Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“Farmakologi dan Terapi Diet pada Kasus Kritis”

Dosen Pengampu : Herman, M. Kep

Oleh:

Asih Islamiati I1031181001


Ayu Nurintan
Yunita Eriska
Kharisma Aji Martadi I1031181019
Lailatul Badriah I1031181041
Mutiara Tri Handayani Rizaldi I1031181035
Endah Setianingsih
Serly Novita Sari I1031181024
Ferdinan Sujatmiko
Firman Kharisma Safari
Frananda Rajaki
Nurul Fahira
Ratih Sulistianingrum
Restu Hayatun Nupus
Yanuaria Aunkon
Zehro Masitoh
Dea Fitra Amanda

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata kuliah Keperawatan
Kritis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

.
Pontianak, 16 November 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2

1.4. Manfaat Penulisan ...................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI ........................................................................................................... 3

2.1. Definisi Pasien Kritis ...................................................................................................... 3

2.2. Farmakologi Pasien Kritis ............................................................................................. 4

2.2.1. Sistem Kardiovaskuler dan Resporasi ....................................................................... 5

2.2.2. Sistem Saraf Pusat ..................................................................................................... 18

2.2.3. Sistem Endokrin ........................................................................................................ 19

2.2.4. Golongan Antobiotik dan Antivigan ........................................................................ 31

BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 40

3.1. Kesimpulan.................................................................................................................... 40

3.2. Saran .............................................................................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 41

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Obat merupakan semua zat, baik kimiawi, hewani maupun nabati yang dalam dosis
layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit berikut gejalanya.
Suatu obat yang diminum peroral akan melalui tiga fase, yaitu farmasetik,
farmakokinetik danfarmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase
farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran
biologi.Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskuler atau intravena maka
tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua yaitu farmakokinetik yang meliputi 4 fase,
yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi. Dalam fase
farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis (Lestari,
2016).
Perawat berperan penting dalam memberikan obat-obatan sebagai hasil kolaborasi
dengan dokter kepada pasien. Mereka bertanggung jawab dalam pemberian obat –
obatan yang aman. Untuk itu, perawat harus mengetahui semua komponen dari
perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau
tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang direkomendasikan. Secara
hukum perawat bertanggung jawab jika mereka memberikan obat yang diresepkan dan
dosisnya tidak benar atau obat tersebut merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan
klien. Setelah obat telah diberikan, perawat bertanggung jawab pada efek obat yang
diduga akan terjadi. Agar dapat menyusun perencanaan keperawatan atau intervensi
yang tepat berkaitan dengan pemberian obat, perawat hendaknya mempelajari tentang
obat-obatan, meliputi konsep dasar farmasetika, farmakodinamik, farmakokinetik,
penggolongan obat berdasarkan sistem tubuh, meliputi dosis, indikasi-kontra indikasi
obat, efek samping dan pertimbangan pemberian obat pada pasien. Selanjutnya, peran
kolaboratif perawat dalam pelaksanaan prinsip farmakologi serta penghitungan dosis,
termasuk bagaimana implikasinya dalam keperawatan juga merupakan hal penting
yang harus dikuasai oleh perawat (Adame, 2009).

1
Tempat perawatan Intensive Care Unit (ICU) merupakan tempat dimana pasien-
pasien yang kritis dirawat, pasien-pasien dengan tingkat kesadaran yang berbeda,
pasien-pasien yang menggunakan alat-alat medis untuk menunjang kehidupannya,
pasien-pasien observasi, pasien-pasien yang membutuhkan perawat secara total adalah
pasien-pasien yang bergantung penuh terhadap perawatan dan medis. Pasien-pasien ini
ditunjang juga secara medikasi atau obat-obatan termasuk obat-obatan dengan label
high-alert. Obat-obatan high-alert menjadi sangat diwaspadai terutama untuk pasien-
pasien ICU karena pasien-pasien ICU sangat rentan mengalami perubahan status
kesehatan. Bahkan kemungkinan dapat berakibat fatal jika tidak dilakukan prosedur
yang benar dalam pemberian obat-obatan high-alert (Berman, 2008). Maka dari itu
perlu adanya penjelasan mengenai bagaimana perawat memberikan terapi obat ke pada
klien di ruang ICU. Kelompok mengangkat masalah ini dengan tujuan makalah ini
dapat menjadi pedoman untuk melakukan tindakan keperawatan di ruang ICU.

1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana tatalaksana farmakologi pada pasien kritis ?
1.2.2. Apa saja terapi diet pada pasien kritis ?

1.3.Tujuan Penulisan
1.3.1. Mengetahui tatalaksana farmakologi pada pasien kritis.
1.3.2. Mengetahui terapi diet pada pasien kritis.

1.4.Manfaat Penulisan
Penyusunan makalah ini diharapakan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai tatalaksana farmakologi dan terapi diet pada pasien kritis serta diharapkan
sebagai saran pengembangan ilmu pengetahuan secara teoritis untuk mahasiswa.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Pasien Kritis


Pasien kritis merupakan keadaan yang beresiko terjadinya disfungsi reversible
pada salah satu atau lebih organ yang mengancam kehidupan dan memerlukan
perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Post intensive care unit syndrome merupakan
masalah kesehatan yang muncul dan dapat menetap dalam jangka waktu yang lama
setelah pasien melalui kondisi kritis di intensive care. Post care Syndrome (PICS)
merupakan gambaran memburuk status kelemahan fisik, kognitif atau kesehatan
mental (physycal and mental health) selama sakit kritis. Pasien kritis yang mendapat di
intensive care dalam jangka waktu yang lama minimal 2-3 hari dan minimal mobilisasi
akan memiliki dampak yaitu jangka waktu perawatanyang bertambah lama, penurunan
mental health, mobility function, dan cognitive function (Suwardianto, 2018 ).
Dampak tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi organ dan penur
uan fungsi kontraktilitas otot, kapasitas fungsi, dan kualitas hidup pasien. Pasien kritis
dengan imobilitas yang lama secara signifikan berdampak pada physycal dysfunction
setelah keluar dari intensive care. PICS terjadi karena hasil respon perawatan pasien di
intensive care melalui pengalaman-pengalaman pasien saat dirawat di intensive care
dalam durasi waktu yang lama minimal 2-3 hari setelah kondisi penyakit akut, sepsis
dan delirium (Suwardianto, 2018).
PICS mendeskripsikan sebuah kesalahan yang potensial terjadi pada pasien
melalui pengalaman-pengalamannya. PICS terjadi pada pasien setelah mendapatkan
perawatan intensive care, hasil penelitian pasien yang di identifikasi mengalami PICS
diantaranya pasien kritis dengan penyakit dengan penyakit akut, gagal jantung, CHF,
pasien sepsis, delirium, syok, dan lain sebagainya.Sehingga peran perawat intensive
care sangatlah penting untuk mengantisipasi dan mencegah timbulnya permasalahan
postintensive care tersebut dengan berbagai pencegahan yang dapat dilakukan perawat
kritis saat dilakukan intensive care (Suwardianto, 2018).

3
2.2. Farmakologi Pasien Kritis

INOTROPIK
Jenis-jenis obat inotropik
1. Sedasi dan ansistolik
2. Norepinefrin
3. Dobutamin
Dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan curah jantung
1. Dopamin
2. Digoksin
VASOKONSTRIKOR
ANTI ARITMIA
TITRASI OBAT
SEDATIVE
VASODILATOR
Jenis
1. Isosobrid dinitrat mulai dosis 1 mg per jam
2. Nitrogliserin mulai dosis 10-20 ug permenit
Tujuan
1. Mengurangi gejala tekanan darah yang tinggi
2. menurukan ketegangan tonus vena (memaksimalkan preload) dan
ketegangan tonus arterial (mengurangi afterload sehingga
meningkatkan stroke volume,

4
3. Mengurangi beban jantung
Efek samping
1. Bisa mengakibatkan hipotensi
ELEKTROLIT
ANALGETIK
2.2.1. Sistem Kardiovaskuler dan Resporasi
Golongan Farmakologi Sistem Kardiovaskuler
Kelompok obat pada golongan sistem kardiovaskuler dapat dikelompokkan
menjadi 3 bagian, yaitu glikosida jantung, antiangina dan antiaritmia. Golongan-
golongan ini berguna dalam mengatur kontraksi, frekuensi, irama dan aliran darah
baik ke jantung ataupun dalam pergerakan jantung (Lestari, 2016).
1. Glikosida jantung
a. Pengertian
Digitalis merupakan salah satu obat tertua yang telah digunakan sejak tahun
1200-an. Pada tahun 1785, William Withering dari Inggris menggunakan digitalis
untuk menyembuhkan ”sakit bengkak”, yaitu edema pada ekstremitas akibat
insufisiensi ginjal dan jantung. Berikut ini fungsi beberapa klasifikasi obat
glikosida
1) Kerja Inotropik positif (meningkatkan kontraksi miokardium).
2) Kerja Kronotropik negatif (memperlambat denyut jantung).
3) Kerja Dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel – sel jantung)
b. Klasifikasi glikosida
Obat Dosis Pemakaian
Digitalis masa kerja cepat
1. Dewasa, Oral dosis awal 0,5 1. Untuk PJK,
Digoxin – 1 mg dalam 2 dosis aritmia atrial.
(lanoxin) Dosis maintenance : 0,125 – 2. Denyut nadi yang
0,5 mg/hari. lambat

