Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
NOVEMBER 2022
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TRAUMA
KAPITIS
OLEH PEMBIMBING
Wulan Apriliantisyah dr. Berry Erida Hasbi, Sp.B
111 2021 2129
BAB I
PENDAHULUA
N
● Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar.
● Cedera otak dibagi menjadi cedera primer dan sekunder. Perbedaan ini penting dalam
memahami patofisiologi dan menjelaskan tujuan dalam mengelola trauma kepala: pencegahan
dan pengobatan cedera sekunder.
● Primary survey adalah life support dan resusitasi segera terhadap kelainan yang mengancam
jiwa. Tujuan dari primary survey yaitu penilaian awal dan tahap resusitasi, untuk
mengidentifikasi dan mengoreksi cedera yang mengancam nyawa dengan cepat dan efisien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
• Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
• Cedera kepala terbuka melibatkan laserasi dura dan jaringan lunak yang menyebabkan akses terbuka
dari ruang subdural ke luar.

Cedera otak akibat trauma dihasilkan dari dua proses yang berbeda:

1. cedera otak primer: terjadi pada saat trauma (memar kortikal, laserasi, fragmentasi tulang, cedera
aksonal difus, dan memar batang otak).6

2. cedera sekunder: berkembang setelah cedera awal. Termasuk cedera dari hematom intrakranial seperti,
edema, hipoksemia, iskemia (terutama karena peningkatan tekanan intrakranial (ICP) dan/atau syok),
vasospasme
Etiologi
Etiologi Penyebab utama trauma kepala adalah
(1) cedera terkait kendaraan bermotor,
(2) jatuh, dan
(3) Assaults
Berdasarkan mekanismenya, trauma kepala diklasifikasikan sebagai
(4) tumpul (mekanisme paling umum),
(5) tembus (cedera paling fatal),
(6) ledakan.
TBI yang paling parah diakibatkan oleh tabrakan kendaraan bermotor dan jatuh
Epidemiologi
Setiap wilayah kabupaten memiliki prensetase yang berbeda, untuk kasus dengan presentase tertinggi berada di
wilayah kota yogyakarta sebanyak 12,97% kasus, kabupaten sleman sebanyak 12,01% kasus, kabupaten bantul
10,55%, kabupaten gunung kidul 9,53%, dan untuk presentase terendah berada di kabupaten kulon progo
sebanyak 8,59% kasus. Insidens cedera kepala paling banyak terjadi pada usia 1-4 tahun (29,5%), usia 15-34
tahun (17,7%) dan usia >65 tahun (33,1%). Berdasarkan jenis kelamin, kasus cedera kepala lebih banyak terjadi
pada laki-laki (12,2%) daripada perempuan (11,5%). Berdasarkan etiologinya, cedera kepala banyak terjadi
karena kecelakaan transportasi darat (47,7%), jatuh (40,9%), benturan objek tumpul dan tajam (7,3%), dan
tertimpa benda (2,5%)
Klasifikasi

 Tingkat keparahan cedera


Skor Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai ukuran klinis objektif dari keparahan cedera otak.
– Skor GCS 8 atau kurang telah menjadi definisi koma atau cedera otak berat yang diterima secara umum.
– Skor GCS 9 hingga 12 dikategorikan memiliki "cedera sedang",
– Skor GCS 13 hingga 15 dikategorikan sebagai "cedera ringan".
Klasifikasi
• Morfologi
– Skull/tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi di kubah tengkorak atau dasar tengkorak, bisa berupa linier atau bintang
serta terbuka atau tertutup. Tanda klinis fraktur tengkorak basilar termasuk ekimosis periorbital (mata
rakun), ekimosis retroauricular (tanda Battle), kebocoran CSF dari hidung (rhinorrhea) atau telinga
(otorrhea), dan disfungsi saraf kranial VII dan VIII (paralisis wajah dan gangguan pendengaran), yang dapat
terjadi segera atau beberapa hari setelah cedera awal

• Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial diklasifikasikan sebagai difus atau fokal. Cedera otak difus berkisar dari concussion
ringan, di mana CT kepala normal, hingga hipoksia berat, cedera iskemik. Concussion : pasien
mengalami gangguan neurologis nonfokal sementara yang sering disertai hilangnya kesadaran.
Gambaran Klinis

Anamnesis : sakit kepala, pusing, mual, diplopia, tuli, dan amnesia.

Pemfis : memar, laserasi kulit kepala, kelainan bentuk tengkorak, pendarahan dari kulit kepala, mulut,
hidung, dan/atau telinga, penurunan kesadaran, muntah, kejang, postur, gangguan orientasi, bicara, dan/atau
koordinasi, fungsi saraf kranial, dan/atau fungsi vegetatif atau motoric.
Gangguan kesadaran meliputi penurunan kewaspadaan, gangguan atau tidak adanya orientasi dalam hal
waktu, tempat, dan kesadaran diri. Mata bisa terbuka. Ketidaksadaran (identik dengan koma): Tidak adanya
kesadaran akan lingkungan dan diri sendiri. Tanda-tanda klinisnya adalah keadaan tidak tergugah, pasien
tidak membuka mata secara spontan atau pada rangsang nyeri dan tidak mengikuti perintah
Pemeriksaan Penunjang
Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :

1. Kehilangan kesadaran, amnesia 7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau


teraba
2. Nyeri kepala menetap
8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk,
3. Gejala neurologis fokal
intoksikasi obat, epilepsi, anak
4. Jejas pada kulit kepala
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala
5. Kecurigaan luka tembus tetapi mempunyai resiko : benturan langsung atau

6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia >

hidung atau telinga 50 tahun.


