Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

REVIEW JURNAL
ALERGI DAN HIPERSENSITIVITAS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Imunologi

OLEH : TRISIA LUSIANA


NONOR INDUK MAHASISWA
PO.71.31.22.31.74

Dosen Mata Kuliah :


AFRIYANA SIREGAR, S.Gz, M. Biomed
NIP. 198304182006042001

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMB KO ANG
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya
jurnal review ini. Ada 5 jurnal yang direview pada makalah ini dengan tema “Alergi
dan Hipersensitvitas”. Jurnal tersebut direview untuk memenuhi tugas mata kuliah
Critical ill. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat
terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan. Sebagai penulis, penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca
serta bermanfaat bagi banyak orang.

Palembang, Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... ii


DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
a. Latar Belakang........................................................................ 1
b. Tujuan ..................................................................................... 2
c. Manfaat ................................................................................... 3

II. REVIEW 5 JURNAL INTERNASIONAL ................................ 4


1. Food allergy and hypersensitivity reactions in children and
adults ........................................................................................ 4
2. Expression of IL-17A concentration and effector functions of
peripheral blood neutrophils in food allergy hypersensitivity
patients. .................................................................................... 9
3. Important questions in drug allergy and hypersensitivity........ 13
4. Drug Hypersensitivity and Desensitizations: Mechanisms and
New Approaches ...................................................................... 16
5. Immediate-type hypersensitivity drug reactions ...................... 21

III. RANGKUMAN PEMBAHASAN 5 JURNAL


INTERNASIONAL ..................................................................... 25
1. Rangkuman Pembahasan 5 Jurnal ........................................... 25
2. Rangkuman Kesimpulan 5 Jurnal ............................................ 26

IV. KESIMPULAN DAN DAN SARAN .......................................... 27

DAFTAR PUSTKA ............................................................................... 28

iii
I. PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Alergi dianggap sebagai salah satu bentuk reaksi hipersensitivitas dari


sistem kekebalan tubuh. Reaksi hipersensitivitas merujuk pada respons yang
berlebihan atau tidak proporsional terhadap stimulus eksternal tertentu. Dalam
konteks alergi, sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap
antigen yang seharusnya tidak berbahaya, menyebabkan berbagai gejala alergi
yang dapat berkisar dari ringan hingga parah. Pemahaman tentang reaksi
hipersensitivitas membantu memperjelas bagaimana tubuh bereaksi terhadap
alergen dan mengapa gejala alergi terjadi. .
Sementara itu, hipersensitivitas merujuk pada respons sistem kekebalan
tubuh yang berlebihan atau tidak proporsional terhadap antigen tertentu.
Konsep ini mencakup berbagai jenis reaksi, termasuk reaksi alergi, reaksi
autoimun, dan reaksi imunologi lainnya. Pemahaman tentang hipersensitivitas
penting karena membantu mengidentifikasi mekanisme dasar di balik berbagai
penyakit autoimun dan alergi. Dengan memahami bagaimana sistem kekebalan
tubuh bereaksi terhadap antigen, para ilmuwan dapat mengembangkan strategi
diagnosis yang lebih baik serta terapi yang lebih efektif untuk mengatasi
berbagai penyakit yang terkait dengan respons imunologis tubuh. Oleh karena
itu, studi tentang alergi dan hipersensitivitas memiliki implikasi yang luas
dalam bidang kedokteran dan ilmu biologi.
Hubungan antara alergi, hipersensitivitas, dan gizi telah menjadi fokus
penelitian yang semakin penting dalam bidang kesehatan masyarakat. Pertama,
gizi memainkan peran kunci dalam mengatur sistem kekebalan tubuh.
Kekurangan nutrisi tertentu, seperti vitamin D, vitamin E, dan asam lemak
omega-3, telah terkait dengan peningkatan risiko terjadinya reaksi alergi dan
hipersensitivitas. Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa asupan
rendah vitamin D dapat meningkatkan risiko mengembangkan alergi,

1
sedangkan asupan yang cukup dari asam lemak omega-3 memiliki efek
antiinflamasi yang dapat membantu meredakan gejala alergi.
Selain itu, pola makan juga dapat mempengaruhi sensitivitas individu
terhadap alergen tertentu. Diet yang kaya akan serat, probiotik, dan antioksidan
dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh dan mengurangi risiko terjadinya
reaksi alergi. Di sisi lain, adanya alergi makanan tertentu dapat membatasi
pilihan makanan seseorang dan pada gilirannya dapat mempengaruhi asupan
nutrisi keseluruhan. Oleh karena itu, pemahaman tentang hubungan antara gizi,
alergi, dan hipersensitivitas menjadi penting untuk membantu merancang
strategi intervensi gizi yang tepat guna untuk mencegah dan mengelola berbagai
kondisi alergi dan hipersensitivitas.
Penting untuk menyoroti temuan utama dari penelitian yang direview
serta memberikan gambaran tentang implikasi praktis dari penelitian tersebut
dalam konteks kesehatan masyarakat dan klinis. Melalui review jurnal
internasional tentang alergi dan hipersensitivitas, penulis telah mendapatkan
wawasan mendalam tentang mekanisme dasar, faktor risiko, dan strategi
pengelolaan yang terkait dengan kondisi ini. Temuan-temuan ini memperkuat
pemahaman kita tentang kompleksitas sistem kekebalan tubuh dan pentingnya
faktor gizi dalam regulasi respons imun.

2. Tujuan

Tujuan dalam review jurnal ini adalah :


1. Mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan terbaru dalam
pemahaman tentang mekanisme dasar alergi dan hipersensitivitas yang
terungkap dalam literatur ilmiah internasional.
2. Mengevaluasi bukti ilmiah terkait faktor risiko yang berkontribusi
terhadap timbulnya alergi dan hipersensitivitas, termasuk faktor genetik,
lingkungan, dan pola makan. Melalui peninjauan ini, tujuannya adalah
untuk mengidentifikasi pola-pola atau tren yang konsisten dalam

2
literatur yang dapat menjadi dasar untuk pengembangan strategi
pencegahan dan pengelolaan yang lebih efektif.
3. Menyusun pemahaman yang lebih mendalam tentang peran gizi dalam
modulasi respons imun tubuh terhadap alergen dan dampaknya terhadap
perkembangan alergi dan hipersensitivitas. Dengan demikian, tujuan ini
akan membantu memperjelas hubungan antara nutrisi dan kesehatan
imun, serta menyediakan dasar untuk perancangan intervensi gizi yang
lebih terarah dalam mencegah dan mengelola kedua kondisi tersebut.