5
Dewasa : IV : sama seperti Menunjukkan
oral toksisitasdigitalis
2. Lansia : 0,125 mg/hari .
3. Anak (2-10th) : Oral: 0,02 –
0,04 mg/kg dalam dosis
terbagi
Dosis maintenance : 0,012
mg/kg/hari dalam dosis
terbagi 2
Untuk digitalisasi
Deslanosid
Dewasa : IV : 1,2 – 1,6 mg/hari cepat; diikuti dengan
(Cedilanid-
dalam dosisterbagi 1- 2 digoksin atau
D)
digitoksin oral
Digitalis masa kerja panjang
1. Oral : IV : dosis awal 0,8 – 1,2
Digitoksin
mg/hari, Untuk PJK
(Crystodigin
2. R : D : PO : 0,05 – 0,3 mg/hari
Inotropik Positif
1. D : IV : DP : 0,75 mg/kg
dalam 2 – 3 menit Untuk PJK jika
Amrinon
2. D : IV : M : 5 – 10 digoksin dan diuretik
(Inocor)
µg/kg/menit (tidak tidak efektif
melampaui 10 mg/kg/hari)
Keterangan : D : dewasa, A : anak – anak, PO : per oral, IV : intravena, DP :
dosis pembebanan (loading dose/dosis awal), R : dosis rumatan (maintenance
dose), t½ : waktu paruh, PJK : penyakit jantung koroner (istilahnya lebih
dikenal gagal jantung kongestif).
c. Interaksi
1) Obat : diuretik yang mengeluarkan kalium
2) Elektrolit : hipokalemia, hipomagnesemia, dan hiperkalsemia

6
3) Makanan : makanan berserat tinggi
d. Efek Terapeutik dan Samping Obat
Efek terapeutik obat adalah meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan
sirkulasi dan meningkatkan perfusi jaringan, sedangkan efek sampingnya adalah
anoreksia dan mual. Sedangkan reaksi yang merugikan :muntah, aritmia, ilusi
penglihatan dan penglihatan kabur.
Overdosis atau akumulasi digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis.
Tanda – tanda dan gejala – gejalanya adalah anoreksia, diare, mual dan muntah,
bradikardia (denyut nadi < 60 kali per menit(dpm)) dan takikardia (>120dpm),
kontraksi ventrikel prematur, aritmia jantung, sakit kepala, amalise, penglihatan
kabur, ilusi penghilatan (halo putih, hijau, kuning di sekitar objek), bingung, dan
delirium. Orang lanjut usia lebih rentan terhadap toksisitas.
2. Antiangina
a. Pengertian
Obat – obat antiangina dipakai untuk mengobati angina pektoris (nyeri jantung
yang mendadak akibat tidak cukupnya aliran darah karena adanya sumbatan pada
arteri koroner yang menuju jantung. Angina pektoris adalah kondisi yang paling
sering melibatkan iskemia jaringan di mana obat – obat vasodilator digunakan
(Lestari, 2016).
b. Klasifikasi
1) Golongan nitrat
Senyawa nitrat bekerja langsung merelaksasi otos polos pembuluh vena,
tanpa bergantung pada sistem persarafan miokardium. Dilatasi vena
menyebabkan alir balik vena berkurang sehingga mengurangi beban hulu
jantung. Selain itu, senyawa nitrat juga merupakan vasodilator koroner yang
poten.
a) Gliseril trinitrat
b) Isosorbid dinitrat
c) Isosorbid mononitrat
d) Pentaeritritol tetranitrat

7
Nitroglicerin tidak ditelan karena akan mengalami metabolisme tingkat
pertama di hati, oleh karenanya obat diberikan sublingual dan dengan cepat
diabsorbsi ke dalam sirkulasi melalui pembuluh darah sublingual.
2) Golongan Calsium Blocker
Antagonis kalsium bekerja dengan cara menghambat influks ion kalsium
transmembran, yaitu mengurangi masuknya ion kalsium melalui kanal
kalsium lambat ke dalam sel otot polos, otot jantung dan saraf.
Berkurangnya kadar kalsium bebas di dalam selsel tersebut menyebabkan
berkurangnya kontraksi otot polos pembuluh darah (vasodilatasi), kontraksi
otot jantung (inotropik negatif), serta pembentukan dan konduksi impuls
dalam jantung (kronotropik dan dromotropik negatif).
a) Amplidipin besilat
b) Diltiazem hidroklorida
c) Nikardipin hidroklorida
d) Nifedipin
e) Nimodipin
3) Golongan beta blocker
Obat-obat penghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) menghambat
adrenoseptorbeta di jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas,
dan hati. Beta bloker menurunkan efek sistem syaraf simpatetik sehingga
dapat menurunkan heart rate dan tekanan darah. Saat ini banyak tersedia
beta-bloker yang pada umumnya menunjukkan efektifitas yang sama.
Namun, terdapat perbedaan-perbedaan diantara berbagai beta bloker, yang
akan mempengaruhi pilihan dalam mengobati penyakit atau pasien tertentu.
Beta-bloker dapat mencetuskan asma dan efek ini berbahaya. Karena itu,
harus dihindarkan pada pasien dengan riwayat asma atau penyakit paru
obstruktif menahun.
a) Propranolol hidroklorida
b) Atenolol
c) Metoprolol tartra

8
Obat Dosis Indikasi
Nitrogliserin
Isosorbid dinitrat 1. D:PO: 5-40 mg 4 kali Untuk mencegah
sehari SL : 2,5-10 mg serangan angina, tersedia
4 kali sehari dalam bentuk tablet,
2. Tablet Kunyah 5-10 tablet SL, tablet kunyah.
mg , bila perlu Toleransi dapat terjadi
pada pemakaian lama.
pada penggunaan awal
pasien dapat mengalami
nyeri kepala,dizziness,
faintness.
Antagonis calsium
Nifedipin D:PO: 10-30 mg, setiap Untuk angina, tekanan
6-8 jam, tidak melebihi darah harus dipantau
180 mg sehari secara ketat, terutama
jika klien menggunakan
nitrat atau penghambat
beta
Beta Blocker
Propranolol D:PO:M:10-20 mg 3 atau merupakan penghambat
3 kali sehari. Dosis beta pertama, tidak lagi
Rumatan 20-60 mg 3 menjadi obat pilihan
atau 4 kali sehari karena resiko
bronkhospasme
Atenolol D:PO: 50-100 mg/hari, Menghambat beta 1 yang
tidak melebihi 200 kardioselektif, dapat
mg/hari dipakai untuk penderita
asma

9
3. Antidisritmia
a. Pengertian
Distritmia (aritmia) jantung didefinisikan sebagai setiap penyimpangan
frekuensi atau pola denyut jantung yang normal; termasuk denyut jantung terlalu
lambat (bradikardia), terlalu cepat (takikardia), atau tidak teratur. Istilah disritmia
(irama jantung yang terganggu) dan aritmia (tidak ada irama) seringkali dipakai
berganti – ganti, walaupun artinya sedikit berbeda (Lestari, 2016).
Kerja yang diharapkan dari obat antidisritmia adalah pemulihan irama jantung,
yang bisa dicapai dengan berbagai cara. Berikut ini mekanisme kerja golongan
antidisritmia (Lestari, 2016).
1) Menghambat perangsangan adrenergik dari jantung.
2) Menekan eksitabilitas dan kontraktilitas dari miokardium.
3) Menurunkan kecepatan hantaran pada jaringan jantung.
4) Meningkatkan masa pemulihan (repolarisasi) dari miokardium.
5) Menekan otomatisitas (depolarisasi spontan untuk memulai denyutan
b. Klasifikasi Antidisritmia
Nama Obat Dosis Indikasi
IA : Penghambat Na cepat I
Quinidin Sulfat (Cin- Dewasa, Oral: 200 – 1. Untuk disritmia artium,
Quin) 400 mg, 3 atau 4 kali ventikel &
sehari. Anak, Oral : 30 supraventrikel
mg/kg atau 900 mg/m2 2. Kadar terapeutik serum :
dalam dosis terbagi 5 2 – 6 µg/mL
3. Interaksi obat :
meningkatkan kerja
digoksin
Prokainamid Dewasa, Oral: 250 – 1. Untuk disritmia atrium
(Pronestyl, Procan) 500 mg, setiap 4 – 6 dan ventrikel
jam. Rumatan : 250 mg

