Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

ILMU KESEHATAN ANAK

WISKOTT ALDRICH SYNDROME

Tugas Ini Untuk Memenuhi Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Anak


Dosen Pembimbing :

dr. Haryson Tondy Winoto, M.Si.,Med.,Sp.A.

Disusun oleh : KELOMPOK 2

1. Maya Dwi Artikawati 18700011


2. Agus Winangun 18700013
3. Elliyah Fatma Sari 18700015
4. Angga Putra Surya Rahmadhani 18700017

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
SURABAYA
Kata Pengantar

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah dengan judul " Wiskott Aldrich Syndrome " ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I...............................................................................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................3

C. Tujuan...................................................................................................................................3

D. Manfaat.................................................................................................................................3

BAB II.............................................................................................................................................4

E. DEFINISI..............................................................................................................................4

F. GEJALA KLINIS.................................................................................................................5

G. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG.....................................................................7

H. TERAPI DAN PENATALAKSANAAN.............................................................................9

I. PROGNOSIS......................................................................................................................12

BAB III..........................................................................................................................................16

J. Kesimpulan.........................................................................................................................16

K. Saran...................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom Wiskott Aldrich (WAS) adalah penyakit resesif terkait kromosom X yang
jarang terjadi yang ditandai oleh eksema,  trombositopenia 
(jumlah trombosit rendah), defisiensi imun, dan diare berdarah (sekunder akibat
trombositopenia). Penyakit ini juga kadang-kadang disebut sindrom imunodefisiensi
eksim-trombositopenia sesuai dengan deskripsi asli Aldrich pada tahun 1954. Gangguan
terkait WAS dari X-linked thrombocytopenia (XLT) dan X-linked congenital neutropenia
(XLN) dapat menunjukkan gejala yang serupa tetapi kurang parah dan disebabkan oleh
mutasi gen yang samaSindrom Wiskott Aldrich disebut juga sebagai sindrom eksim-
trombositopenia imunodefisiensi merupakan kelainan genetik yang diturunkan secara x-
linked recessive, termasuk kelompok sindrom hiper IgE. Kasus SWA sangat jarang ditemui
sehingga sering luput dari diagnosis karena kesulitan mengenalnya. Gejala trombositopenia
sering didiagnosis sebagai ITP, sedangkan gejala eksim sering diduga sebagai dermatitis
atopi pada pasien alergi. Komplikasi tersering adalah infeksi dan perdarahan yang
merupakan penyebab tersering kematian. Mikrotrombosit yang terlihat pada pasien WAS
juga tampak pada penyakit lainnya yaitu defisiensi ARPC1B. Pada kedua penyakit
tersebut, platelet yang rusak diperkirakan dikeluarkan dari sirkulasi oleh limpa dan/atau
hati, yang menyebabkan jumlah platelet yang rendah. Pasien-pasien WAS mengalami
peningkatan kerentanan terhadap infeksi, terutama pada telinga dan sinus, dan defisiensi
imun ini dikaitkan dengan penurunan produksi antibodi dan ketidakmampuan sel T untuk
memerangi infeksi secara efektif. Perkiraan kejadian sindrom Wiskott-Aldrich di Amerika
Serikat adalah satu dari 250.000 kelahiran pria yang hidup. Tidak ada pengaruh faktor
geografis.

IDP dibagi menjadi delapan kelompok: predominan defisiensi antibodi (predominantly


antibody deficiencies); defisiensi kombinasi sel T dan sel B (combined T- and B cell
deficiencies); IDP terkait sindrom (other well-defined syndromes); penyakit regulasi imun
(diseases of immune regulation); defek jumlah atau fungsi fagosit kongenital, atau

1
2

keduanya (congenital defects of phagocyte number or function, or both); defek; penyakit


auto-inflamasi (auto-inflammatory diseases); dan defisiensi komplemen (complement
deficiencies).