3. Manfaat

1. Review jurnal internasional dapat memberikan manfaat bagi


mahasiswa dan masyarakat dengan meningkatkan pemahaman mereka
tentang mekanisme dasar, faktor risiko, dan strategi pengelolaan alergi
dan hipersensitivitas. Dengan pemahaman yang lebih baik, mahasiswa
dan masyarakat dapat mengenali gejala, risiko, dan pengelolaan yang
tepat untuk kondisi ini, serta mengurangi stigma yang terkadang terkait
dengan kedua kondisi tersebut.
2. Menyediakan informasi yang dapat dijadikan dasar pengambilan
keputusan bagi mahasiswa yang tertarik dalam penelitian atau karir di
bidang kesehatan, serta masyarakat umum yang ingin memahami lebih
dalam tentang alergi dan hipersensitivitas.
3. Menjadi alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pengelolaan alergi dan hipersensitivitas, serta
mempromosikan advokasi untuk akses yang lebih baik terhadap
layanan kesehatan yang berkualitas bagi individu yang terpengaruh
oleh kondisi ini.

3
II. REVIEW 5 JURNAL INTERNASIONAL

1. Food allergy and hypersensitivity reactions in children and adults

a. Identitas Jurnal

Judul Food allergy and hypersensitivity


reactions in children and adults
Nama Jurnal Journal of Internal Medicine
Volume dan halaman Volume291, Issue3
Pages 283-302
Tahun 2021
Penulis  Anna Asarnoj, Helena Thulin, Marit
Westman, Jon R. Konradsen, Caroline
Nilsson
Link download https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/1
0.1111/joim.13422
DOI https://doi.org/10.1111/joim.13422
Reviewer Sandra G. Tedner.
Tanggal reviewer 07 December 2021

b. Abstraksi
Jurnal ini menggarisbawahi pentingnya masalah reaksi
merugikan setelah mengonsumsi makanan yang umum dilaporkan,
yang seringkali menjadi sumber kekhawatiran dan kecemasan bagi
individu yang terkena, mendorong adopsi diet yang sangat ketat.
Variasi dalam keparahan reaksi serta kompleksitas dalam
membedakan berbagai diagnosis hipersensitivitas makanan
menambah kerumitan masalah ini. Meskipun demikian, riwayat
medis yang cermat seringkali dapat membantu mengeliminasi atau
mencurigai hipersensitivitas terhadap makanan. Alergi makanan
yang dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE) dianggap sebagai jenis
reaksi alergi yang paling umum, dengan gejala yang bervariasi mulai
dari ringan hingga anafilaksis parah. Definisi alergi makanan IgE-

4
medisasi membutuhkan kombinasi gejala alergi dengan antibodi IgE
spesifik, dan kini alergologi molekuler menjadi alat yang berpotensi
membantu dalam proses diagnosis.
Adanya alergen yang umum seperti susu, telur, kacang
tanah, kacang-kacangan, ikan, dan kerang menekankan pentingnya
identifikasi alergi pada berbagai kelompok usia, serta penekanan
pada tindak lanjut dan reintroduksi makanan yang tepat. Selain
alergi makanan yang dimediasi oleh IgE, penyakit lain yang dipicu
oleh makanan, seperti esofagitis eosinofilik, penyakit celiac, dan
sindrom enterokolitis yang diinduksi oleh protein makanan,
memperkaya pemahaman kita tentang keragaman kondisi ini.
Meskipun beberapa hipersensitivitas makanan dominan pada masa
anak-anak, ada juga yang lebih umum terjadi pada orang dewasa.

Terakhir, penekanan pada penelitian tentang potensi


pengobatan hipersensitivitas makanan, termasuk melalui
imunoterapi oral, menyoroti upaya penelitian yang berkelanjutan
untuk mengatasi tantangan ini. Kesimpulannya, latar belakang
jurnal ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang
berbagai jenis reaksi hipersensitivitas makanan, menyoroti
kompleksitas masalah ini serta upaya untuk mencari solusi
terapeutik yang efektif.

c. Review: Latar Belakang, Pembahasan dan Kesimpulan


1. Latar Belakang
Latar belakang penelitian mengenai reaksi hipersensitivitas
makanan menyoroti fenomena umum di mana sekitar 20–25%
orang dewasa melaporkan reaksi merugikan terhadap makanan.
Gejala yang bervariasi dari gatal-gatal ringan hingga anafilaksis
parah mempengaruhi baik anak-anak maupun orang dewasa,

5
yang menyebabkan kecemasan dan pembatasan makanan bagi
banyak individu dan keluarga.
Kategorisasi reaksi makanan, baik toksik maupun non-
toksik, dengan penekanan khusus pada reaksi imunologis,
menyoroti kompleksitas fenomena ini dalam diagnosis dan
pengelolaan. Metode diagnostik seperti riwayat pasien yang
teliti, tes tusukan kulit, dan pengujian IgE spesifik digunakan
secara luas untuk membantu mengidentifikasi alergi makanan.
Berbagai teori yang mendukung perkembangan alergi
makanan, termasuk hipotesis higienis dan hipotesis penghalang
ganda, menambahkan dimensi pemahaman kita tentang
mekanisme yang mendasari reaksi hipersensitivitas makanan.
Faktor-faktor lingkungan, seperti eksposur terhadap mikroba
dan alergen serta kadar vitamin D, telah diduga berperan dalam
prevalensi dan geografi alergi makanan.
Meskipun kemajuan besar telah dicapai dalam diagnosis
reaksi hipersensitivitas makanan, tantangan dalam pencegahan
dan pengobatan tetap ada. Studi yang sedang berlangsung,
seperti imunoterapi oral pada anak-anak, menjanjikan
kemungkinan terapi masa depan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam konteks ini, tujuan dari peninjauan ini adalah untuk
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang jenis reaksi
hipersensitivitas makanan yang umum terjadi.

