Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL PBL MODUL IMUNOLOGI DASAR

BLOK IMUNOLOGI

TUTOR:
dr. Gladys Tinovella Tubarat, M.Pd.Ked

DISUSUN OLEH:

Cyndana Putri (2019730019)


Manisthafara Nur Rizka (2019730061)
Muhamad Raihan Naufal (2019730068)
Nisa Syifa Azzahra (3029730087)
Putri Indah Ayu Ningsih (2019730092)
Silvi (2019730102)
Sultan Umar Hadi (2019730104)
Tiara Oktavia Maharani (2019730107)
Ummi Hanik (2019730109)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas berkah Rahmah Hidayah-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan
laporan dari pembelajaran Problem Based Learning (PBL) module 3. Laporan ini dibuat
untuk menyelesaikan tugas dari bagian pembelajaran PBL yang bertemakan Autoimun. PBL
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk melatih para mahasiswa untuk
mampu berpikir kritis apabila diberikan suatu kasus atau masalah. Dengan menyelesaikan
salah satu metode pembelajaran yang ada diharapkan kami dapat menyelesaikan setiap
tahapan dalam PBL ini.
Kami menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahan datang
dari hambanya, saran dan kritik membangun untuk perbaikan laporan ini sangat kami
harapkan. Terima kasih kami ucapkan kepada tutor kami: dr. Gladys Tinovella Tubarat,
M.Pd.Ked atas segala arahan dan masukkan yang telah membangun.
Demikian laporan ini kami buat, semoga laporan ini dapat menambah wawasan bagi
yang membaca dan dapat bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu
pengetahuan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Cireundeu, 21 Juni 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Pembelajaran
BAB II ISI
2.1. Skenario
2.2 Kata kunci
2.3. Mind map
2.4. Peta konsep
2.5. Tujuan pembelajaran
2.6. Identifikasi masalah
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan pembelajaran


Setelah selesai mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
tentang toleransi imun sentral dan perifer, autoimunitas, patomekanisme gejala klinis
penyakit autoimun, pembagian dan jenis penyakit autoimun, diagnosis, pemeriksaan
penunjang dan penatalaksanaan nya.

BAB II
ISI
2.1.Skenario
Seorang perempuan usia 23 tahun datang dengan keluhan nyeri di kedua tangan dan
lengan serta kedua lututnya, sejak 5 minggu yang lalu. Sering terdapat keluhan demam
ringan yang hilang sendiri dengan diistirahatkan, rambut penderita rontok tetapi tidak
berlebihan. Hampir sebulan sekali penderita mengalami sariawan disertai nyeri di mulut.
Sejak di SMA sering tidak ikut olah raga karena bila terkena sinar matahari lama, dan
sepulang ke rumah langsung ambruk tidak bisa melakukan apa-apa, dikarenakan rasa
nyeri pada sendi sendinya. Penderita belum menikah, tetapi merencanakan menikah 3
bulan yang akan datang. Terdapat riwayat bercakbercak kemerahan pada wajah atau
daerah kulit yang terpapar sinar matahari, serta pernah bengkak pada kelopak mata bila
penderita bangun dari tidur. Penderita juga mengeluhkan adanya gangguan menstruasi.

2.2. Kata kunci


a. Perempuan 23 tahun
b. KU = Nyeri di kedua tangan dan lengan serta lututnya sejak 5 minggu yang lalu
c. KT = Rambut rontok, Demam ringan, (sariawan dan nyeri mulut 1 bulan sekali)
d. RPD = Bercak merah pada wajah /daerah yang terpapar sinar matahari, bengkak
kelopak mata
e. Gangguan menstruasi
f. Sejak 6 tahun lalu tidak bisa terkena matahari -> ambruk pada karena nyeri pada
sendi-sendi

2.3. Mind map


2.4. Peta konsep
2.5.

Tujuan pembelajaran
a. Mengetahui definisi autoimunitas
b. Menjelaskan patomekanisme autoimun
c. Menjelaskan mekanisme toleransi imun sentral dan perifer
d. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi autoimunitas
e. Menjelaskan klasifikasi autoimun
f. Mengetahui Alur diagnosis
g. Menentukan DD dari skenario
h. Menentukan WD dari diagnosis diferensial
i. Menjelaskan tatalaksana dari WD

2.6. Identifikasi masalah


a. Definisi Autoimunitas
Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang terjadi akibat
kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance atau dapat
diartikan sebagai kegagalan pada toleransi imunitas sendiri sehingga memunculkan
kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis, padahal seharusnya sistem imun hanya
menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh (Robbins, 2007).

b. Patomekanisme Autoimunitas
Sebagian penyakit autoimun bersifat spesifik-organ, yang hanya mengenai satu atau sedikit
organ, atau sistemik, yang merusak berbagai jaringan serta mempunyai manifestasi klinis
yang luas. Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun dapat disebabkan oleh autoantibodi
terhadap antigen diri atau oleh sel T autoreaktif terhadap antigen diri.
Faktor utama pada perkembangan autoimunitas adalah gen kerentanan yang diturunkan serta
pemicu lingkungan, misalnya infeksi. Dikatakan bahwa gen kerentanan menganggu jalur
toleransi-diri sehingga menyebabkan limfosit T dan B yang bersifat autoreaktif akan tetap
ada. Rangsangan lingkungan dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan serta
peradangan dan mengaktifkan limfosit autoreaktif tersebut, menyebabkan berkembangnya sel
T efektor dan autoantibodi yang bertanggungjawab untuk penyakit autoimun.
Faktor Genetik - Risiko yang diturunkan pada sebagian besar penyakit autoimun dikaitkan
pada banyak loki gen, dengan kontribusi terbesar dibuat oleh gen MHC. Jika penyakit
autoimun mengenai salah satu dari saudara kembar, maka penyakit yang sama kemungkinan
lebih besar mengenai saudara kembarnya daripada anggota populasi umum yang tidak
berhubungan. Lebih lanjut, peningkatan angka kejadian ini lebih tinggi pada kembar
monozigot (identik) daripada kembar dizigot.
Hal ini membuktikan peran penting faktor genetik pada kerentanan terhadap autoimunitas.
Penelitian asosiasi genom telah menemukan beberapa variasi umum (polimorfisme) gen yang
mungkin berperan terhadap berbagai macam penyakit autoimun. Hasil-hasilnya menunjukkan
bahwa polimorfisme yang berbeda lebih sering (predisposisi) atau lebih sedikit (protektif)
terdapat pada pasien dibandingkan dengan kontrol sehat. Peran penting mereka juga
diperkuat dengan penemuan bahwa polimorfisme ini mempengaruhi respons imun, serta
polimorfisme genetik yang sama berhubungan dengan penyakit autoimun yang berbeda.
Pada beberapa kasus yang jarang, gen yang berhubungan dengan autoimun merupakan variasi
(mutasi) yang pada dasarnya tidak terdapat pada individu sehat, bukannya polimorfisme yang
sering terdeteksi. Varian yang jarang ini dapat mempunyai dampak yang besar pada
perkembangan autoimunitas. Banyak penyakit autoimun pada manusia dan hewan peliharaan
yang dikaitkan dengan alel MHC tertentu. Hubungan antara alel human leukocyte antigen
(HLA) dan penyakit autoimun pada manusia ditemukan beberapa tahun yang lalu dan
merupakan salah satu indikasi pertama bahwa sel T memainkan peranan penting pada
kelainan ini (karena satu-satunya fungsi molekul MHC yang diketahui adalah menyajikan
antigen peptida kepada sel T).
Angka kejadian penyakit autoimun tertentu seringkali lebih tinggi pada individu yang
mempunyai ale! HLA tertentu yang diturunkan daripada populasi umum. Peningkatan angka
kejadian ini disebut odds ratio atau risiko relatif dari suatu kaitan HLA penyakit; istilah yang
sama juga diberikan pada hubungan antara gen tertentu dengan penyakit tertentu. Penting
untuk ditekankan bahwa meskipun alel HLA meningkatkan risiko untuk timbulnya penyakit
autoimun tertentu, alel HLA sencliri bukan penyebab penyakit ini. Pada kenyataannya,
penyakit autoimun tidak muncul pada sebagian besar orang yang mempunyai alel HLA yang
meningkatkan risiko terkena penyakit ini.
Meskipun hubungan antara alel MHC dengan beberapa penyakit autoimun sudah jelas,
namun bagaimana alel tersebut berperan pada muncul dan berkembangnya penyakit tersebut,
masih belum cliketahui. Beberapa hipotesis adalah alel MHC tertentu terutama efektif dalam
menyajikan peptida diri yang patogenik kepada sel T autoreaktif, atau alel MHC tersebut
kurang efisien dalam menyajikan antigen diri tertentu cli timus, sehingga menyebabkan defek
pada seleksi negatif sel T. Polimorfisme pada gen non-HLA berhubungan dengan berbagai
penyakit autoimun dan berperan pada kegagalan toleransi-diri atau kelainan aktivasi limfosit.
Banyak penyakit yang berhubungan dengan varian genetik telah dapat dijelaskan:
1. Polimorfisme pada gen yang menyancli tyrosine phosphatase PTPN22 (protein
tyrosine phosphatase N22) dapat menyebabkan aktivasi sel B dan sel T yang tidak
terkontrol dan berkaitan dengan beberapa penyakit autoimun, rnisalnya, artntls
reumatoid, lupus eritematosus sisternik. dan diabetes mellitus tipe 1.
2. Varian dari NOD-2 sensor rnikrobial sitoplasmik imunitas alami yang
menyebabkan penurunan pertahanan terhadap mikroba usus clikaitkan dengan
penyakit Crohn's, suatu penyakit usus keradangan, pada beberapa populasi etnik.
3. Polimorfisme lain yang berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun termasuk
gen yang menyandi rantai a reseptor IL-2 (CD25), diyakini berpengaruh pada
keseimbangan sel T efektor dan regulator; reseptor untuk sitokin IL-23, yang
mendorong perkembangan sel Th 1 7 proinflamasi; dan CTLA-4, suatu reseptor
penghambat utama pada sel T yang telah dibahas sebelumnya.
Beberapa penyakit autoimun bersifat mendelian, disebabkan oleh mutasi pada satu gen yang
mempunyai penetrasi tinggi dan menyebabkan autoimunitas pada sebagian besar atau semua
inclividu yang menurunkan mutasi ini. Gen-gen ini, telah disinggung sebelumnya, termasuk
AIRE, FOXPJ, FAS, dan CTLA4. Mutasi pada gen-gen ini sangat berguna untuk
mengidentifikasi molekul dan jalur utama yang terlibat dalam toleransi-cliri. Tetapi
autoimunitas bentuk mendelian ini sangatlah jarang, dan penyakit autoimun yang sering
dijumpai tidak clisebabkan oleh gen-gen ini.
Peranan lnfeksi dan Pengaruh Lingkungan Lain - Infeksi dapat mengaktifkan limfosit
autoreaktif, sehingga memicu timbulnya penyakit autoimun. Para klinisi telah lama
mengetahui bahwa manifestasi klinis autoimunitas kadang-kadang didahului oleh gejala
prodromal infeksi. Hubungan antara infeksi dan kerusakan jaringan autoimun secara formal
telah mapan pada hewan coba. Infeksi dapat berkontribusi terhadap autoimunitas dengan
beberapa cara:
1. Suatu infeksi pada jaringan dapat mernicu suatu respons imun alami lokal, yang
akan menyebabkan peningkatan produksi kostimulator dan sitokin oleh APC. APC
jaringan yang teraktivasi tersebut dapat merangsang sel T autoreaktif yang bertemu
dengan autoantigen di jaringan. Dengan kata lain, infeksi dapat merusak toleransi
sel T dan mendorong aktivasi limfosit autoreaktif.
2. Beberapa mikroba infeksius dapat menghasilkan antigen peptida yang serupa, dan
bereaksi silang dengan autoantigen. Respons imun terhadap antigen mikroba
tersebut dapat menyebabkan serangan imun terhadap autoantigen. Reaksi silang
antara antigen mikroba dan autoantigen ini dinamakan mimikri molekular.
Meskipun peran mimikri molekular pada autoimunitas telah membuat para ahli
imunologi takjub, makna sesungguhnya pada perkembangan sebagian besar
penyakit autoimun masih belum diketahui. Pada beberapa penyakit yang jarang,
antibodi yang dihasilkan untuk melawan protein mikrobial juga dapat mengikat
autoantigen. Pada demam reumatik, antibodi terhadap streptokokus bereaksi silang
dengan antigen myokardial sehingga menyebabkan penyakit jantung.
3. Respons imun alami terhadap infeksi dapat mengubah struktur kimia autoantigen.
Sebagai contoh, beberapa jenis infeksi periodontal dikaitkan dengan artritis
reumatoid. Dikatakan bahwa respons inflamasi akut dan kronik terhadap berbagai
bakteri tersebut menyebabkan konversi enzimatik argmm menjadi sitrulin pada
protein diri, dan protein tersitrulinasi ini dikenali sebagai asing
c. Mekanisme Toleransi Imunologik Sentral dan Perifer
Toleransi Immunologik: Toleransi imunologik adalah tidak adanya respons terhadap antigen
yang dicetuskan oleh terpaparnya limfosit pada antigen tersebut. Ketika limfosit dengan
reseptor untuk antigen tertentu bertemu dengan antigen ini, dapat terjadi beberapa
kemungkinan. Limfosit dapat diaktifkan sehingga berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel efektor dan memori, menghasilkan respons imun yang produktif; antigen yang dapat
menimbulkan respons seperti itu disebut imunogenik. Limfosit dapat secara fungsional tidak
aktif atau dibunuh, sehingga timbul toleransi; antigen yang menginduksi toleransi disebut
tolerogenik.
Fenomena toleransi imunologik penting karena beberapa alasan. Pertama, seperti yang kami
sebutkan di awaL antigen diri biasanya menginduksi toleransi, dan kegagalan toleransi-diri
adalah penyebab yang mendasari timbulnya penyakit autoimun. Kedua, jika kita mempelajari
bagaimana cara menginduksi toleransi pada limfosit yang spesifik untuk antigen tertentu, ita
mungkin dapat menggunakan pengetahuan ini untuk mencegah atau mengontrol reaksi imun
yang tidak diinginkan.
Toleransi imunologik terhadap antigen diri yang berbeda dapat dirangsang ketika limfosit
yang sedang berkembang terpapar dengan antigen tersebut di dalam organ limfoid generatif
(sentral), sebuah proses yang dinamakan toleransi sentral, atau ketika limfosit matur terpapar
antigen diri di organ limfoid perifer (sekunder) atau jaringan perifer, yang disebut toleransi
perifer.
1. Toleransi sentral: limfosit imatur spesifik untuk autoantigen dapat bertemu dengan
autoantigen tersebut di dalam organ limfoid generatif (sentral) lalu didelesi; limfosit
B mengubah spesifisitasnya (receptor editing); dan sebagian sel T berkembang
menjadi sel T regulator. Sebagian limfosit autoreaktif mungkin menyelesaikan
maturasinya dan keluar menuju jaringan perifer.
2. Toleransi perifer: limfosit autoreaktif matur dapat diinaktivasi atau didelesi setelah
bertemu dengan autoantigen di jaringan perifer atau ditekan oleh sel T regulator.
a) Mekanisme Toleransi Limfosit T Sentral :
Mekanisme utama toleransi sentral pada sel T adalah kematian sel T imatur dan
pembentukan sel T regulator CD4+. Limfosit yang berkembang di timus terdiri dari
sel-sel dengan reseptor yang mampu mengenali banyak antigen, baik antigen diri
maupun asing. Jika limfosit yang belum menyelesaikan maturasinya berinteraksi kuat
dengan antigen diri, yang ditampilkan sebagai peptida yang terikat oleh molekul diri
major histocompatibility complex (MHC), limfosit tersebut akan menerima sinyal
yang memicu timbulnya apoptosis.
Dengan demikian, sel yang reaktif terhadap diri sendiri akan mati sebelum kompeten
secara fungsional. Proses ini, yang disebut seleksi negative, adalah mekanisme utama
toleransi sentral. Proses seleksi negatif mempengaruhi sel T CD4+ dan sel T CD8+
yang reaktif Tidak diketahui mengapa limfosit imatur mati setelah menerima sinyal
yang kuat dari reseptor sel T (TCR) di timus, terhadap diri sendiri, yang mengenali
peptida diri yang disajikan oleh molekul MHC kelas II dan kelas I MHC.
Sebagian sel T CD4+ imatur yang mengenali antigen diri dalam timus dengan afinitas
tinggi tidak akan mati tetapi justru berkembang menjadi sel T regulator dan
selanjutnya memasuki jaringan perifer (lihat Gambar 9-2). Fungsi sel T regulator akan
dijelaskan kemudian dalam bab ini. Faktor apa yang menentukan apakah sel T CD4+
timus yang mengenali antigen diri akan mati atau menjadi sel T regulator juga belum
diketahui.
b) Mekanisme Toleransi Limfosit T Perifer:
Toleransi perifer dipicu ketika sel T matur mengenali antigen diri di jaringan perifer,
menimbulkan inaktivasi fungsional (anergi) atau kematian sel tersebut, atau pada
waktu limfosit reaktif terhadap antigen diri ditekan oleh sel T regulator. Respons sel T
normal memerlukan pengenalan antigen dan kostimulasi. Tiga mekanisme utama
toleransi sel T perifer digambarkan disini: anergi intrinsik-sel, penekanan oleh sel T
regulator. dan delesi (kematian karena apoptosis).
 Anergi: Dua mekanisme yang bertanggung jawab untuk induksi anergi
yang dapat dijelaskan dengan baik adalah sinyal abnormal oleh kompleks
TCR dan pengmman sinyal penghambatan dari reseptor selain kompleks
TCR:
- Ketika sel T mengenali antigen tanpa kostimulasi, kompleks TCR
mungkin kehilangan kemampuannya untuk mengirimkan sinyal
aktivasi.
- Pada saat pengenalan antigen diri, sel T dapat mernilih untuk mengikat
salah satu reseptor penghambatan yang merupakan keluarga CD28,
yaitu cytotoxic T lymphocyte-associated antigen 4 ( CTLA-4, atau
CD152) atau programmed death protein 1 (PD-1 ),
 Penekanan oleh Sel T regulator, dapat menekan respons imun melalui
beberapa mekanisme:
- Sebagian sel regulator memproduksi sitokin (misalnya, IL-10, TGF-B)
yang menghambat aktivasi limfosit, sel dendritik, dan makrofag.
- Sel regulator mengekspresikan CTLA-4, dapat menghambat atau
menghilangkan molekul B7 yang dibuat oleh APC sehingga APC ini
tidak mampu memberikan kostimulasi melalui CD28 dan
mengaktifkan sel T.
- Sel T regulator, berdasarkan tingginya ekspresi reseptor IL-2, dapat
mengikat dan memakai faktor pertumbuhan sel T yang penting ini,
sehingga mengurangi ketersediaan sitokin tersebut untuk sel T yang
memberikan respons.
 Delesi: Apoptosis limfosit matur, pengenalan antigen diri dapat memicu
jalur apoptosis yang mengakibatkan eliminasi (delesi) limfosit autoreaktif.
Ada dua kemungkinan mekanisme kematian limfosit T dewasa yang
disebabkan oleh antigen diri:
- Pengenalan antigen memicu produksi protein pro-apoptosis pada sel T
yang memicu kematian sel dengan menyebabkan protein mitokondria
bocor keluar dan mengaktifkan caspase, enzim sitosolik yang
mencetuskan apoptosis. Dalam respons imun normal, aktivitas protein
pro-apoptosis tersebut dilawan oleh protein anti-apoptosis yang
diinduksi oleh kostimulasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang
dihasilkan selama respons tersebut. Akan tetapi, antigen diri, yang
dikenali tanpa kostimulasi yang kuat, tidak merangsang produksi
protein anti-apoptosis, dan mencetuskan kematian sel-sel yang
mengenali antigen tersebut.
- Pengenalan antigen diri dapat menyebabkan koekspresi reseptor
kematian (death receptors) dan ligan mereka. Interaksi ligan-reseptor
ini menghasilkan sinyal melalui reseptor kematian yang berujung pada
aktivasi caspase dan apoptosis.

d. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Imunitas


Peran Genetik Faktor Imun Faktor Lingkungan Faktor Lain
Alel gen HLA Sequestered antigen Virus Kanker
Gen Non-MHC Gangguan presentasi Bakteri Stress
Ekspresi MHC yang tidak benar Hormon
Aktivasi sel B Poliklonal Obat
Peran CD4 dan reseptor MHC Radiasi UV
Keseimbangan Th 1 - Th 2 Oksigen radikal bebas
Sitokin pada autoimunitas Logam

1. Faktor imun yang berperan pada autoimunitas


a) Sequestered antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak
terpajan dengan sel B atau sel T dari system imun. Pada keadaan normal,
sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal system imun.
Perubahan anatomic dalam jaringan seperti inflamasi dapat memajankan
Sequestered antigen dengan system imun yang tidak terjadi pada keadaan normal.
Inflamasi jaringan dapat juga menimbulkan perubahan struktur pada self antigen
dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimun.
b) Gangguan presentasi
Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan
respons MHC, kadar sitokin yang rendah dan gangguan respons terhadap IL-2.
Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantungan pada sel Ts atau Tr.
Bila terjadi kegagalan, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan
autoimunitas. Respon imun seluler terhadap mikroba dan antigen asing lainnya
dapat juga menimbulkan kerusakan jaringan di tempat infeksi atau pajanan
antigen.
c) Ekspresi MHC-2 yang tidak benar
Sel beta pancreas pada penderita dengan IDDM mengekspresikan kadar tinggi
MHC – 1 dan MHC – 2, sedang subyek sehat sel beta mengekspresikan MHC – 1
yang lebih sedikit dan tidak mengekspreiskan MHC – 2 sama sekali.
d) Aktivasi sel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus
(EBV) , LPS dan parasite malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung
yang menimbulkan autoimunitas
e) Peran CD4 dan reseptor MHC
Ganguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifikasi . Penelitian
pada model pada hewan menunjukan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada
penyakit autoimun. Pada tikus EAE di timbulkan oleh Th1 CD4 yang spesifik
untuk antigen .

f) Keseimbangan Th1 – Th2


Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4 . Ternyata
keseimbangan Th1 – Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas . Th1
menunjukan peran pada autoimunitas , sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak
hanya melindungi terhadap induksi penyakit , tetapi juga terhadap progress
penyakit .
g) Sitokin pada autoimunitas
Beberapa mekanisme kontrol melindungi efek sitokin patogenik , diantaranya
adalah adanya ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis
sitokin dan inhibitornya . Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagai factor
etiologis ke dalam kekuatan patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis
serta destruksi jaringan.kedua sitokin ini memproduksi ekspresi sejumlah protease
dan dapat mencegah pembentukan matrix ekstraseluler atau merangsang
penimbunan matrix yang berlebihan .
2. Faktor lingkungan yang berperan pada autoimunitas
a) Virus dan Autoimunitas
Berbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun yang mengenai
sendi. Virus adeno dan Coxsackie A9, B2, B4, B6 sering berhubungan dengan
poliartritis, pleuritis, myalgia, ruam kulit, faringitis, miokarditis dan leukositosis,
Respons autoimun terhadap virus Hepatitis C (HCV) adalah multifactorial.

b) Bakteri dan autoimunitas


Karditis reumatik – demam reuma akut. Contohnya penyakit autoimun yang
ditimbulkan bakteri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok yang diikat
jantung dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen
protein jantung dan antigen Klamidia dan Tripanosoma cruzi.

c) Hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung menderita
penyakit autoimun dibanding pria Wanita pada umumnya juga memproduksi lebih
banyak antibody dibanding pria yang biasanya merupakan respons proinfalamasi
Th1. Hormon hipofisa prolactin menunjukkan efek stimulator terutama terhadap
set T. Kadar prolactin yang timbul tiba-tiba setelah kehamilan berhubungan
dengan kecenderungan terjadinya penyakit autoimun seperti AR.
d) Obat
Banyak obat berhubungan dengan efek samping berupa idiosinkrasi dan
patogenesisnya terjadi melalui komponen autoimun. Konsep autoimun melibatkan
2 komponen yaitu respon imun tubuh berupa respons autoagresif dan antigen.

e) Radiasi UV
Pajanan dengan radiasi ultraviolet (biasanya sinar matahari) diketahui merupakan
pemicu inflasmasi kulit dan kadang LES. Radiasi UV dapat menimbulkan
modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang meningkatkan imunogensitas.

f) Oksigen radikal bebas


Bentuk lain dari kerusakan fisis dapat mengubah imunogenesitas sel antigen
terutama kerusakan self molekul oleh radikal bebas oksigen yang menimbulkan
sebagian proses inflamasi.

g) Logam
Berbagai logam dapat menimbulkan efek terhadap system imun, baik in vitro
maupun in vivo dan kadang serupa autoimunitas. Salah satu bentuk yang sudah
banyak diteliti antara lain adalah reaksi silicon. Respon yang terjadi dapat berupa
produksi ANA, RF dan beberapa karyawan menunjukkan gejala serupa LES atau
sindrom serupa skleroderm dengan endapan kompleks imun di glomerulus dan
glomeruklerosis local. Penderita dengan silicosis menunjukan kadar antibody
terhadap kolagen tipe 1 dan 3.

e. Menjelaskan Pembagian Penyakit Autoimun


Pembagian menurut mekanismenya:
1. Melalui autoantibodi
2. Melalui antibodi dan sel T
3. Melalui imun kompleks Ag-Ab
4. Melalui komplemen
f. Alur Diagnosis Pada Skenario
1. Anamnesis tambahan:
a) Perlu ada tambahan untuk anamnesis pada skenario yang harus kita
lakukan:
b) Bagaimana gangguan menstruasi nya
c) Bagaimana riwayat keturunan dan kehamilan
d) Apabila perempuan tersebut merokok, kita harus tanya riwayatnya seperti
apa.
2. Pemeriksaan fisik tambahan:
a) Semisal ada tanda-tanda tambahan pada paru, bisa dilakukan pemeriksaan
fisik pada paru.
3. Pemeriksaan penunjang:
a) Systemic Lupus Erythematosus (SLE):
 Pemeriksaan ANA generic (Anti Nuclear Antibody)
 Anti-dsDNA (anti double-stranded deoxyribonucleic acid)
 Pemeriksaan darah lengkap
 Analisis Urin
b) Reumatoid Arthritis :
 CRP (C-reaktif protein ) -> meningkat > 0,7 picogram/mL,
 Laju endap darah (LED) -> meningkat hingga > 30mm/jam
 Jumlah leukosit
 Jumlah trombosit
 Foto polos sendi
 MRI (magnetic resonance imaging)
c) Demam Reumatik
 Laju Endap Darah (LED) meningkat
 Protein C-reaktif -> meningkat
 Kultur tenggorokan : streptokokus grup A
 Pemeriksaaan titer antibodi : kenaikan streptolisin (ASO)
 Pemeriksaaan radiologi
 Elektrokardiografi
 Ekokardiografi

g. DD dari Skenario
1. Systematic Lupus Erithmatosus (SLE)
a) Definisi
SLE adalah penyakit autoimun yang melibatkan banyak organ,di tandai oleh
adanya berbagai autoantibodi khususnya antibodi antinuklear (ANA),keadaan
dengan cedera terutam disebabkan oleh endapan kompleks imun serta
pengikatan antibody pada berbagai sel dan jaringan.
b) Epidiomologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk,dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.Belum
terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia.
Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan
1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien
SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklini reumatologi selama
tahun 2010.
c) Etiologi
 faktor Genetik
Hubungan familial.anggota keluarga mempunyai peningkatan risiko untuk
berkembang menjadi penderita SLE,dan hingga 20% dari anggota
keluarga generasi pertama memiliki autoantibodi.ada kesesuaian yang
lebih tinggi antara kembar monozigo (25%) dibandingkan dengan kembar
dizigot (1-3%)
 Faktor lingkungan
Paparan terhadap sina UV menyebabkan eksaaserbasi penyakit pada
banyak penderita.Iridasi sinar UV dapat menginduksi apoptosis dan juga
mengubah DNA,dan membuatnya bersifat imunogenik,kemungkinan
melalui peningkatan pengenalannya oleh TLR.Disamping itu,cahaya dapat
memodulasi system imun misalnya dengan menstimulasi keratinosit untuk
memproduksi IL-1,suatu sitokin yang meningkatkan inflamasi
 Faktor imunologik
- Kegagalan toleransi pada sel B akibat gangguan eliminasi Sel B
self-reactive dalam sumsum tulang atau gangguan pada
mekanisme toleransi perifer.
- Sel T penolong CD4+ spesifik terhadap antigen nukleosom juga
menjadi tidak toleran dan turut memproduksi autoantibodi
patogenik yang berafinitas tinggi.Autoantibodi-autoantibodi pada
SLE menunjukan sifat antibodi yang dibentuk dalam sentrum
germinativum yang bergantung pada sel T dan ditemukan dalam
daerah penderita SLE.
- Penderita dan model hewan coba,peningkatan produksi BAFF
telah dilaporkan,dan hal ini mendorong keberhasilan terapi SLE
menggunakan antibody yang menghambat BAFF.

2. Demam Reumatik
a) Definisi
Demam reumatik adalah suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif
dengan proses "delayed autoimmun" pada kelainan vaskular kolagen atau
kelainan jaringan ikat.
b) Epidemiologi
dapat ditemukan diseluruh dunia, dan mengenai semua umur, tetapi 90% dari
serangan pertama terdapat pada umur 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi
dibawah umur 5 tahun jarang sekali. Pada tahun 1994 diperkirakan 12 juta
pasien RF.
c) Etiologi
 M-protein dari membran sel streptokok bertindak sebagai alfa-helical
coiled coil dan terikat dengan stuktur yang homolog dengan cardiac
myosin sebagai tropomyosin, keratin dan laminin yang mengakibatkan
DR dan PJR.
 Adanya region N-terminal yang berbeda di jantung,synovia dan otak.
Didapatkannya injuri pada endothelial valvular karena adanya antibodi
anti-carbohydrates yang mempengaruhi VCAM1 dan molekul
adhesive lainnya dan interaksi dengan limfosit T-cell CD4 + CD8+
dan seterusnya merusak katup dengan cara menyebabkan gangguan
mineralisasi katup.
 Faktor-faktor yang diduga mendasari terjadinya komplikasi pasca
streptokok ini adalah virulensi dan antigenisitas streptokok, dan
besarnya responsi umum dari host dan persistensi organisme yang
menginfeksi faring. Risiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat
serangan streptokok adalah 50-60%. Robbins dkk. Mendapatkan tidak
adanya predisposisi genetik.Sedangkan Moreheid mengganggap pada
mulanya faktor predisposisi genetik mungkin penting.
3. Artritis Reumatoid (AR)
a) Definisi
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif,dimana sendi merupakan target utama
b) Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relative konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1 %. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan
Chippewa Indian masing masing sebesar 5,3% dan 6,8%.5 Prevalensi AR di
India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%.Sedangkan di
China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik didaerah
engan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus
nonHLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen
TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-
KB). Gen ini berperan penting dalam proses resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetikjuga berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti
methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk
metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor
genetic.Pada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk
berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan AR
yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka
kesesuaian sebesar 80%.
c) Etiologi
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas
sinovial setelah adanya faktor pencetus,berupa autoimun atau infeksi. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel,yang
selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi
pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi
sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang.
No Gejala SLE Demam Rematik RA

1. Demam ✔ ✔ ✔

2. Rambut rontok ✔ - -
3. Sariawan dan Nyeri Mulut ✔ ✔ -
4. Nyeri Sendi ✔ ✔ ✔
5. Bercak kemerahan pada wajah dan kulit. ✔ ✔ -
6. Gangguan Menstruasi ✔ - -
7. Sensitif terhadap sinar matahari/UV ✔ - -

h. Penentuan WD
1. Kriteria klasifikasi SLE menurut ACR 1997:1•5
a) Ruam malar Eritema yang menetap tipis atau tebal di atas eminensia malar
atau dapat melebar sampai lipatan naso-libial
b) Ruam diskoid Warna kemerahan pada kulit dengan penebalan keratin kulit,
penyumbatan kelenjar folikel rambut dan atropi kulit.
c) Foto sensitivitas: Perubahan warna kulit ataupun bentuk rash dikulit bila
terkena cahaya matahari baik dirasakan oleh penderita atau dilihat oleh
dokter.
d) Ulkus di mulut (stomatitis): Ulkus pada daerah mulut atau naso faring
tanpa nyeri
e) Artritis non erosif: terlibatnya 2 atau lebih sendi perifer dengan ciri khusus
nyeri tekan, bengkak atau adanya efusi (tandatanda artritis)
f) Pleuritis atau perikarditis:
 Pleuritis secara klinik ditemukan adanya nyeri pleura dan dengan
stetotoskop terdengar "pleural Friction rub" atau ditemukan adanya
efusi baik pada pemeriksaan fisik atau pemeriksaan rongent atau
 Perikarditis ditemukan secara klinik dengan mendengar suara
pericardia/ friction rub dengan stetoskop atau dengan pemeriksaan
rongent ada efusi perikardial atau dengan pemeriksaan EKG
g) Gangguan ginjal: a. proteinuria yang menetap > 0,5 gram/hari atau > (+++)
pada pemeriksan urin secara kualitatif atau b. ditemukan silinder eritrosit,
granular, tubular atau campuran.
h) Gangguan neurologik:
 Adanya kejang tanpa ditemukan sebab lain seperti karena obat atau
gangguan metabolik (misal uremia.ketoasidosis, gangguan
keseimbangan elektrolit)
 Psikosis tanpa ditemukan sebab lain seperti karena obat atau gangguan
metabolik (misal uremia, ketoa-sidosis, gangguan keseimbangan
elektrolit).
i) Gangguan hematologik: paling sedikit didapat 1 kelainan dibawah ini:
 Anemia hemolitik dengan retikulositosis
 leukopenia (leukosit <4000/mm3) pada minimal 2x pemeriksaan
 limfofenia (limfosit < 1500/mm3)pada minimal 2x pemeriksaan
 Trombositopenia (trombosit < 100.000/mm3) dengan tidak ada obat-
obatan lain yang menjadi penyebabnya
j) Gangguan imunologik: paling sedikit didapat 1 kelainan di bawah ini:
 Titer anti ds DNA yang meningkat
 Anti Sm(+)
 Antibodi anti posfolipid ( +) berupa: Kadar lgG atau lgM anti
kardiolipin yang meningkat: lupus antikoagulan ( +) atau hasil positif
palsu paling sedikit 6 bu Ian dengan menggunakan tes immobilisasi
atau tes antibodi absorbsi dengan fluorosensi terhadap Treponema
pallidum
k) Test Ana ( + ):
Dengan mengesampingkan obat-obatan yang dapat mempengaruhi tes, bila
dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila
hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu
SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan

2. Pemeriksaan Penunjang
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. SLE pada ta hap awal, seringkali bermanifestasi sebagai
penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis
dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Pemeriksaan penunjang
minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
a) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, Laju endap darah (LED)
Pemeriksaan ini bertujuan Untuk mengetahui anemia, kekurangan sel darah
putih atau trombosit, dan untuk pemeriksaan laju endap darah (LED) untuk
melihat adanya inflamasi.
b) Urin rutin dan mikroskopik,
Protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.Urine pada
penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan protein dan sel darah
merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke ginjal.
c) PT, aPTT pada sindrom antifosfolipid
Untuk pemeriksaan imunologi
d) Serologi ANAi, anti-dsDNA', komplemen '(C3,C4))
Pada penderita SLE titer anti ds DNA akan meningkat. Komplemen adalah
senyawa dalam darah yang membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh.
Level komplemen dalam darah akan menurun seiring aktifnya SLE.
e) Foto polos toraks
Lupus dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru, ditandai dengan
adanya cairan pada paru-paru. Pemeriksaan Rontgen dapat mendeteksi adanya
cairan paru-paru tersebut. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak
diperlukan untuk monitoring.
ANA, antinuklear antibodi; PT/PTT, protrombin time/ partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
3. Prognosis
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa
dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun
SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih
merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing individu
bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ yang terlibat,
dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk pada late lupus
syndrome, merupakan salah satu perhatian.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)
dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4
mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia,
hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan aPL pada saat diagnosis. Pasien yang
menjalani terapi transplantasi ginjal memiliki angka kejadian penolakan graft yang
relatif tinggi (sekitar dua kali pasien dengan penyebab lain gagal ginjal tahap
akhir), namun secara umum angka bertahan hidup pasien masih dapat
diperbandingkan (85% setelah 2 tahun).
Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien
dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik,
kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi,
terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen. Penyebab
mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas penyakit sistemik,
gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli semakin sering menjadi
penyebab mortalitas.4,6 Prognosis pada kasus ini bisa digolongkan dalam kategori
dubius ad malam karena penglibatan system saraf pusat.