 Limfosit B (‘sel B’) memproduksi imunoglobulin yang dikenal juga sebagai antibodi.
Imunoglobulin adalah protein yang mampu menetralisasi serangan mikro-organisme
dan membantu sel fagosit untuk mengenali, mencerna, dan membunuh mikro-
organisme.
 Limfosit T (‘sel T’) menyerang serangan mikro-organisme yang berada di dalam sel
pejamu, seperti virus. Sel T juga memproduksi sitokin, yang membantu merekrut dan
mengatur sel-sel imun lainnya.
 Fagosit menelan (atau ‘mencerna’) dan membunuh mikro-organisme.
 Komplemen adalah protein yang dapat membunuh mikro-organisme, dan membantu
sel-sel lain dalam sistem imun.
Gangguan Defisiensi Sel T dan Combined Immunodefisiensi Disorder (CID)
Manifestasi klinis dari gangguan sel T (seluler) dan CIDs akan bervariasi tergantung pada
cacat tertentu yang mendasari dalam respon imun adaptif. Oleh karena itu, kecurigaan
klinisi menjadi hal yang penting untuk diagnosis dengan tepat waktu gangguan yang
terjadi. Pasien dengan gangguan spesifik sel T kemungkinan akan mengalami
lymphopenic (limfosit berada dalam tingkat abnormal rendah) dan neutropenia (neutrofil
berada dalam tingkat abnormal rendah). Dalam bentuk yang paling parah CID (juga
dikenal sebagai immunodeficiency gabungan yang parah [Severe combined
immunodeficiencyes / SCID]) dimana terjadi kekurangan sel T fungsional dan fungsi
kekebalan tubuh. Lainnya CIDS kurang parah yang tidak khas menyebabkan kematian
dini termasuk Wiskott-Aldrich syndrome, sindrom DiGeorge, ataksia-telangiectasia dan
penyakit X-linked limfoproliferatif.
3

A. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Wiskott Aldrich Syndrome?


2. Bagaimana gejala yang di alami oleh penderita Wiskott Aldrich Syndrome?
3. Bagaimana pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari Wiskott Aldrich
Syndrome?
4. Bagaimana terapi untuk Wiskott Aldrich Syndrome?

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari Wiskott Aldrich Syndrome.


2. Untuk mengetahui gejala Wiskott Aldrich Syndrome.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari Wiskott
Aldrich Syndrome.
3. Untuk mengetahui terapi Wiskott Aldrich Syndrome.

C. Manfaat

1. Untuk Masyarakat
Masyarakat dapat lebih mengerti dan mengetahui hal-hal terkait Wiskott Aldrich
Syndrome.
2. Untuk Tenaga Kesehatan
Dapat sebagai tambahan informasi untuk penanganan Wiskott Aldrich Syndrome.
BAB II
PEMBAHASAN

D. DEFINISI

Sindrom Wiskott-Aldrich (SWA) Merupakan kelainan imunodefisiensi primer


langka terkait kromosom-X, ditandai dengan trias eksema, trombositopenia, infeksi berat,
dan rekuren. Spektrum gangguan ini mulai dari gejala ringan trombositopenia terisolasi
hingga presentasi klinis full-blown dengan perdarahan, imunodefisiensi, atopi,
autoimunitas, dan keganasan yang mengancam nyawa. Trombositopenia dengan bentuk
trombosit yang kecil, serta menderita penyakit infeksi berulang. Sel limfosit B dan T
gagal membentuk antibodi terhadap antigen polisakarida. Sindrom ini dapat
menyebabkan kematian di usia dini. Tidak semua individu yang menderita sindrom ini
memiliki gambaran klinis lengkap. Sindrom Wiskott-Aldrich diperkirakan menyumbang
3% kelainan imunodefisiensi primer.

