Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

REAKSI ANAFILAKSIS

Oleh:
dr. Putu Raka Sanistia Sania Savitri, S.Ked

Pendamping

dr. I Nyoman Arya Joni

DALAM RANGKA MENJALANI PROGRAM INTERNSIP INDONESIA


PERIODE AGUSTUS 2021 S/D MEI 2022
DI RUMAH SAKIT UMUM PRIMA MEDIKA
PROVINSI BALI
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Reaksi Anafilaksis” ini tepat pada waktunya. Paper kasus ini disusun dalam
rangka mengikuti Program Internsip Indonesia di Rumah Sakit Umum Prima Medika,
Provinsi Bali.
Dalam penyusunan dan penulisan laporan kasus ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan
moral. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. dr. Ilyas Angsar, SpOG (K) selaku direktur utama RSU Prima Medika
Denpasar
2. dr. I Nyoman Arya Joni yang telah mendampingi penulis dalam Program
Intersip Dokter Indonesia ini.
3. Seluruh staf RSU Prima Medika, Denpasar, Bali.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan kasus ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam
penyusunan laporan paper ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ...................................................................................................... i


Lembar Pengesahan.............................................................................................. ii
Kata Pengantar...................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
BAB I: PENDAHULUAN................................................................................... 1

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Reaksi Anafilaksis ................................................................................ 2
2.1.1 Definisi ........................................................................................... 2
2.1.2 Epidemiologi ................................................................................... 2
2.1.3 Etiologi ............................................................................................ 3
2.1.4 Patofisiologi .................................................................................... 3
2.1.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 4
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 5
2.1.7 Diagnosis ......................................................................................... 5
2.1.8 Diagnosis Banding ......................................................................... 7
2.1.9 Penatalaksaan .................................................................................. 7
2.1.10 Prognosis ....................................................................................... 8
BAB III. LAPORAN KASUS ............................................................................. 9
BAB IV. PEMBAHASAN ................................................................................. 17
BAB V. KESIMPULAN ...................................................................................... 19
BAB VI. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan.
Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylasis), justru merusak jaringan
dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis). Definisi dari
anafilaksi adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kulit dan gastrointestinal yang merupakan teraksi imunologis yang
didahului dengan terpaparnya allergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Faktor-faktor
penyebab alergi yang disebut alergen seperti makanan, obat-obatan, sengatan atau racun dari
hewan, latex, dan injeksi alergen saat immunoterapi.1

Reaksi anafilaksis merupakan suatu kondisi reaksi hipersentivitas sistemik, akut, dan
termasuk reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengancam nyawa. Anafilaksis disebabkan oleh
degranulasi sel mast dan basofil . Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus,
vasodilatasi, dan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya menimbulkan gambaran
urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi dan juga hipotensi. Efek paparan tersebut bervariasi dari
satu individu terhadap individu lainnya. Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis
berdasar dari gejala yang dimiliki seorang pasien.2,3

Berdasarkan literatur American College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology


of Anaphylaxis kejadian anafilaksis berkisar 0,5 hingga 2% dan kini diperkirakan semakin
meningkat.7,8 Mortalitas dari anafilaksis kurang dari 1%, dimana sebagian kasus kematian muncul
dalalm waktu satu jam setelah paparan alergen yang disebabkan oleh edema saluran pernafasan
bagian atas dan spasme bronkus, ataupun hipotensi dan kegagalan sirkulasi.9 Meskipun angka
mortalitas dari anafilaksis rendah, namun penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Reaksi Anafilaksis

2.1.1 Definisi

Hipersensitivitas merupakan reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun
yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme
imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.1

Anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan.
Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylasis), justru merusak jaringan
dengan kata lain kebalikandari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis). Anafilaksis
didefinisikan sebagai reaksi alergi serius yang onsetnya cepat dan dapat menyebabkan kematian
7,8 Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E atau hipersensitivitas tipe I. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen masuk dalam sirkulasi.8,9

