Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Society for critical care medicine (SCCM) consensus conference on
standardized diftinetions of sepsis (1992) telah mempublikasikan consensus dengan
defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan
dan menetapkan kriteria SIRS, sepsis berat dan syok septik. Sepsis sendiri
merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana pathogen atau
toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi
(Guntur, 2008).
Sepsis berbeda dengan septicemia yang mengacu pada infeksi dari darah,
sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh
tubuh, termasuk organ-organ. Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah
Escherichia coli, Staphylococus Enterococus, klebsiella, dan pseudomonas.
Sedangkan syok kardiogenik merupakan suatu kondisi dimana terjadi hipoksia
jaringan sebagai akibat dari menurunnya curah jantung, meskipun volume
intravaskuler cukup. Sebagian besar kondisi syok ini disebabkan oleh infark miokard
akut (Aspiani, 2015).
Syok kardiogenik ini paling sering disebabkan oleh karena infark jantung
akutdan kemungkinan terjadinya pada infark akut 5-10%. Syok merupakan
komplikasi infark yang paling ditakuti karena mempunyai mortalitas yang sangat
tinggi. Walaupun akhir-akhir ini angka kematian dapat diturunkan sampai 56%,
syok kardiogenik masih merupakan penyebab kematian yang terpenting
pada pasieninfark yang dirawat di rumah sakit.

1
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep dan asuhan keperawatan syok sepsis dalam
keperawatan kritis.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Untuk mengetahui defenisi syok kardiogenik.
1.2.2.2 Untuk mengetahui etiologi syok kardiogenik.
1.2.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi syok kardiogenik.
1.2.2.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis syok kardiogenik.
1.2.2.5 Untuk mengetahui klasifikasi syok kardiogenik.
1.2.2.6 Untuk mengetahui komplikasi syok kardiogenik.
1.2.2.7 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang syok kardiogenik.
1.2.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan syok kardiogenik.
1.2.2.9 Untuk mengetahui asuhan keperawatan secara umum.
1.2.2.10 Untuk mengetahui defenisi syok sepsis.
1.2.2.11 Untuk mengetahui etiologi syok sepsis.
1.2.2.12 Untuk mengetahui manifestasi klinis syok sepsis.
1.2.2.13 Untuk mengetahui pathway syok sepsis.
1.2.2.14 Untuk mengetahui komplikasi syok sepsis.
1.2.2.15 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang sepsis.
1.2.2.16 Untuk mengetahui penatalaksanaan syok sepsis.
1.2.2.17 Untuk mengetahui asuhan keperawatan secara umum.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Syok Kardiogenik


2.1.1 Defenisi Syok Kardiogenik
Syok didefinisikan sebagai sindrom gangguan patofisiologi berat yang ketika
berlanjut menyebabkan perfusi jaringan yang buruk, hal ini dapat dikaitkan dengan
metabolisme sel yang tidak normal. Selain itu, syok merupakan kegagalan sirkulasi
perifer yang menyeluruh sehingga perfusi jaringan menjadi tidak adekuat. Syok
kardiogenik merupakan suatu kondisi dimana terjadi hipoksia jaringan sebagai akibat
dari menurunnya curah jantung, meskipun volume intravaskuler cukup. Sebagian
besar kondisi syok ini disebabkan oleh infark miokard akut (Aspiani, 2015).
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis
yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manisfestasi
hemodinamika yang bervariasi, tetapi petunjuk yang umum adalah tidak
memadainya perfusi jaringan ketika kemampuan jantung untuk memompa darah
mengalami kerusakan. Curah jantung merupakan fungsi baik untuk volume sekuncup
maupun frekuensi jantung. Jika volume sekuncup dan frekuensi jantung menurun
atau menjadi tidak teratur, tekanan darah akan turun dan perfusi jaringan akan
terganggu. Bersama dengan jaringan dan organ lain mengalami penurunan
suplaidarah, otot jantung sendiri menerima darah yang tidak mencukupi dan
mengalami kerusakan perfusi jaringan (Muttaqin, 2009). Keadaan hipoperfusi ini
memperburuk penghantaran oksigen dan zat-zat gizi, dan pembuangan sisa-sisa
metabolic pada tingkat jaringan. Hipoksia jaringan akan menggeser metabolisme dan
jalur oksidatif ke jalur anaerobic, yang mengakibatkan pembentukan asam laktat.
Kekacauan metabolism yang progresif menyebabkan syok menjadi berlarut-larut,
yang pada puncaknya akan menyebabkan kemunduran sel dan kerusakan
multisystem (Muttaqin, 2009).

2.1.2 Etiologi Syok Kardiogenik


Penyebab syok kardiogenik terjadi akibat beberapa jenis kerusakan, gangguan
atau cedera pada jantung yang menghambat kemampuan jantung untuk berkontraksi

3
secara efektif dan memompa darah. Pada syok kardiogenik, jantung mengalami
kerusakan berat sehingga tidak bisa secara efektif memperfusi dirinya sendiri atau
organ vital lainnya. Ketika keadaan tersebut terjadi, jantung tidak dapat memompa
darah karena otot jantung yang mengalami iskemia tidak dapat memompa secara
efektif. Pada kondisi iskemia berkelanjutan, denyut jantung tidak beraturan dan curah
jantung menurun secara drastis (Muttaqin, 2009).
Beberapa faktor penyebab terjadinya syok kardiogenik adalah :
1. Infark Miokardium : jantung yang rusak tidak dapat memompa darah dan curah
jantung tiba-tiba menurun. Tekanan sistolik menurun akibat kegagalan mekanisme
kompensasi. Jantung akan melakukan yang terbaik pada setiap kondisi, sampai
akhirnya pompa jantung tidak dapat memperfusi dirinya sendiri.
2. Aritmia Ventrikel yang Mematikan : pasien dengan takikardia terus menerus akan
dengan cepat menjadi tidak stabil. Tekanan darah sistolik dan curah jantung menurun
karena denyut jantung yang terlalu cepat menurunkan waktu pengisian ventrikel.
Takikardia ventrikel dan fibrasi ventrikel dapat terjadi karena iskemia miokardium
setelah infark miokardium akut.
3. Gagal Jantung Stadium Akhir : jaringan parut di miokardium akibat serangan
jantung sebelumnya, dilatasi ventrikel, dan iskemia miokardium kronis merusak otot
jantung, dan gerak dinding menjadi tidak terkoordinasi (ruang ventrikel tidak padat
memompa secara bersamaan.