Sindrom Wiskott-Aldrich (SWA)

Insidens SWA di Amerika Serikat dan Kanada diperkirakan 1:250.000


kelahiran laki-laki. Diagnosisnya bisa tertunda hingga dewasa terutama pada kasus
ringan, gambaran klinis umum biasanya muncul pada bulan pertama hingga tahun
tahun awal kehidupan. Gen Sindrom WiskottAldrich (SWA) teridentifikasi pada
kromosom X (posisi Xp11.22-p11.23) berdasarkan cloning posisional, dan Dr.
4
5

Wiskott mengonfirmasi adanya delesi dua nukleotida pada posisi 7374 (AC73-74del)
di keluarga ketiga saudara laki-laki dengan gambaran klinis di atas. Delesi tersebut
menyebabkan frameshift dan terminasi dini protein. Protein WAS (WASp) merupakan
protein multifaset yang menyebabkan beberapa gangguan klinis. Mutasi yang
menyebabkan tidak adanya WASp menimbulkan SWA klasik, terdiri dari
trombositopenia dengan platelet berukuran kecil, eksim, infeksi rekuren akibat
imunodefisiensi, dan meningkatnya insidens autoimunitas dan keganasan. Mutasi yang
menyebabkan berkurangnya protein SWA menyebabkan trombositopeni terpaut
kromosom-X (X-linked thrombocytopenia/XLT) ditandai dengan trombositopenia dan
kadang diikuti eksim serta imunodefisiensi yang lebih ringan. Mutasi GTPase-binding
domain (GPD) dari WASp menyebabkan neutropenia dan mielodisplasia dengan
derajat bervariasi, disebut X-linked neutropenia (XLN). Dalam bentuk berat, SWA
menyebabkan kematian dini karena infeksi ataupun perdarahan. Hingga saat ini, terapi
kuratif pilihan berupa transplantasi sel punca hematopoeitik (human stem cells, HSC)
dan terapi gen

E. GEJALA KLINIS

1. Trombositopenia
Trombositopenia hampir selalu ditemukan dengan derajat keparahan bervariasi. Kira-
kira setengah pasien SWA memiliki trombositopenia <20.000/uL. Komplikasi
perdarahan terjadi pada lebih dari 80% pasien SWA. Komplikasi perdarahan bisa
mengancam nyawa pada 30% pasien (seperti perdarahan gastrointestinal, perdarahan
intrakranial), atau ringan seperti epistaksis, ekimosis, dan petekie.
6

Trombositopenia
2. munodefisiensi
Disfungsi limfosit-T merupakan faktor klinis utama imunodefisiensi yang berkaitan
dengan SWA. Gangguan polimerisasi aktin dan berkurangnya akumulasi perforin
menyebabkan berkurangnya aktivitas sitolitik sel natural killer (NK). Respons imun
yang berkurang meningkatkan risiko infeksi, salah satunya adalah otitis media.
Defisiensi protein SWA menyebabkan mikrotrombositopenia dan meningkatnya
kejadian perdarahan telinga tengah dan dalam, dan menjadi penyebab gangguan
perfusi. Pada pasien SWA sering ditemukan tuli tipe campuran. Abnormalitas sistem
imun menyebabkan kerentanan terhadap berbagai macam patogen infeksi, namun
komplikasi infeksi sebagai manifestasi tunggal sangat jarang (<5% kasus).
Imunodefisiensi melibatkan sel T dan dikaitkan dengan defek sel T baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Umumnya pasien SWA memiliki hitung limfosit absolut
>1000/uL, menunjukkan tidak adanya limfopenia profunda seperti pada gangguan
imunodefisiensi primer lain. Hitung limfosit absolut <1000/uL hanya ditemukan pada
22% pasien SWA.

