Anda di halaman 1dari 43

ANALISIS KERENTANAN PENYAKIT KECACINGAN DI SEKOLAH

DASAR (SD) WILAYAH KERJA PUSKESMAS KETAPING

KABUPATEN PADANG PARIAMAN TAHUN 2018

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan pada Program Studi D4 Kesehatan Lingkungan Politeknik Kementerian

Kesehatan Padang Sebagai Persyaratan dalam Menyelesaikan Pendidikan D4

Politeknik Kesehatan Padang

Oleh :

VARADINA YULIAN

NIM : 171220621

PROGRAM STUDI D4 KESEHATAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PADANG

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

2018
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Proposal : Analisis Kerentanan Penyakit Kecacingan di Sekolah Dasar

(SD) Wilayah Kerja Puskesmas Ketaping Kabupaten Padang

Pariamantahun 2018

Nama : Varadina Yulian

NIM : 171220621

Proposal ini telah disetujui untuk diseminarkan dihadapan Tim Penguji Prodi D4

Sarjana Sanitasi Terapan Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan

Kemenkes padang

Padang, November 2018

Komisi Pembimbing :

Pembimbing I Pembimbing II

(H. Magzaiben Zainir, SKM, M.Kes) (Aidil Onasis, SKM, M.Kes)


NIP. 195403211976061001 NIP. 197211061995031001

Ketua Jurusan

(Hj. Awalia Gusti, S.Pd, M.Si)


NIP.196708021990032002
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan do’a dan mengucapkan Puji Syukur kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa, dengan berkat serta Rahmat dan Karunia-Nya, penulisan

Proposal Skripsi dengan Implementasi Pelayanan Kesehatan Lingkungan

terhadap Pencapaian Open Defecation Free (ODF) di Puskesmas Kota

Padang Tahun 2018 dapat diselesaikan oleh penulis.

Penyusunan dan penulisan Proposal Skripsi ini merupakan suatu rangkaian

dari proses pendidikan secara menyeluruh Program Studi D4 Jurusan Kesehatan

Lingkungan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang, dan sebagai prasyarat

dalam menyelesaikan Pendidikan D4 Kesehatan Lingkungan pada masa akhir

pendidikan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya atas segala bimbingan dan pengarahan dari Bapak H. Magzaiben

Zainir, SKM, M.Kes dan Bapak Aidil Onasis, SKM, M.Kes selaku Pembimbing

Proposal Skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi ini.

Ucapan terima kasih selanjutnya penulis ajukan kepada:

1. Bapak Dr. Burhan Muslim, SKM, M.Si selaku Direktur Politeknik

Kesehatan Kemenkes Padang.

2. Ibu Hj. Awalia Gusti, S.Pd, M.Si selaku Ketua Jurusan Kesehatan

Lingkungan.

3. Bapak R. Firwandri Marza SKM, M.Kes selaku Ketua Program

Studi D4 Kesehatan Lingkungan.

i
4. Bapak H. Magzaiben Zainir, SKM, M.Kes dan Bapak Aidil Onasis,

SKM, M.kes selaku Pembimbing I dan Pembimbing II

5. Dosen dan Staf Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan

Kemenkes Padang.

6. Kedua orang tua dan keluarga tercinta atas dorongan moril dan

materil serta doa yang tulus sehingga peneliti dapat menyelesaikan

Proposal Skripsi ini.

7. Dan rekan-rekan yang telah membantu dalam penyelesaian Proposal

Skripsi ini.

Dalam penulisan Proposal Skripsi ini penulis menyadari akan keterbatasan

dan kemampuan yang ada, sehingga penulis merasa masih belum sempurna, untuk

itu penulis selalu terbuka atas kritik dan saran yang membangun guna

penyempurnaan Proposal Skripsi ini.

Padang, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
E. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ 8
BAB II TIJNJAUAN PUSTAKA
A. Definisi kecacingan .................................................................................... 10
B. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kecacingan.......................................... 17
C. Kerentanan ................................................................................................. 23
D. Kerangka Teori........................................................................................... 28
E. Kerangka konsep ........................................................................................ 29
F. Definisi Operasional................................................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian ........................................................................................ 33
B. Waktu dan Lokasi penelitian...................................................................... 33
C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 33
D. Cara Pengumpulan Data ............................................................................. 33
E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 34
F. Pengolahan Data......................................................................................... 34
G. Analisis Data .............................................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA

LEMBARAN OBSERVASI
LEMBARAN KONSULTASI

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

penting di berbagai dunia yang tersebar luas di berbagai daerah tropis dan

subtropis, terutama di negara berkembang dan negara miskin. Berdasarkan data

dariWorld Health Organization (WHO) tahun 2012 diperkirakan 800 juta - 1

miliar penduduk terinfeksi cacing gelang, 700-900 juta terinfeksi cacing tambang,

dan 500 juta terinfeksi cacing kremi atau 24% dari populasi dunia terinfeksi

kecacingan.2Penyakit infeksi kecacingan pada umumnya ditularkan melalui tanah.

Ada tiga jenis cacing yang ditularkan oleh tanah yaitu cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus), serta cacing cambuk (Trichuris trichuria).1

Indonesia merupakan daerah tropis yang menjadi salah satu faktor risiko

yang berpengaruh kuat terhadap risiko terjadinya infeksi kecacingan.(Sitha

sartika) Di Indonesia prevalensi kecacingan tahun 2012 menunjukkan angka

diatas 20% dengan prevalensi tertinggi mencapai 76,67%.2

Diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita suatu

infeksi cacing, rendahnya mutu sanitasi menjadi penyebabnya. Pada anak-anak,

cacingan akan berdampak pada gangguan kemampuan untuk belajar dan pada

orang dewasa akan menurunnya produktifitas kerja. Dalam jangka panjang, hal ini

akan berakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia.3

Infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis

lingkungan.Perilaku buruk yang menyebabkan infeksi kecacingan antara lain

1
2

membuang tinja sembarang tempat, tidak mengelola makanan dan minuman

secara bersih dan sehat, tidak mencuci tangan sebelum makan, dan tidak memakai

alas kaki bila keluar rumah. Perilaku penduduk berhubungan dengan lingkungan

bisa menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit.4

Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk

berikut perilakunya, dapat diukur dalam konsep perilaku pejamu. Perilaku pejamu

adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang

mengandung potensi bahaya penyakit. Komponen lingkungan yang mengandung

potensi penyakit dapat digambarkan sebagai berikut: seorang anak mempunyai

perilaku tidak menggunakan alas kaki waktu bermain dan keluar rumah, bila

dalam lingkungan tersebut ada bibit penyakit (parasit cacing), kemungkinan akan

terinfeksi penyakit kecacingan. Perilaku hidup tidak sehat seperti ini dapat disebut

sebagai faktor risiko kesehatan.5

Infeksi cacing tersebar luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis,

terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua

umur dapat terinfeksi kecacingan dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-

anak. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi,

kebersihan diri dan lingkungan. Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari

satu daerah ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor antara lain : lokasi