10
– 1 g, setiap 6 jam atau 2. Mempunyai efek
50 mg/kg dalam dosis hipotensi yang lebih
terbagi 4 ringan daripada quinidin
3. Pengikatan pada protein
sebanyak 20%. Kadar
terapeutik serum : 4 – 8
µg/mL
Disopiramid (Norpace) D Dewasa, Oral: 100 – 1. Untuk disritmia ventrikel
200 mg, setiap 6 jam 2. dapat menyebabkan
Anak (4-2 th) : Oral : gejala-gejala
10 -15 mg/kg dalam antikolinergik; t½ : 8 jam
dosis ter 3. Kadar terapeutik serum :
3 – 8 µg/mL
IB : Penghambat Na Cepat II
Lidokain (Xylocaine) Dewasa : IV : dosis 1. Untuk disritmia ventrikel
bervariasi pada keadaan gawat
2. Batas terapeutik serum ;
1,5 – 6 µg/mL
Fenitoin (Dilantin) Dewasa : IV : 100 mg, 1. Untuk disritmia ventrikel
setiap 5 – 10 menit akibat digitalis
sampai disritmia 2. Tidak disetujui oleh FDA
berhenti; dosis sebagai obat disritmia
maksimum adalah 3. Kadar serum <20
1000 mg mikrogram//mL
Tokainid (Tonocard) Dewasa, Oral : 400 mg, 1. Untuk disritmia
setiap 8 jam ventrikel, terutama
(KVP) kontraksi
ventrikel prematur

11
2. Serupa dengan lidokain
kecuali dalam bentuk
oral c. Pengikatan pada
protein sebanyak 15%;
t½ : 11 – 15 jam
Kadar serum terapeutik : 4 –
10 µg/mL
Meksiletin (Mexitil) Dewasa, Oral : 200 – 1. Untuk disritmia
400 mg, setiap 8 jam ventrikel, tetapi dapat
menimbulkan disritmia
ventrikel baru
2. Kategori kehamilan B
Enkadin Dewasa, Oral : 2 mg, 1. Untuk disritmia
setiap 8 jam; dapat ventrikular, tapi dapat
ditingkatkan sampai menyebabkan disritmia
50-75 mg setiap 8 jam ventrikular baru
2. Kategori kehamilan B
3. Disetujui FDA untuk
situasi yang mengancam
jiwa
II. Penghambat Beta
Propranolol (Inderal) Dewasa, Oral : 10 – 30 Untuk disritmia ventrikel,
mg, 3 atau 4 kali sehari takikardia artial paroksismal,
(setiap 6 – 8 jam) Bulos dan denyut ektopik atrium
IV : 0,5 – 3 mg pada 1 dan ventrikel
mg/menit
Asebutolol (Sectral) D Dewasa, Oral: 200 1. Terutama untuk
mg, b.i.d., dosis dapat kontraksi ventrikel
prematur

12
dinaikkan secara 2. Penghambat β yang baru
bertahap mempengaruhi reseptor
β1 pada jantung
3. Kategori kehamilan B
4. Dapat
menyebabkanbradikardia
dan menurunkan curah
jantung
III. Obat memperpanjang repolarisasi
Bretilium (Bretylol) Dewasa : IM : 5 – 10 Untuk takikardi dan fibrilasi
mg/kg, setiap 6 – 8 jam ventrikel (untuk mengubah
IV : 5 – 10 mg/kg, menjadi ritme sinus yang
ulangi dalam 15 menit, normal)
tetes IV atau bolus IV
Dipakai jika lidokain dan
prokainamid tidak efektif
Amiodaron Cordarone) Dewasa, Oral: Awal : 1. Untuk disritmia ventrikel
400 – 1600 mg/hari yang mengancam nyawa
dalam dosis terbagi 2. Mula – mula dosis lebih
Rumatan : 200 – 600 besar dan kemudian
mg/hari diturunkan
3. Kadar serum : 1 – 2,5
µg/mL
IV : Penghambat Rantai (Kalsium) Lambat
Verapamil (Calan) Dewasa, Oral: 240 – 1. Untuk disritmia
480 mg/hari dalam supraventrikel
dosis terbagi 3 – 4 IV : 2. Kadar terapeutik serum :
5 – 10 mg IV yang 80 – 300 ng/mL atau 0,08
didorong – 0,3 µg/mL

13
Golongan Farmakologi Sistem Respirasi
Chronic Respiratory Affection (CARA), mencakup semua penyakit saluran
pernapasan yang mempunyai ciri penyumbatan (obstruksi) bronchi karena
pengembangan mukosa/sekresi sputum (dahak) berlebihan, serta kontraksi otot
polos saluran napas (bronchi) berlebihan. Penyakit yang tergolong CARA antara
lain: asma, bronchitis kronis, dan emfisema paru.
Pengobatan asma dan bronchitis dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu terapi
serangan akut, status asmathicus, dan terapi pencegahan.
a. Terapi Serangan Akut
Pada keadaan ini pemberian obat bronchospasmolitik untuk melepaskan kejang
bronchi. Obat yang digunakan adalah Salbutamol/Terbutalin, sebaiknya secara
inhalasi (efek 3-5 menit). Kemudian dibantu dengan Aminophilin dalam bentuk
suppositoria. Obat lain yang dapat digunakan adalah Efedrin dan Isoprenalin,
dapat diberikan sebagai tablet, namun efeknya baru kelihatan setelah 1 jam.
Inhalasi dapat diulang setelah 15 menit sebelum memberikan efek. Bila belum
memberikan efek juga, maka perlu diberi suntikan IV Aminophilin/Salbutamol,
Hidrokortison/Prednison. Sebagai tindakan pengobatan akhir dengan Adrenalin
IV dengan diulang 2 kali dalam 1 jam.
b. Status Asmathicus
Pada keadaan ini efek bronchodilator hanya ringan dan lambat. Hal ini
disebabkan oleh blockade reseptor beta karena adanya infeksi dalam saluran
napas. Pengobatan dengan suntikan IV Aminophilin/ Salbutamol dan
Hidrokortison dosis tinggi (200 – 400 mg per jam sampai maksimum 4 gram
sehari).
c. Terapi Pencegahan
Dilakukan dengan pemberian bronchodilator, misalnya: Salbutamol, Ipatropium
atau Teofilin. Bila karena alergi perlu ditambahkan Ketotifen.
Obat respirasi dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu :
a. Obat Antitusif, Ekspektoran, dan Mukolitik
1. Obat Antitusif

14
Obat Antitusif merupakan obat penekan batuk yang secara spesifik
menghambat atau menekan batuk. Kebanyakan obat antitusif menekan
sistem syaraf pusat sehingga dapat mempengaruhi pusat batuk yang berada
di medula oblongata. Obat batuk digolongkan menjadi dua golongan
berdasarkan tempat kerjanya yaitu, sentral dan perifer.
− Obat antitusif sentral. Obat antitusif sentral bekerja dengan cara menekan
refleks batuk dengan meningkatkan ambang rangsang pusat refleks batuk
di medula oblongata sehingga kepekaan pusat refleks batuk terhadap
rangsangan batuk berkurang. Antitusif sentral dibagi menjadi dua yaitu
antitusif narkotik dan antotusif non narkotik. Antitusif narkotik adalah
obat penekan batu yang berpotensi mengakibatkan kecanduan. Obat
antitusif narkotik antara lain kodein, morfin, dan lain-lain. Sedangkan
obat antitusif non narkotik merupakan obat penekan batuk yang tidak
memiliki potensi menyebabkan adiksi. Contoh dari obat antitusif non
narkotik antara lain adalah dekstrometorfan, noskapin, dan lain-lain.
− Obat antitusif perifer. Obat antitusif perifer bekerja langsung pada
reseptor di saluran napas bagian atas melalui efek anestesi lokal atau
secara tidak langsung mengurangi iritasi lokal melalui pengaruhnya pada
mukosa saluran napas bagian atas. Adapun mekanisme lain dari obat
antitusif perifer adalah dengan mengatur kelembaban udara dalam saluran
napas dan relaksasi otot polos bronkus pada saat spasme bronkus. Obat
antitusif perifer antara lain adalah lidokain, lignokain, tetrakain, dan lain-
lain.
2. Obat Ekspektoran
Obat ekspektoran adalah obat-obat yang memperbanyak batuk yang
produktif dan volume sekret bronkial. Batuk produktif atau batuk yang
bermanfaat adalah batuk yang dapat merangsang keluarnya sekret/dahak.
Mekanisme keja dari obat ekspetoran adalah dengan reflek merangsang
kelenjar sekretori saluran napas bawah sebagai hasil efek iritasi mukosa

