Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


American Association of Critical-Care Nurses (AACN) mendefinisikan Keperawatan
kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang dihadapkan secara rinci
dengan manusia (pasien) dan bertanggung jawab atas masalah yang mengancam jiwa.
Perawat kritis adalah perawat profesional yang resmi yang bertanggung jawab untuk
memastikan pasien dengan sakit kritis dan keluarga pasien mendapatkan kepedulian
optimal (AACN, 2006). American Association of Critical Care Nurses (AACN, 2012)
juga menjelaskan secara spesifik bahwa asuhan keperawatan kritis mencakup diagnosis
dan penatalaksanaan respon manusia terhadap penyakit aktual atau potensial yang
mengancam kehidupan. Lingkup praktik asuhan keperawatan kritis didefinisikan dengan
interaksi perawat kritis, pasien dengan penyakit kritis, dan lingkungan yang memberikan
sumber-sumber adekuat untuk pemberian perawatan.
Ruang intensif merupakan salah satu unit pelayanan rumah sakit dimana pasien yang
di rawat disini adalah pasien-pasien yang berpenyakit kritis dan membutuhkan pelayanan
kesehatan secara intensif. Perawat merupakan tenaga yang berhubungan langsung
dengan pasien selama 24 jam, harus dapat mengaktualisasikan diri secara fisik. Perawat
memiliki peran dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan hak dan kewajibannya
sebagai pemberi asuhan keperawatan, pembuat keputusan klinis, pelindung dan advokat
klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator, penyuluh dan
pendidik, serta kolaborator (Perry & Potter, 2005).
Dalam memberikan asuhan keperawatan, khususnya asuhan keperawatan kritis
perawat membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan situasi kritis dengan kecepatan
dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada situasi keperawatan lain. Dalam asuhan
keperawatan tersebut, mencakup perubahan kesehatan fisik, psikis dan sosial, termasuk
intervensi dimana perawat mampu berinisiatif secara mandiri untuk mencegah,
mengurangi, atau mengatasi masalah. Ventilator merupakan alat bantu pernafasan
bertekanan positif atau negatif yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan
nafas pasien sehingga mampu mempertahankan dan memperbaiki ventilasi dan
pemberian oksigen dalam jangka waktu lama.
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan penyebab umum kedua pada
kasus Health care Associated Infection (HAI) di Amerika Serikat dan bertanggung jawab

1
25% dari kasus infeksi yang terjadidi Intensive Care Unit. Pasien kritis yang dirawat di
ICU berada pada risiko tinggi untuk terjadi infeksi nosokomial pneumonia sehingga
mengakibatkan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan.
Penggunaan ventilator meningkatkan risiko infeksi nosokomial 6–21 kali dan tingkat
kematian akibat VAP adalah 24–70% sehingga menyebabkan peningkatan rata-rata
waktu yang dihabiskan di ICU menjadi 9,6 hari, dan juga menambah biaya pengobatan.
(Ban, 2011).
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) terjadi lebih dari 48 jam setelah pasien di
intubasi dan terpasang ventilasi mekanik (Koenig, 2006). Pada saluran napas bagian atas
akan terjadi kolonisasi mikroorganisme beberapa jam setelah intubasi, diantara
mikroorganisme tersebut paling sering dijumpai Pseudomonas aeroginosa dan
Staphylococcus aureus. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) sering terjadi karena
pipa endotrakeal atau trakeostomi memungkinkan bagian bebas dari bakteri masuk ke
dalam paru-paru, bakteri juga dibawa melalui penghisapan (suctioning) dan bronkoskopi
(Kollef, 2008).
Pasien sakit kritis, pasien tak stabil yang memerlukan terapi intensif, mengalami gagal
nafas berat, pasien bedah jantung, bedah thorak merupakan indikasi untuk masuk
Intensive Care Unit (ICU). Pasien masuk ke ruang Intensif juga memerlukan pemantauan
intensif invasif dan non invasif. Intensive Care Unit (ICU) merupakan tempat atau unit
tersendiri di dalam rumah sakit yang menangani pasien-pasien gawat karena penyakit,
trauma atau komplikasi penyakit lain. Peralatan standar di Intensive Care Unit (ICU)
meliputi ventilasi mekanik untuk membantu usaha bernafas melalui endotracheal tubes
atau trakheostomi.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui trend dan issue yang sedang terjadi yaitu gambaran pelaksaan VAP
BUNDLE pada pasien yang terpasang ventilator.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Untuk mengetahui tentang Pengertian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP)
1.2.2.2 Untuk mengetahui tentang Etiologi dan Patogenesis
1.2.2.3 Untuk mengetahui tentang Pencegahan VAP
1.2.2.4 Untuk mengetahui tentang Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)

