Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH IMUNOLOGI

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Dosen :

Ritha Widyapratiwi, S.Si., MARS., Apt

Disusun :

1. Pangestu Nugraha 16330015


2. Adelia Septiliani 17330003
3. Sulistyowati Retno Utami 17330004
4. Alvinia Wulandari 17330042
5. Christine Eva Diana 17330044
6. Kartika Sari 17330064
7. Nur Fitriyana 17330073

PROGRAM STUDI FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
Rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugass makalah tentang “ Reaksi
Hipersensitivitas” dengan tepat waktu.

Kami semua berterimakasih kepada dosen mata kuliah IMUNOLOGI , yang telah
memberikan kesempatan kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan adanya kritik dan saran atas hasil makalah ini, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa adanya kritik dan saran yang membangun .

Kami Berharap makalah ini dapat berguna bagi kami sendiri dan semua pembacanya.
Semoga laporan sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya. Kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan.

Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga Tuhan YME memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Jakarta, 20 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................2
1.3 Tujuan ..............................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Reaksi Hipersensitivitas ...................................................................................................................3


2.2 Hipersensitivitas Tipe I ....................................................................................................................4
2.3 Hipersensitivitas Tipe II...................................................................................................................7
2.4 Hipersensitivitas Tipe III .................................................................................................................9
2.5 Hipersensitivitas Tipe IV ...............................................................................................................12
2.6 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas ..............................................................................................16

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan
jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang
dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya
yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).

Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan
jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem
pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe
pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada
antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme
imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen
yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang
didapat secara aktif dan didapat secara pasif.

Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada
kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat
pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan
terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi
komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk
menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan
perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.

1
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat
pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008).

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Reaksi hipersensitivitas?


2. Macam-macam Tipe Reaksi hipersensitivitas ?
3. Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas Menurut Gell Dan Coombs Yang Di
Modifikasi

1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuaan lebih mengenai malfungsi system imun pada gangguan imunologi
khususnya reaksi hipersensitivitas.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen


yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas
berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja,
2009).

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory
hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).

Gambar Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III dan IV menurut Gell dan Coomb

3
2.2 Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi
ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan jaringan sel mast dan basofil.
Selmast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi), karena sel B
memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-
apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen
pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE
kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor disel mastosit dan basofil
sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan
alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibodi di sel
mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi (Abbas, 2004).

Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.

1. mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan mediator primer


terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi,
bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera
dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat
agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator
lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen
komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan
(misalnya, C3a).
2. Mediator Sekunder yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan
spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali
lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk
neutrofil, eosinofil, dan monosit.

4
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.

Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan


agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam
adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan
diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A= eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =
neotrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I (Arwin dkk,
2008).

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.

1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi
beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat, Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast
masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa
reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel
mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang
ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

5
Manisfestasi Reaksi Tipe I :

Reaksi hipersensitivitas Tipe I dapat bervariasi dari local, ringan sampai berat,
ekstrim, urtikaria,rintis alergi, asma bronkial dan keadaan yang mengancam seperti
anafilaksis dan asma berat. Semua rekasi melibatkan IgE dan memerlukan rspon Th2.
 Reaksi local
Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokasi terbatas pada jaringan atau organ
spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk.
Kecendrungan untuk menunjukkan reaksi Tipe I adalah di turunkan dan di
sebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi
melalui IgE seperti rintisan alergi, asma dan dermatitis atopi.
Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang
masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lender hidung, paru-paru dan
konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita asma bronkial.

 Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam
beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan
Combs Tipe I atau reaksi alergi yang cepat, di timbulkan IgE yang dapat
mengancam nyawa. Reaksi dapat di pacu berbagai alergen seperti makanan
(asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks.
Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat di
indetifikasi.

 Reaksi pseudoalergi dan anaflaktoid


Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria,
bronkospasme, anailaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun.
Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan
sensistasi, reaksi anaflaktoid dapat di timbulkan antimikroba, protein,kontras
dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol dan pelemas otot.

6
2.3 Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.
Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian
dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel
dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek
toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel
NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja, 2009).

Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit
anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme
reaksinya adalah sebagai berikut :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc

3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu :

 Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan
O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A
berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak
mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi
(Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut
disebut isohemaglutinin.

7
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang
paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan
ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan
reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat
membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.

 Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru
lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang
dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya
ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk
anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini
karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit
fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut
mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan
sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering
diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

 Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi
anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin,
tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi


nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM
dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif
(Baratawidjaja, 2009).

8
 Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit
dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura.
Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel
darah merah.

 Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal
glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan
endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam
penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis,
nefektomi yang disusul dengan transplantasi.

2.4 Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigencantibodi c


(imun), diikutidengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan
virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi
dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat
antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan
adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks
imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut
eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear, terutama di

9
hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat
dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut
sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa
ganggua fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit
dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang
lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut
mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah


Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Antigen berikatan dengan antibody dalam
sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi. Bila di endapkan di suatu
tempat maka dapat mengaktifkan komplomen dan sel-sel polimorfonuklear di Tarik
ke lokasi menimbulkan inflamasi dan cedera jaringan.

Gambar Kompleks Imun Dan Hipersensitivitas Tipe IV

10
2. Komplek imun mengendap di jaringan
Hal yang memungkinkan terjadi pengendapan kompleks imun di jaringan
ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan pemeabilitas vascular yang meningkat,
antara lain karena histamine yang di lepas sel mast.

