REVIEW JURNAL
ALERGI DAN HIPERSENSITIVITAS
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya
jurnal review ini. Ada 5 jurnal yang direview pada makalah ini dengan tema “Alergi
dan Hipersensitvitas”. Jurnal tersebut direview untuk memenuhi tugas mata kuliah
Critical ill. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan. Sebagai penulis, penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca
serta bermanfaat bagi banyak orang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
1
sedangkan asupan yang cukup dari asam lemak omega-3 memiliki efek
antiinflamasi yang dapat membantu meredakan gejala alergi.
Selain itu, pola makan juga dapat mempengaruhi sensitivitas individu
terhadap alergen tertentu. Diet yang kaya akan serat, probiotik, dan antioksidan
dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh dan mengurangi risiko terjadinya
reaksi alergi. Di sisi lain, adanya alergi makanan tertentu dapat membatasi
pilihan makanan seseorang dan pada gilirannya dapat mempengaruhi asupan
nutrisi keseluruhan. Oleh karena itu, pemahaman tentang hubungan antara gizi,
alergi, dan hipersensitivitas menjadi penting untuk membantu merancang
strategi intervensi gizi yang tepat guna untuk mencegah dan mengelola berbagai
kondisi alergi dan hipersensitivitas.
Penting untuk menyoroti temuan utama dari penelitian yang direview
serta memberikan gambaran tentang implikasi praktis dari penelitian tersebut
dalam konteks kesehatan masyarakat dan klinis. Melalui review jurnal
internasional tentang alergi dan hipersensitivitas, penulis telah mendapatkan
wawasan mendalam tentang mekanisme dasar, faktor risiko, dan strategi
pengelolaan yang terkait dengan kondisi ini. Temuan-temuan ini memperkuat
pemahaman kita tentang kompleksitas sistem kekebalan tubuh dan pentingnya
faktor gizi dalam regulasi respons imun.
2. Tujuan
2
literatur yang dapat menjadi dasar untuk pengembangan strategi
pencegahan dan pengelolaan yang lebih efektif.
3. Menyusun pemahaman yang lebih mendalam tentang peran gizi dalam
modulasi respons imun tubuh terhadap alergen dan dampaknya terhadap
perkembangan alergi dan hipersensitivitas. Dengan demikian, tujuan ini
akan membantu memperjelas hubungan antara nutrisi dan kesehatan
imun, serta menyediakan dasar untuk perancangan intervensi gizi yang
lebih terarah dalam mencegah dan mengelola kedua kondisi tersebut.
3. Manfaat
3
II. REVIEW 5 JURNAL INTERNASIONAL
a. Identitas Jurnal
b. Abstraksi
Jurnal ini menggarisbawahi pentingnya masalah reaksi
merugikan setelah mengonsumsi makanan yang umum dilaporkan,
yang seringkali menjadi sumber kekhawatiran dan kecemasan bagi
individu yang terkena, mendorong adopsi diet yang sangat ketat.
Variasi dalam keparahan reaksi serta kompleksitas dalam
membedakan berbagai diagnosis hipersensitivitas makanan
menambah kerumitan masalah ini. Meskipun demikian, riwayat
medis yang cermat seringkali dapat membantu mengeliminasi atau
mencurigai hipersensitivitas terhadap makanan. Alergi makanan
yang dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE) dianggap sebagai jenis
reaksi alergi yang paling umum, dengan gejala yang bervariasi mulai
dari ringan hingga anafilaksis parah. Definisi alergi makanan IgE-
4
medisasi membutuhkan kombinasi gejala alergi dengan antibodi IgE
spesifik, dan kini alergologi molekuler menjadi alat yang berpotensi
membantu dalam proses diagnosis.
Adanya alergen yang umum seperti susu, telur, kacang
tanah, kacang-kacangan, ikan, dan kerang menekankan pentingnya
identifikasi alergi pada berbagai kelompok usia, serta penekanan
pada tindak lanjut dan reintroduksi makanan yang tepat. Selain
alergi makanan yang dimediasi oleh IgE, penyakit lain yang dipicu
oleh makanan, seperti esofagitis eosinofilik, penyakit celiac, dan
sindrom enterokolitis yang diinduksi oleh protein makanan,
memperkaya pemahaman kita tentang keragaman kondisi ini.