2.1.2 Epidemiologi

Kasus alergi, terutama di Inggris tergolong banyak, dimana menjangkit sekitar 30% dewasa
dan 40% anak-anak. berdasarkan review dari literatur American College of Allergy, Asthma and
Immunology Epidemiology of Anaphylaxis kejadian anafilaksis berkisar 0,5 hingga 2% dan kini
diperkirakan semakin meningkat.4,5 Mortalitas dari anafilaksis kurang dari 1%, dimana sebagian
kasus kematian muncul dalalm waktu satu jam setelah paparan alergen yang disebabkan oleh
edema saluran pernafasan bagian atas dan spasme bronkus, ataupun hipotensi dan kegagalan
sirkulasi.9 Meskipun angka mortalitas dari anafilaksis rendah, namun penanganan yang cepat dan
tepat sangat diperlukan.

2
2.1.3 Etiologi

Terdapat beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu
makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan pada orang dewasa. Secara
umum makanan ataupun obat jenis apapun dapan menjadi pemicu, namun beberapa jenis makanan
seperti kacang-kacangan dan juga obat seperti, antibiotik, NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi
penyebab tersering dari anafilaksis. 1,10

Tabel 1. Jenis Golongan Alergen

Golongan Alergen Jenis


Serangga Gigita semut api, lebah
Kacang-kacangan Kacang tanah, kacang kenari, kacang almond, kacang brazil, hazel
Makanan Susu sapi, telur, ikan, lobster, kepiting, udang, cumi-cumi, buncis,
krustasea, pisang, siput, daging ayam, daging kalkun, daging babi
Obat-obatan Penisilin, cephalosporin, amphotericin, ciprofloxacin, vancomycin,
obat anestesi (Suxamethonium, atracurium, obat-obatan induksi)
Lainnya Latex, cat rambut

2.1.4 Patofisiologi

3
Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi anafilaksis,
dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh. Mekanisme anafilaksis
melalui 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan
mastosit dan basophil. Fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama sampai timbulnya gejala. 7

Allergen yang masuk memlalui kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap
oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T, dimana ia
akan mesekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel
plasma. Sel plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (mastosit) dan basophil. 7

Apabila tubuh terpapar ulang dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh
IgE spesifik yang berada di permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi sel
mast. Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang akan
menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin, mediator lain seperti
prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat juga berperan
pada fase lambat dari reaksi tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa
gejala yang segera muncul setelah paparan alergen antara lain asma bronkial, rinitis, urtikaria, dan
dermatitis atopic.7

Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagi efek
mediator yang dilepas mastosit dan basophil dengan aktivitas farmakologik pada orga tertentu.
Histamine memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permebabilitas kapiler yang akan
menyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas
vascular. Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Prostaglandin leukotrin menyebabkan
bronkokonstriksi. 7

2.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar
dengan antigen dan terjadi pada dua atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat, sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.

4
Pada sistem saraf pusat terjadi kebingungan dan gelisah dapat diikuti oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma. Pada mata bisa didapatkan hiperemi konjungtiva dan edema Pada kulit
terdapat eritema, edema, gatal, dan urtikaria. Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran
darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, dan gagal nafas.
Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi
stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas
mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.
Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.1

Pada mulut dapat terjadinya gatal atau bengkak pada bibir, lidah atau palatum. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, kebocoran endotel yang
menyebabkan terjadinya edema. Pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan
penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal
berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. 1

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium jarang digunakan untuk membantu menentukan diagnosis pada


rekasi anafilaktik karena pada umumnya didiagnosis secara klinis, namun jika diperlukan untuk
penegasan diagnosis terutama yang terjadi berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya,
maka pemeriksaan penunjang menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinophil darah tepi dapat
normal atau meningkat. IgE total dapat menunjukkan hasil normal. Pemeriksaan yang lebih
bermakna yaitu Radio Allergo Sorbent Assay (RAST), untuk mengukur circulating alllergen
spesific IgE antibodies. Pemeriksaan dengan uji kulit untuk mencari allergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (Skin Prick Test).1

