REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Dosen :
Disusun :
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
Rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugass makalah tentang “ Reaksi
Hipersensitivitas” dengan tepat waktu.
Kami semua berterimakasih kepada dosen mata kuliah IMUNOLOGI , yang telah
memberikan kesempatan kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan adanya kritik dan saran atas hasil makalah ini, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa adanya kritik dan saran yang membangun .
Kami Berharap makalah ini dapat berguna bagi kami sendiri dan semua pembacanya.
Semoga laporan sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya. Kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga Tuhan YME memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan
jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang
dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya
yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan
jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem
pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe
pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada
antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme
imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen
yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang
didapat secara aktif dan didapat secara pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada
kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat
pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan
terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi
komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk
menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan
perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.
1
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat
pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008).
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuaan lebih mengenai malfungsi system imun pada gangguan imunologi
khususnya reaksi hipersensitivitas.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory
hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).
Gambar Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III dan IV menurut Gell dan Coomb
3
2.2 Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi
ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan jaringan sel mast dan basofil.
Selmast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi), karena sel B
memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-
apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen
pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE
kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor disel mastosit dan basofil
sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan
alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibodi di sel
mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi (Abbas, 2004).
4
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam
adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan
diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A= eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =
neotrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I (Arwin dkk,
2008).
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.
1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi
beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat, Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast
masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa
reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel
mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang
ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
5
Manisfestasi Reaksi Tipe I :
Reaksi hipersensitivitas Tipe I dapat bervariasi dari local, ringan sampai berat,
ekstrim, urtikaria,rintis alergi, asma bronkial dan keadaan yang mengancam seperti
anafilaksis dan asma berat. Semua rekasi melibatkan IgE dan memerlukan rspon Th2.
Reaksi local
Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokasi terbatas pada jaringan atau organ
spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk.
Kecendrungan untuk menunjukkan reaksi Tipe I adalah di turunkan dan di
sebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi
melalui IgE seperti rintisan alergi, asma dan dermatitis atopi.
Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang
masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lender hidung, paru-paru dan
konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita asma bronkial.
Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam
beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan
Combs Tipe I atau reaksi alergi yang cepat, di timbulkan IgE yang dapat
mengancam nyawa. Reaksi dapat di pacu berbagai alergen seperti makanan
(asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks.
Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat di
indetifikasi.
6
2.3 Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.
Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian
dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel
dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek
toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel
NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja, 2009).
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit
anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme
reaksinya adalah sebagai berikut :
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc
Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan
O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A
berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak
mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi
(Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut
disebut isohemaglutinin.
7
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang
paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan
ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan
reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat
membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru
lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang
dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya
ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk
anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini
karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit
fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut
mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan
sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering
diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi
anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin,
tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
8
Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit
dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura.
Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel
darah merah.
Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal
glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan
endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam
penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis,
nefektomi yang disusul dengan transplantasi.
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan
adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks
imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut
eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear, terutama di
9
hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat
dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut
sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa
ganggua fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit
dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang
lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut
mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).
10
2. Komplek imun mengendap di jaringan
Hal yang memungkinkan terjadi pengendapan kompleks imun di jaringan
ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan pemeabilitas vascular yang meningkat,
antara lain karena histamine yang di lepas sel mast.
3. Bentuk reaksi
Reaksi tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, local dan sistemik
Reaksi local atau fenomena arthus
Arthus menyuntikkan serum kuda (intradermal) ke dalam kelimci berulang
kali di tempat yang sama, menemukan reaksi yang makin menghebat di
tempat suntikan. Edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi btersebut
menghilang keesokan harinya.
Glomerulonefritis
Kompleks imun dari aliran darah terkumpul di glomerulus. Akhirnya terjadi
kerusakan glomerulus yang mengganggu filtrasi ginjal dan akhirnya terjadi
kerusakan ginjal dan kematian.
11
Rheumatoid artritis
Kompleks imun berkumpul di sendi sehingga terjadi penglepasan bahan-
bahan kimia inflamasi. Hal ini akan di ikuti dengan kerusakan sendi.
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity
(CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari
24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh
antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang
mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target
yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi
allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia
12
yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di
permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau
virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel
target).
Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,
schitosomiasis).
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel
T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan
inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis
yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga
terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+
(Abbas, 2004)
Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap:
Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang
ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine
growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan antara
antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada produksi sitokin oleh
APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag) terkadang akan memproduksi
IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1
dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang
akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi
13
TH17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di
memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).
Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang
berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel
TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak
manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan
memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya.
Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi
dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan
menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon
dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi
antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut
dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen
mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan
mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut
neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi
IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).
Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.
Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang
dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari
antigen tersebut yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan. Mekanisme
dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida
virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR
dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi
tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas, 2004).
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T
melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari CTLs.
CTLs yang mengenali sel target akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin ,
granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel target dengan
endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes
dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase,
yang akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan
14
Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed
pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang
terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos
oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).
a. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontaka dalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan
bahan tidak berbahaya, merupakan contoh DTH. Kontak dengan bahan seperti
formaldehid, nikel dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut menimbulkan
dermatitis kontak yang terjadi melalui Th1.
b. Hipersensitivitas Tuberculin
Hipersensitivitas tuberculin adalah bentuk alergi bacterial spesifik terhadap produk
filtrate biakan.
15
c. Reaksi Jones Mote
Reaksi jones mote adalah reaksi hipersensitivita tipe IV terhadap antigen protein yang
berhubungan dengan infiltrasi basophil mencolok di kulit di bawah dermis. Di
bandingkan dengan hipersensitivitas tipe IV alainnya, reaksi ini adalah lemah dan
nambak beberapa pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis
dan reaksi dapat di induksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan
ajuvan freund.
e. Penolakan Tandur
Reaksi tipe lambat (Cell Mediated Hypersensitivity) ini juga terjadi pada reaksi
penolakan tandur. Penolakan tandur terhadap tandur jaringan atau organ karena tandur
di anggap sebagai benda asing oleh pejamu. Respons imun terjadi terhadap MHC
asing tersebut. Penolakan tergantung seberapa besar tandur tersebut di anggap asing
oleh pejamu.
2.6 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas Menurut Gell Dan Coombs Yang Di Modifikasi
16
17
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Respon imun, baik non spesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat
pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease..
SAUNDERS: China
Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit
IDAI. Jakarta
19