3. Bentuk reaksi
Reaksi tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, local dan sistemik
 Reaksi local atau fenomena arthus
Arthus menyuntikkan serum kuda (intradermal) ke dalam kelimci berulang
kali di tempat yang sama, menemukan reaksi yang makin menghebat di
tempat suntikan. Edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi btersebut
menghilang keesokan harinya.

 Reaksi tipe III sistemik-serum sickness


Antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat
membentuk komplek imun. Bila antigen jauh berlebihan di banding antibody,
kompleks yang di bentuk adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk di
bersihkan.

4. Penyakit tipe III


Beberapa penyakit tipe III atau penyakit kompleks imun yang dapat terjadi anatara
lain :
 Pneumonitis hipersensitivitas
Inhalasi antigen ke dalam paru merangsang produksi antibody dan
terbentuknya komplomen antigen-antibodi byang mengaktifkan komplomen.

 Glomerulonefritis
Kompleks imun dari aliran darah terkumpul di glomerulus. Akhirnya terjadi
kerusakan glomerulus yang mengganggu filtrasi ginjal dan akhirnya terjadi
kerusakan ginjal dan kematian.

11
 Rheumatoid artritis
Kompleks imun berkumpul di sendi sehingga terjadi penglepasan bahan-
bahan kimia inflamasi. Hal ini akan di ikuti dengan kerusakan sendi.

Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme Manifestasi


klinopatologi
Lupus eritematosus DNA, nukleoprotein Inflamasi Nefritis, vaskulitis,
diperantarai artritis
komlplemen dan
reseptor Fc
Poliarteritis nodosa Antigen permukaan Inflamasi Vaskulitis
virus hepatitis B diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc
Glomreulonefritis Antigen dinding sel Inflamasi nefritis
post-streptokokus streptokokus diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc

(Dikutip dari Abbas,2004)

2.5 Hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity
(CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari
24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh
antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang
mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target
yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi
allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia

12
yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di
permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau
virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel
target).

Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,
schitosomiasis).

Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel
T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan
inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis
yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga
terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+
(Abbas, 2004)

Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori


hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang sama juga
terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya
berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana inflamasi merupakan
aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan
didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan didominasi
oleh neutrofil (Abbas, 2004)

Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap:
Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang
ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine
growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan antara
antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada produksi sitokin oleh
APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag) terkadang akan memproduksi
IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1
dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang
akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi

13
TH17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di
memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).

Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang
berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel
TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak
manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan
memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya.
Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi
dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan
menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon
dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi
antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut
dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen
mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan
mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut
neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi
IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).

Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.
Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang
dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari
antigen tersebut yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan. Mekanisme
dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida
virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR
dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi
tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas, 2004).

Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T
melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari CTLs.
CTLs yang mengenali sel target akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin ,
granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel target dengan
endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes
dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase,
yang akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan
14
Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed
pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang
terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos
oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).

Manifestasi klinis reaksi tipe IV :

a. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontaka dalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan
bahan tidak berbahaya, merupakan contoh DTH. Kontak dengan bahan seperti
formaldehid, nikel dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut menimbulkan
dermatitis kontak yang terjadi melalui Th1.

b. Hipersensitivitas Tuberculin
Hipersensitivitas tuberculin adalah bentuk alergi bacterial spesifik terhadap produk
filtrate biakan.

15
c. Reaksi Jones Mote
Reaksi jones mote adalah reaksi hipersensitivita tipe IV terhadap antigen protein yang
berhubungan dengan infiltrasi basophil mencolok di kulit di bawah dermis. Di
bandingkan dengan hipersensitivitas tipe IV alainnya, reaksi ini adalah lemah dan
nambak beberapa pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis
dan reaksi dapat di induksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan
ajuvan freund.

d. T-Cell Mediated Cytolysis (penyakit CD8+)


Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologous dapat membunuh sel
dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme
selular, baisanya di temukan baik CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self-antigen dan
kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.

e. Penolakan Tandur
Reaksi tipe lambat (Cell Mediated Hypersensitivity) ini juga terjadi pada reaksi
penolakan tandur. Penolakan tandur terhadap tandur jaringan atau organ karena tandur
di anggap sebagai benda asing oleh pejamu. Respons imun terjadi terhadap MHC
asing tersebut. Penolakan tergantung seberapa besar tandur tersebut di anggap asing
oleh pejamu.

2.6 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas Menurut Gell Dan Coombs Yang Di Modifikasi

Klasifikasi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs telah di modifikasi yang


membagi reaksi Tipe IV menjadi Tipe IVa, IVb, IVc, dan IVd. Klasifikasi ini di gunakan
terutama pada pembagian reaksi alergi obat, yang berdasarkan atas jenis sel yang terlibat
dalam pathogenesis.

16
17
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen


yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. , reaksi hipersensitivitas dapat dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang
bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV
hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V
atau stimulatory hypersensitivity, namun tipe V tidak dibahas dalam makalah ini.

Respon imun, baik non spesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat
pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease..
SAUNDERS: China

Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit
IDAI. Jakarta

Abbas AK, LichtmanAH,Pillai S, Hypersensitivity. Dalam: Basic Immunology Functions


Disorders of the immune system. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2014: 207-24

Abbas AK, LichtmanAH,Pillai S, Hypersensitivity Disorder. Dalam Cellular and Molecular


Immunology 8thEd, Philadelphia: Elsevier Saunders. 2015: 417-36

19

Anda mungkin juga menyukai