Meskipun beberapa hipersensitivitas makanan dominan pada masa
anak-anak, ada juga yang lebih umum terjadi pada orang dewasa.
5
yang menyebabkan kecemasan dan pembatasan makanan bagi
banyak individu dan keluarga.
Kategorisasi reaksi makanan, baik toksik maupun non-
toksik, dengan penekanan khusus pada reaksi imunologis,
menyoroti kompleksitas fenomena ini dalam diagnosis dan
pengelolaan. Metode diagnostik seperti riwayat pasien yang
teliti, tes tusukan kulit, dan pengujian IgE spesifik digunakan
secara luas untuk membantu mengidentifikasi alergi makanan.
Berbagai teori yang mendukung perkembangan alergi
makanan, termasuk hipotesis higienis dan hipotesis penghalang
ganda, menambahkan dimensi pemahaman kita tentang
mekanisme yang mendasari reaksi hipersensitivitas makanan.
Faktor-faktor lingkungan, seperti eksposur terhadap mikroba
dan alergen serta kadar vitamin D, telah diduga berperan dalam
prevalensi dan geografi alergi makanan.
Meskipun kemajuan besar telah dicapai dalam diagnosis
reaksi hipersensitivitas makanan, tantangan dalam pencegahan
dan pengobatan tetap ada. Studi yang sedang berlangsung,
seperti imunoterapi oral pada anak-anak, menjanjikan
kemungkinan terapi masa depan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam konteks ini, tujuan dari peninjauan ini adalah untuk
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang jenis reaksi
hipersensitivitas makanan yang umum terjadi.
2. Pembahasan
Reaksi merugikan setelah asupan makanan sering
dilaporkan, terutama alergi makanan yang dimediasi oleh IgE
yang meningkat di dunia barat. Gejala bervariasi dari ringan
hingga parah, menyebabkan kecemasan pada individu dari
berbagai kelompok usia, yang dapat mengarah pada diet yang
sangat ketat. Meskipun variasi penyebab reaksi tergantung pada
6
jenis makanan dan mekanisme reaksi, diagnosa seringkali sulit
bagi klinisi karena beberapa diagnosis mungkin bersamaan.
Meskipun demikian, dengan riwayat medis yang teliti,
hipersensitivitas makanan seringkali dapat disaring atau
dicurigai, dengan alergi makanan yang dimediasi oleh IgE
menjadi jenis reaksi alergi yang paling umum. Diagnosis
berlebihan terhadap alergen makanan sering terjadi,
menyebabkan penghindaran yang tidak perlu, dan hal ini
terbukti dalam studi dengan tantangan makanan. Pengetahuan
baru dan metode diagnostik seperti alergologi molekuler telah
membantu dalam proses diagnosa, terutama dalam mengatasi
reaktivitas silang antara alergen makanan yang umum. Alergen
makanan umum bervariasi tergantung pada kelompok usia,
dengan alergen seperti susu dan telur umum pada bayi, kacang-
kacangan pada anak-anak, dan ikan serta kerang pada orang
dewasa. Namun, alergen makanan baru, seperti serangga,
mungkin akan menjadi lebih umum di masa depan.
Perawatan klinis alergi makanan telah bergeser dari
penghindaran ke paparan, dengan penelitian terhadap
pencegahan primer dan sekunder, termasuk imunoterapi oral.
Hasil penelitian menjanjikan untuk imunoterapi oral, terutama
terhadap alergen kacang, meskipun masih ada pertanyaan
tentang dosis dan waktu pengobatan yang tepat. Selain itu,
hipersensitivitas makanan yang tidak dimediasi oleh IgE juga
perlu diperhatikan, baik yang bersifat sementara maupun kronis,
yang dapat berkembang pada berbagai kelompok usia. Penting
bagi layanan kesehatan untuk menyelidiki secara profesional
dugaan hipersensitivitas makanan pada semua kelompok usia
dan menghindari penghindaran makanan yang tidak perlu,
terutama pada bayi yang sebaiknya diberi berbagai jenis
makanan secara teratur.