15
lambung. Obat ekspektoran pada umumnya menurunkan viskositas
(kekentalan) sputum/dahak atau mempermudah ekspektorasi.
3. Obat mukolitik
Obat mukolitik adalah obat yang dapat membantu menurunkan viskositas
atau kekentalan dari sputum khususnya untuk saluran napas bagian bawah
sehingga sputum atau dahak menjadi lebih encer dan lebih mudah
dikeluarkan agar tidak menumpuk di saluran pernapasan. Mekanisme kerja
obat ini adalah dengan memutuskan ikatan disulfida yang terdapat dalam
sputum. Ikatan disulfida ini lah yang menyebabkan sputum kental dan liat.
Contoh obat mukolitik antara lain: bromheksin, asetilsistein, dan lain-lain.
b. Bronkodilator dan Obat-obat Asma
Adanya infeksi pada saluran pernapasan menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi yang disetai dengan hipertrofi otot polos saluran napas dan
kelenjar sekretori, pengelupasan epitelium, dan terlihat pula adanya penebalan
lamina propria.
1. Bronkodilator
Bronkodilator bekerja mencegah kontraksi otot polos bronkial, meningkatkan
relaksasi otot polos bronkial, dan menghambat pembebasan mediator reaksi
alergi. Sehingga bronkus dan saluran napas melebar kembali seperti ukuran
normal dan aliran udara kembali lancar. Beberapa contoh obat bronkodilator
antara lain adalah: teofilin, teobromin, dan lain-lain.
2. Antiinflamasi
Obat antiinflamasi berkeja sebagai stabilisator yang secara spesifik mencegah
degranulasi sel matosit paru dan kemudian mencegah mediator
inflamasi/peradangan yang selanjutnya menurunkan aktivitas eisonofil,
neutrofil, dan makrofag.
3. Kortikosteroida (Hidrokortison, Prednison, Deksametason, Betametason)
Kortikosteroid efektif untuk asma, terutama bermanfaat pada serangan asma
akibat infeksi virus/bakteri untuk melawan reaksi peradangan atau reaksi
alergi lambat. Kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi pada mukosa

16
bronkus (mengurangi edemadan sekresi mucus pada saluran pernapasan).
Daya bronchodilatasinya mempertinggi kepekaan β-2, sehingga dapat
melawan efek mediator seperti peradangan dan gatal-gatal. Untuk mengurangi
hiperreaktivitas bronchi, zat-zat ini dapat diberikan per-inhalasi atau per-oral.
Dalam keadaan gawat dan status asmathicus (kejang bronchi), obat ini
diberikan secara i.v. lalu disusul dengan pemberian oral. Penggunaan oral
untuk jangka lama dapat menekan fungsi ginjal.
4. Ekspektoransia dan Mukolitika (Asetilsistein, Bromheksin, Kaliumiodida,
Amoniumklorida)
Obat ini mengurangi kekentalan dahak, Mukolitik dengan merombak mukosa
proteinnya dan ekspektoransia dengan mengencerkan dahak, sehingga dahak
mudah dikeluarkan. Obat ini meringankan sesak napas dan pada serangan
asma hebat berguna terutama bila lendir sangat kental dan sukar dikeluarkan.
Mekanisme kerja obat ini adalah merangsang mukosa lambung dan sekresi
saluran pernapasan, sehingga menurunkan viskositas lendir. Ekspektoran
adalah senyawa yang mempermudah atau mempercepat pembuangan sekret
bronchus dari bronchus dan trachea.
5. Antihistamin (Ketotifen, Oksatomida, Tiazianium dan Deptropin)
Obat ini memblokir reseptor-histamin, sehingga mencegah efek
bronchokontriksi. Banyak antihistamin yang memiliki daya antikolinergis dan
sedative (obat penenang/pereda nyeri), sehingga banyak digunakan pada
terapi pemeliharaan. Semua antihistamin memberikan manfaat potensial pada
terapi alergi nasal, rhinitis alergik, dan rhitinis vasomotor. Antihistamin
mengurangi mrinore dan bersin tetapi kurang efektif untuk kongesti hidung.
Antihistamin oral juga dapat mencegah urtikaria dan digunakan untuk
mengatasi ruam kulit pada urtikaria, gatal gigitan serangga serta alergi obat.
Injeksi klorferinamin dan prometazin diberikan bersama adrenalin pada terapi
darurat anafilaksis dan angiodema. Antihistamin berbeda-beda dalam lama
kerja serta dalam derajat efek sedative dan antimuskarinik. Efek samping
antihistamin antara lain mengantuk, palpitasi, dan aritmia, hipotensi, reaksi

17
hipersensivitas, ruam kulit, reaksi fotosensivitas, efek ekstra pyramidal,
bingung, depresi, gangguan tidur, tremor, konvulsi, keringat dingin, mialgia,
kelainan darah, disfungsi hepar, dan rambut rontok. Macam-macam
antihistamin: Antihistamin non-sedatif, Akrivastin, Aztemizol, Setrizin
hidroklorida, Loratadin, Terfenadin, Antihistamin sedative, Azatadin maleat,
Klorfenilamin maleat.
2.2.2. Sistem Saraf Pusat
System saraf pusat (SSP), yang merupakan pusat control untuk seluruh
sistem dan pusat integrasi saraf tubuh. Ini terdiri dari otak dan sumsum tulang
belakang. Menerima informasi yang masuk (impuls saraf), analisis dan
mengorganisasikannya, dan memulai tindakan yang tepat. Semua sensasi tubuh
dan perubahan lingkungan eksternal kita harus disampaikan dari reseptor dan
organ perasa ke SSP untuk ditafsirkan (apa yang mereka maksud). Dan kemudian,
jika perlu, bertindak atas (seperti menjauh dari sumber rasa sakit atau bahaya ).
Jaringan saraf terdiri dari kelompok sel saraf atau neuron yang mengirimkan
informasi disebut impuls saraf dalam bentuk perubahan elektrokimia, dan
merupakan sel konduksi. Neuron adalah sel saraf yang sesungguhnya. Jaringan
saraf juga terdiri dari sel-sel yang melakukan dukungan dan perlindungan. Sel-sel
ini disebut neuroglia atau sel glial. Lebih dari 60% dari semua sel otak adalah sel
neuroglia. Neuroglia ini bukan sel konduksi. Mereka adalah jenis khusus dari
"jaringan ikat" untuk sistem saraf. (Lita, 2017)
Otak besar (serebrum) merupakan pusat saraf utama yang berfungsi untuk
pengaturan semua aktivitas tubuh, berkaitan dengan kepandaian (inteligensi),
ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan. Jaringan saraf terdiri dari sel saraf
(neuron) dan sel glia yang masing-masing memiliki fungsi untuk menyampaikan
sinyal dari satu sel ke sel lainnya dan untuk melindungi, mendukung, merawat,
serta mempertahankan homeostasis cairan di sekeliling neuron. Jaringan otak pada
sistem saraf pusat (SSP) sangat peka terhadap berbagai cedera di antaranya akibat
stres oksidatif dan trauma mekanik. Cedera SSP dan penyakit neurogeneratif dapat
mengakibatkan

18
berbagai tingkat kematian neuron dan kelemahan memori, serta degenerasi akson
dan dendrit yang dapat menghambat penyaluran impuls. Dalam beberapa dekade
terakhir, beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dalam beberapa bagian
jaringan otak dewasa dari berbagai spesies termasuk manusia masih terdapat
populasi neural stem cells (NSCs) ataupun neural progenitor cells (NPCs). Secara
in vivo dan in vitro telah dibuktikan bahwa NSCs dan NPCs memiliki kapasitas
untuk menjalani proses neurogenesis bahkan memperbaiki kondisi jaringan yang
rusak. (Lita, 2017)
Manifestasi dari stres berupa keluhan fisik atau gangguan fisik, kecemasan
tak rasional dan perilaku menghindar, gangguan efek (depresi, iritabilitas),
perubahan kesadaran, dan perilaku motoric Untuk mengatasi hal tersebut,
diperlukan zat-zat yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP), terutama sebagai
penekan sistem saraf pusat. Berdasarkan efek farmakologinya, penekan sistem
saraf pusat dibagi menjadi lima golongan, yaitu anestesi sistemik, sedatif-hipnotik,
relaksan pusat, antipsikotik, dan antikejang. (Kesuma, 2016)
2.2.3. Sistem Endokrin
A. Kelenjar Pituitary
Kelenjar Pituitary (hipofisis) memiliki lobus anterior dan posterior. Bagian
anterior atau adenohipofisis mensekresi berbagai hormone yang ditargetkan
terhadap kelenjar dan jaringan, yaitu Growth Hormon yang merangsang
pertumbuhan jaringan, Thiroid Stimulating Hormone (TSH) yang bekerja terhadap
kelenjar thyroid, Hormone Adrenokortikotropik (ACTH) merangsang kelenjar
adrenal dan gonadotropin (Follicle Stimulating Hormone /FSH dan Luteinizing
Hormone (LH), Obat-obat yang memiliki sifat adrenohipofisi dipakai untuk
merangsang atau menghambat aktivitas kelenjar
Obat Dosis Pertimbangan dan
pemakaian
Anterior Growth Hormone (GH)

