Anda di halaman 1dari 17

Presentasi Kasus Stase RSUD Wates

Oleh : dr. Rissito Centricia Darumurti


Pembimbing : dr. Indarwati Setyaningsih, Sp.S(K)
dr. Djoko Kraksono, Sp.S, M.Kes
dr. Anton Darmawan, Sp.S
dr. Tis’a Callosum, M.Sc, Sp.S
Hari/Tanggal : Rabu, 23 Oktober 2018

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 61 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kokap, Kulonprogo
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Pendidikan : SD kelas 4
No. RM : 38.xx.xx
Masuk RS : 7 Oktober 2018

ANAMNESIS
Diperoleh dari pasien dan istri pasien (9 Juli 2018)

KELUHAN UTAMA
Pingsan setelah kepala tertimpa dahan pohon

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:


Tiga puluh menit sebelum masuk rumah sakit, saat sedang bekerja menebang pohon,
kepala pasien tertimpa dahan yang jatuh dari ketinggian sekitar empat meter. Saat kejadian,
pasien sedang dalam posisi berdiri agak membungkuk tanpa mengenakan helm ataupun
pelindung kepala lainnya. Setelah kejadian, pasien mengeluh nyeri kepala cekot-cekot intensitas
sedang terutama di bagian belakang kepala diikuti muntah menyemprot satu kali kemudian
pingsan selama lima menit. Saat tiba di IGD, pasien sudah sadar dan dapat mengingat kejadian
tetapi masih merasakan nyeri kepala dengan karakteristik yang sama. Disangkal kelemahan atau
kesemutan sesisi tubuh, pusing berputar, kejang, keluar cairan atau darah dari hidung atau
telinga.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Disangkal adanya:
 Riwayat cedera kepala sebelumnya
 Riwayat stroke dan kelumpuhan sebelumnya
 Riwayat gangguan perilaku sebelumnya
 Riwayat epilepsi sebelumnya
 Riwayat konsumsi alkohol sebelumnya
 Riwayat penyalahgunaan obat sebelumnya
 Riwayat penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan
 Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan sakit jantung sebelumnya

1
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Dalam keluarga disangkal adanya:
 Riwayat stroke dan kelumpuhan
 Riwayat gangguan perilaku
 Riwayat epilepsi, hipertensi, diabetes mellitus, dan sakit jantung

ANAMNESIS SISTEM
Sistem serebrospinal : nyeri kepala, muntah menyemprot, riwayat pingsan post trauma
kepala
Sistem kardiovaskuler : tidak ada keluhan
Sistem respirasi : tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
Sistem integumentum : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan

RESUME ANAMNESIS
Laki-laki 61 tahun datang dengan riwayat pingsan selama lima menit yang didahului nyeri
kepala dan muntah menyemprot setelah bagian belakang kepala tertimpa dahan pohon.
Disangkal kelemahan atau kesemutan sesisi tubuh, pusing berputar, kejang, keluar cairan atau
darah dari hidung atau telinga.

DISKUSI I
Berdasarkan anamnesis dengan pasien dan istri pasien, didapatkan keluhan riwayat pingsan
yang didahului nyeri kepala dan muntah menyemprot akibat benturan pada bagian belakang
kepala. Trauma kepala atau traumatic brain injury (TBI) didefinisikan sebagai kelainan non-
degeneratif dan non-kongenital yang terjadi pada otak sebagai akibat adanya kekuatan mekanik
dari luar serta menimbulkan gangguan temporer ataupun permanen dalam hal fungsi kognitif,
fisik, dan fungsi psikososial, dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran. Adapun
definisi dari Konsensus Nasional Perdossi mendeskripsikan TBI sebagai suatu trauma mekanik
terhadap kepala secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

Epidemiologi
Berdasarkan data yang didapatkan dari Center for Disease Control and Prevention (CDC),
setiap tahun di Amerika Serikat sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala. Di Indonesia
sendiri, prevalensi nasional cedera kepala menurut Riskesdas tahun 2013 meningkat 0,7%
menjadi 8,2% dibandingkan tahun 2007. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40,6 % diakibatkan oleh
kecelakaan sepeda motor. Laporan tahunan di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito tahun
2006 menunjukkan kejadian cedera kepala sebagai alasan orang datang ke UGD memiliki
proporsi sebesar 75%. Insidensi terbesar kasus cedera kepala terjadi pada kelompok usia
produktif, yaitu remaja dan dewasa muda. Berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa laki-laki
dua kali lebih sering mengalami cedera kepala dibandingkan perempuan.

2
Diagnosis cedera kepala ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa gangguan pasca trauma
kepala yang diikuti dengan ada tidaknya gangguan kesadaran ataupun lucid interval, otorrhea
ataupun rhinorrhea, serta amnesia pasca trauma. Penilaian klinis neurologis diperlukan untuk
menilai apakah terdapat tanda-tanda defisit fokal. Pemeriksaan pendukung berupa pencitraan
dengan foto polos kepala posisi AP/lateral/tangensial atau dengan CT Scan kepala.

Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala dapat dilakukan dengan berbagai cara pembagian, namun yang
sering digunakan adalah berdasarkan keadaan klinis dan patologis. Berdasarkan kondisi klinis
pasien, klasifikasi cedera kepala didasarkan pada kesadaran pasien yang dalam hal ini
menggunakan Glasgow coma scale (GCS) sebagai patokannya. Terdapat tiga kategori yaitu CKR
(GCS: 14-15), CKS (GCS: 9-13), dan CKB (GCS ≤ 8) (Greenberg, 2001). Tanpa mempedulikan
nilai GCS, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila: (1) pupil tidak isokhor,
(2) terdapat lateralisasi pada pemeriksaan motorik, (3) cedera kepala terbuka dengan bocornya
CSS atau jaringan otak yang terbuka, (4) ditemukan deteriorasi neurologis, (5) terdapat fraktur
depresi pada tengkorak. Terdapat pula pembagian cedera kepala menurut Perdossi yang
bertujuan sebagai pedoman triase di ruang gawat darurat, yaitu sebagai berikut:

Kategori GCS Gambaran Klinik CT-Scan Otak


Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal
Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, defisit neurologi (-) Normal
Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6 jam, defisit Abnormal
neurologi (+)
Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurologi (+) Abnormal

Terlepas dari klasifikasi di atas, apabila didapatkan abnormalitas CT-scan berupa perdarahan
intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera kepala berat.
Berdasarkan proses patologis terjadinya lesi, cedera kepala dibagi dua: primer dan sekunder.
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang dapat mengenai jaringan kulit kepala hingga otak
dalam bentuk laserasi, perdarahan (hematoma), fraktur tulang tengkorak, ataupun kerusakan
jaringan otak dan terjadi pada masa akut, yaitu langsung pada waktu terjadinya cedera, yang
dapat mengenai jaringan kulit kepala hingga otak. Sementara itu, cedera kepala sekunder
didefinisikan sebagai kerusakan yang terjadi sesudahnya, yaitu sebagai komplikasi lanjutan dari
cedera kepala primer. Yang termasuk dalam cedera kepala sekunder antara lain edema jaringan
otak, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi jaringan otak, hipoksia, dan sebagainya
Klasifikasi lain untuk cedera kepala dibuat dengan mengutamakan kegunaan praktis
berdasarkan mekanisme terjadinya atau berdasarkan morfologinya. Berdasarkan mekanisme,
cedera kepala terbagi menjadi cedera kepala tertutup dan cedera kepala penetrans. Kedua istilah
tersebut sebenarnya tidak bisa betul-betul dipisahkan. Dalam penerapan klinisnya, istilah cedera
kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh, dan pukulan,
sedangkan cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.
Secara morfologis, cedera kepala dapat digolongkan secara umum ke dalam dua kelompok
utama: fraktur tengkorak dan lesi intrakranial. Untuk kepentingan ini, kehadiran CT-Scan
menjadi sangat penting. Fraktur tengkorak dapat terjadi di kalvaria ataupun basis, berwujud
linear ataupun stelata, dengan depresi ataupun tanpa depresi tulang. Fraktur tengkorak basal sulit
tampak pada foto sinar X polos dan seringkali memerlukan CT-Scan dengan setelan jendela

3
tulang (bone window) untuk memperlihatkan lokasinya. Fraktur tengkorak merupakan pertanda
keparahan yang nyata setelah cedera kepala. Fraktur linear pada kalvaria meningkatkan risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang tidak sadar dan 20 kali pada pasien
yang sadar. Oleh karena itu, temuan fraktur tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat di
rumah sakit untuk pengawasan, tanpa mempedulikan bagaimana baiknya gambaran klinis pasien
tersebut. Lesi intrakranial sendiri dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walaupun
kedua bentuk cedera ini seringkali terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi fokal antara lain
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusio atau hematoma intraserebral. Pasien pada
kelompok cedera otak difusa secara umum menunjukkan CT-Scan normal tetapi secara klinis
bermanifestasi sebagai perubahan kesadaran yang nyata atau bahkan koma dalam. Cedera ini
merupakan jenis cedera kepala yang paling sering.