2
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1 TINJAUAN TEORI


2.1.1 Pengertian Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
VAP adalah pneumonia yang merupakan infeksi nosokomial yang
terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik, baik
melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. Beberapa faktor resiko
yang dicurigai dapat memicu terjadinya VAP, antara lain adalah usia lebih dari
60 tahun, derajat keparahan penyakit, penyakit paru akut atau kronik, sedasi
yang berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat, posisi tubuh yang
supine, Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 9, penggunaan obat
pelumpuh otot, perokok dan lama pemakaian ventilator (Clare, 2005).
Pemakaian ventilator mekanikdengan pipa yang diintubasikan ke tubuh
pasien akan mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kolonisasi
ujung pipa endotrakeal pada penderita dengan posisi telentang. Pneumonia
terjadi karena penyakit pernapasan kronis (misal: PPOK, Asma), aspirasi
secret orofaringeal, tirah baring yang lama, penurunan daya tahan tubuh,
riwayat merokok, dan infeksi pernapasan oleh virus. Pada pasien dengan
ventilasi mekanik sebagai salah satu faktor pemicu VAP, insiden VAP
meningkat seiring dengan lamanya ventilasi dan tidak konstan dari waktu ke
waktu pemakaian ventilator (Agustyn, 2007).

2.1.2 Etiologi dan Patogenesis


VAP Patogenesis terjadinya VAP umumnya terjadi akibat
mikroaspirasi organisme patogen dari orofaring dan regurgitasi sekresi
lambung ke dalam paru disertai penurunan mekanisme pertahanan tubuh.
Faktor resiko terhadap kejadian VAP secara umum dikelompokkan dalam 2
kelompok yakni faktor resiko yang masih dapat dimodifikasi maupun faktor
resiko VAP yang tidak dapat dimodifikasi. Jenis tindakan medis, pengobatan
dan kebiasaan di ICU merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi,
sedangkan usia diatas 60 tahun, COPD, ARDS, cedera kepala dan intubasi
ulang merupakan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Diagnosis dan
pengobatan yang cepat akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas

3
VAP22 Mengingat aspirasi bakteri dari saluran nafas atas merupakan
patogenesis penting dari VAP, maka keberadaan flora normal di rongga mulut
menjadi penting diperhatikan. Ada lebih dari 350 spesies bakteri di rongga
mulut, yang berkoloni pada beberapa tempat. Streptokokus sanguis,
Actynomyces viscosus dan bakteroides gingivalis umumnya berkoloni di gigi.
Sreptokokus salivarius umumnya berkoloni di bagian dorsal dari lidah.
Sedangkan Streptokokus mitis sering dijumpai pada mukosa bukal dan
permukaan gigi. Pada kondisi dimana terjadi penurunan sistem pertahanan
tubuh, misalnya pada pasien critically ill, terjadi penurunan fibronectin yang
menyebabkan sistem retikuloendotel sebagai sistem pertahanan tubuh
mengalami gangguan sehingga terjadi perubahan lingkungan yang
menyebabkan flora normal tersebut menjadi pathogen Mikroorganisme
penyebab VAP didominasi oleh bakteri patogen, dan dapat disebabkan lebih
dari 1 organisme. Penyebab lain seperti jamur dan virus jarang dijumpai
(Clare, 2005).
Penyebab yang paling sering adalah bakteri basil gram negative
aerobik seperti Pseudomonas aeroginosa, Echercichia coli, Klebsiella
pneumonia, dan Acinetobacter sp. Bakteri kokus gram positif seperti
Staphylococus aureus, khususnya MRSA mengalami peningkatan yang pesat
dalam kejadian VAP di Amerika Serikat. Pneumonia akibat S.aureus lebih
sering dijumpai pada pada pasien dengan diabetes mellitus dan cedera kepala.
Acinetobacter baumannii merupakan bakteri yang paling sering menjadi
penyebab VAP (Agustyn, 2007).