2. Pembahasan
Reaksi merugikan setelah asupan makanan sering
dilaporkan, terutama alergi makanan yang dimediasi oleh IgE
yang meningkat di dunia barat. Gejala bervariasi dari ringan
hingga parah, menyebabkan kecemasan pada individu dari
berbagai kelompok usia, yang dapat mengarah pada diet yang
sangat ketat. Meskipun variasi penyebab reaksi tergantung pada

6
jenis makanan dan mekanisme reaksi, diagnosa seringkali sulit
bagi klinisi karena beberapa diagnosis mungkin bersamaan.
Meskipun demikian, dengan riwayat medis yang teliti,
hipersensitivitas makanan seringkali dapat disaring atau
dicurigai, dengan alergi makanan yang dimediasi oleh IgE
menjadi jenis reaksi alergi yang paling umum. Diagnosis
berlebihan terhadap alergen makanan sering terjadi,
menyebabkan penghindaran yang tidak perlu, dan hal ini
terbukti dalam studi dengan tantangan makanan. Pengetahuan
baru dan metode diagnostik seperti alergologi molekuler telah
membantu dalam proses diagnosa, terutama dalam mengatasi
reaktivitas silang antara alergen makanan yang umum. Alergen
makanan umum bervariasi tergantung pada kelompok usia,
dengan alergen seperti susu dan telur umum pada bayi, kacang-
kacangan pada anak-anak, dan ikan serta kerang pada orang
dewasa. Namun, alergen makanan baru, seperti serangga,
mungkin akan menjadi lebih umum di masa depan.
Perawatan klinis alergi makanan telah bergeser dari
penghindaran ke paparan, dengan penelitian terhadap
pencegahan primer dan sekunder, termasuk imunoterapi oral.
Hasil penelitian menjanjikan untuk imunoterapi oral, terutama
terhadap alergen kacang, meskipun masih ada pertanyaan
tentang dosis dan waktu pengobatan yang tepat. Selain itu,
hipersensitivitas makanan yang tidak dimediasi oleh IgE juga
perlu diperhatikan, baik yang bersifat sementara maupun kronis,
yang dapat berkembang pada berbagai kelompok usia. Penting
bagi layanan kesehatan untuk menyelidiki secara profesional
dugaan hipersensitivitas makanan pada semua kelompok usia
dan menghindari penghindaran makanan yang tidak perlu,
terutama pada bayi yang sebaiknya diberi berbagai jenis
makanan secara teratur.

7
3. Kesimpulan
Kesimpulan jurnal ini menyoroti pentingnya riwayat medis
dalam membedakan berbagai jenis hipersensitivitas makanan,
dengan fokus utama pada alergi yang dimediasi oleh IgE yang
merupakan yang paling umum. Penekanan diberikan pada
pentingnya gejala dan keberadaan sIgE-ab yang sama terhadap
alergen untuk menyatakan seseorang mengalami alergi.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan esofagitis
eosinofilik (EoE) sebagai diagnosis alternatif dalam gangguan
yang berkaitan dengan menelan. Faktor-faktor terkait, seperti
atopi dan jenis kelamin laki-laki, serta alergen pemicu yang
umum, seperti susu, telur, dan gluten, perlu diperhatikan dalam
diagnosis. Diagnosis penyakit celiac juga diperdebatkan,
dengan IgA anti-tTG dalam darah dianggap sebagai tes yang
andal.
Penelitian lebih lanjut diperlukan dalam memahami
sensitivitas terhadap amin biogenik, yang dapat menyebabkan
keracunan pada kadar tinggi. Konflik kepentingan penulis juga
disampaikan dengan jelas.
Secara keseluruhan, kesimpulan jurnal ini menyajikan
tinjauan yang komprehensif tentang diagnosis dan penanganan
berbagai jenis hipersensitivitas makanan, menyoroti pentingnya
riwayat medis dan pengembangan alat diagnostik yang lebih
baik di masa depan.

8
2. Expression of IL-17A concentration and effector functions of
peripheral blood neutrophils in food allergy hypersensitivity
patients.

a. Identitas Jurnal

Judul Expression of IL-17A concentration


and effector functions of peripheral
blood neutrophils in food allergy
hypersensitivity patients.
Nama Jurnal International Journal of
Immunopathology and Pharmacology
Volume dan halaman Volume 29, Issue 1
Pages 90-98
Tahun 2015
Penulis  Magdalena Żbikowska-Gotz,
Krzysztof Pałgan, Ewa Gawrońska-
Ukleja, Andrzej Kuźmiński, Michał
Przybyszewski, Ewa Socha, and
Zbigniew Bartuzi
Link download https://journals.sagepub.com/doi/epub/10.
1177/0394632015617069
DOI https://doi.org/10.1177/0394632015617069
Reviewer
Tanggal reviewer March 2015

c. Abstraksi
Abstrak ini membahas peran limfosit Th17 dalam memproduksi IL17
serta keterlibatan IL17 dalam mekanisme reaksi alergi, dengan fokus
pada partisipasi granulosit neutrofil. Studi ini bertujuan untuk
mengevaluasi konsentrasi IL17A serum, elastase neutrofil serum, dan
produksi ROS oleh neutrofil pada pasien dengan alergi makanan.
Melalui metode fluoro-immuno-enzimatis dan ELISA, dilibatkan 30
pasien dengan alergi makanan dan 10 relawan sehat sebagai kelompok
kontrol. Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi IL-17A serum,
kemiluminesensi neutrofil non-stimulasi, dan konsentrasi elastase
lebih tinggi pada pasien dengan alergi makanan dibandingkan dengan

9
relawan sehat. Temuan ini menyoroti pentingnya IL-17A dan
granulosit neutrofil dalam perkembangan hipersensitivitas alergi
makanan.

b. Review: Latar Belakang, Pembahasan dan Kesimpulan


1. Latar Belakang
Jurnal ini membahas peningkatan signifikan dalam insiden
reaksi alergi terhadap makanan yang diamati dalam beberapa tahun
terakhir. Permasalahan ini tidak hanya memengaruhi anak-anak dan
remaja, tetapi juga orang dewasa. Gejala klinis yang terjadi setelah
mengonsumsi makanan alergen bisa menjadi hasil dari berbagai
mekanisme imunologi patogenik dan berkaitan dengan organ serta
sistem yang berbeda. Studi yang telah dilakukan terkait fungsi
sistem imunologi pada pasien hipersensitivitas alergi makanan
terutama berfokus pada evaluasi faktor-faktor respons adaptasi.
Selain itu, elemen-elemen dari sistem kekebalan non-spesifik juga
dianggap penting dalam konteks tersebut, karena tidak hanya
memulai tetapi juga memengaruhi dan membentuk respons spesifik.
Aktivitas IL-17A sangat berkaitan dengan sel-sel respons
imun bawaan dan merupakan komponen penting dalam melawan
banyak patogen ekstraseluler. IL-17A memiliki peran dalam
menginduksi ekspresi mediator reaksi peradangan dengan
memengaruhi proliferasi, maturasi, dan kemotaksis neutrofil, yang
merupakan elemen penting dari respons kekebalan non-spesifik.
Sifat pro-inflamasi neutrofil bergantung pada kemampuan mereka
untuk memproduksi dan melepaskan mediator proses peradangan.
Proses aktivasi sel yang ditingkatkan dapat menyebabkan generasi
berlebihan dari spesies oksigen reaktif (ROS), pelepasan berbagai
protease seperti elastase, katepsin G, proteinase 3,
mieloperoksidase, dan metaloproteinase. Neutrofil merupakan
sumber utama ROS dalam darah perifer. Dalam kondisi di mana