4
2.1.3 Patofisiologi Syok Kardiogenik

2.1.4 Manifestasi Klinis Syok Kardiogenik


Menurut Aspiani 2015 timbulnya syok kardiogenik dengan infark miokard akut
dapat dikategorikan dalam beberapa tanda dan gejala berikut:
1. Timbulnya tiba-tiba dalam waktu 4-6 jam setelah infark akibat gangguan
miokard miokard atau rupture dinding bebas ventrikel kiri.
2. Timbulnya secara perlahan dalam beberapa hari sebagai akibat infark berulang.
3. Timbulnya tiba-tiba 2 hingga 10 hari setelah infark miokard disertai timbulnya
bising mitral sistolik, ruptur septum atau disosiasi elektro mekanik. Episode ini
disertai atau tanpa nyeri dada, tetapi sering disertai dengan sesak napas akut.
Keluhan dada pada infark miokard akut biasanya didaerah substernal, rasa seperti
ditekan, diperas, diikat, rasa dicekik, dan disertai rasa takut. Rasa nyeri menjalar ke
leher, rahang, lengan dan punggung. Nyeri biasanya hebat dan berlangsung lebih dari
½ jam, tidak menghilang dengan obat-obatan nitrat. Syok kardiogeenik yang berasal
dari penyakit jantung lainnya, keluhan sesuai dengan penyakit dasarnya.

5
Tanda penting yang muncul pada syok kardiogenik adalah sebagai berikut (Aspiani,
2015) :
a. Takikardia : Jantung berdenyut lebih cepat karena stimulasi simpatis yang
berusaha untuk meningkatkan curah jantung. Namun, hal ini akan menambah
beban kerja jantung dan meningkatkan konsumsi oksigen yang menyebabkan
hipoksia miokardium.
b. Kulit pucat dan dingin : vasokontriksi sekunder akibat stimulasi simpatis
membawa aliran darah yang lebih sedikit (warna dan kehangatan) ke kulit.
c. Berkeringat : stimulasi simpatis mengakibatkan kelenjar keringat.
d. Sianosis pada bibir dan bantalan kuku : stagnasi darah di kapiler setelah oksigen
yang tersedia di keluarkan.
e. Peningkatan CVP (tekanan vena sentral) dan PWCP (tekanan baji kapiler
pulmonal) : pompa yang mengalami kegagalan tidak mampu memompa darah,
tetapi darah tetap masuk ke jantung, menambah jumlah darah di dalam jantung,
sehingga meningkatkan preload.

2.1.5 Klasifikasi Syok Kardiogenik


Menurut Muttaqin 2009 Syok dapat dibagi menjadi tiga tahap yang semakin
lama semakin berat :
1. Tahap I, syok terkompensasi (non-progresif) ditandai dengan respons
kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah kemunduran lebih
lanjut.
2. Tahap II, tahap progresif, ditandai dengan manisfestasi sistemis dari hipoperfusi
dan keemunduran fungsi organ.
3. Tahap III, refrakter (irreversible), ditandai dengan kerusakan sel yang hebat
tidak pdapat lagi dihindari, yang pada akhirnya menuju ke kematian.

2.1.6 Komplikasi Syok Kardiogenik


Menurut Aspiani 2015 komplikasi yang muncul dari syok kardiogenik adalah :
1. Henti jantung paru.
2. Disritmia.
3. Gagal multisystem organ.

6
4. Stroke.
5. Tromboemboli.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Syok Kardiogenik


Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mendukung penegakan
diagnosis syok kardiogenik adalah sebagai berikut (Asikin, 2016):
1. EKG : untuk mengetahui adanya infark miokard dan/atau iskemia miokard.
2. Rongent Dada : menyingkirkan penyebab syok atau nyeri dada lainnya. Klien
dengan syok kardiogenik sebagian besar menunjukkan adanya gagal ventrikel
kiri.
3. Kateterisasi Jantung : Menentukan penyebab dan jenis syok dengan melihat
tekanan kapiler paru dan indeks jantung.
4. Enzim Jantung : mengetahui syok kardiogenik disebabkan oleh infark miokard
akut. Enzim jantung dapat berupa kreatinin kinase, troponin, myoglobin dan
LDH.
5. Hitung Darah Lengkap : melihat adanya anemia, infeksi atau koagulopati akibat
sepsis yang mendasari terjadinya syok kardiogenik.
6. Ekokardiografi : menentukan penyebab syok kardiogenik dengan melihat fungsi
sistolik dan diastolik jantung.
Terdapat beberapa tambahan pemeriksaan penunjang pada syok kardiogenik:
1. Pemindaian Jantung : tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan
jantung.
2. Elektrolit : mungkin berubah karena perrpindahan cairan atau penurunan fungsi
ginjal, terapi deuretik.
3. Oksimetri nadi : saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung
kongestif memperburuk penyakit paru obstruktif menahun (POM).
4. AGD : gagal ventrikel kiri diatandai alkalosis respiratorik ringan atau
hipoksiemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida.

7
2.1.8 Penatalaksanaan Syok Kardiogenik
1. Penatalaksanaan Medis
Penanganan Syok kardiogenik yaitu kegawadaruratan yang memerlukan
terapi resusitasi segera sebelum syok merusak organ secara irreversible (Aspiani,
2015).
1) Penanganan awal : resusitasi cairan, oksigenasi dan proteksi jalan nafas,
koreksi hipovolemia dan hipotensi.
2) Intervensi farmakologi :
a. sesuai penyebabnya, misalnya infark miokard atau sindromcoroner akut
diberikan aspirin dan heparin .
b. obat vasokontriksi, misalnya dopamine, epinefrin, dan norepinefrin.
c. mempertahankan tekanan darah yang adekuat untukmempertahankan
perfusi jaringan dan volume intravaskuler.
3) Farmakologi
Syok kardiogenik, setelah tercapainya preload yang optimal, sering kali
dibutuhkan inotropic untuk memperbaiki kontraktilitas dan obat lain untuk
menurunkan afeterload.
a. Katekolamin
Hormone yang termasuk dalam kelompok ini yaitu adrenalin (epinefrin),
noradrenalin (norepinephrine), isoproterenol, dopamine dan dobutamine.
Golongan obat ini akan menaikkan tekanan arteri, perfusi coroner,
kontraktilitas dan kenaikkan denyut jantung, serta vasontriksi perifer.
Kenaikan tekanan arteri akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta
kerja yang tidak diinginkan berpotensi mengakibatkan aritmia.
b. Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Hormone ini memiliki aktivitas stimulasi alfa yang kuat. Ketiga obat
tersevut memiliki aktivitas kronotropik. Stimulasi alfa yang kuat
menyebabkan vasokontriksi yang kuat, sehinggameningkatkan tekanan
dinding miokard yang dapat mengganggu aktivitas inotropic.
Isoproterenol merupakan vasodilator kuat, serta cenderung menurunkan
aliran darah dan tekanan perfusi coroner. Isoproterenolakan
meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, yang