Pneumonia terjadi karena adanya invasi bakteri pada saluran nafas


bawah dan parenkim paru yang seharusnya steril, dimana kejadian ini juga
dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien. Pada dasarnya tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi paru, seperti adanya barir
anatomis pada glottis dan laring, reflex batuk, sekresi trakheobronkial,
mukosiliari, sistem imunitas humoral dan seluler, sistem fagosit seperti
makrofag dan netrofi . Gangguan pada sistem ini memungkinkan terjadinya
invasi bakteridan kejadian pneumonia. Patogenesis VAP utamanya akibat
aspirasi patogen yang berkoloni pada permukaan mukosa orofaring. Tindakan
intubasi bukan hanya dapat mengganggu barrier alami antara orofaring dan

4
trakea namun juga dapat menfasilitasi masuknya kuman pada sekitar cuff pipa
endotrakea. Fenomena ini sering terjadi pada pasien terintubasi dengan posisi
supine di UPI. Pada pasien yang bukan critically ill ataupun rawatan singkat,
flora normal dan patogen bisa menjadi penyebab VAP, namun pada pasien
critically ill dan rawatan lebih dari 5 hari kuman gram negatif dan
Staphylococcus aureus lebih sering dijumpai (Clare, 2005).
Selain aspirasi orofaring, aspirasi material lambung juga dapat
menimbulkan kejadian VAP. Kejadian masuknya kuman patogen dari
lambung ke orofaring berhubungan dengan tingkat keasaman lambung,
dimana pemberian antasida yang dapat merubah keasaman di lambung akan
dapat mempengaruhi pola kuman di lambung Manipulasi pada pipa ventilator ,
sehingga material kondensasi pada pipa ventilator masuk ke dalam saluran
nafas pasien juga meningkatkan resiko kejadian VAP. Tindakan bronkoskopi,
penghisapan sekret trakea, dan manual ventilasi dengan alat-alat yg
terkontaminasi dapat menyebarkan mikroorganisme patogen ke salauran nafas
bawah. Sumber kuman patogen lain yang dapat menyebabkan VAP termasuk
dari sinus paranasal, plak gigi, daerah subglotik antara pita suara dan cuff pipa
endotrakea (Agustyn, 2007).
Faktor resiko pada VAP penting diketahui, karena akan memberikan
informasi tentang besarnya kemungkinan kejadian VAP pada individu maupun
populasi. Dengan mengetahui faktor resiko kita dapat memikirkan tindakan
preventif terhadap kejadian VAP. Pasien-pasien paska operasi memiliki resiko
tinggi terjadinya VAP, dimana hampir sepertiga pasien pneumonia yang
dirawat di UPI merupakan pasien paska operasi. Kejadian VAP paska operasi
berhubungan dengan kondisi umum dan beratnya penyakit sebelum dilakukan
tindakan operasi, seperti nilai albumin serum dan nilai American Society of
Anasthesiologist pasien sebelum operasi. Riwayat merokok, lamanya rawatan
rumah sakit sebelum di operasi, lamanya tindakan operasi, dan operasi pada
abdomen bagian atas ataupun operasi thoraks akan meningkatkan kejadian
pneumonia secara bermakna paska operasi (Agustyn, 2007).