10
mekanisme pertahanan jaringan tidak berfungsi dengan baik,
mediator-mediator yang dihasilkan atau dilepaskan dapat merusak
jaringan dan berkontribusi pada timbulnya tanda-tanda klinis
penyakit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
konsentrasi interleukin 17A serum, elastase neutrofil serum, dan
produksi ROS oleh neutrofil yang tidak distimulasi. Selain itu,
hubungan antara konsentrasi IL-17A serum dan aktivitas metabolik
neutrofil dievaluasi menggunakan tes kemiluminesensi, serta
konsentrasi elastase neutrofil pada pasien dengan alergi makanan.
Kelompok pasien yang diteliti terdiri dari 30 orang dewasa
(18 wanita, 12 pria; rata-rata usia 41 ± 8,7 tahun), yang menjalani
diagnosis rinci untuk mengecualikan penyakit selain alergi
makanan. Diagnosis alergi makanan didasarkan pada wawancara,
pemeriksaan fisik, diagnostik laboratorium, serta uji provokasi oral
ganda tersamar kontrol plasebo. Gejala gangguan saluran
pencernaan yang paling umum dialami oleh pasien meliputi
kembung, nyeri perut, mual, dan diare. Selama wawancara, semua
pasien menunjukkan insiden urtikaria akut. Pasien yang mengalami
eksaserbasi gejala yang terkait dengan alergi makanan dimasukkan
ke dalam penelitian. Penyebab gejala penyakit di antara kelompok
yang diteliti meliputi kacang tanah, seledri, apel, telur, dan ikan.
Delapan pasien dalam penelitian mengalami alergi terhadap lebih
dari satu alergen. Pasien dengan konsentrasi IgE spesifik alergen
yang meningkat (asIgE) - kelas ⩾2 (0,70 KU/I) dimasukkan dalam
kelompok yang diteliti. Kelompok kontrol terdiri dari 10 relawan
sehat (5 wanita, 5 pria; rata-rata usia 37 ± 6,3 tahun) yang tidak
memiliki riwayat atopi, gejala infeksi, atau mengonsumsi obat.
Metode pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
adalah dari vena ulnar ke tabung tes dengan heparin litium, serta
pada bekuan darah ke tabung tes tanpa antikoagulan. Parameter

11
darah morfologis dasar juga ditentukan pada semua pasien. Analisis
(asIgE) dilakukan menggunakan metode fluoro-immuno-enzimatis
(FEIA), sedangkan konsentrasi interleukin IL-17A serum ditentukan
dengan metode enzimatik ELISA. Evaluasi metabolisme jaringan
neutrofil yang tidak distimulasi dilakukan menggunakan metode
kemiluminesensi dengan luminol.

2. Pembahasan
Jurnal ini membahas peran IL-17A dalam patogenesis alergi
makanan, khususnya dalam mengatur aktivasi neutrofil dan proses
inflamasi terkait. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa IL-
17A mempengaruhi diferensiasi sel-sel progenitor menuju
granulosit neutrofil dan meningkatkan ekspresi gen yang
bertanggung jawab atas peradangan. Selain itu, IL-17A dikaitkan
dengan peningkatan sintesis IL-8 dan IL-6, yang merupakan
mediator penting dalam reaksi inflamasi dan kemotaksis neutrofil.
Studi pada pasien alergi makanan menunjukkan peningkatan
signifikan dalam konsentrasi IL-17A selama periode intensifikasi
gejala klinis, serta hubungan antara IL-17A, aktivasi neutrofil, dan
pelepasan elastase. Meskipun penelitian pada hewan dan pasien
telah menunjukkan keterlibatan IL-17A dalam berbagai penyakit
alergi, termasuk asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopik,
mekanisme yang tepat masih perlu lebih dipahami melalui penelitian
lebih lanjut.

3. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan jurnal ini adalah bahwa IL-
17A memiliki peran penting dalam patogenesis alergi makanan
melalui pengaturan aktivasi neutrofil dan proses inflamasi terkait.
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan keterlibatan IL-
17A dalam berbagai penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, dan

12
dermatitis atopik, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
memahami mekanisme yang tepat serta potensi IL-17A sebagai
target terapi pada penyakit alergi.

3. Important questions in drug allergy and hypersensitivity.

a. Identitas Jurnal

Judul Important questions in drug allergy


and hypersensitivity
Nama Jurnal World Allergy Organization Journal
Volume dan halaman Volume
Pages 11-42
Tahun 2018
Penulis  Pascal Demoly and Mariana Castells
Link download https://waojournal.biomedcentral.com/art
icles/10.1186/s40413-018-0224-1#citeas
DOI https://doi.org/10.1186/s40413-018-0224-1
Reviewer
Tanggal reviewer 19 December 2018

b. Abstraksi
Artikel ini merupakan salah satu dari serangkaian dokumen konsensus
internasional yang dikembangkan dari Simposium Alergi Obat
Internasional yang diselenggarakan pada Kongres Bersama American
Academy of Allergy, Asthma & Immunology/World Allergy
Organization pada tanggal 1 Maret 2018, di Orlando, Florida, AS.
Simposium ini disponsori oleh The Journal of Allergy and Clinical
Immunology, The Journal of Allergy and Clinical Immunology: In
Practice, dan The World Allergy.

13
c. Review: Latar Belakang, Pembahasan dan Kesimpulan
1. Latar Belakang
Review latar belakang jurnal ini menggambarkan prevalensi
yang signifikan dari alergi obat dan reaksi hipersensitivitas (DHRs)
dalam populasi umum dan pasien rumah sakit, dengan angka
mencapai 8% dan 15% masing-masing. Variasi dalam prevalensi ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk usia, kelas obat, negara,
dan kebiasaan resep obat. Meskipun terjadi kemajuan dalam
pemahaman dan manajemen DHRs, masih ada kebutuhan yang
belum terpenuhi, terutama terkait dengan perbedaan dalam
diagnosis dan manajemen dari negara ke negara dan di dalam negara
yang sama. Penyandingan yang salah dari alergi obat dapat memiliki
konsekuensi serius, termasuk penggunaan obat yang tidak tepat dan
biaya yang meningkat. DHRs juga memiliki dampak yang signifikan
pada praktik klinis, sosial-ekonomi, pengembangan obat, dan
kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengatasi
tantangan ini, diperlukan standarisasi dalam diagnosis, manajemen,
dan pengumpulan data DHRs secara global. Heterogenitas dalam
praktik perlu diatasi melalui kolaborasi internasional yang kuat dan
pendirian basis data DHR yang besar dan responsif. Ini akan
memfasilitasi analisis epidemiologis yang lebih baik, identifikasi
faktor risiko, dan pengembangan biomarker yang terkait dengan
DHRs.

