Anda di halaman 1dari 33

FARMAKOLOGI

TERAPI FARMAKOLOGI PADA KASUS ALERGI SERTA PERAN


PERAWAT DALAM MENGOPTIMALKAN MANAJEMEN DAN
PENCEGAHAN ANAFILAKSIS PADA PASIEN ANAK

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Farmakologi


Dosen Fasilitator:
Nur Rochmah, dr., Sp.A (K)

Oleh Kelompok 4:
Boby Sinuraya 132014153013
Yosin Herloheti Pella 132014153021
Lailaturohmah Kurniawati 132014153025
Ali Tazia 132014153036
Made Yuni Martini 132014153041
Handira Nadhifatul Aini 132014153044

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Terapi Farmakologi
Pada Kasus Alergi Serta Peran Perawat Dalam Mengoptimalkan Manajemen Dan
Pencegahan Anafilaksis Pada Pasien Anak”. Makalah ini kami susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi tahun ajaran 2021/2022.
Makalah ini kami susun semaksimal mungkin menggunakan beberapa jurnal
dan kasus yang sebagai tinjauan dan referensi. Kami berharap makalah ini dapat
menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembaca sehingga kedepannya
makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Dengan terselesaikannya makalah ini,
penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Nur Rochmah, dr., Sp.A (K), selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dalam penulisan makalah ini.
2. Kedua orang tua telah memberikan dukungan baik secara materi maupun
doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan berjalan sesuai dengan rencana.
3. Serta semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini selesai
tepat pada waktunya.
Kami sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu semoga
pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan karya-karya selanjutnya.
Demikian, semoga makalah ini sedikit banyak dapat memudahkan pembaca
untuk menggali informasi. Semoga bermanfaat.

Surabaya, 18 Maret 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Definisi Alergi...........................................................................................4
2.2 Faktor Risiko.............................................................................................5
2.3 Etiologi......................................................................................................6
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi....................................................................6
2.4.1 Imun dan nonimun reaksi hipersensitivitas terhadap obat.................6
2.4.2 Reaksi cepat hipersensitivitas obat....................................................7
2.4.3 Reaksi lambat hipersensitivitas obat..................................................7
2.4.4 Peran virus dalam pathogenesis reaksi hipersensitivitas obat............8
2.5 Manifestasi Klinis......................................................................................8
2.6 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................9
2.7 Penatalaksanaan Medis............................................................................11
BAB 3 PEMBAHASAN........................................................................................14
3.1 Ketepatan Penggunaan Obat...................................................................14
3.1.1 Ketepatan indikasi............................................................................14
3.1.2 Ketepatan pemilihan obat.................................................................14
3.1.3 Ketepatan dosis dan cara pemberian obat........................................14
3.1.4 Ketepatan durasi penggunaan obat..................................................14
3.2 Asuhan Keperawatan...............................................................................14
3.2.1 Pengkajian........................................................................................14

iii
3.2.2 Diagnosis.............................................................................................15
3.2.3 Planning/Implementation.................................................................18
BAB 4 KESIMPULAN..........................................................................................22
4.1 Kesimpulan..............................................................................................22
4.2 Saran........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prevalensi penyakit alergi di seluruh dunia meningkat secara dramatis baik di
negara maju maupun berkembang. Penyakit ini termasuk asma; rinitis; anafilaksis;
alergi obat, makanan, dan serangga; eksim; dan urtikaria (gatal-gatal) dan
angioedema. Peningkatan ini bermasalah terutama pada anak-anak, dimana
kelompok usia ini yang menanggung beban terbesar dari tren peningkatan yang
telah terjadi selama dua dekade terakhir. Terlepas dari peningkatan kasus alergi
ini, bahkan di negara maju, layanan untuk pasien dengan penyakit alergi tetap ada
terfragmentasi dan jauh dari ideal. Sangat sedikit negara yang memiliki layanan
komprehensif di bidang alergi. Hampir tidak ada layanan khusus untuk pasien
alergi di banyak negara, sedangkan reaksi alergi memiliki onset cepat dan tak
terduga, seperti pada kasus anafilaksis yang dapat berkembang pada siapa saja,
dan pada dasarnya, reaksi anafilaksis dapat terjadi kapan saja dan di mana saja,
yang terlihat dari laporan terbaru tentang reaksi fatal pada anak-anak dan remaja
(WAO, 2011).
Alergi anafilaksis dimediasi secara imunologis dan melibatkan IgE, IgG, dan
kompleks imun, Insiden diperkirakan 80-210 episode per satu juta orang per tahun
dan ini bervariasi menurut usia, jenis kelamin, geografi dan status sosial ekonomi.
Data yang tersedia tentang tren waktu menunjukkan keluhan pada kulit: > 90
urtikaria (gatal-gatal) dan angioedema (pembengkakan terlokalisasi di bawah
kulit, paling sering di bibir dan mata) 85-90 bahwa kejadiannya telah meningkat,
terutama yang berkaitan dengan anafilaksis yang disebabkan oleh makanan dan
obat-obatan. Perhatian medis yang tertunda, terutama administrasi epinefrin yang
tertunda, merupakan faktor lain yang terlibat dalam episode fatal. Rasio fatalitas
kasus secara keseluruhan (proporsi anafilaksis yang fatal) diperkirakan kurang
dari 1%, atau 1-5,5 episode fatal dari anafilaksis per satu juta populasi setiap
tahunnya (WAO, 2011). Data penelitian mengenai prevalensi kejadian alergi pada
anak di Indonesia diperoleh dari pervalensi keseluruhan anak di Asia dimana

1
2

kasus yang dilaporkan berkisar 3,4% hingga 11,1% anak di Asia mengalami
riwayat alergi makanan (Paramartha, 2017).
Meskipun 50 negara bagian mengizinkan layanan medis darurat untuk
membawa epinefrin, hanya dua pertiga negara bagian yang mengharuskan
melakukan intervensi tersebut. Terkait dengan hak dari setiap anak, 49 dari 50
negara bagian sekarang mengizinkan anak untuk membawa obat sendiri jika
mereka harus mengelola sendiri reaksi anafilaksis (Wagner, 2013). Tidak seperti
di negara-negara maju, di Indonesia belum memiliki ketentuan yang jelas
mengenai regulasi penanganan reaksi alergi anafilaksis pada anak yang terjadi
diluar rumah sakit.
Kejadian reaksi alergi pada anak hendaknya mendapat perhatian lebih terkait
dengan laporan terbaru yang menggambarkan peningkatan alergi serius dan reaksi
yang mengancam nyawa. Sehingga, perlu adanya kegiatan dalam bentuk
pemberian informasi kepada peserta mengenai tren alergi serius dan anafilaksis
terkini, pendiskusian rekomendasi dari pedoman klinis yang dirancang untuk
membakukan praktik, dan penanganan kebutuhan medis serta pendidikan pasien
anafilaksis oleh petugas kesehatan kerkait. Hal ini mendorong perlunya praktisi
perawat pediatrik untuk mengevaluasi ulang dan mengasah keterampilan klinis
mereka terkait dengan pengenalan anafilaksis (Wagner, 2013). Berkaitan dengan
masalah ini, kelompok merasa penting untuk membehas menejemen dan
pencegahan alergi maupun anafilaksis pada anak.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah konsep terapi farmakologi pada kasus alergi serta peran
perawat dalam mengoptimalkan manajemen dan pencegahan anafilaksis pada
pasien anak?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami terapi farmakologi pada kasus alergi serta
peran perawat dalam mengoptimalkan manajemen dan pencegahan anafilaksis
pada pasien anak.
3