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, manifestasi klinis dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang cermat perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dari
anafilaksis. Pada anamnesis akan mendapatkan informasi mengenai manifestasi klinis seperti
urtikaria, angioedema, obstruksi jalan nafas, dan juga paparan alergen sebelum gejala seperti

5
makanan, obat, ataupun gigitan serangga. Penyebab dari munculnya suatu anafilaksis dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan penunjang seperti skin prick test. Diagnosis klinis dari
reaksi ini dapat didukung dengan adanya peningkatan konsentrasi sel mast dan juga mediator
basofil seperti histamin pada plasma.11

Kriteria klinis diagnosa Anafilaksis, sangat mungkin ditegakkan bila terpenuhi 1 dari 3 kriteria
sebagai berikut 11:

1. Serangan yang bersifat akut (menit-beberapa jam) dengan adanya keterlibatan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya (seperti urtikaria generalis, pruritus atau kemerahan, bengkak pada bibir
lidah-uvula)

Ditambah dengan minimal satu dari:

 Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,
hypoxemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia,
sinkop, inkontinensia)

2. Minimal dua dari gejala di bawah ini yang muncul segera setelah paparan alergen yang dicurigai
(menit-beberapa jam)

 Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria generalis, gatal dan kemerahan, bengkak


pada bibir-lidah-uvula)
 Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,
hypoxemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia,
sinkop, inkontinensia)
 Gejala gastrointestinal yang persisten (kram, nyeri perut, dan muntah)

3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang telah diketahui sebelumnya

 Balita dan anak-anak : sistolik rendah (spesifik menurut usia) atau sistolik menurun
>30%**

 Dewasa: sistolik <90mmHg atau penurunan sistolik 30% dari baseline

6
*PEF : Peak Expiratory Flow

**Definisi tekanan darah sistolik yang rendah untuk anak-anak

 1 bulan- 1 tahun<90mmHg
 1-10 tahun: kurang dari (70mmHg + [2 x usia])
 11-17 tahun : <90mmHg

2.1.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang dimana keadaannya dapat menyerupai reaksi anafilaksis, yaitu
seperti reaksi vasovagal, infark miokard akut, dan reaksi hipoglikemik. Reaksi vasovagal, pasien
terlihat tampak mau pingsan, dan berkeringat. Pada reaksi vasovagal ditemukan nadinya lambat
dan tidak ditemukan sianosis. Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau adanya perjalanan penyakit sebelumnya. Gejala tersebut dapat diikuti dengan sesak,
tetapi tidak ada tanda – tanda obstruksi pernapasan, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan EKG dan
enzim akan membantu diagnosis. Pada rekasi anafilaksis tidak terdapat nyeri dada. Reaksi
hipoglikemik dapat disebabkan oleh penggunaan obat antidiabetes dan lainnya. Pasien terlihat
lemah, pucat, berkeringat hingga tidak sadarkan diri. Tekanan darah menurun tapi tidak disertai
dengan obstruksi pernapasan dan kelainan pada kulit. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan
pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik.1

2.1.9 Penatalaksanaan

Penanganan pasien dengan anafilaksis didahului dengan penanganan airway, breathing


dan circulation. Untuk menjaga sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik
serta sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai.1

Adrenalin merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati anafilaksis. Adrenalin


berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan
bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenaline bekerja sebagai penghambat
pelepasan histamine dan mediator lain. Adrenalin 1:1000 diberikan secara intra muskuler dengan
dosis 0,01 mg/kg untuk anak-anak dengan dosis maksismum 0,5mg atau 0,3-0,5mg untuk dewasa,
dapat diulang setiap 5-15 menit bila dibutuhkan. Dosis tersebut direkomendasikan untuk
mengontrol gejala dan mempertahankan tekanan darah. Rute intra vena dapat dipilih dalam kondisi