2. Pembahasan
Prevalensi yang signifikan dari alergi obat, terutama pada
beta-laktam, menyoroti pentingnya pemahaman yang mendalam
tentang diagnosis dan manajemen reaksi hipersensitivitas obat
(DHRs). Perbedaan dalam praktik klinis dari negara ke negara dan
di dalam negara yang sama menunjukkan perlunya standarisasi
dalam pendekatan terhadap DHRs. Hal ini penting mengingat

14
dampak yang signifikan dari DHRs pada praktik klinis, ekonomi,
dan kesehatan masyarakat, serta risiko potensial dari under-
diagnosis dan over-diagnosis.
Upaya internasional untuk mengatasi kesenjangan
pengetahuan tentang DHRs telah dilakukan, namun masih banyak
kebutuhan yang belum terpenuhi. Pendirian jaringan dan basis data
global akan memungkinkan pengumpulan data yang lebih luas dan
analisis epidemiologis yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan pemahaman tentang faktor risiko dan mekanisme
DHRs. Namun, heterogenitas dalam praktik klinis perlu diatasi
melalui standarisasi prosedur dan kolaborasi global yang kuat.
Perkembangan tes in vitro yang lebih andal juga menjadi prioritas
untuk memahami mekanisme DHRs secara lebih baik dan
mengidentifikasi obat-obatan yang berpotensi menyebabkan reaksi
hipersensitivitas.

3. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan jurnal ini adalah bahwa
pemahaman yang mendalam tentang diagnosis dan manajemen
reaksi hipersensitivitas obat (DHRs) sangat penting mengingat
prevalensi yang signifikan dari alergi obat, terutama pada beta-
laktam. Perbedaan dalam praktik klinis dari negara ke negara dan di
dalam negara yang sama menunjukkan perlunya standarisasi dalam
pendekatan terhadap DHRs guna menghindari risiko under-
diagnosis dan over-diagnosis.
Upaya internasional untuk mengatasi kesenjangan
pengetahuan tentang DHRs telah dilakukan, namun masih banyak
kebutuhan yang belum terpenuhi, termasuk pendirian jaringan dan
basis data global untuk pengumpulan data yang lebih luas dan
analisis epidemiologis yang lebih baik. Heterogenitas dalam praktik
klinis harus diatasi melalui standarisasi prosedur dan kolaborasi

15
global yang kuat. Selain itu, pengembangan tes in vitro yang lebih
andal menjadi prioritas untuk memahami mekanisme DHRs secara
lebih baik dan mengidentifikasi obat-obatan yang berpotensi
menyebabkan reaksi hipersensitivitas.

4. Drug Hypersensitivity and Desensitizations: Mechanisms and New


Approaches

a. Identitas Jurnal

Judul Drug Hypersensitivity and


Desensitizations: Mechanisms and New
Approaches
Nama Jurnal International Journal of
Molecular Sciences
Volume dan halaman Volume
Pages
Tahun 2017
Penulis  Leticia De las Vecillas Sánchez , Leila
A. Alenazy, Marlene Garcia-Neuer and
Mariana C. Castells
Link download https://www.mdpi.com/1422-
0067/18/6/1316
DOI https://doi.org/10.3390/ijms18061316
Reviewer Werner J. P Pichler
Tanggal reviewer 20 June 2017

b. Abstraksi
Abstraksi jurnal ini membahas peningkatan reaksi
hipersensitivitas obat (HSR) dalam era modern dengan berbagai agen
terapeutik baru yang tersedia. Dalam konteks ini, pasien dengan
penyakit seperti kanker, inflamasi kronis, fibrosis kistik, atau diabetes
dapat mengalami alergi terhadap terapi mereka, baik karena paparan
berulang atau reaktivitas silang dengan alergen lingkungan.
Menghindari obat yang menjadi penyebab alergi ini dapat berdampak

16
signifikan pada manajemen penyakit, kualitas hidup, dan harapan
hidup pasien. Pengobatan presisi, yang mencakup pendekatan
personal untuk reaksi HSR yang dimediasi oleh IgE dan non-IgE
melalui desensitisasi obat (DS), menjadi fokus utama dalam
manajemen kondisi ini. Melalui eskalasi bertahap dari dosis sub-
optimal, DS mampu menghasilkan keadaan hiporesponsif sementara.
Penelitian in vitro telah mengungkapkan bahwa desensitisasi IgE
melibatkan proses spesifik terhadap antigen yang menghambat aliran
kalsium dan mencegah reaksi akut dan laten serta pelepasan mediator
sel mastosit. Dengan pendekatan "dari bangku penelitian ke tempat
tidur pasien", model desensitisasi in vitro membantu dalam
memahami jalur molekuler yang terlibat dalam DS, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan protokol desensitisasi untuk semua
pasien. Tujuan utama dari tinjauan ini adalah merangkum informasi
terbaru tentang HSR obat, mekanisme desensitisasi yang dimediasi
oleh IgE, dan aplikasi klinisnya, yang dapat membantu meningkatkan
pemahaman dan manajemen kondisi ini secara keseluruhan.

c. Review: Latar Belakang, Pembahasan dan Kesimpulan


1. Latar Belakang
Reaksi hipersensitivitas obat (HSR) merupakan fenomena
yang semakin meresahkan dalam penggunaan obat-obatan [1,2].
Dari berbagai jenis HSR yang telah dideskripsikan oleh Gell dan
Coombs, reaksi yang paling intensif penelitiannya adalah reaksi
yang dipicu oleh IgE (Imunoglobulin E) atau melalui aktivasi sel
mast, yang dapat menyebabkan reaksi serius seperti kolaps
kardiovaskular dan anafilaksis [3–6]. Konsekuensi dari reaksi ini
seringkali mengharuskan penghentian penggunaan obat, yang
kemudian dapat menurunkan kualitas hidup dan harapan hidup
pasien.

17
Klasifikasi HSR didasarkan pada presentasi klinis gejala
yang khas dan waktu timbulnya gejala [2,7], yang awalnya
dijelaskan oleh Gell dan Coombs dengan membaginya menjadi
empat tipe, yaitu Tipe I hingga IV [8]. Belakangan ini, pemahaman
tentang fenotipe, endotipe, dan genotipe HSR semakin berkembang
dan diterapkan dalam praktik klinis untuk memberikan pendekatan
yang lebih personal dalam manajemen dan pengobatan HSR [1].
Fenotipe dalam alergi obat menitikberatkan pada gejala dan waktu
timbulnya, sedangkan endotipe berfokus pada mediator seluler,
biologis, dan biomarker yang dapat memberikan wawasan lebih
dalam terhadap jalur molekuler dan risiko reaksi selama re-eksposur
terhadap obat yang bersalah [1,9–12].
Peran predisposisi genetik dalam perkembangan HSR
semakin terbukti, terutama terkait dengan obat-obatan seperti
antikonvulsan, sulfonamida, dan abakavir [13,14]. Pemahaman yang
holistik tentang HSR obat menjadi lebih memungkinkan melalui
integrasi pendekatan klasik dan modern. Informasi terbaru tentang
jalur molekuler, fenotipe langsung, dan tertunda memberikan
landasan yang kokoh bagi penelitian lebih lanjut dalam
farmakogenetika dan manajemen reaksi yang lebih baik di masa
depan.

2. Pembahasan
Reaksi hipersensitivitas obat (HSR) merupakan fenomena
yang semakin memprihatinkan sebagai efek samping yang
merugikan dari penggunaan obat-obatan [1,2]. Dalam spektrum
HSR, reaksi yang paling banyak dipelajari adalah yang dimediasi
oleh IgE (Imunoglobulin E) atau melalui aktivasi sel mast, yang
dapat memiliki konsekuensi serius seperti kolaps kardiovaskular dan
anafilaksis, terkadang memaksa penghentian penggunaan obat dan
menurunkan kualitas hidup serta harapan hidup pasien [3–6].

18
Klasifikasi HSR bergantung pada presentasi klinis gejala
yang khas dan waktu timbulnya, yang awalnya diperkenalkan oleh
Gell dan Coombs dan menggolongkannya menjadi empat tipe, yaitu
Tipe I hingga IV [8]. Namun, dalam beberapa tahun terakhir,
penekanan pada fenotipe, endotipe, dan genotipe HSR telah semakin
berkembang, memberikan landasan bagi pendekatan personal dalam
manajemen dan pengobatan HSR [1]. Fenotipe dalam alergi obat
menyoroti gejala dan waktu timbulnya reaksi, sementara endotipe
berfokus pada mediator seluler, biologis, dan biomarker untuk
menjelaskan jalur molekuler serta mengevaluasi risiko reaksi saat
re-eksposur terhadap obat yang bersalah [1,9–12].
Peran predisposisi genetik dalam perkembangan HSR
semakin terbukti signifikan, terutama dalam hubungannya dengan
beberapa obat-obatan seperti antikonvulsan, sulfonamida, dan
abakavir [13,14]. Pengembangan lebih lanjut dalam
farmakogenetika bertujuan untuk mencegah dan mengelola reaksi
yang lebih parah seperti Sindrom Steven Johnson (SJS) dan Reaksi
Obat dengan Eosinofilia dan Gejala Sistemik (DRESS) [13,14].
Integrasi pendekatan klasik dan modern dalam pemahaman tentang
HSR obat menjadi esensial, dengan temuan terbaru tentang jalur
molekuler dan fenotipe langsung (Tipe I) serta tertunda (Tipe IV)
memberikan wawasan yang lebih mendalam bagi pengembangan
masa depan dalam manajemen HSR.

3. Kesimpulan
Kesimpulan dari jurnal ini menggarisbawahi pentingnya
pemahaman yang berkembang tentang fenotipe, endotipe, dan
biomarker dalam reaksi hipersensitivitas obat (HSR).
Perkembangan ini melengkapi deskripsi klasik HSR obat dari Gell
dan Coombs, memungkinkan klasifikasi reaksi yang lebih luas,

19
termasuk pengakuan terhadap reaksi baru seperti "reaksi mirip badai
sitokin" dalam HSR terhadap moAbs, oksaliplatin, dan taxanes.
Penambahan biomarker baru dari sel mast dan mediator sel imun
lainnya di masa depan diharapkan dapat meningkatkan kategorisasi
HSR secara lebih baik.
Desensitisasi diidentifikasi sebagai pendekatan revolusioner
untuk reintroduksi aman dari obat-obatan imunogenik. Meskipun sel
mast dan basofil telah lama diakui sebagai target seluler dalam
desensitisasi, mekanisme inhibisi desensitisasi masih dalam proses
penjelasan. Desensitisasi memanfaatkan mekanisme inhibisi untuk
mencegah transduksi sinyal sel mast yang diaktifkan dan pelepasan
mediator pro-inflamasi.
Gangguan dalam internalisasi kompleks Ag/IgE/FεcRI
selama desensitisasi dapat menghasilkan pembentukan
kompartemen terpencil yang spesifik untuk antigen, yang mengarah
pada pengecualian reseptor non-desensitisasi. Protokol desensitisasi
manusia yang berhasil, berdasarkan pada model desensitisasi mast
sel IgE in vitro, menawarkan tingkat keamanan yang sangat baik
untuk semua pasien dengan reaksi alergi berat yang membutuhkan
terapi lini pertama. Penelitian mendatang diharapkan akan
mengungkapkan jalur molekuler desensitisasi in vitro yang lebih
efektif dan lebih aman untuk digunakan dalam protokol manusia.