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penulisan ini adalah:
1. Menjelaskan konsep dasar alergi.
2. Menjelaskan faktor risiko alergi.
3. Menjelaskan etiologi alergi.
4. Menjelaskan patoogenesis dan patofisiologi alergi
5. Menjelaskan etiologi alergi.
6. Menjelaskan manifestasi klinis alergi.
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjang alergi.
8. Menjelaskan penatalaksanaan medis alergi.
9. Menjelaskan ketepatan penggunaan obat.
10. Menjelaskan asuhan keperawatan kasus alergi pada anak.

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah terapi farmakologi
pada kasus alergi serta peran perawat dalam mengoptimalkan manajemen dan
pencegahan anafilaksis pada pasien anak adalah sebagai berikut
1. Mahasiswa mampu memahami tentang konsep dasar terapi farmakologi
pada kasus alergi serta peran perawat dalam mengoptimalkan manajemen
dan pencegahan anafilaksis pada pasien anak, sehingga makalah ini dapat
menjadi penunjang pembelajaran perkuliahan pada mata kuliah
Farmakologi.
2. Mahasiswa mampu memahami terapi modalitas terbaru yang berdasarkan
telaah jurnal, sehingga dapat dilakukan aplikasi pada proses asuhan
keperawatan secara langsung kepada pasien yang mengalami alergi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Alergi
Alergi merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat
luas. Alergi merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika
sistem imun bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak
menimbulkan reaksi pada orang normal (Davis et al., 2020). Bahan penyebab
alergi disebut alergen yaitu misalnya debu, jamur, tungau, bulu binatang, atau
makanan, seperti kacang-kacangan, telur, kerang, ikan dan susu (Gelincik et al.,
2020).

Alergi pada obat biasa disebut reaksi hipersensivitas. Definisi reaksi alergi
(Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi
ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana
sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi
hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga
melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen
dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem
kekebalan. Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi empat tipe
reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II,
III, dan IV (Hikmah & Dewanti, 2010).

Alergi obat adalah reaksi hipersensitivitas yang melibatkan mekanisme imun


(IgE atau T cell-mediated atau jarang melibatkan kompleks imun atau reaksi
sitotoksik). Semua kasus reaksi hipersensitivitas obat tanpa melalui mekanisme
imun (5%-10%) atau proses imunologis tidak terbukti, maka diklasifikasikan
sebagai reaksi hipersensitivitas non-imun (Thong & Tan, 2011). Klasifikasi ADRs
dapat dilihat pada Gambar 1.

4
5

Gambar 1. Klasifikasi Adverse drug reactions, termasuk hipersensitivitas dan


alergi obat immune-mediated (Hikmah & Dewanti, 2015)
World Health Organization mendefinisikan adverse drug reactions (ADRs)
sebagai reaksi yang tidak dikehendaki dan bersifat merugikan akibat respon
pemakaian obat pada dosis sesuai anjuran pada manusia untuk keperluan terapi,
profilaksis, diagnosis, maupun untuk modifikasi fungsi fisiologis (Sawada et al.,
2020). Klasifikasi farmakologis dibagi menjadi dua subtipe: reaksi tipe A dan tipe
B. Reaksi tipe A adalah efek farmakologis yang bisa diprediksi dan bergantung
pada dosis. Kebanyakan ADRs (sekitar 80%) merupakan reaksi tipe A, termasuk
efek toksik, efek samping, efek sekunder dan interaksi obat. Reaksi B merupakan
reaksi hipersensitivitas yang tidak dapat diprediksi dan tidak bergantung pada
dosis. Reaksi hipersensitivitas ini menyebabkan timbulnya gejala atau tanda pada
dosis yang bisa ditoleransi oleh orang normal. Sekitar 10%-15% dari keseluruhan
ADRs merupakan reaksi tipe B (Simons et al., 2011).

2.2 Faktor Risiko


Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat
termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor
terkait obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat
secara khas terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan laki-laki. Polimorfisme genetik dalam human leukocyte
antigen (HLA) dan infeksi virus seperti human immunodeficiency virus (HIV)
dan Epstein-Barr virus (EBV), juga berkaitan dengan peningkatan risiko
terjadinya reaksi imunologis terhadap obat. Kerentanan terhadap alergi obat
6

dipengaruhi oleh polimorfisme genetik dalam metabolisme obat (Elshemy &


Abobakr, 2013)
Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih
sering menyebabkan reaksi alergi obat dibandingkan administrasi secara oral.
Dosis berlebihan dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas lebih besar daripada dosis tunggal.
Selanjutnya, obat dengan makromolekular atau obat hapten seperti penisilin, juga
berhubungan dengan kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas
(Simons et al., 2011).
2.3 Etiologi
Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang
melibatkan antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus,
termasuk basofil yang berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang
ditemukan di dalam jaringan. Jika antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel
tersebut berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel
tersebut didorong untuk melepaskan zat-zat atau mediator kimia yang dapat
merusak atau melukai jaringan di sekitarnya.
Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang
bertindak sebagai antigen yang merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang
istilah penyakit atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan penyakit
keturunan yang berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma
alergika. Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan
antibodi IgE terhadap inhalan (benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga,
bulu binatang dan partikel-partikel debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh.
Eksim (dermatitis atopik) juga merupakan suatu penyakit atopik meskipun
sampai saat ini peran IgE dalam penyakit ini masih belum diketahui atau tidak
begitu jelas. Meskipun demikian, seseorang yang menderita penyakit atopik tidak
memiliki resiko membentuk antibodi IgE terhadap alergen yang disuntikkan
misalnya (obat atau racun serangga liar) (Hikmah & Dewanti, 2010)
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
2.4.1 Imun dan nonimun reaksi hipersensitivitas terhadap obat
Alergi obat merupakan reaksi yang tidak diinginkan dimana antibody
dan/atau sel T aktif secara langsung melawan obat atau salah satu metabolit.
7