2.1.3 Pencegahan VAP


Dengan memahami patogenesis VAP, maka kita dapat menyusun
strategi dalam pencegahan kejadian VAP. Secara garis besar pencegahan VAP

5
dibagi dalam 2 kelompok, yakni pencegahan secara non farmakologis maupun
pencegahan secara farmakologis. Mengingat aspirasi sekret orofaring maupun
sekresi lambung dan saluran cerna menjadi patogenesis utama dalam VAP,
maka secara non farmakologis, tindakan yang dilakukan bertujuan untuk
mencegah kejadian ini. Sedangkan secara farmakologis dilakukan
tindakantindakan dengan obat-obatan untuk mencegah kolonisasi bakteri di
orofaring maupun di lambung yang dapat masuk ke saluran nafas bawah
ketika terjadi aspirasi. Tindakan - tindakan pencegahan VAP yang dilakukan
secara non farmakologis lebih mudah dan lebih murah bila dibandingkan
dengan tindakan secara farmakologi. Secara non farmakologis dapat dilakukan
beberapa tindakan seperti menghindari tindakan intubasi trakea jika
memungkinkan, mengusahakan waktu penggunaan ventilasi mekanik yang
singkat, melakukan sucksioning subglotic, mengutamakan intubasi oral
dibandingkan intubasi nasal, menghindari manipulasi pada sirkuit ventilator,
posisi semirecumben, mencegah kejadian distensi lambung, mencegah
terbentuknya biofilm, melakukan tindakan asepsis pada tangan sebelum
melakukan kontak dengan pasien. Meskipun hal-hal tersebut diatas sudah
dilakukan dan menjadi prosedur tetap di UPI, angka kejadian VAP masih
cukup tinggi, sehingga pencegahan secara farmakologis masih diperlukan
(Luna, 2003).

Pencegahan secara farmakologis dapat dilakukan dengan


dekontaminasi orofaring maupun selective dekontaminaton of the digestive
(SDD).Tindakan SDD dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik yang
tidak dapat diserap. Namun pencegahan dengan cara ini akan menimbulkan
permasalahan munculnya resistensi kuman terhadap antibiotik. Demikian juga
tindakan dekontaminasi oral dengan antibiotik juga akan menimbulkan
resistensi kuman terhadap antibiotik. Menginngat hal tersebut diatas, maka
tindakan dekontaminasi oral dengan menggunakan zat antiseptik menjadi
pilihan saat ini. Beberapa zat antiseptik yang dapat digunakan pada
dekontaminasi orofaring seperti klorhexidin, povidone iodine , hydrogen
peroksida, dan listerine. Pada beberapa literatur disebutkan tentang
penggunaan klorheksidin dan listerine sebagai zat dekontaminasi orofaring
dalam menurunkan kejadian VAP. Selain klorheksidin, listerine juga dapat

6
digunakan sebagai dekontaminasi oral dalam pencegahan VAP, listerine juga
dapat menurunkan munculnya plak gigi serta mencegah perkembangan
gingivitis (Luna, 2003).

2.1.4 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)