(desa atau kota, kumuh, dll), kelompok umur, kebiasaan penduduk setempat

(tempat buang air besar, cuci tangan sebelum makan, tidak beralas kaki, dll), dan

pekerjaan penduduk. Program pemberantasan penyakit cacing telah dimulai sejak

tahun 1975, sejak Pelita IV (1984). Walaupun telah dilakukan pemberantasan

sejak lama dengan pengobatan dan lain-lain,prevalensi penyakit ini tetap tinggi.6
3

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing tergolong penyakit yang

kurang mendapat perhatian, sebab masih sering dianggap sebagai penyakit yang

tidak menimbulkan wabah maupun kematian. Walaupun demikian, penyakit

kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya mengalami kerugian, sebab

secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubuh penderita akan

menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan sampai berat yang

ditunjukkan diantaranya berkurang nafsu makan, rasa tidak enak di perut, gatal-

gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi, dan lain-lain.7

Upaya pemberantasan penyakit seharusnya tidak hanya melibatkan agent

(penyebab sakit) dan host (manusia) semata, melainkan pula faktor lingkungan

yang ternyata berperan sangat besar. Dalam kenyataannya, pendidikan dokter di

Indonesia sedikit sekali menyentuh lingkungan tersebut sebagai salah satu faktor

penting yang berperan dalam menimbulkan penyakit pada manusia. Bahkan masih

sedikit penelitian jangka panjang tentang penyakit lingkungan. Karena itu, sering

timbul perdebatan tentang penyebab yang sebenarnya dari sesuatu penyakit

lingkungan tersebut.8

Kebiasaan anak usia sekolah seperti makan tanpa cuci tangan, bermain-

main di tanah sekitar rumah merupakan kebiasaan anak usia sekolah yang dapat

menyebabkan penyakit kecacingan. Penyakit kecacingan ditularkan melalui

tangan yang kotor, kuku panjang dan kotor menyebabkan telur cacing terselip.

Penyebaran penyakit kecacingan disebabkan kebersihan perorangan yang masih

buruk. Penyakit cacing dapat menular diantara murid sekolah dasar yang sering

berpegangan sewaktu bermain dengan murid lain yang kukunya tercemar telur

cacing.9
4

Cacing yang ditularkan melalui tanah selalu membutuhkan media untuk

perkembangan stadium infektif yang dapat menulari manusia lainnya. Ascaris

lumbricoides dapat ditularkan melalui makan atau minuman yang tercemar oleh

telur cacing yang terdapat di tanah yang tercemar tinja penderita. Pencemaran

tanah oleh tinja penderita hanya akan terjadi bila penderita buang air besar di

tanah dan tidak di jamban karena itu pengawasan jamban yang baik mutlak

diperlukan untuk memberantas penyakit cacing usus, dengan catatan jamban itu

harus dipergunakan dengan semestinya.9

Hasil penelitian (Zaidina Umar : 2008), menemukan : (1)Responden yang

cuci tangan sebelum makan pakai air dan sabun adalah 61,9%, sebagian besar

responden BAB di jamban (65%), responden yang cuci tangan setelah BAB

(86,8%), pengetahuan tentang penyakit cacing rendah (92,2%), perilaku jajan

tidak di warung sekolah (71,8%), kuku bersih (66,9%). (2) perilaku cuci tangan

sebelum makan memakai air dan sabun terbukti berhubungan signifikan dengan

kejadian kecacingan. (3) variabel lain yang terbukti berhubungan kejadian

kecacingan adalah perilaku buang air besar dan perilaku jajan di sekolah.10

Hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera

Barat dengan sampel yang diambil anak SD, pada tahun 2009 kecacingan di Kota

Sawahlunto dengan prevalensi cacing gelang 54 % dan cacing cambuk 66 %,

tahun 2010 kecacingan di Kabupaten Pesisir Selatan dengan prevalensi cacing

gelang 70 % dan cacing cambuk 66 %, tahun 2012 kecacingan di Kabupaten

Pasaman dengan prevalensi cacing gelang 75 % dan cacing cambuk 60 % dan

sedangkan tahun 2014 kecacingan di Kabupaten Padang Pariaman ditemukan

cacing gelang dengan prevalensi 80 % dan cacing cambuk 86 % .10


5

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan sanitarian di puskesmas

Ketaping, jumlah penduduk sebesar 1550 terdiri dari laki-laki 966, perempuan

584. Puskesmas Ketaping merupakan salah satu daerah dengan prevalensi

penyakit kecacingan tertinggi dengan jumlah 109 kasus berupa data penyakit lama

37 kasus dan data penyakit baru 72 kasus di Tahun 2015. Kondisi lingkungan di

daerah tersebut kurang baik, daerahnya terletak dekat tepi pantai, tanah tempat

bermain anak-anak yang gembur yang menjadi tempat perindukan cacing, dan

belum adanya kebiasaan mencuci tangan setelah bermain serta status ekonomi

yang masih rendah.Ini termasuk faktor-faktor yang menunjang untuk terjadinya

infeksi kecacingan.

Di Wilayah Kerja Puskesmas Ketaping memiliki 11 sekolah. Dari hasil

survey awal yang penulis lakukan di 2 sekolah tersebut, SDN 27Batang Anai

merupakan sekolah yang kondisi sanitasi lingkungannya baik dan memenuhi

syarat dalam standardan prasarana disekolah karena memiliki 4 jamban dengan

sarana air PDAM dan tersedianya wastafel di masing-masing kelas sehingga ada

kegiatan CTPS (cuci tangan pakai sabun) dengan jumlah siswa 135 orang.

Sedangkan SDN 23 Batang Anai kondisi sanitasi lingkungannya buruk dan tidak

memenuhi syarat dalam standar dan prasarana di sekolah karna memiliki 1

jamban, tidak memiliki wastafel sehingga tidak ada kegiatan CTPS (cuci tangan

pakai sabun) sehingga personal hygienenya masih kurang dan masih ditemukan

kebiasaan anak-anak bermain di tanah dengan jumlah siswa 181. Dalam fasilitas

di sekolah menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 24 Tahun

2007 minimum jamban harus memiliki 3 jamban dengan jumlah siswa 70 dan

harus memiliki wastafel di setiap ruangan.10 Hal tersebut menjadi faktor personal
6

hygiene yang sangat buruk mempengaruhi mudahnya penularan kejadian

kecacingan siswa di sekolah dasar tersebut.

