Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PATOLOGI SISTEMIK

BOVINE VIRAL DISEASE (BVD)

Disusun oleh :
1. Windi Nurhidayah 061711133061
2. Dinda Ayu Maharani 061711133079
3. Mutia Nur Fitriani 061711133254
4. Dinda Distika Fajriyah 061711133255
5. Pinky Dwi Putri 061711133256
6. Muhammad Fahmi Abdillah 061711133257
7. Laelatul Fauziah 061711133258
8. Tasya Nadia 061711133259
9. Siti Iqmallisa Nurrill Asrar 061711133260
10. Ahmad Nasir Fachrudin 061711133261
11. Doni Ilham Aditya Ginanjar 061711133262
12. Roisyah Nur Arifah 061711133263
13. Nabilah Rahmawati 061711133264
14. Mohamad Safri Sauqi 061711133265

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA

2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hayuyah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
patologi sistemik dengan judul Bovine Viral Disease (BVD)

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir
kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Bovine Viral Disease (BVD) ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca, sekian.

Surabaya, November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. 1


KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2
DAFTAR ISI.................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
1.3 Tujuan.............................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 5
2.1 Etiologi ............................................................................................................ 5
2.2 Epidiomologi ................................................................................................... 6
2.3 Wabah yang pernah terjadi di Indonesia ......................................................... 7
BAB III ISI .................................................................................................................... 9
3.1 Gejala Klinis .................................................................................................... 9
3.2 Patogenesis ...................................................................................................... 9
3.3 Cara Penularan .............................................................................................. 10
3.3.1 Agen penyebab....................................................................................... 10
3.3.2 Cara penularan ....................................................................................... 10
3.4 Diagnosa Banding ......................................................................................... 11
3.5 Perubahan patologis ...................................................................................... 12
3.6 Pengobatan dan Pencegahan ......................................................................... 14
BAB IV Penutup .......................................................................................................... 17
4.1 Kesimpulan.................................................................................................... 17
4.2 Saran .............................................................................................................. 17
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 18

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi merupakan mayoritas hewan yang diternakan di Indonesia,tetapi karena
semakin tahun kebutuhan daging sapi makin meningkat dan populasi sapi potong
di Indonesia tidak bisa mengikuti hal tersebut, pemerintah memustuskan untuk
melakukan impor kebutuhan daging sapi dari luar negeri.Kebutuhan daging sapi
dan kerbau Indonesia pada tahun 2012 untuk konsumsi sebanyak 484 ribu ton.
Kebutuhan tersebut baru bisa dicukupi dari pemotongan sapi lokal sebanyak 399
ribu ton (82,5%), sehingga masih terdapat kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu
ton (17,5%). Salah satu cara untuk memenuhi kekurangan tersebut adalah dengan
melakukan impor sapi potong dari Australia (Ditjen PKH 2012). Dalam
melaksanakan impor sapi potong, adanya penyakit pada ternak dapat menjadi
ancaman. Salah satu ancaman penyakit hewan yang dapat menghambat
pertumbuhan populasi dan produktivitas ternak sapi yaitu bovine viral diarrhea
(BVD). Menurut office International des epizooties (OIE) BVD merupakan
penyakit yang berpotensi membahayakan perdagangan internasional
Penyakit bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit menular pada sapi
yang disebabkan oleh virus. Virus ini mudah ditransmisikan diantara sapi dan telah
menyebar luas ke seluruh dunia. Virus BVD dapat menular secara horizontal
maupun secara vertikal (Middleton, 2006). Penyakit BVD telah bersifat endemik
di Indonesia dengan tingkat prevalensi reaktor yang bervariasi dan di beberapa
daerah cukup tinggi. Penyakit BVD di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun
1988 dan menyerang sapi Bali, Brahman, Brahman Cross, Peranakan Ongole
(PO) jantan maupun betina dari semua umur. Virus BVD memiliki morbiditas yang
tinggi tetapi mortalitasnya sangat rendah. Pada tahun 2006 dilaporkan terjadi kasus
BVD sebesar 1190 di Indonesia. Sudarisman (2011) menjelaskan bahwa dalam uji
serologis ELISA terhadap serum serum sapi di berbagai daerah di Indonesia
diketahui sebesar 37% sapi memiliki antibodi terhadap BVD. Secara horisontal
dapat melalui sapi yang mengalami infeksi persisten sehingga menginfeksi sapi
lain yang sehat. Secara vertikal, virus BVD dapat menular dari induk ke anaknya.
Fetus yang tertular akan mengalami abortus dan pedet yang dilahirkan akan
membawa virus secara persisten (Sudarisman, 2011).
Kasus diare ganas terjadi juga pada Balai Inseminasi Buatan dan sapi
pembibitan di Indonesia. Kejadian diare ganas oleh virus BVD ada di beberapa
daerah di Indonesia antara lain Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
( Darmadi, 1989).
Wiyono et al (1989) menyatakan dalam pengamatannya ada 70 ekor sapi mati
di Kecamatan Mensiku Jaya, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Sedangkan
dari Kecamatan Batang Tarang ada 22 ekor mati. Keseluruhan sapi bibit tersebut
dari Sulawesi Selatan dan yang mati di karantina ada 70 ekor dengan total kematian

4
dari Sulawesi Selatan sebanyak 162 ekor (19,4%). Gejala yang diamati adalah
demam, diare, erosi pada selaput lendir saluran pencernaan, opasitas kornea, dan
infeksi sekunder. Dari 15 ekor sapi yang sakit, diamati nafsu makan yang menurun,
lemah dan lesu, dan kelainan pada mata berupa konjungtivitis, keratitis, opasitas
kornea, dan hiperlakrimasi. Sedangkan gejala pada saluran pencernaan adalah lesi
ringan atau erosi pada selaput lendir lidah dan mencret.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa etiologi virus BVD ?
2. Apa saja gejala klinis dari penyakit BVD?
3. Apa diagnosa banding dari penyakit - penyakit BVD like diseases ?
4. Bagaimana pengobatan dan pencegahan dari Penyakit BVD ?

1.3 Tujuan
1. Pembaca dapat mengetahui etiologi virus BVD
2. Pembaca dapat mengetahui dan memahami gejala klinis dari penyakit BVD
3. Pembaca dapat mengetahui diagnosa banding dari penyakit - penyakit BVD
like diseases
4. Pembaca dapat mengetahui dan memahami pengobatan dan pencegahan dari
Penyakit BVD

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang mempunyai
dampak sosial dan ekonomi cukup besar. Penyakit ini mulai dari subklinis sampai
Kondisi fatal yang disebut mucosal disease. Kondisi akut menimbulkan gejala diare,
pneumonia dan mortalitas tinggi. Infeksi secara transplasenta menyebabkan
aborsi, stillbirths, efek teratogenik atau infeksi persisten pada pedet baru lahir.
Bovine Viral Diarrhea (BVD) atau Diare Ganas Sapi (DGS) adalah penyakit
hewan menular yang akut dan sering berakibat fatal, disebabkan oleh virus dari genus
Pestivirus dari famili Togaviridae (Dharma dan Putra, 1997). Letupan wabah diare
ganas pada sapi dimulai pada pertengahan tahun 1988, di Bali yang menyerang sapi
segala umur, jantan dan betina dengan gejala klinis lemah, kurang nafsu makan, demam,
diare profus, lesi dan erosi pangkal lidah dan dehidrasi. Morbiditas 60% dan
mortalitasnya 1 – 2%. Kemudian wabah diare ganas pada sapi bali dilaporkan setelah
sapi bali yang baru didatangkan dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan Barat, pada akhir
Oktober 1989. Kematian yang terjadi selama pengiriman dan setelah dibagikan ke
petani mencapai 19,4%. Virus BVD bersifat teratogenik pada fetus dalam kandungan.
Ada dua spesies berbeda dari virus BVD yang telah ditemukan berdasarkan

5
genotipenya : BVDV-1 dan BVDV-2. BVDV-1 terdistribusi diseluruh dunia dan
memiliki beberapa sub tipe (BVDV-1a, BVDV-1b dan 2a).

2.2 Epidiomologi
Virus BVD telah menyebar ke seluruh dunia. Penularan, prevalensi antibodi
yang tinggi, dan frekuensi kejadian subklinis atau infeksi yang sulit didiagnosis
menghasilkan tingginya prevalensi antibodi terhadap BVD. Masa inkubasi yang tidak
menentu dan adanya infeksi persisten yang kronis menambah kompleksnya kejadian
penyakit (Kahrs, 1981). Di Indonesia prevalensi penyakit pada sapi potong maupun
pada sapi perah seperti pada Tabel 1, menunjukkan prevalensi yang tidak kecil.

Demikian pula pada Balai Inseminasi Buatan dan sapi pembibitan di Indonesia,
kejadiannya cukup memprihatinkan. Hal ini perlu sekali tindakan penanganan yang
serius dan komprehensif. Kejadian ini didukung oleh adanya kasus/wabah pada tahun-
tahun yang lalu seperti dilaporkan oleh Wiyono et al. (1989); Siregar (1989) dan
Darmadi (1989) yang menunjukkan bahwa kasus diare ganas disebabkan oleh virus
BVD. Kejadiannya ada di beberapa daerah di dengan di dunia (Niskanen et al., 1991;
Houe, 1999; Paton et al., 1998).

Virus BVD dapat menggandakan diri pada babi (Carbrey et al., 1976) dan domba.
Antibodi BVD dapat ditemui juga pada rusa serta ruminansia liar lainnya. Tetapi induk

6
semang ini mungkin tidak tinggi peranannya dalam penularan ataupun
mempertahankan virus di alam. Kontak antar sapi akan dapat menjelaskan penularan
yang terjadi. Penularan dapat dibawa antar peternakan oleh petugas yang secara
langsung kontak dengan sapi yang terinfeksi. Sapi yang terinfeksi umumnya sapi muda
(umur antara 4 hingga 24 bulan) yang merupakan gambaran adanya kepekaan dalam
umur (Malmquist, 1968). Tidak terlihat adanya peran jenis kelamin ataupun bangsa sapi
(Kahrs, 1981). Infeksi menyebar secara cepat antar sapi yang peka, yaitu yang berumur
muda, tetapi munculnya gejala klinis sangat berbeda bila ditinjau dari masa inkubasi
penyakit dan intervalnya sangat beragam antara infeksi pada masa kebuntingan, ketika
terjadi abortus ataupun anomali pada sapi saat kelahiran (kahrs, 1981).

2.3 Wabah yang pernah terjadi di Indonesia


Virus BVD telah menyebar ke seluruh dunia. Penularan, prevalensi antibodi yang
tinggi, dan frekuensi kejadian subklinis atau infeksi yang sulit didiagnosis
menghasilkan tingginya prevalensi antibodi terhadap BVD. Masa inkubasi yang tidak
menentu dan adanya infeksi persisten yang kronis menambah kompleksnya kejadian
penyakit (Kahrs, 1981). Demikian pula pada Balai Inseminasi Buatan dan sapi
pembibitan di Indonesia, kejadiannya cukup memprihatinkan. Hal ini perlu sekali
tindakan penanganan yang serius dan komprehensif. Kejadian ini didukung oleh adanya
kasus/wabah pada tahun- tahun yang lalu seperti dilaporkan oleh Wiyono et al. (1989);
Siregar (1989) dan Darmadi (1989) yang menunjukkan bahwa kasus diare ganas
disebabkan oleh virus BVD. Kejadiannya ada di beberapa daerah di Indonesia antara
lain Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Darmadi, 1989) dengan gejala berupa diare
dan dikenal dengan diare ganas. Wiyono et al. (1989) menyatakan dalam
pengamatannya ada 70 ekor sapi mati di Kecamatan Mensiku Jaya, Kabupaten Sintang,
Kalimantan Barat. Sedangkan dari Kecamatan Batang Tarang ada 22 ekor mati.
Keseluruhan sapi bibit tersebut berasal dari Sulawesi Selatan dan yang mati di karantina
ada 70 ekor dengan total kematian dari Sulawesi Selatan sebanyak 162 ekor (19,4%).
Gejala yang diamati adalah demam, diare, erosi pada selaput lendir saluran pencernaan,
opasitas kornea dan infeksi sekunder. Dari 15 ekor sapi yang sakit, diamati nafsu makan
yang menurun, lemah dan lesu, dan kelainan pada mata berupa konjungtifitis, keratitis,
opasitas kornea dan hiperlakrimasi. Sedangkan gejala pada saluran pencernaan adalah
lesi ringan atau erosi pada selaput lendir lidah dan mencret. Keseluruhan sapi bibit yang
didatangkan dari Sulawesi Selatan tersebut ternyata secara serologik positif terhadap
antigen Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Berarti kemungkinan sapi-sapi ini
terinfeksi oleh virus BVD dan IBR. Kontak antar sapi mungkin dapat menerangkan
paling banyak tentang penularan penyakit ini. Hal ini dapat juga terjadi antar farm
melalui peternak yang langsung kontak dengan sapi yang terinfeksi kepada sapi lainnya
(Kahrs, 1981). Kejadian kasus klinis diantara sapi muda (umur antara 4 dan 24 bulan)
mungkin merupakan refleksi banyaknya infeksi dan ditandai dengan adanya antibodi
yang terkandung dalam kolostrum ataupun kepekaan diantara umur sapi (kahrs, 1981;
Malmquis, 1968). Tidak terlihat distribusi yang aneh pada infeksi virus BVD ataupun
manifestasi klinis antar breed ataupun perbedaan kelamin (Kahrs, 1981). Infeksi terjadi

7
sangat cepat antar sapi yang peka melalui kontak langsung, tetapi tanda klinis yang
terlihat bertolak belakang dengan masa inkubasi yang tidak teratur dan interval yang
bervariasi antara infeksi maternal dan abortus ataupun anak sapi yang tidak normal
(Kahrs, 1981).Penularan BVD terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang
terinfeksi persisten (karier). Cara infeksi dapat melalui inhalasi, atau ditelan lewat
mulut dari air ludah yang terinfeksi, cairan mata ataupun hidung, ataupun melalui feses
atau urine yang terinfeksi (Stober, 1984; Duffel dan Harkness, 1985; Baker, 1987).
Gambaran penyakit secara klinis bervariasi tergantung kepada virus BVD yang
menginfeksi. Keadaan ini terjadi mungkin sama pada tiap peternakan atau terjadi hanya
sebagian saja yang terlihat. Ragam kejadiannya dimulai dari infeksi non klinis yang
tidak terlihat atau kejadian demam yang ringan (sering disangka sebagai gangguan
respirasi) hingga kepada kejadian yang akut dan fatal. Infeksi kronis dapat juga terjadi.
Kehilangan berat badan sering terjadi sporadik dan tanda klinis sering terlihat kurang
dari 1% hewan yang terinfeksi. Walaupun demikian, bila keseluruhan ternak yang peka
terinfeksi, mortalitas dan morbiditasnya dapat saja tinggi. Pada usaha penggemukan
ternak, infeksi subklinis merupakan predisposisi terhadap kejadian pasteurellosis paru-
paru. Pada peternakan penghasil anak dan peternakan sapi perah, abortus dan anomali
konjenital merupakan dampak yang terasa secara ekonomis (Kahrs, 1981). Disamping
itu beberapa laporan menyatakan adanya infeksi oleh virus BVD sehubungan dengan
kejadian repeat breeding, fetal mummification, dan congenital defect (Baker, 1987;
Perdizet et al., 1987; Radostitis dan Littlejohns, 1988). Semen yang dihasilkan dari
pejantan yang infeksi persisten berisi virus dan menularkan infeksi melalui kawin alam
ataupun melalui inseminasi buatan (Coria dan Mcclukrin, 1978; Mcclukrin et al., 1979;
Sheffy et al., 1980; Bolin et al., 1987).

8
BAB III

ISI

3.1 Gejala Klinis


Gejala klinis diare yang disebabkan fator fisiologis adalah tubuh masih terlihat
sehat (tidak lesu), sapiu masih mau makan, feses lembek sampai cair tanpa disertai
perubahan seperti bau, lender atau bercak darah. Untuk gejala klinis diare yang
disebabkan oleh virus BVD sendiri akan ada kenaikan suhu pada hewan, produksi
menurun, hewan tampak lesu serta nafsu makan yang turun. Diare terjadi terus menerus
dan berair atau encer, berisi mucous dan disertai bercak darah. Mata dan hidung nampak
keluar eksudat atau lendir. Gejala klinis lain yang nampak yaitu masa inkubasi 1-3
minggu, demam tinggi mencapai 41°C, hewan tampak depresi, adanya erosi pada
selaput lendir hidung, lidah, bibir, gusi, bagian belakang maxilla, pada kasus yang akut
selaput mulut tertutup oleh jaringan nekrosa, Hipersalivasi, cermin hidung kering
terbentuk kerak, keluar leleran dari lubang hidung, mula-mula encer berubah menjadi
mukopurulen, gerakan rumen akan lemah atau hilang sama sekali, dan bagi penderita
yang bunting akan mengalami keguguran.
Pada Sapi Tidak Bunting Inkubasi 3 – 5 hari Sedikit demam, napsu makan turun.
Tukak mulut dan diare sementara. Pada sapi bunting menular dari induk ke anak. Bila
infeksi pada kebuntingan kurang dari 100 hari. janin tidak dapat membentuk reaksi
kebal dan tidak ada pembentukan antibodi pedet lahir membawa virus secara abadi .
Bila infeksi pada kebuntingan 100 - 150 hari abnormalitas congenital. Kematian dapat
terjadi pada setiap tahapan kebuntingan, pada kebuntingan awal terjadi mumi atau
membusuk, virus tidak dapat diisolasi. Pedet yang lahir selamat dan tetap terinfeksi
akan mati dalam waktu 2 tahun, bila hidup akan melahirkan pedet yang terinfeksi abadi
kelainan congenital otak, hipoplasi otak kecil, sempoyongan (tidak mempunyai
keseimbangan tubuh apabila berdiri).

3.2 Patogenesis
Bangkai penderita tampak kurus, dehidrasi, di daerah sekitar anus kotor dan mata
cekung. Lesi ditemukan terutama pada alat pencernaan berupa erosi, bercak-bercak atau
tukak yang jelas terbatas dengan tepi yang tidak teratur Manual Penyakit Hewan
Mamalia 15 dengan diameter 1-5 µm. Lesi tersebut terdapat pada moncong, hidung,
pipi bagian dalam, gusi, langit-langit bagian lateral dari lidah, rongga tekak,
kerongkongan, abomasum dan usus halus. Erosi dalam selaput lendir mulut paling jelas
pada langit-langit keras dan gusi sekitar gigi. Lesi yang khas terdapat pada
kerongkongan berupa erosi yang jelas berbatas tersusun berderet -deret dengan dasar
yang berwarna merah. Abomasum mengalami pendarahan, edema dan nekrosis. Pada
usus halus ulser ditemukan pada selaput lendir peyer patches. Ulser dapat meluas ke
jaringan limfoid, sehingga menyebabkan pendarahan ke dalam rongga usus. Perdarahan
dapat terjadi pula pada abomasum. Perdarahan kadangkadang dijumpai pada jaringan
bawah kulit, selaput vagina dan epikardium. Kelenjar limfe pada usus biasanya normal

9
atau sedikit udematus, sedang kelenjar limfe servikal retrofaringeal membesar. Secara
histopatologik tampak perubahan yang mendasar berupa degenerasi sel. Di tempat yang
mempunyai epitel berlapis, sel yang dekat dengan lapisan basal mengalami degenerasi
hidropik, membengkak dan akhirnya nekrotik yang jika lepas timbul erosi. Pada
abomasum tampak kelenjar lambung mengalami atropi dan membentuk kista. Pada
Iamina propia dan submukosa biasanya terjadi edema, pembendungan atau pendarahan,
serta infi ltrasi leukosit. Pada usus halus perubahan yang nyata terjadi pada peyer
petches dengan epitel yang nekrotik sedangkan kelenjar menjadi cystic. Jaringan
limfoid mengalami nekrosis terutama pada germinal center, populasi limfosit berkurang
secara menyolok dan dapat pula terjadi pendarahan. Pembuluh darah yang mengalami
perubahan dapat dijumpai pada media arteriole di submukosa alat pencernaan dan yang
sering menonjol pembuluh darah pada germinal center. Perubahan seperti pada usus
halus dapat pula dijumpai pada selaput lendir kolon, sekum, dan rektum yang bervariasi
dari radang kataral sampai radang nekrotik.

3.3 Cara Penularan


3.5.1 Agen penyebab
Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
BVD dari genus Pestivirus dan famili Flaviviridae. BVD dapat menginfeksi sapi,
domba serta spesies lainnya dari Artiodactyla . Virus ini merupakan RNA virus
kecil yang memiliki amplop dan diklasifikasikan sebagai Pestivirus bersama
dengan border disease virus, yang juga menginfeksi biri-biri serta classical swine
fever (hog cholera). Terdapat dua spesies berbeda dari virus BVD yang telah
ditemukan berdasarkan genotipenya yaitu: BVDV-1 dan BVDV-2. BVDV-1
terdistribusi diseluruh dunia dan memiliki beberapa subtipe (BVDV-1a, BVDV-1b
dan 2a). BVDV-2 telah dilaporkan ditemukan di Eropa, walaupun sangat jarang
ditemukan diluar Amerika Utara. BVDV-1 cenderung tidak menimbulkan penyakit
yang parah, sedangkan BVDV-2 dapat menyebabkan wabah penyakit yang lebih
parah dan menyebabkan diare haemorrhagic akut serta mengakibatkan kematian.

3.5.2 Cara penularan


Cara penularan penyakit ini melalui kontak langsung dengan sapi yang
terinfeksi. Hewan dengan infeksi akut biasanya merupakan sumber infeksi dari
virus BVD, sedangkan hewan yang terinfeksi persisten (karier) dapat menularkan
jutaan virus setiap hari sehingga merupakan sumber konstan dari penularan virus
BVD. Cara infeksi dapat melalui inhalasi, tertelan lewat mulut dari saliva hewan
yang terinfeksi, cairan mata ataupun hidung, serta dapat juga melalui feses atau
urine hewan yang terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak dengan
fetus yang abortus dan melalui udara dari droplet yang mengandung partikel virus
yang tersebar di udara.

10
3.4 Diagnosa Banding
BVD secara klinis bisa dikelirukan dengan malignant catharal fever (MCF).
MCF merupakan penyakit yang sporadik, demam yang lama, disertai radang mata dan
radang saluran pencernaan.Sering pula dikelirukan dengan infectious bovine
rhinotrachetis (IBR), tetapi di sini perubahan terutama pada saluran pernafasan tanpa
erosi pada mulut, esofagus dan usus, sedangkan pada rinderpest penyakit berlangsung
lebih hebat dan cepat meluas dengan mortalitas yang tinggi. Penyakit lain yang perlu
dipertimbangkan dalam diagnosa adalah penyakit jembrana pada sapi bali.Malignant
Catarrhal Fever (MCF) adalah suatu penyakit yang umumnya fatal pada hewan
ruminansia seperti sapi, banteng, kerbau dan rusa dan banyak spesies lainnya dari
Artiodactyla yang terjadi karena infeksi alcelaphine herpesvirus-1 (AIHV-1) or ovine
herpesvirus-2 (OvHV-2). MCF juga dikenal sebagai Malignant catarrh, Malignant
Head Catarrh, Gangrenous Coryza, Catarrhal Fever, dan Snotsiekte. Di Afrika Selatan
dikenal sebagai snotting sickness. Di Indonesia MCF juga disebut sebagai Bovine
Epimeral Fever dan penyakit ini merupakan penyakit yang umum menyerang sapi di
Indonesia. Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis ) adalah penyakit hewan
yang bersifat menular dan mengganggu sistem reproduksi ternak. Terganggunya sistem
reproduksi ternak akibat infeksi penyakit menular sangat merugikan karena dapat
mengakibatkan keguguran, penurunan fertilitas, bahkan kemajiran ternak. IBR
merupakan penyakit yang sangat infeksius disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1
(BHV-1). Gejala klinis akibat penyakit ini seperti infeksi pustular vulvovaginithis pada
sapi betina atau balanoposthitis pada sapi jantan, konjungtivitis, ensefalitis dan gejala
sistemik lainnya seperti demam dan kelesuan (Straub, 1990). Infeksi pada sapi betina
dewasa dapat menyebabkan penurunan produksi susu, menurunnya tingkat fertilitas,
dan keguguran. Penyakit jembrana merupakan penyakit menular akut pada sapi Bali
yang disebabkan oleh Retrovirus, keluarga lentivirinae yang termasuk dalam famili
retroviridae, ditandai dengan berbagai gejala seperti depresi, anoreksia, demam,
perdarahan ekstensif di bawah kulit, dan kebengkakan kelenjar limfe, terutama
limfoglandula prefemoralis dan preskapularis serta adanya diare berdarah, ditemukan
juga pada banyak kasus penyakit yang disertai perdarahan kulit, sehingga penyakit ini
juga disebut sebagai penyakit keringat darah

11
3.5 Perubahan patologis
3.5.1 Makroskopis

12
3.5.2 Mikroskopis

13
3.6 Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan yang dapat dilakukan hanya bersifat supportif saja karena penyakit
ini disebabkan oleh virus. Pencegahan dan pengendalian merupakan hal penting yang
harus dilaksanakan. Pengendalian BVDV saat ini harus menggabungkan kombinasi
dari biosekuriti, pengujian dan pemusnahan hewan PI serta vaksinasi. Penggunaan
vaksin inaktif, biasanya mengharuskan vaksinasi ulang (booster). Hal ini yang kurang
disukai. Teknologi inaktivasi gen merupakan strategi yang memiliki prospek untuk
penanggulangan penyakit penyakit infeksi yang belum dapat diatasi dengan
menggunakan vaksin, antiviral, maupun antibodi. Beberapa teknologi inaktivasi gen,
yang meliputi ASO, RNAi, dan ss-siRNA dapat digunakan untuk penanggulangan
beberapa penyakit. Teknologi tersebut memiliki kelebihan, seperti mudah dimodifikasi
mengikuti mutasi patogen, mudah dan cepat disintesis, murah, serta lebih efektif karena
langsung pada sasaran menghambat ekspresi gen patogen. Namun adanya variasi
efektivitas antara penggunaannya secara in vitro dan aplikasinya secara in vivo
merupakan kelemahan yang sedang dikaji pemecahannya. Penggunaan teknologi
tersebut diharapkan akan memberikan pilihan baru yang lebih efektif untuk
pemberantasan penyakit penyakit infeksi pada ternak (Ali ,2014). Pengobatan atas
penderita terutama hanya ditujukan untuk mengatasi kehilangan cairan dan elektrolit,
baik diberikan secara oral maupun parenteral. Pemberian antibiotika dianjurkan untuk
melawan infeksi sekunder. Tindakan pencegahan atau pengendalian adalah ternak yang
sakit harus diisolasi dan jaga kebersihan kandang dan lingkungan sekitarnya.
Sedangkan, untuk pemeriksaan laboratorium yaitu Untuk isolasi virus dapat dikirim
potongan usus, swab tinja dalam medium transpor, dan darah dalam antikoagulan dan
untuk uji serologi dapat dikirim serum (paired sera).
Pencegahan,pengawasan dan pemberantasan dibeberapa negara Eropa secara
nasional dan regional pada penyakit BVD. Kebanyakan dari negara-negara tersebut
menggunakan vaksin untuk pencegahan penyakit BVD tanpa adanya program yang
disosialisasikan secara nasional, karena program vaksinasi tidak berlaku secara
nasional. Di Jerman, vaksin digunakan di negara bagian yang prevalensi penyakit BVD-
nya tinggi (Houe et al., 2006). Strategi uji diagnosis sangat penting untuk pengawasan
dan pemberantasan penyakit BVD. Di Amerika Serikat program vaksinasi BVD
dianjurkan secara teratur, (Hartwitg dan Hauptmeier 1995) menganjurkan agar pada
sapi potong dan sapi perah dilakukan program vaksinasi mulai dari umur anak hingga
umur dewasa dengan program yang teratur.Pada sapi potong dimulai vaksinasi pada 14
hingga 21 hari sebelum disapih. Untuk sapi dewasa vaksinasi booster dilakukan pada
sapi bunting dalam rangka pengujian terhadap kemungkinan terjadinya persistent
infection pada sapi-sapi tersebut. Pada pejantan vaksinasi dilakukan tiap tahun. Pada
sapi perah program vaksinasi dilakukan mulai umur 5 – 6 bulan. Sebelum masa kawin
dilakukan vaksinasi ulang. Pada masa kering kandang juga dilakukan vaksinasi ulang.
Untuk sapi yang baru datang, vaksinasi dilakukan selama waktu 24 jam hewan itu tiba.
Vaksinasi pada sapi baru dilakukan dengan vaksin hidup atau vaksin mati, tergantung
pada kondisi sapi tersebut. Vaksin mati, biasanya diulang dalam waktu 2 – 3 minggu.
Pada kondisi peternakan yang normal, untuk menjaga ternak yang dilepas di padang
rumput terbuka, sangat tidak mungkin untuk mencegah terjadinya infeksi oleh virus

14
BVD. Oleh sebab itu, metode pencegahan umumnya adalah didasarkan pada program
vaksinasi dengan vaksin yang tepat. Vaksin inaktif seperti yang diamati oleh
(Mcclukrin et al.1975) secara komersil tidak ada. Penggunaan yang praktis dan
ekonomis masih belum ada teknologinya untuk mendapatkan produsen yang mampu
menyediakan dosis cukup yang dibutuhkan sapi. Vaksin inaktif sangat aman digunakan
pada sapi bunting dan pada kondisi apapun, karena penggunaan vaksin modified live
vaccine (MLV/vaksin hidup) masih bersifat kontra indikasi sampai saat ini. Akan tetapi
vaksin inaktif membutuhkan pemberian yang berulang (Kahrs, 1981). Vaksin MLV
untuk mencegah infeksi virus BVD pertama kali diperkenalkan pada tahun 1950-an.
Vaksin ini secara komersial dapat ditemui di pasaran yang menggunakan beberapa
galur virus BVD yang diproduksi pada beberapa sistem biakan sel. Seluruh vaksin
MLV diberikan secara intra-muskular. Walaupun ada aspek kontroversialnya, vaksin
MLV yang ada banyak digunakan secara tunggal ataupun kombinasi dengan vaksin
MLV-IBR dan vaksin PI-3 (Kahrs, 1981). Vaksinasi disebut berhasil, jika sapi yang
divaksin kemudian terinfeksi oleh virus dari vaksin dan berpengaruh pada produksi
antibodi humoral, yang merupakan indikator dari resistensi terhadap infeksi. Dalam
kata lain vaksinasi merupakan mimik dari infeksi alam (Kahrs, 1981). Pada peternakan
yang tanpa pengawasan, ataupun pengawasannya yang sekali-sekali, maka pengamatan
laboratorium pada kasus aborsi akan sangat membantu untuk mengidentifikasi ternak
yang terinfeksi.

Walaupun demikian, sensitivitas deteksi virus BVD dalam material abortus


tidaklah maksimal dan membutuhkan pengalaman (Linberg et al., 2006). Deteksi
kejadian penyakit lebih penting apabila terdapat pengawasan secara rutin terhadap
sekelompokternak yang dicurigai terinfeksi. Pengawasan ini dapat dilakukan dalam
bentuk pengawasan serologi pada ternak-ternak yang bunting tua untuk mengetahui
adanya infeksi persisten pada fetus yang akan dilahirkan (Odeon et al., 2003; Jalali et
al., 2004). Hingga saat ini belum ada penanda vaksin (marker vaccine) untuk BVD,
sehingga ternak yang divaksinasi tidak dapat dibedakan dari ternak yang terinfeksi
secara alami (Linberg et al., 2006). Untuk itu dibutuhkan grup sentinel yang terdiri dari
sapi dara yang belum divaksinasi untuk diamati titer antibodinya dari umur 6 bulan
hingga waktu dibutuhkan untuk divaksinasi sebelum kebuntingan pertama. Melalui
monitoring titer antibodi terhadap group ini dan melalui biosekuriti yang ketat,
terjadinya infeksi baru dapat diketahui. Dalam salah satu penelitian tentang percobaan
vaksin inaktif yang dibuat dengan Baculovirus yang mengekspresikan glikoprotein-E2
virus BVD mengundang banyak kekaguman. Vaksin ini memberikan marker vaccine
harapan di masa depan bila digunakan dalam hubungannya dengan DIVA (Different
Infection and Virus Antigen) (Bruschke et al., 1999). Walaupun seperti vaksin sejenis,
seperti vaksin untuk Classical Swine Fever yang telah dicoba belum memberikan
efektivitas yang baik. Penggunaan vaksin inaktif, biasanya mengharuskan vaksinasi
ulang (booster). Hal ini yang kurang disukai. Kombinasi penggunaan vaksin inaktif
yang diikuti dengan penyuntikan vaksin modified live virus, akan mengurangi risiko
reaksi diantaranya terhadap galur virus dari vaksin yang hidup (Frey dan Eicken, 1995).
Kombinasi pemakaian kedua vaksin ini cukup memberikan harapan yang biasanya
digunakan juga pada vaksin untuk ternak unggas dan berhasil dilapangan. Ada tiga
langkah utama yang strategis digunakan dalam rangka pencapaian tujuan pengawasan

15
dan pemberantasan penyakit BVD (Houe et al., 2006), yaitu: (1). Pengujian awal untuk
menentukan statuskelompok ternak; (2). Tindak lanjut pengujian untuk
mengidentifikasi ternak yang terinfeksi secara individual; (3). Monitoring untuk
menyatakan status bebas BVD. Ketepatan uji diagnostik tergantung pada model awal
infeksi serta lamanya infeksi pada kelompok ternak yang positif dan berapa lama
kelompok ternak yang tidak terinfeksi benar-benar bebas dari BVD (Houe et al., 2006).
Apabila ada informasi tentang tanda klinis BVD, maka harus segera dicatat, karena
patogenesis infeksi BVD memiliki karakter yang mana ada sapi yang tahan secara
berurutan dalam suatu infeksi, sehingga dapat membantu memprediksi ketika terjadi
infeksi persisten, seperti pada waktu kelahiran. Tanda klinis yang muncul dari transient
infection (atau BVD akut) akan terlihat kira-kira 6 – 9 hari setelah infeksi. Bila tanda
ini semakin parah, BVD yang akut diikuti oleh keguguran, seketika atau dalam waktu
dekat setelah terjadi serokonversi, tergantung kondisi umum ternak (Houe et al., 2006).
Bila ternak terinfeksi pada waktu kawin, akan terjadi repeat breeders beberapa minggu
kemudian (Tabel 3). Gangguan kongenital pada anak yang lahir akan terjadi 4 – 6 bulan
setelah transient infection, ini akan terjadi pada pertengahan kebuntingan, sedangkan
pada hewan yang terjadi infeksi persisten, lahir 5 – 9 bulan setelah transient infection.
Tahapan yang khas ini sangat bernilai dalam mengevaluasi diagnosis kelompok ternak
dan identifikasi periode terjadinya kelahiran anak sapi yang mengalami infeksi
persisten. Artinya tahapan-tahapan yang mungkin terjadi seperti pada Tabel 3, harus
benar-benar dicatat dan diikuti kejadiannya dengan tolok ukur gejala klinis, respons
kekebalan dan deteksi virus (Houe et al., 2006;Baker, 1995; Houe, 1999).tersembunyi
dan sewaktu-waktu dapat meledak dan akan sangat merugikan. Program vaksinasi
terlihat semakin dibutuhkan dan perlu dilakukan secara teratur diiringi dengan program
pemantauan titer antibodi di lapangan, terutama pada ternak yang divaksinasi.
Pemantauan kejadian klinis BVD ataupun adanya abortus, perlu diwaspadai akibat
peran infeksi virus BVD di lapangan. Kejadian infeksi BVD dengan kombinasi infeksi
penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) sering terjadi di lapangan dan
mengakibatkan wabah dengan gejala diare ganas. Oleh sebab itu, di daerah yang
kejadian diare merupakan masalah, maka akan sangat tepat apabila program vaksinasi
dengan vaksin kombinasi antara BVD dan IBR atau dengan yang lainnya dan
dijalankan dengan program yang teratur, serta diiringi dengan pengamatan titer antibodi
pasca vaksinasi