20
5. Immediate-type hypersensitivity drug reactions

a. Identitas Jurnal

Judul Immediate-type hypersensitivity drug


reactions
Nama Jurnal British Journal of Clinical
Pharmacology
Volume dan halaman Volume78, Issue1
Pages 1-13
Tahun 2013
Penulis  Elizabeth J. Phillips, Michael D.
Wiese, Robert J. Heddle, Simon G. A.
Brown
Link download https://bpspubs.onlinelibrary.wiley.com/d
oi/epdf/10.1111/bcp.12297
DOI https://doi.org/10.1111/bcp.12297
Reviewer Werner J. P Pichler
Tanggal reviewer July 2014

b. Abstraksi
Jurnal ini membahas tentang reaksi hipersensitivitas termasuk
anafilaksis yang melibatkan hampir semua kelas bahan terapeutik dan
sering kali terjadi dalam waktu yang singkat setelah paparan. Reaksi
ini tidak dapat diprediksi dan tidak langsung terkait dengan dosis atau
mekanisme farmakologis obat, dan memiliki risiko kematian yang
cukup tinggi. Tinjauan ini bertujuan untuk menggali presentasi klinis,
mekanisme imun, diagnosis, dan pencegahan dari bentuk reaksi
hipersensitivitas obat yang paling serius dan terjadi secara langsung,
yaitu anafilaksis. Data menunjukkan peningkatan insiden kematian
akibat anafilaksis yang disebabkan oleh obat, sementara pemahaman
tentang berbagai faktor yang kompleks yang menyebabkan sifat tidak
dapat diprediksi dari anafilaksis terhadap obat terus berkembang.
Tinjauan ini menyoroti pentingnya meningkatkan pemahaman tentang
biologi pasien, termasuk respons imun dan genetika, serta
farmakologi dan kimia obat dalam proses penyelidikan, diagnosis, dan

21
pengobatan hipersensitivitas obat. Kesalahan dalam mendiagnosis
hipersensitivitas obat dapat menyebabkan risiko dan biaya yang
signifikan bagi pasien. Meskipun provokasi oral sering dianggap
sebagai standar emas dalam diagnosis, namun metode ini dapat
membawa risiko potensial bagi pasien. Oleh karena itu, terdapat
kebutuhan mendesak untuk meningkatkan dan menstandarisasi
pengujian diagnostik dan protokol desensitisasi, mengingat tes
diagnostik yang tersedia saat ini untuk alergi obat langsung masih
belum cukup prediktif.

c. Review: Latar Belakang, Pembahasan dan Kesimpulan


1. Latar Belakang
Latar belakang jurnal ini membahas berbagai reaksi merugikan
yang dapat terjadi setelah paparan obat, baik dalam rentang waktu
hitungan menit hingga jam. Beberapa reaksi terkait dengan
tindakan farmakologis obat dan memiliki risiko kematian yang
relatif rendah, sedangkan yang lain tidak mudah diprediksi dan
memiliki risiko kematian yang tinggi. Reaksi tipe B mencakup
reaksi yang dimediasi secara imunologi dan reaksi idiosinkratik
lainnya. Hipersensitivitas didefinisikan sebagai gejala atau tanda
yang dapat direproduksi secara objektif setelah paparan stimulus
pada dosis yang ditoleransi oleh subjek normal, dapat disebabkan
oleh mekanisme imunologis dan non-imunologis. Anafilaksis
adalah reaksi hipersensitivitas sistemik yang parah dan
mengancam jiwa dengan onset cepat setelah paparan, dapat
disebabkan oleh mekanisme imunologis atau non-imunologis.
Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada tahap akhir sering kali
dimediasi oleh sel T dan umumnya tidak memiliki fitur yang
berkembang dengan cepat dan mengancam jiwa seperti pada
anafilaksis. Meskipun demikian, waktu onset reaksi bervariasi,
dan mekanisme sel T dan seluler lainnya dapat berperan penting

22
dalam reaksi yang terjadi dalam waktu 1–72 jam atau dalam
waktu kurang dari 1 jam setelah paparan. Reaksi hipersensitivitas,
termasuk anafilaksis, telah dilaporkan terjadi pada berbagai kelas
agen terapeutik. Jurnal ini akan memfokuskan pada presentasi
klinis, mekanisme imun, diagnosis, dan pencegahan bentuk
paling serius dari reaksi hipersensitivitas obat yang terjadi secara
langsung, yaitu anafilaksis.

2. Pembahasan
Review pembahasan jurnal ini memberikan wawasan
mendalam tentang presentasi klinis dan manajemen episode akut
reaksi hipersensitivitas obat. Reaksi hipersensitivitas obat tipe
langsung dipahami sebagai kondisi dinamis yang dapat berkembang
dengan cepat dari yang ringan hingga mematikan. Penjelasan yang
diberikan mengenai pola reaksi yang berbeda sangat berguna, dan
pengamatan minimal selama setidaknya 1 jam direkomendasikan
untuk memastikan tidak adanya perkembangan reaksi yang lebih
parah. Diagnosis klinis dapat dibuat dalam kebanyakan kasus, tetapi
pengambilan sampel darah serial untuk mengukur triptase sel mast
(MCT) dapat memberikan konfirmasi tambahan di mana fitur tipikal
tidak terlihat.
Manajemen anafilaksis yang dibahas secara rinci, termasuk
tindakan segera yang perlu dilakukan seperti penghentian pemberian
obat penyebab, panggilan bantuan, posisi pasien, pemberian
epinefrin, dan dukungan saluran napas. Pentingnya tindakan
tambahan untuk reaksi dengan hipotensi juga disorot dengan jelas,
dengan penjelasan tentang resusitasi cairan agresif dan infus
epinefrin intravena.
Informasi epidemiologi yang disajikan memberikan
gambaran yang jelas tentang keadaan saat ini, meskipun data tentang
insiden reaksi hipersensitivitas obat masih terbatas. Khususnya,

23
peningkatan kematian akibat anafilaksis obat menarik perhatian,
terutama pada populasi lanjut usia dan pada reaksi yang disebabkan
oleh obat penghambat neuromuskular selama anestesi.
Pembahasan tentang mekanisme imunologis reaksi
hipersensitivitas obat sangat informatif, dengan penjelasan tentang
peran IgE-mediated atau T-cell mediated dalam patogenesisnya.
Juga, penjelasan tentang reaksi hipersensitivitas terhadap NSAID,
termasuk penyakit pernafasan yang diperparah aspirin dan urtikaria-
angioedema, memberikan wawasan tambahan tentang kondisi yang
kompleks ini.
Secara keseluruhan, jurnal ini memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang topik yang penting ini, dengan penjelasan
yang jelas dan terperinci tentang berbagai aspek presentasi klinis,
manajemen, epidemiologi, dan mekanisme imunologis reaksi
hipersensitivitas obat.

3. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan jurnal ini adalah bahwa artikel
memberikan wawasan mendalam tentang presentasi klinis dan
manajemen reaksi hipersensitivitas obat. Reaksi ini merupakan
kondisi dinamis yang dapat berkembang dari yang ringan hingga
mematikan dengan cepat. Pentingnya pengamatan minimal selama
satu jam untuk memantau perkembangan reaksi yang lebih parah
disoroti, serta kemungkinan penggunaan pengukuran triptase sel
mast (MCT) untuk konfirmasi diagnosis ketika fitur tipikal tidak
terlihat.