Patofisiologi
Benturan kepala akan menimbulkan respon pada tengkorak dan otak. Secara klinis, respon
ini dapat berupa fraktur dan cedera otak. Risiko pasien mengalami fraktur dan cedera otak
bergantung kepada faktor akselerasi kepala dan durasi gaya mekanik pada kepala. Benturan pada
permukaan yang keras memiliki durasi singkat dengan akselerasi tinggi. Sementara itu, durasi
yang lebih lama pada permukaan yang kurang keras menurunkan risiko fraktur, tetapi tidak
demikian halnya untuk risiko cedera kepala. Akselerasi timbul karena kepala yang bergerak,
sedangkan deselerasi muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Terdapat dua tipe cedera
kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera tembus. Adanya penetrasi duramater
merupakan tolok ukur untuk menentukan cedera kepala disebut tumpul atau tembus. Cedera
tumpul disebabkan oleh mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat pada kepala dengan atau
tanpa benturan. Sedangkan cedera tembus merupakan akibat dari penetrasi tulang tengkorak oleh
objek eksternal. Gaya mekanik eksternal yang mengenai kapala menimbulkan cedera otak primer
dan sekunder. Cedera otak primer terjadi karena efek sangat segera pada otak saat trauma terjadi,
sedangkan cedera otak sekunder terjadi beberapa saat setelah trauma terjadi. Mekanisme coup
dan countercoup terjadi belawanan, di mana coup terjadi pada sisi benturan sedangkan
countercoup terjadi pada sisi berlawanan akibat pantulan dari benturan.
Cedera otak primer akibat benturan kepala menimbulkan serangkaian proses yang pada
akhirnya menjadi cedera otak sekunder. Saat benturan terjadi, neuron mengalami regangan dan
tarikan yang termasuk dalam cedera otak primer. Peristiwa ini mengganggu integritas dan kerja
pompa ion membran sel sehingga terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium ke intrasel diikuti
perpindahan ion kalium ke ekstrasel. Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan kadar ion kalsium
intrasel yang nantinya akan mengaktivasi calpain yang dapat mendegradasi protein sitoskeletal.
Kadar ion kalsium intrasel yang meningkat juga akan menginduksi pelepasan glutamat yang
pada gilirannya akan mengaktivasi reseptor N-metil D-aspartat (NMDA). Selanjutnya terjadi
konsentrasi ion kalsium di mitokondria yang memicu pembentukan radikal bebas, aktivasi
kaspase, apoptosis neuron, serta fosforilasi oksidatif inefisien. Pada akhirnya akan terjadi
metabolisme anaerob dan kegagalan energi yang nantinya menyebabkan neuron tidak dapat
berfungsi normal dan mengalami asidosis, edema, serta iskemik yang berpotensi memperberat
kerusakan jaringan otak.
Berdasarkan anamnesis, pasien diketahui sempat mengalami penurunan kesadaran dengan
durasi lima menit setelah benturan kepala. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh berbagai
kausa, antara lain gangguan vaskuler, intoksikasi, trauma, autoimun, metabolik, infeksi,
neoplasma, dan epilepsi. Derajat kesadaran ditentukan oleh jumlah input susunan saraf pusat.

4
Input spesifik disampaikan ke korteks perseptif primer dan memproduksi bentuk kesadaran yang
spesifik, seperti perasaan protopatik, proprioseptif, dan pancaindera. Input non-spesifik
disalurkan melalui lintasan non-spesifik ke thalamus (inti intralaminar) dan memicu struktur
tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral.
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologi disebabkan oleh komosio serebri,
kontusio serebri, laserasi serebri, perdarahan subdural, perdarahan epidural, serta perdarahan
intraserebral.
1. Komosio Serebri
Commotio cerebri (gegar otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari
10 menit akibat trauma kepala tanpa disertai kerusakan jaringan otak. Pasien dapat pula
melaporkan keluhan nyeri kepala, vertigo, muntah, serta tampak pucat. Vertigo dan
muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin ataupun terangsangnya pusat-pusat dalam
batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu
hilangnya ingatan terbatas pada saat sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul
akibat terhapusnya memori kejadian di lobus temporalis.
2. Kontusio Serebri
Kontusio serebri biasanya terjadi langsung pada bagian yang mengalami trauma atau sisi
berlawanan dari bagian tersebut akibat adanya proses countercoup. Dikarenakan adanya
mobilitas otak di dalam kavitas kranium, gerakan akselerasi-deselerasi akan
menimbulkan benturan otak pada tulang kranium. Suatu trauma yang mengenai sisi
belakang kepala akan membuat lobus temporalis menyusuri fossa kranium media dan
lobus frontalis menyusuri lantai fossa kranium anterior, menyebabkan kontusio pada
permukaan basis kedua lobus tersebut, dan menimbulkan kontusio pada polus temporalis
dan frontalis saat keduanya masing-masing menghantam krista sphenoidalis dan os
frontalis.
3. Laserasi serebri
Laserasi serebri merupakan kontusio serebri yang berat dengan akibat gangguan
kontinuitas jaringan otak. Dalam hal ini terjadi kerusakan pada piamater. Laserasi
biasanya berkaitan dengan kejadian perdarahan subarachnoid, subdural, dan intraserebral.
Laserasi yang timbul dapat bersifat langsung akibat benda asing atau fragmen tulang dan
dapat pula secara tidak langsung akibat benturan mekanis yang keras.
4. Perdarahan Subdural
Hematoma subdural adalah kumpulan darah yang terjadi diantara duramater dan
araknoid, akibat dari trauma terhadap jembatan vena (bridging vein). Perdarahan subdural
akut ditemukan pada 30% kasus cedera kepala berat dan lebih sering terjadi dibandingkan
perdarahan epidural. Perdarahan ini dapat disertai fraktur tulang kepala ataupun tidak.
Oleh karena hematom terletak di bawah durameter, jaringan otak di bawahnya biasanya
juga mengalami kerusakan sehingga prognosisnya lebih jelek bila dibandingkan dengan
perdarahan epidural. Hematom subdural akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu
proses desak ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma
atau demensia.
Gejala perdarahan subdural memiliki onset lebih lambat dibandingkan dengan
perdarahan epidural, karena pembuluh darah vena lebih rendah tekanannya dibandingkan
arteri. Oleh karena itu tanda dan gejala yang muncul bisa segera bisa lambat. Paling
sering di daerah temporal dan parietal, sedangkan daerah frontal dan oksipital lebih
jarang. Gejala yang terjadi pada hematoma subdural subakut, pada dasarnya serupa akan