7
khusus seperti hipotensi yang berat atau henti jantung yang tidak memberikan respon pada
pemberian intra muskuler ataupun resusitasi cairan. 11

Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan, dianjurkan pemberian oksigen melalui


sungkup non rebreathing ataupun endotracheal tube. Beta 2 agonis yang diberikan secara inhalan,
seperti albuterol, dapat berguna untuk mengatasi spasme bronkus.11

Resusitasi cairan harus dilakukan secara agresif (10-20ml/kg) apabila kondisi hipotensi
tidak teratasi dengan pemberian epinephrine. Pemberian kristaloid dalam volume besar diperlukan
pada 5-10menit pertama, dan dapat dilanjutkan dengan pemberian koloid. Vasopresor seperti
noradrenalin, vasopressin, atau metaraminol dibutuhkan untuk mengatasi vasodilatasi yang tidak
11
dapat terkoreksi dengan pemberian epinephrine ataupun resusitasi cairan.

Terapi lini kedua untuk anafilaksis adalah antihistamin. Antihistamin berguna untuk
menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vascular yang diakibatkan oleh
pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator. Pemberian
antihistamin sangat berperan dalam penanganan simptomatik seperti urtikaria, angioema, ataupun
pruritus. Dipenhydramine dapat diberikan secara intra vena dengan dosis 25-50 mg diulang tiap 6
jam. 11

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon peradangan, untuk memperpendek


episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Metilprednisolone dapat diberikan 1-
2mg/kg setiap 6 jam atau 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam.11

Setelah penanganan reaksi anafilaksis diberikan, observasi terhadap pasien harus dilakukan
meliputi tanda-tanda vital, klinis dan keluhan pasien untuk mencegah fase bifasik. 11

2.1.10 Prognosis

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis reaksi anafilaksis meliputi umur, tipe


allergen, atopi, penyakit kardivaskular, penyakit paru obstruktif dan obat-obatan yang di konsumsi.
Penanganan yang cepat, tepat dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, rekasi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis dpat kambuh kembali akibat paparan
antigen spesifik yang sama. Maka dari itu penting untuk menghindari faktor pencetus.11

8
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : DTA

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir : 22/04/1998

Usia : 23 tahun

Suku : Jawa

Bangsa : Indonesia

Agama : Kristen

Alamat : Jl. Serma Gede, Denpasar

Pekerjaan : Karyawan Swasta

No RM : 25.97.74

Tanggal MRS : 29/09/21

Tanggal Pemeriksaan : 29/09/21

II. Anamnesis
Keluhan utama: Sesak

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSU Prima Medika Denpasar (29/09/21) dengan keluhan
sesak sejak 20 menit SMRS, yang perlahan memberat. Sesak dirasakan di seluruh bagian
dada. Keluhan timbul mendadak setelah pasien mengkonsumsi obat pilek (Alpara) 10 menit
sebelumnya. Keluhan dikatakan menetap dan dirasakan berat sehingga pasien sulit untuk
bernapas dan merasa ingin pingsan. Pasien belum mengkonsumsi apapun untuk mengatasi

9
keluhannya saat ini. Selain sesak, pasien juga mengeluhkan adanya gatal pada seluruh tubuh,
mata bengkak, tenggorokan kering, dan mual.

Keluhan gatal timbul bersamaan dengan sesak. Gatal dirasakan di seluruh bagian
tubuh terutama pada daerah badan dan tangan. Keluhan timbul mendadak, menetap, dan
disertai ruam kemerahan disekitarnya. Gatal dirasakan cukup berat hingga pasien terus
menerus menggaruk untuk mengurangi rasa gatalnya.

Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua mata yang muncul mendadak hingga
pasien merasa sulit untuk membuka mata dan melihat. Tidak ada faktor yang memperberat
dan memperingan bengkak yang dialami pasien.