19
Somatropin SC : 0,5-0,7 Digunakan pada
Genotropin (Pfizer) iu/kg/BB/minggu gangguan pertumbuhan
terbagi dlm injeksi karena insufisiensi
sekresi GH
endogen,sindrom
turner,insufisiensi ginjal
kronik,berat badan lahir
rendah
Somatropin Saizen SC /IM : 0,7- 1 mg/ m² Digunakan pada
(Merck) luas permukaan tubuh kegagalan pertumbuhan
atau 0,025-0,035 pada anak yg
mg/kg/BB. disebabkan karena
penurunan atau tidak
adanya sekresi hormon
pertumbuhan Kontra
indikasi : Tumor
Thiroid Stimulating Hormone (TSH)
Thyrotropin IM, SK : 10 U, 4 kali Untuk mendiagnosa
sehari, 1-3 hari penyebab Hipotiroid,
injeksi terakhir
dilanjutkan dengan
pemeriksaan
radioiodine
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH)
Kortikotropin IM, SC : 20 Unit, 4 kali Untuk defisiensi ACTH,
sehari IV : 10-25 U Untuk sklerosis multiple
dalam 500 mL D5%/8 , dosis 80-120 U/hari.
jam

20
Kortikotropin SC, IM : 40 u setiap 12- Untuk defisiensi ACTH,
Repositori 24 jam Untuk mengobati
insufisiensi adrenal
akibat pemakaian
kortison jangka panjang
Pituitary Posterior
Anti Diuretik Hormon
Vasopresin Dewasa: SC. IM : 5-10 Untuk diabetes
U 2-3 kali sehari. Anak Insipidus. Untuk
dosis lebih rendah meredakan distensi
usus. Mengurangi
perdarahan GI akibat
varises Esofagus.
Monitor output urine
Lipresin Intra Nasal : 1-2 Untuk diabetes
semprotan perlubang Insipidus. Monitor
hidung output urine
Desmoprasin IV :0,3 µg dalam 50 ml Untuk diabetes
normal salin selama 20- Insipidus. Monitor
30 menit output urine
B. Obat Hormon Tiroid dan Antitiroid
Beberapa penyakit manusia ada yang disebabkan oleh kelenjar tiroid. Misalnya
kelebihan hormon tiroid (hipertiroid) dapat menimbulkan gejala hipermetabolisme
(morbus basedowi), dengan tanda-tanda meningkatnya detak jantung sehingga
muncul gugup, napas cepat dan tidak teratur, mulut menganga, dan mata melebar.
Sementara itu, apabila seseorang sebelum dewasa kekurangan hormon tiroid
(hipotiroid), tubuhnya dapat mengalami kretinisme (kerdil). Kretenisme ditandai
dengan fisik dan mental penderita yang tumbuh tidak normal. Beberapa penyakit
tiroid akan mendapatkan terapi pengganti T3 dan T4. Pada pesien dengan terapi
pengganti hormone thiroid, perawat perlu menganjurkan untuk menghindari

21
makanan yang menghambat sekresi sekresi thyroid, yaitu stroberi, pir, kubis,
bayam, kembang kol dan kacang polong.
Obat Dosis Pertimbangan dan
pemakaian
Hipotiroid
L-thyroxine Na Dewasa : awal 0,05-1 Digunakan pada
mg/hari. Dosis harian hipotiroidisme dengan
ditingkatkan tiap 2 sebab apapun. Supresi
minggu 0,025-0,05 mg kadar TSH pada
s/d hasil yang penyakit gondok. Kontra
diinginkan tercapai. indikasi : Hipersensitif
terhadap tiroksin,
tiritoksikosis Efek
Samping
:Takikardi,cemas,
tremor,sakit kepala,
kemerahan
Levothyroxine Awal 25-50mcg, Digunakan pada
ditingkatkan 25- 50 hipotiroid. Efek : Tremor
mcg pada interval 2-4 pada jari
minggu. tangan,palpitasi, aritmia,
berkeringat secara
berlebihan, diare,
penurunan BB,
gangguan tidur, gelisah
Antitiroid / Hipertiroidisme
Carbimazole Neo Dewasa : awal 20-80 Digunakan pada
mg/hr. Kasus ringan 5- Hipertiroidisme. Kontra
10mg/hr, kasus sedang indikasi pada Laktasi.

22
30mg/hr, kasus berat Efek samping yang dapat
40- 60mg/hr. terjadi : mual dan
Diberikan dalam muntah
beberapa dosis terbagi.
Pemeliharaan 5-15
mg/hr.
Thiamazole Thyrozol Dewasa terapi Terapi konservatif
(Merck) konservatif hipertiroid hipertiroid Untuk
: untuk menghambat menghambat produksi
produksi hormon tiroid hormon tiroid secara
secara komplit 25-40 komplit, persiapan
mg/hr . dosis harian operasi untuk segala
maks: 40mg jenis hipertiroid. Kontra
indikasi pada penderita
Granulositopenia.
Metimazol Oral, Dosis Mula : 15- Untuk hipertiroid, dapat
60 mg dalam dosis menghambat sintesa
terbagi. Rumatan : 5 hormone tiroid
mg 3-4 kali sehari
Iodin Larutan Iodin Oral :2-6 tetes, 3 kali Untuk diabetes
kuat sehari Insipidus. Untuk
mengurangi ukuran dan
vaskularisasi kelenjar
tiroid
C. Hormon Paratiroid
Kelenjar Paratiroid mensekresi hormone paratiroid (HPT) yang berfungsi
mengatur kadar kalsium dalam darah. Penurunan kalsium dalam serum
merangsang pelepasan PTH. PTH mengobati hipoparatiroid dan kalsitonin
mengobati hiperparatiroid. Hipokalsemia dapat disebabkan oleh defisiensi PTH,
defisiensi vit D, gangguan ginjal atau terapi diuretik. Pengganti PTH dapat

23
membantu untuk memperbaiki kekurangan kalsium. Hiperparatiroidisme juga
dapat disebabkan keganasan kelenjar paratiroid atau sekeresi hormone PTH
ektopik dari kanker paru-paru, hipertiroidisme atau tidak bergerak dalam jangka
waktu lama, dimana kalsium hilang dari tulang.

Obat Dosis Pertimbangan dan


pemakaian
Hipoparatiroidisme dan Hipokalsemia Analog Vitamin D
Kalsifediol Oral : 50-100 µg/hari Untuk penyakit tulang
akibat GGK dan Dialisa
Ginjal. Pantau kadar
kalsium serum Pantau
tanda hiperkalsemia.
Ergokalsiferol Oral 0,25 µg/hari Untuk Hipoparatiroid
dan rikets. Pantau kadar
kalsium serum.
Hiperparatiroidisme dan Hiperkalsemia
Kalsitonin manusia SC, dosis mula 0,5 mg Untuk penyakit paget
/ hari, Rumatan : 0,25
mg/ setiap 2- 3
minggu
Kalsitonin Salmon SC/IM , dosis mula Untuk penyakit paget,
100 IU / hari, hiperparatiroidisme,
Rumatan : 50-100 IU/ hiperkalsemia.
setiap hari atau setiap
2 hari.
D. Adrenal
Kelenjar adrenal terdiri dari medulla dan korteks. Korteks adrenal
memproduksi dua jenis hormone atau kortikosteroid. Kortikosteroid adalah suatu
kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar adrenal. Hormon ini

24
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
E. Glukokortikoid
Glukokortikoid mempengaruhi metabolism karbohidrat, protein dan lemak
serta aktivitas sel darah dan otot. Kortisol, glukokortikoid utama, memiliki efek
antiinflamasi, antialegi dan anti stress. Glukokortikoid dipakai untuk mengobati
banyak penyakit dan masalah kesehatan. Efek samping glukokortikoid antara lain
diabetes dan osteoporosis, yang berbahaya, terutama pada lanjut usia, dapat terjadi
fraktur osteoporotik pada tulang pinggul dan tulang belakang. Selain itu,
pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis avaskular pada kepala
femur.

