Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Severe Combined Immunodeficiency (SCID)


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Teori Imunoserologi

Oleh:

1. Clarisa Meidevita NIM 3191006 8. Kirana Putri P NIM 3191020


2. Debora Sawitri NIM 3191007 9. Magdalena Budi V P NIM 3191021
3. Ellisa Sinta A NIM 3191010 10. Naufal Hafid R NIM 3191028
4. Farah Aulia N NIM 3191013 11. Renatasya Silviana H NIM 3191033
5. Hutami Putri R NIM 3191014 12. Rhadevka Agnur S NIM 3191035
6. Imanuela Olive M P NIM 3191016 13. Tasya Rohmadhani NIM 3191039
7. Indah Dwi A NIM 3191017

PROGRAM STUDI SARJANA TERARAPAN


TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NASIONAL
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah
nya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Makalah Severe Combined
Immunodeficiency (SCID) ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah i
ni adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Teori Imunoserologi. Selain itu,makalah in
i juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang perngertian, gejala dan tentang Severe
Combined Immunodeficiency (SCID).

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karen
a itu,kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Surakarta,16 November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

JUDUL...................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1. 1. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................1
1. 2. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1. 3. Tujuan Pembahasan................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................4
2. 1. Patofisiologi Imunodefisiensi Primer.....................................................................................4
2. 2. Definisi Penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease)..............................5
2. 3. Patologis pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease)....................6
2. 4. Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID (Severe Combined Immunodeficiency
Disease)..................................................................................................................................8
2. 5. Komplikasi pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease).................8
2. 6. Macam-macam pemeriksaan laboratorium rutin SCID (Severe Combined Immunodeficiency
Disease)..................................................................................................................................9
2. 7. Macam-macam pemeriksaan laboratorium imunologik SCID (Severe Combined
Immunodeficiency Disease).................................................................................................11
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................13
3. 1. Kesimpulan...........................................................................................................................13
3. 2 Saran.....................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................15

iii
BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah


Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan segala macam organi
sme pengganggu atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kem
ampuan itu disebut kekebalan atau imunitas. Belakangan ini masalah imunitas merupa
kan hal yang penting ini dikarenakan banyaknya penyakit yang mewabah di dalam lin
gkungan masyarakat yang dikarenakan menurunnya imunitas tubuh seseorang. Imunit
as sendiri merupakan sistem kekebalan tubuh dalam melawan antigen atau benda asin
g yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun terdiri atas mekanisme yang sangat kompl
eks dan luas, dengan keterlibatan banyak jenis sel dan molekul pensinyal. Hal ini men
jelaskan sangat beragamnya penyakit imun yang telah dikenal.
Penyakit imun ini dapat dikelompokan dalam 3 jenis reaksi utama. Pertama p
enyakit tersebut dapat disebabkan reaksi abnormal dan hebat dalam usaha menetralka
n efek antigen tertentu. Intoleransi berlebihan ini menghasilkan sejumlah proses yang
disebut reaksi alergi. Kedua bila ada penekanan reaksi terhadap antigen, proses patolo
gis yang terjadi secara garis besar disebut imunodefisiensi, yang dapat disebabkan ole
h kurangnya komponen dari sistem komplemen, efek pada aktivitas fagositik makrofa
g dan neutrofil, atau disebabkan kelainan pada limfosit B dan T. Ketiga adanya limfos
it T yang menyerang antigen sendiri menyebabkan penyakit autoimun. Dalam hal ini,
jaringan terkena atau bahkan dihancurkan oleh sel T yang dihasilkan di dalam organis
me terhadap diri sendiri (Junqueira, 2007).
Penyakit immunodefisiensi primer (PID) adalah gangguan yang jarang terjadi
pada orang dewasa. Paling sering, kondisi serius terdeteksi selama masa bayi atau
kanak-kanak. Namun, bentuk ringan dari PID tidak dapat didiagnosis sampai di
kemudian hari, dan beberapa jenis immunodefisiensi humoral mungkin terjadi di
masa dewasa. Sebuah studi retrospektif dilakukan pada 55 pasien dewasa yang
didiagnosis sebagai PID antara Januari 1998 dan Januari 2009 di sebuah pusat medis
tunggal tersier di Korea. Kekurangan subclass IgG adalah fenotipe yang paling umum
(67%, 37/55), diikuti oleh defisiensi IgG (20%, 11/55), IgM defisiensi (7%, 4/55),
Common Variabel Immunodeficiency (2%, 1 / 55), dan X-linked
agammaglobulinemia (2%, 1/55). IgG3 dan IgG4 adalah subclass yang paling terkena
dampak. Infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah (76%) adalah gejala yang

1
paling sering diamati, diikuti oleh infeksi situs beberapa (11%), infeksi saluran kemih,
dan kolitis. Asma bronkial, rhinitis, dan beberapa penyakit autoimun adalah penyakit
yang umum terkait. Eropa dan Amerika Utara, ada beberapa studi yang telah meneliti
kejadian PID antara berbagai ras dan kelompok etnis. Data registry yang diterbitkan
telah menunjukkan variasi baik ras dan geografis dalam prevalensi dan pola PID.
Dalam tahun 10 lalu, data PID dari Timur Tengah dan Amerika Latin telah
diterbitkan. Di Asia, prevalensi PID telah sebagian besar tidak diketahui.
(McCusker,2011;3)

1. 2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Patofisiologi Imunodefisiensi Primer ?
1.2.2. Apa Pengertian Dari Penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Dis
ease) ?
1.2.3. Bagaimana Patologis pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficien
cy Disease) ?
1.2.4. Bagaimana Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID (Severe Combined
Immunodeficiency Disease) ?
1.2.5. Bagaimana Komplikasi pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodefici
ency Disease) ?
1.2.6. Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Rutin SCID (Severe Combined Immunod
eficiency Disease) ?
1.2.7. Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Imunologik SCID (Severe Combined Im
munodeficiency Disease) ?

1. 3. Tujuan Pembahasan
1.3.1 Untuk Mengetahui Bagaimana Patofisiologi Imunodefisiensi Primer.
1.3.2 Untuk Mengetahui Apa Pengertian Dari Penyakit SCID (Severe Combined Im
munodeficiency Disease).
1.3.3 Untuk Mengetahui Bagaimana Patologis pada penyakit SCID (Severe Combin
ed Immunodeficiency Disease).
1.3.4 Untuk Mengetahui Bagaimana Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID
(Severe Combined Immunodeficiency Disease).
1.3.5 Untuk Mengetahui Bagaimana Komplikasi pada penyakit SCID (Severe Comb
ined Immunodeficiency Disease).

2
1.3.6 Untuk Mengetahui Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Rutin SCID (Severe
Combined Immunodeficiency Disease).
1.3.7 Untuk Mengetahui Apa Saja Pemeriksaan Laboratorium Imunologik SCID (Se
vere Combined Immunodeficiency Disease).

3
BAB II PEMBAHASAN

2. 1. Patofisiologi Imunodefisiensi Primer


Sistem imun adalah mekanisme pertahanan alami yang dimiliki tubuh. Sistem in
i berfungsi untuk melindung tubuh dari infeksi dan penyakit. Interaksi yang rumit dari
berbagai komponen di dalam sistem ini, yang meliputi sel B dan sel T, akan menghasi
lkan respon imun. Imunodefisiensi adalah istilah umum yang merujuk pada suatu kon
disi di mana kemampuan sistem imun untuk melawan penyakit dan infeksi mengalami
gangguan atau melemah. Oleh karena itu, pasien imunodefisiensi akan rawan terkena
berbagai infeksi atau timbulnya sel tubuh yang ganas.
Defisiensi antibodi primer merupakan kelainan diakibatkan defek yang menyeba
bkan ketidakmampuan untuk memproduksi antibodi efektif untuk berespon terhadap p
atogen (Wood et al, 2007). Defek pada fungsi atau perkembangan sel B menyebabkan
sintesa antibodi yang abnormal (Abbas et al, 2010). Kelainan pada defisiensi antibodi
mencakup sebuah spektrum penyakit yang dapat diamati dengan menurunnya kadar a
ntibodi, mulai dari bentuk penyakit dengan tidak dihasilkan imunoglobulin dari semua
kelas antibodi sama sekali sampai dengan defisiensi selektif, yaitu defisiensi untuk ant
ibodi kelas tertentu saja. Derajat keparahan penyakit tergantung pada derajat kekurang
an antibodi bersangkutan (Wood et al., 2007).
Sebagian besar defisiensi antibodi yang telah didefinisikan pada tingkat molekul
er berasal dari defek intrinsik perkembangan dan fungsi sel B. Mengingat sel plasma y
ang berasal dari sel B, hanya merupakan satu–satunya sel di dalam tubuh yang mense
kresi immunoglobulin. Meski demikian, beberapa kelainan yang bermanifestasi akibat
gangguan produksi antibodi mungkin juga timbul akibat defek sel T atau sel lain yang
saling bekerja sama dengan atau membantu sel B pada proses perkembangan sel B (Fr
ancisco et al, 2005).
Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem kekebalan adaptif tubuh. Sel B me
mediasi produksi antibodi dan oleh karena itu memainkan peran utama dalam antibod
i-mediated (humoral) imunitas. Di sisi lain, sel T mengatur respon sel yang dimediasi
sistem imun. Cacat yang terjadi pada setiap pengembangan, diferensiasi dan pematang
an sel T mengarah pada gangguan immunodefisiensi sel T, sedangkan cacat yang berk
aitan dengan sel B mengarah pada pengembagan sel B dan/atau gangguan hasil pemat
angan sel B (defisiensi antibodi), karena produksi antibodi sel B yang diperantarai sel

4
B membutuhkan fungsi sel T. Oleh karenanya gabungan gangguan sel T dan sel B aka
n menyebabkan gangguan immunodefisiensi sel B dan sel T(Combined Immunodefici
ensies/ CIDs). (McCusker, 2011., Abbas, 2007)
Gejala umum yang dijumpai pada defisiensi antibodi adalah berulangnya kejadi
an infeksi terutama yang bersifat piogenik (Fried dan Bonilla, 2009). Keterlambatan d
iagnosis dan penanganan yang kurang tepat, dapat menyebabkan seriusnya morbiditas
dan cepatnya mortalitas. Komplikasi infeksi dan non infeksi dapat terjadi (Wood et al.,
2007). Keterlambatan diagnosis diakibatkan jarangnya kelainan ini, sehingga menuru
nkan kewaspadaan di luar komunitas imunologis. Sebagian besar kasus defisiensi anti
bodi primer dapat diidentifikasi pada masa infant atau kanak-kanak, terkecuali commo
n variable immunodeficiency disorders (CVIDs) yang umumnya tidak bermanifestasi
sampai dewasa muda atau remaja. (Paller dan Abrams, 2008; Claudia et al, 2008)
Imunodefisiensi primer terjadi karena adanya mutasi gen-gen yang berperan dal
am respon imun. Mutasi ini biasanya akan diturunkan dari orang tua ke anaknya. Nam
un demikian, kasus imunodefisiensi primer ini merupakan kasus-kasus yang jarang ter
jadi. Imunodefisiensi primer ini bisa terjadi pada respon non spesifik, limfosit T dan B.
Sindroma-sindroma yang dihasilkan pun sangat bervariasi. Contoh kasus imunodefisi
ensi pada limfosit T adalah penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Synd
rome) dan DiGeorge's Syndrome, pada limfosit B adalah penyakit x-agammaglobulin
emia, dan pada sistem imun non spesifik terdapat severe congenita/ neutropenia. (Sar
aswati, 2017)

2. 2. Definisi Penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease)


Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) disebut juga dengan Syndr
ome Bubble Boy adalah gangguan imunodefisiensi menurun menghasilkan antibodi b
erkadar rendah dan limfosit T dalam jumlah rendah dan gagal berfungsi. Kelainan imu
nodefisiensi kombinasi berat (Severe Combined Immunodeficiency Disease) merupaka
n kelainan imunodefisiensi yang bersifat congenital (bawaan). kelainan ini sangat bera
t karena menyebabkan rendahnya kadarnya antibody (Immunoglobulin) dan kurang at
au tidak berfungsinya limfosit T, sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi se
cara adekuat.
Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) merupakan gangguan imu
nodefisiensi paling serius. Itu bisa disebabkan oleh beberapa kerusakan genetika berbe

5
da, kebanyakan yang adalah menurun. Salah satu bentuk gangguan tersebut disebabka
n oleh enzim adenosine deaminase.

2. 3. Patologis pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease)


SCID disebabkan oleh adanya mutasi yang menyerang lebih dari 15 gen yang di
ketahui. Mutasi ini mengakibatkan terganggunya perkembangan dan fungsi limfosit, s
erta menghalangi diferensiasi dan proliferasi sel T dan, dalam beberapa jenis, sel B da
n sel NK. Produksi antibodi sangat terganggu bahkan ketika sel B dewasa yang hadir,
karena kurangnya bantuan T-sel. Sel NK yang menjadi komponen kekebalan bawaan
pun ikut terpengaruh. SCID dapat dideteksi pada bayi baru lahir sebelum timbulnya in
feksi, dengan satu contoh didokumentasikan dengan baik oleh pemutaran lingkaran ek
sisi T-sel reseptor.
SCID dapat secara luas diklasifikasikan menjadi 2 kelompok : SCID dengan sel
B (70% dari pasien dengan SCID) dan SCID tanpa sel B. Di luar pengelompokan dasa
r ini, SCID dapat dikategorikan sesuai dengan profil limfosit fenotipe yang mencakup
baik status sel B (B + atau B-) dan status NK-sel (NK + atau NK-) selain statusnya T-
sel (T, karena selalu ada kekurangan-sel T dalam SCID).
Kondisi genetik yang paling umum bertanggung jawab untuk SCID adalah muta
si dari rantai γ umum interleukin yang (IL) reseptor bersama oleh reseptor untuk IL-2,
IL-4, IL-7, IL-9, IL-15, dan IL -21 (T B + NK-). [7] Protein ini dikodekan pada kromo
som X; Oleh karena itu, varian ini SCID adalah X-linked (dan kadang-kadang disebut
sebagai X-linked SCID [XL-SCID]). Pasien-pasien ini menyumbang sekitar 50% dari
semua pasien dengan SCID.
Dalam SCID X-linked, hilangnya IL-2 reseptor fungsi (IL-2R) menyebabkan hil
angnya sinyal proliferasi limfosit. Hilangnya fungsi IL-4R mengarah ketidakmampua
n sel B ke switch kelas. Hilangnya fungsi IL-7R mengarah pada hilangnya sinyal antia
poptotic, yang mengakibatkan hilangnya seleksi T-sel di thymus. Hilangnya fungsi I
L-7R juga berhubungan dengan hilangnya reseptor sel T (TCR) penataan ulang. Hilan
gnya fungsi IL-15R mengarah ke ablasi pembangunan NK-cell.
JAK3 adalah protein kinase tirosin (PTK) yang berasosiasi dengan rantai γ umu
m dari reseptor IL. Kekurangan ini hasil protein di manifestasi klinis yang sama denga
n XL-SCID.