Jumlah reaksi dengan gejala alergi sering keliru dianggap sebagai alergi obat yang
sebenarnya (Davis et al., 2020). Patomekanisme reaksi termasuk;
1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media
radiokontras, dan vankomisin),
2. Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors),
3. Aktivasi komplemen (protamine),
4. Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal
anti- inflammatory drugs) dan,
5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang
menyebabkan bronkospasme (β-bloker, sulfur dioksida).
2.4.2 Reaksi cepat hipersensitivitas obat
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh
spesifik antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan
reseptor Fc RI afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan
ikatan multivalen terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat,
antigen kompleks protein hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi
pelepasan preformed mediators (histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-
α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin, kinin, sitokin
lainnya). Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit, lalu
komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang
dibutuhkan untuk sintesis protein dan pengerahan sel imun.
2.4.3 Reaksi lambat hipersensitivitas obat
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja
limfosit T. Kulit menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang
responsif terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak,
sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid),
dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem imun, dimana dijelaskan dengan
metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar. Penting untuk
diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda klinis
yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut
diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk
menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses pertama antigen obat.
Antigen lalu masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk
8

berkembangnya respon imun yang efektif, sistem imun innate perlu untuk
diaktifkan, menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal
bahaya dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di
nodus limfa, antigen dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa
antigen obat bisa secara langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen,
kemudian menghindari pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik
sel T bermigrasi ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang terhadap
antigen, mereka diaktifkan untuk mensekresi sitokin yang meregulasi respon dan
sitotoksin (perforin, granzim, dan granulisin) yang mengakibatkan kerusakan
jaringan (Gelincik et al., 2020).
2.4.4 Peran virus dalam pathogenesis reaksi hipersensitivitas obat
Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi kulit dan meniru reaksi
hipersensitivitas obat jika obat (kebanyakan antibiotik) yang diminum pada waktu
bersamaan. Walaupun infeksi virus dapat mencetuskan erupsi kulit, infeksi virus
bisa juga berinteraksi dengan obat, mengakibatkan erupsi ringan, misalnya pada
kasus “ampicillin rash” berkaitan dengan infeksi EBV dan reaksi berat selama
drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). Virus pertama
kali menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS yang terinfeksi Human herpes
virus (HHV)-6, tetapi semua HHV dapat terlibat. Beberapa studi menunjukkan
bahwa replikasi HHV-6 bisa menginduksi in vitro dengan amoksisilin (Elshemy
& Abobakr, 2013).
2.5 Manifestasi Klinis
Pada penderita reaksi hipersensitivitas obat, banyak manifestasi klinis yang
dapat terlihat. Klinis yang terlihat, dapat membantu untuk melakukan penegakkan
diagnosis dan melakukan penanganan secara cepat pada penderita. Manifestasi
akut reaksi hipersensitivitas obat biasanya seperti, urtikaria, angioedema, rinitis,
konjungtivitis, bronkospasme, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) atau
anafilaksis, dimana dapat mengakibatkan kolapsnya kardiovaskular. Reaksi
lambat hipersensitivitas obat sering mempengaruhi kulit dengan gejala kutaneus
yang bervariasi, seperti urtikaria yang lambat terjadi, erupsi makulopapular, fixed
drug eruptions (FDE), vaskulitis, penyakit blistering Toxic Epidermal Necrosis
(TEN), Steven Jonhson Syndrome (SJS) dan FDE (bula general), sindrom
hipersensitivitas, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan
9

symmetrical drug-related intertriginous and flexural exanthemas (SDRIFE).


Organ internal yang bisa terkena baik secara tunggal atau dengan gejala pada kulit
dan termasuk hepatitis, gagal ginjal, pneumonitis, anemia, neutropeni, dan
trombositopeni. Klasifikasi alergi obat berdasarkan reaksi imun, mekanisme kerja,
manifestasi klinis dan waktu terjadinya reaksi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat: mekanisme, manifestasi
klinis, dan waktu untuk bereaksi
Reaksi Mekanisme Manifestasi Waktu
imun klinis untuk
bereaksi
Tipe I Kompleks obat-IgE berikatan Anafilaksis, Menit hingga
(IgE- pada sel mast dengan urtikaria, Jam setelah
mediated) pelepasan histamin, mediator angioedema, paparan obat
inflamasi bronkospasme
Tipe II Spesifik antibodi IgG atau IgM Anemia, Bervariasi
(sitotoksik) langsung pada sel-sel sitopeni,
yang terbungkus obat-hapten trombositopeni
Tipe III Deposisi jaringan dari Serum sickness, 1 – 3 minggu
(kompleks kompleks obat-antibodi vaskulitis, setelah
imun) dengan aktivasi komplemen demam, ruam, paparan obat
dan inflamasi arthralgia
Tipe IV Presentasi MHC dari molekul Sensitivitas 2-7 hari
(delayed, obat terhadap sel T dengan kontak setelah
cell sitokin dan pelepasan mediator Ruam pada kulit, paparan obat
mediated) inflamasi; dapat berkaitan kerusakan jaringan
dengan aktivasi dan organ
pengerahan
eosinofil, monosit, dan neutrofil
Keterangan: IgE: immunoglobulin E; IgG: immunoglobulin G; IgM:
immunoglobulin M; MHC: Major Histocompatibility Complex.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Prosedur tes kulit, seperti Skin Prick Testing (SPT) dan tes intradermal (tes
dimana alergen diinjeksikan ke dalam dermis kulit) berguna untuk diagnosis
reaksi IgE-mediated (tipe I). Protokol tes kulit yang sudah terstandarisasi untuk
penisilin dan juga anastesi lokal, muscle relaxants, dan sangat sensitif untuk
substansi protein dengan berat molekul yang besar, seperti insulin atau antibodi
monoklonal. Tes kulit positif terhadap obat mengkonfirmasi adanya spesifik
antigen IgE dan mendukung diagnosis reaksi hipersensitivitas tipe I. Nilai
prediktif negatif dari tes kulit terhadap penisilin sangat tinggi dengan reagen yang
10

sesuai dan karenanya hasil tes negatif berguna untuk menyingkirkan alergi
penisilin. Tes kulit negatif terhadap agen lainnya (kecuali protein berat molekul
yang besar) tidak efektif untuk menyingkirkan keberadaan spesifik IgE (Hikmah
& Dewanti, 2010).
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih
diragukan nilainya. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal, antara lain:
1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan
bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan
obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali
penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat yang
mempunyai berat molekul besar (insulin, hormon adrenokortikotropik,
serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin
(kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false
positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbukan hasil positif semu.
Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya
merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama
ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas
pada beberapa macam obat. Pemeriksaan Radio Allergo Sorbent test (RAST)
yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai
antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini
berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin
timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (Gelincik et
al., 2020).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia
hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan
trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan
11

pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya
pun sering tidak memuaskan.