8
mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen miokard yang
sangat berbahaya pada syok kardiogenik.
c. Dopamine
Dopamine mempengaruhi stimulasi reseptor beta 1 pada dosis 5-
10µg/kgBB/menit, sehingga terdapat peningkatan kontraktilitas dan
denyut jantung, sedangkan pada dosis >10µg/kgBB/menit, reseptor alfa 1
yang menyebabkan peningkatkan tekanan arteri sistemik dan tekanan
darah akan distimulasi oleh dopamine. Dopamine adalah prekusor
endogen noradrenalin, yang menstimulasi reseptor beta, alfa, dan
dopaminergic. Dopamine menyebabkan vasodilatasi ginjal, menseterika
dan coroner pada dosis <5 µg/kg/menit. Takikardia merupakan efek
samping dari dopamine.
d. Dobutamine
Dobutamine merupakan katekolamin inotropic standart yang digunakan
sebagai pembanding. Efek dobutamine terbatas pada tekanan darah.
Dobutamine juga meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna
pada tekanan darah. Oleh karena itu, tahanan vaskulat sistemik, tekanan
vena dan denyut jantung menurun, sehingga umumnya menandakan
adanya hipovolemia. Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta
dengan rentan dosis 2-40 mcg/kgBB/menit. Pada dosis tersebut,
dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas dengan sedikit efek
kronotropik tanpa vasokontriksi.
4) Mechanical Circulatory Support
Digunakan pada pengidap yang tidak responsive dengan pengobatan yang
telah diberikan.
a. Intra-aortic Ballon Pump (IABP) IABP dapat mengurangi afterload
ventrikel kiri sistolik dan mengurangi tekanan perfusi coroner diastolic,
sehingga meningkatkan output jantung dan aliran darah arteri coroner.
IABP dimasukkan melalui arteri besar dengan bantuan fluoroskopi yang
disinkronisasikan dengan EKG. Saat diastolic balon akan di kembangkan
yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan diastolic, sehingga akan
memperkuat aliran darah koroner dan perfusi koroner menjadi baik. Saat

9
sebelum sistolik ventrikel balon dikempiskan yang akan menurunkan
tekanan aorta dan ventrikel afterload.
b. Ventricular Assist Device (VAD) VAd dapat mendukung hemodinamika
jangka pendek untuk reperfusi. VAD digunakan setelah oklusi coroner
akut sehingga terjadi reduksi preload ventrikel kiri, meingkatkan aliran
darah miokard dan memperbaiki fungsi jantung secara umum.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pencegahan syok kardiogenik adalah salah satu tanggung jawab utama perawat
di area keperawatan kritis. Tindakan pencegahan teermasuk mengidentifikasi
pasien pada resiko dan pengkajian serta manajemen status kardiopulmoner
pasien. Pasien dalam syok kardiogenik mungkin memiliki sejumlah diagnosis
keperawatan, tergantung pada perkembangan penyakit Prioritas keperawatan
diarahkan terhadap :
1. Membatasi permintaan oksigen miokard.
2. Peningkatan pasokan oksigen miokard.
3. Mempromosikan kenyamanan dan dukungan emosi.
4. Mempertahankan pengawasan terhadap komplikasi.
Langkah-langkah untuk membatasi kebutuhan oksigen miokard meliputi :
1. Pemberian analgesic, sedative, dan agens untuk mengontrol afterload dan
disritmia.
2. Posisikan pasien untuk kenyamanan.
3. Membatasi aktivitas.
4. Menyediakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
5. Memberikan dukungan untuk mengurangi kecemasan.
6. Memberikan pemahaman kepada pasien tentang kondisinya.
Pengukuran untuk meningkatkan suplai oksigen miokard mencakup pemberian
oksigen tambahan, pemantauan status pernapasan pasien dan memberikan obat
yang diresepkan. Manajemen keperawatan yang efektif dari syok kardiogenik
membutuhkan pemantauan yang tepat dan pengelolaan SDM, preload, afterload
dan kontraktilitas. Hal ini dapat dicapai melalui pengukuran akurat dari variable
hemodinamik dan pengontrolan pemberian cairan serta inotropic dan agen

10
vasoaktif. Hasil penilaian dan pengelolaan fungsi pernapasan juga penting untuk
mempertahankan oksigenasi yang adekuat (Aspiani, 2015).

2.1.9 Asuhan Keperawatan Secara Umum


1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien dengan syok kardiogenik, dengan data fokus pada :
1. Aktivitas
a. Gejala : kelemahan, kelelahan.
b. Tanda : takikardia, dispnea pada istirahat atau aktivitas, perubahanwarna
kulit kelembaban, kelemahan umum.
2. Sirkulasi
a. Gejala : riwayat AMI sebelumnya, penyakit arteri koroner, GJK, masalah
TD, DM.
b. Tanda : tekanan darah turun <90 mmhg atau dibawah, perubahan postural
dicatat dari tidur sampai duduk berdiri, nadi cepat tidak kuat atau lemah,
tidak teratur, BJ ekstra S3 atau S4 mungkin menunjukan gagal jantung atau
penurunan kontraktilitas ventrikel, Gejala hipoperfusi jaringan kulit;
dioforesis (Kulit Lembab), pucat, akral dingin, sianosis, vena–vena pada
punggung tangan dan kaki kolaps.
3. Eliminasi
a. Gejala : Produksi urine <30 ml/jaM.
b. Tanda : oliguri.
4. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Gejala : nyeri dada yang timbulnya mendadak dan sangat hebat, tidak hilang
dengan istirahat atau nitrogliserin, lokasi tipikal pada dada anterio substernal,
prekordial, dapat menyebar ketangan, rahang, wajah, Tidak tentu lokasinya
seperti epigastrium, siku, rahang,abdomen,punggung, leher, dengan kualitas
chorusing, menyempit, berat, tertekan, dengan skala biasanya 10 pada skala
1-10, mungkin dirasakan pengalaman nyeri paling buruk yang pernah
dialami.
b. Tanda : wajah meringis, perubahan postur tubuh, meregang mengeliat,
menarik diri, kehilangan kontak mata, perubahan frekuensi atau irama
jantung, TD, pernafasan, warna kulit/kelembaban, bahkan penurunan
kesadaran.
5. Pernafasan

11
a. Gejala : dyspnea dengan atau tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk dengan
atau tanpa produksi sputum, penggunaan bantuan pernafasan oksigen atau
medikasi, riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.
b. Tanda : takipnea, nafas dangkal, pernafasan laboret; penggunaan otot
aksesori pernafasan, nasal flaring, batuk; kering/nyaring/nonprodoktik/batuk
terus-menerus, dengan/tanpa pembentukan sputum: mungkin bersemu darah,
merah muda/berbuih (edema pulmonal). Bunyi nafas; mungkin tidak
terdengar dengan crakles dari basilar dan mengi peningkatan frekuensi
nafas, nafas sesak atau kuat, warna kulit; pucat atau sianosis, akral dingin.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b/d perubahan kontraktilitas miokardial/ perubahan
inotropik.
b. Kerusakan Pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolar.
c. Kelebihan volume cairan b/d Penurunan ferfusi organ ginjal, peningkatan na/
air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma
(menyerap air dalam area interstisial/jaringan).
d. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan/penghentian aliran darah.
e. Nyeri (akut) b/d iskemik jaringan sekunder akibat sumbatan atau
penyempitan arteri koroner.
f. Intoleransi aktifitas b/d Ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan, adanya iskemik/nekrotik jaringan miokard.

2.2 Konsep Syok Sepsis


2.2.1 Defenisi Syok Sepsis
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah
leukosit, takikardi dan takipnu (PERDACI, 2014).
Sepsis adalah adanya sindroma respons inflamasi sistemik (Systemic
Inflammatory Response Syndrome/SIRS) ditambah dengan adanya infeksi pada organ
tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan
bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya SIRS
ditambah dengan infeksi yang dibuktikan atau dengan suspek infeksi secara klinis.
Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC), takikardi,

12
asidosis metabolik, biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan
takipneu, dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat
disebabkan oleh infeksi virus atau jamur (Guntur, 2008).
Society for Critical Care Medicine (SCCM) Concensus Conference on
Standarized Definitions of Sepsis (1992), telah mempublikasikan konsensus dengan
defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan
dan menetapkan kriteria SIRS, sepsis berat dan syok septik sebagai berikut :
a. Bakteriemia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah
positif.
b. SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih keadaan
berikut :
1. Suhu >38◦ C atau <36◦ C.
2. Takikardia (HR >90 x/menit).
3. Takipnu (RR >20 x/menit) atau PaCO2 <32 mmHg.
4. Leukosit darah >12.000/ µL atau neutrofil batang >10%.
a. Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebab kuman.
b. Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.
c. Syok sepsis : sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan
secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.
d. Hipotensi : tekanan darah sistolik <90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tekanan
darah normal pasien.

Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood poisoning)
mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi
dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ. Sepsis berat adalah sepsis
yang disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi.
Kelainan hipoperfusi meliputi:
1. Menurunnya Fungsi Ginjal.
2. Hipoksemia.
3. Asidosis Laktat.
4. Oliguria.
5. Perubahan Status Mental

13
2.2.2 Etiologi Syok Sepsis
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan
oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang
paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan
Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang
kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi (Caterino JM, 2012).
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok
septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat
yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya
ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum,
urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,
tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses
oleh kultur (Fauci AS, 2009).
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi
dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama,
terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis
(misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya
pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis (Fauci AS, 2009).
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan
panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia).
2. Flu (influenza).
3. Appendiksitis.
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis).
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius).
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit.
7. Infeksi pasca operasi.

14
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari
lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.

2.2.3 Tahapan Perkembangan Sepsis


Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
1. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini
sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
2. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai
mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati.
3. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke
tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan
oksigen yang cukup. Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari
uncomplicated sepsis ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan
organ multiple dan kematian (Cavaillon, 2009).

2.2.4 Manifestasi Klinis Syok Sepsis


Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda- tanda
nonspesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise,
gelisah, atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat
dijumpai pada banyak kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling
sering: paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat.
Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia yang sering
diikuti gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai dengan terjadinya
syok septik (Guntur A, H, 2007).
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi: (Guntur A, H, 2007)
1. Sindrom distres pernapasan pada dewasa.
2. Koagulasi intravaskuler.
3. Gagal ginjal akut.
4. Perdarahan usus.
5. Disfungsi sistem saraf pusat.
6. Gagal jantung.

15
7. Kematian.

Tanda klinis syok septis : (Guntur A, H, 2007)


1. Fase dini : terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
2. Post resusitasi cairan : gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardi, nadi
keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi dan
ekstremitas hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis dan tanda hipoperfusi : takipnea, oliguri, sianosis,
mottling, iskemia jari, perubahan status mental.

2.2.5 Pathway Sepsis

16
2.2.6 Komplikasi Syok Sepsis
Kematian karena sepsis berat dan syok septik cukup tinggi. Sudah dijelaskan
sebelumnya, spektrum penyakit sepsis dapat berkembang dari SIRS sampai ke disfungsi
multiorgan (MODS). Pada umumnya SIRS akan reversibel apabila diobati dengan
cepat, namun apabila sudah terjadi MODS maka akan dibutuhkan waktu yang cukup
lama untuk pemulihannya. Konsekuensi yang paling serius dari sepsis adalah kematian.
Apabila tidak terobati, sepsis akan menyebabkan gangguan fisiologi dan biokimia yang
berat (Cavaillon, 2009).

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang Sepsis


Menurut Sudoyo, dkk (2006) pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pada Sepsis
adalah dengan bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam
menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk itu pemeriksaan
penunjang baik pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan khusus sering
dipergunakan dalam membantu menegakkan diagnosis. Upaya ini tampaknya masih
belum dapat diandalkan. Saat ini pemeriksaan laboratorium tunggal yang memiliki
sensitifitas dan spesifitas tinggi sebagai indikator sepsis belum ditemukan.
Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis secara serial untuk menilai
perubahan akibat infeksi, adanya lekositosis atau lekopenia, neutropenia,
peningkatan rasio netrofilimatur total lebih dari 0,2.
b. Peningkatan protein akut (C-reactive protein), peningkatan IgM.
c. Ditemukan kuman pada pemeriksaan kultur dan pengecatan Gram pada
sampel darah, urin, dan cairan serebrospinal serta dilakukan uji kepekaan
kuman.
d. Analisa gas darah: hipoksia, asidosis metabolik, asidosis laktat.
e. Pada pemeriksaan serebrospinal ditemukan peningkatan jumlah leukosit
terutama PMN, jumlah leukosit >20/ml.
f. Gangguan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik.
g. Peningkatan kadar bilirubin.

17
2.2.8 Penatalaksanaan Syok Sepsis
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines For
Management of Sepsis and Sptic Shock 2016.
Komponen dalam tatalaksana sepsis 2016:
1. Resisusitasi cairan awal.
2. Skrining sepsis.
3. Diagnosis.
4. Terapi antimikroba.
5. Source control.
6. Terapi cairan.
7. Pemberian obat vasoaktif.
8. Kortikosteroid.
9. Imunoglobin.
10. Blood purification.
11. Anti koagulan.
12. Ventilasi mekanik.
13. Sedasi dan analgesik.
14. Control glukosa.
15. Renal replacement terapy.
16. Terapi bikarbonat.
17. Profil aksis tromboemboli vena.
18. Profilaksi stress ulcer.
19. Nutrisi.