Pasien juga mengeluhkan rasa tidak nyaman pada tenggorokan dan dikatakan seperti
“kering” yang timbul bersamaan dengan keluhan sesak. Pasien masih dapat berbicara namun
tersendat-sendat. Pasien mengeluhkan mual namun tidak ada riwayat muntah. Pasien
memiliki riwayat batuk dan pilek 3 hari SMRS. Keluhan lain seperti demam, muntah, nyeri
kepala, disangkal oleh pasien. Keluhan ini dirasakan mendadak pasca pasien mengkonsumsi
obat pilek di kantor. Pasien mengatakan langsung ke rumah sakit saat merasakan keluhan
tersebut.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan

Pasien belum mengkonsumsi obat untuk mengatasi keluhannya saat ini. Pasien
memiliki riwayat alergi obat “Panadol” yang diketahui 5 tahun sebelumnya dan pernah
mengalami keluhan yang sama seperti saat ini, namun dikatakan lebih ringan. Pasien juga
memiliki riwayat gastritis.

Riwayat Keluarga

Ibu kandung pasien memiliki hipertensi dan alergi terhadap udang. Riwayat penyakit
sistemik lain pada anggota keluarga lain seperti asma, diabetes mellitus dan jantung
disangkal oleh pasien.

Riwayat Sosial

Pasien bekerja sebagai karyawan swasta di Denpasar. Riwayat merokok dan alkohol
disangkal pasien.

10
III. Pemeriksaan Fisik

Status Present (29 September 2021) di IGD

Keadaan Umum : Sakit Sedang


Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4 V5M6)
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 146 kali/menit, reguler, kuat angkat
Respirasi : 28 kali/menit, thorakoabdominal
Suhu aksila : 36,5 ºC
Saturasi Oksigen : 97% room air
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 18,75 kg/m2 (normal)

Status General (29 September 2021)


Kepala : Normocephali
Mata : Edema palpebra +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-,
refleks pupil (+/+) isokor
THT :
Telinga : Bentuk normal, sekret -/-, hiperemis -/-

Hidung : Sekret (-), deviasi septum nasi tidak ada, nafas cuping hidung (-)

Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-), udem laring (-)

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Cor :

11
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Batas atas jantung : ICS II PSL (S)

Batas kanan jantung : PSL(D) ICS II

Batas kiri jantung : MCL(S) ICS V

Auskultasi : S1 normal, S2 normal, regular, murmur (-)

Pulmo :

Inspeksi : Simetris, retraksi (-)

Palpasi : Vocal fremitus N/N

Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler + + , Ronki - - , Wheezing + +

+ + - - + +

+ + - - - -

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani (+)

Ekstremitas : Hangat + + , edema - -

+ + - -

12
Status Lokalis (29 September 2021)

Regio thoracalis anterior et antebrachii dextra sinistra, tampak urtikaria multipel dengan
dasar eritema, berbentuk geografis, batas tidak tegas, ukuran bervariasi dengan luas 3 cm x 2 cm,
distribusi generalisata.

IV. Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap (29 September 2021)

Parameter Hasil Unit Remarks Nilai Normal

WBC 6,70 103/μL 4,80 – 10,80

RBC 5,01 106/μL 4,70 – 6,10

HGB 14,2 g/dL 14,0 – 18,0

HCT 43,5 % 42,0 – 52,0

MCV 88,7 FL 79,0 – 99,0

MCH 28,3 pg 27,0 – 31,0

MCHC 32,6 g/dl Rendah 33,0 – 37,0

PLT 301 103/μL 150 – 440

RDW-SD 43,4 FL 37 – 54

RDW-CV 11,9 % 11,5 – 14,5

PDW 16,3 fL 15,5– 17,1

MPV 9,90 fL 6,3 – 11,0

Neutrofil 74,4 % 50,00 – 75,00

13
Limfosit 19,40 % Rendah 20,00 – 50,00

Monosit 5,00 % 2,0 – 9,0

Basofil 0,20 % 0,0 – 2,0

Eosinofia 1,00 % 1,0-5,0

P-LCR 22,50 % 13,0-43,0

Neut# 9,14 103/μL Tinggi 2,25-8,30

Lymp# 2,38 103/μL 0,90-5,50

Baso# 0,03 103/μL 0-0,22

Mono# 0,61 103/μL Rendah 0,9-0,99

Eos# 0,12 103/μL 0-0,55

PCT 0,22 % 0,19-0,39

Imunoserology (29 September 2021)

