Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SYOK

1.1. Latar Belakang


Kehilangan cairan baik elektrolit maupun darah turut menjadi andil dalam
kasus kematian di dunia. Kematian karena syok (paling banyak karena
perdarahan) sebanyak 6 -36 % pertahun dan kehilangan cairan (diare hebat)
800.000 jiwa pertahun pada balita. Kematian pada kasus kehilangan volume
cairan dapat dicegah dan dihentikan dan kehilangan cairan dapat digantikan
dengan melakukan resusitasi cairan. Resusitasi cairan terbukti dapat memperbaiki
perfusi jaringan dan mengembalikan kerusakan serta pembengkakan sel yang
terjadi akibat pendarahan. Resusitasi cairan juga dapat menekan kadar sitokin
yang dapat menyebabkan gagal organ multipel pada kebanyakan kasus syok
(Phedy and Philippi, 2012).
Syok tidak terjadi dalam waktu lebih lama dengan tanda klinis penurunan
tekanan darah, dingin, kulit pucat, penurunan cardiac output , ini semua
tergantung dari penyebab shock itu sendiri. Shock septic tanda yang dapat terjadi
cardiac output meningkat tidak normal, dan kulit pasien hangat dan dingin.
Mempertahankan perfusi darah yang memadai pada organ-organ vital merupakan
tindakan yang penting untuk menyelamatkan jiwa penderita. Perfusi organ
tergantung tekanan perfusi yang tepat, kemudian curah jantung dan resistensi
vakuler sistemik. Pasien bisa menderita lebih dari satu jenis syok secara
bersamaan (Abrani, 2000).
Syok perlu didiagnosa dan diterapi secara cepat, makin cepat diketahui dan
diberikan terapinya maka makin baik prognosisnya. Kemungkinan untuk selamat
dari penderita syok dapat diketahui dengan mengukur kadar laktat darah
(konsentrasi laktat dalam darah meningkat > 2 mMol/L), jika konsentrasi laktat
naik sampai 3 mMol/L maka kemungkinan untuk selamat turun dari 90% menjadi
10%. Menurut Daljit Singh dalam Phedy and Phillipi (2012) keberhasilan
penanganan syok hipovolemik pada fase kompensasi di Rumah sakit India
mencapai 98%, Sedangkan angka keberhasilan penanganan syok hipovolemik fase
progresif di Rumah sakit di India mencapai 40%. Pada stadium lanjut syok
menyebabkan kegagalan fungsi pada beberapa organ yang disebut dengan
multiple organ failure. Kegagalan fungsi pada berbagai organ dapat terjadi yang
disebut shock lung, shock kidney, shock liver dan sebagainya, bila demikian
keadaannya atau kondisinya maka kemungkinan hidup penderita adalah minimal
(Fitria, 2010).
Terdapat beberapa jenis syok berdasarkan penyebabnya. Secara umum
syok merupakan kegagalan sirkulasi dan perfusi jaringan yang umumnya
disebabkan karena kehilangan/gangguan volume cairan intravaskuler, ditandai
gejala klinis seperti takikardi, hipotensi, dan penurunan kesadaran. Tujuan
penanganan syok tahap awal adalah untuk mengembalikan perfusi dan oksigenasi
jaringan dengan mengembalikan volume sirkulasi intravaskuler. Terapi cairan
merupakan terapi paling penting pada syok distributif dan syok hipovolemik.
Penanganan syok secara dini dapat berdampak sangat bermakna pada perbaikan
outcome klinis. Keberhasilan resusitasi syok dinilai berdasarkan perbaikan
hemodinamik, seperti MAP, CVP, urine output, saturasi vena sentral, dan status
mental (Leksana, 2015).
1.2. Tujuan
Tujuan pembelajaran umum pada asuhan keperawatan gawat darurat pada
syok adalah peserta mampu memberikan asuhan keperawatan gawat darurat
syok. Tujuan Pembelajaran Khusus pada materi ini adalah peserta mampu:
1. Mengidentifikasi masalah aktual dan resiko pada pasien syok
2. Melakukan intervensi sesuai dengan jenis syok
3. Melakukan monitoring dan evaluasi hemodinamik
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian Syok


Syok adalah keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah
ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Kematian karena
syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel.
Didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi
perfusi. Ganguan perfusi dapat terjadi pada ada jaringan nonvital (kulit, jaringan
ikat, tulang, otot) dan kemudian ke jaringan vital (otak, jantung, paru- paru, dan
ginjal). Syok menurut cecconi, M.et.al (2014) adalah kegagalan sirkulasi akut yang
mengancam jiwa dan mengakibatkan penggunaan oksigen yang tidak memadai
oleh sel dan terganggunya hemodinamik.
Secara umum gangguan hemodinamik pada syok dapat dikelompokkan
kepada empat komponen yaitu masalah penurunan volume plasma intravaskuler,
masalah pompa jantung, masalah pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol,
venule atapun kapiler, serta sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi
pulmonal dan sistemik. Gangguan perfusi jaringan yang menyeluruh sehingga
tidak terpenuhinya kebutuhan metabolisme jaringan dapat menyebabkan
keadaan kritis. Keadaan kritis akibat kegagalan sistem sirkulasi dalam mencukupi
nutrien dan oksigen baik dari segi pasokan dan pemakaian untuk metabolisme
selular jaringan tubuh sehingga terjadi defisiensi akut oksigen akut di tingkat
sekuler. Gangguan metabolisme karena hipoperfusi mengakibatkan kerusakan
jaringan sebab substrat yang diperlukan untuk metabolisme aerob pada tingkat
mikroseluler dilepas dalam kecepatan yang tidak adekuat oleh aliran darah yang
sangat sedikit atau aliran maldistribusi, yaitu hambatan di dalam peredaran darah
perifer yang menyebabkan perfusi jaringan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan
sel akan zat makanan dan membuang sisa metabolisme atau suatu perfusi
jaringan yang kurang sempurna (Phedy and Philippi, 2012).
Bentuk berat dari kekurangan pasokan oksigen dibanding kebutuhan.
Keadaan ini disebabkan oleh menurunnya oksigenasi jaringan atau perubahan
dalam sirkulasi kapiler. Kekurangan oksigen akan berhubungan dengan asidosis
laktat dimana kadar laktat tubuh merupakan indikator dari tingkat berat-
ringannya syok. Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus
bisa mengenal gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa
syok dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak
adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Langkah kedua dalam
menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab syok.
Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme
terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang
tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok, syok neurogenik
dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok
2.2. Jenis Syok
Berdasarkan bermacam-macam sebab dan kesamaan mekanisme terjadinya
itu syok dapat dikelompokkan menjadi beberapa empat macam yaitu
1. Syok hipovolemik,
a. Kehilangan darah/syok hemoragik
• Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
• Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
b. Kehilangan plasma : luka bakar
c. Kehilangan cairan dan elektrolit
▪ Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih, kurang intake cairan
▪ Internal : asites, obstruksi usus, peritonitis,
2. Syok distributive (sepsis, neurogenic dan anafilaktik)
a. septik terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya didalam
tubuh yang berakibat vasodilatasi.
a. Syok anafilaktik terjadi karena gangguan perfusi jaringan akibat adanya
reaksi antigen antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat
peningkatan permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilates arteriola
sehingga venous return menurun. Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan
serangga, gigitan ular berbisa.
b. Syok neurogenic, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena
disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi Misalnya :
trauma pada tulang belakang, spinal syok.
3. Syok obstruktif,
4. Syok kardiogenik (terjadi karena kegagalan kerja jantung, gangguan perfusi
jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI
(Infark Miokard Akut)
2.3 Patofisiologi Syok
Patofisiologi syok dibagi menjadi 4 tahapan:
1. Fase Inisial, kekurangan oksigen dalam sel menyebabkan penurunan perfusi
jaringan. Pada fase ini perubahan klinis belum tampak.
2. Fase Kompensasi
Untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet tubuh kita
melakukan kompensasi untuk menurunkan aliran darah ke tempat yang kurang
vital, tubuh mengeluarkan neurohormonal aldosterone dan terjadi
vasokonstriksi, sehingga terjadi peningkatan frekuensi, kontraktilitas otot
jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar. Namun efeknya adalah urin output menurun
dan glukosa meningkat.
3. Fase Progresif
Jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh,
curah jantung tidak lagi mencukupi maka terjadi gangguan seluler di seluruh
tubuh, kemudian tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia
jaringan bertambah nyata, gangguan seluler dan metabolisme menyebabkan
produk metabolisme menumpuk akhirnya terjadi kematian sel. Dinding
pembuluh darah menjadi lemah dan venous return menurun. Menurunnya
aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di
otak menambah hipoksia jaringan Menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan
lainnya dari jaringan (histamin dan bridikinin) yang ikut memperburuk syok.
Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik
menjadi anaerobik Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan
asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan. Pada fase ini
pasien mulai mengalami imbalans elektrolit, asidosis metabolic dan respiratorik,
edema periffer, takiaritmia, hipotensi, pucat, kulit dingin dan penurunan
kesadaran.

4. Fase reftrakter
Kerusakan seluler dan sirkulasi tidak dapat diperbaiki menimbulkan gagal sistem
kardiorespirasi jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup paru
menjadi kaku timbul edema interstisial, daya respirasi menurun anoksia dan
hiperkapnea.
2.3 Syok Hipovolemik
2.3.1 Definisi

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume


plasma di intravaskuler. Syok hipovolemik kebanyakan akibat dari kehilangan darah akut
sekitar 20% dari volume total. Tanpa darah yang cukup atau penggantian cairan, syok
hipovolemik dapat menyebabkan kerusakan irreversible pada organ dan system
(Hardisman, 2013).

Dewi (2010) menyebutkan bahwa syok hipovolemik merupakan kondisi medis


atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada
kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan
berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan
akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).

Berdasarkan asumsi diatas dapat disimpulkan bahwa syok hipovolemik adalah


suatu kondisi dimana terjadi kehilangan volume cairan tubuh sehingga menyebabkan
kegagalan sirkulasi akibatnya jaringan tidak mendapatkan suplay oksigen dan nutrisi
yang adekuat.

2.3.2 Patofisiologi Syok Hipovolemik

Saat terjadi perdarahan → sirkulasi dalam tubuh akan terganggu, → akan terjadi
penurunan tekanan pembuluh darah rata-rata (Mean Arterial Pressure → terjadi
penurunan aliran darah balik ke jantung. Setelah terjadi proses ini → akan menyebabkan
penurunan dari cardiac outputnya → pada pasien akan ditemukan akral dingin dan
basah → selain itu juga dapat ditemukan terganggunya fungsi organ. Organ yang
terganggu:

- Otak akan mengalami penurunan kesadaran (somnolen hingga koma)


- Paru-paru → akan menyebabkan pasien tersebut sesak,
- Sistem pencernaan → mengakibatkan ileus paralatik
- Ginjal → menyebabkan kerusakan ginjal yaitu acute kidney injury (gagal ginjal
akut
2.3.3 Etiologi

Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan
dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok
hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok
hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan
oleh berbagai trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai
dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Hardisman, 2013).
Perdarahan arteri mempunyai ciri memancar, berdenyut, merah segar karena
mengandung o2, kehilangan cepat.

2.3.4 Manifestasi Klinis

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, gejala utama syok hipovolemik adalah penurunan
tekanan darah dan suhu tubuh secara drastis. Selain itu ada beberapa gejala lainnya
yang menyertai kondisi ini, di antaranya kulit tampak pucat, badan lemas, keluar
keringat secara berlebihan, tampak bingung dan gelisah, nyeri dada, pusing, napas
dangkal dengan deru cepat, denyut nadi lemah, jantung berdetak cepat, bibir dan kuku
tampak biru, output urine turun atau tidak ada sama sekali, hilang kesadaran.
Anamnesis pada pasien syok meliputi:

1.) Pada pasien trauma → menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi
lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu
2.) Pasien dengan perdarahan gastrointestinal mengumpulan keterangan tentang:
Hematemesis, Melena, Riwayat minum alkohol, Penggunaan obat anti-inflamasi
non steroid yang lama,
3.) Penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai
hal berikut: Periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik,
Perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya),
Pemeriksaan fisik pada pasien syok selalu dimulai dengan penanganan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi (CRT, TD, Nadi)
Tabel Perkiraan kehilangan cairan dan darah berdasarkan presentasi penderita.

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi


premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung.
Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi.
Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan
jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang
cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut,
masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat
atau singkat. Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada
keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera
kembali dalam beberapa menit.
2.3.5 Penunjang Diagnostik

Pada umumnya, pasien yang mengalami syok hipovolemik akan sulit merespons
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter. Meski begitu, diagnosis syok hipovolemik
pada seorang pasien dapat dilakukan secara sederhana oleh dokter dengan mengecek
tekanan darah dan suhu.

Beberapa pemeriksaan khusus bisa dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis


dan menilai kondisi pasien. Beberapa pemeriksaan tersebut di antaranya pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan fungsi jantung EKG, pemindaian (X-ray, USG, dan CT scan),
pemeriksaan saluran pencernaan dengan endoskopi atau kolonoskopi. Pemeriksaan
labor meliputi : Hemoglobin dan hematokrit 2) Urin 3) Pemeriksaan analisa gas darah 4)
Pemeriksaan elektrolit serum 5) fungsi ginjal pemeriksaan BUN (Blood urea nitrogen)
dan serum kreatinin.

2.3.6 Penataksanaan Syok Hipovolemik

Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan perdarahan dan mengganti


kehilangan volume. Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah (1)
memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak
mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2) meredistribusi volume cairan,
dan (3) memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.

A. Pemeriksaan Fisik meliputi:

1. Airway and Breathing Tujuan: menjamin airway yang baik dengan cukupnya
pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Mempertahankan saturasi >95% Untuk
memfasilitasi ventilasi maka dapat diberikan oksigen yang sifat alirannya high flow
Dapat diberikan dengan menggunakan non rebreathing mask sebanyak 10-12
L/menit
2. Sirkulasi

Kontrol pendarahan dengan:

1) Mengendalikan pendarahan
Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan
perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau
mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.
Dari luka luar → tekanan langsung pada tempat pendarahan (balut tekan).
Pendarahan patah tulang pelvis dan ekstremitas bawah → PASG (Pneumatic Anti
Shock Garment). •Pendarahan internal → operasi
2) Memperoleh akses intravena yang cukup. Pemasangan dua jalur intra vena
dengan jarum besar dipasang untuk membuat akses intravena guna pemberian
cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan
komponen darah jika diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida
0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %) (Dewi, 2010).
3) Menilai perfusi jaringan
3. Disability : Pemeriksaan neurologi Menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata
dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Manfaat: menilai perfusi otak,
mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan
4. Exposure : pemeriksaan lengkap terhadap cedera lain yang mengancam jiwa serta
pencegahan terjadi hipotermi pada penderita. Cek apakah ada deformitas, luka
terbuka dan memar.
5. Pemasangan kateter urin, Memudahkan penilaian adanya hematuria dan evaluasi
perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Kontraindikasi: darah pada uretra

B. Terapi Awal

Cairan Larutan elektrolit isotonik → terapi cairan awal Jenis cairan ini mengisi
intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan
mengganti volume darah yang hilang berikutnya ke dalam ruang intersisial dan
intraseluler. Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl fisologis adalah
pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan 3 untuk 1, 300 ml larutan elektrolit untuk
100 ml darah yang hilang Jumlah darah pada dewasa adalah sekitar 7% dari berat badan,
anak-anak sekitar 8-9% dari berat badan. Bayi sekitar 9-10% dari berat badan. Perlu
dinilai respon penderita untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan.

Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar
1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan
pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik,
maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali
lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi cairan
koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak terjadi
perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan
dipersiapkan pemberian darah segera (Hardisman, 2013).

II. Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ

A. Umum: Pulihnya tekanan darah menjadi normal, tekanan nadi dan denyut nadi
merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke
keadaan normal, tetapi tidak memberi informasi tentang perfusi organ.
B. Jumlah produksi urin merupakan indikator penting untuk perfusi ginjal.
Penggantian volume yang memadai menghasilkan pengeluaran urin sekitar 0,5
ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2
ml/kgBB/jam pada bayi. B. Produksi urin Penderita syok hipovolemik dini →
mengalami alkalosis pernafasan karena takipneu
C. Keseimbangan Asam-Basa Asidosis metabolik yang berat dapat terjadi pada syok
yang terlalu lama atau berat.
III. Respon Terhadap Resusitasi Cairan Awal
Ada beberapa cara untuk menilai apakah pasien berespon dengan resusitasi
cairan yang kita berikan :
1. Fluid Challenge Test
Pasien diberikan cairan kristaloid 200 – 250 ml selama 5-10 menit, Jika
stroke volume atau tekanan nadi meningkat >10% maka dianggap
responsive, Pemberian cairan dapat mengembalikan distribusi oksigen
dalam darah dan perfusi ke organ vital untuk mencegah kerusakan organ
2. Passive Leg Raising Test Tinggikan kaki pasien selama 60 detik untuk menilai
apakah kategori responsif atau non responsive, Jika stroke volume atau
tekanan nadi meningkat >10% maka dianggap responsive, Menilai apakah
cardiac output dapat meningkat dengan pemberian volume cairan.

IV. Transfusi Darah

Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki kemampuan mengangkut


oksigen dari volume darah. Pemberian darah packed cell vs darah biasa Beberapa
indikasi pemberian tranfusi PRC adalah:

1. ) Jumlah perdarahan diperkirakan >30% dari volume total atau perdarahan


derajat

2.) Pasien hipotensi yang tidak berespon terhadap 2 L kristaloid

3. Memperbaiki delivery oksigen

4. Pasien kritis dengan kadar hemoglobin 6-8 gr/dl.

Fresh frozen plasma diberikan apabila terjadi kehilangan darah lebih dari 20-25%
atau terdapat koagulopati dan dianjurkan pada pasien yang telah mendapat 5-10
unit PRC. Tranfusi platelet diberikan apada keadaan trombositopenia (trombosit
Syok Kardiogenik
A. Definisi
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri
atau gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami
kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan kekuatan
kontraktilitasnya,menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi
jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung,otak, ginjal). Derajat
syok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun syok
kardiogenik biasanya sering terjadi sebagai komplikasi MI, namun bisa
juga terajdi pada temponade jantung, emboli paru, kardiomiopati dan
disritmia (Brunner dan Suddarth, 2002).