Clinical Pulmonary Infection Score adalah suatu alat ukur yang
digunakan untuk mendiagnosis VAP. Penentuan CPIS berdasarkan pada 6
variabel, yaitu suhu tubuh pasien, jumlah leukosit dalam darah, volume dan
dan tingkat kekentalan sektret dalam trakea, indeks oksigenasi, pemeriksaaan
radiologi paru dan kultur semi kuantitatif dari aspirasi trakea, jika diperoleh
skor lebih dari 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan (Luna, 2003).
Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia
sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired
Pneumonia). Bila dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala
klinis pneumonia maka diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis
dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta
nilai total CPIS > 6 atau sama dengan 6, maka diagnosis VAP dapat
ditegakkan, jika nilai total CPIS < 6 maka diagnosis VAP disingkirkan (Luna,
2003).
Pasien yang tidak VAP dilihat dari observasi tindakan perawatan
terhadap pasien yang terpasang ventilator, kepatuhan dalam melaksanakan
SOP pada pasien yang terpasang ventilator, kepatuhan perawat dalam
melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
Pengaturan jam berkunjung keluarga pada pasien yang dirawat di ICU
sehingga kontaminasi kuman berkurang. VAP mempunyai banyak resiko,
akan tetapi banyak intervensi keperawatan yang dapat menurunkan insiden
VAP. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah VAP diantaranya cuci
tangan, dan pemakaian sarung tangan sebelum dan sesudah melakukan
tindakan, dekontaminasi oral, intervensi farmakologis oral, stress ulcer
prophilaxis, penghisapan sekret endotrakeal, perubahan posisi klien, posisi
semi fowler, penghisapan sekret orofaring dan pemeliharaan sirkuit ventilator
(Agustyn, 2007).

7
2.2 PEMBAHASAN TERKAIT JURNAL DAN TEORI

Didalam teori VAP adalah pneumonia yang merupakan infeksi nosokomial yang
terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik, baik melalui pipa
endotrakeal maupun pipa trakeostomi. Sedangkan didalam jurnal VAP adalah pneumonia
yang disebabkan oleh infeksi nosokomial yang terjadi setelah 48-72 jam tindakan
intubasi dan pemasangan ventilator mekanik baik dari pipa endotracheal maupun pipa
tracheostomi. VAP berakibat meningkatnya angka morbiditas bahkan mortalitas pasien
yang dirawat, bertambah lamanya hari rawat pasien, penggunaan obat-obatan dan
meningkatnya biaya yang dikeluarkan. VAP umumnya terjadi akibat mikroaspirasi
organisme pathogen dari orofaring dan regurgitasi sekresi lambung kedalam paru disertai
penurunan mekanisme pertahanan tubuh. Faktor resiko pada VAP penting diketahui,
karena akan memberikan informasi tentang besarnya kemungkinan kejadian VAP pada
individu maupun populasi.

Dalam jurnal dikatakan pasien yang terintubasi dan menggunakan ventilator dan
dalam jangka waktu yang lama di ICU akan beresiko terjadi infeksi nosokomial yang
disebut Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Pada teori dikatakan pencegahan VAP
dengan cara farmakologis dengan menggunakan obat-obatan dilakukan dengan
dekontaminasi orofaring maupun selective dekontaminaton of the digestive (SDD), dan
secara non farmakologis dilakukan beberapa tindakan seperti menghindari tindakan
intubasi trakea jika memungkinkan, mengusahakan waktu penggunaan ventilasi mekanik
yang singkat, melakukan sucksioning subglotic, mengutamakan intubasi oral
dibandingkan intubasi nasal, menghindari manipulasi pada sirkuit ventilator, posisi
semirecumben, mencegah kejadian distensi lambung, mencegah terbentuknya biofilm,
melakukan tindakan asepsis pada tangan sebelum melakukan kontak dengan pasien.
Sedangkan pada jurnal disebutkan kejadian VAP di rumah sakit diminimalkan dengan
tindakan VAP Bundle (VAPb) yang diterbitkan oleh The Institute for Healthcare
Improvement (IHI) dan telah dinyatakan dapat menurunkan angka kejadian VAP bila
diimplementasikan secara sempurna pada semua pasien yang terpasang ventilator.