Pemeriksaan Penunjang
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :

1. GCS< 13 setelah resusitasi. 6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus

2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau 7. Evaluasi pasca operasi


lebih, hemiparesis, kejang.
8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap organ )
9. Indikasi sosial
4. Terdapat tanda fokal neurologis

5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur


Tatalaksana
Primary Survey 
Tatalaksana
Secondary Survey

 Anamnesis – Amnesia retrograde atau antegrade

Informasi yang diperlukan adalah: – Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan
kesadaran, kejang, vertigo
– Identitas pasien : Nama, Umur, Sex, Suku, Agama,
Pekerjaan, Alamat – Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi
kepala
– Keluhan utama
– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat
– Mekanisma trauma
operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta
– Waktu dan perjalanan trauma gangguan faal pembekuan darah

– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma


Tatalaksana

 Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik Umum

Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus untuk menentukan
kelainan patologis, dengan metode:

– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,

– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)


Tatalaksana
2. Pemeriksaan kepala

Mencari tanda :

a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing.

b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), ekimosis post auricular (battle
sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.

c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan fraktur mandibula

d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan
jejas lain di mata.

e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan dengan diseksi karotis
Tatalaksana

3. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang

Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada
medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan
autonomik.
Tatalaksana
4. Pemeriksaan status neurologis
Terdiri dari :
a) Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai
setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR) GCS 9 – 13 : Cedera otak
sedang (COS) GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)
b) Saraf kranial, terutama: Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil
 bandingkan kanan-kiri dan Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.
c) Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal detachment.
d) Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda lateralisasi.
e) Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus
spingter ani.
Tatalaksana
Penanganan cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Tatalaksana
Penanganan cedera kepala sedang (GCS 9 – 12
Tatalaksana
Penanganan cedera kepala berat (GCS 3 – 8)
Tatalaksana
Terapi Medis untuk Cedera Otak

• Cairan Intravena : larutan ringer laktat atau salin normal direkomendasikan untuk resusitasi.

• Koreksi Antikoagulasi

• Garam Hipertonik : Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP, dalam konsentrasi 3%
sampai 23,4%; ini mungkin agen yang lebih disukai untuk pasien dengan hipotensi, karena tidak bertindak sebagai
diuretik.

• Barbiturat : Barbiturat efektif dalam mengurangi TIK yang refrakter terhadap tindakan lain, meskipun tidak boleh
digunakan pada hipotensi atau hipovolemia
Tatalaksana

• Antikonvulsan : fenitoin (Dilantin) dan fosfenitoin (Cerebyx) umumnya digunakan pada fase akut.
Untuk orang dewasa, dosis pemuatan yang biasa adalah 1g fenitoin intravena diberikan tidak lebih
cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan yang biasa adalah 100 mg/8 jam, dengan dosis dititrasi
untuk mencapai kadar serum terapeutik. Valium (Diazepam) atau ativan (Lorazepam) sering
digunakan selain fenitoin sampai kejang berhenti
Tatalaksana

Manajemen Bedah

• Kontrol perdarahan kulit kepala dengan menerapkan tekanan langsung dan kauterisasi atau ligasi pembuluh
darah besar. Kemudian aplikasikan jahitan, klip, atau staples yang sesuai. Periksa luka dengan hati-hati,
menggunakan penglihatan langsung, untuk tanda-tanda patah tulang tengkorak atau benda asing

• Untuk pasien dengan fraktur depresi tengkorak, CT scan berguna dalam mengidentifikasi derajat depresi dan,
yang penting, menyingkirkan adanya hematoma atau memar intrakranial. Umumnya, fraktur depresi tengkorak
memerlukan elevasi operasi ketika derajat depresi lebih besar dari ketebalan tengkorak yang berdekatan, atau
ketika terbuka dan sangat terkontaminasi.
Tatalaksana

• Lesi massa intrakranial harus ditangani oleh ahli bedah saraf. Jika ahli bedah saraf tidak tersedia di fasilitas
yang awalnya menerima pasien dengan lesi massa intrakranial, transfer awal ke rumah sakit dengan kemampuan
bedah saraf sangat penting.

• Pasien dengan cedera tembus yang melibatkan daerah orbitofasial atau pterional harus menjalani angiografi
untuk mengidentifikasi aneurisma intrakranial traumatis atau fistula arteriovenosa (AV); ketika cedera semacam
ini diidentifikasi, manajemen bedah atau endovaskular dianjurkan.

• Antibiotik profilaksis spektrum luas sesuai untuk pasien dengan cedera otak tembus, fraktur tengkorak terbuka,
dan kebocoran CSF.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai