Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah
nya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Makalah Severe Combined
Immunodeficiency (SCID) ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah i
ni adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Teori Imunoserologi. Selain itu,makalah in
i juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang perngertian, gejala dan tentang Severe
Combined Immunodeficiency (SCID).
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karen
a itu,kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
JUDUL...................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1. 1. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................1
1. 2. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1. 3. Tujuan Pembahasan................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................4
2. 1. Patofisiologi Imunodefisiensi Primer.....................................................................................4
2. 2. Definisi Penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease)..............................5
2. 3. Patologis pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease)....................6
2. 4. Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID (Severe Combined Immunodeficiency
Disease)..................................................................................................................................8
2. 5. Komplikasi pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease).................8
2. 6. Macam-macam pemeriksaan laboratorium rutin SCID (Severe Combined Immunodeficiency
Disease)..................................................................................................................................9
2. 7. Macam-macam pemeriksaan laboratorium imunologik SCID (Severe Combined
Immunodeficiency Disease).................................................................................................11
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................13
3. 1. Kesimpulan...........................................................................................................................13
3. 2 Saran.....................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................15
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
paling sering diamati, diikuti oleh infeksi situs beberapa (11%), infeksi saluran kemih,
dan kolitis. Asma bronkial, rhinitis, dan beberapa penyakit autoimun adalah penyakit
yang umum terkait. Eropa dan Amerika Utara, ada beberapa studi yang telah meneliti
kejadian PID antara berbagai ras dan kelompok etnis. Data registry yang diterbitkan
telah menunjukkan variasi baik ras dan geografis dalam prevalensi dan pola PID.
Dalam tahun 10 lalu, data PID dari Timur Tengah dan Amerika Latin telah
diterbitkan. Di Asia, prevalensi PID telah sebagian besar tidak diketahui.
(McCusker,2011;3)
1. 2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Patofisiologi Imunodefisiensi Primer ?
1.2.2. Apa Pengertian Dari Penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Dis
ease) ?
1.2.3. Bagaimana Patologis pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficien
cy Disease) ?
1.2.4. Bagaimana Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID (Severe Combined
Immunodeficiency Disease) ?
1.2.5. Bagaimana Komplikasi pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodefici
ency Disease) ?
1.2.6. Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Rutin SCID (Severe Combined Immunod
eficiency Disease) ?
1.2.7. Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Imunologik SCID (Severe Combined Im
munodeficiency Disease) ?
1. 3. Tujuan Pembahasan
1.3.1 Untuk Mengetahui Bagaimana Patofisiologi Imunodefisiensi Primer.
1.3.2 Untuk Mengetahui Apa Pengertian Dari Penyakit SCID (Severe Combined Im
munodeficiency Disease).
1.3.3 Untuk Mengetahui Bagaimana Patologis pada penyakit SCID (Severe Combin
ed Immunodeficiency Disease).
1.3.4 Untuk Mengetahui Bagaimana Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID
(Severe Combined Immunodeficiency Disease).
1.3.5 Untuk Mengetahui Bagaimana Komplikasi pada penyakit SCID (Severe Comb
ined Immunodeficiency Disease).
2
1.3.6 Untuk Mengetahui Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Rutin SCID (Severe
Combined Immunodeficiency Disease).
1.3.7 Untuk Mengetahui Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Imunologik SCID (Se
vere Combined Immunodeficiency Disease).
3
BAB II PEMBAHASAN
4
B membutuhkan fungsi sel T. Oleh karenanya gabungan gangguan sel T dan sel B aka
n menyebabkan gangguan immunodefisiensi sel B dan sel T(Combined Immunodefici
ensies/ CIDs). (McCusker, 2011., Abbas, 2007)
Gejala umum yang dijumpai pada defisiensi antibodi adalah berulangnya kejadi
an infeksi terutama yang bersifat piogenik (Fried dan Bonilla, 2009). Keterlambatan d
iagnosis dan penanganan yang kurang tepat, dapat menyebabkan seriusnya morbiditas
dan cepatnya mortalitas. Komplikasi infeksi dan non infeksi dapat terjadi (Wood et al.,
2007). Keterlambatan diagnosis diakibatkan jarangnya kelainan ini, sehingga menuru
nkan kewaspadaan di luar komunitas imunologis. Sebagian besar kasus defisiensi anti
bodi primer dapat diidentifikasi pada masa infant atau kanak-kanak, terkecuali commo
n variable immunodeficiency disorders (CVIDs) yang umumnya tidak bermanifestasi
sampai dewasa muda atau remaja. (Paller dan Abrams, 2008; Claudia et al, 2008)
Imunodefisiensi primer terjadi karena adanya mutasi gen-gen yang berperan dal
am respon imun. Mutasi ini biasanya akan diturunkan dari orang tua ke anaknya. Nam
un demikian, kasus imunodefisiensi primer ini merupakan kasus-kasus yang jarang ter
jadi. Imunodefisiensi primer ini bisa terjadi pada respon non spesifik, limfosit T dan B.
Sindroma-sindroma yang dihasilkan pun sangat bervariasi. Contoh kasus imunodefisi
ensi pada limfosit T adalah penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Synd
rome) dan DiGeorge's Syndrome, pada limfosit B adalah penyakit x-agammaglobulin
emia, dan pada sistem imun non spesifik terdapat severe congenita/ neutropenia. (Sar
aswati, 2017)
5
da, kebanyakan yang adalah menurun. Salah satu bentuk gangguan tersebut disebabka
n oleh enzim adenosine deaminase.
6
ADA adalah enzim yang memecah purin. Ketika itu tidak ada, deoxyadenosine t
rifosfat (dATP) membangun dan menghambat enzim yang diperlukan untuk proliferas
i limfosit. Hal ini menyebabkan B-, T, dan defisiensi NK-cell.
Defisiensi ZAP-70, mutasi terjadi dalam gen yang kinase tirosin ini, yang pentin
g dalam signaling sel T dan sangat penting dalam seleksi positif dan negatif dari sel T
di timus. Selektif sel CD8 + T dan berlimpahnya nonfunctioning sel CD4 + T terjadi.
ZAP-70 tampaknya diperlukan dalam pemilihan sel CD8 + T dan diperlukan untuk T
sel fungsi-maka CD4 nonfunctioning + sel.
Disgenesis retikular adalah varian langka SCID yang timbul dari kurangnya pen
gembangan sel induk yang sesuai dan ditandai dengan agranulositosis selain kurangny
a kedua sel B dan sel T dalam sistem kekebalan tubuh adaptif. Mutasi pada mitokondr
ia adenilat kinase 2 telah terungkap pada pasien dengan reticular disgenesis.
Beberapa kekurangan dari CD3 kompleks (CD3γ, ε, δ, dan ζ) berhubungan deng
an SCID. Omenn sindrom hasil dari mutasi yang merusak fungsi Ig dan TCR gen reko
mbinase. Ini termasuk Artemis mutasi dan kekurangan RAG1 dan RAG2.
Purin nukleotida fosforilase (PNP) defisiensi dan defisiensi IL-2 yang cukup pa
rah di alam harus diklasifikasikan sebagai SCID, dan cacat lainnya diidentifikasi setia
p tahun. [26] Cacat molekuler yang tepat yang terlibat dalam IL-2 kekurangan produk
si tidak diketahui, tetapi cacat ini sering dikaitkan dengan cacat produksi sitokin lainn
ya.
Ini adalah bentuk paling umum dan terbaik ditandai dari SCID, tetapi tidak sem
ua dari kondisi genetik menyebabkan SCID telah dikarakterisasi. Bayi dengan SCID b
iasanya hadir dengan infeksi yang sekunder kurangnya fungsi T-cell (misalnya, Pneu
mocystis jiroveci (carinii) pneumonia [PCP], kandidiasis sistemik, infeksi herpes umu
m, kegagalan parah tumbuh sekunder untuk usus infeksi atau diare). Penyakit graft ve
rsus host (GVHD) dari produk darah nonirradiated merupakan penyebab penting dari
pasien morbidity. Banyak SCID memiliki thymuses atrofi dihuni oleh beberapa limfos
it dan penurunan atau sel darah Hassall absen. Jaringan limfoid perifer biasanya tidak
ada atau sangat menurun. Dalam beberapa keadaan, buruk berfungsi diaktifkan oligocl
onal limfosit berkembang, mungkin karena peningkatan stimulasi antigen yang mung
kin terjadi karena kegagalan kliring antigen appropriately. Human phosphoglucomuta
se 3 mutasi menyebabkan gangguan imunodefisiensi berat bawaan terkait dengan disp
lasia skeletal.
7
2. 4. Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID (Severe Combined Immunodeficiency
Disease)
Untuk beberapa bulan pertama kehidupan, seorang anak dengan SCID dilindung
i oleh antibodi dalam darah ibu. Pada awal usia tiga bulan, bagaimanapun, anak SCID
mulai menderita infeksi mulut (thrush), diare kronis, otitis media dan infeksi paru, ter
masuk pneumonia Pneumocystis. Anak itu kehilangan berat badan, menjadi sangat le
mah, dan akhirnya meninggal karena infeksi oportunistik.
Sebagian besar bayi dengan kelainan imundefisiensi kombinasi berat terkena pn
eumonia, infeksi jamur pada mulut dan diare, biasanya pada usia 6 bulan. Selain itu pe
nderita juga dapat mengalami infeksi yang lebih serius, seperti Pneumonia pneumokis
tik. Karena infeksi-infeksi ini, bayi tidak dapat tumbuh dan berkembang secara norma
l. Pada penderita juga bisa muncul ruam-ruam yang mengelupas. Semua bayi dengan
kelainan ini memiliki kelenjar Thymus yang tidak berkembang. Jika tidak ditangani, a
nak-anak ini biasanya akan meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun.
8
dengan SCID, cacar air bisa berakibat fatal karena jika tidak segera diobati, dapat men
yebabkan infeksi di paru-paru, hati dan otak.
Selain tidak dapat kontak dengan organisme asing yang bersifat menginfeksi, pe
nderita SCID juga tidak dapat kontak dengan vaksin untuk cacar air, campak, gondok,
rubella dan rotavirus, karena vaksin tersebut berupa virus hidup yang dapat menginfek
si penderita SCID. Jika diketahui bahwa seseorang dalam keluarga telah memiliki SCI
D di masa lalu, atau saat ini memiliki SCID, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada b
ayi yang baru lahir dalam keluarga sampai telah ditentukan bahwa bayi baru tidak me
miliki SCID.
9
Limfosit (sel T dan sel B) terbagi menjadi berbagai subpopulasi; seper
ti sel T helper (dikenal sebagai sel CD4) dan sel T sitotoksik (CD8). Pemeri
ksaan jumlah berbagai sel limfosit dalam darah dapat membantu mengidenti
fikasi penyakit IDP yang ada. Selain menghitung jumlah sel limfosit, sangat
penting untuk dilakukan pemeriksaan seberapa baik sel-sel ini bekerja. Seba
gai contoh, pemeriksaan tertentu dapat mengidentifikasi bagaimana sel-sel i
ni memperbanyak diri (atau proliferasi) bila mereka dirangsang oleh zat ki
mia atau antigen yang secara normal dapat menimbulkan respons imun.
2. Pemeriksaan fungsi granulosit
Neutrofil, eosinofil, basophil dan sel mast secara bersama dikenal seb
agai granulosit. Pada kondisi normal sel ini (terutama neutrofil) menghasilk
an hidrogen peroksida (terkadang disebut sebagai reactive oxygen) untuk m
embunuh bakteri dan jamur. Jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan diu
kur dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium yang dikenal dengan n
ama dihydrorhodamine (DHR) oxidative burst test. Pemeriksaan ini merupa
kan pemeriksaan diagnostik penting untuk penyakit IDP seperti X-linked ch
ronic granulomatous disease (CGD). Pada penyakit ini jumlah neutrofil nor
mal (atau meningkat) namun sel ini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pe
meriksaan yang lain yang digunakan untuk menilai seberapa baik sel-sel ini
berpindah ke agen yang menariknya (hal ini disebut kemotaksis) dan sebera
pa efektif sel ini membunuh dan menelan bakteri.
3. Pemeriksaan maturasi sel B di sumsum tulang
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit IDP yang di
kenal dengan nama agammaglobulinemia seperti X-linked agammaglobulin
emia (XLA, yang juga dikenal sebagai penyakit Bruton). Kondisi ini diseba
bkan oleh defek genetik yang menghambat sel limfosit B untuk berkemban
g dengan baik. Pada kondisi normal, sel limfosit B yang matur menghasilka
n imunoglobulin. Pasien dengan penyakit ini memiliki kadar imunoglobulin
(lihat pemeriksaan imunoglobulin) serta sel B yang rendah.
4. Ekspresi protein sel
Pemeriksaan dapat mengenali defisiensi protein tertentu yang secara n
ormal ditemukan pada permukaan sel darah putih. Sebagai contoh, defisiens
i CD40 dan CD40L merupakan dua protein yang bersamaan membuat sel T
merangsang respons imun oleh sel B. Defisiensi CD40 dan CD40L merupa
10
kan penyakit IDP yang berat yang dikenal dengan penyakit hiper-imunoglo
bulin M. Defek pada protein CD11 dan CD18 menyebabkan adanya leukoc
yte adhesion deficiency (LAD).
5. Perubahan sel B memori
Sel B memori adalah kelompok sel B yang dapat ‘mengingat’ antigen
yang sudah pernah dilawan sebelumnya. Jika dirangsang oleh antigen terseb
ut lagi, sel limfosit B memori akan berubah untuk memproduksi antibodi ter
hadap antigen tersebut. Pengukuran sel B tersebut dapat berguna untuk men
gidentifikasi penyakit common variable immunodeficiency disorders (CVI
D), sindrom hiperIgE dan defisiensi CD40/CD40L.
Penyakit Ig G Ig A Ig E Ig M
SCID Rendah Rendah Rendah Rendah
11
12
BAB III PENUTUP
3. 1. Kesimpulan
Defisiensi antibodi primer merupakan kelainan diakibatkan defek yang men
yebabkan ketidakmampuan untuk memproduksi antibodi efektif untuk berespon t
erhadap patogen (Wood et al, 2007). Defek pada fungsi atau perkembangan sel B
menyebabkan sintesa antibodi yang abnormal (Abbas et al, 2010). Kelainan pada
defisiensi antibodi mencakup sebuah spektrum penyakit yang dapat diamati deng
an menurunnya kadar antibodi, mulai dari bentuk penyakit dengan tidak dihasilka
n imunoglobulin dari semua kelas antibodi sama sekali sampai dengan defisiensi
selektif, yaitu defisiensi untuk antibodi kelas tertentu saja. Derajat keparahan pen
yakit tergantung pada derajat kekurangan antibodi bersangkutan (Wood et al., 20
07).
3. 2 Saran
Jangan sampai penderita SCID kontak dengan organisme asing yang bersifa
t menginfeksi, penderita SCID juga tidak dapat kontak dengan vaksin untuk cacar
air, campak, gondok, rubella dan rotavirus, karena vaksin tersebut berupa virus hi
dup yang dapat menginfeksi penderita SCID. Jika diketahui bahwa seseorang dala
m keluarga telah memiliki SCID di masa lalu, atau saat ini memiliki SCID, vaksi
13
n ini tidak boleh diberikan kepada bayi yang baru lahir dalam keluarga sampai tel
ah ditentukan bahwa bayi baru tidak memiliki SCID.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. K., et al. 2007. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: Saunder Elsevie
r.
Abbas, A. K., et al. 2010. Congenital and Acquired Immunodeficiencies. dalam Schmitt (Ed.)
Cellular and Molecular Immunology 6ed. Philadelphia: Elsevier.
Claudia, Wehr., et al. 2008. The Euroclass trial: defining subgroups in common variable im
munodeficiency. Blood. 111: 77-86.
Francisco, A., et al. 2005. Practice parameter for the diagnosis and management of primary
immunodeficiency. J Annals of Allergy, Asthma & Immunol. 94: 1-63.
Fried, A. J., and Bonilla, F. A. 2009. Pathogenesis, Diagnosis, and Management of Primary
Antibody Deficiencies and Infections. Clin. Microbiol. Review. 22: 396-414.
Kusumo, Pratiwi Dyah. 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID). Jakarta: Universitas
Kristen Indonesia.
Magdalena, Maria., dan Alwi, M. 2011. Defisiensi Antibodi Primer dan Hubungannya denga
n Kelainan Kulit. PharmaMedika, 3(1), hal. 231-245.
McCusker, C., and Richard, W. Primary Immunodeficiency. Allergy, Asthma & clinical imm
unology.
Paller, A. S., and Abrams, M. 2008. Genetic immunodeficiency diseases. dalam Wolff, K., Go
ldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., paller, A. S. & Leffell, d. J. (Eds.) Fitzpatr
ick's Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: Mc Graw Hill.
Wood, P., et al. 2007. Recognition, clinical diagnosis and management of patients with prim
ary antibody deficiencies: a systematic review. Clinical and Experimental Immunolog
y. 149: 410–23.
15