Oleh Kelompok 4:
Boby Sinuraya 132014153013
Yosin Herloheti Pella 132014153021
Lailaturohmah Kurniawati 132014153025
Ali Tazia 132014153036
Made Yuni Martini 132014153041
Handira Nadhifatul Aini 132014153044
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Terapi Farmakologi
Pada Kasus Alergi Serta Peran Perawat Dalam Mengoptimalkan Manajemen Dan
Pencegahan Anafilaksis Pada Pasien Anak”. Makalah ini kami susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi tahun ajaran 2021/2022.
Makalah ini kami susun semaksimal mungkin menggunakan beberapa jurnal
dan kasus yang sebagai tinjauan dan referensi. Kami berharap makalah ini dapat
menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembaca sehingga kedepannya
makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Dengan terselesaikannya makalah ini,
penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Nur Rochmah, dr., Sp.A (K), selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dalam penulisan makalah ini.
2. Kedua orang tua telah memberikan dukungan baik secara materi maupun
doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan berjalan sesuai dengan rencana.
3. Serta semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini selesai
tepat pada waktunya.
Kami sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu semoga
pembaca berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan karya-karya selanjutnya.
Demikian, semoga makalah ini sedikit banyak dapat memudahkan pembaca
untuk menggali informasi. Semoga bermanfaat.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Definisi Alergi...........................................................................................4
2.2 Faktor Risiko.............................................................................................5
2.3 Etiologi......................................................................................................6
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi....................................................................6
2.4.1 Imun dan nonimun reaksi hipersensitivitas terhadap obat.................6
2.4.2 Reaksi cepat hipersensitivitas obat....................................................7
2.4.3 Reaksi lambat hipersensitivitas obat..................................................7
2.4.4 Peran virus dalam pathogenesis reaksi hipersensitivitas obat............8
2.5 Manifestasi Klinis......................................................................................8
2.6 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................9
2.7 Penatalaksanaan Medis............................................................................11
BAB 3 PEMBAHASAN........................................................................................14
3.1 Ketepatan Penggunaan Obat...................................................................14
3.1.1 Ketepatan indikasi............................................................................14
3.1.2 Ketepatan pemilihan obat.................................................................14
3.1.3 Ketepatan dosis dan cara pemberian obat........................................14
3.1.4 Ketepatan durasi penggunaan obat..................................................14
3.2 Asuhan Keperawatan...............................................................................14
3.2.1 Pengkajian........................................................................................14
iii
3.2.2 Diagnosis.............................................................................................15
3.2.3 Planning/Implementation.................................................................18
BAB 4 KESIMPULAN..........................................................................................22
4.1 Kesimpulan..............................................................................................22
4.2 Saran........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
kasus yang dilaporkan berkisar 3,4% hingga 11,1% anak di Asia mengalami
riwayat alergi makanan (Paramartha, 2017).
Meskipun 50 negara bagian mengizinkan layanan medis darurat untuk
membawa epinefrin, hanya dua pertiga negara bagian yang mengharuskan
melakukan intervensi tersebut. Terkait dengan hak dari setiap anak, 49 dari 50
negara bagian sekarang mengizinkan anak untuk membawa obat sendiri jika
mereka harus mengelola sendiri reaksi anafilaksis (Wagner, 2013). Tidak seperti
di negara-negara maju, di Indonesia belum memiliki ketentuan yang jelas
mengenai regulasi penanganan reaksi alergi anafilaksis pada anak yang terjadi
diluar rumah sakit.
Kejadian reaksi alergi pada anak hendaknya mendapat perhatian lebih terkait
dengan laporan terbaru yang menggambarkan peningkatan alergi serius dan reaksi
yang mengancam nyawa. Sehingga, perlu adanya kegiatan dalam bentuk
pemberian informasi kepada peserta mengenai tren alergi serius dan anafilaksis
terkini, pendiskusian rekomendasi dari pedoman klinis yang dirancang untuk
membakukan praktik, dan penanganan kebutuhan medis serta pendidikan pasien
anafilaksis oleh petugas kesehatan kerkait. Hal ini mendorong perlunya praktisi
perawat pediatrik untuk mengevaluasi ulang dan mengasah keterampilan klinis
mereka terkait dengan pengenalan anafilaksis (Wagner, 2013). Berkaitan dengan
masalah ini, kelompok merasa penting untuk membehas menejemen dan
pencegahan alergi maupun anafilaksis pada anak.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami terapi farmakologi pada kasus alergi serta
peran perawat dalam mengoptimalkan manajemen dan pencegahan anafilaksis
pada pasien anak.
