Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH : KMB I (SISTEM KARDIOVASKULER)

DOSEN : NS. NURPADILA, S.KEP., M.KEP.

“HIPERSENSITIVITAS/ALAERGI “

OLEH:

KELOMPOK

NURUL ASNIAR NIM : A1 19 1161

SARMINI ASWAR NIM : A1 19 1163

NABILA NIM : A1 19 1160

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARENDENG MAJENE

PRODI S1 KEPERAWATAN

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Kami akui dalam penyusunan Makalah ini masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

MAJENE,06 Januari 2021

KELOMPOK I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG............................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................ 1
C. TUJUAN.................................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI…………………………………………………………………………....1
B. INSI NDEN………………………………………………………………………….2
C. ETIOLOGI…………………………………………………………………………..3
D. KLASIFIKASI……………………………………………………………………... 4
E. MANIFESTASI KLINIK........................................................................................ 5
F. PATOFISIOLOGI................................................................................................... 6
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................................ 7
H. PENATALAKSANAAN………………………………………………………..…. 8
I. KOMPLIKASI......................................................................................................... 9
J. PROGNOSIS........................................................................................................... 10
K. PENCEGAHAN PRIMER,SKUNDER,TERSIER………………………………….11

BAB III KONSEP KEPERAWATAN................................................................................ 7

A. PENGKAJIAN........................................................................................................ 7
B. DIAGNOSA............................................................................................................ 11
C. INTERVENSI.......................................................................................................... 12
D. IMPLEMENTASI.................................................................................................... 14
E. EVALUASI ........................................................................................................... 17

BAB IV PENUTUP............................................................................................................. 19

A. KESIMPULAN........................................................................................................ 19
B. SARAN.................................................................................................................... 19
C. PENYIMPANGAN KDM
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 20
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang
secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan


respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau
alergi.

Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu


timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen,
sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada
orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat
berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.

Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan


peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan
sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di
permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut
saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses
inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat
perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan
sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
B. Tujuan penulisan

1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan mengerti tentang asuhan
keperawatan dengan gangguan hipersensitivitas.
2. Tujuan Khusus
Makalah disusun bertujuan agar :
1) Mahasiswa mengetahui defenisi hipersensitivitas
2) Mahasiswa mengetahui insiden hipersensitivitas
3) Mahasiswa mengetahui etiologi hipersensitivitas
4) Mahasiswa mengetahui klasifikasi hipersensitivitas
5) Mahasiswa mengetahui manifestasi klinik hipersensitivitas
6) Mahasiswa mengetahui patofisiologi hipersensitivitas
7) Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang hipersensitivitas
8) Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan hipersensitovitas
9) Mahasiswa mengetahui komplikasi hipersensitivitas
10) Mahasiswa mengetahui prognosis hipersensitivitas
11) Mahasiswa mengetahui pencegahan primer,sekunder, dan tersier
12) Mahasiswa mengetahui konsep keperawatan pada hipersensitivitas
C. Rumusan masalah
Berdasarkan belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibuat dalam
asuhan keperawatan ini adalah bagaimana membangun dan merangcang sebuah
sistem pendukung keputusan untuk merekomendasikan menu makanan yang cocok
untuk penderita hipersensitivitas menggunakan metode jaringansemantik secara
otomatis sehingga dapat memfilter makanan apa saja yang mangandung bahan
makanan pemicu alergi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. KONSEP MEDIS PENYAKIT
A. Defenisi

B. Insiden

C. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan.
Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya:
ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

D. Klasifikasi
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung
atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil
hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar
antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga
10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi
ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas


tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur
IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu
penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu
penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat
dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.
Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I
adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin
G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan
sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel
atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada
umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel
akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi


silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan
kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun.
Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil
dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi
atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang
diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya
fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau
antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan
membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa
asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara
terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada
membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi
beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian
koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks
imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness)
yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun
karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh
paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh
sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A.
fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum
(malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena
aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama
dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi
sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah
yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV
adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak
dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).

E. Manifestasi Klinic
1. Reaksi tipe I
Dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema
laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang,
dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).

2. Reaksi tipe II
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia,
eosinofilia dan granulositopenia.

3. Reaksi Hipersensivitas tipe III


1) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-
lain. gejala sering disertai pruritis.
2) Demam
3) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4) Limfadenopati
 Kejang perut, mual
 Neuritis optic
 Glomerulonefritis
 Sindrom lupus eritematosus sistemik
 Gejala vaskulitis lain

4. Hipersensitivitas tipe IV
Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura.
Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,
ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
 Pada saluran pernafasan : asma
 Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
 Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal
 Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

F. Patofisiologi
Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang  yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak
gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul
maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T,
dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi (Ig E).
Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh
basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang
sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.   Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan
nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun,
kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji kulit :
Sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi:
Bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik:
Harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami
infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus:
Sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE
( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

Anda mungkin juga menyukai