Didalam jurnal dikatakan VAPb yang dikeluarkan oleh IHI (2012) terdiri dari lima
rangkaian pencegahan VAP yaitu elevasi kepala atau head of bed (HOB) yaitu posisi
kepala pasien setinggi 30º-50º setiap saat kecuali ada kontraindikasi, perawatan oral
dengan terjaganya kebersihan mulut setiap 2-4 jam (oral hygiene), terapi profilaksis

8
tromboembolitik, terapi profilaksis ulkus peptikum, adanya evaluasi harian terhadap
sedasi dan kesiapan ekstubasi. Sedangkan didalam jurnal strategi dalam pencegahan
kejadian VAP. Secara garis besar pencegahan VAP dibagi dalam 2 kelompok, yakni
pencegahan secara non farmakologis maupun pencegahan secara farmakologis.
Mengingat aspirasi sekret orofaring maupun sekresi lambung dan saluran cerna menjadi
patogenesis utama dalam VAP, maka secara non farmakologis, tindakan yang dilakukan
bertujuan untuk mencegah kejadian ini. Sedangkan secara farmakologis dilakukan
tindakan-tindakan dengan obat-obatan untuk mencegah kolonisasi bakteri di orofaring
maupun di lambung yang dapat masuk ke saluran nafas bawah ketika terjadi aspirasi.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

VAP adalah pneumonia yang merupakan infeksi nosokomial yang terjadi setelah 48
jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik, baik melalui pipa endotrakeal
maupun trakeostomi. Beberapa faktor risiko dicurigai dapat memicu VAP, antara lain
adalah usia lebih 60 tahu, derajat keparahan penyakit, penyakit paru kronik, sedasi yang
berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat, dsb. Patogenesis terjadinya VAP
umumnya terjadi akibat mikroaspirasi organism patogen dari orofaring dan regurgitasi
sekresi lambung ke dalam paru disertai penurunan mekanisme pertahanan tubuh.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memahami patogenesis VAP. Secara garis besar
pencegahan VAP dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pencegahan farmakologis dan
non farmakologis. Pencegahan dengan farmakologis yaitu dengan beberapa menghindari
tindakan seperti tindakan intubasi trakea jika memungkinkan, mengusahakan waktu
penggunaan ventilasi mekanik yang singkat, melakukan sucksioning sublogic,
mengutamakan intubasi oral dibandingkan intubasi nasal, menghindari manipulasi pada
sirkuit ventilator, posisi semirecumben.

Sedangkan pencegahan farmakologis dapat dilakukan dengan dekontaminasi


orofaring maupun selective decontamination of digestive (SDD). Tidakan SDD dapat
dilakukan dengan memberikan antibiotic yang tidak dapat diserap. Namun pencegahan
dengan cara ini dapat menimbulkan resistensi kuman antibiotik. Mengingat hal tersebut,
maka tindakan dekontaminasi oral dengan menggunakan antiseptic menjadi pilihan saat
ini.

3.2 Saran

Dalam pemberian ventilator mekanik pada pasien masih terdapat kekurangan


sehingga diharapkan bagi dokter, perawat, serta mahasiswa mampu memperhatikan
setiap kekurangan yang ada agar dapat berkurangnya infeksi nosokomial seperti VAP
pada pasien.

10
DAFTAR PUSTAKA

Agustyn, M . (2007). Risk factor and prevention ventilator association pneumonia critical
care nurse. Diakses pada tanggal 15 mei 2014 dari
http://aacn.org/WD/CETests/Media/C072.pdf.
Clare, M., Hopper, K. (2005). Mechanical ventilatin: indications, goals, and prognosis
diakses tanggal 12 januari 2015 dari cp. Vetlearn.com/media.
Diah Susmiarti, Harmayettyuui, Yulis Setiya Dewi. INTERVENSI VAP BUNDLE DALAM
PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) PADA PASIEN
DENGAN VENTILASI MEKANIS. Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146.
Luna, C.M., Blanzaco, D., Nierdeman, M.,S.,Matarucco, W., Barades, N.C., Desmery, P.,
Palizas, F., Menga, G., Rios, F., Apezteguia, C. (2003). Resolution Of Ventilator
Associated Pneumonia Prospectiv Of The Clinical Pulmonary Infection Acore As An
Early Clinically Predictor Of Outcome. Diakses pada tanggal 20 agustus 2014 dari
http://mobile.journals.lww.com.

11

Anda mungkin juga menyukai