B. Etiologi
Disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh
gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi
jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Penyebab paling sering
adalah 40% lebih karena miokard infark ventrikel kiri, yang menyebabkan
penurunan kontraktilitas ventrikel kiri yang berat, dan kegagalan pompa
ventrikel kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut dan depresi kontraktilitas
miokard setelah henti jantung dan pembedahan jantung yang lama. Bentuk
lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel. Regurgitasi aorta atau mitral
akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat menyebabkan
penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar
melalui katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya
menyebabkan syok kardiogenik (Fitria, 2010).
C. Pathway
D. Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik.
Tekanan arteri sistolik < 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah
1,8 L/menit/ m2, dan tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat. Pasien
sering tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam,
ekstremitas dingin dan sianotik katub aorta ke dalam sirkulasi arteri
sistemik) dan karenanya menyebabkan syok kardiogenik, takipneu dan
dalam, takikardi, ronchi basah di kedua basal paru, diaphoresis,
penurunan kesadaran (Fitria, 2010).
E. Penunjang Diagnostik
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnostik berupa
Electrocardiogram (ECG), Sonogram, Scan jantung, Kateterisasi jantung,
Roentgen dada, Enzim hepar, Elektrolit oksimetri nadi, AGD, Kreatinin,
Albumin / transforin serum, HSD (Fitria, 2010).
F. Penatalaksanaan
Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik.
Setiap disritmia mayor harus dikoreksi karena mungkin dapat
menyebabkan atau berperan pada terjadinya syok. Bila dari hasil
pengukuran tekanan diduga atau terdeteksi terjadi hipovolemia atau
volume intravaskuler rendah. Pasien harus diberi infus IV untuk
menambah jumlah cairan dalam sistem sirkulasi. Bila terjadi hipoksia,
berikan oksigen, kadang dengan tekanan positif bila aliran biasa tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Terapi medis dipilih
dan diarahkan sesuai dengan curah jantung dan tekanan darah arteri
rerata. Salah satu kelompok obat yang biasa digunakan adalah
katekolamin yang dapat meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung. Namun demikian mereka cenderung meningkatkan beban kerja
jantung dengan meningkatkan kebutuhan oksigen.
Bahan vasoaktif seperti natrium nitroprusida dan nitrogliserin
adalah obat yang efektif untuk menurunkan tekanan darah sehingga
kerja jantung menurun. Bahan-bahan ini menyebabkan arteri dan vena
mengalami dilatasi, sehingga menimbulkan lebih banyak pintasan
volume intravaskuler keperifer dan menyebabkan penurunan preload
dan afterload. Bahan vasoaktif ini biasanya diberikan bersama dopamin,
suatu vasopresor yang membantu memelihara tekanan darah yang
adekuat. Terapi lain yang digunakan untuk menangani syok kardiogenik
meliputi penggunaan alat bantu sirkulasi. Sistem bantuan mekanis yang
paling sering digunakan adalah Pompa Balon Intra Aorta (IABP = Intra
Aorta Baloon Pump). IABP menggunakan counterpulsation internal
untuk menguatkan kerja pemompaan jantung dengan cara
pengembangan dan pengempisan balon secara teratur yang diletakkan
di aorta descendens. Alat ini dihubungkan dengan kotak pengontrol
yang seirama dengan aktivitas elektrokardiogram. Pemantauan
hemodinamika juga sangat penting untuk menentukan position sirkulasi
pasien selama penggunaan IABP. Balon dikembangkan selam diastole
ventrikel dan dikempiskan selama sistole dengan kecepatan yang sama
dengan frekuensi jantung. IABP akan menguatkan diastol, yang
mengakibatkan peningkatan perfusi arteria koronaria jantung. IABP
dikempiskan selama sistole, yang akan mengurangi beban kerja
ventrikel.
I. Syok Obstruktif
A. Defenisi
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi
selama diastole, sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup
(Stroke Volume) dan berakhirnya curah jantung. Penyebab lain bisa
karena emboli paru masif. Syok obstruktif adalah shock yang terjadi
akibat obstruksi aliran darah. Penyebab shock yang utama adalah
sumbatan pembuluh darah baik karena tromboemboli paru maupun
karena tamponade jantung. Di samping tromboemboli paru sebab yang
banyak menimbulkan shock obstruktif adalah temponade jantung dan
perikarditis yang mempunyai prognosa lebih baik karena dapat
dilakukan parasintesis ataupun perikardioktomi. Pada shock obstruktif
faal jantung fase permulaan normal, akan tetapi terdapat penurunan
venous return karena obstruksi.
B. Etiologi
Penyebab syok obstruktif antara lain : tension pneumotoraks,
tamponade kordis, emboli paru, dan perikardtis konstriktif.
C. Pathway
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Shock ini biasanya berhubungan dengan emboli
paru, tamponade jantung dan jarang disebabkan oleh trombosis pada
valvula atau tumor. Syok ini mempunyai tanda yang sama dengan shock
kardiogenik tetapi cara pengatasannya berbeda. Kecurigaan pada shock
ini dapat diketahui dari sesak dengan sebab yang tidak diketahui, nyeri
dada, peninggian tekanan vena central (CVP) dan sianosis yang jelas,
hipotensi, penurunan kesdaran.
E. Penunjang Diagnostik
Berdasarkan gejala dan tanda, rontgen dada, EKG, AGD,
pemeriksaan khususnya adalah Ventilation scan, dan pulmonary
angiography, non invasive lung scanning. pericardiocentesis, Echo-
cardiogram, FAST (focused assessment sonogram in trauma).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada syok obstruktif sangat tergantung dari apa
yang mencetus terjadinya syok obstruktif. Penatalaksanaan primer
tentunya adalah upaya untuk memperbaiki perfusi. Bila penyebab syok
obstruktif karena tension pneumothoraks maka tindakan yang dilakukan
adalah dekompresi dengan needle decompressi. Bila penyebabnya
karena tamponade jantung maka penanganannya dengan
perikardiosintesis. Bila penyebab karena emboli paru maka
penangannya dengan terapi antitrombotik. Antitrombotik ini terjadi dari
tiga klasifikasi obat, yakni antikoagulan, antitrombosit dan trombolitik
atau fibrinolitik. Fibrinolitik mempunyai pengaruh langsung sebagai
antikoagulan karena efeknya terhadap trombin, sementara efek
antikoagulan dan antitrombisit dapat digunakan sebagai profilaksis
terhadap terjadinya trombus. Obat-obat ini meliputi heparin, warfarin,
dekstran, aspirin, tiklopidin, streptokinase, anisoilasi streptokinase,
urokinase dan jaringan aktivator plasminogen.
II. Syok Distributif
A. Defenisi
Syok distributif adalah terjadinya gangguan distribusi aliran darah
(pada seseorang yang sehat mendadak timbul demam tinggi dan
keadaan umum memburuk setelah dilakukan tindakan instrumentasi
atau prosedur invasif).