7
3. Kesimpulan
Kesimpulan jurnal ini menyoroti pentingnya riwayat medis
dalam membedakan berbagai jenis hipersensitivitas makanan,
dengan fokus utama pada alergi yang dimediasi oleh IgE yang
merupakan yang paling umum. Penekanan diberikan pada
pentingnya gejala dan keberadaan sIgE-ab yang sama terhadap
alergen untuk menyatakan seseorang mengalami alergi.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan esofagitis
eosinofilik (EoE) sebagai diagnosis alternatif dalam gangguan
yang berkaitan dengan menelan. Faktor-faktor terkait, seperti
atopi dan jenis kelamin laki-laki, serta alergen pemicu yang
umum, seperti susu, telur, dan gluten, perlu diperhatikan dalam
diagnosis. Diagnosis penyakit celiac juga diperdebatkan,
dengan IgA anti-tTG dalam darah dianggap sebagai tes yang
andal.
Penelitian lebih lanjut diperlukan dalam memahami
sensitivitas terhadap amin biogenik, yang dapat menyebabkan
keracunan pada kadar tinggi. Konflik kepentingan penulis juga
disampaikan dengan jelas.
Secara keseluruhan, kesimpulan jurnal ini menyajikan
tinjauan yang komprehensif tentang diagnosis dan penanganan
berbagai jenis hipersensitivitas makanan, menyoroti pentingnya
riwayat medis dan pengembangan alat diagnostik yang lebih
baik di masa depan.
8
2. Expression of IL-17A concentration and effector functions of
peripheral blood neutrophils in food allergy hypersensitivity
patients.
a. Identitas Jurnal
c. Abstraksi
Abstrak ini membahas peran limfosit Th17 dalam memproduksi IL17
serta keterlibatan IL17 dalam mekanisme reaksi alergi, dengan fokus
pada partisipasi granulosit neutrofil. Studi ini bertujuan untuk
mengevaluasi konsentrasi IL17A serum, elastase neutrofil serum, dan
produksi ROS oleh neutrofil pada pasien dengan alergi makanan.
Melalui metode fluoro-immuno-enzimatis dan ELISA, dilibatkan 30
pasien dengan alergi makanan dan 10 relawan sehat sebagai kelompok
kontrol. Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi IL-17A serum,
kemiluminesensi neutrofil non-stimulasi, dan konsentrasi elastase
lebih tinggi pada pasien dengan alergi makanan dibandingkan dengan
9
relawan sehat. Temuan ini menyoroti pentingnya IL-17A dan
granulosit neutrofil dalam perkembangan hipersensitivitas alergi
makanan.
10
mekanisme pertahanan jaringan tidak berfungsi dengan baik,
mediator-mediator yang dihasilkan atau dilepaskan dapat merusak
jaringan dan berkontribusi pada timbulnya tanda-tanda klinis
penyakit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
konsentrasi interleukin 17A serum, elastase neutrofil serum, dan
produksi ROS oleh neutrofil yang tidak distimulasi. Selain itu,
hubungan antara konsentrasi IL-17A serum dan aktivitas metabolik
neutrofil dievaluasi menggunakan tes kemiluminesensi, serta
konsentrasi elastase neutrofil pada pasien dengan alergi makanan.
Kelompok pasien yang diteliti terdiri dari 30 orang dewasa
(18 wanita, 12 pria; rata-rata usia 41 ± 8,7 tahun), yang menjalani
diagnosis rinci untuk mengecualikan penyakit selain alergi
makanan. Diagnosis alergi makanan didasarkan pada wawancara,
pemeriksaan fisik, diagnostik laboratorium, serta uji provokasi oral
ganda tersamar kontrol plasebo. Gejala gangguan saluran
pencernaan yang paling umum dialami oleh pasien meliputi
kembung, nyeri perut, mual, dan diare. Selama wawancara, semua
pasien menunjukkan insiden urtikaria akut. Pasien yang mengalami
eksaserbasi gejala yang terkait dengan alergi makanan dimasukkan
ke dalam penelitian. Penyebab gejala penyakit di antara kelompok
yang diteliti meliputi kacang tanah, seledri, apel, telur, dan ikan.