5
tetapi perjalanan munculnya keluhan dan tanda lebih lama dari yang akut. Sedangkan
hematoma subdural kronik akan menyebabkan perjalanan gejala yang lebih lambat lagi.
Gejala dapat berupa nyeri kepala yang sifatnya kronis dan progresif, hemiparese,
anisokoria pupil, muntah-muntah, iritabilitas, apatis, amnesia, gangguan kepribadian,
tanda-tanda demensia, atau dapat pula terjadi kejang. Dalam keadaan tertentu, bahkan
gejala dapat pula tidak dirasakan oleh penderita, atau dirasakan sebagai keluhan ringan
saja.
5. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural atau perdarahan ekstradural merupakan suatu keadaan di mana
terjadi penumpukan darah antara duramater dan tabula interna tulang kalvaria, umumnya
disebabkan oleh trauma tumpul pada kepala. Lokasi yang paling sering terpengaruh
adalah regio temporal dan temporoparietal (70%), sedangkan sisanya dapat ditemukan di
bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri posterior. Sumber perdarahan yang paling
sering adalah percabangan arteri meningea media. Sebagian besar perdarahan epidural
disertai dengan fraktur. Pada keadaan dimana tidak terjadi fraktur, peningkatan tekanan
intrakranial yang ditimbulkan akan menjadi lebih besar. Perdarahan epidural memiliki ciri
klasik lucid interval, yaitu masa di mana penderita sadar sebelum kemudian mengalami
penurunan kesadaran kembali. Pada pemeriksaan CT-scan ditemukan gambaran massa
hiperdens berbentuk bikonveks (double convex sign). Operasi tidak mutlak dilakukan
pada kondisi volume perdarahan < 30 cc atau tebal perdarahan ≤ 1 cm dan tidak
bertambah besar.
6. Perdarahan Intraserebral
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi di dalam parenkim otak.
Perdarahan tipe ini timbul akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah di dalam jaringan otak. Lesi dapat berupa fokus
perdarahan kecil ataupun luas. Perdarahan yang kecil umumnya disebabkan oleh
akselerasi dan deselerasi, sedangkan yang luas disebabkan oleh laserasi atau kontusio.
Disebut hematoma intraserebri jika volume perdarahan lebih dari 5 cc, sedangkan jika
kurang dari 5 cc disebut sebagai petechial intraserebri (kontusio serebri). Perdarahan
dapat terjadi segera, dapat pula beberapa hari atau minggu kemudian, khususnya pada
pasien lanjut usia. Sehingga dapat saja terdapat periode lucid interval yang cukup lama
yang kemudian diikuti dengan munculnya gejala secara progresif.
Defisit neurologis yang ditimbulkan sangat bervariasi serta tergantung pada lokasi
dan luas perdarahan. Perdarahan pada lobus temporal memberikan risiko besar terjadinya
herniasi uncal yang berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan
hematoma subdural, kontusio atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek yang
juga fatal, dan disebut sebagai ‘burst lobe’. Terdapat pula bentuk perdarahan lain yang
disebut Bollinger’s apoplexy, yaitu suatu hematoma intraserebral yang terjadi setelah
beberapa minggu (atau bulan) paska cedera dan selama window period tersebut pasien
dalam keadaan neurologis yang normal. Kondisi ini berkaitan dengan keadaan hipotensi,
syok, DIC, dan konsumsi alkohol.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa riwayat penurunan kesadaran dengan
durasi lima menit yang didahului nyeri kepala dan muntah menyemprot setelah benturan di
bagian belakang kepala pada pasien ini paling mungkin disebabkan oleh komosio serebri dengan
diagnosis banding kontusio serebri.

6
DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinis : Riwayat loss of consciousness, sindroma peningkatan tekanan
intrakranial
Diagnosis topik : ARAS, hemisferium serebri
Diagnosis etiologik : Diagnosis banding: - Komosio serebri
- Kontusio serebri

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis (7 Oktober 2018)
Keadaan umum : Lemah, kesan status gizi cukup, BMI 19,53 (BB: 50 kg, TB: 160 cm)
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tanda vital : Tekanan darah = 100/60 mmHg (MAP = 73 mmHg)
Nadi = 50 kali per menit, reguler
Pernafasan = 22 kali per menit, reguler
Temperatur = 36,7oC
NPS =6
Kepala : Mesosefal, deformitas (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : Limfonodi tidak teraba membesar
Toraks : Paru : Inspeksi : Simetris
Palpasi : Fremitus kanan = kiri normal, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba 2 cm medial LMCS
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : SI-II murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani (+) diseluruh abdomen
Abdomen : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Edema (-), atrofi otot (-)

Pemeriksaan Status Mental


Kewaspadaan : Alert
Observasi perilaku
1. Perubahan tingkah laku : Sedikit gelisah karena kesakitan
2. Status mental
a. Cara berpakaian : Sesuai
b. Alur pembicaraan : Normal
c. Perubahan mood dan emosi : Dalam batas normal
d. Isi pikiran : Realistis, sesuai usia
e. Kemampuan intelektual : Sulit dinilai karena kesakitan, kesan baik
3. Sensorium
a. Kesadaran : Compos mentis

7
b. Atensi : Normal
c. Orientasi : Waktu, tempat, orang baik
d. Memori : Sesuai usia
e. Kecerdasan berhitung : Sesuai usia
f. Tilikan, keputusan, rencana : Sesuai usia
g. Fungsi visuospatial : Dalam batas normal