2.7 Penatalaksanaan Medis


Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari
atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien
memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi
bila tidak, dapat diberikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang
struktur imunokimianya berlainan (Hikmah & Dewanti, 2010).
Terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian besar
bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat
ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah
obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit
yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain (Hikmah & Dewanti,
2010). Pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang berat seperti pada sindrom
Steven Johnson, pasiennya harus dirawat di ruangan intensif, karena selain harus
mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan kalori dan
cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai
berminggu- minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien
perlu diberikan antibiotik.
Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang diinjeksi
secara intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0,01
ml/kg/BB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20
menit sampai 3-4 kali. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja
biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis,
penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan
kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai
gejala terkendali dan selanjutnya pemberian prednison tersebut diturunkan
dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.
Manajemen terhadap beberapa obat yang dapat menyebabkan alergi yaitu
sebagai berikut:
12

1. Penisilin: Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi.


Untuk pasien dengan alergi penisilin, pengobatan yang terbaik terbatas pada agen
non-penisilin. Karbapenem tidak memperlihatkan tingkat signifikan reaktivitas
silang dengan penisilin dan dapat diberikan sebagai graded challenge setelah tes
kulit profilaksis dengan karbapenem yang relevan. Monobaktam, seperti
aztreonam, umumnya ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan alergi penisilin,
kecuali mereka memiliki reaksi alergi terhadap ceftazidime. Idealnya, manajemen
pasien dengan alergi penisilin harus dilakukan tes kulit terhadap penisilin. Sekitar
90% pasien memiliki respon tes kulit yang negatif terhadap penisilin dan aman
diberikan cephalosporin maupun agen betalaktam lainnya. Jika penisilin dianggap
mutlak diperlukan pada pasien alergi terhadap penisilin, maka desensitisasi perlu
dipertimbangkan, dan prosedur sebaiknya dilakukan di bawah pengawasan medis
di rumah sakit.
2. Sulfonamid: Sulfonamid merupakan salah satu antibiotik lainnya yang dapat
menyebabkan reaksi alergi dan sering berhubungan dengan erupsi makulopapular
kutaneus yang tertunda, SJS dan TEN. Pasien yang terinfeksi HIV mengalami
peningkatan risiko untuk berkembangnya reaksi kutaneus terhadap sulfonamid,
dimana berkaitan dengan faktor imunologis dan frekuensi paparan terhadap
antibiotik. Struktur kimia dari sulfonamid non-antibiotik (diuretik tiazid, beberapa
NSAIDs dan antikonvulsan) bervariasi dari antibiotik sulfonamid, agen ini tidak
diharapkan untuk reaksi silang dan secara umum aman diberikan untuk pasien
dengan riwayat alergi terhadap antibiotik sulfonamid.
3. Cephalosporin: Pada penderita alergi terhadap cephalosporin, terdapat reaktivitas
silang terbatas pada tes imunologikal antara cephalosporin generasi kedua dan
ketiga dan penisilin, terutama amino-penisilin, tetapi hal ini belum tentu
menunjukkan reaktivitas klinis. Pentingnya tes kulit dengan tujuan pemberian
antibiotik untuk terapi, dan/atau administrasi graded challenge. Jika tes kulit
positif dan tidak ada alternative obat, induksi dengan prosedur toleransi obat dapat
dicoba.
4. Media radiokontras; Media radiokontras berkaitan dengan reaksi alergi dan reaksi
pseudoalergi. Reaksi alergi/pseudoalergi terhadap media radiokontras dapat
dicegah melalui penggunaan sebelum terapi regimen yang termasuk kortikosteroid
13

oral dan antihistamin H1. Agen osmolaritas rendah juga bisa digunakan pada
situasi tersebut.
5. Anastesi lokal; Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat
jarang terjadi. Reaksi biasanya karena ada bahan-bahan lain dalam obat, seperti
pengawet atau epinefrin. Namun, jika riwayat reaksi konsisten dengan
kemungkinan segera (reaksi IgE-mediated), tes kulit diikuti tes graded challenge
menggunakan anestesi lokal bebas epinefrin dan pengawet dapat dilakukan.7
6. Anastesi umum; Meskipun jarang, anafilaksis dapat terjadi pada pasien dibwah
pengaruh anastesi umum. Reaksi selama anastesi umum sering dikarenakan agen
yang memblok neuromuscular, tetapi dapat juga dikaitkan dengan anastesi
intravena (propofol, thiopentone, etomidate), antibiotik, NSAIDs, dan alergi
lateks. Penilaian oleh ahli alergi penting untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis
alergi terhadap anastesi umum, mengidentifikasi agen penyebab kemungkinan
serta agen alternatif yang dapat digunakan dengan aman.
7. Reaksi asam asetilsalisilat/NSAIDs; Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat
menyebabkan reaksi alergi yang sebenarnya dan reaksi pseudoalergi, termasuk
eksaserbasi dari penyakit respirasi yang mendasari, urtikaria, angioedema dan
anafilaksis. Pasien dengan penyakit pernafasan kronis, seperti asma, rinitis dan
sinusitis, mungkin bereaksi terhadap asam asetilsalisilat dan NSAIDs yang
menghambat siklooksigenasi-1 (COX-1). Manajemen pasien ini dengan
menghindari aspirin dan NSAIDs dan pengobatan agresif dari penyakit respirasi
yang mendasari. Selektif COX-2 inhibitor hampir tidak pernah menyebabkan
reaksi, dan biasanya dapat digunakan secara aman untuk penderita alergi asam
asetilsalisilat dan NSAIDs. Induksi prosedur toleransi obat aspirin (juga dikenal
sebagai desensitisasi aspirin) juga dapat dipertimbangkan. Pasien dengan urtikaria
kronis atau angioedema umumnya toleran terhadap COX-2 inhibitor, tetapi
mungkin mengalami eksaserbasi urtikaria/angioedema terhadap NSAIDs yang
menghambat COX-1. Reaksi alergi terhadap NSAIDs biasanya spesifik pada obat
tertentu dan pasien yang mengalami reaksi ini seringkali tahan terhadap NSAIDs
lainnya.
14

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Ketepatan Penggunaan Obat


3.1.1 Ketepatan indikasi
Ketepatan indikasi penggunaan obat diawali dengan benar pasien. Perawat
mempunyai tannggung jawab terhadap keamanan pasien dalam pemberian terapi.
Klien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa identitas klien dan meminta
klien menyebutkan namanya sendiri. Sebelum obat diberikan, identitas pasien
harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan
langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika
pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau
kesadaran, harus dicari cara identifikasiyang lain seperti menanyakan langsung
kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya. Jadi
terkait dengan klien yang benar, memiliki implikasi keperawatan diantaranya
mencakup memastikan klien dengan memeriksa gelang identifikasi dan
membedakan dua klien dengan nama yang sama (Lestari, 2016).