Delapan pasien dalam penelitian mengalami alergi terhadap lebih
dari satu alergen. Pasien dengan konsentrasi IgE spesifik alergen
yang meningkat (asIgE) - kelas ⩾2 (0,70 KU/I) dimasukkan dalam
kelompok yang diteliti. Kelompok kontrol terdiri dari 10 relawan
sehat (5 wanita, 5 pria; rata-rata usia 37 ± 6,3 tahun) yang tidak
memiliki riwayat atopi, gejala infeksi, atau mengonsumsi obat.
Metode pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
adalah dari vena ulnar ke tabung tes dengan heparin litium, serta
pada bekuan darah ke tabung tes tanpa antikoagulan. Parameter
11
darah morfologis dasar juga ditentukan pada semua pasien. Analisis
(asIgE) dilakukan menggunakan metode fluoro-immuno-enzimatis
(FEIA), sedangkan konsentrasi interleukin IL-17A serum ditentukan
dengan metode enzimatik ELISA. Evaluasi metabolisme jaringan
neutrofil yang tidak distimulasi dilakukan menggunakan metode
kemiluminesensi dengan luminol.
2. Pembahasan
Jurnal ini membahas peran IL-17A dalam patogenesis alergi
makanan, khususnya dalam mengatur aktivasi neutrofil dan proses
inflamasi terkait. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa IL-
17A mempengaruhi diferensiasi sel-sel progenitor menuju
granulosit neutrofil dan meningkatkan ekspresi gen yang
bertanggung jawab atas peradangan. Selain itu, IL-17A dikaitkan
dengan peningkatan sintesis IL-8 dan IL-6, yang merupakan
mediator penting dalam reaksi inflamasi dan kemotaksis neutrofil.
Studi pada pasien alergi makanan menunjukkan peningkatan
signifikan dalam konsentrasi IL-17A selama periode intensifikasi
gejala klinis, serta hubungan antara IL-17A, aktivasi neutrofil, dan
pelepasan elastase. Meskipun penelitian pada hewan dan pasien
telah menunjukkan keterlibatan IL-17A dalam berbagai penyakit
alergi, termasuk asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopik,
mekanisme yang tepat masih perlu lebih dipahami melalui penelitian
lebih lanjut.
3. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan jurnal ini adalah bahwa IL-
17A memiliki peran penting dalam patogenesis alergi makanan
melalui pengaturan aktivasi neutrofil dan proses inflamasi terkait.
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan keterlibatan IL-
17A dalam berbagai penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, dan
12
dermatitis atopik, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
memahami mekanisme yang tepat serta potensi IL-17A sebagai
target terapi pada penyakit alergi.
a. Identitas Jurnal
b. Abstraksi
Artikel ini merupakan salah satu dari serangkaian dokumen konsensus
internasional yang dikembangkan dari Simposium Alergi Obat
Internasional yang diselenggarakan pada Kongres Bersama American
Academy of Allergy, Asthma & Immunology/World Allergy
Organization pada tanggal 1 Maret 2018, di Orlando, Florida, AS.
Simposium ini disponsori oleh The Journal of Allergy and Clinical
Immunology, The Journal of Allergy and Clinical Immunology: In
Practice, dan The World Allergy.
13
c. Review: Latar Belakang, Pembahasan dan Kesimpulan
1. Latar Belakang
Review latar belakang jurnal ini menggambarkan prevalensi
yang signifikan dari alergi obat dan reaksi hipersensitivitas (DHRs)
dalam populasi umum dan pasien rumah sakit, dengan angka
mencapai 8% dan 15% masing-masing. Variasi dalam prevalensi ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk usia, kelas obat, negara,
dan kebiasaan resep obat. Meskipun terjadi kemajuan dalam
pemahaman dan manajemen DHRs, masih ada kebutuhan yang
belum terpenuhi, terutama terkait dengan perbedaan dalam
diagnosis dan manajemen dari negara ke negara dan di dalam negara
yang sama. Penyandingan yang salah dari alergi obat dapat memiliki
konsekuensi serius, termasuk penggunaan obat yang tidak tepat dan
biaya yang meningkat. DHRs juga memiliki dampak yang signifikan
pada praktik klinis, sosial-ekonomi, pengembangan obat, dan
kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengatasi
tantangan ini, diperlukan standarisasi dalam diagnosis, manajemen,
dan pengumpulan data DHRs secara global. Heterogenitas dalam
praktik perlu diatasi melalui kolaborasi internasional yang kuat dan
pendirian basis data DHR yang besar dan responsif. Ini akan
memfasilitasi analisis epidemiologis yang lebih baik, identifikasi
faktor risiko, dan pengembangan biomarker yang terkait dengan
DHRs.