Status Neurologis
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4V5M6
Kepala : Mesosefal
Leher : Meningeal signs (-)

Nervi kranialis Kanan Kiri


N.I Daya penghiduan Normal Normal
N.II Daya penglihatan Normal Normal
Medan penglihatan Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
N.III Ptosis (-) (-)
Gerakan mata ke medial Normal Normal
Gerakan mata ke atas Normal Normal
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Reflek cahaya langsung (+) (+)
Reflek cahaya konsensual (+) (+)
Reflek akomodasi Normal Normal
Strabismus divergen Normal Normal
N.IV Gerakan mata ke lateral bawah Normal Normal
Strabismus konvergen Normal Normal
N.V Menggigit Normal Normal
Membuka mulut Normal Normal
Sensibilitas muka Normal Normal
Reflek kornea (+) (+)
Trismus (-) (-)
N.VI Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Strabismus konvergen Normal Normal
Diplopia -
N.VII Kedipan mata Normal Normal
Lipatan nasolabial Normal Mendatar
Sudut mulut Normal Turun
Mengerutkan dahi Normal Normal
Mengerutkan alis Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Meringis Normal Terbatas
Menggembungkan pipi Normal Terbatas

8
Daya kecap lidah 2/3 depan Normal Normal

N.VII Mendengar suara berbisik Normal Normal


I Tes Rinne Normal Normal
Tes Webber Tanpa lateralisasi
Tes Schwabach Normal Normal
N.IX Arkus faring Normal
Daya kecap lidah 1/3 belakang Normal Normal
Reflek muntah Normal Normal
Sengau Normal Normal
Tersedak - -
N.X Denyut nadi 50 x/menit, regular 50 x/menit, regular
Arkus faring Normal
Bersuara Normal Normal
Menelan Normal Normal
N.XI Memalingkan kepala Normal Normal
Sikap bahu Normal
Mengangkat bahu Normal Normal
Trofi otot bahu Normal Normal
N.XII Sikap lidah Normal
Artikulasi Normal
Tremor lidah - -
Menjulurkan lidah Normal
Trofi otot lidah Normal Normal
Fasikulasi lidah - -

Ekstremitas :
G B B K 5/5/5 5/5/5 RF +2 +2 RP - -
B B 5/5/5 5/5/5 +2 +2 - -

Tn N N Tr E E Cl - -
N N E E
Cara berjalan : Sulit dinilai karena kesakitan
Sensibilitas : Dalam batas normal
Vegetatif : BAK dan BAB dalam batas normal
TOAG : 88
MMSE : 20
Moca-Ina : 15

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (20 Juli 2018):
Hb : 13,7 Neutrofil : 80,0% Na : 140,7
AL : 11,67 Limfosit : 13,8% K : 3,8
AT : 230 Monosit : 4,1% Cl : 105,0

9
AE : 4,47 Eosinofil : 1,7%
Hmt : 42,0 Basofil : 0,4%
GDS : 124 Ureum : 30
Kreatinin : 1,01
CT-scan Kepala Non-kontras (7 Oktober 2018):

Interpretasi CT-scan Kepala Non-kontras:


- Hematoma ekstrakranial regio oksipitoparietal
- SDH di lobus oksipitalis dekstra
- Fraktur os oksipitalis dekstra

EKG (7 Oktober 2018):

KONSULTASI
Konsultasi Kardiologi (dr. Wahyu, Sp.JP):
- Assessment:

10
 Sinus bradicardia, normoaksis
 Suspek sinus node dysfunction

- Plan:
 MAP > 65 mmHg → tidak perlu Vascon
 EKG evaluasi besok pagi
 Cek elektrolit
 Holter monitoring via rawat jalan

RESUME PEMERIKSAAN FISIK


Nadi : 50 x/menit
NPS :6
Status generalis dan status neurologis lainnya dalam batas normal

DISKUSI II
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, dapat disimpulkan bahwa pada pasien
tersebut didapatkan temuan berupa:
 Riwayat penurunan kesadaran yang diikuti nyeri kepala dan bradikardia
 Hasil CT-scan kepala menunjukkan adanya hematoma ekstrakranial regio
oksipitoparietal, hematoma subdural di lobus oksipitalis dekstra, dan fraktur os oksipitalis
dekstra
Menurut sumber perdarahannya, hematoma subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur jembatan vena (bridging vein), yaitu vena-vena yang
berjalan dari ruangan subarakhnoid atau kortek serebri melintasi ruangan subdural dan
bermuara didalam sinus venosus duramater
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subarakhnoid, atau
arakhnoid yang disertai robekan selaput arakhnoid
Perdarahan subdural sendiri dapat memberikan manifestasi gejala akut, subakut (delayed
subdural hematoma (DSDH), kronis. Dilihat dari masa lucid interval-nya, SDH dapat dibagi
menjadi tiga kategori: (1) SDH akut: 0-5 hari, (2) SDH subakut: 5 hari – beberapa minggu, dan
(3) SDH kronik: > 3 bulan.
Setelah terjadinya perdarahan di dalam ruang subdural, akan terbentuk selaput tipis dari
fibrin dan fibroblast yang melapisi permukaan luar hematoma. Migrasi dan proliferasi fibroblast
ke formasi membran bekuan darah berakhir pada hari ke-4. Membran luar secara progresif
membesar dan fibroblast menyerbu hematoma untuk membentuk membran tipis selama 2
minggu berikutnya. Pencairan hematoma terjadi karena adanya fagosit. Hematoma selanjutnya
akan diresorpsi secara spontan dan perlahan-lahan bertambah besar ukurannya sehingga
terbentuk hematoma subdural kronik.
Diagnosis hematoma subdural secara definitif ditentukan dengan pemeriksaan neuroimaging
otak, antara lain menggunakan Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Secara umum, indikasi dilakukannya CT-scan kepala pada pasien yang mengalami cedera
kepala ialah sebagai berikut:
1. GCS kurang dari 13, atau GCS 13-14 pada dua jam setelah trauma
2. Kecurigaan adanya fraktur tulang tengkorak atau trauma kepala penetrasi
3. Kejang pascatrauma