6
ADA adalah enzim yang memecah purin. Ketika itu tidak ada, deoxyadenosine t
rifosfat (dATP) membangun dan menghambat enzim yang diperlukan untuk proliferas
i limfosit. Hal ini menyebabkan B-, T, dan defisiensi NK-cell.
Defisiensi ZAP-70, mutasi terjadi dalam gen yang kinase tirosin ini, yang pentin
g dalam signaling sel T dan sangat penting dalam seleksi positif dan negatif dari sel T
di timus. Selektif sel CD8 + T dan berlimpahnya nonfunctioning sel CD4 + T terjadi.
ZAP-70 tampaknya diperlukan dalam pemilihan sel CD8 + T dan diperlukan untuk T
sel fungsi-maka CD4 nonfunctioning + sel.
Disgenesis retikular adalah varian langka SCID yang timbul dari kurangnya pen
gembangan sel induk yang sesuai dan ditandai dengan agranulositosis selain kurangny
a kedua sel B dan sel T dalam sistem kekebalan tubuh adaptif. Mutasi pada mitokondr
ia adenilat kinase 2 telah terungkap pada pasien dengan reticular disgenesis.
Beberapa kekurangan dari CD3 kompleks (CD3γ, ε, δ, dan ζ) berhubungan deng
an SCID. Omenn sindrom hasil dari mutasi yang merusak fungsi Ig dan TCR gen reko
mbinase. Ini termasuk Artemis mutasi dan kekurangan RAG1 dan RAG2.
Purin nukleotida fosforilase (PNP) defisiensi dan defisiensi IL-2 yang cukup pa
rah di alam harus diklasifikasikan sebagai SCID, dan cacat lainnya diidentifikasi setia
p tahun. [26] Cacat molekuler yang tepat yang terlibat dalam IL-2 kekurangan produk
si tidak diketahui, tetapi cacat ini sering dikaitkan dengan cacat produksi sitokin lainn
ya.
Ini adalah bentuk paling umum dan terbaik ditandai dari SCID, tetapi tidak sem
ua dari kondisi genetik menyebabkan SCID telah dikarakterisasi. Bayi dengan SCID b
iasanya hadir dengan infeksi yang sekunder kurangnya fungsi T-cell (misalnya, Pneu
mocystis jiroveci (carinii) pneumonia [PCP], kandidiasis sistemik, infeksi herpes umu
m, kegagalan parah tumbuh sekunder untuk usus infeksi atau diare). Penyakit graft ve
rsus host (GVHD) dari produk darah nonirradiated merupakan penyebab penting dari
pasien morbidity. Banyak SCID memiliki thymuses atrofi dihuni oleh beberapa limfos
it dan penurunan atau sel darah Hassall absen. Jaringan limfoid perifer biasanya tidak
ada atau sangat menurun. Dalam beberapa keadaan, buruk berfungsi diaktifkan oligocl
onal limfosit berkembang, mungkin karena peningkatan stimulasi antigen yang mung
kin terjadi karena kegagalan kliring antigen appropriately. Human phosphoglucomuta
se 3 mutasi menyebabkan gangguan imunodefisiensi berat bawaan terkait dengan disp
lasia skeletal.

7
2. 4. Gejala klinis yang terjadi pada penderita SCID (Severe Combined Immunodeficiency
Disease)
Untuk beberapa bulan pertama kehidupan, seorang anak dengan SCID dilindung
i oleh antibodi dalam darah ibu. Pada awal usia tiga bulan, bagaimanapun, anak SCID
mulai menderita infeksi mulut (thrush), diare kronis, otitis media dan infeksi paru, ter
masuk pneumonia Pneumocystis. Anak itu kehilangan berat badan, menjadi sangat le
mah, dan akhirnya meninggal karena infeksi oportunistik.
Sebagian besar bayi dengan kelainan imundefisiensi kombinasi berat terkena pn
eumonia, infeksi jamur pada mulut dan diare, biasanya pada usia 6 bulan. Selain itu pe
nderita juga dapat mengalami infeksi yang lebih serius, seperti Pneumonia pneumokis
tik. Karena infeksi-infeksi ini, bayi tidak dapat tumbuh dan berkembang secara norma
l. Pada penderita juga bisa muncul ruam-ruam yang mengelupas. Semua bayi dengan
kelainan ini memiliki kelenjar Thymus yang tidak berkembang. Jika tidak ditangani, a
nak-anak ini biasanya akan meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun.

2. 5. Komplikasi pada penyakit SCID (Severe Combined Immunodeficiency Disease)


Infeksi berat adalah gejala yang paling umum dari pasien dengan SCID. Infeksi
ini biasanya bukan infeksi yang sama yang memiliki anak normal. Infeksi pada pasien
dengan SCID bisa jauh lebih serius dan bahkan mengancam kehidupan, dan mungkin
dapat mengarah pada pneumonia, meningitis atau infeksi aliran darah. Seringnya peng
gunaan antibiotik, bahkan untuk infeksi minimal telah mengubah pola tindakan keseh
atan untuk SCID, sehingga dokter melihat pasien harus memiliki indeks kecurigaan ya
ng tinggi untuk mendeteksi kondisi ini.
Anak-anak dengan SCID dapat mengembangkan infeksi yang disebabkan oleh o
rganisme atau vaksin, yang biasanya tidak berbahaya pada anak-anak yang memiliki k
ekebalan normal. Di antara yang paling berbahaya adalah organisme yang disebut Pne
umocystis jiroveci, yang dapat menyebabkan pneumonia fatal (PCP) jika tidak didiag
nosis dan diobati segera.
Virus berbahaya lainnya untuk pasien dengan SCID adalah virus Herpes simple
x, adenovirus, parainfluenza 3, virus Epstein-Barr (EBV, virus mononukleosis infeksi
osa), poliovirus, virus campak (rubeola) dan rotavirus. Organisme berbahaya lain adal
ah virus cacar air (varicella). Meskipun cacar air adalah menjengkelkan dan menyebab
kan banyak ketidaknyamanan pada anak-anak yang sehat, dampaknya biasanya terbat
as pada kulit dan selaput lendir dan penyakit sembuh dalam hitungan hari. Pada pasien