2. Pembahasan
Prevalensi yang signifikan dari alergi obat, terutama pada
beta-laktam, menyoroti pentingnya pemahaman yang mendalam
tentang diagnosis dan manajemen reaksi hipersensitivitas obat
(DHRs). Perbedaan dalam praktik klinis dari negara ke negara dan
di dalam negara yang sama menunjukkan perlunya standarisasi
dalam pendekatan terhadap DHRs. Hal ini penting mengingat
14
dampak yang signifikan dari DHRs pada praktik klinis, ekonomi,
dan kesehatan masyarakat, serta risiko potensial dari under-
diagnosis dan over-diagnosis.
Upaya internasional untuk mengatasi kesenjangan
pengetahuan tentang DHRs telah dilakukan, namun masih banyak
kebutuhan yang belum terpenuhi. Pendirian jaringan dan basis data
global akan memungkinkan pengumpulan data yang lebih luas dan
analisis epidemiologis yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan pemahaman tentang faktor risiko dan mekanisme
DHRs. Namun, heterogenitas dalam praktik klinis perlu diatasi
melalui standarisasi prosedur dan kolaborasi global yang kuat.
Perkembangan tes in vitro yang lebih andal juga menjadi prioritas
untuk memahami mekanisme DHRs secara lebih baik dan
mengidentifikasi obat-obatan yang berpotensi menyebabkan reaksi
hipersensitivitas.
3. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan jurnal ini adalah bahwa
pemahaman yang mendalam tentang diagnosis dan manajemen
reaksi hipersensitivitas obat (DHRs) sangat penting mengingat
prevalensi yang signifikan dari alergi obat, terutama pada beta-
laktam. Perbedaan dalam praktik klinis dari negara ke negara dan di
dalam negara yang sama menunjukkan perlunya standarisasi dalam
pendekatan terhadap DHRs guna menghindari risiko under-
diagnosis dan over-diagnosis.
Upaya internasional untuk mengatasi kesenjangan
pengetahuan tentang DHRs telah dilakukan, namun masih banyak
kebutuhan yang belum terpenuhi, termasuk pendirian jaringan dan
basis data global untuk pengumpulan data yang lebih luas dan
analisis epidemiologis yang lebih baik. Heterogenitas dalam praktik
klinis harus diatasi melalui standarisasi prosedur dan kolaborasi
15
global yang kuat. Selain itu, pengembangan tes in vitro yang lebih
andal menjadi prioritas untuk memahami mekanisme DHRs secara
lebih baik dan mengidentifikasi obat-obatan yang berpotensi
menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
a. Identitas Jurnal
b. Abstraksi
Abstraksi jurnal ini membahas peningkatan reaksi
hipersensitivitas obat (HSR) dalam era modern dengan berbagai agen
terapeutik baru yang tersedia. Dalam konteks ini, pasien dengan
penyakit seperti kanker, inflamasi kronis, fibrosis kistik, atau diabetes
dapat mengalami alergi terhadap terapi mereka, baik karena paparan
berulang atau reaktivitas silang dengan alergen lingkungan.
Menghindari obat yang menjadi penyebab alergi ini dapat berdampak
16
signifikan pada manajemen penyakit, kualitas hidup, dan harapan
hidup pasien. Pengobatan presisi, yang mencakup pendekatan
personal untuk reaksi HSR yang dimediasi oleh IgE dan non-IgE
melalui desensitisasi obat (DS), menjadi fokus utama dalam
manajemen kondisi ini. Melalui eskalasi bertahap dari dosis sub-
optimal, DS mampu menghasilkan keadaan hiporesponsif sementara.