Target pencapaian:
a. Rekomendasikan tujuan dan taerget perawatan diinformasikan secara jelas
kepada keluarga pasien.
b. Direkomendasikan tujuan dan target perawatan juga termasuk perawatan akhir
hayat (end of life treatment: terapi paliatif).
c. Disarankan tujuan dan target perawatan dimulai secepat mungkin, dalam waktu
kurang dari 72 jam setelah masuk ICU.

18
1. Resusitasi awal (initial rescucitatio) Guideliness SSC 2016.
a. Sepsis dan syok adalah kegawatdaruratan medis, dan direkomendasikan agar
terapi dan resusitasi dimulai sedini mungkin.
b. Direkomendasikan, resusitasi awal sepsis yang menyebabkan hipoperfusi,
minimal 30 ml/kg BB cairan kristaloid intravena habis dalam 3 jam pertama.
c. Konsep dari pada protokol rivers (sangat penting) dalam resusitasi:
1. Mulai antibiotik sedini mungkin.
2. Koreksi hypovolemia.
3. Kembalikan tekanan perfusi.
d. Direkomendasikan setelah cairan resusitasi awal, pemberian cairan lanjutan
diberikan dengan pemantauan rutin dan sering dari hemodinamik pasien.
e. Direkomendasikan melakukan penilaian hemodinamik lanjutan seperti
penilaian fungsi jantung untuk menentukan jenis syok yang dialami pasien,
bila pemeriksaan klinis tidak jelas.
f. Direkomendasikan target MAP awal 65 mmHg pada pasien bila pemeriksaan
klinis tidak jelas.
g. Disarankan terdapat variabel dinamis setelah variabel statis yang dapat
digunakan untuk memperkirakan respon tubuh terhadap pemberian cairan.
h. Disarankan resusitasi terpandu kadar laktat tubuh, dimana peningkatan laktat
merupakan tanda dari hipoperfusi jaringan.
2. Skrining Sepsis
a. Direkomendasikan sistem RS memiliki program untuk sepsis, termasuk
didalamnya skrining sepsis untuk pasien nyeri akut, dan pasien resiko tinggi.
3. Diagnosis
a. Direkomendasikan kultur mikrobiologi rutin (termasuk kultur sampel darah)
dilakukan sebelum memulai terapi antimikroba pada pasien curiga
sepsis/syok sepsis, dan tidak ada penundaan dalam pemberian terapi
antimikroba.
4. Terapi antimikroba
a. Direkomendasikan pemberian antimikroba intravena diberikan secepatnya
dalam waktu kurang dari 1 jam setelah diagnosis sepsis/syok sepsis.

19
b. Disarankan pemberian antimikroba 7-10 hari secara adekuat pada pasien
sepsis/ syok septik.
5. Source control (pengendalian sumber infeksi)
a. Direkomendasikan diagnosis anatomis spesifik penyebab infeksi
diindentifikasi dini dan diterapi secepatnya baik dengan intervensi bedah
maupun non bedah.
b. Direkomendasikan pemindahan dini akses intravena yang dicurigai sebagai
sumber infeksi pada pasien sepsis/syok sepsis setelah dilakukan akses
intravena lain.
6. Terapi cairan
a. Direkomendasikan, TIDAK menggunakan hydroxyethyl starches (HES)
untuk cairan pengganti volume inytravascular pada pasien sepsis/ syok
sepsis.
7. Terapi bikarbonat
a. Disarankan tidak menggunkan bicnat untuk meningkatkan hemodinamik
atau untuk mengurangi dosis vasopressor pada pasien hipoperfusi dengan
asidosis laktat dengan Ph >7,15.
8. Nutrisi
a. Direkomendasikan tidak menggunakan nutrisi paranteral dini ataupun
kombinasi nutrisi parenteral dengan anteral pada pasien kritis dengan
sepsis/syok seosis yang dapat diberi makan enteral.
b. Disarankan diet hopokalori makanan enteral pada pasien pada pasien
sepsis/syok sepsis, jika makanan enternal hipokalori merupakan strategi
awal, maka pemberian makan disesuaikan dengan toleransi pasien.
c. Disarankan pemberian asam amino omega 3 sebagai suplementasi pada
pasien sepsis/syok sepsis.
d. Disarankan menggunakan obat-obat prokinetik pada pasien dengan
intoleransi makanan.
e. Disarankan menggunakan NGT pada pasien ICU dengan sepsis/syok sepsis
resiko tinggi aspirasi.
f. Direkomendasikan tidak memberikan selenium intravena pada pasien
sepsis/syok sepsis.

20
g. Disarankan tidak memberikan arginin untuk terapi sepsis/syok sepsis.
h. Disarankan tidak menggunakan glutamin untuk terapi sepsis/syok sepsis.
i. Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan carnitin untuk sepsis/syok sepsis.

2.2.9 Asuhan Keperawatan Secara Umum


1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
Airway
a. Yakinkan kepatenan jalan napas.
b. Berikan alat bantu napas jika perlu.
c. Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan
bawa segera mungkin ke ICU.

Breathing
a. Kaji jumlah pernapasan lebih dari 24 kali permenit merupakan gejala yang
signifikan.
b. Kaji saturasi oksigen.
c. Periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan
asidosis.
d. Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask.
e. auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada.
f. Periksa foto thorak.

Circulation
a. Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan.
b. Monitoring tekanan darah, tekanan darah.
c. Periksa waktu pengisian kapiler.
d. Pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar.
e. Berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel.
f. Pasang kateter.
g. Lakukan pemeriksaan darah lengkap.
h. Catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang
dari 360C.

21
i. Siapkan pemeriksaan urin dan sputum.
j. Berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.

Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal
sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran
dengan menggunakan AVPU.
Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat
suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.
b. Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas dan istirahat
Subyektif : Menurunnya tenaga/kelelahan dan insomnia.
b. Sirkulasi
1. Subyektif : Riwayat pembedahan jantung/bypass cardiopulmonary,
fenomena embolik (darah, udara, lemak).
2. Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya
hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock).
3. Heart rate : takikardi biasa terjadi.
4. Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic)
dapat terjadi disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan
normal.
5. Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa
terjadi (stadium lanjut).
c. Integritas Ego
1. Subyektif : Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat dengan kematian.
2. Obyektif : Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel, perubahan mental.
d. Makanan/Cairan
1. Subyektif : Kehilangan selera makan, nausea.
2. Obyektif : Formasi edema/perubahan berat badan, hilang/melemahnya
bowel sounds.
e. Neurosensori

22
1. Subyektif atau Obyektif : Gejala truma kepala, kelambatan mental,
disfungsi motorik.
f. Respirasi
1. Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal
diffuse, kesulitan bernafas akut atau khronis, “air hunger”.
2. Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting.
g. Rasa Aman
1. Subyektif : Adanya riwayat trauma tulang/fraktur, sepsis, transfusi
darah, episode anaplastik.
h. Seksualitas
1. Subyektif atau obyektif : Riwayat kehamilan dengan komplikasi
eklampsia.