Berdasarkan hasil observasi terhadap 5 orang siswa Kelas I ada 4 orang

masih ditemukan kuku tangan dan kuku kaki yang panjang dan hitam karena dari

hasil pengamatan penulis terhadap siswa kelas I masih banyak ditemukan bermain

di tanah seperti bermain bola yang tidak menggunakan alas kaki dan tidak

menerapkan CTPS sehingga personal hygienenya buruk.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk

mengetahui tingkat kerentanan penyakit kecacingan pada siswa di Sekolah Dasar

(SD) di wilayah kerja Puskesmas Ketaping Kabupaten Padang PariamanTahun

2018.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah analisis kerentanan penyakit kecacingan pada siswa Sekolah Dasar

(SD) di wilayah kerja Puskesmas Ketaping Kabupaten Padang PariamanTahun

2018.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui analisis kerentanan penyakit kecacingan pada

siswa Sekolah Dasar (SD) di wilayah kerja Puskesmas Ketaping Tahun

2018.
7

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat kerentanan penyakit kecacingan pada

siswa Sekolah Dasar (SD) di wilayah kerja Puskesmas Ketaping

Kabupaten Padang PariamanTahun 2018.

b. Untuk mengetahui keterpaparan ( jenis lantai halaman sekolah,

sarana CTPS, Jamban, sumber air bersih) penyakit kecacingan pada

siswa Sekolah Dasar (SD) di wilayah kerja Puskesmas Ketaping

Kabupaten Padang PariamanTahun 2018.

c. Untuk mengetahui sensitivitas (jumlah murid dan Jajanan Sekolah)

penyakit kecacingan pada siswa Sekolah Dasar (SD) di wilayah

kerja Puskesmas Ketaping Kabupaten Padang PariamanTahun

2018.

d. Untuk mengetahui kapasitas adaktif(penyuluhan dan pemberian

obat cacing) penyakit cacinganpada siswa Sekolah Dasar (SD) di

wilayah kerja Puskesmas Ketaping Kabupaten Padang

PariamanTahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Mahasiswa

a. Memberikan informasi mengenaitingkat kerentanan penyakit

kecacingan pada siswa Sekolah Dasar (SD)

b. Untuk menambah wawasan dan menerapkan ilmu yang telah

diperoleh selama perkuliahan di D4 Kesehatan Lingkungan.


8

2. Institusi

a. Bagi Poltekkes RI Padang Program Studi D4 Kesehatan

Lingkungan

Untuk pengayaan literatur tentang analisis kerentanan penyakit

kecacingan pada siswa Sekolah Dasar (SD).

b. Pelayanan Kesehatan

Sebagai bahan masukan kepada pihak puskesmas Ketaping

mengenai analisis tingkat kerentanan penyakit kecacingan pada

siswa Sekolah Dasar (SD).

3. Masyarakat

Sebagai bahan masukan bagi masyarakat mengenai tingkat kerentanan

penyakit kecacingan pada siswa Sekolah Dasar (SD).

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada hubungan sanitasi

lingkungan dan personal hygiene terhadap tingkat kerentanan kejadian kecacingan

pada siswa Sekolah Dasar (SD) di wilayah kerja Puskesmas Ketaping Kabupaten

Padang PariamanTahun 2018.Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.

Dimulai dari konsep dan dioperasionalkan menjadi indikator/parameter dalam

bentuk indeks untuk mengukur kerentanan. Metode penelitian kuantitatif

mengidentifikasi variabel–variabel yang berpengaruh dalam menentukan indeks

kerentanan. Penelitian ini tergolong penelitian penjelasan (explanatory

confirmatory research).

Variabel yang ditelitiadalah sanitasi lingkungan, personal hygiene, dan

tingkat kerentanan kejadian penyakit kecacingan. Penelitian ini dilakukan pada


9

bulan Agustus - Desember 2018 terhadap siswa sekolah dasar di wilayah kerja

puskesmas Ketaping.
BAB II

TIJNJAUAN PUSTAKA

A. Definisi kecacingan

Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit

berupa cacing. Dimana dapat terjadi infeksi ringan maupun infeksi berat. Infeksi

kecacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing kelas nematode usus

khususnya yang penularan melalui tanah, diantaranya Ascaris lumbricoides,

Trichuris trichiura, dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus) dan Strongyloides stercoralis.11

Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Negara-negara

sedang berkembang khususnya pada daerah yang tropis adalah penyakit infeksi

kecacingan khususnya cacing yang ditularkan melalui tanah.11

Penyakit infeksi cacingan atau bisa pula disebut dengan penyakit cacingan

sangat berkaitan erat dengan masalah hygiene dan sanitasi lingkungan. Di

Indonesia masih banyak tumbuh subur penyakit cacing penyebabnya adalah

hygiene perorangan sebagian masyarakat yang masih kurang. Kebanyakan

penyakit cacing ditularkan melalui tangan yang kotor. Kuku jemari tangan yang

kotor dan panjang sering terselipi telur cacing karena kebiasaan anak bermain

ditanah. 11

1. Penyebab dan Morfologi

Helmint (cacing) adalah salah satu kelompok parasit yang dapat

merugikan manusia. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi dua

yaitu:

10
11

1. Nemathelminthes (cacinggilik)

2. Plathyhelminthes (cacingpipih)

Cacing yang termasuk Nemathelminthes yaitu kelas Nemotoda

yang terdiri dari Nematode usus dan Nematoda jaringan. Sedangkan

yang termasuk Plathyhelminthes adalah kelas Trematoda dan

Cestoda.11

Namun yang akan dibahas di bawah ini adalah kelompok

Nematoda usus. Sebab sebagian besar dari Nematoda usus ini

merupakan penyebab kecacingan yang sering dijumpai pada

masyarakat Indonesia khususnya pada usia Sekolah Dasar. Diantara

Nematoda usus ini yang sering menginfeksi manusia ditularkan melalui

tanah atau disebut ”soil transmitted helminths” yakni :

1. Ascarislumbricoides

2. Trichuristrichiura

3. Hookworm (Necator americanus dan Ancylostomaduodenale)

a. Ascarislumbricoides

Cacing Ascaris lumbricoides salah satu penyebab kecacingan

pada manusia yangdisebut penyakit askariasis. Cacing dewasa

mempunyai ukuran paling besar di antaraNematoda intestinalis yang

lain. Bentuknya silindris (bulat panjang), ujung anteriorlancip. Bagian

anterior dilengkapi oleh tiga bibir yang tumbuh dengan

sempurna.Cacing betina berukuran lebih besar jika dibandingkan

dengan cacing jantan,dengan ukuran panjangnya 20-35 cm. Pada cacing

betina bagian posteriornyamembulat dan lurus. Tubuhnya berwarna


12

putih sampai kekuning kecoklatandandiselubungi oleh lapisan kutikula

yang bergaris halus. Cacing jantan panjangnya10-30 cm, warna putih

kemerah-merahan. Pada cacing jantan ujung posteriornyalancip dan

melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah

spekulumberukuran 2 mm.