Penelitian in vitro telah mengungkapkan bahwa desensitisasi IgE
melibatkan proses spesifik terhadap antigen yang menghambat aliran
kalsium dan mencegah reaksi akut dan laten serta pelepasan mediator
sel mastosit. Dengan pendekatan "dari bangku penelitian ke tempat
tidur pasien", model desensitisasi in vitro membantu dalam
memahami jalur molekuler yang terlibat dalam DS, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan protokol desensitisasi untuk semua
pasien. Tujuan utama dari tinjauan ini adalah merangkum informasi
terbaru tentang HSR obat, mekanisme desensitisasi yang dimediasi
oleh IgE, dan aplikasi klinisnya, yang dapat membantu meningkatkan
pemahaman dan manajemen kondisi ini secara keseluruhan.
17
Klasifikasi HSR didasarkan pada presentasi klinis gejala
yang khas dan waktu timbulnya gejala [2,7], yang awalnya
dijelaskan oleh Gell dan Coombs dengan membaginya menjadi
empat tipe, yaitu Tipe I hingga IV [8]. Belakangan ini, pemahaman
tentang fenotipe, endotipe, dan genotipe HSR semakin berkembang
dan diterapkan dalam praktik klinis untuk memberikan pendekatan
yang lebih personal dalam manajemen dan pengobatan HSR [1].
Fenotipe dalam alergi obat menitikberatkan pada gejala dan waktu
timbulnya, sedangkan endotipe berfokus pada mediator seluler,
biologis, dan biomarker yang dapat memberikan wawasan lebih
dalam terhadap jalur molekuler dan risiko reaksi selama re-eksposur
terhadap obat yang bersalah [1,9–12].
Peran predisposisi genetik dalam perkembangan HSR
semakin terbukti, terutama terkait dengan obat-obatan seperti
antikonvulsan, sulfonamida, dan abakavir [13,14]. Pemahaman yang
holistik tentang HSR obat menjadi lebih memungkinkan melalui
integrasi pendekatan klasik dan modern. Informasi terbaru tentang
jalur molekuler, fenotipe langsung, dan tertunda memberikan
landasan yang kokoh bagi penelitian lebih lanjut dalam
farmakogenetika dan manajemen reaksi yang lebih baik di masa
depan.
2. Pembahasan
Reaksi hipersensitivitas obat (HSR) merupakan fenomena
yang semakin memprihatinkan sebagai efek samping yang
merugikan dari penggunaan obat-obatan [1,2]. Dalam spektrum
HSR, reaksi yang paling banyak dipelajari adalah yang dimediasi
oleh IgE (Imunoglobulin E) atau melalui aktivasi sel mast, yang
dapat memiliki konsekuensi serius seperti kolaps kardiovaskular dan
anafilaksis, terkadang memaksa penghentian penggunaan obat dan
menurunkan kualitas hidup serta harapan hidup pasien [3–6].
18
Klasifikasi HSR bergantung pada presentasi klinis gejala
yang khas dan waktu timbulnya, yang awalnya diperkenalkan oleh
Gell dan Coombs dan menggolongkannya menjadi empat tipe, yaitu
Tipe I hingga IV [8]. Namun, dalam beberapa tahun terakhir,
penekanan pada fenotipe, endotipe, dan genotipe HSR telah semakin
berkembang, memberikan landasan bagi pendekatan personal dalam
manajemen dan pengobatan HSR [1]. Fenotipe dalam alergi obat
menyoroti gejala dan waktu timbulnya reaksi, sementara endotipe
berfokus pada mediator seluler, biologis, dan biomarker untuk
menjelaskan jalur molekuler serta mengevaluasi risiko reaksi saat
re-eksposur terhadap obat yang bersalah [1,9–12].
Peran predisposisi genetik dalam perkembangan HSR
semakin terbukti signifikan, terutama dalam hubungannya dengan
beberapa obat-obatan seperti antikonvulsan, sulfonamida, dan
abakavir [13,14]. Pengembangan lebih lanjut dalam
farmakogenetika bertujuan untuk mencegah dan mengelola reaksi
yang lebih parah seperti Sindrom Steven Johnson (SJS) dan Reaksi
Obat dengan Eosinofilia dan Gejala Sistemik (DRESS) [13,14].