Obat Dosis Pertimbangan dan


pemakaian
Prednisone Dewasa : oral : 5-60 Antiinflamasi atau
mg/hari dalam dosis imunosupresif.
terbagi. Anak : Oral : Glukokortikoid oral,
0,1-0,15 merupakan obat
mg/kgBB/hari dalam pilihan. Perhatian
dosis terbagi 2-4 khusus pada kondisi :
Tukak lambung,
hipertensi aktif,,
gangguan neurologic,
gangguan hati &
ginjal, DM.
Dexamethasone Dewasa : oral : 0, 25- antiinflamasi yang
4 mg, 2-4 kali sehari . kuat. Untuk gangguan
IV : 1-6 mg/kg BB alergi akut, serangan

25
Aerosol : 3 puff, 2-4 asma, udema serebral,
kali sehari shock dan chusing
syndrome. Efek
samping : Retensi
cairan & elektrolit,
meningkatkan
kemungkinan infeksi
Metilprednisolon Dewasa : Oral : 4-48 Antiinflamasi atau
mg/ hari dalam dosis imunosupresif
terbagi 4, IM/IV : 10-
250 mg setiap 4- 6 jam
Triamsinolon Dewasa : sehari 4-48 Antiinflamasi atau
mg sehari dalam dosis imunosupresif.
terbagi 2-4 . Inhalasi: Preparat dapat
2 puff disuntikkan pada sendi
dan jaringan lunak.
1. Mineralokortikoid
Merupakan tipe kedua kortikosteroid, mensekresi aldosteron. Hormon ini
mempertahankan keseimbangan cairan dengan meningkatkan penyerapan
natrium dari tubulus ginjal. Fludokortison merupakan suatu minerallokortikoid
oral yang dapat diberikan bersamaan dengan glukokortikoid. Obat ini dapat
menyebabkan suatu keseimbangan negative nitrogen, sehingga biasanya
diperlukan diet tinggi protein. Karena pemakaian minerallo dan glukokortikoid
terjadi ekskresi kalium, maka kadar kalium harus dipantau.
F. Hormon Insulin
1. Insulin
a) Insulin kerja singkat/ insulin regular (kristalin), merupakan larutan
bening tanpa tambahan bahan untuk memperpanjang kerja insulin.
Onset kerjanya adalah 0,5 -1 jam, puncak kerja timbul dalam 2 sampai
4 jam, dan lama kerja 6-8 jam.

26
b) Insulin kerja sedang, awitan insulin kerja sedang adalah 1-2 jam, puncak
6-12 jam, dan lama kerja 18-24 jam.
c) Insulin kerja panjang, bekerja dalam 4-8 jam, puncak 14-20 jam, dan
berakhir sampai 24-36 jam.

Insulin Deskripsi Mula Puncak Lama


Kerja Kerja Kerja
Insulin Kerja Singkat
Regular Jernih, SC 0.5-1 jam 2-4 jam 6-8 jam
(Cristalin) atau IV
Humulin R Sama seperti
insulin
Reguler
Semilante Keruh, Zinc 30-45 4-6 jam 12-16 jam
dalam menit
jumlah
sedikit, SC.
Insulin Kerja Sedang
Lente Keruh, Zinc, 1-2 jam 8-12 jam 18-28 jam
SC, 30%
semilente,
70%
ultralente
Humulin L Sama dengan
Lente
NPH Keruh, SC, 1-2 jam 6-12 jam 18-24 jam
Protamin
Humulin N Sama dengan
NPH

27
Insulin Kerja Panjang
PZI Keruh, SC, 4-8 jam 14-20 jam 24-36 jam
Protamin,
Zinc
Ultralente Keruh, SC, 5-8 jam 14-20 jam 30-36 jam
Insulin Zinc
tang diberi
tambahan
2. Obat Anti Diabetik Oral
a) Sulfonilurea
Kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi insulin
sehingga efektif hanya jika masih ada aktivitas sel beta pankreas.
Sulfonilurea digunakan untuk pasien yang tidak kelebihan berat badan,
atau yang tidak dapat menggunakan metformin. Sulfonilurea dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati, yang mungkin menyebabkan
jaundice kolestatik, hepatitis dan kegagalan fungsi hati meski jarang.
Obat Dosis Lama kerja Petimbangan
penggunaan
Sulfonilurea generasi pertama
Kerja Singkat
Tolbutamid 0,5 - 1,5 mg / 6-12 jam Digunakan pada
hari dalam diabetes melitus
dosis terbagi tipe 2.
2- 3(maksimal Diabsorbsi cepat
2 g) melalui saluran
GI
Kerja Sedang

28
Asetoheksamid Oral : 0,25-1,5 10-24 jam Diabsorbsi cepat
mg/ hari melalui saluran
dalam dosis GI
tunggal atau
terbagi 2
Tolazamid Oral 100-250 12-24 jam Diabsorbsi
mg/ hari tidak lambat melalui
melebihi 1 gr saluran GI
Kerja Panjang
Klorpropamid Oral , dosis sampai 60 Diabsorbsi baik
awal 100- 250 jam melalui saluran
mg/hr; GI. Efek ADH
Rumatan : kuat sehingga
100-500 mg mengakibatkan
/hari dalam retensi air dan
dosis tunggal elektrolit
atau terbagi 2.
Dosis
Maksimal 750
mg/hari
Sulfonilurea generasi Kedua
Glibenklamida dosis awal 2,5 10-24 jam Diabsorbsi baik
– 5 mg tiap melalui saluran
hari, bila perlu GI. Mampu
dinaikkan menstimuli
setiap insulin setiap
minggu, pemasukan
sampai glukosa (makan).
maksimal Resiko

29
setiap 2 hari hipoglikemi
10 mg. lebih besar.
Glipizid dosis awal 2,5 12-24 jam Diabsorbsi baik
– 5 mg, 4 kali melalui saluran
sehari atau 2 GI
kali sehari
Rumatan : 5-
25 mg / hari;,
maksimal 40
mg/hari
b) Biguanida
Metformin Hidrochlorida, satu-satunya golongan biguanid yang
tersedia, mempunyai mekanisme kerja yang berbeda dengan
sulfonilurea, keduanya tidak dapat dipertukarkan. Efek utamanya
adalah menurunkan glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan. Karena kerjanya hanya bila ada insulin endogen,
maka hanya efektif bila masih ada fungsi sebagian sel islet pankreas.
Efek Samping dapat berupa anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya
sementara), nyeri perut, rasa logam, asidosis laktat (jarang, bila terjadi
hentikan terapi), penurunan penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus,
urtikaria dan hepatitis. Dosis ditentukan secara individu berdasarkan
manfaat dan tolerabilitas. Dewasa & anak > 10 tahun: dosis awal 500
mg setelah sarapan untuk sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500
mg setelah sarapan dan makan malam untuk sekurang-kurangnya 1
minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan, setelah makan siang dan
setelah makan malam. Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi.
c) Acarbose
Acarbose merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase
yang terletak pada dinding usus. Enszim alfa glukosidase adalah
maltaseeeee. isomaltase, glukomaltase dan sukrose, berfungsi untuk

30
hidrolisis oligosakarida, trisakarida dan disakarida pada dinding usus
halus. Obat golongan ini bekerja di usus, menghambat enzim di saluran
cerna, sehingga pemecahan karbohidrat menjadi glukosa atau
pencernaan karbohidrat di usus menjadi berkurang. Dengan demikian
kadar glukosa darah setelah makan tidak meningkat tajam. Sisa
karbohidrat yang tidak tercerna akan dimanfaatkan oleh bakteri di usus
besar, dan ini menyebabkan perut menjadi kembung, sering buang
angin, diare, dan sakit perut.Pemakaian obat ini bisa dikombinasi
dengan obat golongan sulfonilurea atau insulin, tetapi bila terjadi efek
hipoglikemia hanya dapat diatasi dengan gula murni yaitu glukosa atau
dextrose. Gula pasir tidak bermanfaat.
3. Obat Hiperglikemia
Glukagon adalah senyawa hormone hiperglikemia yang diseskresikan
oleh sel alfa pulau Langerhans di pancreas. Glukagon meningkatkan kadar
gula darah dengan merangsang glikogenolisis (pemecahan glikogen ) di
hepar. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan (SC, IM dan IV). Obat ini
digunakan untuk mmengobati hipoglikemia. Penderita DM yang cenderung
mengalami hipoglikemia harus menyimpan glucagon di rumah. Glukosa
darah akan meningkat 5-20 menit paska pemberian.
2.2.4. Golongan Antobiotik dan Antivigan
Ada beberapa besar golongan-golongan antibiotik, yaitu :
a) Golongan penisilin
Penisilin diklasifikasikan sebagai golongan β-laktam karena cincin
lactam meraka yang unik. Mereka memiliki ciri-ciri kimiawi,
mekanisme kerja,farmakologi, efek klinis, dan karakteristik imunologi
yang mirip dengansefalosporin, monobactam, carbapenem, dan β-
laktamase inhibitor, yang juga merupakan senyawa β-laktam. Penisilin
dapat terbagi menjadi beberapa golongan :
1) Penisilin (misalnya, penisilin G)