8
dengan SCID, cacar air bisa berakibat fatal karena jika tidak segera diobati, dapat men
yebabkan infeksi di paru-paru, hati dan otak.
Selain tidak dapat kontak dengan organisme asing yang bersifat menginfeksi, pe
nderita SCID juga tidak dapat kontak dengan vaksin untuk cacar air, campak, gondok,
rubella dan rotavirus, karena vaksin tersebut berupa virus hidup yang dapat menginfek
si penderita SCID. Jika diketahui bahwa seseorang dalam keluarga telah memiliki SCI
D di masa lalu, atau saat ini memiliki SCID, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada b
ayi yang baru lahir dalam keluarga sampai telah ditentukan bahwa bayi baru tidak me
miliki SCID.

2. 6. Macam-macam pemeriksaan laboratorium rutin SCID (Severe Combined Immunodefi


ciency Disease)
A. Pemeriksaan Sel Darah Lengkap (DPL)
Darah normal mengandung berbagai macam sel, sebagian besar berperan da
lam sistem imun. Pemeriksaan DPL menunjukkan seberapa banyak setiap jenis se
l pada sampel darah pasien. Terutama untuk diagnosis IDP, perlu dilakukan peme
riksaan hitung jenis dari berbagai macam tipe sel darah putih (leukosit) yang ada
pada darah. Hasil DPL dibandingkan dengan nilai rujukan yang ditemukan pada o
rang sehat.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh semua dokter dan merupakan pemerik
saan yang krusial karena dapat menunjukkan defek berat yang bisa ditimbulkan ol
eh penyakit IDP. Sebagai contoh, pasien dengan SCID, yang merupakan IDP yan
g paling berat, biasanya memiliki kadar sel T yang rendah. SCID merupakan kega
watan medis karena bayi dengan penyakit ini berisiko tinggi untuk mengalami inf
eksi yang mengancam jiwa. Diagnosis dan tatalaksana dini penting untuk mening
katkan kemungkinan pasien untuk bertahan hidup. The International Patient Org
anisation for Primary Immunodeficiencies (IPOPI) mempelopori adanya pemerik
saan skrining rutin untuk SCID pada bayi baru lahir di Eropa. Ataxia telangiectasi
a merupakan IDP yang berhubungan dengan adanya penurunan kadar sel T, wala
upun pada kelainan ini terdapat penurunan progresif pada sel T sejalan dengan wa
ktu.
B. Pemeriksaan Sel Darah Lainnya
1. Pemeriksaan subpopulasi dan proliferasi limfosit