Integrasi pendekatan klasik dan modern dalam pemahaman tentang
HSR obat menjadi esensial, dengan temuan terbaru tentang jalur
molekuler dan fenotipe langsung (Tipe I) serta tertunda (Tipe IV)
memberikan wawasan yang lebih mendalam bagi pengembangan
masa depan dalam manajemen HSR.
3. Kesimpulan
Kesimpulan dari jurnal ini menggarisbawahi pentingnya
pemahaman yang berkembang tentang fenotipe, endotipe, dan
biomarker dalam reaksi hipersensitivitas obat (HSR).
Perkembangan ini melengkapi deskripsi klasik HSR obat dari Gell
dan Coombs, memungkinkan klasifikasi reaksi yang lebih luas,
19
termasuk pengakuan terhadap reaksi baru seperti "reaksi mirip badai
sitokin" dalam HSR terhadap moAbs, oksaliplatin, dan taxanes.
Penambahan biomarker baru dari sel mast dan mediator sel imun
lainnya di masa depan diharapkan dapat meningkatkan kategorisasi
HSR secara lebih baik.
Desensitisasi diidentifikasi sebagai pendekatan revolusioner
untuk reintroduksi aman dari obat-obatan imunogenik. Meskipun sel
mast dan basofil telah lama diakui sebagai target seluler dalam
desensitisasi, mekanisme inhibisi desensitisasi masih dalam proses
penjelasan. Desensitisasi memanfaatkan mekanisme inhibisi untuk
mencegah transduksi sinyal sel mast yang diaktifkan dan pelepasan
mediator pro-inflamasi.
Gangguan dalam internalisasi kompleks Ag/IgE/FεcRI
selama desensitisasi dapat menghasilkan pembentukan
kompartemen terpencil yang spesifik untuk antigen, yang mengarah
pada pengecualian reseptor non-desensitisasi. Protokol desensitisasi
manusia yang berhasil, berdasarkan pada model desensitisasi mast
sel IgE in vitro, menawarkan tingkat keamanan yang sangat baik
untuk semua pasien dengan reaksi alergi berat yang membutuhkan
terapi lini pertama. Penelitian mendatang diharapkan akan
mengungkapkan jalur molekuler desensitisasi in vitro yang lebih
efektif dan lebih aman untuk digunakan dalam protokol manusia.
20
5. Immediate-type hypersensitivity drug reactions
a. Identitas Jurnal
b. Abstraksi
Jurnal ini membahas tentang reaksi hipersensitivitas termasuk
anafilaksis yang melibatkan hampir semua kelas bahan terapeutik dan
sering kali terjadi dalam waktu yang singkat setelah paparan. Reaksi
ini tidak dapat diprediksi dan tidak langsung terkait dengan dosis atau
mekanisme farmakologis obat, dan memiliki risiko kematian yang
cukup tinggi. Tinjauan ini bertujuan untuk menggali presentasi klinis,
mekanisme imun, diagnosis, dan pencegahan dari bentuk reaksi
hipersensitivitas obat yang paling serius dan terjadi secara langsung,
yaitu anafilaksis. Data menunjukkan peningkatan insiden kematian
akibat anafilaksis yang disebabkan oleh obat, sementara pemahaman
tentang berbagai faktor yang kompleks yang menyebabkan sifat tidak
dapat diprediksi dari anafilaksis terhadap obat terus berkembang.
Tinjauan ini menyoroti pentingnya meningkatkan pemahaman tentang
biologi pasien, termasuk respons imun dan genetika, serta
farmakologi dan kimia obat dalam proses penyelidikan, diagnosis, dan
21
pengobatan hipersensitivitas obat. Kesalahan dalam mendiagnosis
hipersensitivitas obat dapat menyebabkan risiko dan biaya yang
signifikan bagi pasien. Meskipun provokasi oral sering dianggap
sebagai standar emas dalam diagnosis, namun metode ini dapat
membawa risiko potensial bagi pasien. Oleh karena itu, terdapat
kebutuhan mendesak untuk meningkatkan dan menstandarisasi
pengujian diagnostik dan protokol desensitisasi, mengingat tes
diagnostik yang tersedia saat ini untuk alergi obat langsung masih
belum cukup prediktif.
