Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Defenisi STEMI
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010).

2.2 Etiologi STEMI


Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri koroner yaitu
faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko modifiable dapat dikontrol dengan
mengubah gaya hidup dan kebiasaan pribadi, sedangkan faktor risiko yang
nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang tidak dapat dikontrol (smeltzer,
2008). Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor risiko yang dapat diubah (modifiable)
yaitu merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia, kolesterol darah tinggi, dan pola
tingkah laku.
a. Merokok
Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya karbondioksida
yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah mengikat hemoglobin dari pada
oksigen, sehingga oksigen yang disuplai ke jantung menjadi berkurang. Asam
nikotinat pada tembakau memicu pelepasan katekolamin yang menyebabkan
konstriksi arteri dan membuat aliran darah dan oksigen jaringan menjadi
terganggu. Merokok dapat meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat
mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat menyebabkan
penyakit arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat meningkatkan
gradien tekanan yang harus dilawan ileoh ventrikel kiri saat memompa darah.
Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan suplai kebutuhan oksigen
jantung meningkat.
c. Kolesterol darah tinggi
Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner memiliki hubungan
yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat dengan lipoprotein yang larut
dengan air yang memungkinkannya dapat diangkut dalam system peredaran
darah. Tiga komponen metabolisme lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas
rendah (low density lipoprotein) dan lipoprotein densitas tinggi (high density
lipoprotein). Peningkatan kolestreol low density lipoprotein (LDL) dihubungkan
dengan meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat proses arterosklerosis.
Sedangkan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan cara
mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemudian diekskresi.
d. Hiperglikemia
Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi aterosklerosis
yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan agregasi trombosit
yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus.
e. Pola perilaku
Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut berperan
dalam menimbulkan masalah pada jantung. Rosenman dan Friedman telah
mempopulerkan hubungan antara apa yang dikenal sebagai pola tingkah laku tipe
A dengan cepatnya proses aterogenesis. Hal yang termasuk dalam kepribadian
tipe A adalah mereka yang memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius,
agresif, dan merasa diburu waktu. Stres menyebabkan pelepasan katekolamin,
tetapi masih dipertanyakan apakah stres memang bersifat aterogenik atau hanya
mempercepat serangan.

2.3 Patofisiologi STEMI


Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak arterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis.
2.4 Klasifikasi STEMI
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi
a. Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
b. Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri
koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada
elevasi segmen ST pada EKG.

2.5 Gambaran Klinis STEMI


Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada
yang dialami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal
(angina). Pada pemeriksaan fisik didapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ektremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri substernal > 30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda fisik lain pada
disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama
dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau
late sistolik apical yang bersifat sementara (Sudoyo, 2010).

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)
MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial.
cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB (Sudoyo,
2010).
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung(Sudoyo, 2010).
a. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
b. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic
dehydrogenase (LDH)
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear
yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7
hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul (Sudoyo, 2010).
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di
IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien
dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan
(Sudoyo, 2010).

2.7 Penatalaksanaan STEMI


Penatalaksanaan STEMI (ST Elevasi Miocard Infark) terdiri dari terapi
farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi ada tiga kelas obat-obatan yang
biasa digunakan untuk meningkatkan suplai oksigen: vasodilator, antikoagulan, dan
trombolitik. Analgetik dapat diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
dada, nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung. Antikoagulan (heparin) digunakan untuk membantu
mempertahankan integritas jantung. Heparin memperpanjang waktu pembekuan
darah, sehingga dapat menurunkan kemungkinan pembentukan trombus.
Trombolitik adalah untuk melarutkan setiap trombus yang telah terbentuk di arteri
koroner, memperkecil penyumbatan dan juga luasnya infark. Tiga macam obat
trombolitik : streptokinase, aktifator plasminogen jaringan (t-PA = tissue plasminogen
activator), dan anistreplase. Pemberian oksigen dimulai saat awitan nyeri, oksigen
yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi darah. Analgetik (morfin sulfat),
pemberian analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati dengan
nitrat dan antikoagulan, respon kardiovaskuler terhadap morfin dipantau dengan
cermat khususnya tekanan darah yang sewaktu-waktu dapat turun.
Terapi non farmakologi yang biasanya digunakan adalah dengan prosedur PTCA
(angiplasti koroner transluminal perkutan) dan CABG (coronary artery bypass graft).
PTCA merupakan usaha untuk memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan
memecah plak atau ateroma yang telah tertimbun dan mengganggu aliran darah ke
jantung. Kateter dengan ujung berbentuk balon dimasukkan ke areteri koroner yang
mengalami gangguan dan diletakkan diantara daerah aterosklerosis. Balon kemudian
dikembangkan dan dikempiskan dengan cepat untuk memecah plak (Mutaqin, 2009).
Teknik terbaru tandur pintas arteri koroner (CABG = coronary artery bypass graft)
telah dilakukan sekitar 25 tahun. Untuk dilakukan pintasan, arteri koroner harus sudah
mengalami sumbatan paling tidak 70% untuk pertimbangan dilakukan CABG. Jika
sumbatan pada arteri kurang dari 70%, maka aliran darah melalui arteri tersebut masih
cukup banyak, sehingga mencegah aliran darah yang adekuat pada pintasan.
Akibatnya akan terjadi bekuan pada CABG, sehingga hasil operasi menjadi sia-sia
(Mutaqin, 2009).

2.8 Komplikasi IMA


a. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk (Sudoyo, 2010).
b. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah
sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya (Sudoyo, 2010).
c. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel (Sudoyo, 2010).
d. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi (Sudoyo, 2010).
e. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf
autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi
miokard (Sudoyo, 2010).
f. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah
aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI (Sudoyo, 2010).
g. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama.
h. Fibrilasi atrium
i. Aritmia supraventrikular
j. Asistol ventrikel
k. Bradiaritmia dan Blok
l. Komplikasi
m. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel
(Sudoyo, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2008). Brunner &
Suddarth’s textbook of medicalsurgical nursing (11th Ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Dalam
Jilid II Edisi V, Jakarta : Interna Publishing.
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular, Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai