BLOK IMUNOLOGI
( Hipersensitivitas )
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Skenario
2.3 Pertanyaan
2.4 Jawaban
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PEMBAHASAN
1.3 Latar Belakang
1.4 Tujuan pembelajaran
1) Mengetahui definisi dari Hipersensitivitas
2) Mengetahui klasifikasi
3) Menjelaskan mekanisme Hipersensitivitas tipe I,II, III, IV
4) Menjelaskan factor pencetus dan etiologi dari Hipersensitivitas
5) Mengetahui definisi gatal
6) Menjelaskan jenis-jenis dan epidemiologi gatal
7) Menjelaskan hubungan mekanisme gatal dengan beberapa penyakit hipersensitivitas
8) Menganalisis DD dari scenario
9) Menjelaskan tatalaksana dari DD
10) Menjelaskan komplikasi dari DD
11) Menjelaskan prognosis dari DD
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Skenario
Seorang perempuan usia 35 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSI
Sukapura Jakarta Utara dengan keluhan gatal pada daerah leher, punggung dan lipatan
payudara. Keluhan gatal ini telah lama dan hilang timbul. Kulit terasa kering,
kemerahan, kehitaman dan gatal bila berkeringat. Riwayat pada keluarga menderita
Rhinitis Alergica
2.3 Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas ?
2. Apa saja klasifikasi hipersensitivitas ?
3. Bagaimana mekanisme dari hipersensitivitas I , II , III, IV ?
4. Apa saja factor pencetus / etiologi dari hipersensitivitas ?
5. Apa definisi dan etilogi gatal ?
6. Jelaskan jenis-jenis dari gatal dan epidemiologinya ?
7. Bagaimana hubungan mekanisme gatal ?
8. Apa saja DD dari scenario ?
9. bagaimana tata laksana dari DD ?
10. Apa saja komplikasi dari DD ?
11. Bagaimana prognosis dari DD ?
2.4 Jawaban
1. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena
dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi
dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat
terjadi sendiri-sendiri, tetapi di dalam klinik dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi
bersamaan.
2. Klasifikasi Hipersensitivitas
Berdasarkan perbedaan imunopatogenesis, Gell dan Coomb pada
tahun 1963 mengusulkan 4 tipe reaksi hipersensitivitas, yaitu reaksi tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan
tipe 4 (subowo, 1993) dengan menyertakan perbedaan masing-masing mekanisme, sel dan
mediatornya (Mohanty dan Leela, 2014). Reaksi Hipersensitivitas I, II Dan III terjadi karena
interaksi antara antigen dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral. Dari segi waktu
termasuk reaksi tipe segera (immediate), walaupun reaksi yang timbul bervariasi antara
beberapa detik atau menit pada tipe I hingga beberapa jam pada tipe II dan III dan Reaksi
Hipersensitivitas IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat
pada permukaan limfosit sehingga termasuk reaksi selular. Dari segi waktu reaksi
Hipersensitivitas tipe IV termasuk tipe lambat (delayed), karena reaksi berlangsung lebih
lambat yaitu umumnya lebih dari 12 jam.
• Pada hipersensitivitas segera (hipersensitivitas tipe I), cedera disebabkan oleh sel TH2,
antibodi IgE dan sel-sel mast dan leukosit lainnya. Sel mast akan dipicu untuk melepas
mediator yang bekerja pada pembuluh darah dan otot polos dan sitokin proinflamasi yang
merekrut sel inflamasi.
• Pada gangguan yang diperantarai antibodi (hipersensitivitas tipe II), antibodi IgG dan IgM
yang disekresikan menyebabkan cedera sel dengan melalui fagositosis atau lisis dan cedera
jaringan dengan merangsang inflamasi. Antibodi juga bisa mengganggu fungsi seluler dan
menyebabkan penyakit tanpa adanya cedera jaringan.
• Pada kelainan yang diperantarai kompleks imun (hipersensitivitas tipe III), antibodi IgG dan
IgM biasanya mengikat antigen di sirkulasi dan penyimpanan kompleks antigen-antibodi
dalam jaringan dan merangsang inflamasi. Leukosit yang dipanggil (neutrofil dan monosit)
menghasilkan kerusakan jaringan dengan melepaskan enzim lysosomal dan generasi radikal-
radikal bebas yang toksik.
• Pada kelainan imun yang diperantari oleh sel (hipersensitivitas tipe IV), sensitisasi oleh
limfosit T (sel TH1 dan sel TH17 sel dan CTLs), menyebabkan cedera jaringan. Sel TH2
menginduksi lesi yang merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas segera dan bukan
bentuk hipersensitivitas tipe IV.
3. Mekanisme Hipersensitivitas
Patomekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I
Hipersensitifitas Tipe 1 atau tipe segera adalah reaksi jaringan yang terjadi secara
cepat sesudah interaksi antigen dengan antibodi IgE yang terikat pada permukaan sel Mast.
reaksi ini diawali oleh masuknya antigen, yang disebut alergen, karena memicu alergi.
Banyak alergen merupakan substansi lingkungan di mana sebagian orang akan menunjukkan
reaksi alergi terhadapnya. Sel Th2 dan IgE merupakan penyebab dari manifestasi klinis dan
reaksi patologis. Hipersensitifitas Tipe 1 ini dapat terjadi lokal yang hanya sedikit
mengganggu (rinitis musiman) atau sangat melemahkan (asma) bahkan dapat berakibat fatal
(anafilaksis).
Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di permukaan sel mast atau basofil,
dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E telah
terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya mediatormediator
kimia seperti histamine dan leukotrine.
Preformed Mediator. Mediator yang ada di dalam granul sel mast adalah yang pertama
dilepaskan dan bisa dibagi menjadi tiga kategori:
• Amina vasoaktif. Bagian sel mast yang paling penting menghasilkan amina adalah
histamin. Histamin menyebabkan kontraksi otot polos yang intens, peningkatan permeabilitas
vaskular dan peningkatan sekresi mukus oleh nasal, bronkus dan kelenjar lambung.
• Enzim-enzim. Ini mengandung matriks butiran dan termasuk protease netral (chymase,
tryptase) dan beberapa asam hidrolase. Enzim-enzim ini menyebabkan kerusakan jaringan
dan menyebabkan adanya kinin dan aktivasi komponen-komponen dari komplemen
(misalnya:C3a) dengan bertindak pada protein-protein prekursor.
• Proteoglikan. Ini termasuk heparin, dikenal sebagai antikoagulan dan kondroitin sulfat.
Proteoglikan berfungsi untuk mengemas dan menyimpan amina dalam butiran butiran.
Mediator-mediator lipid. Mediator lipid utama produk turunan asam arakidonat.
Reaksi pada membran sel mast menyebabkan aktivasi fosfolipase A2, sebuah enzim yang
mengubah membran fosfolipid menjadi asam arakidonat. Ini 9 adalah senyawa induk dari
leukotrien dan prostaglandin diproduksi oleh jalur 5- lipoksigenase dan siklooksigenase
secara berturut-turut.
• Leukotrien. Leukotrien C4 dan D4 sebagian besar diketahui sebagai agen vasoaktif dan
spasmogenik yang potensial. Dalam kadar molar mereka beberapa ribu kali lebih aktif
daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan kontraksi
otot polos bronkial. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.
• Prostaglandin D2. Ini adalah mediator yang paling banyak diproduksi di sel mast oleh jalur
siklooksigenase. Ini menyebabkan bronkospasme intens dan meningkatkan sekresi mukus.
Pada reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T CD4+, Sitokin yang diproduksi oleh sel T
menginduksi inflamasi yang mungkin kronis dan destruktif. Inflamasi yang dimediasi oleh prototipe
sel T l adalah hipersensitivitas tipe delayed (DTH), reaksi jaringan akibat antigen memberikan
kekebalan tubuh terhadap individu. Dalam reaksi ini, sebuah antigen diberikan ke dalam kulit pada
individu yang diimunisasi sebelumnya menghasilkan reaksi kutaneus yang terdeteksi dalam waktu 24
sampai 48 jam (dengan demikian istilahnya delayed, berbeda dengan hipersensitivitas segera). Sel
TH1 dan TH17 keduanya berkontribusi pada penyakit 22 organ spesifik dimana inflamasi merupakan
aspek yang menonjol pada patologi. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1didominasi
oleh makrofag yang teraktivasi dan yang dipicu oleh sel TH17 memiliki komponen neutrofil yang
lebih besar. Reaksi inflamasi distimulasi oleh sel T CD4+ dapat dibagi menjadi tahapan tahapan yang
berurutan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Sel T CD4+ asal (naif) mengenali peptida yang ditampilkan oleh
sel-sel dendritik dan mensekresi IL-2, yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan autokrin untuk
merangsang proliferasi sel T yang responsif terhadap antigen. Diferensiasi selanjutnya (subsequent)
dari sel T yang distimulasi antigen pada sel TH1 atau TH17 diatur oleh sitokin-sitokin yang dihasilkan
oleh APCs pada saat aktivasi sel T. Dalam beberapa situasi APCs (sel dendritik dan makrofag),
menghasilkan IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset TH1. IFNγ diproduksi oleh
sel-sel efektor ini mempromosikan pengembangan TH1 lebih lanjut, sehingga memperkuat
reaksinya. Jika APCs menghasilkan sitokin yang menyebabkan inflamasi seperti IL-1, IL-6 dan kerabat
dekat IL-12 disebut IL-23, ini menstimulasi diferensiasi sel T ke subset TH17. Beberapa yang
membedakan sel-sel efektor masuk ke sirkulasi dan tetap tinggal di genangan sel T memori dalam
waktu lama, terkadang bertahun-tahun.
Setelah diulang paparan terhadap suatu antigen, sel-sel TH1 mengeluarkan sitokinsitokin, terutama
IFN-γ, yang bertanggung jawab pada banyak manifestasi hipersensitivitas tipe delayed. IFN-γ-
diaktifkan ("aktivasi secara klasik") makrofag diubah dalam beberapa cara : kemampuan mereka
untuk fagositosis dan membunuh mikroorganisme ditandai dengan jelas; mereka mengekspresikan
lebih banyak molekul kelas II MHC pada permukaan, sehingga memudahkan adanya antigen lebih
lanjut ; mereka mensekresikan TNF, IL-1, dan kemokin, yang mempromosikan inflamasi; dan mereka
menghasilkan lebih IL-12, sehingga memperkuat respons TH1. Kemudian, makrofag teraktivasi
berfungsi untuk menghilangkan antigen yang bersalah; jika aktivasi terus berlanjut, selanjutnya
inflamasi dan hasilnya cedera jaringan.
Dalam jenis reaksi yang dimediasi sel T, CD8 + CTLs membunuh sel target yang mengekspresikan
antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs mungkin merupakan komponen penting dari beberapa
penyakit yang dimediasi sel T, seperti diabetes tipe I. CTLs diarahkan pada permukaan sel antigen
histokompatibilitas yang memainkan peran penting dalam penolakan pemindahan, dibahas nanti.
Mereka juga berperan dalam reaksi melawan virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus
ditunjukkan oleh molekul MHC kelas I dan komplek ini dikenali oleh TCR pada limfosit T CD8+.
Pembunuhan sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi, tetapi dalam beberapa kasus
dia bertanggung jawab untuk sel kerusakan yang menyertai infeksi (contoh; pada virus hepatitis).
Antigen terkait tumor juga disajikan pada permukaan sel dan CTLs terlibat dalam respon host untuk
mengubah sel-sel. 27 Mekanisme utama pembunuhan yang dimediasi sel T pada target melibatkan
perforins dan granzymes, mediator-mediator preformed berisi butiran seperti lisosom CTLs. CTLs
yang mengenali sel-sel target mensekresi komplek yang terdiri dari perforin, granzymes dan protein
lainnya yang masuk ke sel target oleh endositosis. Pada sitoplasma sel target, perforin memfasilitasi
pelepasan granzyme dari komplek. Granzym adalah protease yang membelah dan mengaktifkan
kaspase, yang menginduksi apoptosis dari sel target. CTLs yang diaktivasi juga mengekspresikan Fas
ligan, sebuah molekul dengan homologi ke TNF, yang bisa mengikat Fas yang diekspresikan pada sel
target dan memicu apoptosis.
4. Etiologi Hipersensitivitas
Ada 3 faktor yang berperan dalam hipersensitivitas / alergi
A. Faktor Internal :
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,enzym-
enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya :IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas jugamengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu. · Imaturitasusus (Ketidakmatangan Usus) Secara
mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen
ke dalam tubuh. Secarakimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan
denaturasiallergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit
padalamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada ususimatur
system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi,sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.
Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janinsampai masa
bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan normakehidupan setempat.
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang
tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederitaalergi kita harus mewaspadai tanda
alergi pada anak sejak dini. Bila ada salahsatu orang tua yang menderita gejala alergi,
maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi
maka resiko pada anakmeningkat menjadi 53 – 70%.
Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapanalergen
bertambah.
B. Faktor Eksternal :
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)atau
beban latihan (lari, olah raga).
Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya:
ikan15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkanreaksi alergi.
C. Faktor Resiko :
Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak keluargayang
mengalami gangguan ini.
Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapatmengatasi
gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan inikembali di
kemudian hari.
Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai risikoalergi
terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi alergiyang
lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan lebih besar.
Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama balita dan
bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap komponen makananatau
makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-anak biasanya dapatmengatasi alergi
terhadap susu, gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergiterhadap kacang-
kacangan dan kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika terjadi, baik
alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah.
Lebih spesifik :
1. Hipersensitvitas Tipe I :
Hipersensitivitas tipe I dikenal sebagai hipersensitivas langsung atau anafilatik. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejalayang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Hipersensitivitas Tipe I diperantai oleh
immunoglobulin E (IgE).
2. Hipersensitivitas tipe II :
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G(IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel danmatriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringanyang langsung berhubungan
dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan
antigen permukaan sel akan bersifat patogenik danmenimbulkan kerusakan pada target
sel.Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
3. Hipersensitivitas Tipe III :
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal inidisebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut didalam jaringan.
Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Padakondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar danseimbang akan dibersihkan dengan
adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadapsenyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodisecara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada
penderita penyakit autoimun.Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan
menyebar pada membransekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ,seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian
koroid pleksus otak.
4. Hipersensitivitas Tipe III :
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai selatau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringanoleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untukaktivasi dan diferensiasi sel
T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofagdan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum darihipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak(kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed typehipersensitivity, DTH).
Epidemiologi pruritus
Pruritus dalam penyakit khusus
Pruritus adalah fitur yang menentukan eksim atopik (Rajka 1989, hal. 20). Pruritus
harian dijelaskan pada 87% hingga 91% pasien dengan eksim atopik (Yosipovitch et al. 2002;
Dawn et al. 2009). Tidak ada studi epidemiologis terkait gejala pada prevalensi dan
perjalanan pruritus kronis dominan pada eksim atopik. Menurut survei pasien, pasien eksim
atopik lebih mungkin mengalami pruritus saat ini dan melaporkan intensitas pruritus yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien psoriasis (O'Neill et al. 2011).
Menurut penelitian berbasis kuesioner pada 17.488 pasien psoriasis, pruritus adalah
gejala kedua yang paling sering dilaporkan dan dilaporkan oleh 79% pasien yang
diwawancarai (Krueger et al. 2001). Pruritus menyeluruh adalah gambaran psoriasis pada
84% pasien psoriasis, 77% di antaranya dilaporkan mengalaminya setiap hari (Yosipovitch et
al. 2000). Mengenai beberapa penelitian tentang pruritus kronis, gejala ini tampaknya lebih
sering terjadi pada psoriasis (Weisshaar dan Dalgard 2009; Krueger et al. 2001; Yosipovitch
et al. 2000; O'Neill et al. 2011) daripada yang diyakini sebelumnya. Meremehkan pruritus
dalam praktek klinis sehari-hari mungkin disebabkan oleh intensitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan apa yang diamati pada penyakit kulit pruritus lainnya dan pasien yang
tidak dilaporkan (Weisshaar dan Dalgard 2009). Urtikaria idiopatik kronis didefinisikan
sebagai kejadian wheals dan pruritus setiap hari, atau hampir setiap hari, setidaknya selama 6
minggu, tanpa sebab yang jelas. Tidak ada studi epidemiologis terperinci mengenai
frekuensinya yang tampaknya ada (Greaves 2003). Namun, 68% dari pasien urtikaria
idiopatik kronis ditemukan menderita pruritus kronis yang terjadi setiap hari (Yosipovitch et
al. 2002).
Penyakit menular pada kulit seperti, misalnya, kudis, pedikulosis, infeksi bakteri dan virus,
dan mikosis, sering terjadi bersamaan dengan pruritus yang biasanya tidak bersifat kronis.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa pruritus masih umum terjadi pada HIV. Tiga puluh satu
persen pasien yang menggunakan terapi antiretroviral melaporkan pruritus (Blanes et al.
2012). Dermatosis pruritus seperti, misalnya, PPE (erupsi papular pruritus) adalah
manifestasi kulit yang sering terlihat pada 11% hingga 46% pasien HIV (Eisman 2006).
Pruritus dikatakan sering terjadi pada penyakit sistemik, tetapi tidak ada data
epidemiologis tentang frekuensi pruritus pada penyakit sistemik secara umum dan data untuk
penyakit sistemik spesifik merujuk terutama pada pruritus uraemik (lihat di bawah).
Sebaliknya, ada banyak penelitian yang cukup besar mengenai penyebab sistemik pruritus
kronis. Namun, tidak ada gambaran yang jelas yang dapat diambil karena perbedaan
variabel, metode, dan populasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Pruritus
menyeluruh ini dikaitkan dengan penyakit sistemik pada 16% hingga 50% individu; namun,
dengan melakukan hal itu, kemungkinan penyebab multifaktorial dapat diabaikan (Weisshaar
dan Dalgard 2009). Satu studi mempertimbangkan penyebab multifaktorial dan melaporkan
bahwa dalam 13,3% sampel, pruritus disebabkan oleh satu penyebab sistemik, sementara
pada 24,7% penyebab multifaktorial ditegakkan (Sommer et al. 2007).
Dalam sampel pasien Jerman yang menghadiri klinik pruritus kronis, 36% menderita
penyebab sistemik, sedangkan dalam sampel Uganda pasien pruritus kronis, tidak ada pasien
yang didiagnosis memiliki penyakit sistemik yang mendasarinya (Weisshaar et al. 2006).
Penting untuk dicatat bahwa kedua kelompok memiliki usia yang bervariasi (sampel Jerman:
Mage = 54,5 tahun; Sampel Uganda: Mage = 28,0 tahun) dan harapan hidup di Uganda lebih
rendah dibandingkan dengan Jerman, dan sebagian besar kondisi sistemik di mana pruritus
dapat terjadi bersama. -terjadi terkait dengan usia yang lebih tinggi.
Prevalensi pruritus pada gagal ginjal kronis dan pada pasien yang menjalani dialisis
bervariasi di seluruh dunia antara 10% dan 70% (Pisoni et al. 2006). Delapan puluh hingga
100% pasien dengan pruritus kontrak kolestasis. Dua puluh lima hingga 70% dari pasien
dengan sirosis bilier primer, dan 15% dari pasien dengan hepatitis C menderita pruritus
kronis (Weisshaar dan Dalgard 2009). Diperkirakan sekitar 30% pasien dengan Morbus
Hodgkin, 10% pasien dengan limfoma non-Hodgkin, 40% pasien dengan polycythemia vera,
dan sekitar 5% pasien leukemia menderita pruritus kronis. Mengenai penyakit ganas lainnya,
prevalensi pruritus paraneoplastik dilaporkan berkisar antara 2% dan 26%. Harus diingat
bahwa studi ini beragam secara metodologi dan tidak ada definisi yang jelas tentang pruritus
paraneoplastik; karenanya perbandingan langsung sulit dilakukan (Weisshaar dan Dalgard
2009).
Pruritus juga dikatakan berhubungan dengan asupan obat (Bigby et al. 1986; deShazo
dan Kemp 1997). Pruritus yang diinduksi obat tanpa ruam dapat terjadi sebagai pruritus akut
(<6 minggu) yang disebabkan, misalnya oleh klorokuin (George 2004) atau opioid (Swegle
dan Logemann 2006). Pruritus yang diinduksi hidroksietil pati (HES) digambarkan terjadi
pada 12% hingga 42% pasien yang diobati dengan HES (Bork 2005). Pruritus yang diinduksi
opioid adalah masalah umum setelah pemberian opioid epidural dan intratekal.
Kemungkinan mengembangkan pruritus dengan penggunaan opioid berkisar dari 2% hingga
10% dan secara substansial meningkat ketika opioid diberikan dengan injeksi epidural atau
intraspinal (Swegle dan Logemann 2006). Meskipun ada sejumlah obat (mulai dari
antihipertensi hingga antiepilepsi) yang dapat dipertimbangkan untuk menginduksi pruritus,
tidak ada penelitian tentang seberapa sering pruritus kronis disebabkan oleh obat tertentu
pada populasi pasien.
Juga diasumsikan oleh beberapa dokter bahwa ada hubungan antara pruritus dan
morbiditas psikiatrik. Namun, hanya beberapa penelitian melaporkan prevalensi pruritus
pada gangguan kejiwaan dan semua ini dipenuhi dengan kelemahan metodologis. Sampel
peluang kecil bukannya seleksi acak peserta dipelajari, dan berbagai bias informasi juga
mungkin ada. Antara 17% dan 32% dari pasien rawat inap yang diselidiki telah dilaporkan
menderita pruritus menurut penelitian ini (Mazeh et al. 2008; Pacan et al. 2009). Apakah
pruritus merupakan masalah umum dalam penyakit kejiwaan tidak dapat dijawab berdasarkan
pada dasar empiris yang tersedia.
Tampaknya tidak ada penelitian tentang frekuensi terjadinya pruritus pada anak-anak
pada umumnya. Namun demikian, pruritus adalah gejala dominan dan kardinal dari eksim
atopik (dermatitis atopik) (Rajka 1989), yang prevalensinya di dunia Barat diperkirakan
antara 6,1% dan 22,3% (Shaw et al. 2011; Odhiambo et al. 2009) . Karena eksim atopik
adalah penyakit kulit yang paling sering terjadi di masa kanak-kanak, prevalensinya dapat
digunakan sebagai titik rujukan. Dalam studi Norwegia berbasis populasi, 8,8% dari remaja /
remaja menderita pruritus (tidak didefinisikan secara tepat). Prevalensi pruritus secara
signifikan terkait dengan eksim atopik dan tekanan mental (Halvorsen et al. 2009). Dalam
sampel kecil remaja dengan jerawat, 13,8% hingga 70%, tergantung pada asal etnis,
menderita episode pruritus akut (Reich et al. 2008; Lim et al. 2008).
Orang lanjut usia diyakini sangat rentan terhadap pruritus kronis. Penelitian
sebelumnya mengamati penyakit kulit pruritus. Tergantung pada wilayah dan ukuran sampel,
prevalensi mereka diperkirakan antara 11,5% dan 41% (Weisshaar dan Dalgard 2009).
Tampaknya tidak ada kesepakatan umum dalam literatur tentang apa yang membentuk lansia
(yaitu, tidak ada skor cut-off yang tepat untuk usia) atau apa gambaran klinis yang tepat yang
diharapkan pada populasi pasien (Weisshaar dan Dalgard 2009; Beauregard dan Gilchrest
1987 ). Satu studi berbasis populasi menemukan hubungan yang signifikan antara usia dan
prevalensi pruritus kronis. Tren ini tampaknya nonlinier, tetapi secara bimodal dengan
puncak untuk kelompok umur antara 31 dan 40 dan 51 dan 60 tahun, masing-masing. Tidak
ada hubungan usia yang signifikan diamati dengan titik atau prevalensi 12 bulan, masing-
masing, juga tidak ada kemungkinan lebih tinggi terjadinya pruritus kronis pada individu
berusia> 65 tahun (Matterne et al. 2011). Survei populasi kerja lain menemukan bahwa
pruritus kronis saat ini meningkat dengan usia dari 12,3% (16-30 tahun) menjadi 20,3% (61-
70 tahun) (Ständer et al. 2010). Beberapa penelitian lain dilakukan pada sampel pasien lansia
yang sangat kecil atau sangat terpilih (Yalcin et al. 2006; Beauregard dan Gilchrest 1987;
Norman 2003) dan dengan demikian tidak memberikan perkiraan populasi umum. Semua ini
menyoroti perlunya penelitian epidemiologis yang dirancang dengan lebih baik untuk
membangun basis bukti untuk klaim bahwa pruritus lebih sering terjadi pada orang tua.
7. Mekanisme Gatal
Pada kulit, terdapat ujung saraf bebas yang merupakan reseptor nyeri (nosiseptor).
Ujung saraf bebasnya bisa mencapai bagian bawah epidermis. Ujung saraf bebas terbagi
menjadi dua jenis serabut saraf. Serabut saraf A bermielin yang merupakan nosiseptor dan
serabut saraf C tidak bermielin. Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang
merupakan polimodal nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal nosiseptor
merupakan serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis stimulus mekanik dan kimiawi.
Sedangkan mekanoinsensitif tidak merespon terhadap stimulus mekanik, namun memberi
respon terhadap stimulus kimiawi. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang dapat merasakan
rasa gatal beberapa saat setelah stimulus terjadi.