3.1.2 Ketepatan pemilihan obat


Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama
dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama
generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau
kandungan obat. Untuk menghindarikesalahan, sebelum memberi obat kepada
pasien, label obat harus dibaca tiga kali: (1) pada saat melihat botol atau kemasan
obat, (2) sebelum menuang/ mengisap obat dan (3) setelah menuang/mengisap
obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus
dikembalikan ke bagian farmasi. Perawat harus ingat bahwa obat-obat tertentu
mempunyai nama yang bunyinya hampir sama dan ejaannya mirip, misalnya
digoksin dan digitoksin, quinidin dan quinine, Demerol dan dikumarol, dst.
Implikasi keperawatan dalam ketepatan pemilihan obat adalah pertama, periksa
apakah perintah pengobatan lengkap dan sah. Jika perintah tidak lengkap atau
tidak sah, beritahu perawat atau dokter yang bertangung jawab. Kedua, ketahui
15

alasan mengapa pasien mendapat terapi tersebut dan terakhir lihat label minimal 3
kali (Lestari, 2016).

3.1.3 Ketepatan dosis dan cara pemberian obat


Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu,
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker,
sebelum dilanjutkan ke pasien. Sebelum menghitung dosis obat, perawat harus
mempunyai dasar pengetahuan mengenai rasio dan proporsi. Jika ragu-ragu, dosis
obat harus dihitung kembali dan diperiksa oleh perawat lain. Jika pasien
meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik
ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya.
Misalnya, amlodipine tablet harus mengetahui berapa dosis yang akan diberikan
karena 1 tablet amplodipin dosisnya ada 5 mg dan 10 mg. Perawat harus tetap hati
tetap hati-hati dan teliti. Implikasi dalam keperawatan adalah perawat harus
menghitung dosis dengan benar (Lestari, 2016).

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja
yang diinginkan. Obat dapat diberikan melalui oral, sublingual, parenteral,
topikal, rektal, inhalasi (Lestari, 2016).

1. Oral
Oral adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai,
karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN. Beberapa
jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan menyebabkan muntah
(misalnya garam besi dan salisilat). Untuk mencegah hal ini, obat dipersiapkan
dalam bentuk kapsul yang diharapkan tetap utuh dalam suasana asam di
lambung, tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di usus. Dalam
memberikan obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak
boleh dikunyah dan pasien diberitahu untuk tidak minum antasida atau susu
sekurang-kurangnya satu jam setelah minum obat.
2. Parenteral
16

Parnteral kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron
berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran cerna.
Obat dapat diberikan melalui intracutan, subcutan, intramusculer dan
intravena. Perawat harus memberikan perhatian pendekatan khusus pada anak-
anak yang akan mendapat terapi injeksi dikarenakan adanya rasa takut.
3. Topikal
Topikal yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya
salep, losion, krim, spray, tetes mata.
4. Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan
mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek
lokal seperti konstipasi (dulcolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak
sadar/kejang (stesolid supp). Pemberian obat melalui rektal memiliki efek
yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat dalam bentuk oral, namun
sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk supositoria.
5. Inhalasi
Inhalasi yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna
untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol
(ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat
misalnya terapi oksigen.
Implikasi dalam keperawatan termasuk nilai kemampuan klien untuk
menelan obat sebelum memberikan obat-obat per oral, pergunakan teknik aseptik
sewaktu memberikan obat dan teknik steril dibutuhkan dalam rute parenteral,
berikan obat-obat pada tempat yang sesuai serta tetaplah bersama klien sampai
obat oral telah ditelan.

3.1.4 Ketepatan durasi penggunaan obat


Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus
diberikan. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari, seperti
b.i.d (dua kali sehari), t.i.d (tiga kali sehari), q.i.d (empat kali sehari), atau q6h
(setiap 6 jam), sehingga kadar obat dalam plasma dapat dipertahankan. Jika obat
mempunyai waktu paruh (t ½) yang panjang, maka obat diberikan sekali sehari.
17

Obat-obat dengan waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang
waktu yang tertentu. Beberapa obat diberikan sebelum makan dan yang lainnya
diberikan pada saat makan atau bersama makanan. Jika obat harus diminum
sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberikan satu
jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan
bersama susu/produk susu karena kandungan kalsium dalam susu/produk susu
dapat membentuk senyawa kompleks dengan molekul obat sebelum obat tersebut
diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi
yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.

Pemberian obat harus benar-benar sesuai dengan waktu yang


diprogramkan, karena berhubungan dengan kerja obat yang dapat menimbulkan
efek terapi dari obat:

1. Pemberian obat harus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan


2. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari. Misalnya
seperti dua kali sehari, tiga kali sehari, empat kali sehari dan 6 kali sehari
sehingga kadar obat dalam plasma tubuh dapat diperkirakan.
3. Pemberian obat harus sesuai dengan waktu paruh obat (t ½). Obat yang
mempunyai waktu paruh panjang diberikan sekali sehari dan untuk obat yang
memiliki waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang
waktu tertentu.
4. Pemberian obat juga memperhatikan diberikan sebelum atau sesudah makan
atau bersama makanan.
5. Memberikan obat-obat seperti kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi
mukosa lambung sehingga diberikan bersama-sama dengan makanan.
6. Menjadi tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah
dijadwalkan untuk memeriksa diagnostik, seperti tes darah puasa yang
merupakan kontraindikasi pemeriksaan obat.
Implikasi dalam keperawatan mencakup:
1. Berikan obat pada saat yang khusus. Obat-obat dapat diberikan ½ jam
sebelum atau sesudah waktu yang tertulis dalam resep.
18

2. Berikan obat-obat yang terpengaruh oleh makanan seperti captopril, diberikan


sebelum makan.
3. Berikan obat-obat, seperti kalium dan aspirin, yang dapat mengiritasi mukosa
lambung, diberikan bersama-sama dengan makanan.
4. Tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadwalkan
untuk pemeriksaan diagnostik, seperti endoskopi, tes darah puasa, yang
merupakan kontraindikasi pemberian obat.
5. Periksa tanggal kadaluarsa. Jika telah melewati tanggalnya, buang atau
kembalikan ke apotik (tergantung peraturan).
6. Antibiotika harus diberikan dalam selang waktu yang sama sepanjang 24 jam
(misalnya setiap 8 jam bila di resep tertulis t.i.d) untuk menjaga kadar
terapeutik dalam darah.