24
III. RANGKUMAN PEMBAHASAN 5 JURNAL
INTERNASIONAL

A. Rangkuman

Rangkuman dari review jurnal ini menyoroti berbagai aspek terkait


reaksi hipersensitivitas obat (HSR) dan alergi makanan. Pertama, artikel
menyampaikan bahwa HSR merupakan masalah yang semakin
memprihatinkan sebagai efek samping dari penggunaan obat-obatan,
dengan reaksi yang dapat berkembang dari ringan hingga mematikan.
Penekanan diberikan pada pengamatan minimal selama satu jam untuk
memantau perkembangan reaksi yang lebih parah dan pentingnya diagnosis
yang tepat dengan pengambilan sampel darah serial untuk mengukur
triptase sel mast (MCT) dalam kasus-kasus di mana fitur tipikal tidak
terlihat.
Selanjutnya, manajemen anafilaksis dibahas secara rinci, termasuk
tindakan segera seperti penghentian pemberian obat penyebab, panggilan
bantuan, dan pemberian epinefrin, dengan penjelasan tentang pentingnya
tindakan tambahan untuk reaksi dengan hipotensi..

Selanjutnya, manajemen anafilaksis dibahas secara rinci, termasuk


tindakan segera seperti penghentian pemberian obat penyebab, panggilan
bantuan, dan pemberian epinefrin, dengan penjelasan tentang pentingnya
tindakan tambahan untuk reaksi dengan hipotensi.

Informasi epidemiologi memberikan gambaran yang jelas tentang


keadaan saat ini, meskipun data tentang insiden reaksi HSR masih terbatas.
Perhatian khusus diberikan pada peningkatan kematian akibat anafilaksis

25
obat, terutama pada populasi lanjut usia dan pada reaksi yang disebabkan
oleh obat penghambat neuromuskular selama anestesi.

B. Kesimpulan

1. Peningkatan Kesadaran akan Masalah Reaksi Hipersensitivitas Obat


(HSR) dan Alergi Makanan: Review ini menyoroti kekhawatiran yang
semakin meningkat terkait HSR dan alergi makanan sebagai efek
samping dari penggunaan obat-obatan. Reaksi ini dapat berkembang dari
yang ringan hingga mematikan, menekankan pentingnya pengamatan
minimal selama satu jam untuk memantau perkembangan reaksi yang
lebih parah.
2. Pentingnya Diagnosis dan Manajemen yang Tepat: Review ini
menekankan pentingnya diagnosis yang tepat dalam kasus-kasus di mana
fitur tipikal tidak terlihat. Selain itu, manajemen anafilaksis dibahas
secara rinci, termasuk tindakan segera seperti penghentian pemberian
obat penyebab, panggilan bantuan, dan pemberian epinefrin. Pentingnya
tindakan tambahan untuk reaksi dengan hipotensi juga disoroti dengan
jelas.
3. Perhatian pada Aspek Epidemiologi: Informasi epidemiologi
memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan saat ini terkait insiden
reaksi HSR, meskipun data masih terbatas. Perhatian khusus diberikan
pada peningkatan kematian akibat anafilaksis obat, terutama pada
populasi lanjut usia dan pada reaksi yang disebabkan oleh obat
penghambat neuromuskular selama anestesi. Kesimpulan ini
menegaskan pentingnya pemantauan dan penanganan yang tepat
terhadap reaksi hipersensitivitas obat.

26
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Penyuluhan dan Edukasi Masyarakat: Meningkatkan kesadaran


masyarakat tentang risiko reaksi hipersensitivitas obat (HSR) dan alergi
makanan melalui program penyuluhan dan edukasi yang menyeluruh.
Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye publik, seminar kesehatan,
dan materi edukatif yang mudah diakses.
2. Pengembangan Panduan Diagnosis yang Lebih Komprehensif:
Mendukung pengembangan panduan diagnosis yang lebih komprehensif
untuk membantu klinisi dalam mengidentifikasi reaksi hipersensitivitas
obat dan alergi makanan, terutama dalam kasus-kasus di mana fitur
tipikal tidak terlihat. Panduan tersebut harus mencakup langkah-langkah
pengujian dan evaluasi yang memadai untuk memastikan diagnosis yang
tepat.
3. Pelatihan dan Sertifikasi Tenaga Kesehatan: Memperkuat pelatihan dan
sertifikasi tenaga kesehatan dalam manajemen anafilaksis dan reaksi
hipersensitivitas obat. Ini termasuk pengenalan gejala, penanganan
darurat, dan pemberian obat-obatan seperti epinefrin. Pelatihan yang
lebih baik akan meningkatkan kesiapan tenaga kesehatan dalam
menghadapi kasus-kasus reaksi yang parah.
4. Pengumpulan Data Epidemiologi yang Lebih Luas: Mendorong
pengumpulan data epidemiologi yang lebih luas dan analisis yang lebih
mendalam untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
insiden reaksi hipersensitivitas obat. Hal ini dapat dilakukan melalui
kerjasama antarlembaga, penggunaan basis data nasional atau
internasional, dan pengembangan survei atau studi epidemiologi yang
lebih terfokus. Dengan data yang lebih lengkap, upaya pencegahan dan
penanganan dapat lebih terarah dan efektif

27
V. PUSTAKA

Anna J, Helena T, Marit W. (2021). Food allergy and hypersensitivity reactions


in children and adults. Diakses Februari 2024.
https://doi.org/10.1111/joim.13422
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/joim.13422
Magdalena Ż, Krzysztof P, Ewa G. (2015). Expression of IL-17A concentration
and effector functions of peripheral blood neutrophils in food allergy
hypersensitivity patients. Diakses: Februari 2024.
https://doi.org/10.1177/0394632015617069.
https://journals.sagepub.com/doi/epub/10.1177/0394632015617069

Pascal D and Mariana C. (2018). Important questions in drug allergy and


hypersensitivity. Diakses: Februari 2024. https://doi.org/10.1186/s40413-018-
0224-1. https://waojournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40413-018-
0224-1#citeas
Leticia D, Leila A, Marlene G. (2017). Drug Hypersensitivity and
Desensitizations. Diakses Februari 2024. https://doi.org/10.3390/ijms18061316.
https://www.mdpi.com/1422-0067/18/6/1316
Elizabeth J, Michael D, Robert J. Heddle. (2013). Immediate-type
hypersensitivity drug reactions. Diakses Februari 2024.
https://doi.org/10.1111/bcp.12297.
https://bpspubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/bcp.12297

28

Anda mungkin juga menyukai