3
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah terapi farmakologi
pada kasus alergi serta peran perawat dalam mengoptimalkan manajemen dan
pencegahan anafilaksis pada pasien anak adalah sebagai berikut
1. Mahasiswa mampu memahami tentang konsep dasar terapi farmakologi
pada kasus alergi serta peran perawat dalam mengoptimalkan manajemen
dan pencegahan anafilaksis pada pasien anak, sehingga makalah ini dapat
menjadi penunjang pembelajaran perkuliahan pada mata kuliah
Farmakologi.
2. Mahasiswa mampu memahami terapi modalitas terbaru yang berdasarkan
telaah jurnal, sehingga dapat dilakukan aplikasi pada proses asuhan
keperawatan secara langsung kepada pasien yang mengalami alergi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Alergi
Alergi merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat
luas. Alergi merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika
sistem imun bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak
menimbulkan reaksi pada orang normal (Davis et al., 2020). Bahan penyebab
alergi disebut alergen yaitu misalnya debu, jamur, tungau, bulu binatang, atau
makanan, seperti kacang-kacangan, telur, kerang, ikan dan susu (Gelincik et al.,
2020).
Alergi pada obat biasa disebut reaksi hipersensivitas. Definisi reaksi alergi
(Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi
ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana
sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi
hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga
melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen
dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem
kekebalan. Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi empat tipe
reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II,
III, dan IV (Hikmah & Dewanti, 2010).
4
5
Jumlah reaksi dengan gejala alergi sering keliru dianggap sebagai alergi obat yang
sebenarnya (Davis et al., 2020). Patomekanisme reaksi termasuk;
1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media
radiokontras, dan vankomisin),
2. Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors),
3. Aktivasi komplemen (protamine),
4. Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal
anti- inflammatory drugs) dan,
5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang
menyebabkan bronkospasme (β-bloker, sulfur dioksida).
2.4.2 Reaksi cepat hipersensitivitas obat
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh
spesifik antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan
reseptor Fc RI afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan
ikatan multivalen terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat,
antigen kompleks protein hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi
pelepasan preformed mediators (histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-
α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin, kinin, sitokin
lainnya). Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit, lalu
komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang
dibutuhkan untuk sintesis protein dan pengerahan sel imun.
2.4.3 Reaksi lambat hipersensitivitas obat
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja
limfosit T. Kulit menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang
responsif terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak,
sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid),
dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem imun, dimana dijelaskan dengan
metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar. Penting untuk
diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda klinis
yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut
diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk
menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses pertama antigen obat.
Antigen lalu masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk
8
berkembangnya respon imun yang efektif, sistem imun innate perlu untuk
diaktifkan, menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal
bahaya dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di
nodus limfa, antigen dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa
antigen obat bisa secara langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen,
kemudian menghindari pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik
sel T bermigrasi ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang terhadap
antigen, mereka diaktifkan untuk mensekresi sitokin yang meregulasi respon dan
sitotoksin (perforin, granzim, dan granulisin) yang mengakibatkan kerusakan
jaringan (Gelincik et al., 2020).
2.4.4 Peran virus dalam pathogenesis reaksi hipersensitivitas obat
Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi kulit dan meniru reaksi
hipersensitivitas obat jika obat (kebanyakan antibiotik) yang diminum pada waktu
bersamaan. Walaupun infeksi virus dapat mencetuskan erupsi kulit, infeksi virus
bisa juga berinteraksi dengan obat, mengakibatkan erupsi ringan, misalnya pada
kasus “ampicillin rash” berkaitan dengan infeksi EBV dan reaksi berat selama
drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). Virus pertama
kali menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS yang terinfeksi Human herpes
virus (HHV)-6, tetapi semua HHV dapat terlibat. Beberapa studi menunjukkan
bahwa replikasi HHV-6 bisa menginduksi in vitro dengan amoksisilin (Elshemy
& Abobakr, 2013).