Pruritogen menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi. Serabut saraf
C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang serabut saraf sensoris. Terjadi input
eksitasi di Lamina-1 kornu dorsalis susunan saraf tulang belakang. Hasil dari impuls tersebut
adalah akson refleks mengeluarkan transmiter yang menghasilkan inflamasi neurogenik
(substansi P, Calcitonin Gene-Related Peptide, neurokinin A, dan lain-lain). Setelah impuls
melalui pemrosesan di korteks serebri, maka akan timbul suatu perasaan gatal dan tidak enak
yang menyebabkan hasrat untuk menggaruk bagian tertentu tubuh. Gatal dapat timbul apabila
pruritoseptor terangsang dan reseptor lainnya tidak terangsang. Tidak mungkin pada
penghantaran sinyal, terdapat dua reseptor sekaligus yang terangsang oleh satu stimulus. Saat
pruriseptor terangsang, seseorang akan mulai merasakan sensasi gatal sehingga timbul hasrat
untuk menggaruk. Saat menggaruk, polimodal nosiseptor akan terangsang sehingga
pruritoseptor akan berhenti terangsang.
Hal ini memberikan penjelasan mengapa ketika seseorang menggaruk tubuhnya yang
gatal, maka rasa gatal akan menghilang. Setelah garukan dihentikan, yang artinya polimodal
nosiseptor berhenti terangsang, pruritoseptor sangat mungkin untuk kembali terangsang
sehingga gatal akan timbul kembali.
8. Diagnosis Diferensial
Dermatitis Atopik
A. Defnisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan inflamasi kulit yang didasari oleh
faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik berulang. Bila residif biasanya
disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan. Riw
atopi lain: rinitis alergik, konjungtivitis alergik, asma bronkial
B. Epidiomologi
Dapat mengenai semua usia
Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi
sebelum usia 12 bulan dan selanjutnya akan hilang timbul hingga anak
melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema
sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil akan terus mengalami eksema hingga
dewasa.
Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak
< 5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada
20-30 tahun terakhir.
C. Etiologi
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor
internal dan ekstemal.Faktor internal adalah faktor pre,'Clisposisi genetik(melibatkan
banyak gen) yang menghasilkandisfungsi sawar kulit serta perubahan pada
sistemimun, khususnya hipersensitivitas terhadapberbagai alergen dan antigen
mikroba. Faktorpsikologis dapat merupakan penyebab atauebagai dampak DA. Pada
makalah ini akan ditinjau hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
meliputi perubahan pacla sistem imun(imunopatologik), alergen dan antigen,
predisposisigenetik, mekanisme pruritus, dan faktor psikologis.Faktor higiene akhir-
akhir ini diduga merupakansalah satu faktor risiko DA di dalarn keluarga.
Dermatitis Kontak Irirtan
A. Definisi
Dermatitis Kontak Iritan adalah Suatu dermatitis yang timbul setelah kontak
dengan bahan iritan.
B. Epidiomologi
Dapat diderita semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis
kelamin.
Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak, terutama yang
berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja) namun angkanya sulit
diketahui karena penderita dengan keluhan ringan tidak datang berobat, atau
bahkan tidak ada keluhan.
C. Etiologi
Penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan,
misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam,alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit
yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,konsentrasi bahan
tersebut dan vehikulum. Terdapat juga pengaruh faktor lain, yaitu: lama
kontak,kekerapan (terus menerus atau berselang), oklusi yang menyebabkan kulit
lebih permeabel, demikianpula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan
kelembabanlingkungan juga turut berperan.Faktor individu juga turut berpengaruh
padaDKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan
perbedaan permeabilitas;usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lanjutlebih mudah
teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahandibandingkan dengan kulit putih); jenis
kelamin(insidens DKI lebih banyak pada perempuan);penyakit kulit yang pemah atau
sedang dialami(ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun),misalnya dermatitis
atopik.
Dermatitis Kontak Alergi adalah Suatu dermatitis yang timbul setelah kontak
denganalergen melalui proses sensitasi – elisitasi
B. Epidiomologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai orang dengan keadaan kulit sangat peka (hipersensitif).Diperkirakan
jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah
produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun,
informasi mengenai prevalensi dan insidens OKA di masyarakat sangat sedikit,
sehingga angka yang mendekati kebenaran belum didapat.Dahulu diperkirakan bahwa
kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%, tetapidata baru dari lnggris
dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis kontak alergik akibat kerja
karena temyata cukup tinggi yaitu berkisarantara 50 dan 60 persen. Sedangkan, dari
satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering
dibandingkan dengan DKA akibat kerja.
C. Etiologi
Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat molekul rendah (<
1000 dalton),disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat
menembus stratum komeum sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang
hidup. Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya potensi
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,
suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum komeum, ketebalan epidermis),
status imun (misalnya sedang mengalami sakit,atau terpajan sinar matahari secara
intens).
Perempuan 35 X
Tahun
Keluhan gatal
pada leher,
punggung, dan
lipatan payudara
Gatal hilang
timbul
Kulit kering
Kemerahan
Kehitaman X X
Gatal berkeringat X
Riwayat Rhinitis X
Alergica
9. Tatalaksana dari DD
DERMATITIS KONTAK IRITAN
paya pengobatan yang terpenting pada DKI adalah menghindari pajanan bahan iritan yang
menjadi penyebab, baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi , serta menyingkirkan factor
yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi,
maka DKI tersebut akan sembuh tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pemberian
pelembab untuk memperbaiki sawar kulit. Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat
diberikan kortikosteroid topical misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat
diawali dengan kortikosteroid dengan potensi kuat Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat
diperlukan bagi yang bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya.
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan
pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya kelainan kulit akan mereda dalam beberapa
hari. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA
akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans), misalnya
pemberian prednison 30 mg/hari. Untuk topikal cukup dikompres dengan larutan garam faal atau
larutan asam salisilat 1: 1000, atau pemberian kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau
tacrolimus) secara topikal.
DERMATITIS ATOPIK
Perlu diberikan informasi dan edukasi kepada orangtua, para pengasuh, keluarga dan pasien
tentang DA, perjalanan penyakit, serta berbagai faktor yang mempengaruhi penyakit. Faktor
pencetus kekambuhan, di antaranya alergen hirup (tungau dan/atau debu rumah), alergen makanan
pada bayi <1 tahun (susu sapi, telur, kacang-kacangan, bahan pewarna, bahan penyedap rasa, dan
aditif lainnya). Namun, perlu dijelaskan bahwa alergi terhadap makanan dapat menghilang
berangsur-angsur sesuai dengan bertambahnya usia. Diet hanya boleh ditentukan oleh dokternya.
Faktor psikologis seringkali berperan sebagai faktor pencetus atau sebaliknya. Bila diperlukan pasien
dapat dirujuk ke psikolog atau psikiater. Komunikasi efektif berguna untuk membangun rasa percaya
diri pasien. Walaupun DA sulit disembuhkan, namun dapat dikendalikan.
Pengobatan Topical
Pelembab
Pelembab berfungsi memulihkan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis pelembab antara lain
berupa humektan (contohnya gliserin dan propilenglikol), natural moisturizing factor (misalnya urea
10% dalam euserin hidrosa), emolien (contohnya lanolin 10%, petrolatum, minyak tumbuhan dan
sintetis), protein rejuvenators (misalnya asam amino), bahan lipofilik (di antaranya asam lemak
esensiel, fosfolipid, dan seramid). Pemakaian pelembab dilakukan secara teratur 2 kali sehari,
dioleskan segera setelah mandi, walaupun sedang tidak terdapat gejala DA.
Kortikosteroid Topikal
Efek samping kortikosteroid sistemik pada anak terutama supresi aksis hipotalamus-pituitri-
korteks adrenal (HPA) dan atrofi kulit. Untuk pengobatan yang aman hendaknya memperhatikan
lokasi anatomis (oklusi alamiahdan vaskularisasi), luas area yang diobati, potensi kortikosteroid yang
digunakan termasuk jenis dan konsentrasinya, vehikulum, frekuensi pengolesan dan lama
pemakaian. Bila penggunaan kortikosteroid tersebut dilakukan dengan benar, diharapkan dapat
mengurangi kemun9kinan terjadi efek samping. Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan
kortikosteroid golongan VII-IV. Pada DA fase bayi/ anak yang ringan dapat dimulai dengan
kortikosteroid golongan VII , misalnya hidrokortison krim 1-2% %, metilprednisolon atau flumetason.
Pada DA dengan derajat keparahan sedang dapat digunakan kortikosteroid golongan VI, misalnya
desonid, triamsinolon asetonid, prednikarbat, hidrokortison butirat, flusinolon asetonid. Bila kondisi
DA lebih parah dapat digunakan kortikosteroid golongan V, misalnya flutikason, betametason 17
valerat, atau golongan IV, yaitu mometason furoat (MF), atau aklometason. Walaupun MF tergolong
kortikosteroid potensi sedang, namun hasil penelitian klinis membuktikan bahwa MF tidak
mengakibatkan efek atrofogenik atau hanya minimal. Dalam keadaan tertentu kortikosteroid topikal
potensi kuat dapat digunakan secara singkat (1-2 minggu). Bila DA sudah teratasi segera diganti
dengan potensi se:dang atau lemah.
Obat Penghambat Kalsineurin
Kortikosteroid topikal merupakan obat pilihan utama DA, namun terdapat keterbatasan
terutama efek samping yang timbul jika digunakan untuk jangka panjang. Sesuai dengan konsep
terapi pada ICCAD II, pelembab senantiasa diberikan walaupun tanpa gejala DA. Untuk mengatasi
pruritus dan inflamasi dapat diberikan antihistamin sistemik (sedatif atau non-sedatif),
kortikosteroid topikal dan inhibitor kalsineurin, di antaranya pimekrolimus dan takrolimus.
Takrolimus adalah golongan penghambat kalsineurin bekerja pada sel T, sel Langerhans, sel mas, dan
sel keratinosit. Takrolimus menunjukkan mekanisme kerja yang sama dengan cyclosporin A, yaitu
mampu menghambat degranulasi sel mas dan mensupresi pengeluaran TNFa. Krim takrolimus
(protopicf®) 0,03% dan 0, 1 % aman digunakan pada anak 2-15 tahun dalam jangka pendek atau
panjang secara bergantian. Krim takrolimus tidak menimbulkan efek atrofi kulit. Efek samping yang
pemah dilaporkan berupa nefrotoksik dan hipertensi. Pimekrolimus termasuk golongan askomisin
makrolaktam, sebagai penghambat sitokin inflamasi dari sel mas yang teraktivasi, misalnya IL-2, 11-
3, 11-4, IL-8, IL-10, INFy, TNFa, yang bekerja selektif terutama pada sel T yang berperan pada lesi DA.
