beta-laktam,
sulfonamid, dan obat antiepilepsi. EDE berkembang pada 5% sampai 10%
pasien yang diobati dengan ampisilin. Frekuensi ini meningkat secara
substansial selama infeksi virus. Anak-anak yang terinfeksi virus Epstein-
Barr berada pada peningkatan risiko ruam.5

3.4 Diagnosis

Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencurigai


terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien.
Kecurigaan tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat
anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta
pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi tantangan adalah bila
pasien mendapatkan medikasi dengan obat lebih dari satu jenis.6

Kriteria Diagnostik Klinis7

- Anamnesis
1. Riwayat menggunakan obat secara sistemik (jumlah dan jenis obat,
dosis, cara pemberian, lama pemberian, runtutan pemberian pengaruh
paparan matahari) atau kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi,
ekskoriasi, ulkus).7

2. Riwayat timbulnya kelainan kulit dengan jarak waktu pemberian obat,


apakah timbul segera, beberapa saat atau jam atau hari. Jenis kelainan
kulit yang terjadi antara lain pruritus, eritema, skuama, urtikaria, lepuh,
erosi, ekskoriasi ulkus maupun nodus.7

3. Keluhan sistemik.7

4. Riwayat atopi diri dan keluarga, alergi terhadap alergen lain, serta alergi
obat sebelumnya.7

- Pemeriksaan Fisik

1. Kelainan kulit umumnya generalisata atau universal, dapat setempat


misalnya eksantema fikstum.7

3.5 Diagnosis Banding

Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi, misalnya:7

1. Eritroderma: dapat disebabkan oleh perluasan penyakit seboroik dan


psoriasis, atau akibat keganasan.

2. Eritema nodosum (EN): EN akibat kusta, demam rheuma dan


keganasan.

3. Eritema: morbili.

4. Purpura: Idiopatik trombositopenik purpura, dengue hemoragic fever.

5. FDE: eritema multiforme bulosum


6. PEGA: psoriasis pustular

7. SSJ: pemfigus vulgaris

8. NET: kombustio

3.6 Penatalaksanaan

1. Terapi sistemik6

a. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih


kontroversi, tetapi pengalaman kami di Departemen llmu Kulit dan Kelamin
FKUl/RSCM untuk kasus EOA berat memberikan respons sangat baik dan
angka mortalitas menurun. Pada EOA ringan kortikosteroid diberikan 0,5
mg/kgBB/ hari, sedangkan pada EOA berat 1-4 mg/kgBB/hari. Selama
pemberian kortikosteroid waspadai efek samping yang terjadi misalnya
perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan peningkatan gula darah.

b. Antihistamin Antihistamin terutama diberikan EOA tipe urtikaria dan


angioedema. Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe lain
yang disertai rasa gatal yang berat, misalnya eritroderma atau
eksantematosa

2. Topikal Pemberian6

Terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan luas lesi
kulit sesuai dengan prinsip dermatoterapi. Misalnya, pada erosi akibat
epidermolisis pada SSJ/ NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam
salisilat 1-2%.

3. Terapi sistemik lain yang pemah dilaporkan adalah penggunaan


siklosporin, plasmaferesis, dan lmunoglobulin intravena (IVlg).6

3.7 Prognosis
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat
diidentifikasi dan segera dihentikankan. Pada EOA tipe berat, misalnya
eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk,
disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmanisa S, Suarsyaf HZ, Kedokteran F, Lampung U.


Exanthematous Drug Eruption pada Pria Usia 45 Tahun
Exanthematous Drug Eruption pada Pria Usia 45 tahun. J
AgromedUnila. 2017;4(1):33-36.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/download/15
46/pdf

2. Sudershan V, Siddiqua S, Aruna D, Manmohan, Ramesh S, Yasmeen


N. Cutaneous adverse drug reactions in a tertiary care hospital. Der
Pharm Lett. 2019;4(2):408-413. doi:10.9790/1959-0601011319

3. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. N Engl J Med.


2016;366(26):2492-2501. doi:10.1056/nejmcp1104080

4. Doshi B, Manjunathswamy B. Maculopapular drug eruption versus


maculopapular viral exanthem. Indian J Drugs Dermatology.
2017;3(1):45. doi:10.4103/ijdd.ijdd_19_17

5. Crisafulli G, Franceschini F, Caimmi S, et al. Mild cutaneous reactions


to drugs. Acta Biomed. 2019;90:36-43. doi:10.23750/abm.v90i3-
S.8159

6. Bramono K, Lndriatmi W. ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN.


(Menaldi SLS, ed.).; 2016.

7. PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN


INDONESIA. Panduan Praktik Klinis.; 2017.

Anda mungkin juga menyukai