2.5 Manifestasi Klinis
Pada penderita reaksi hipersensitivitas obat, banyak manifestasi klinis yang
dapat terlihat. Klinis yang terlihat, dapat membantu untuk melakukan penegakkan
diagnosis dan melakukan penanganan secara cepat pada penderita. Manifestasi
akut reaksi hipersensitivitas obat biasanya seperti, urtikaria, angioedema, rinitis,
konjungtivitis, bronkospasme, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) atau
anafilaksis, dimana dapat mengakibatkan kolapsnya kardiovaskular. Reaksi
lambat hipersensitivitas obat sering mempengaruhi kulit dengan gejala kutaneus
yang bervariasi, seperti urtikaria yang lambat terjadi, erupsi makulopapular, fixed
drug eruptions (FDE), vaskulitis, penyakit blistering Toxic Epidermal Necrosis
(TEN), Steven Jonhson Syndrome (SJS) dan FDE (bula general), sindrom
hipersensitivitas, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan
9
sesuai dan karenanya hasil tes negatif berguna untuk menyingkirkan alergi
penisilin. Tes kulit negatif terhadap agen lainnya (kecuali protein berat molekul
yang besar) tidak efektif untuk menyingkirkan keberadaan spesifik IgE (Hikmah
& Dewanti, 2010).
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih
diragukan nilainya. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal, antara lain:
1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan
bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan
obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali
penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat yang
mempunyai berat molekul besar (insulin, hormon adrenokortikotropik,
serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin
(kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false
positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbukan hasil positif semu.
Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya
merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama
ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas
pada beberapa macam obat. Pemeriksaan Radio Allergo Sorbent test (RAST)
yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai
antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini
berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin
timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (Gelincik et
al., 2020).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia
hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan
trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan
11
pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya
pun sering tidak memuaskan.
oral dan antihistamin H1. Agen osmolaritas rendah juga bisa digunakan pada
situasi tersebut.
5. Anastesi lokal; Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat
jarang terjadi. Reaksi biasanya karena ada bahan-bahan lain dalam obat, seperti
pengawet atau epinefrin. Namun, jika riwayat reaksi konsisten dengan
kemungkinan segera (reaksi IgE-mediated), tes kulit diikuti tes graded challenge
menggunakan anestesi lokal bebas epinefrin dan pengawet dapat dilakukan.7
6. Anastesi umum; Meskipun jarang, anafilaksis dapat terjadi pada pasien dibwah
pengaruh anastesi umum. Reaksi selama anastesi umum sering dikarenakan agen
yang memblok neuromuscular, tetapi dapat juga dikaitkan dengan anastesi
intravena (propofol, thiopentone, etomidate), antibiotik, NSAIDs, dan alergi
lateks. Penilaian oleh ahli alergi penting untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis
alergi terhadap anastesi umum, mengidentifikasi agen penyebab kemungkinan
serta agen alternatif yang dapat digunakan dengan aman.
7. Reaksi asam asetilsalisilat/NSAIDs; Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat
menyebabkan reaksi alergi yang sebenarnya dan reaksi pseudoalergi, termasuk
eksaserbasi dari penyakit respirasi yang mendasari, urtikaria, angioedema dan
anafilaksis. Pasien dengan penyakit pernafasan kronis, seperti asma, rinitis dan
sinusitis, mungkin bereaksi terhadap asam asetilsalisilat dan NSAIDs yang
menghambat siklooksigenasi-1 (COX-1). Manajemen pasien ini dengan
menghindari aspirin dan NSAIDs dan pengobatan agresif dari penyakit respirasi
yang mendasari. Selektif COX-2 inhibitor hampir tidak pernah menyebabkan
reaksi, dan biasanya dapat digunakan secara aman untuk penderita alergi asam
asetilsalisilat dan NSAIDs. Induksi prosedur toleransi obat aspirin (juga dikenal
sebagai desensitisasi aspirin) juga dapat dipertimbangkan. Pasien dengan urtikaria
kronis atau angioedema umumnya toleran terhadap COX-2 inhibitor, tetapi
mungkin mengalami eksaserbasi urtikaria/angioedema terhadap NSAIDs yang
menghambat COX-1. Reaksi alergi terhadap NSAIDs biasanya spesifik pada obat
tertentu dan pasien yang mengalami reaksi ini seringkali tahan terhadap NSAIDs
lainnya.