9
Limfosit (sel T dan sel B) terbagi menjadi berbagai subpopulasi; seper
ti sel T helper (dikenal sebagai sel CD4) dan sel T sitotoksik (CD8). Pemeri
ksaan jumlah berbagai sel limfosit dalam darah dapat membantu mengidenti
fikasi penyakit IDP yang ada. Selain menghitung jumlah sel limfosit, sangat
penting untuk dilakukan pemeriksaan seberapa baik sel-sel ini bekerja. Seba
gai contoh, pemeriksaan tertentu dapat mengidentifikasi bagaimana sel-sel i
ni memperbanyak diri (atau proliferasi) bila mereka dirangsang oleh zat ki
mia atau antigen yang secara normal dapat menimbulkan respons imun.
2. Pemeriksaan fungsi granulosit
Neutrofil, eosinofil, basophil dan sel mast secara bersama dikenal seb
agai granulosit. Pada kondisi normal sel ini (terutama neutrofil) menghasilk
an hidrogen peroksida (terkadang disebut sebagai reactive oxygen) untuk m
embunuh bakteri dan jamur. Jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan diu
kur dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium yang dikenal dengan n
ama dihydrorhodamine (DHR) oxidative burst test. Pemeriksaan ini merupa
kan pemeriksaan diagnostik penting untuk penyakit IDP seperti X-linked ch
ronic granulomatous disease (CGD). Pada penyakit ini jumlah neutrofil nor
mal (atau meningkat) namun sel ini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pe
meriksaan yang lain yang digunakan untuk menilai seberapa baik sel-sel ini
berpindah ke agen yang menariknya (hal ini disebut kemotaksis) dan sebera
pa efektif sel ini membunuh dan menelan bakteri.
3. Pemeriksaan maturasi sel B di sumsum tulang
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit IDP yang di
kenal dengan nama agammaglobulinemia seperti X-linked agammaglobulin
emia (XLA, yang juga dikenal sebagai penyakit Bruton). Kondisi ini diseba
bkan oleh defek genetik yang menghambat sel limfosit B untuk berkemban
g dengan baik. Pada kondisi normal, sel limfosit B yang matur menghasilka
n imunoglobulin. Pasien dengan penyakit ini memiliki kadar imunoglobulin
(lihat pemeriksaan imunoglobulin) serta sel B yang rendah.
4. Ekspresi protein sel
Pemeriksaan dapat mengenali defisiensi protein tertentu yang secara n
ormal ditemukan pada permukaan sel darah putih. Sebagai contoh, defisiens
i CD40 dan CD40L merupakan dua protein yang bersamaan membuat sel T
merangsang respons imun oleh sel B. Defisiensi CD40 dan CD40L merupa

10
kan penyakit IDP yang berat yang dikenal dengan penyakit hiper-imunoglo
bulin M. Defek pada protein CD11 dan CD18 menyebabkan adanya leukoc
yte adhesion deficiency (LAD).
5. Perubahan sel B memori
Sel B memori adalah kelompok sel B yang dapat ‘mengingat’ antigen
yang sudah pernah dilawan sebelumnya. Jika dirangsang oleh antigen terseb
ut lagi, sel limfosit B memori akan berubah untuk memproduksi antibodi ter
hadap antigen tersebut. Pengukuran sel B tersebut dapat berguna untuk men
gidentifikasi penyakit common variable immunodeficiency disorders (CVI
D), sindrom hiperIgE dan defisiensi CD40/CD40L.

2. 7. Macam-macam pemeriksaan laboratorium imunologik SCID (Severe Combined Imm


unodeficiency Disease)
Pemeriksaan Kadar Imunoglobulin

Imunoglobulin (atau antibodi) merupakan protein yang membantu mengenali mi


kro-organisme yang menginfeksi tubuh dan membantu sel imun untuk menghancurka
n mikro-organisme tersebut. Kebanyakan penyakit IDP menyebabkan tubuh menghasi
lkan imunoglobulin yang sangat sedikit atau tidak sama sekali. Oleh karena itu pemeri
ksaan kadar immunoglobulin G (IgG), A (IgA), E (IgE) dan M (IgM) merupakan pem
eriksaan yang penting dalam penegakkan diagnosis IDP.

Penyakit–penyakit IDP memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada imunogl


obulin (lihat tabel). Sebagai contoh, pasien XLA (penyakit Bruton) memiliki kadar ya
ng rendah pada semua kelas imunoglobulin. Pada penyakit defisiensi IgA selektif, ses
uai dengan namanya, hanya memiliki kadar IgA yang rendah. Pasien dengan defisiens
i subklas IgG saja memiliki kadar IgG yang normal namun terdapat penurunan kadar I
gG pada salah satu atau lebih subklas. Pemeriksaan subklas ini membantu dalam men
diagnosis kondisi ini.