SARS CoV-2 ANTIGEN : Negatif

Rontgen Thorax (29 September 2021)

14
Foto Thorax PA :
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo : Tak tampak infiltrate/nodul. Corakan bronchovaskular normal
Trachea dan main bronchus kanan-kiri tampak patent
Hilus kanan kiri tampak normal
Tak tampak pelebaran mediastinum/massa
Sinus costophrenicus kanan-kiri tajam
Diaphragma kanan-kiri normal
Tulang-tulang tak tampak kelainan
Tak tampak soft tissue swelling/mass
KESAN:
Tak tampak gambaran pneumonia atau efusi pleura
Pulmo tak tampak kelainan

V. DIAGNOSIS

- Reaksi Anafilaksis ec susp alergi obat

VI. PENATALAKSANAAN

IGD

 O2 nasal kanul 3 lpm

15
 IVFD RL 20 tpm
 Dipenhidramin 10 mg IV
 Dexamethasone 5 mg IV
 Pantoprazole 40 mg IV
 Ondansentron 8 mg IV
 Epinefrin 0,5 cc IM

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

VIII.KIE

 KIE tentang penyakit pasien dan komplikasi yang dapat terjadi.


 Menjelaskan pasien mengenai penyakit yang dialaminya dan perkiraan perjalanan
penyakitnya, dan pilihan pengobatannya secara lebih lanjut.
 Memberikan edukasi kepada keluarga pasien untuk menjaga asupan makanan serta
menghindari faktor pencetus.

16
BAB IV
PEMBAHASAN

Reaksi anafilaksis merupakan suatu kondisi reaksi hipersentivitas sistemik, akut, dan
termasuk reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengancam nyawa. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen masuk dalam sirkulasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
apabila diperlukan.

Pada anamnesis kasus, pasien mengeluhkan adanya sesak, gatal dan ruam kemerahan pada
seluruh tubuh, mata bengkak, mual, dan tenggorokan kering. Keluhan ini dirasakan timbul
mendadak 10 menit pasca pasien konsumsi obat pilek (Alpara). Pasien sebelumnya memiliki
riwayat alergi obat “Panadol” yang diketahui sejak 5 tahun SMRS. Keluhan ini sesuai dengan
definisi reaksi anafilaksis, dimana gejala muncul secara akut setelah pasien terpapar allergen.
Berdasarkan etiologi penyebab reaksi anafilaksis bermacam-macam, pada pasien penyebabnya
adalah obat-obatan yaitu obat pilek yang sebelumnya dikonsumsi pasien (Alpara). Manifestasi
klinis reaksi anafilaksis dapat ditemukan pada keterlibatan dua atau lebih organ target meliputi
kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat, sistem saluran kencing,
dan sistem yang lain. Pada pasien adanya keterlibatan dari sistem respirasi berupa sesak.
Keterlibatan kulit yaitu gatal dan ruam kemerahan pada seluruh tubuh serta edema pada mata.
Keterlibatan gastrointestinal adanya rasa mual. Pemeriksaan fisik didapatkan status present
(29/09/2021) ditemukan laju napas yang meningkat serta saturasi oksigen dalam batas normal
normal dan general ditemukan adanya udem pada kedua mata serta wheezing pada auskultasi
pulmo. Pada status lokalis didapatkan adanya urtikaria multipel generalisata. Pada pasien
diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis dan manifestasi klinis.