3.2 Asuhan Keperawatan


Pasien anak dengan jenis kelamin perempuan berusia 7 tahun dengan BB 18
kg dibawa ke IGD setelah mengonsumsi tuna saat makan malam dan 5 menit
kemudian muncul bengkak serta bintik-bintik merah di leher, napas menjadi
pendek, dan bengkak di bibir dan lidah. Selama 10 menit, pasien mengalami kram
pada gastrointestinal, gejala penyakit pasien anak tersebut semakin memberat.
Pengasuh pasien menduga didalam tuna terdapat olahan kerang namun dugaan
tersebut tidak terbukti. Pengasuh sempat memberikan anti histamin namun reaksi
alergi yang timbul sangat cepat. Saat tiba di IGD, pasien dibaringkan dan
dipasang monitor lalu 10 menit kemudian pasien merasa tercekik. Pasien
kemudian diberikan 0,2 ml injeksi epinephrine diberikan dengan rute SC pada
lengan atas (0,2 ml dari 1:1.000 [1mg/ml]; dosis pediatric adalah 0,02 mg/kg).
Selang 10 menit kemudian, pasien diberikan 0,2 ml injeksi epinephrine karena
tidak menunjukkan perbaikan kondisi dari injeksi yang pertama. Gejala mulai
membaik setelah injeksi kedua dan dilakukan observasi selama 2 jam sebelum
KRS. Keluarga pasien menanyakan penyebab penyakit yang dihadapi anaknya
serta mengungkapkan kepada perawat bahwa tidak memahami masalah kesehatan
yang diderita anaknya.
3.2.1 Pengkajian
1. Pengkajian
19

Nama (inisial) : An X
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
BB : 18 kg
Dx medis : Anafilaksis
2. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien setelah mengonsumsi tuna saat makan malam dan 5 menit
kemudian muncul bengkak serta bintik-bintik merah di leher, napas
menjadi pendek, dan bengkak di bibir dan lidah. Selama 10 menit,
pasien mengalami kram pada gastrointestinal, gejala penyakit pasien
anak tersebut semakin memberat meskipun sudah diberi antihistamin.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
3. Pengkajian fisik
Inspeksi : muncul bengkak serta bintik-bintik merah di leher, napas
menjadi pendek, dan bengkak di bibir dan lidah.
4. Analisis Data
No. Data Penunjang Etiologi Masalah
1 Data Subjektif: - Alergi Makanan Gangguan
integritas
Data Objektif: Masuk ke tubuh difagositosis kulit/jaringan
Muncul bengkak
serta bintik-bintik Masuk ke kelenjar Th kelenjar limfe
merah di leher,
bengkak di bibir dan Pelepasan sitokinin oleh Sel Th
lidah
Sel beta terangsang membentuk IgE

Sel-sel reseptor (sel mas, basofil,


eosinofil)mengikat IgE

Degranulasi Sel mast mengeluarkan


berbagai mediator kimia

Histamine, Bradikinin, prostagladin


20

Gejala hipersitivitas/alergi

integumen

reaksi alergi

masuk ke pembuluh darah perifer

perubahan sirkulasi

bengkak, kemerahan

2. Data Subjektif: - perubahan sirkulasi Resiko Syok


Data Objektif:
1. Pasien
menderita alergi Pembengkakan di leher, bibir dan lidah,
makanan kemerahan dileher
2. Riwayat
mengalami syok
anafilaktik Hipoksemia
sebelumnya

3. Data Subjektif: Alergi makan Defisit


Keluarga pasien Pengetahuan
mengatakan tidak Reaksi alergi
memahami masalah
kesehatan yang Syok Anafilaksis
diderita anaknya.
Kurang terpapar informasi
Data Objektif:
Keluarga pasien
menanyakan
penyebab penyakit
yang dihadapi
anaknya

3.2.2 Diagnosis
Diagnosis Keperawatan yang ditegakkan yaitu (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2016):

1. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d perubahan sirkulasi d.d kemerahan,


bengkak
2. Resiko syok d.d hipoksemia
21

3. Defisit Pengetahuan d.d kurang terpapar informasi

Intervensi Keperawatan

(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018);(Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019)

No. Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan

1 Gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Perawatan integritas kulit


integritas selama 1 x 24 jam, diharapkan Observasi: Identifikasi
kulit/jaringan b.d integritas kulit dan jaringan meningkat penyebab gangguan
perubahan dengan kriteria hasil: integritas kulit
sirkulasi d.d Integritas kulit dan jaringan: Terapeutik
kemerahan, 1. Elastisitas meningkat 1. Anjurkan minum
bengkak 2. Hidrasi meningkat air yang cukup
3. Perfusi jaringan meningkat 2. Anjurkan
4. Kerusakan jaringan menurun meningkatkan
5. Kerusakan lapisan kulit menurun asupan nutrisi
6. Kemerahan menurun 3. Anjurkan
7. Pigmentasi abnormal meningkatkan
8. Suhu kulit membaik asupan buah dan
9. Sensasi membaik sayur
10. Tekstur membaik 4. Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrim
5. Anjurkn mandi
dan menggunakan
sabun secukupnya
2 Resiko syok d.d 1. Syok prevention 1. Monitor status
hipoksemia 2. Syok management sirkulasi BP, warna
Kriteria hasil: kulit, suhu kulit,
1. Nadi dalam batas yang diharapkan denyut nadi, HR dan
2. Irama jantung dalam batas yang ritme, nadi perifer dan
diharapkan kapiler reffil
3. Frekuensi nafas dalam batas yang 2. Monitor tanda
diharapkan. Irama pernafasan indekuat oksigenasi
dalam batas yang diharapakan jaringan
3. Monitor suhu dan
pernafasan pada
pasien
4. Monitor input dan
output pada pasien
5. Lakukan pemantauan
nilai laboratorium:
HB, HT, AGD dan
elektrolit
22

6. Monitor hemodinamik
invasi yang sesuai
7. Monitor tanda dan
gejala ansietas serta
tanda awal syok
3 Defisit Setelah dilakukan intervensi selama 3 Edukasi Kesehatan
Pengetahuan d.d jam, maka tingkat pengetahuan 1. Identifikasi kesiapan
kurang terpapar meningkat dan kemampuan
informasi Kriteria Hasil: menerima informasi
1. Perilaku sesuai anjuran meningkat 2. Sediakan materi dan
2. Kemampuan menjelaskan media pendidikan
pengetahuan tentang penyakit tentang penyakit
yang di derita meningkat anafilaksis
3. Pertanyaan tentang masalah yang 3. Jadwalkan pendidikan
dihadapi menurun kesehatan sesuai
4. Persepsi yang keliru terhadap kesepakatan
penyakit menurun 4. Berikan kesempatan
untuk bertanya
5. Jelaskan pengertian
penyakit, anafilaksis
penyebab dan cara
pengobatannya

Implementasi

No. Hari/tgl Jam Implementasi Evaluasi


DX
Kep
1 Sabtu, 07.00 1. Perawatan integritas kulit : S:-
13/03/21 Mengobservasi Identifikasi O : Muncul bengkak serta
penyebab gangguan integritas bintik-bintik merah di leher,
07.03 kulit bengkak di bibir dan lidah
2. Terapeutik A : Masalah belum teratasi
1. Menganjurkan minum air P : intervensi dilanjutkan
07.06 yang cukup Terapeutik
2. Menganjurkan 1.Menganjurkan minum air
07.10 meningkatkan asupan nutrisi yang cukup
3. Menganjurkan 2.Menganjurkan meningkatkan
07.12 meningkatkan asupan buah asupan nutrisi
dan sayur 3.Menganjurkan meningkatkan
07.15 4. Menganjurkan menghindari asupan buah dan sayur
terpapar suhu ekstrim 4.Menganjurkan menghindari
5. Menganjurkan mandi dan terpapar suhu ekstrim
menggunakan sabun 5.Menganjurkan mandi dan
secukupnya menggunakan sabun
secukupnya
23