2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan O2 , edema paru.
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload dan
preload.
c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan cardiac
output yang tidak mencukupi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

23
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus
Seorang laki-laki, berusia 30 tahun, dirawat di ICU (Intensive Care Unit) Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) dengan keluhan
sesak nafas dua hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan batuk disertai dahak
produktif, kental, kekuningan, disertai demam dan menggigil. Pasien tampak gelisah
dan kebingungan. Pasien memiliki riwayat diabetes dan gagal ginjal dan riwayat
konsumsi obat kortikosteroid deksametason selama satu tahun karena keluhan gatal-
gatal di seluruh tubuh tanpa konsultasi dokter. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum
kesadaran somnolen, Glasgow Coma Scale (GCS) E2M3V2. Tekanan darah 140/90
mmHg, Nadi: 120 kali/menit, RR: 30 kali/ menit, suhu 38,5oc, saturasi oksigen 93%
dengan Non Rebrathing Mask 12 liter/menit. Berat badan 87 kg, tinggi badan 160 cm
(Nilai Indeks Masa Tubuh = 31.2 = obesitas), bentuk wajah bulat (kesan moonface),
leher pendek. Sklera tidak ikterik. Pada auskultasi paru bunyi nafas vesikuler, ronki
basah kasar bilateral, tidak terdapat mengi. Auskultasi jantung bunyi jantung 1 dan 2
reguler, tidak terdapat pirau dan irama derap. Abdomen membuncit, hepar dan lien
tidak teraba dan bising usus normal. Terdapat striae dan edema ekstremitas serta lesi
keputihan pada lipat paha. Tidak ada tanda rangsang meningeal, kelumpuhan saraf
kranial maupun kelumpuhan saraf sensorik dan otonom. Pasien di diagnosis sepsis oleh
dokter.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium: Hb 12,3 g/dL, hematokrit
37,1%, leukosit 18.000/ µl, trombosit 117.000/µl, hitung jenis 1/0/11/57/30/1, LED 15,
Laktat 2,2 mmol/L, procalcitonin 454,70 ng/ml, natrium 125 mmol/L, kalium 5,5
mmol/L, klorida 95 mmol/L, ureum 22 mg/dl, kreatinin 0,96 mg/dl, GDS 200, SGOT/
SGPT 188/318 bil total/direk/indirek 1,54/1,12/0,42. HIV non reaktif. HbsAg negatif.
Analisa gas darah arteri (AGDa): pH 7.49, PaO2 101.8, PaCO2 22.7, Base excess -17.6.
Rontgen thoraks: kesan infiltrat kedua lapang paru.

24
3.2 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1. Airway
Terdapat sumbatan pada jalan nafas berupa dahak produktif, kental dan
kekuningan. Suara nafas ronchi basah kasar bilateral.
2. Breathing
Sesak napas, frekuensi napas 30 x/menit, (-) pergerakan dinding dada, (-)
bunyi nafas tambahan, (-), penggunaan Non Rebrathing Mask 12
liter/menit.
3. Circulation
Nadi 120 x/menit, Tekanan darah 140/90 mmHg, Suhu 38,5 oC, PH
7,49, PaO2 101.8, PaCO2 22,7, SaO2 93%, Base excess -17.6.
4. Disability
Kesadaran : somnolen, GCS (V:2, M:3, E:2).
5. Exposure
Edema dan striae pada ekstremitas, lesi kepuithan pada lipat paha.

b. Pengkajian Sekunder
1. Riwayat kesehatan :
a) Pasien mengeluhkan sesak napas 2 hari sebelum masuk RS.
b) Pasien memiliki riwayat konsumsi obat kortikosteroid
dexamethasone selama 1 tahun karna gatal-gatal seluruh tubuh.
c) Pasien memiliki riwayat diabetes dan gagal ginjal.
2. Vital sign :
a) Keadaan umum : somnolen
b) RR : 30x/menit
c) Tekanan darah : 140/90 mmHg
d) Suhu : 38,5oc
e) Nadi : 120 x/menit

25
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pernafasan
Auskultasi paru bunyi nafas vesikuler, ronki basah kasar bilateral,
tidak terdapat mengi.
b. Kardiovaskuler
Auskultasi jantung bunyi jantung S1 dan S2 reguler, tidak ada bunyi
tambahan.
c. Persyarafan
Tidak ada tanda rangsang meningeal, kelumpuhan saraf kranial
maupun kelumpuhan saraf sensorik dan otonom.
d. Pengindraan
1. Wajah
Bentuk wajah bulat (kesan moonface), leher pendek.
2. Mata
Skelera tidak ikterik.
e. Pencernaan
Abdomen membuncit, hepar dan lien tidak teraba dan bising usus
normal.
4. Pemeriksaan Penunjang
Hb 12,3 g/dL, hematokrit 37,1%, leukosit 18.000/ µl, trombosit
117.000/µl, hitung jenis 1/0/11/57/30/1, LED 15, Laktat 2,2 mmol/L,
procalcitonin 454,70 ng/ml, natrium 125 mmol/L, kalium 5,5 mmol/L,
klorida 95 mmol/L, ureum 22 mg/dl, kreatinin 0,96 mg/dl, GDS 200,
SGOT/ SGPT 188/318 bil total/direk/indirek 1,54/1,12/0,42. HIV non
reaktif. HbsAg negatif. Analisa gas darah arteri (AGDa): pH 7.49, PaO2
101.8, PaCO2 22.7, Base excess -17.6. Rontgen thoraks: kesan infiltrat
kedua lapang paru.

26
3.3 Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. DO: Infeksi Kuman Gangguan Pertukaran Gas
- Keadaan umum :
somnolen Disfungsi organ multiple
- RR : 30x/menit
- TD : 140/90 mmHg Penumpukan secret dijalan
-S : 38,5oc nafas
-N : 120 x/menit
- Saturasi oksigen 93% Sesak nafas
dengan Non Rebrathing
Mask 12 liter/menit. Gangguan Pertukaran gas
- Suara nafas ronki basah
kasar.
- pH 7.49, PaO2 101.8,
PaCO2 22.7, Base excess -
17.6,
- Rontgen thoraks: kesan
infiltrat kedua lapang paru.
- Pasien tampak gelisah
dan kebingungan.