11
4. Defisit neurologis fokal
5. Lebih dari satu kali episode muntah
6. Amnesia pada kejadian yang terjadi lebih dari 30 menit sebelum terjadinya trauma

7. Adanya penurunan kesadaran atau amnesia pada pasien trauma kepala yang:
- Berusia 65 tahun ke atas
- Memiliki riwayat koagulopati
- Mengalami trauma kepala dengan energi tinggi
Untuk hematoma subdural sendiri, dapat terjadi perubahan densitas pada pemeriksaan CT-scan
sesuai dengan lama terjadinya, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam 1 sampai 3 hari (akut): densitas hiperdens
2. Dalam 4 hari sampai 2 atau 3 minggu (subakut): densitas isodens
3. Lebih dari 3 minggu dan kurang dari 3 sampai 4 bulan (kronik): densitas hipodens
(mendekati densitas cairan serebrospinal), setelah antara 1 sampai 2 bulan menjadi
berbentuk lentikular (mirip dengan hematoma epidural) dengan densitas lebih tinggi
dibandingkan cairan serebrospinal tetapi lebih rendah dibandingkan darah segar.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,
didapatkan temuan hematoma subdural sehingga diagnosis cedera kepala pada pasien ini
termasuk kategori berat.

DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis klinis : Riwayat loss of consciousness, sindroma peningkatan tekanan
intrakranial
Diagnosis topik : ARAS, spatium subdural
Diagnosis etiologik : 1. Hematoma subdural traumatik
2. Fraktur os oksipitalis dekstra
Diagnosis lain : Bradikardia ec suspek sinus node dysfunction

TERAPI
Terapi pada pasien ini adalah:

1. Non-Farmakologik
Edukasi keluarga
Awasi kesadaran dan tanda-tanda vital
Awasi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

2. Farmakologik
O2 3 lpm nasal cannulae
Infus Asering 20 tpm
Infus Mannitol 125 cc/6 jam → tunggu TD > 100/70 mmHg
Inj. Kalnex 500 mg/12 jam
Inj. Citicholin 250 mg/12 jam
Inj. Piracetam 1 gram/8 jam

12
Tatalaksana pasien cedera kepala meliputi survey primer dan sekunder. Survey primer
digunakan untuk stabilisasi kondisi pasien, meliputi tindakan: (1) membebaskan jalan nafas
(airway), (2) memastikan nafas adekuat (breathing), (3) mempertahankan tekanan darah dan
sirkulasi (circulation), serta (4) pemeriksaan cepat status umum dan status neurologis, termasuk
tanda-tanda vital dan GCS. Survey sekunder dilakukan pada saat kondisi pasien sudah stabil,
meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Manajemen terapi pada kasus cedera kepala
meliputi:
1. Terapi non medikamentosa yaitu bed rest dan elevasi kepala 30o.
2. Terapi medikamentosa
Hal terpenting dalam penanganan cedera kepala adalah mencegah kerusakan
neuronal yang akan memperburuk outcome, sehingga pencegahan sekunder sangatlah
penting. Pemberian neuroprotektan dan neurotropik sangat dianjurkan selain terapi untuk
menangani ABC dan pengendalian tekanan intrakranial. Neuroprotektan yang kerap
diberikan adalah piracetam dan citicholin. Piracetam memperbaiki metabolisme otak
dengan cara memacu katabolisme oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP,
meningkatkan level cAMP, serta memperbaiki metabolisme phospholipid dan bio-sintesis
protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak.
Pemberian piracetam dapat dilakukan pada pasien cedera otak maupun paska cedera
kepala dengan gejala post-concussion syndrome dengan efek memperbaiki gejala
neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-
30 gr/hari baik injeksi maupun oral, sedangkan untuk pemeliharaan diberikan dosis
peroral 4,8 gr/hari. Sementara itu, citicholin (cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-
choline) berfungsi mengaktivasi biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron,
meningkatkan metabolise otak dan menambah level neurotransmitter termasuk
acetylcolin dan dopamin. Citicholin juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim
mitochondria ATPase dan Na/K-ATPase serta menghambat enzim fosfolipase A2.
Citicholin dapat diberikan pada pasien cedera otak sesaat setelah kejadian ataupun dalam
jangka panjang untuk mengurangi gejala post-concussion syndrome serta memperbaiki
GCS dan fungsi kognitif pasien. Dosis yang dapat diberikan yaitu 1 gram/hari baik secara
peroral maupun injeksi.
Pemberian manitol bertujuan untuk menurunkan tekanan
intrakranial, yaitu dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan
intravaskular. Manitol 20% sebagai agen diuretik osmotik dapat memasuki sawar
darah-otak dan darah-LCS. Hal ini akan menimbulkan peningkatan gradien osmotik
antara darah dan jaringan otak sehingga cairan dapat “ditarik” keluar dari sel-sel saraf.
Berdasarkan konsensus penanganan trauma kapitis Perdossi, pemberian manitol 20%
dapat dilakukan berdasarkan aturan berikut:
Dosis awal : 1 gr/kgBB, drip cepat dalam ½-1 jam
Pada 6 jam setelah dosis awal : 0.5 gr/kgBB, drip cepat dalam ½-1 jam
Pada 12 jam setelah dosis awal : 0.25 gr/kgBB, drip cepat dalam ½-1 jam
Pada 24 jam setelah dosis awal : 0.25 gr/kgBB, drip cepat dalam ½-1 jam
Pemberian manitol juga dapat dilakukan dengan dosis 0,5-1 gram/kgBB setiap 6 jam
selama 24-48 jam. Penggunaan manitol jangka panjang tidak dianjurkan karena dapat
mengganggu tekanan osmotik intravaskular dan intraselular serta berisiko terjadi nekrosis
tubular ginjal. Adapun proses tappering off dilakukan dengan tujuan menghindari efek