2. Sabtu, 07.16 1. Memonitor status sirkulasi


S:-
13/03/21 BP,warna kulit, suhu kulit, O:
denyut nadi, HR dan ritme, 3. Pasien menderita alergi
nadi perifer dan kapiler reffil makanan
07.17 2. Memonitor tanda indekuat4. Riwayat mengalami syok
oksigenasi jaringan anafilaktik sebelumnya
07.18 3. Memonitor suhu dan A : Masalah belum teratasi
pernafasan pada pasien P:
07.25 4. Memonitor input dan a.monitor status sirkulasi
output pada pasien BP,warna kulit, suhu kulit,
07.27 5. Melakukan pemantauan denyut nadi, HR dan ritme,
nilai labor : HB, HT, AGD dan nadi perifer dan kapiler reffil
07.40 elektrolit b. monitor tanda indekuat
6. Memonitor hemodinamik oksigenasi jaringan
07.50 invasi yang sesuai c.monitor suhu dan pernafasan
7. Memonitor tanda dan pada pasien
gejala ansietas serta tanda awal
d. monitor input dan output
syok pada pasien
e.lakukan pemantauan nilai
labor : HB, HT, AGD dan
elektrolit
f. monitor hemodinamik invasi
yang sesuai
monitor tanda dan gejala
ansietas serta tanda awal syok
3. Sabtu, Edukasi Kesehatan S: Klien mengatakan kurang
13/03/21 mengetahui tentang penyakitnya
08.00 1. Mengidentifikasi kesiapan dan O : Klien bertanya tentang
kemampuan menerima penyebab penyakitnya
informasi A : Masalah teratasi
08.05 P : intervensi dihentikan
2. Menyediakan materi dan
media pendidikan tentang
08.10 anafilaksis

3. Menjadwalkan pendidikan
08.11 kesehatan sesuai kesepakatan

4. Memberikan kesempatan
08.15 untuk bertanya

5. Menjelaskan pengertian
anafilaksis, penyebab dan cara
pengobatannya.

3.2.3 Planning/Implementation
1. Drug administration
24

1) Pemberian antihistamin sejak dini pada pasien yang mengalami


anafilatik merupakan terapi yang dianjurkan namun pada contoh
kasus pemberian terapi yang diawali oleh pengasuh pasien tidak
jelas waktu pemberian jam berapa, jenis obat yang diberika apa,
dan dosisnya berapa.
2) Pemberian obat injeksi epineprin 0,2 ml yang diberikan secara
subcutan pada lengan atas sudah mencukupi dosis yang seharusnya
pada pediatri (0,01 mg/kg dengan sediaan 0,2 ml dari 1:1000
(1mg/1ml). Dengan berat badan 18 kg maka dosisnya sekitar 0,18
ml sekali pemberian. Untuk mendapatkan efek yang lebih
maksimal pemberian obat epineprin sebaiknya dilakukan secara
intramuskuler (IM) pada paha bagian lateral karena memiliki
penyerapan yang lebih baik karena memiliki aliran darah yang
lebih besar dibandingkan dengan kulit atau otot deltoid. Pemberian
terapi secara subcutan (SC) dapat menyebabkan delay absorpsi
karena penurunan aliran darah kulit dan blansing di tempat
suntikan sehingga efek obat yang diharapkan kurang maksimal
serta terjadi vasokonstriksi sebagai efek epinefrin pada kulit bila
diberikan secara subkutan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
pemberian epinephrine melalui intramuskuler (IM) memungkinkan
puncak konsentrasi plasma epineprin lebih cepat dibandingkan
lewat jalur subkutan (SC).
3) Pemberian terapi epineprin 0,2 ml diulang setelah 10 menit karena
tidak menunjukkan perbaikan hal ini mungkin sedikit lebih lama
karena terapi epineprin dapat diberikan setiap 5 menit.
4) Pasien ditempatkan dalam posisi berbaring dan dipasang monitor.
Pasien sebaiknya ditempatkan pada posisi yang dapat
mempertahankan jalan nafas dan diberikan bantuan oksigen sesuai
toleransi karena gangguan pernafasan merupakan salah satu
masalah yang timbul pada anafilatik.
5) Pasien anafilatik berpotensi mengalami syok dimana sirkulasi
perifer mengalami gangguan sehingga pemasangan jalur intravena
25

perlu dipertimbangkan, selain itu bila sudah mengarah ke tanda


tanda syok pasien ditempatkan dalam posisi kaki lebih tinggi dari
kepala (posisi syock).
6) Pemasangan jalur intravena, hal ini dapat dimanfaatkan sebagai
jalur penggantian cairan intravena atau sebagai antisipasi bila
kondisi pasien memburuk dan diperlukan terapi dan tindakan lebih
lanjut.
2. Patient education
1) Keluarga dan pengasuh diajarkan cara mencegah resiko serangan
berulang dengan cara mengidentifikasi dan menghindari faktor-
faktor yang dapat memicu alergi.
2) Pada contoh kasus saat pulang dari IGD dokter memberikan resep
untuk dua dosis epinefrin injeksi otomatis dan edukasi tentang
alergi makanan dan anafilaksis, strategi pencegahan alergen, dan
rencana tindakan darurat, dan pengasuh diinstruksikan untuk
menindaklanjuti alergi anak. Keluarga dan pengasuh sebaiknya
mendapatkan penjelasan yang detail dan secara tertulis mengenai
cara memberikan injeksi epineprin, lokasi pemberian, dan jarak
pemberian yang dianjurkan dari pemberian pertama. Sebanyak 20
% kasus pasien yang menerima dosis efineprin untuk pengobatan
anafilatik akan akan memerlukanm dosis kedua sehingga dokter
memberikan 2 dosis efineprin sebagai antisifasi dalam keadaan
darurat.
3) Deteksi tanda tanda anafilaksis harus cepat agar pengobatan dapat
diberikan dengan cepat dimana menifestasi klinis yang paling
umum adalah urtikaria dan angioedema, kemerahan, sesak nafas,
pusing, singkup, mual/muntah.
4) Keluarga diberikan penjelasan untuk memberikan perhatian khusus
pada 8 jenis makan yang bertanggung jawab sebagai penyebab
alergi pada lebih dari 90 % kasus alergi seperti kacang tanah,
kacang pohon, kerang, ikan, susu sapi, telur, gandum, dan kedelai
(Boyce et al., 2010).
26