Gambar 2.1. Cacing Ascaris lumbricoides Dewasa

Gambar 2.2. Ascaris lumbricoides: A. Betina; B; Jantan

Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena mengkonsumsi

makanan, minuman yang terkontaminasi telur cacing yang telah

berkembang. Telur yang telah berkembang tadi menetas menjadi

larva di dalam usus halus. Selanjutnya larva tadi akan bergerak


13

menembus pembuluh darah dan limfe di usus untuk kemudian

mengikuti aliran darah ke hati atau aliran limfe ke ductus

thoracicus menuju ke jantung. Setelah sampai di jantung larva ini

akan dipompakan ke seluruh tubuh antara lain ke paru-paru. Larva

di dalam paru-paru ini mencapai alveoli dan tinggal selama 10 hari

untuk berkembang lebih lanjut. Bila larva ini telah mencapai

ukuran 1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke saluran nafas, ke epiglotis

dan kemudian ke esofagus, lambung akhirnya kembali ke usus

halus dan menjadi dewasa yang berukuran 15-35cm.11

Seekor cacing betina mampu menghasilkan 200.000-250.000

telur perhari. Telur yang telah dibuahi akan menjadi matang di

tanah yang lembab dalam waktu ±3minggu dan dapat hidup lama

serta tahan terhadap pengaruh cuaca buruk. Keseluruhan siklus

hidup ini berlangsung kurang lebih 2-3 bulan. Cacing dewasa ini

akan tahan hidup di dalam rongga usus halus hospes selama 9-12

bulan. 11

b. Trichuristrichiura

Dalam bahasa Indonesia cacing ini dinamakan cacing cambuk

karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Hospes

defenitifnya adalah manusia. Cacing ini lebih sering ditemukan

bersama-sama dengan cacing Ascaris lumbricoides. Cacing dewasa

hidup di dalam usus besar manusia terutama di daerah sekum dan

kolon. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. 11

Telur Trichuris trichiura berbentuk bulat panjang dan memiliki


14

“sumbat” yang menonjol di kedua ujungnya, dan dilengkapi dengan

tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Telur berukuran

50-54 x 32 mikron. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan

bagian dalam jernih. Cacing jantan panjangnya ± 4 cm, dan cacing

betina penjangnya ± 5 cm. 11

Gambar 2.3. Cacing Trichuris trichiura dewasa(Kiri : betina, Kanan :

jantan)

Manusia terinfeksi cacing ini melalui makanan yang

terkontaminasi telur cacing yang telah berembrio. Telur yang

tertelan akan menetas di duodenum dan larva yang keluar akan

melekat di villi usus. Untuk perkembangan larvanya cacing ini tidak

mempunyai siklus paru-paru. Larva ini akan tetap tinggal di villi

usus selama 20-30 hari untuk kemudian bergerak ke coecum dan

kolon bagian proximal. Pada infeksi yang berat, cacing dapat pula

ditemukan di ileum, appendix, bahkan seluruh usus besar. Cacing

dewasa membenamkan bagian anteriornya dimukosausus dan mulai

memproduksi telur sebanyak 2000-7000 telur perhari. Telur yang

dihasilkan cacing ini akan keluar dari tubuh bersama tinja. Di luar
15

tubuh, di tempat yang lembab dan hangat, telur ini akan mengalami

pematangan dalam waktu 2- 4 minggu dan siap menginfeksi host

lain. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan mulai dari telur

sampai menjadi dewasa adalah ± 1-3 bulan.

c. Hookworm

Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting dalam

bidang medik, namun yang sering menginfeksi manusia ialah cacing

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Hospes dari kedua

cacing ini adalah manusia. Dan kedua cacing ini menyebabkan

penyakit Nekatoriasis dan Ankilostomiasis.

Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila

ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur

cacing tambang. Bentuk telurnya oval, dinding tipis dan rata, warna

putih. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit

dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka.

Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 700

mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3

dari panjangbadan.

Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan

betina berukuran 10 sampai 13 mm. Cacing Necator americanus

betina dapat bertelur±9.000 butir/hari sedangkan cacing

Ancylostoma duodenale betina dapatbertelur±10.000 butir/hari.


16

Gambar 2.4. Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa

Gambar 2.5. Cacing Necator americanus Dewasa

Cacing jantan dan betina dewasa berhabitat di usus kecil

terutama jejenum, tetapi pada infeksi yang berat, cacing ini dapat

pula ditemukan di lambung. Telur yang dihasilkan betinanya akan

dikeluarkan bersama-sama tinja, 2-3 hari kemudian menetas dan

keluar larva rhabditiform, selama 2 hari larva rhabditiform tumbuh

menjadi larva filariform (infektif) yang tahan terhadap perubahan

iklim dan dapathidup selama 7-8 minggu di tanah lembab. Larva

filariform menembus kulit, masuk ke pembuluh darah kapiler dan

mengikuti peredaran darah masuk ke jantung kanan, kemudian paru-

paru, lalu ke pharynx, kemudian ke usus halus dan di sana menjadi

dewasa.19Infeksi terjadi bila larva filariform


17

menembuskulit.InfeksiAncylostoma duodenale juga mungkin dengan

menelan larvafilariform. 11

B. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kecacingan

1. Orang

Penyakit kecacingan dapat menyerang semua golongan umur dan jenis

kelamin. Menurut DepkesRI(2004) infeksi kecacingan yang

disebabkancacing ”soil transmitted helminths” terjadi pada semua golongan

umur sebesar 40%-60%, sedangkan pada usia Sekolah Dasar (7-15 tahun)

sebesar 60%-80%.12

Menurut penelitian Ginting (2001-2002) pada anak Sekolah Dasar di

Kabupaten Tanah Karo dari 120 sampel ditemukan 84 orang yang positif

kecacingan dengan rincian anak laki-laki sebanyak 51orang (60,7%) dan

anak perempuan sebanyak 33 orang (39,3%).12

Sejak tahun 2002 angka kejadian kecacingan pada anak Sekolah Dasar

terlihat mengalami fluktuasi yaitu dari 33,3%, menurun menjadi 33,0% pada

tahun 2003, tahun 2004 meningkat menjadi 46,8% ,kemudian menurun lagi

tahun 2005 yaitu 28,4%, dan pada tahun 2006 meningkat kembali menjadi

32,6%. 12

2. Tempat

Penyakit kecacingan umumnya terjadi pada daerah yang mempunyai


sanitasi lingkungan yang jelek dan kurang tersedianya air bersih dan
sosial ekonomi yang rendah. Dari hasil penelitian Hiswani (1997) di
Nias menemukan prevalensi cacing yang ditularkan melalui tanah ”soil
transmitted helminths” masih cukup tinggi yaitu Ascaris lumbricoides
sebesar 35% sedangkan prevalensi cacing Trichuris trichiura 5,7%.12