B. Tahapan
Ada beberapa tahapan dalam syok dsitributif, yaitu :
- Pada stadium dini dari bakteriemia, cardiac output meningkat namun
terdapat tanda-tanda penurunan ekstraksi oksigen. Pada tahap ini
terdapat Low Resistance Defect (tahap hiperdinamik/warm shock).
Pada keadaan ini kecepatan aliran darah meningkat sehingga waktu
sirkulasi menurun.
- Pada tahap lanjut, setelah pelepasan endotoksin terjadi tahap High
Resistance Defect (tahap hipodinamik/cold shock). Pada keadaan ini
cardiac output menurun, tahanan arterial perifer meningkat,
sehingga kecepatan aliran darah menurun dan waktu sirkulasi
menjadi meningkat.  Pemberian cairan dalam jumlah banyak
biasanya gagal, karena pengembangan dari system kapasitansi dan
sekuestrasi cairan.
C. Pathway
D. Jenis syok distributif
1. Syok Anafilaktif
Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi
dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Anafilaksis adalah reaksi
alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan
reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang
sebelumnya sudah tersensitisasi.
Reaksi Anafilaktoid adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi
tanpa melibatkan antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan
gejala dan tanda biasanya diterapi sebagai anafilaksis. Anafilaksis
dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera
(Immediate type reaction).
Penatalaksanaan dan Management syok anafilaktik :
 Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi

anafilaksis
 Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya

obat atau sengatan hewan longgarkan 1-2 menit tiap 10 menit.


 Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari

kepala (posisi shock) dengan alas keras.


 Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-

tracheostomi
 Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila

tidak bia persiapkandari mulut kemulut


 Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit

seimbang atau Nacl fisiologis, 0,5-1liter dalam 30 menit (dosis


dewasa) monitoring dengan Tensi dan produksi urine Pertahankan
tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas tubuh
/24 jam Bila< 100mmHg beri Vasopressor (Dopamin) Tensi tak
terukur 20 cc/kg ,Apabila sistole < 100 mmHg 500 cc/1/2 jam dan
apabila sistole > 100 mmHg 500 cc/ 1 Jam
 Bila perlu pasang CVP

 Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi

pada venom .Dapat diulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30


menit, Pemberian IV pada stadium terminal / pemberian dengan
dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faali
diberikan 1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB).
 Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB)

sampai 50 mg dosis tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam


selama 48 jam bila tetap sesak + hipotensi segera rujuk, (anak :1-
2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV.
 Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB

dilarutkan dalam 10 ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit


dilanjutkan 0,2 –1,2 mg/kg/jam.
 Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6

jam, pemberian selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin


300mg setelah 3-5 menit.
2. Syok sepsis
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman
gram negatif yang berada dalam darah (endotoksin). Jamur dan jenis
bakteri lain juga dapat menjadi penyebab septisemia.
Ada beberapa faktor predisposisi terjadinya syok septik antara
lain : trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia berat, penyakit
saluran kemih, terapi kortikosteroid, immunosupresan, atau radiasi.
Faktor pencetus yang umum meliputi tindakan bedah, manipulasi
saluran kemih, saluran empedu atau ginekologi.
Syok septik dapat menimbulkan adanya penimbunan cairan di
sirkulasi mikro, pembentukan pintasan arterio-venous dan
penurunan tahapan vaskular sistemik, kebocoran kapiler secara
menyeluruh, depresi fungsi miokard, semua hal tersebut diatas
menyebabkan terjadinya syok septik yang ditandai dengan
hipovolemia dan hipotensi.
Penatalaksanaan Syok septik :
a. Tindakan Medis
 Terapi Cairan : cairan parenteral yang sering digunakan pada
awal terapi syok septik adalah larutan garam berimbang.
Terapi cairan bergantung pada hasil pengukuran hemodinamik
(tensi, nadi, dan diuresis) dan keadaan umum.
 Obat-obat inotropik : dopamin harus segera diberikan apabila
resusitasi cairan tidak memperoleh perbaikan.
 Terapi antibiotika : sebaiknya terapi antibiotik disesuaikan
dengan hasil kultur dan resistensi. Hal ini mungkin tidak dapat
dilakukan pada keadaan darurat karena pemeriksaan tersebut
membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebagai patokan terapi
antibiotik empiris dapat dilihat pada tabel.
b. Tindakan Bedah : jaringan nekotik, abses harus segera dieksisi,
dievakuasi dan dipasang drainase. Terapi cairan dan antibiotik
tidak banyak menolong bila sumber infeksi belum disingkirkan. Hal
ini sangat penting pada abses intra abdomen sumbatan empedu
dengan kolangitis yang segera membutuhkan pembedahan akut.
3. Syok Neurogenik
Syok jenis ini terjadi karena kegagalan pusat vasomotor
sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh
tampung (capacitance vessels). Syok neurogenik ini sangat jarang
terjadi. Penyebab utamanya adalah trauma medulla spinalis dengan
quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
Syok neurogenik menyebabkan terjadinya kegagalan pusat
pengaturan vasomotor, sehingga terjadi iskemia jaringan menyeluruh
kemudian terjadi hipotensi dan menimbulkan gejala syok.

BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1. Kasus
Seorang laki-laki 24 thn masuk UGD karena KLL. Tampak deformitas pada femur
dextra. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi N 124x/i, napas
32x/i, TD 90/65 mmHg, CRT > 2 dtk, ektremitas pucat teraba dingin, kesadaran
menurun, BB korban diperkirakan 50 kg.
3.2. Fokus pengkajian
Menurut Leksana (2015), penatalaksanaan syok dimulai dengan
pemeriksaaan fisik diarahkan kepada diagnosis cidera yang mengancam nyawa
dan meliputi penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat tanda vital awal (baseline
recordings) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Sangat
penting untuk melakukan observasi tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan
penderita memungkinkan.
a. Airway dan breathing prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten
dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Bila perlu, berikan
tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
b. Sirkulasi - kontrol perdarahan termasuk dalam prioritas adalah
mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat. Perdarahan dari luka luar
biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat
pendarahan. PASG (Pneumatick Anti Shock Garment) dapat digunakan untuk
mengendalikan perdarahan dari patah tulang pelvis atau ekstremitas bawah,
namun tidak boleh menganggu resusitasi cairan cepat. Mungkin diperlukan
operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal. Kemudian
memperoleh akses intra vena yang cukup untuk memudahkan melakukan
resusitasi cairan dengan segera. Pada beberapa kasus syok, biasanya
ditemukan kesulitan menemukan akses vena dikarenakan pembuluh darah
yang kolaps. Penting juga untuk menilai perfusi jaringan. Cukupnya perfusi
jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan.
c. Disability – pemeriksaan neurologi dilakukan pemeriksaan neurologi singkat
untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil,
fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi
otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan
pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan
cidera intra kranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang.
d. Exposure – pemeriksaan lengkap setelah mengurus prioritas-prioritas untuk
menyelamatkan jiwanya, diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki sebagai
bagian dari mencari cidera.
3.3. Resusitasi Cairan
Phedy dan Philippi (2012), menerangkan bahwa resusitasi cairan pada
korban syok hipovolemik sebagai berikut :
a. Estimasi Volume Darah (EBV) = 70 cc x BB korban
b. Tentukan kelas syok bersadarkan tabel tanda dan gejala
c.Tentukan Estimated Blood Loss (EBL) = Presentase x EBV
d. Lakukan resusitasi cairan sesuai dengan estimasi kehilangan cairan dengan
cairan kritsaloid atau koloid. Kristaloid dinilai memiliki waktu paruh lebih
pendek daripada koloid sehingga diharapkan pengembalian cairan
ekstravaskuler lebih cepat untuk memperbaiki sirkulasi. Komposisi elektrolit
dan konsentrasi dalam cairan kristaloid sama dengan kandungan cairan
ekstraseluler. Elektrolit sangat dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan
cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok karena perdarahan.
e. Nilai kriteria hasil untuk mengukur keberhasilan resusitasi cairan dengan
pengembalian fungsi perfusi seperti kulit menjadi hangat, CRT < 2 detik, vena
jugularis tidak distensi, TD meningkat 20 mmHg dari TD saat syok, HR 60-
100x/i kuat dan teratur, RR 20x/i normal dan teratur, MAP 70 mmHg.
3.4. Diagnosa Keperawatan
DIAGNOSA NOC NIC
Ketidakefektifan Menunjukkan 1. Lakukan pengkajian komprehensif
perfusi jaringan keseimbangan cairan,
terhadap sirkulasi perifer
integritas jaringan: kulit
dan membrane mukosa 2. Pantau status cairan termasuk
dan perfusi jaringan
asupan da haluaran
perifer, dgn indikator :
Kesadaran membaik, TD 3. Pantau nilai elektrolit
normal, warna kulit merah
4. Pantau nadi perifer
muda, kulit hangat,
5. Catat perubahan pada SaO2, SvO2,
CO2 tidal akhir dan nilai GDA, jika
perlu
6. Pantau peningkatan ansietas,
gelisah,
7. Berikan obat berdasarkan program
atau protocol
Kekurangan Balance cairan 1. 1. Pantau perdarahan
volume cairan Normolomelik, hidrasi
2. Kaji status volume
baik, TTV normal, perfusi
baik cairan ( TD, FJ, FP, suhu, bunyi
jantung) setiap 1 jam
3. 2. Berikan cairan IV sesuai instruksi
3. Kaji semua data laboratorium
4. Monitor irama jantng
5. Berikan obat dan elektrolit sesuai
instruksi
4. 6. Berikan pengobatan β-adrenerjik
sesuai instruksi
Penurunan curah Mempertahankan curah 1. Kaji dan pantau status
jantung jantung untuk menjamin
kardiovaskuler setiap 1-4 jam atau
perfusi jaringan
sesuai indikasi warna kulit, denyut
nadi, TD, parameter hemodinamik,
denyut nadi perifer dan irama
jantung
2. Monitor status hidrasi
3. Pantau urine output
4. Monitor serum dan elektrolit
5. Pantau Asidosis dengan AGd setiap
hari
BAB IV
KESIMPULAN

Syok merupakan suatu keadaan yang darurat yang memerlukan pengenalan dan
penanganan yang cepat, tepat dan intensif. Dengan kita telah mengetahui beberapa
klasifikasi syok, antara lain syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok distributif, syok
obstruktif, syok neurogenik, syok septik, syok anafilaktik, dan syok jenis lainnya, kita
dapat menentukan penatalaksanaan dengan tepat. Terapi atau penanganan untuk
semua jenis syok pada dasarnya sama, hanya porsinya yang berbeda. Penatalaksanaan
dalam syok adalah resusitai cairan. Resusitasi cairan adalah merupakan tindakan yang
terpenting dalam penanganan terjadinya syok. Semakin cepat penatalaksanaan
dilakukan, kemungkinan syok menjadi lebih berat seperti terjadinya kegagalan organ
dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

Abrani. 2000. Penatalaksanaan Syok. EGC : Jakarta.

Brunner, L dan Suddarth, D. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2. EGC : Jakarta.

Dewi E., Rahayu S,. 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Berita Ilmu
Keperawatan. ISSN 1979-2697, Volume 2. Nomor 2. 93-96.

Fitria, 2010. Syok Dan Penanganannya. GASTER Volume 7 Nomor 2 Agustus 2010.

Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi Dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik : Update
Dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. http://jurnal.fk.unand.ac.id.
Jevan, P., Beverley E., Humprays E. 2008. Nursing Medical Emergency Patiens 3Th
Edition. Blackwell: United Kingdom

Leksana, E. 2015. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK UNDIP). Semarang.

Phedy and Philippi, B. 2012. Small Volume Resuscitation in Hemorrhagic Shock :


Historical and Scientific Background. Journal of Orthopeadic Volume 40 Number 2.

Anda mungkin juga menyukai