Penyakit Ig G Ig A Ig E Ig M
SCID Rendah Rendah Rendah Rendah

11
12
BAB III PENUTUP

3. 1. Kesimpulan
Defisiensi antibodi primer merupakan kelainan diakibatkan defek yang men
yebabkan ketidakmampuan untuk memproduksi antibodi efektif untuk berespon t
erhadap patogen (Wood et al, 2007). Defek pada fungsi atau perkembangan sel B
menyebabkan sintesa antibodi yang abnormal (Abbas et al, 2010). Kelainan pada
defisiensi antibodi mencakup sebuah spektrum penyakit yang dapat diamati deng
an menurunnya kadar antibodi, mulai dari bentuk penyakit dengan tidak dihasilka
n imunoglobulin dari semua kelas antibodi sama sekali sampai dengan defisiensi
selektif, yaitu defisiensi untuk antibodi kelas tertentu saja. Derajat keparahan pen
yakit tergantung pada derajat kekurangan antibodi bersangkutan (Wood et al., 20
07).

Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) disebut juga dengan S


yndrome Bubble Boy adalah gangguan imunodefisiensi menurun menghasilkan a
ntibodi berkadar rendah dan limfosit T dalam jumlah rendah dan gagal berfungsi.
Kelainan imunodefisiensi kombinasi berat (Severe Combined Immunodeficiency
Disease) merupakan kelainan imunodefisiensi yang bersifat congenital (bawaan).
kelainan ini sangat berat karena menyebabkan rendahnya kadarnya antibody (Im
munoglobulin) dan kurang atau tidak berfungsinya limfosit T, sehingga penderita
tidak mampu melawan infeksi secara adekuat. Sebagian besar bayi dengan kelain
an imundefisiensi kombinasi berat terkena pneumonia, infeksi jamur pada mulut
dan diare, biasanya pada usia 6 bulan. Selain itu penderita juga dapat mengalami i
nfeksi yang lebih serius, seperti Pneumonia pneumokistik. Karena infeksi-infeksi
ini, bayi tidak dapat tumbuh dan berkembang secara normal.

3. 2 Saran
Jangan sampai penderita SCID kontak dengan organisme asing yang bersifa
t menginfeksi, penderita SCID juga tidak dapat kontak dengan vaksin untuk cacar
air, campak, gondok, rubella dan rotavirus, karena vaksin tersebut berupa virus hi
dup yang dapat menginfeksi penderita SCID. Jika diketahui bahwa seseorang dala
m keluarga telah memiliki SCID di masa lalu, atau saat ini memiliki SCID, vaksi

13
n ini tidak boleh diberikan kepada bayi yang baru lahir dalam keluarga sampai tel
ah ditentukan bahwa bayi baru tidak memiliki SCID.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. K., et al. 2007. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: Saunder Elsevie
r.

Abbas, A. K., et al. 2010. Congenital and Acquired Immunodeficiencies. dalam Schmitt (Ed.)
Cellular and Molecular Immunology 6ed. Philadelphia: Elsevier.

Claudia, Wehr., et al. 2008. The Euroclass trial: defining subgroups in common variable im
munodeficiency. Blood. 111: 77-86.

Francisco, A., et al. 2005. Practice parameter for the diagnosis and management of primary
immunodeficiency. J Annals of Allergy, Asthma & Immunol. 94: 1-63.

Fried, A. J., and Bonilla, F. A. 2009. Pathogenesis, Diagnosis, and Management of Primary
Antibody Deficiencies and Infections. Clin. Microbiol. Review. 22: 396-414.

Kusumo, Pratiwi Dyah. 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID). Jakarta: Universitas
Kristen Indonesia.

Magdalena, Maria., dan Alwi, M. 2011. Defisiensi Antibodi Primer dan Hubungannya denga
n Kelainan Kulit. PharmaMedika, 3(1), hal. 231-245.

McCusker, C., and Richard, W. Primary Immunodeficiency. Allergy, Asthma & clinical imm
unology.

Paller, A. S., and Abrams, M. 2008. Genetic immunodeficiency diseases. dalam Wolff, K., Go
ldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., paller, A. S. & Leffell, d. J. (Eds.) Fitzpatr
ick's Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: Mc Graw Hill.

Saraswati, Henny. 2017. Modul Imunologi. Jakarta: Uiversitas Esa Unggul.

Wood, P., et al. 2007. Recognition, clinical diagnosis and management of patients with prim
ary antibody deficiencies: a systematic review. Clinical and Experimental Immunolog
y. 149: 410–23.

15

Anda mungkin juga menyukai