Pada tahun 2002 prevalensi kecacingan dari hasil survei di 10


18

propinsi Indonesia dengan sasaran anak Sekolah Dasar sangat bervariasi

yaitu 4,8%-83,0% dengan prevalensi tertinggi di Propinsi Nusa Tenggara

Barat dan diikuti Propinsi Sumatera Utara, sedangkan yang terkecil di

Propinsi Jawa Timur. Hasil survei prevalensi kecacingan tahun 2003

dengan sasaran dan lokasi yang sama pada tahun 2002 menunjukkan

hasil yang tidak jauh berbeda. Prevalensi cacingan keseluruhan42,26%

dengan rincian Ascaris lumbricoides 22,26%, Trichuris trichiura

20,30%dan Hookworm 0,7%.12

3. Waktu

Penyakit Kecacingan menunjukkan fluktuasi musiman. Biasanya

insiden meningkat pada permulaan musim hujan, karena curah hujan

sangat erat kaitannya dengan kelembaban tanah tempat telur cacing

berkembang biak. Lingkungan tanah liat sangat menguntungkan bagi

cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura sedangkan

lingkungan yang mengandung pasir sangat menguntungkan bagi cacing

Hookworm. 12

4. FaktorLingkungan

Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis

lingkungan oleh karena itu pemberantasan penyakit cacing ini harus

melibatkan berbagai pihak. Faktor lingkungan seperti tanah, air, tempat

pembuangan tinja tercemar oleh telur atau larva cacing serta

berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula yaitu

personal higiene maka dapat menimbulkan kejadian kecacingan. 12


19

a. Sumber air

Air merupakan sangat penting bagi kehidupan manusia.

Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum,

masak, mandi, mencuci(bermacam-macam cucian) dan sebagainya.

Supaya air tetap sehat dan terhindar dari kuman maka air yang

digunakan harus diolah terlebih dahulu. 12

Adapun sumber dan cara pengolahan air yang sering digunakan

oleh masyarakat yaitu:

1. Sumber air : air hujan, air permukaan (sungai, danau, mata air,

air sungai), air tanah (sumur dangkal, sumurdalam)

2. Pengolahan air (seperti pembuangan benda-benda yang

terapung/melayang, pengendapan, penyaringan, penyimpanan)

b. Jamban

Jamban adalah salah satu sarana dari pembuang tinja manusia

yang penting, karena tinja manusia merupakan sumber penyebaran

penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber

pada faeces dapat melalui berbagai macam jalan atau cara seperti air,

tangan, lalat, tanah, makanan dan minuman sehingga menyebakan

penyakit. Jadi bila pengolahan tinja tidak baik, jelas penyakit akan

mudah tersebar. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja

manusia antara lain: tipus, kolera dan bermacam-macam cacing. Maka

untuk menghindari penyebaran penyakit lewat tinja ini setiap orang

diharapkan menggunakan jamban sebagai penampung tinjanya.12


20

c. Personal Higiene

Kebersihan diri yang buruk merupakan cerminan dari kondisi

lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Pengetahuan

penduduk yang masih rendah dan kebersihan yang kurang baik

mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing.

Dianataranya yang termasuk faktor higiene perorangan yaitu :

1. Kebiasaan memakai alas kaki

Kesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa kecil

menentukan kesehatan pada masa dewasa. Anak yang sehat akan menjadi

manusia dewasa yang sehat. Membina kesehatan semasa anak berarti

mempersiapkan terbentuknya generasi yang sehat akan memperkuat

ketahanan bangsa.

Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas kesehatan,

ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu serta anak itu sendiri. Anak

harus menjaga kesehatannya sendiri salah satunya membiasakan memakai

alas/sandal (Depkes RI, 1990)

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir,

humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28°C-32°C.

Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu

(Srisasi Gandahusada, 2000)

2. Kebiasaan mencuci tangan

Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya

jarijari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa

cuci tangan, namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya


21

terdapat cacing. Cacing yang paling sering ditemui ialah cacing gelang,

cacing tambang, cacing benang, cacing pita, dan cacing kremi (E.Oswari,

1991).

3. Kebiasaan memotong kuku

Menurut Depkes RI (2001) usaha pencegahan penyakit cacingan antara

lain:menjaga kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan baik,

makanan dan minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki,

membuang air besar di jamban (kakus), memelihara kebersihan diri

dengan baik seperti memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan.

Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku sebaiknya

selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan

ke mulut (Srisasi Gandahusada, 2000).

4. Kebiasaan makan makanan mentah

Kebiasaan penggunaan faeces manusia sebagai pupuk tanaman

menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah

tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran akan meningkatkan

jumlah penderita helminthiasis.

Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebakan terjadinya

penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan secara

mentah atau setengah matang, ikan, kerang, daging dan sayuran. Bila

dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus

hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia

(Entjang, 2003). 12
22

Usaha kesehatan pribadi (personal higiene) adalah daya upaya dari

seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya

sendiri meliputi:

1. Memelihara kebersihan diri (mandi 2x/hari, cuci tangan

sebelum dan sesudah makan), pakaian, rumah dan

lingkungannya (BAB pada tempatnya).

2. Memakan makanan yang sehat dan bebas dari bibitpenyakit.

3. Cara hidup yangteratur.

4. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatanjasmani.

5. Menghindari terjadinya kontak dengan sumberpenyakit.

6. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin

hidup sehat seperti sumber air yang baik, kakus yangsehat.