14
BAB 3
PEMBAHASAN
alasan mengapa pasien mendapat terapi tersebut dan terakhir lihat label minimal 3
kali (Lestari, 2016).
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja
yang diinginkan. Obat dapat diberikan melalui oral, sublingual, parenteral,
topikal, rektal, inhalasi (Lestari, 2016).
1. Oral
Oral adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai,
karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi
melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN. Beberapa
jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan menyebabkan muntah
(misalnya garam besi dan salisilat). Untuk mencegah hal ini, obat dipersiapkan
dalam bentuk kapsul yang diharapkan tetap utuh dalam suasana asam di
lambung, tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di usus. Dalam
memberikan obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak
boleh dikunyah dan pasien diberitahu untuk tidak minum antasida atau susu
sekurang-kurangnya satu jam setelah minum obat.
2. Parenteral
16
Parnteral kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron
berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus atau tidak melalui saluran cerna.
Obat dapat diberikan melalui intracutan, subcutan, intramusculer dan
intravena. Perawat harus memberikan perhatian pendekatan khusus pada anak-
anak yang akan mendapat terapi injeksi dikarenakan adanya rasa takut.
3. Topikal
Topikal yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya
salep, losion, krim, spray, tetes mata.
4. Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan
mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek
lokal seperti konstipasi (dulcolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak
sadar/kejang (stesolid supp). Pemberian obat melalui rektal memiliki efek
yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat dalam bentuk oral, namun
sayangnya tidak semua obat disediakan dalam bentuk supositoria.
5. Inhalasi
Inhalasi yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna
untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol
(ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat
misalnya terapi oksigen.
Implikasi dalam keperawatan termasuk nilai kemampuan klien untuk
menelan obat sebelum memberikan obat-obat per oral, pergunakan teknik aseptik
sewaktu memberikan obat dan teknik steril dibutuhkan dalam rute parenteral,
berikan obat-obat pada tempat yang sesuai serta tetaplah bersama klien sampai
obat oral telah ditelan.
Obat-obat dengan waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang
waktu yang tertentu. Beberapa obat diberikan sebelum makan dan yang lainnya
diberikan pada saat makan atau bersama makanan. Jika obat harus diminum
sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberikan satu
jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan
bersama susu/produk susu karena kandungan kalsium dalam susu/produk susu
dapat membentuk senyawa kompleks dengan molekul obat sebelum obat tersebut
diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi
yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
Nama (inisial) : An X
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
BB : 18 kg
Dx medis : Anafilaksis
2. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien setelah mengonsumsi tuna saat makan malam dan 5 menit
kemudian muncul bengkak serta bintik-bintik merah di leher, napas
menjadi pendek, dan bengkak di bibir dan lidah. Selama 10 menit,
pasien mengalami kram pada gastrointestinal, gejala penyakit pasien
anak tersebut semakin memberat meskipun sudah diberi antihistamin.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
3. Pengkajian fisik
Inspeksi : muncul bengkak serta bintik-bintik merah di leher, napas
menjadi pendek, dan bengkak di bibir dan lidah.