22
dalam reaksi yang terjadi dalam waktu 1–72 jam atau dalam
waktu kurang dari 1 jam setelah paparan. Reaksi hipersensitivitas,
termasuk anafilaksis, telah dilaporkan terjadi pada berbagai kelas
agen terapeutik. Jurnal ini akan memfokuskan pada presentasi
klinis, mekanisme imun, diagnosis, dan pencegahan bentuk
paling serius dari reaksi hipersensitivitas obat yang terjadi secara
langsung, yaitu anafilaksis.
2. Pembahasan
Review pembahasan jurnal ini memberikan wawasan
mendalam tentang presentasi klinis dan manajemen episode akut
reaksi hipersensitivitas obat. Reaksi hipersensitivitas obat tipe
langsung dipahami sebagai kondisi dinamis yang dapat berkembang
dengan cepat dari yang ringan hingga mematikan. Penjelasan yang
diberikan mengenai pola reaksi yang berbeda sangat berguna, dan
pengamatan minimal selama setidaknya 1 jam direkomendasikan
untuk memastikan tidak adanya perkembangan reaksi yang lebih
parah. Diagnosis klinis dapat dibuat dalam kebanyakan kasus, tetapi
pengambilan sampel darah serial untuk mengukur triptase sel mast
(MCT) dapat memberikan konfirmasi tambahan di mana fitur tipikal
tidak terlihat.
Manajemen anafilaksis yang dibahas secara rinci, termasuk
tindakan segera yang perlu dilakukan seperti penghentian pemberian
obat penyebab, panggilan bantuan, posisi pasien, pemberian
epinefrin, dan dukungan saluran napas. Pentingnya tindakan
tambahan untuk reaksi dengan hipotensi juga disorot dengan jelas,
dengan penjelasan tentang resusitasi cairan agresif dan infus
epinefrin intravena.
Informasi epidemiologi yang disajikan memberikan
gambaran yang jelas tentang keadaan saat ini, meskipun data tentang
insiden reaksi hipersensitivitas obat masih terbatas. Khususnya,
23
peningkatan kematian akibat anafilaksis obat menarik perhatian,
terutama pada populasi lanjut usia dan pada reaksi yang disebabkan
oleh obat penghambat neuromuskular selama anestesi.
Pembahasan tentang mekanisme imunologis reaksi
hipersensitivitas obat sangat informatif, dengan penjelasan tentang
peran IgE-mediated atau T-cell mediated dalam patogenesisnya.
Juga, penjelasan tentang reaksi hipersensitivitas terhadap NSAID,
termasuk penyakit pernafasan yang diperparah aspirin dan urtikaria-
angioedema, memberikan wawasan tambahan tentang kondisi yang
kompleks ini.
Secara keseluruhan, jurnal ini memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang topik yang penting ini, dengan penjelasan
yang jelas dan terperinci tentang berbagai aspek presentasi klinis,
manajemen, epidemiologi, dan mekanisme imunologis reaksi
hipersensitivitas obat.
3. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan jurnal ini adalah bahwa artikel
memberikan wawasan mendalam tentang presentasi klinis dan
manajemen reaksi hipersensitivitas obat. Reaksi ini merupakan
kondisi dinamis yang dapat berkembang dari yang ringan hingga
mematikan dengan cepat. Pentingnya pengamatan minimal selama
satu jam untuk memantau perkembangan reaksi yang lebih parah
disoroti, serta kemungkinan penggunaan pengukuran triptase sel
mast (MCT) untuk konfirmasi diagnosis ketika fitur tipikal tidak
terlihat.
24
III. RANGKUMAN PEMBAHASAN 5 JURNAL
INTERNASIONAL
A. Rangkuman
25
obat, terutama pada populasi lanjut usia dan pada reaksi yang disebabkan
oleh obat penghambat neuromuskular selama anestesi.
B. Kesimpulan
26
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
27
V. PUSTAKA
28