Ds :
- Pasien mengatakan sesak
nafas dua hari sebelum
masuk rumah sakit, batuk
disertai dahak produktif,
kental kekuningan disertai
demam dan menggigil

27
Do : Mikroorganisme (bakteri Resiko syok
- Pasien didiagnosis sepsis gram negatif)
- Dahak produktif dan
kental kekuningan Disfungsi organ multiple
- Tanda-tanda vital
- TD : 140/90 Terhambatnya fungsi
- N : 120 x/menit mitokondria
- RR : 30 x/menit
- Suhu : 38,5oc Kerja sel menurun

Ds : Penurunan respon imun


- Pasien mengeluhkan
demam dan menggigil Resiko syok

Do : Masuknya kuman dalam Hipertemia


- Tanda-tanda vital tubuh (saluran pernafasan)
- TD : 140/90
- N : 120 x/menit Reaksi peradangan
- RR : 30 x/menit
- Suhu : 38,5oc Peningkatan produksi
prostaglandin
Ds :
Pasien mengeluhkan Merangsang
demam dan menggigil thermoregulator di
hypothalamus

Demam dan menggigil

Hipertermia

28
3.4 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi ditandai
dengan dispnea, gelisah, PH arteri abnormal, somnolen.
2. Resiko syok b.d hipoksia dan sepsis.
3. Hipertermia b.d sepsis ditandai dengan gelisah, takikardia.

3.5 Intervensi
NANDA NOC NIC
MANAJEMEN AKTIVITAS
1. Gangguan Setelah dilakukan 1. Manajemen 1. Pertahankan kepatenan
tindakan dalam asam basa : jalan nafas
pertukaran gas bd
2x24 jam alkalosis 2. Monitor pola nafas
ketidakseimbanga didapatkan hasil : respiratorik 3. Kurangi konsumsi O2
dengan cara
n ventilasi perfusi
1. Respon meningkatkan
Ditandai dengan ventilasi mekanik : kenyamanan,
dewasa : mengontrol demam,
Dispnea, Gelisah,
a. PaO2 (tekanan dan mengurangi
PH arteri parsial oksigen kecemasan untuk
dalam darah meminimalkan
abnormal,
arteri) dari (2) hiperventilasi sesuai
somnolen ke (4). dengan kebutuhan.
b. PaCO2 4. Sediakan sungkup
(tekanan oksigen untuk membuat
parsial karbon pasien hiperventilas,
dioksida dalam sesuai kebutuhan
arteri darah) 5. Kelola cairan parenteral
dari (2) ke (4). klorida untuk
c. Arteri PH dari mengurangi HCO3
(2) ke (4). ketika mengoreksi
d. Keseimbangan penyebab alkalosis
ventilasi dan respirasi, sesuai dengan
perfusi dari (2) kebutuhan
ke (4). 6. Monitor kecenderungan
e. Kegelisahan pada PH arteri PaCO2
dari (2) ke (5). dan HCO3 untuk
f. Atelektasis dari menentukan efektifitas
(1) ke (4). intervensi.
g. Saturasi 7. Monitor gejala
Oksigen dari perburukan alkalosis
(2) ke (4). respiratorik (misalnya
periode alternative
untuk apnea dan
hiperventilasi,
meningkatnya

29
2. Status kecemasan,
pernafasan: peningkatan denyut
pertukaran gas nadi tanpa peningkatan
a. gangguan tekanan darah,sesak
kesadaran dari napas, mengantuk,
(2) ke (4) perasaan geli atau
tertusuk pada
ekstremitas, nilai PH
diatas 7,45 PaCO2
kurang dari 35 mmHg).
8. Dapatkan sampel sesuai
order untuk dilakukan
analisa laboratorium
terhadap keseimbangan
asam basa.
9. Hitung perubahan pada
PaCO2 yang
diobservasi dan
perubahan yang
diharapkan pada
PaCO2 untuk
menentukan adanya
perubahan kekacauan
campuran asam basa.
10. Instruksikan atau
keluarga untuk
melakukan tindakan-
tindakan yang
terencana untuk
menangani alkalosis
respiratorik.

2. Manajemen 1. Buka jalan nafas


jalan nafas dengan teknik chin lift
atau jaw trust
sebagaimana mestinya
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan
ventilasi
3. Buang sekret dengan
memotivasi pasien
untuk melakukan batuk
atau menyedot lender
4. Instruksikan bagaimana
agar bisa melakukan
batuk efektif
5. Auskultasi suara nafas,
catat area yang

30
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan.
6. Ajarkan pasien
bagaimana
menggunakan inhaler
sesuai resep,
sebagaimana mestinya
7. Posisikan pasien untuk
meringankan sesak
napas
8. Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi sebagai
mana mestinya.
2. Resiko syok Setelah dilakukan 1. Pencegahan 1. Monitor terhadap adanya
tindakan dalam Syok respon kompensasi awal
berhubungan
2x24 jam syok.
dengan hipoksia didapatkan hasil : 2. Monitor terhadap adanya
tanda awal reaksi alergi.
dan sepsis
1. Keparahan syok : 3. Monitor hasil
sepsis laboratorium, terutama
a. meningkatnya Hgb dan Hct, profil
laju nafas dari pembekuan, AGD,
(2) ke (4) laktat, elektrolit, kultur,
b. sesak nafas dan kimia darah.
dari (2) ke (4) 4. Berikan dan pertahankan
c. meningkatnya kepatenan jalan nafas,
suhu tubuh sesuai kebutuhan.
dari (2) ke (4) 5. Berikan oksigen atau
d. menggigil dari ventilasi mekanik sesuai
(2) ke (4) kebutuhan.
e. penurunan 6. Mulai lebih awal
tingkat pembagian agen anti
kesadaran dari mikroba dan monitor
(2) ke (4) ketat efektivitasnya
sesuai kebutuhan.
7. Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai
faktor-faktor pemicu
syok, tanda gejala syok
yang mengancam jiwa,
dan langkah-langkah
yang harus dilakukan
terhadap timbulnya
gejala syok.