31
Jenis penisilin ini memiliki aktivitas terkuat terhadap organisme
gram positif,kokus gram-negatif, dan mikroorganisme anaerob
yang tidak menghasilkan βlaktamase. Akan tetapi jenis ini
hanya sedikit efektif terhadap batang gram negatif dan rentang
dihidrolisis oleh β-laktamase.
2) Penisilin antistafilokokus (misalnya, Nafsilin)
Penisilin ini resisten terhadap stafilokokal β-laktamase,
golongan ini aktif terhadap stapilokokus dan streptokokus tetapi
tidak aktif terhadap enterokokus, bakteri anaerob, dan kokus
gram negatif dan batang gram negatif.
3) Penisilin dengan spektrum yang diperluas (Ampisilin dan
Penisilin antipseudomonas)
Jenis penisilin ini tetap memiliki spektrum antibakteri seperti
penisilin tetapi efektivitasnya meningkat terhadap organisme
gram-negatif. Namun seperti penisilin, jenis ini rentan
dihidrolisis oleh β-laktamase.
b) Golongan Sefalosporin dan Sefamisin
Sefalosporin serupa dengan penisilin, tetapi lebih stabil terhadap
banyak β-laktamase bakteri sehingga memiliki aktivitas spektrum yang
lebih luas. Akan tetapi, galur E coli dan spesies Klibsiella
mengekspresikan β-laktamase berspektrum luas, yang dapat dihidrolisis
sebagian besar sefalosporin, saat ini menjadi masalah. Sefalosporin
tidak aktif terhadap enterococcus L monocytogenes. Sefalosporin
terbagi dalam beberapa generasi, yaitu :
1) Sefalosporin generasi pertama
Sefalosporin generasi pertama meliputi sefadroksil, sefazolin,
sefaleksin,sefalotin, sefapirin, dan sefradin. Obat-obat ini sangat
aktif terhadap kokus gram positif seperti pneumokokus ,
streptokokus, dan stafilokukus. Sefalosporin tidak aktif terhadap
galur stafilokokus yang resisten terhadap metisilin. E. coli, K.

32
pneumonie, dan Proteus mirabilis seringkali sensitive terhadap
obat ini, tetapi aktifitas terhadap P. aeruginosa, proteus indol-
positif, enterobakter, Serratia mercescens, sitrobakter, dan
asinetobakter sangat kecil. Kokus anaerob (misalnya,
peptococcus, peptostreptokokus) biasanya sensitif, tetapi
Bacteroites tidak demikian.
2) Sefalosporin generasi kedua
Anggota dari sefalosporin generasi kedua, antara lain: sefaklor,
sefamandol, sefonisid, sefuroksim, sefprozil, lorakarbef, dan
seforanid serta sefamisin yang terkait secara struktural seperti
sefoksitin, sefmetazol, dan sefotetan, yang memiliki aktivitas
terhadap bakteri anaerob. Kelompok obat ini tersusun atas
berbagai obat (heterogen) yang memiliki perbedaan nyata dalam
hal aktivitas, farmakokinetik, dan toksisitas pada setiap
individu. Pada umumnya obat ini aktif terhadap organisme yang
dihambat oleh obat-obat generasi pertama, tetapi selain itu obat
ini memiliki cakupan gram-negatif yang lebih luas. Sefaklor,
sefuroksim aksetil, sefprozil, dan lorakarbef dapat diberikan per
oral
3) Sefalosporin generasi ketiga
Obat–obat sefalosporin generasi ketiga adalah sefoperazon,
sefotaksim,
seftazidim, seftizoksim, seftriakson, sefiksim, seftibuten,
moksalaktam, dll. Obat generasi ketiga memiliki spektrum yang
lebih diperluas kepada bakteri gram negatif dan dapat
menembus sawar darah otak. Waktu paruh dan interval
pemberian obat sangat bervariasi.
4) Sefalosporin generasi keempat
Sefepime merupakan contoh dari sefalosporin generasi keempat
dan memiliki spektrum yang luas. Obat ini lebis resisten

33
terhadap hidrolisis oleh βlaktamase kromosomal (yang
diproduksi oleh enterobakter). Sefepim sangat efektif terhadap
homefilus dan naiseria serta cukup mempenetrasi cairan
serebrospinal.
c) Golongan Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan penghambat sintesis protein, dan golongan
antibiotik bakteriostatis berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri
gram negatif dan gram positif, baik anaerob maupun aerob (Katzung &
Bertram, 2011). Kloramfenikol biasanya diberikan secara oral atau
melalui suntikan intravena. Kloramfenikol efektif melawan spektrum
organisme yang luas, namun efek sampingnya serius termasuk aplasia
sumsum tulang atau kegagalan berkembangnya sumsum tulang
belakang dan berakibat fatal (Neal,2006:85)
d) Golongan Tetrasiklin
Golongan tetrasiklin merupakan antibiotik bakteriostatis berspektrum
luas yang menghambat sintesis protein. Tertasiklin berkerja aktif
terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negatif, termasuk bakteri
anaerob, riketsia, klamidia, mikoplasma, dan bentuk L, dan terhadap
protozoa (Katzung & Bertram, 2011:768).
e) Golongan Makrolida
Eritromisin merupakan bentuk prototype dari obat golongan
makrolidayang disintesis dari S.erythreus. Eritromisin efektif terhadap
bakteri gram positif terutama pneumokokus, streptokokus, stfilokokus,
dan korinebakterium. Aktifitas antibakterial eritromisin bersifat
bakterisida dan meningkat pada pH basa (katzung, 2011:771)
f) Golongan Aminoglikosida
Yang termasuk golongan Aminoglikosida, antara lalin: streptomisin,
neomisin, kanamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lain-lain.
Golongan aminoglikosida pada umumnya digunakan untuk mengobati
infeksi akibat bakteri gram negatif enterik, terutama pada bakteremia

34
dan sepsis,dalam kombinasi dengan vankomisin atau penisilin untuk
mengobati endokarditis, dan pengobatan tuberkulosis (Katzung,
2011:779).
g) Golongan Sulfonamida dan Trimetoprin
Sulfonamida dan trimetropim merupakan obat yang mekanisme kerjaya
menghambat sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada
tidak terbentuknya basa purin dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari
trimetoprin dan sulfametoksazol merupakan pengobatan yang sangat
efektif terhadap pneumonia akibat P.jiroveci, sigellosis, infeksi
salmonella sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa
infeksi mikobakterium non tuberkulosis (Katzung, 2011:788)
h) Golongan Florokuinolon
Golongan florokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidiksat,
siprofloksasin, norfloksasin, ofloksasin, levofloksasin, dan lain-lain.
Golongan fluorokuinolon aktif terhadap berbagai macam bakteri gram
negatif dan grampositif. Golongan fluoro kuinolon efektif mengobati
infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh pseudomonas. Golongan
ini juga aktif mengobati diare yang disebabkan oleh shigella,
salmonella, E.coli, dan Campilobacter (Katzung, 2011:792).
i) Golongan Klindamisin
Klindamisin merupakan turunan linkomisin yang tersubstitusi klorin,
suatu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis.
Klindamisin seperti eritromisin, menghambat sintesis protein dengan
mengganggu pembentukan kompleks inisiasi serta reaksi translokasi
aminoasil. (Katzung, 2011:774)
Golongan Antivirus
1. Obat untuk Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) dan Varicella-Zoster
Virus (VZV)
Ada dua jenis ada infeksi yang disebab oleh herpes simpleks virus yaitu
tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Keduanya erat terkait tetapi berbeda

35
dalam epidemiologinya. HSV-1 erat keitannya dengan penyakit
orofacial, sedangkan HSV-2 berkaitan dengan penyakit kelamin dan
lokasi lesi diantara keduanya tidak selalu menunjukkan jenis virus
(Salvaggio dan Lutwick, 2009). Infeksi primer disebabkan oleh VZV
adalah varicella (cacar air), sedangkan reaktivasi virus laten
menyebabkan herpes zoster (shingles). Pada anak-anak
imunokompeten, varicella biasanya bukan penyakit yang serius, tetapi
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas berat pada orang dewasa
dan pada individu immunocompromised (John dan Gnann, 2007).
Contoh obat antivirus untuk mengobati HSV dan VZV adalah asiklovir,
valasiklovir, valasiklofir HCL, famsiklovir, pesiklovir, docosanol,
brivudin, foskarnet, vidarabin, tromantadin, idoksuridin, dan trifluridin.
(John dan Gnann, 2007). Asiklovir merupakan antivirus berlisensi
pertama dan satu-satunya dari tiga antivirus yang digunakan untuk infus
di Amerika Serikat. Uji komparatif dari ketiga antivirus menunjukkan
khasiat serupa untuk pengobatan HSV tetapi famsiklovir dan
valasiklovir lebih unggul daripada asiklovir untuk pengobatan herpes
zoster (Katzung, 2007).
2. Obat untuk Infeksi Cytomegalovirus (CMV)
CMV termasuk dalam keluarga herpes virus manusia sehingga dikenal
pula sebagai Human Cytomegalovirus (HMCV). Sel yang terinfeksi
akan mengalami pembesaran dan pembengkakan dan membentuk
cytomegalic inclusion disease. HMCV merupakan virus patogen pada
manusia, sekitar 0,5% sampai 1,5% bayi dan sekitar 50% orang dewasa
pada beberapa negara berkembang telah terinfeksi penyakit ini (Mankes
dan Dalili, 2002). Infeksi CMV banyak terjadi pada pengaturan
imunosupresi dan biasanya disebabkan reaktivasi infeksi laten. Hasil
infeksi diseminasi pada penyakit endorgan, termasuk retinitis, kolitis,
esofagitis, penyakit sistem saraf pusat, dan pneumonitis. Meskipun
kejadian pasien yang terinfeksi HIV telah menurun tajam dengan

