Anda di halaman 1dari 14

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi trauma abdomen


Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang
menusuk (Ignativicus & Workman, 2010). Trauma abdomen dibagi menjadi dua
tipe yaitu trauma tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen
didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma
dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk. Trauma merupakan
penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum setelah penyakit
kardiovaskular dan kanker (Brunner & Suddarth, 2015).

2.2 Anatomi Abdomen


Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks
dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk
dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu
menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian
abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang bayangan
vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi
sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui
setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca
dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga
kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Daerahdaerah itu adalah: 1)
hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4) lumbalis dextra, 5)

1
umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica/hipogastrica, 9)
inguinalis sinistra.

Pembagian Anatomi Abdomen (Griffith, 2003)


1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian
duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal
kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian hati.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas,
fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan,
sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum,
jejenum dan ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter
kanan.
8. Pubica/Hipogastricmeliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.

2
Dengan mengetahui proyeksi organ intraabdomen tersebut, dapat
memprediksi organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam
pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut(Griffith,
2003)
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu :
rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga pelvis
sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal.
Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah. Rongga
peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang thorax, termasuk diafragma, liver, lien,
gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torakoabdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus
halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ
reproduksi pada wanita(Trauma, 2012)
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan
ureter, permukaan posterior kolon ascenden dan descenden serta komponen
retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis dikelilingi oleh tulang
pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan
retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ
reproduksi interna pada wanita(Griffith, 2003)

2.3 Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan,
deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma
ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.

3
Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka
tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan,
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan,
deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam
abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka
tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal
diabdomen.

2.4 Mekanisme Trauma Tumpul Abdomen


Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ intra abdomen bergantung
pada mekanisme cedera dan organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya
organ berhubungan dengan lokasi anatomis, organ padat atau organ berongga,
terfiksir atau mobile. Berbagai macam mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan
trauma tumpul, tetapi sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh
(Smeltzer, 2001).
Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intra abdomen, yaitu :
a. Benturan langsung terhadap organ intra abdomen diantara dinding abdomen
anterior dan posterior (Smeltzer, 2001).
b. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan
dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi
menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini
terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti pedikel

4
dan ligament yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik (Smeltzer,
2001).
c. Terjadinya closed bowel looppada disertai dengan peningkatan tekanan
intraluminal yang dapat menyebabkan rupture organ berongga (Smeltzer, 2001).
d. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur
pelvis, fraktur costa) (Smeltzer, 2001).
e. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat
menyebabkan ruptur diafragma bahkan ruptur kardiak (Smeltzer, 2001).

2.5 Manifestasi Klinis


a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga
abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-
organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga
bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan
isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau
infeksi
a. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
5) Iritasi cairan usus

5
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen
menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri
atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

2.6 Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang
melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun
crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ
berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi

6
(misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis.
Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush
injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun
komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada
suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan
yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti
rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ
yang terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma
abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul,
organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-
10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi
akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera,
dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi
fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai
hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak
menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan
peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru
oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering
mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah
abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen dan
trauma pada isi abdomen.
a. Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.

7
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan
terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa
darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2015)
terdiri dari:
1. Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada
dinding abdomen.
2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3. Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau
sayap kanan dan hati harus dieksplorasi

2.7 Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor
fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi
berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh.
Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh
yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan
yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan
viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali
pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk
menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan

8
tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung
kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan.
Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi
tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ
intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
a. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya
tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak
benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ
berongga.
b. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.

c. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya


robek pada organ dan pedikel vaskuler

2.8 Komplikasi
a. Trombosis Vena
b. Emboli Pulmonar
c. Stress ulserasi dan perdarahan
d. Pneumonia
e. Tekanan ulserasi
f. Atelektasis
g. Sepsis

2.9 Pemeriksaan diagnostik


Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien trauma
adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen, ultrasonografi, DPL, CT scan dan
laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan dilakukan tergantung pada stabilitas
hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien trauma tumpul
abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi (USG)
abdomen, atau CT scan. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik

9
harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage
peritoneum untuk menyingkirkan cedera intraabdomen (Vlies, 2017). Pemeriksaan
laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi arti kecuali digunakan
sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik selanjutnya. Sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan secara serial, seperti misalnya serial haematocrit dan
hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase untuk monitor adanya trauma
pancreas. Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan dalam manajemen trauma
abdomen antara lain:
1. Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb), hematokrit
(Hct) dan platelet (PLT)
2. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya disfungsi
ginjal.
3. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
4. Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
5. Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk menilai
adanya koagulopati
6. Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.

Complete Blood Count (CBC) merupakan pemeriksaan lab sederhana yang


cepat bisa dilakukan, meliputi komponen hemoglobin, hematokrit dan platelet.
Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) diperlukan untuk data dasar bila terjadi perdarahan
terus menerus, demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit (Hct). Hb dan Hct yang
cenderung menurun saat diperiksa lebih dari satu kali, menandakan kemungkinan
adanya proses perdarahan didalam perut yang sedang berlangsung. Tanda ini sebagai
faktor prediktif terjadinya cedera intraabdomen sehingga diperlukan pemeriksaan
penunjang lainya. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya
infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pada cederaa
lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma
pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan
kemungkinan trauma terjadi pada hati. Hematokrit serial merupakan pemeriksaan

10
yang digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit
merupakan tanda kehilangan darah yang banyak, Respon terhadap resusistasi akan
menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.(Vlies, 2017). Penelitian di
Amerika mempelajari tentang beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada pasien
yang mengalami cedera intraabdomen. Beberapa studi menunjukkan defisit basa (< -6
mEq/L) adalah prediktif pada cedera intra-abdomen. Hematuria (25-50 RBC/hpf)
diprediksi empat kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat
hematokrit kurang dari 30% meningkatkan kemungkinan cedera intraabdomen lebih
banyak daripada hematokrit <36%. Penurunan Hct lebih dari 5% sangat signifikan
berhubungan dengan cedera intraabdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk
peningkatan jumlah WBC dan peningkatan laktat, kurang berguna untuk
mengidentifikasi pasien dengan cedera intraabdomen. Transaminase hati yang
meningkat (aspartate aminotransferase atau alanine aminotransferase) adalah petanda
adanya kerusakan hati (Holmes, Wisner, et al., 2009)
Foto polos abdomen berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas
intraabdomen. Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada
foto polos abdomen. Foto tegak dapat menunjukan udara bebas intraperitoneal yang
disebabkan oleh perforasi organ visera berongga, adanya nasogastric tube pada
rongga thoraks (cedera diaphragma). Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks
anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada
penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik stabil, maka
pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan terlentang dan tegak mungkin berguna
untuk mengetahui adanya uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas
di bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan
adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontraindikasikan karena nyeri atau
patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral
decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal(Jansen, Yule and Loudon,
2008).
Pengenalan diagnostic peritoneal lavage (DPL) pada tahun 1965 memberikan
metode yang aman dan murah yang dengan cepat dapat mengidentifikasi adanya

11
cedera intraabdomen. DPL merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk
mengidentifikasi cedera intraabdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi
paska trauma tanpa indikasi yang jelas untuk 30 laparotomi eksplorasi abdomen.
Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut : nyeri abdomen yang tidak bisa
diterangkan sebabnya, Trauma pada bagian bawah dari dada, hipotensi, hematokrit
turun tanpa alasan yang jelas, pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran
(obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis
(sumsum tulang belakang), dan patah tulang pelvis. Sedangkan kontra indikasi relatif
melakukan DPL adalah : pasien hamil, pernah operasi abdominal, operator tidak
berpengalaman dan bila hasil DPL nantinya tidak akan merubah penatalaksanaan.
Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10
mL darah, lavage berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3,
sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL,
atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan(Ikegami et al., 2014).

2.10 Penatalaksanaan gawat darurat


a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa,
harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin
harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya,
maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada
indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
1. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa
adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan,
makanan, darah atau benda asing lainnya.
2. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara
‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas

12
atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme
dan adekuat tidaknya pernapasan).
3. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak
adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi,
lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam
RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
4. Kirim ke rumah sakit.
a. Hospital
1. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti
pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma,
mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum
atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi
segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau
decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2005).

13
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8.
EGC: Jakarta.
Docthwrman, Joanne McCloskey. (2004). Nursing Interventions Classification. St
Louis, Mossouri, Elsevier inc.
Hudak & Gallo. (2005). Keperawatan Kritis. Edisi VI. Jakarta: EGC
Ignatavicius, D. D., & Workman, m. L. (2010). Medical -Surgical Nursing: Clients –
Centered Collaborative Care. Sixth Edition, 1 & 2 . Missouri: Saunders
Elsevier.

Smeltzer, S, C. & Bare, B, G. (2002). Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical-


Surgical Nursing. Edition 8. Alih Bhasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi 4, Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius

14

Anda mungkin juga menyukai