31
2. Monitor 1. Monitor pola nafas.
pernafasan 2. Monitor saturasi
oksigen pada pasien
yang tersedasi ( SaO2,
sVo2, SpO2) sesuai
dengan protocol yang
ada
3. Auskultasi suara nafas,
catat area dimana
terjadi penurunan atau
adanya ventilasi dan
keberadaan suara nafas
tambahan
4. Kaji perlunya
penyedotan pada jalan
nafas dengan auskultasi
suara nafas ronki di
paru
5. Auskultasi suara nafas
setelah tindakan untuk
di catat
6. Monitor peningkatan
kelelahan, kecemasan
dan kekurangan udara
pada pasien
7. Catat perubahan pada
saturasi O2, volume
tidal alhir Co2 dan
perubahan nilai gas
darah dengan cepat
8. Buka jalan nafas
dengan menggunakan
maneuver chin lift atau
jaw thrust dengan tepat.
9. Berikan bantuan terapi
nafas jika diperlukan
(mis. Nebulizer).
3. Hipertermia Setelah dilakukan 1.Manajemen 1. Buat dan pertahankan
tindakan dalam Syok kepatenan jalan nafas,
b.d sepsis
2x24 jam sesuai kebutuhan.
ditandai didapatkan hasil : 2. Ambil AGD dan monitor
okgenisasi jaringan.
dengan
1. Termoregulasi 3. Monitor determinan dari
gelisah, a. Tingkat pengiriman oksigen ke
pernafasan dari jaringan.
takikardia.
ke (2) ke (4) 4. Monitor timbulnya
b. hipertermia dari gejala gagal nafas (mis.
ke (2) ke (4) Rendahnya PaO2,

32
2. Keparahan peningkatan PaCO2,
Infeksi kelemahan otot-otot
a. demam dari ke respirasi).
(2) ke (4) 5. Pasang selang
b. ketidakstabilan nasogastrik untuk
suhu dari ke (2) menghisap dan
ke (4) memonitor sekret atau
c. menggigil dari ke produksi gaster sesuai
(2) ke (4) kebutuhan.
6. Berikan trombolitik
sesuai kebutuhan.
7. Berikan vasopressin
dosis rendah sesuai
kebutuhan.
8. Berikan dukungan emosi
pada pasien dan
keluarga, dorong
harapan yang realistis.

2. Pengaturan 1. Monitor suhu paling


Suhu tidak setiap 2 jam
sesuai kebutuhan.
2. Monitor tekanan darah,
nadi dan respirasi
sesuai kebutuhan.
3. Instruksikan pasien
bagaimana mencegah
keluarnya panas dan
serangan panas.
4. Diskusikan pentingnya
termoregulasi dan
kemungkinan efek
negatif dari demam
yang berlebihan sesuai
kebutuhan.
5. Sesuaikan suhu
lingkungan untuk
kebutuhan pasien.
6. Berikan medikasi yang
tepat untuk mencegah
atau mengontrol
menggigil.
7. Berikan pengobatan
antipiretik sesuai
kebutuhan.

33
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Askep dengan Teori


Terdapat persamaan antara kasus dan teori tanda dan gejala syok sepsis,
tanda gejalanya, yaitu : suhu pasien yang meningkat hingga 400C dan pasien
mengalami demam, sesuai dengan manifestasi klinis dibab 2 yang kelompok
sudah paparkan. Pada pengkajian kasus dalam Airway terdapat sumbatan pada
jalan nafas berupa dahak produktif, kental dan kekuningan. Suara nafas ronchi
basah kasar bilateral. Terdapat edema dan striae pada ekstremitas, lesi kepuithan
pada lipat paha.
Diagnosis yang sering dijumpai pada pasien syok sepsis menurut Judith
M.Wilikinson (2012) adalah Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2 , edema paru. Kelompok
mengambil diagnosis sesuai dengan masalah yang terjadi dalam kasus kelompok
paparkan yaitu Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi
perfusi ditandai dengan dispnea, gelisah, penurunan karbon dioksida, PH arteri
abnormal, dan somnolen. Resiko syok b.d hipoksia dan sepsis, dan Hipertermia
b.d sepsis ditandai dengan gelisah, takikardia.
Penatalaksanaan yang dilakukan untuk mengatasi syok sepsis menurut
teori adalah Resisusitasi cairan awal, Skrining sepsis, Nutrisi dll. Dan kelompok
mengambil intervensi sesuai dari masalah didalam kasus yaitu manajemen asam
basa : alkalosis respiratorik, Manajemen jalan nafas, Pencegahan syok, Monitor
pernafasan, Manajemen syok, dan pengaturan syok. Intervensi ini terdapat di
dalam Bab 3 pada bagian NIC yang kelompok paparkan.

34
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Syok dapat didefinisikan sebagai sindrom gangguan patofisiologi berat
yang ketika berlanjut menyebabkan perfusi jaringan yang buruk, hal ini dapat
dikaitkan dengan metabolisme sel yang tidak normal. Selain itu, syok
merupakan kegagalan sirkulasi perifer yang menyeluruh sehingga perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat. Syok kardiogenik merupakan suatu kondisi
dimana terjadi hipoksia jaringan sebagai akibat dari menurunnya curah jantung,
meskipun volume intravaskuler cukup. Sebagian besar kondisi syok ini
disebabkan oleh infark miokard akut. Sedangkan penyebab yang sering terjadi
pada syok kardiogenik adalah akibat beberapa jenis kerusakan, gangguan atau
cedera pada jantung yang menghambat kemampuan jantungg untuk berkontraksi
secara efektif dan memompa darah. Pada syok kardiogenik, jantung mengalami
kerusakan berat sehingga tidak bisa secara efektif memperfusi dirinya sendiri
atau organ vital lainnya.
Kemudian definisi dari Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik
terhadap infeksi, dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah
sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan
temperatur tubuh, perubahan jumlah leukosit, takikardi dan takipnu. Dan Sepsis
biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan
oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal
yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus,
Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis
merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari
host terhadap infeksi.

35
5.2 Saran
Bagi mahasiswa keperawatan sebagai sumber materi untuk menambah
pengetahuan mahasiswa mengenai asuhan keperawatan kritis pada pasien syok
sepsis dan syok kardiogenik dengan harapan dapat meningkatkan kualitas
pendidikan sehingga dapat tercipta tenaga keperawatan yang profesional dan
dapat memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif.

36
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R, Y. (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Kardiovaskuler. Jakarta: EGC.
Caterino, J. & Kahan, S., (2012). Master Plan Kedaruratan Medik Indonesia.
Indonesia: Binarupa Aksara.
Cavaillon, J. & Adrie, C., (2009). Sepsis and Non-infectious Systemic Inflamation for
Bilogy to Critical Care. s.l.:Wiley.
Fauci, A., KAsper, D., Longo, D. & Loscalzo, J., (2000). Harrison Manual Kedokteran.
Indonesia: Karisma Publisher Group.
Guntur A H, Sepsis. (2007). Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Editor). Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FK UI.
Guntur, (2008). Immunnopatobiologik Sepsis dan Penatalaksanaannya. Penerbit: FK
UNS Sebelas Maret University Press.
Muttaqin, Arif. (2009). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
Sudoyo, Aru W dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Opal, S.M., (2012). Septicemia. In: Ferri et al., ed. Ferri’s Clinical Advisor 2012: 5
Books in 1. Philadelphia: Elsevier Mosby, 924-925.
PERDACI (Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia). (2014). Penatalaksanaan
Sepsis dan Syok Septik : Surviving Sepsis Campaign Bundle.

37

Anda mungkin juga menyukai