13
“rebound” yang dapat terjadi akibat eliminasi agen osmotik dari darah lebih cepat
dibandingkan eliminasinya dari jaringan otak.
Pada pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar prostaglandin yang berperan
dalam pembentukan nyeri sebagai reaksi inflamasi. NSAID seperti ketorolac, metamizol,
dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri dengan cara menghambat sintesa
prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX). Paracetamol tidak
termasuk NSAID tetapi memiliki mekanisme yang sama dalam menghambat sintesa
prostaglandin melalui blokade enzim COX. Terlepas dari peningkatan kadar
prostaglandin pada cedera otak, pemakaian obat NSAID berisiko menyebabkan
perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal. Pemberian regimen profilaksis acid
suppressor agent dapat menurunkan insidensi perdarahan gastrointestinal akibat stress
ulcer melalui pengaturan pH asam lambung.
Pada kasus trauma kepala dengan perdarahan intrakranial, dapat pula diberikan terapi
asam traneksamat. Hal ini didasarkan pada penelitian yang menunjukkan pemberian asam
tranexamat memberikan hasil signifikan dalam mencegah pertambahan volume perdarah
pada traumatic brain injury akut antara yang diberi asam tranexamat dan yang tidak
diberikan. Pemberian antikonvulsan dapat dipertimbangkan apabila terdapat riwayat
kejang ataupun sebagai profilaksis pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi.
Fenitoin diberikan dengan dosis awal 1250 mg intravena dalam waktu 10 menit dan
dilanjutkan dengan dosis 250-500 mg per infus selama 4 jam. Setelah itu dapat diberikan
dosis rumatan 3x100 mg/hari secara peroral ataupun intravena. Diazepam dapat diberikan
ketika pasien sedang mengalami kejang tetapi tidak sebagai terapi rumatan.
3. Terapi rehabilitatif
Mobilisasi bertahap dapat dilakukan secepatnya setelah pasien dalam keadaan stabil.

Perdarahan subdural merupakan suatu kondisi kegawatan bedah yang bisa menimbulkan
kematian jika hematomanya tidak diangkat secara tepat sehingga sangat penting untuk tidak
menunda dilakukannya prosedur evakuasi hematoma. Prosedur pembedahan pada perdarahan
subdural adalah dengan pembuatan burrhole pada kondisi gawat darurat, atau lebih disarankan
kraniotomi, evakuasi hematoma, serta identifikasi dan ligasi pembuluh darah yang ruptur. Hasil
dari tindakan pembedahan biasanya baik, kecuali jika disertai dengan fraktur yang masif dan
keterlibatan sinus venosus duramatris. Kasus perdarahan subdural yang ringan, bila dilakukan
CT-scan kepala serial akan menunjukkan perdarahan yang meluas dalam waktu satu sampai dua
minggu sebelum akhirnya terabsorbsi. Terapi konservatif dimungkinkan apabila terpenuhi
kriteria yang meliputi volume hematoma kecil (<10 ml), GCS >12, dan lokasi selain di area
temporal. Walaupun demikian, perlu diperhatikan adanya kemungkinan kebutuhan akan
intervensi bedah selama masa perawatan konservatif jika pasien perdarahan subdural mengalami
deteriorasi neurologis, penambahan volume hematoma yang teridentifikasi melalui CT-scan
kepala serial, bradikardia, hemiparesis, dan abnormalitas pupil. Diagnosis perdarahan subdural
seawal mungkin dan intervensi bedah yang segera dapat memberikan prognosis yang baik.