5) Keterlambatan atau kegagalan pemberian epineprin dapat


berdampak fatal pada pasien seperti resiko kematian. Keluarga
harus diberikan pemahaman bahwa alergi makanan dapat
menyebabkan kesulitan bernafas sampai menyebabkan henti nafas
pada 86% kasus. Pengasuh dan keluarga harus diberikan
penmahaman bahwa waktu median untuk pernafasan dan henti
jantung untuk reaksi alergi makanan adalah 30 menit. Sehingga
pendekatan perawatan yang agresif harus digunakan dalam situasi
akut karena sulit untuk memastikan apakah pasien beresiko
mengalami reaksi yang fatal atau tidak.
6) Untuk menindaklanjuti alergi pada anak maka pengasuh dan orang
tua dianjurkan melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter
spesialis alergi untuk menindaklanjuti penyebab alergi dan
menentukan terapi yang menjadi pilihan seperti imunoterapi
3. Interventions to promote therapeutic effects
1) Pasien mungkin masih beresiko mengalami episode anafilaksis
sehingga pengasuh dan orang tua dianjurkan untuk bersiap
mengantisipasi kemungkinan kejadian tersebut.
2) Pengasuh dan orang tua harus ditekankan akan pentingnya segera
mencari perawatan medis segera setelah reaksi terjadi atau Ketika
tidak terjadi perbaikan setelah pemberian efineprin.
3) Pengasuh dan orang tua diajarkan dan diminta mempraktekkan
langsung cara penggunaan injeksi efineprin otomatis yang tidak
pakai jarum (placebo) dibawah pengawasan dokter atau perawat.
4) Berikan informasi yang relevan (secara tertulis) mengenai penyakit
dan langkah-langkah yang harus diambil jika terjadi serangan
(rencana tindakan) kepada pengasuh dan orang tua.
5) Pendekatan logis non farmakologis yang dapat mengurangi gejala
seperti aromaterapi untuk mengurang gejala gatal, mual/muntah.
4. Interventions to minimize adverse effect
1) Anjurkan minum menggunakan sedotan untuk mencegah pasien
malas minum sebagai efek dari bengkak di bibir dan lidah.
27

2) Pemberian cairan IV harus dipertimbangkan berdasarkan tingkat


keparahan gejala teruma untuk mencegah pasien kekurangan
cairan.
3) Untuk mengurangi risiko masa depan pada pasien anafilaksis,
pengasuh dan orang tua perlu melakukan konfirmasi dengan tes
alergi untuk memastikan alergen pada anak.
4) Pengasuh dan orang tua perlu dianjurkan untuk mulai mengenalkan
kepada anak jenis makan yang dicurigai sebagai bahan alergen
untuk mencegah anak mencegah anak mengkonsumsi makan
tersebut diluar sepengetahuan pengasuh.
5) Anjurkan pengasuh dan orang tua akan pentingnya mendeteksi
kemungkinan anak menderita rinitis alergi, atopik derma titis, atau
asma yang dapat menjadi pemicu atau pemberat reaksi alergi.

.
28

BAB 4
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Kejadian alergi dapat menyebabkan syok anafilaktik. Penanganan segera


sangat dibutuhkan guna menurunkan resiko kematian. Alergi merupakan
merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun
bekerja secara berlebihan terhadap beberapa bahan alergen misalnya debu, jamur,
tungau, bulu binatang, atau makanan, seperti kacang-kacangan, telur, kerang, ikan
dan susu. Kejadian alergi pada anak-anak dimana kelompok usia ini yang
menanggung beban terbesar dari tren peningkatan yang telah terjadi selama dua
dekade terakhir. Perhatian medis yang tertunda, terutama administrasi epinefrin
yang tertunda, merupakan faktor lain yang terlibat dalam episode fatal. Pemberian
obat dengan tepat sesuai dengan indikasi, benar obat, dosis, rute atau cara
pemberian, dan durasi harus dipahami benar oleh perawat. Implikasi keperawatan
dalam pemberian obat harus dibaca dengan teliti dan mampu diterapkan pada
tatanan klinis.
4.2 Saran
1. Pada kasus analfilaksi terutama pada anak-anak, perawat perlu memahami
clinical pathways atau algoritma dalam penanganan anafilaksis sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam penanganan. Sehingga pembuatan clinical pathways
sangat dianjurkan.
2. Pembuatan SPO terkait pemberian obat untuk kasus alergi atau analfilaksis
karena obat-obat yang digunakan beberapa high alert.
3. Alur komunikasi yang terstruktur antar profesional dengan pihak farmasi dan
dokter untuk memudahakan manajemen penanganan analfilaksis.
DAFTAR PUSTAKA

Davis, C. M., Gupta, R. S., Aktas, O. N., Diaz, V., Kamath, S. D., & Lopata, A. L.
(2020). Clinical management of seafood allergy. The Journal of Allergy and
Clinical Immunology: In Practice, 8(1), 37–44.
Elshemy, A., & Abobakr, M. (2013). Allergic reaction: symptoms, diagnosis,
treatment and management. Journal of Scientific & Innovative Research,
2(1), 123–144.
Gelincik, A., Brockow, K., Çelik, G. E., Doña, I., Mayorga, C., Romano, A.,
Soyer, Ö., Atanaskovic-Markovic, M., Barbaud, A., & Torres, M. J. (2020).
Diagnosis and management of the drug hypersensitivity reactions in
Coronavirus disease 19: An EAACI Position Paper. Allergy: European
Journal of Allergy and Clinical Immunology, 75(11), 2775–2793.
https://doi.org/10.1111/all.14439
Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2010). Seputar Reaksi Hipersensitivitas
(Alergi). Somatognatic (J.K.G Unej ), 7(2), 108–119.
Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2015). Seputar Reaksi Hipersensitivitas
(Alergi). STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran Gigi, 7(2), 108–112.
Lestari, S. (2016). Farmakologi dalam Keperawatan Komprehensif. Kementerian
Keseshatan Republik Indonesia.
Paramartha. (2017). Syok Anafilaktik Oleh Karena Obat. Ilmu Penyakit Dalam
FK Universitas Udayana/Rsup Sanglah.
Sawada, A., Guzman, M., Nikaki, K., Sonmez, S., Yazaki, E., Aziz, Q.,
Woodland, P., Rogers, B., Gyawali, C. P., & Sifrim, D. (2020). Identification
of Different Phenotypes of Esophageal Reflux Hypersensitivity and
Implications for Treatment. Clinical Gastroenterology and Hepatology, May,
1–11. https://doi.org/10.1016/j.cgh.2020.03.063
Simons, F. E. R., Ardusso, L. R. F., Bilò, M. B., El-Gamal, Y. M., Ledford, D. K.,
Ring, J., Sanchez-Borges, M., Senna, G. E., Sheikh, A., & Thong, B. Y.
(2011). World allergy organization guidelines for the assessment and
management of anaphylaxis. World Allergy Organization Journal, 4(2), 13–
37.
Thong, B. Y., & Tan, T. (2011). Epidemiology and risk factors for drug allergy.
British Journal of Clinical Pharmacology, 71(5), 684–700.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Nyeri Akut, 172.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia, 1.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Wagner, C. W. (2013). Anaphylaxis in the Pediatric Patient: Optimizing
Management and Prevention. Journal of Pediatric Health Care, 27(2
SUPPL.), S5. https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2012.12.011
WAO. (2011). World Allergy Organixation (WAO) White Book on Allergy.

29

Anda mungkin juga menyukai