7. Pemeriksaankesehatan.

Cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan

Hookworm dikelompokkan sebagai cacing yang ditularkan melalui

tanah (soil transmitted helminths) karena cara penularannya pada setiap

orang sama yaitu melalui tanah. Secara gambaran epidemiologi, ”soil

transmitted helminths” biasa terdapat di daerah beriklim tropis dan

daerah beriklim sedang dan perbedaannya hanya terletak pada jenis

spesies dan beratnya penyakit yang ditimbulkan. Adapun cara cacing

ini menginfeksi manusia yakni dengan menembus kulit manusia oleh

larva infectious (larva matang) atau menelan telur cacing yang lengket

pada makanan atau minuman yang tidak dimasak dengan matang. 12


23

C. Kerentanan

Penggunaan kata kerentanan merujuk pada kapasitas untuk dilukai,

derajat dimana sistem mungkin mengalami kerugian karena keterpaparan pada

bahaya Kerentanan merujuk pada potensi sebuah sistem untuk dirusak oleh

tekanan dari luar (umpamanya ancaman). Kerentanan definisikan sebagai fungsi

Exposure (keterpaparan), sensitivitas terhadap dampak dan kemampuan atau

ketidakmampuan untuk menanggulangi (cope) atau beradaptasi. Keterpaparan

dapat berupa bahaya seperti kekeringan, konflik atau fluktuasi harga ekstrim,

dan juga sosial-ekonomi dasar, kelembagaan dan kondisi fisik alam. Kekejaman

dampak tidak hanya bergantung pada keterpaparan, tapi juga pada sensitivitas

unit spesifik yang terpapar (seperti ekosistem, sumber air, pulau, rumah tangga,

desa, kota, atau negara) dan pada kemampuan untuk beradaptasi atau

menanggulangi (UNEP, 2009). 13

Keterpaparan adalah Suatu keadaan di mana pejamu berada pada pengaruh

atau berinteraksi dengan unsur penyebab primer maupun sekunder atau dengan

unsur lingkungan yang dapat mendorong proses terjadinya penyakit. Dengan

demikian untuk menilai tingkat keterpaparan, harus selalu dihubungkan dengan

sumber dan sifat unsur penyebab, keadaan pejamu yang mengalami keterpaparan

tersebut serta cara berlangsungnya proses keterpaparan.13

Adapun faktor yang berhubungan erat dengan unsur penyebab antara lain:

1. lingkungan di mana unsur penyebab berada atau lingkungan di mana

pejamu dan penyebab berinteraksi;

2. sifat dan jenis dari unsur penyebab tersebut; dan


24

3. unsur pejamu sebagai sifat individu yang bervariasi dalam hubungannya

dengan unsur penyebab serta hubungannya dengan sifat maupun bentuk

keterpaparan seperti sifat patologis karakteristik dari pejamu terhadap

penyebab serta sifat intimasi (erat tidaknya) kontak antara pejamu dengan

penyebab.

Adapun keterpaparan yang berhubungan erat dengan unsur pejamu antara

lain sifal karakteristik pejamu secara perorangan individu serta sifat karakteristik

kelompok sosial tertentu. Sedangkan sifat kekebalan tiap pejamu secara

perorangan dalam masyarakat, akan sekaligus memenuhi kedua sifat tersebut tadi,

karena tingkat kekebalan perorangan yang membentuk suatu kelompok

masyarakat tertentu akan menentukan tingkat kekebalan masyarakat tersebut.14

Faktor lainnya yang erat hubungannya dengan derajat keterpaparan antara lain:

1. sifat keterpaparan, yakni apakah prosesnya hanya terjadi satu kali saja,

atau beberapa kali, ataukah proses keterpaparan tersebut berlangsung terus

menerus dalam suatu jangka waktu yang cukup panjang.

2. sifat lingkungan di mana proses keterpaparan terjadi, yakni apakah

keadaan lingkungan tersebut lebih menguntungkan pejamu atau

sebaliknya, dan

3. tempat dan keadaan konsentrasi dari unsur penyebab yang menimbulkan

keterpaparan.

Faktor tempat sangat erat hubungannya dengan lingkungan di mana unsur

penyebab berinteraksi/mempengaruhi pejamu, sedangkan konsentrasi dari unsur

penyebab akan sangat mempengaruhi derajat keterpaparan dari pejamu.


25

Sensitivitas merupakan analisis mengenai apakah manusia dan alam

terdampak dan berpotensi terdampak terhadap adanya keterpaparan lingkungan

yang terjadi. Analisis sensitivitas di Kabupaten Wonogiri dipengaruhi oleh dua

variabel yakni sistem manusia dan sistem alam. Pada sensitivitas manusia,

dipengaruhi oleh komposisi kependudukan, jumlah penduduk wilayah di

Kabupaten Wonogiri cenderung sedang hingga rendah, sehingga berpengaruh

juga terhadap tingkat sensitivitasnya. Pada sensitivitas sistem alam, penggunaan

lahan yang sensitif juga bukan merupakan penggunaan lahan yang dominan. 14

Tingkat kapasitas adaptif menunjukkan kemampuan wilayah dalam

menanggulangi dampak negatif yang terjadi akibat adanya keterpaparan

lingkungan. Berdasarkan hasil analisis terhadap empat variabel kapasitas

adaptif yakni kesadaran terhadap keterpaparan, kekuatan kelembagaan,

kekuatan ekonomi dan kapasitas adaptif infrastruktur, kemudian dilakukan

pencarian nilai rata-rata untuk mengetahui tingkat kapasitas adaptif wilayah.

Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa, terdapat empat dari lima kategori

tingkat kapasitas adaptif yakni kategori sangat tinggi, kategori sedang, kategori

rendah dan kategori sangat rendah. 14

Penilaian dengan menggunakan indeks mengacu pada penggunaan

Indeks Dimensi yang dikembangkan oleh UNDP pada tahun 2005 (Yoo dkk,

2014). Nilai indeks dimensi berkisar antara 0,00-1,00.


26

Berikut adalah rumus untuk mencari indeks dimensi tersebut.

Keterangan:

DI : Indeks Dimensi

X : Nilai variabel yang diteliti

Min : Nilai terkecil dari variabel yang diteliti

Max : Nilai terbesar dari variabel yang diteliti

Jika setiap variabel dari keterpaparan lingkungan, sensitivitas dan

kapasitas adaptif telah dicari nilai indeksnya, maka dicari tingkat keterpaparan

lingkungan, tingkat sensitivitas dan tingkat kapasitas adaptif setiap variabel

dengan cara mencari interval kelas. Setelah itu dilakukan pencarian Nilai

Indeks Keterpaparan Lingkungan (NIKL), Nilai Indeks Sensitivitas (NIS) dan

Nilai Indeks Kapasitas Adaptif (NIKA) dengan cara mencari rata-rata dari

seluruh indeks variabel yang ada pada faktor keterpaparan lingkungan,

sensitivitas dan kapasitas adaptif. 14

Adapun rumus mencari interval kelas adalah sebagai berikut.


27

Pembagian kelas tingkat keterpaparan lingkungan, sensitivitas dan

kapasitas adaptif dibagi menjadi lima yakni:

1. Sangat rendah

2. Rendah

3. Sedang

4. Tinggi

5. Sangat tinggi

1. Teknik Analisis Kerentanan Lingkungan

1. Setelah dilakukan perhitungan Nilai Indeks Keterpaparan Lingkungan

2. (NIKL), Nilai Indeks Sensitivitas (NIS) dan Nilai Indeks Kapasitas

Adaptif (NIKA) maka dilakukan perhitungan Indeks Kerentanan

Lingkungan (IKL). Dalam Yoo dkk (2014) rumus IKL tersebut adalah

sebagai berikut.