PROGNOSIS
Outcome dari cedera kepala berat tergantung pada berbagai faktor termasuk karakteristik
dasar pasien, tingkat keparahan cedera kepala, dan terjadinya komplikasi medis dan cedera otak
sekunder. Prediktor outcome yang buruk yang telah diidentifikasi meliputi:
• GCS pada saat masuk (khususnya skor motorik GCS)

14
• Adanya kelainan pada gambaran CT-scan (perdarahan subarachnoid, penipisan cisternal,
pergeseran garis tengah) beserta tingkat keparahannya
• Usia (usia tua berhubungan dengan survival rate dan tingkat pemulihan yang lebih
rendah)
• Cedera dan komplikasi terkait
• Fungsi pupil
• Hipotensi
• Hipoksemia
• Hiperpireksia
• Peningkatan tekanan intrakranial

• Penurunan cerebral perfusion pressure


• Parameter diastasis perdarahan yang buruk (jumlah trombosit yang rendah, parameter
koagulasi abnormal)
Terjadinya delirium paskatrauma kepala merupakan prediktor independen untuk prognosis yang
lebih buruk, meliputi waktu tinggal di rumah sakit yang lebih lama, peningkatan morbiditas, dan
peningkatan mortalitas. Amnesia pascatrauma juga bisa menjadi faktor prognostik yang berguna.
Sembilan puluh lima persen pasien dengan periode amnesia kurang dari satu jam bisa kembali
bekerja dalam waktu dua bulan. Jika amnesia yang terjadi lebih dari 24 jam, 80% pasiennya akan
kembali bekerja dalam kurun waktu enam bulan.

Berdasarkan berbagai faktor diatas, maka prognosis pasien ini sebagai berikut :
Death : ad bonam
Disease : ad bonam
Disability : ad bonam
Discomfort : ad bonam
Disatisfaction : ad bonam
Destitution : ad bonam

15
DAFTAR PUSTAKA

Adam, R.D, Victor, M. 2005. Principles of Neurology. 7th ed. Mc Graw Hill Inc. Singapore.
Aminoff, M.J., Greenberg D.A., Simon R.P. 2005. Clinical Neurology, 6th Ed, McGraw Hill,
United State of America.
Ashley M.J., 2004, Traumatic Brain Injury, CRC Press, Washington DC, USA.
Barmawi, A., 2007. Laporan Tahunan Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr Sardjito. Yogyakarta.
Bhau, K.S., Bhau, S.S., Dhar, S., Kachroo, S.L., Babu, M.L., Chrungoo, R.K. 2010. Traumatic
Extradural Haematoma – Role of Non-surgical Management and Reasons for Conversion.
Indian Journal of Surgery 72 :124-129
Davis, L.E., King, M.K., Schultz, J.L. 2005. Fundamentals of Neurologic Disease. Demos
Medical Publishing. New York.
Departemen Neurologi, 2017. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi FK UI. Jakarta
Dubey A., Pillai S.V., Kolluri, S.V.R. 2004. Does Volume of Extradural Hematoma Influence
Management Strategy and Outcome? Neurology India 52(4):443-445
Greenberg,M.S., 2001. Handbook of Neurosurgery. fifth edition. Thieme Medical Publisher. New
York.
Greenberg. M.S. Handbook of Neurosurgery. 6th eds. New York: Thieme. 2006
Islam, M.M., Bhuiyan, T.H., Hassan, M.K., Assadulla, M.A.T.M., Raihan, Z., Hossain, S.S.
2011. Management Strategy and Outcome of Epidural Hematoma in Relation to Volume.
Faridpur Medical College Journal 6(2):89-91
James, S. 2004. Piracetam. IAS House, Les Autelets, Sark GY9 OSF, Great Britain
Jokar, A., Ahmadi, K., Salehi, T., Alhoseini, MS. 2017. The Effect of Tranexamic Acid in
Traumatic Brain Injury: A Randomized Controlled Trial. Chinese Journal of Traumatology
Katz, D.I. and Zafonte R.D. 2007. Brain Injury Medicine : Principles And Practice. Demos
Medical Publishing. New York
Kaye, A.H. 2005. Essential Neurosurgery 3rd Edition. Blackwell Publishing. Victoria, Australia
Lindsay, K.W., Bone I., Callender R. 2004. Neurology and Neurosurgery Illustrated, 3th ed.,
Churchill, Livingstone. Tokyo
Mardjono, M., Sidharta, P., 2000, Neurologi Klinis Dasar, Cetakan kedelapan, PT.Dian Rakyat,
Jakarta
Mayer, M., 2007, Neurology On Call,3rded. Saunders, Elsevier. Philadelphia
PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta
PERDOSSI, 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia, Jakarta.

16
Ropper, A.H. and Samuels M.A. 2009. Adams & Victor’s Principles of Neurology, 9th Edition.
Mc Graw Hill Inc. New York.
Rusell, W.R. 1971. The Traumatic Amnesia. Oxford. London
Sjahrir H. 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo. Pustaka Cendekia. Yogyakarta
Tim Neurotrauma, 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak (Guideline in Management of
Traumatic Brain Injury) Edisi Kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya
Ugane, S.P., Qazi, H. Traumatic Extradural Hematoma – Our Comparative Experience Between
Conservative and Surgical Management in Rural India. IOSR Journal of Dental and
Medical Sciences 1(3) : 07-11
Wahjoepramono E.J., 2005, Cedera Kepala, FK Universitas Pelita Harapan, PT. Deltacitra
Grafindo. Jakarta
Wilkinson, I., Lennox, G. 2005. Essential neurology 4th Edition. Blackwell Publishing. Victoria

17

Anda mungkin juga menyukai