Penatalaksaan pada pasien ini diberikan O2 nasal kanul, IVFD RL , Dipenhidramin IV ,


Dexamethasone IV, Pantoprazole IV, Ondansentron IV, Epinefrin IM. Sesuai dengan
penatalaksanaan reaksi anafilaksis, didahului tatalaksana airway, berathing and circulation untuk
menjaga sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik serta sistem
kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai, pada pasien
diberikan O2 nasal canul 3 lpm dan IVFD RL 20 tpm. Obat pilihan peratama pada reaksi

17
anafilaksis adalah adrenaline berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung untuk penghambat
serta pelepasan histamine dan mediator lain dengan dosis 0,3-0,5mg untuk dewasa, dapat diulang
setiap 5-15 menit bila dibutuhkan, pada pasien diberikan epinefrin 0,5 cc IM. Terapi lini kedua
dapat diberikan antihistamine untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vascular, sangat berperan dalam penanganan simptomatik seperti urtikaria,
angioedema, ataupun pruritus, pada pasien diberikan dipenhidramin 10 mg IV saat di IGD.
Kemudian pemberian Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon peradangan, untuk
memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang dengan dosis 125 mg
intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam, pada pasien diberikan Dexamethasone 5 mg IV.

Pengobatan simptomatis pada pasien diberikan Pantoprazole 40 mg IV Ondansentron 8 mg


IV untuk mengurangi keluhan dan gejala akibat peningkatan asam lambung, seperti nyeri perut
dan mual.

Setelah penanganan reaksi anafilaksis diberikan, pasien MRS 1x24 jam untuk observasi
meliputi tanda-tanda vital, klinis dan keluhan pasien untuk mencegah fase bifasik.

18
BAB V
KESIMPULAN

Reaksi anafilaksis merupakan suatu kondisi reaksi hipersentivitas sistemik, akut, dan termasuk
reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengancam nyawa. Anafilaksis disebabkan oleh degranulasi
sel mast dan basofil . Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus,
vasodilatasi, dan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya menimbulkan gambaran
urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi dan juga hipotensi. Efek paparan tersebut bervariasi dari
satu individu terhadap individu lainnya. Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis
berdasar dari gejala yang dimiliki seorang pasien

Penanganan yang cepat, tepat dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, rekasi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis dpat kambuh kembali akibat paparan
antigen spesifik yang sama. Maka dari itu penting untuk menghindari faktor pencetus.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi N. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. 2009: 257-261
2. Kemp S, Lockey R. Anaphylaxis: A Review of Causes and Mechanisms. Journal of Allergy
Clinical Immunology. 2002; 110(3): hal. 341-8.2
3. McLean TA. Adrenaline in the Treatment of Anaphylaxis: What is the evidence? British
Medical Journal. 2003; 327: hal.1332-5
4. Lieberman P. Epidemiology of Anaphylaxis: Findings of The American College of Allergy,
Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis Working Group. Annals of Allergy,
Asthma and Immunology. 2006; 97(5): hal.596-02.
5. Winberry S, Lieberman P. Histamines and Antihistamines in Anaphylaxis. Clinical Allergy and
Immunology. 2002; 17: hal.287.
6. Bohlke K, Davis R, DeStefano F, Marcy S. Epidemiology of Anaphylaxis among Children and
Adolescents Enrolled in A Health Maintenance Orgaization. Journal of Allergy Clinical
Immunology. 2004; 113(3): hal.536-42
7. Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010.p.370- 83
8. Tintinalli, dkk. Emergency Medicine Fifth Edition. American College of Emergency Physicians.
2000. 30.242-246
9. Akib APA, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2008. 207-223
10. Soar J, Pumphrey R, Cant A. Emergency Treatment of Anaphylactic Reaction-Guidelines for
Healthcare Providers. Journal of Resuscitation. 2008; 77: hal.157-69.
11. Sampson HA, Furlong AM, Campbel RL dkk. Second Symposium on The Definition and
Management of Anaphylaxis: Summary Report-Second National Institute of Allergy and
Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network Symposium. Journal of Allergy and
Clinical Immunollogy. 2006; 117; hal.391-7.

20

Anda mungkin juga menyukai