IKL = (NIKL + NIS) - NIKA

Keterangan:

IKL : Indeks Kerentanan Lingkungan

NIKL : Nilai Indeks Keterpaparan Lingkungan

NIS : Nilai Indeks Sensitivitas

NIKA : Nilai Indeks Kapasitas Adaptif

Jika nilai IKL sudah diketahui, maka selanjutnya dilakukan reklasifikasi

sehingga tingkat kerentanan dapat di ketahui. Reklasifikasi ini yakni dengan

menentukan jumlah kelas dan interval kelas. Jumlah kelas kerentanan


28

lingkungan ini dibagi menjadi 5 tingkat yakni tingkat 1 hingga 5. Pembagian ini

berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Yoo, dkk (2014). 14

Tingkatan kelas kerentanan lingkungan yang dikembangkan oleh Yoo,

dkk (2014) yang membaginya menjadi 5 tingkat:

1. Tingkat I : Kerentanan Sangat Rendah Kondisi dimana derajat terlukanya

sistem alam maupun manusia ketika ada ancaman maupun tekanan sangat

rendah.

2. Tingkat II = Kerentanan Rendah Kondisi dimana derajat terlukanya

sistem alam maupun manusia ketika ada ancaman maupun tekanan rendah.

3. Tingkat III = Rentan Kondisi dimana derajat terlukanya sistem alam

maupun manusia ketika ada ancaman maupun tekanan sedang.

4. Tingkat IV = Kerentanan Tinggi Kondisi dimana derajat terlukanya sistem

alam maupun manusia ketika ada ancaman maupun tekanan tinggi.

5. Tingkat V = Kerentanan Sangat Tinggi Kondisi dimana derajat terlukanya

sistem alam maupun manusia ketika ada ancaman maupun tekanan sangat

tinggi.

D. Kerangka Teori

Kerangka teori pada penelitian ini berdasarkan pada penelusuran

kepustakaan teori-teori sebagai berikut (Achmadi, 1991) :

Secara rinci jangkauan pemahaman perubahan lingkungan dapat dipilah

menjadi simpul-simpul pengamatan, pengukuran dan sekaligus pengendalian yaitu

1. Simpul A : Sumber pencemaran/sumber penyakit

2. Simpul B : Ambient Lingkungan yang melalui wahana

3. Simpul C : Komponen lingkungan yang sudah berada dalam diri manusia


29

4. Simpul D : Dampak Kesehatan yang ditimbulkan pada manusia.

SUMBER AMBIENT MANUSIA DAMPAK


KESEHATAN
1. Alamiah Melalui Wahana: Komponen
Lingkungan 1. Akut
2. Kendaraan 1. Tanah 2. Sub Klinik
berada dalam :
Barmotor 2. Air 3. Samar
3. Makanan 1. Darah 4. Sehat
3. Penderita 4. Bakteri 2. Lemak
Penyakit 5. Vektor 3. Urine
Infeksi penularan 4. Jaringan,dll
Penyakit
3. Mobil 6. Carier
manusia
4. Industri
A B C D

E. Kerangka konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Keterpaparan/Eksposure
Kerentanan Penyakit
Kecacingan
Sensitivitas/Sensitivity

Kapasitas Adaptif/
Adaptive Capasity
30

F. Definisi Operasional

Definisi Cara Alat Skala


No. Variabel Hasil Ukur
Operasional Pengukuran Ukur Ukur

1 Keterpaparan Sebagai derajat Observasi Cheklist 1 = baik Ordinal

suatu sistem secara 2 = sedang

alamiah rentan 3 = tidak

terhadap penyakit baik

kecacingan.

2 Lantai Jenis lantai yang Observasi Checklist 1 = beton Ordinal

halaman digunakan di 2 = beton tidak

sekolah halaman sekolah rata

3 = tanah

3 Sarana CTPS Adanya sarana Observasi Checklist 1 = ada Ordinal

yang digunakan 2 = ada tapi

dalam melakukan tidak

CTPS dipergunakan

3 = tidak ada

4 Jamban salah satu sarana Observasi Checklist 1 = ada Ordinal

dari pembuang 2 = ada tapi

tinja manusia tidak

dipergunakan

3 = tidak

baik

5 Sumber Air salah satu sarana Observasi Checklist 1 = PDAM Ordinal


31

Bersih yang digunakan 2 = SGL

dalam pemnafaatan 3 = tidak

air bersih ada

6 Sensitivitas/ Sebagai derajat Observasi Checklist 1 = baik Ordinal

Sensitivity atau tingkat suatu 2 = sedang

sistem terkena 3 = kurang

dampak sebagai baik

akibat dari semua

elemen penyakit

kecacingan.

7 Jumlah Jumlah siswa yang Observasi Checklist 1 = 66 - 223 Ordinal

murid di jadikan sampel 2 = 224 - 380

penelitian 3 = 381 - 578

8 Jajanan Jenis makanan Observasi Checklist 1 = baik Ordinal

sekolah yang di makan oleh 2 = sedang

siswa di sekolah 3 = tidak

baik

9 Kapasitas sebagai Observasi Checklist 1 = baik Ordinal

Adaptif/ kemampuan satu 2 = sedang

Adaptive sistem untuk 3 = tidak

Capasity menanggulangi baik

konsekuensi dari

penyakit

kecacingan,
32

mengurangi

potensi kerusakan,

atau mengambil

keuntungan dari

kondisi tersebut.

10 Penyuluhan Kegiatan yang Observasi Checklist 1 = ada Ordinal

dilaksanakan 2 = ada materi

dalam tidak

mengupayakan kecacingan

meningkatkan 3 = tidak

kualitas lingkungan ada

11 Pemberian Kegiatan Observasi Checklist 1 = 68 - 100 % Ordinal

obat cacing pencegahan yang 2 = 34 - 67 %

dilaksanakan 3 = 1 - 33 %

dalam

mengupayakan

tingkat penyakit

kecacingan
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Dimulai dari

konsep dan dioperasionalkan menjadi indikator/parameter dalam bentuk indeks

untuk mengukur kerentanan. Metode penelitian kuantitatif mengidentifikasi

variabel–variabel yang berpengaruh dalam menentukan indeks kerentanan.

Penelitian ini tergolong penelitian penjelasan (explanatory confirmatory

research).

B. Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus - Desember 2018terhadap

Siswa di Sekolah Dasar (SD) di wilayah kerja Puskesmas Ketaping Tahun 2018.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Unit analisis penelitian ini adalah seluruh siswa sekolah dasar di wilayah

kerja Puskesmas Ketaping, dengan jumlah sekolah dasar yaitu 11 sekolah. Sampel

penelitian ini adalah seluruh unit analisis.

D. Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari hasil observasi terhadap siswa dan

kondisi sekolah dasar di wilayah kerja puskesmas Ketaping mengenaipersonal

hygiene, dan sanitasi lingkungan sekolah.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari PuskesmasKetaping mengenai sarana dan

prasarana serta kondisi sanitasi lingkungan sekolah.

33
34

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Primer : diperoleh langsung dari hasil wawancara, kuesionerserta

observasi terhadap siswa pada sekolah dasar.

2. Sekunder : data dari fasilitas sarana dan prasarana yang disediakan

oleh sekolah.

F. Pengolahan Data

Pengolahan data menggunakan program komputer dan dianalisis secara

kuantitatif dan kualitatif. Setelah data-data terkumpul, selanjutnya dilakukan

pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Pengecekan data (Editing)

Dalam proses editing dilakukan kegiatan mengamati apakah semua

pertanyaan sudah terjawab dengan jelas dan melakukan perbaikan data

yang salah untuk mempersiapkan proses pengolahan selanjutnya.

b. Pengkodean data (Coding)

Dalam proses coding dilakukan kegiatan pemberiaan kode dalam bentuk

angka terhadap jawaban responden.

c. Memasukan data (Entridata)

Entri data merupakan kegiatan memasukan data ke dalam paket program

computer yang sesuai.

d. Pembersihan data (Cleaning data)

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entri

apakah ada kesalahan atau tidak.


35

e. Proses Data (Processing)

Processing merupakan proses mengolah data dengan menggunakan aplikasi

program komputer.

G. Analisis Data

Hasil analisis kriteria dan indikator kerentanan penyakit kecacingan akan

analisis secara deskriptif per sekolah, berdasarkan variabel keterpaparan, tingkat

sensitivitas dan kapasitas adaptif. Dari hasil penjelasan tingkat kerentanan pada

setiap sekolah maka akan didapatkan gambaran tingkat kerentanan penyakit

kecacingan pada siswa sekolah dasar terhadap personal higiene dan sanitasi

sekolah.

Tingkat kerentanan diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

K =(∑𝑛𝑘=1(𝑊𝑖𝑒 ∗ 𝑋𝑖𝑒) + (𝑊𝑖𝑠 ∗ 𝑋𝑖𝑠)) − ∑𝑛𝑘=1(𝑊𝑖𝑎𝑐 ∗ 𝑋𝑖𝑎𝑐)

Dimana:

K = indeks kerentanan

Wie = bobot indikator ke-i pada variabelketerpaparan

Xie = skor indikator ke-i pada variabel keterpaparan

Wis = bobot indikator ke-i pada variabel sensitivitas

Xies = skor indikator ke-i pada variabel sensitivitas

Wiac = bobot indikator ke-i pada variabel kapasitas adaptif

Xiac = skor indikator ke-i pada variabel kapasitas adaptif

Nilai indeks kerentanan kemudian diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga)

tingkat/kelas kerentanan, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Tingkat kerentanan


36

akan dianalisis secara deskriptif per sekolah, berdasarkan variabel keterpaparan,

tingkat sensitivitas dan kapasitas adaptif. Dari hasil penjelasan tingkat

kerentanan pada setiap sekolah maka akan didapatkan gambaran tingkat

kerentanan penyakit kecacingan terhadap sanitasi lingkungan dan personal

higiene siswa. Penentuan skala interval untuk kelas kerentanan dihitung dengan

persamaan berikut:

Dimana :
𝑅
I=𝑛

Dimana :

I= skala interval

R = selisih skor maksimumdanminimum

n = banyaknya kelas penilaian yang dibentuk

Penentuan indeks kerentanan yaitu dengan mengurangi indeks paparan

dan kepekaan dengan indeks kemampuan adaptasi.

V = f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity
DAFTAR PUSTAKA

Statistics, H. (1994). Profil Kesehatan Indonesia 1994 .


https://doi.org/351.770.212 Ind P

Andayanie, E., & Indonesia, U. M. (2018). Pengantar Kesehatan Lingkungan Dr .


Muhammad Ikhtiar , SKM , M . Kes.

Midwives, V. (2014). Table_of_Contents. Toxicological Sciences, 137(2), NP-NP.


https://doi.org/10.1093/toxsci/kft290

Kalimantan, S., & Bisara, D. (2014). DI KECAMATAN MENTEWE ,


KABUPATEN TANAH BUMBU KALIMANTAN SELATAN TAHUN
2010 Helminthiasis Cases among Elementary School Students in Mentewe
Sub-District , Tanah Bumbu District, 255–264.

Sartika, S., Wahongan, G. J. P., Tuda, J. S. B., Skripsi, K., Kedokteran, F., Sam,
U., … Ratulangi, S. (2016). Survei kecacingan pada anak dengan riwayat
alergi di sekolah dasar yang terdapat di Kecamatan Sario Kota Manado.
Jurnal E-Biomedik (EBm), 4(2), 2–5.

Hairani, B., Waris, L., & Juhairiyah. (2014). Prevalence of soil-transmitted


helminths ( sth ) in primary school children in subdistrict of Malinau Kota ,
District of Malinau , East Kalimantan Province Prevalensi soil transmitted
helminth ( sth ) pada anak sekolah dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabu.
Jurnal Buski, 5(1), 43–48.

Sidartawan, S. (2015). Buku Ajar Penyakit Dalam, 2561–2570.

Umar, Z. (2008). Perilaku cuci tangan sebelum makan dan kecacingan pada murid
SD di kabupaten pesisir selatan Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, 2(6), 249–254. Retrieved from
jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/view/244%5Cn

Natadisastra, Djaenudin. DKK. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC


Safar, Rosdiana, 2010. Parasitologi Kedokteran. Bandung : CV Yrama Widya

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk, 2010.Infeksi Dan Pediatri Tropis. Jakarta :


IDAI

Fitria, L., Wahjudi, P., & Wati, D. M. (2014). Pemetaan Tingkat Kerentanan Peny
Menular, 2(3), 460–467.

Masyarakat, J. K. (2017). No Title, 5, 649–658.

Umar, Z. (2008). Perilaku cuci tangan sebelum makan dan kecacingan pada murid
SD di kabupaten pesisir selatan Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, 2(6), 249–254. Retrieved from
jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/view/244%5Cn

Budiyono. DKK. 2017. Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Penduduk Pantai


Kota Semarang Akibat Banjir Rob dengan Status Kesehatan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. Volume 5, Nomor 5, Oktober 2017 (ISSN:
2356-3346) http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm

Anda mungkin juga menyukai