4. Analisis Data
No. Data Penunjang Etiologi Masalah
1 Data Subjektif: - Alergi Makanan Gangguan
integritas
Data Objektif: Masuk ke tubuh difagositosis kulit/jaringan
Muncul bengkak
serta bintik-bintik Masuk ke kelenjar Th kelenjar limfe
merah di leher,
bengkak di bibir dan Pelepasan sitokinin oleh Sel Th
lidah
Sel beta terangsang membentuk IgE
Gejala hipersitivitas/alergi
integumen
reaksi alergi
perubahan sirkulasi
bengkak, kemerahan
3.2.2 Diagnosis
Diagnosis Keperawatan yang ditegakkan yaitu (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2016):
Intervensi Keperawatan
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018);(Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019)
6. Monitor hemodinamik
invasi yang sesuai
7. Monitor tanda dan
gejala ansietas serta
tanda awal syok
3 Defisit Setelah dilakukan intervensi selama 3 Edukasi Kesehatan
Pengetahuan d.d jam, maka tingkat pengetahuan 1. Identifikasi kesiapan
kurang terpapar meningkat dan kemampuan
informasi Kriteria Hasil: menerima informasi
1. Perilaku sesuai anjuran meningkat 2. Sediakan materi dan
2. Kemampuan menjelaskan media pendidikan
pengetahuan tentang penyakit tentang penyakit
yang di derita meningkat anafilaksis
3. Pertanyaan tentang masalah yang 3. Jadwalkan pendidikan
dihadapi menurun kesehatan sesuai
4. Persepsi yang keliru terhadap kesepakatan
penyakit menurun 4. Berikan kesempatan
untuk bertanya
5. Jelaskan pengertian
penyakit, anafilaksis
penyebab dan cara
pengobatannya
Implementasi
3. Menjadwalkan pendidikan
08.11 kesehatan sesuai kesepakatan
4. Memberikan kesempatan
08.15 untuk bertanya
5. Menjelaskan pengertian
anafilaksis, penyebab dan cara
pengobatannya.
3.2.3 Planning/Implementation
1. Drug administration
24
.
28
BAB 4
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Davis, C. M., Gupta, R. S., Aktas, O. N., Diaz, V., Kamath, S. D., & Lopata, A. L.
(2020). Clinical management of seafood allergy. The Journal of Allergy and
Clinical Immunology: In Practice, 8(1), 37–44.
Elshemy, A., & Abobakr, M. (2013). Allergic reaction: symptoms, diagnosis,
treatment and management. Journal of Scientific & Innovative Research,
2(1), 123–144.
Gelincik, A., Brockow, K., Çelik, G. E., Doña, I., Mayorga, C., Romano, A.,
Soyer, Ö., Atanaskovic-Markovic, M., Barbaud, A., & Torres, M. J. (2020).
Diagnosis and management of the drug hypersensitivity reactions in
Coronavirus disease 19: An EAACI Position Paper. Allergy: European
Journal of Allergy and Clinical Immunology, 75(11), 2775–2793.
https://doi.org/10.1111/all.14439
Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2010). Seputar Reaksi Hipersensitivitas
(Alergi). Somatognatic (J.K.G Unej ), 7(2), 108–119.
Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2015). Seputar Reaksi Hipersensitivitas
(Alergi). STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran Gigi, 7(2), 108–112.
Lestari, S. (2016). Farmakologi dalam Keperawatan Komprehensif. Kementerian
Keseshatan Republik Indonesia.
Paramartha. (2017). Syok Anafilaktik Oleh Karena Obat. Ilmu Penyakit Dalam
FK Universitas Udayana/Rsup Sanglah.
Sawada, A., Guzman, M., Nikaki, K., Sonmez, S., Yazaki, E., Aziz, Q.,
Woodland, P., Rogers, B., Gyawali, C. P., & Sifrim, D. (2020). Identification
of Different Phenotypes of Esophageal Reflux Hypersensitivity and
Implications for Treatment. Clinical Gastroenterology and Hepatology, May,
1–11. https://doi.org/10.1016/j.cgh.2020.03.063
Simons, F. E. R., Ardusso, L. R. F., Bilò, M. B., El-Gamal, Y. M., Ledford, D. K.,
Ring, J., Sanchez-Borges, M., Senna, G. E., Sheikh, A., & Thong, B. Y.
(2011). World allergy organization guidelines for the assessment and
management of anaphylaxis. World Allergy Organization Journal, 4(2), 13–
37.
Thong, B. Y., & Tan, T. (2011). Epidemiology and risk factors for drug allergy.
British Journal of Clinical Pharmacology, 71(5), 684–700.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Nyeri Akut, 172.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia, 1.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Wagner, C. W. (2013). Anaphylaxis in the Pediatric Patient: Optimizing
Management and Prevention. Journal of Pediatric Health Care, 27(2
SUPPL.), S5. https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2012.12.011
WAO. (2011). World Allergy Organixation (WAO) White Book on Allergy.
29