Selain itu, pimekrolimus juga mencegah pelepasan mediator inflamasi (histamin, triptase,
heksosami-nidase) dari sel mas yang teraktivasi. Takrolimus, pimekrolimus tidak mempunyai efek
antiproliferasi dan tidak mengganggu immunosurveillance. Pengobatan jangka panjang dengan
pimekrolimus lebih aman dibandingkan dengan pengobatan konvensional.
Pengobatan sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada DA anak. Antihistamin sistemik mampu mengurangi
rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang dapat memperburuk penyakit. Rasa gatal
tidak hanya disebabkan oleh histamin, namun masih dapat diakibatkan oleh mediator lain. Anti-
histamin yang bersifat sedatif (misalnya klorfeniramin maleat, hidroksisin) lebih efektif dalam
mengurangi rasa gatal dibandingkan dengan antihistamin nonsedatif (misalnya loratadin, ceterizin,
terfenadin, feksofenadin). Meskipun demikian, antihistamin nonsedatif memiliki keunggulan, yaitu
dapat mencegah migrasi sel inflamasi. Pemberian seterizin pada bayi atopik selama 18 bulan mampu
mencegah bayi dengan DA berkembang jadi pengidap asma (allergic march).
Khususnya pada bayi atau anak kurang dari 1 tahun, alergen makanan lebih berpengaruh
daripada alergen debu rumah. Perlu bukti korelasi riwayat alergi makanan dengan kekambuhan lesi.
Uji kulit, di antaranya soft allergen fast test (SAFT), pricked test (uji tusuk), atau double blind allergen
placebo controlled food chalenge test (DBPFCT), perlu dilakukan sebelum memberi diet makanan.
Uji kulit tersebut harus dilakukan oleh ahlinya dan diinterpretasikan dengan baik dan benar, serta
diinformasikan kepada pasien/ orangtuanya secara hati-hati. Alergen makanan yang sering
dilaporkan berupa telur, susu sapi, ikan, kacang-kacangan, gandum, soya, tomat dan jeruk, bahan
pewarna, bahan penyedap dan aditif lainnya. Bila berdasarkan anamnesis, uji kulit, dan peningkatan
lgE RAST, pasien terbukti alergi terhadap makanan tertentu, maka dapat dilakukan beberapa cara
penanggulangan. Pemberian makanan tersebut ditunda, dihentikan, dilakukan dietterpimpin, atau
ditukar dengan makanan pengganti, misalnya susu sapi diganti dengan susu kedele (soya). Perlu
dimonitor korelasi antara diet dengan perbaikan lesi klinis. Air susu ibu (ASI) eksklusif dan
keterlambatan pemberian makanan padat pada bayi DA dapat mencegah alergi terhadap makanan.
Obat imunosupresi pada anak
Obat imunosupresi sistemik pada DA, merupakan obat pilihan terakhir. Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang umumnya menyebabkan efek ketergantungan obat dan penekanan
siklus HPA. Penggunaan kortikosteroid sistemik dibatasi penggunaannya pada kasus akut dan berat,
serta diberikan untuk jangka waktu singkat. Pemberian siklosporin A pada DA anak rekalsitrans
pernah diteliti. Pengobatan dengan dosis 5 mg/kg/hari memberikan hasil pengobatan yang dinilai
baik, namun DAdapat kembali kambuh bila dosis obat diturunkan.
Penderita dermatitis atopik sangat rentan dengan infeksi virus, yang paling berbahaya adalah herpes
simplex dengan penyebaran luas dapat mengakibatkan ekzema hepetikum yang dapat terjadi pada
semua usia, Kulit orang dengan dermatitis atopik juga tidak memiliki protein penangkal infeksi,
membuatnya rentan terhadap infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Infeksi jamur juga
umum pada orang dengan dermatitis atopik.
Komplikasi yang dapat terjadi pada dermatitis kontak iritan antara lain11:
· Lesi pada kulit dapat dikolonisasi oleh bakteri Staphylococcus aureus. Hal
ini dipermudah jika terjadi lesi sekunder, seperti fissure akibat manipulasi
hipopigmentasi.
Komplikasi yang terkait dengan dermatitis kontak alergi (ACD) melibatkan respons inflamasi.
Peradangan mereda dengan dihilangkannya alergen. Jika alergen dikonsumsi secara sistemik,
dermatitis difus dapat terjadi, tetapi kondisi ini tidak dianggap sebagai keadaan darurat
dermatologis.
3.2 Saran
Dari hasil laporan kami mungkin ada sebagian isinya yang memiliki kekurangan
maka dari itu kami harapkan saran dari semua pihak guna memperbaiki hasil laporan kami,
jadi hasil laporan kami untuk kedepannya supaya lebih baik lagi.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi :
Referensi : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/56334/4/Chapter II.pdf
Ppt (Dermatitis) dr. Rizqa
Ilmu penyakit Kulit dan kelamin FK UI edisi 7
Refrensi : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2924137/
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12583/6.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/524bcfc3bf655d640e21287b2c4708e
b.pdf
Ppt dr. Kartono
Imunologi Dasar Abbas. Fungsi dan kelainan System Imun . Ed 5.
Nuzulul Hikmah, I Dewa Ayu Ratna Dewanti
Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
(file:///C:/Users/User/Downloads/2063-1-4071-1-10-20151215.pdf)
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/524bcfc3bf655d640e21287b2c4708eb.pdf