16
BAB IV

Penutup

4.1 Kesimpulan
Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
BVD dari genus Pestivirus dan famili Flaviviridae. BVD dapat menginfeksi sapi,
domba serta spesies lainnya dari Artiodactyla . Yang cara penularan penyakit ini
melalui kontak langsung dengan sapi yang terinfeksi. Hewan dengan infeksi akut
biasanya merupakan sumber infeksi dari virus BVD, sedangkan hewan yang terinfeksi
persisten (karier) dapat menularkan jutaan virus setiap hari sehingga merupakan sumber
konstan dari penularan virus BVD. Cara infeksi dapat melalui inhalasi, tertelan lewat
mulut dari saliva hewan yang terinfeksi, cairan mata ataupun hidung, serta dapat juga
melalui feses atau urine hewan yang terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui
kontak dengan fetus yang abortus dan melalui udara dari droplet yang mengandung
partikel virus yang tersebar di udara. Wiyono et al. (1989) menyatakan dalam
pengamatannya ada 70 ekor sapi mati di Kecamatan Mensiku Jaya, Kabupaten Sintang,
Kalimantan Barat. Sedangkan dari Kecamatan Batang Tarang ada 22 ekor mati.
Keseluruhan sapi bibit tersebut berasal dari Sulawesi Selatan dan yang mati di karantina
ada 70 ekor dengan total kematian dari Sulawesi Selatan sebanyak 162 ekor (19,4%).
Maka dari itu perlu dilakukan Pencegahan,pengawasan dan pemberantasan secara
nasional dan regional pada penyakit BVD. Berupa program vaksinasi untuk
pencegahan penyakit BVD. Serta pentingnya strategi uji diagnosis untuk pengawasan
dan pemberantasan penyakit BVD.

4.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di
atas.

17
Daftar Pustaka

Ali Muhamad. 2014. “Pengendalian Penyakit pada Ternak Menggunakan Teknologi


Molekuler Inaktivasi Gen ASO, RNAi dan ss-siRNA”. Laboratorium
Mikrobiologi dan Bioteknologi Fakultas Peternakan, Universitas
Mataram. Mataram
http://wiki.isikhnas.com/images/7/7d/Penyakit_Diare_Ganas_Pada_Sapi.pdf

Baker, J. 1995. The Clinical Manifestation of Bovine Viral Diarrhea Infection. Vet Clin
North Am Food Anim Pract. 13(3):425-54.
Sudarisman. 2011. Bovine Viral Diarrhea pada Sapi di Indonesia dan
Permasalahannya. Wartazoa 21(1): 18-24.
Fray; et al. (1998). Penumpahan hidung yang berkepanjangan dan viraemia virus diare
virus sitopatogenik pada percobaan penyakit mukosa onset
lambat . Penelitian Veteriner 143 (22): 608-11.
Mengejar; et al. (2004). Respon imun terhadap virus diare virus bovine: gambaran yang
terus berubah . Klinik Hewan Amerika Utara Praktik Hewan Pangan 20
(1): 95-114.
Ilmuternak.com, “Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD)”, pengertian serta gejala
klinis BVD, 19 November 2014,
<https://www.ilmuternak.com/2014/11/penyakit-bovine-viral-diarrhea-
bvd.html> [diakses pada 19 November 2019]
Aditya Primawidyawan, Agustin Indrawati, Denny Widaya Lukman ; 2016 ; Deteksi
Penyakit Bovine Viral Diarrhea pada Sapi Potong Impor melalui
Pelabuhan Tanjung Priok ; Acta Veterinaria Indonesiana ; Vol 4 ;
Halaman 12
http://medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/article/download/950/959

18

Anda mungkin juga menyukai