36
munculnya ART, reaktivasi infeksi CMV setelah transplantasi organ
masih lazim. Contoh obat antivirus untuk infeksi CMV adalah
gansiklovir, valgansiklovir, foskarnet, fomivirsen, dan sidofovir
(Katzung, 2007).
3. Obat Antiretrovirus (ARV)
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan infeksi
HIV. Tapi tersedia beberapa obat yang dapat memperlambat
perkembangan penyakit. Waktu yang tepat untuk pemberian obat ARV
ditentukan oleh perhitungan sel CD4, jumlah virus dalam plasma dan
gejala klinis. Biasanya dilakukan pemberian obat ARV secara
kombinasi (Depkes RI, 2000). ARV memberikan pilihan pengobatan
yang efektif untuk pasien yang mengalami infeksi HIV. ARV dibagi
menjadi enam kelas yaitu nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI),
protease inhibitor (PI), inhibitor integrase/integrase strand transfer
inhibitors (INSTIs), fusi inhibitor (FI), inhibitor pematangan dan
reseptor kemokin antagonis (CCR5 antagonis). Obat ARV golongan
NRTI adalah abacavir, emtriitabin, didanosin, lamivudin, dtavudin,
tenofovir, tenofovir disoproksil fumarat, zalsitabin dan zidovudin. Obat
ARV golongan NNRTI adalah delavirdin, efavirenz, nevirapin,
etravirin, dan rilpivirin. Obat ARV golongan PI adalah darunavir,
amprevenavir, atazanavir, tipranavir, fosamprenavir, indinavir,
lopinavir, ritonavir, nelfinavir, saquinavir, cobicistat. Obat ARV
golongan INSTIs adalah raltegravir, elvitegravir, dolutegravir. Obat
ARV golongan inhibitor pematangan adalah bevirimat. Obat HIV
golongan FI adalah enfuvirtide, ibalizumab. Sedangkan contoh obat
ARV goongan CCR5 antagonis adalah maraviroc dan vikrivirok
(Rathbun et al., 2016).
4. Obat Antihepatitis

37
Beberapa agen efektif melawan virus hepatitis B (HBV) dan virus
hepatitis C (HCV). Meskipun pengobatannya bersifat supresif,
prevalensi infeksi ini sangattinggi di seluruh dunia, seiring dengan
morbiditas dan mortalitas, mencerminkan pentingnya kebutuhan
antihepatitis untuk peningkatan pengobatan. Obat terapi infeksi
hepatitis B adalah lamivudin, adefovir, adevovir dipivoxil, entecavir,
tenofovir, telbivudin, interferon alfa-2b, clevudin, dan timovin alfa-1.
Sedangkan obat terapi infeksi hepatitis C adalah interferon alfa-2b
pegylated, soforbuvir, pegylated, telaprevir, boseprevir, valopicitabin,
isatoribin, dan viramidin (Katzung, 2007).
5. Obat Anti-influenza
Galur-galur virus influenza diklasifikasikan berdasarkan protein inti
virus (yaitu, A, B, atau C), spesies asal (misalnya, burung, babi), dan
tempat isolasi geografis. Influenza A, satu-satunya galur yang
menyebabkan pandemi, diklasifikasikan menjadi 16 subtipe H
(hemaglutinin) dan 9 subtipe N (neuraminidase) berdasarkan protein
permukaan. Meskipun virus influenza B biasanya hanya menginfeksi
manusia, virus influenza A dapat menginfeksi berbagai host hewan.
Subtipe influenza A yang saat ini beredar di dunia yaitu H1N1, H1N2,
dan H3N2. Lima belas subtipe diketahui menginfeksi burung,
membentuk reservoar yang besar. Contoh obat anti-influenza adalah
oseltamivir, zanamivir, amantadin, rimantadin, dan peramivir (Katzung,
2007).Saat ini salah satu obat yang telah terbukti efektif dalam
pencegahan dan pengobatan infeksi virus influenza A adalah
amantadine hidroklorida dan rimantadine hidroklorida. Penggunaan
terapi dapat menyebabkan munculnya cepat varian yang resistan
terhadap obat, yang telah dikaitkan dengan transmisi jelas dari pasien
yang diobati untuk menutup kontak (Madren et al., 1995).
6. Obat Antivirus lain

38
Obat antivirus lain adalah imiquimod, methisoprinol, dan
ribavirin.Imiquimod adalah suatu pemodifikasi respons imun (immune
response modifier) yang diketahui terbukti efektif dalam pengobatan
topikal kulit perianus dan genita eksterna. Ribavirin merupakan suatu
analog guanosin yang mengalami fosforilasi intrasel oleh enzim-enzim
sel penjamu. Ribavirin trifosfat menghambat replikasi berbagai virus
DNA dan RNA, termasuk influenza A dan B, parainfluenza, respiratory
syncytial virus, paramiksovirus, HCV dan HIV-1 (Katzung, 2007).
Methisoprinol adalah senyawa sintetis terbentuk dari garam p-
acetamidobenzoate dari N-N dimethylamino-2-propanol dan inosin
dengan perbandingan molar 3:1 (Siwicki et al., 2009).

39
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Keadaaan kritis merupakan suatu keadaan penyakit kritis yang mana pasien sangat
beresiko untuk meninggal. Pada keadaan kritis ini pasien mengalami masalah
psikososial yang cukup serius dan karenanya perlu perhatian dan penanganan yang
serius pula dari perawat dan tenaga kesehatan lain yang merawatanya. Dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien kritis ini, perawat harus menunjukkan
sikap professional dan tulus dengan pendekatan yang baik serta berkomunikasi yang
efektif kepada pasien.

3.2. Saran
Dalam menangani pasien kritis sebaiknya Perawat harus benar benar memahami
bagaimana konsep proses asuhan keperawatan di area kritis dan juga Perawat harus
memiliki kemampuan dan kompetensi yang tinggi untuk melakukan layanan asuhan
keperawatan di area kritis

40
DAFTAR PUSTAKA

Adame, M.P., Josephson, D.L. and Holland Jr, L.N. (2009).Pharmacology for Nurses:
A Pathophysiologic Approach Vol. I. New Jersey : Pearson Prentice Hall.
Agoes, A. (2019). Penggunaan Antibiotik dan Infeksi Nosokomial, Majalah Medika,
Nomor 8 (16), 642-645.
Anief, M. (2020). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. 17,
Gadjah Maja University Press, Yogyakarta.
Berman, A., Snyder,S.J., Kozier, B. dan Erb, B. (2008). Fundamentals of Nursing.
Concepts, Process and Practice . 8 th Ed . New Jersey : Pearson Prentice Hall
Ita Djuwita, M. R. (2017). Induksi Ekstrak Pegagan Secara in vitro terhadap Proliferasi
dan Diferensiasi Sel-Sel Otak Besar Anak Tikus. Jurnal Veteriner, 138-144.
Kesuma, A. K. (2016). IDENTIFIKASI EFEK DEPRESAN SSP (SUSUNAN SARAF
PUSAT), ANTIKEJANG DAN NEUROTOKSISITAS SENYAWA 4
KLOROBENZOILTIOUREA PADA MENCIT PUTIH JANTAN. Jurnal
Teknosains, 1-11.
Lestari, Sari. 2016. Farmakologi Dalam Keperawatan. Jakarta : Hak Cipta
Suwardianto, H. (2018). Managemen Pencegahan Kerusakan Fungsi Fisik, Fungsi
Kognitif, dan Kecemasan Pada Pasien Kritis. Lembaga Chakra Brahmanda
Lentera.
Wilmana, P. F. (2017). Antivirus dan Interferon, dalam Ganiswarna, (Ed), Farmakologi
dan Terapi, Edisi IV, 616-617, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta.

41

Anda mungkin juga menyukai