i. Tatalaksana dari WD
1. Non-medikamentosa
Tujuan khusus pengobatan SLE adalah, mendapatkan masa remisi yang panjang,
menurunkan aktivitas penyakit sesering mungkin dan mengurangi rasa nyeri
memelihara fungsi organ agara aktivitas hidup keseharian tetap baik guna
mencapai kualitas hidup yang optimal.
a) Edukasi / konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan sukungan
dari sekitarnya dengan terkait pendekata biopsikososial dalam penatalaksanaan
SLE, maka setiap pasien perlu di analisis adanya masalah neuro-psikologik
maupun social.
Bedasarkan penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan fungsi
kognitif sebesar 86.49%. Hal ini memperlihatkan besarnya gangguan
neuropsikiatirik yang tersembunyi pada SLE, karena secara nyata gangguan
tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigma psikologik pada keluarga pasien
masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan fisik dan
kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagi pasien di
dalam lingkungan sosialnya.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigma psikologik
akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan
keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE
dapt dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan
seharinya.
b) Program rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunya masa otot 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan
akan kkondisi imobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan
kekutan otot akan terjadi 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai
latihan diperlukan guna mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik
seperti memberikan panas dan dingun diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekuatan atau spasme otot. Demikan modalitas lain seperti
TENS memberikan mafaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau
kekuatan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dann teknis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud dibawah ini, yaitu:
 Istirahat
 Terapi fisik
 Terapi dengan modalitas
 Orotorik
 Lain-lain.

2. Medikamentosa
a) OAINS
Pemberian dosis obat tergantung OAINS itu sendiri digunakan untuk
meredakan nyeri dan demam. Obat OAINS yaitu, ibuprofen, asam mefenamat,
piroxicam, ketoprofen, naproxen, dan OAINS lainnya. Namun perlu diingat
OAINS dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti, mual, muntah,
diare, hilang nafsu makan, konstipasi, dan bahkan ada efek samping yang lebih
serius seperti, gangguan jantung, gangguan hati dan ginjal, dan tekanan darah
tinggi.
b) Hidrosiklorokuin
Obat ini termasuk obat yang sering digunakan pada orang penderita SLRDosis
yang diberikan 5 - 6,5 mg/kg/bb/hari efek samping dari obat ini mual,
gangguan penglihatan, pusing dan kehilangan nafsu makan.
c) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien SLE meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping Kortikosteroid
tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan
imunosupresi. Dosis yang digunakan tergantung derajat SLE, efek samping dari
obat kortikosteroid itu Katarak, perubahan nafsu makan, meningkatnya berat
badan dan insomnia.
d) Azathioprine
Pemberian dosis obat pada azathioprine 50 - 150 mg/ hari dan dosis terbagi
menjadi 1-3 tergantung berat badan , efek samping pada obat ini nafas menjadi
pendek, Muntah, tinja berwarna hitam, dan gusi berdarah.
e) Klorokuin
Dosis yang diberikan 250 mg/hari (3,5 - 4 mg/kg BB/ hari), efek samping dari
klorokuin ini bisa terjadi gangguan penglihatan, telinga berdengung, kejang,
gatal-gatal Mual, dan hilang nafsu makan dan Ketika ingin berpergian
diusahakan tidak mengemudikan kendaraan serta menggunakan Tabir surya
karena orang yang mengonsumsi obat ini dalam jangka panjang dapat
menyebabkan gangguan penglihatan menjadi kabur dan menyebabkan kulit
lebih sensitif terhadap paparan sinar matahari.
f) Metotreksat
Pemberian dosis pada obat ini 7,5 - 20 mg/minggu dan dosis tunggal atau
terbagi 3, dapat diberikan pula melalui injeksi. Efek samping dari obat ini
menyebabkan batuk kering, sesak nafas, diare, adanya darah dalam Urin atau
Tinja, demam, menggigil, nyeri tubuh, tenggorokan kering, sakit perut, nafsu
makan berkurang, mual dan muntah.
g) Paracetamol
Pemberian paracetamol 3x500 mg/hari obat ini berfungsi untuk menghilangkan
nyeri sama seperti OAINS, Efek samping dari obat Paracetamol yaitu, sakit
perut, air seni berwarna gelap, hilang nafsu makan, mual, dan alergi.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah kita membahas dan belajar tentang materi ini, kita menjadi menambah wawasan
akan mendalamnnya ilmu Imunologi yang di mana ilmu ini adalah bisa dibilang ilmu
dasar bagi kita untuk kedepannya mengetahui berbagai macam ancaman serta pertahanan
sistem tubuh kita. Ditambah selain pembahasan Imunologi, kita menambah pengetahuan
tentang penyakit yang menyangkut dengan sistim imun tubuh kita, terutama pada
autoimunitas. Setelah mempelajari definisi, patomekanisme autoimunitas, faktor – faktor
yang mempengaruhi autoimunitas, et.al. Dari data tersebut yang telah kami peroleh dari
berbagai sumber kami dapat menyimpulkan bahwa Working Diagnosi (WD) dari
scenario ini adalah Systematic Lupus Erithmatosus (SLE).
3.2. Saran
Dari hasil laporan yang telah kami buat, tidak menutup kemungkinan untuk adanya
kesalahan yang mungkin tidak kami sadari, oleh karena itu kami mengharapkan adanya
saran dari semua pihak, guna memperbaiki laporan yang kami buat dan menjadikanya
pelajaran bagi kami dalam membuat laporan untuk kedepannya.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Buku ajar dasar ptologi robbins, edisi ke 9


Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 dan 3 edisi VI
Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Diagnosis dan pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik,Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia 2011
Hahn BH. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Systemic Lupus Erythemathosus.
19th ed. Amerika Serikat: McGraw-Hill Education; 2015. p. 2124-34
Imunologi dasar fk ui
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-
proses Penyakit Edisi 4. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Setiati, siti. 2014. Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi 6. (Hal 3137-3139)
Jakarta : Interna Publishing
Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Toleransi dan Immunologik, Bab 9, Immunologi Dasar Abbas

Anda mungkin juga menyukai