3. Autoimunitas
Diperkirakan 40% pasien SWA membentuk autoimunitas; banyak pasien mengalami
beberapa manifestasi penyakit autoimun. Sullivan melaporkan dua dari tiga pasien
SWA dengan manifestasi autoimun memiliki beberapa kelainan autoimun sekaligus.
Manifestasi autoimun tersering pada SWA termasuk anemia hemolitik autoimun
(14%), vaskulitis (13%), penyakit ginjal (12%), dan artritis kronis (10%).
7

Autoimunitas diperkirakan karena terbentuknya autoantibodi atau klon sel-T yang


autoreaktif.

4. Atopi
Rash eksematosa merupakan gambaran klinis paling menonjol, paling sering
ditemukan pada sekitar 80% pasien SWA. Eksema ini bisa berat dan memengaruhi
kualitas hidup pasien secara signifikan, dan meningkatkan kerentanan akan komplikasi
infeksi. Temuan laboratorium bisa eosinofilia serta peningkatan kadar IgE serum,
sangat sesuai dengan karakteristik diagnostik dermatitis atopik. Rinitis alergika, asma,
dan kelainan terkait alergi makanan juga sering ditemukan. Prevalensi alergi terhadap
makanan yang umum (seperti kacang, udang, susu, putih telur, gandum) ditemukan
lebih sering dibandingkan pada populasi umum.

5. Alignasi
Studi retrospektif melaporkan kejadian malignansi sebesar 13-22% pada pasien
dengan presentasi klinis berat, dengan usia onset 9,5 tahun; risiko meningkat pada
penderita kelainan autoimun. Limfoma, terutama tipe non-Hodgkin dan kadang
diinduksi-EBV, merupakan neoplasma yang paling sering didiagnosis, ditemukan
pada situs ekstranodal. Selain itu, ditemukan juga leukemia limfoblastik,
mielodisplasia, gangguan mieloproliferatif, dan keganasan nonlimforetikular lainnya
(seperti seminoma, karsinoma testikular, glioma, neuroma, dan sarkoma Kaposi.
Dalam laporan kasus Kaneko, dkk. (2018), gambaran SWA sulit dibedakan dari
8

purpura trombositopenik imun (PTI). SWA sering didiagnosis sebagai PTI, yang
menyebabkan tatalaksana kurang sesuai.

F. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Fisik
Insiden fenotipe WAS klasik diperkirakan antara 1 dan 10 dalam 1 juta orang. Dengan
kesadaran yang lebih luas tentang fenotipe klinis yang berbeda, bersama dengan
ketersediaan alat diagnostik yang andal, insidennya mungkin jauh lebih tinggi.
Manifestasi klinis yang menunjukkan WAS-XLT sering muncul saat lahir dan terdiri dari
petekie, memar, dan diare berdarah. Perdarahan yang berlebihan setelah penyunatan
merupakan tanda diagnostik awal. Eksim sering terjadi manifestasi WAS klasik selama
masa bayi dan masa kanak-kanak. Temuan yang paling konsisten pada diagnosis WAS
klasik dan XLT adalah trombositopenia dan trombosit kecil.
Pemeriksaan fisik didapatkan seorang bayi laki-laki tampak sakit sedang dengan berat
badan 3.800 gram (< P5 NCHS), panjang badan 55 cm (< P5 CNHS). Kesadaran kompos
mentis, tidak sesak maupun sianosis. Laju nadi=laju jantung 104 x/m, laju pernafasan
32x/menit, suhu 38o C. Kulit terdapat petekie dan eksim pada pipi. Pada wajah tidak
terdapat deformitas. Konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik. Pada telinga terdapat bercak
eritem, keropeng dan vesikel, hidung dan tenggorok normal, pada leher tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening. Dada simetris, auskultasi paru terdengar vesikuler,
tidak ada ronki dan lendir, terdapat mengi. Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar
bising dan irama derap. Perut lemas, turgor cukup, hati teraba kenyal rata, tepi tajam,
limpa SII, bising usus (+) normal. Alat gerak akral hangat tidak terdapat parut BCG.

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang didapatkan anemia, leukositosis, dan trombositopenia, tidak
ditemukan sel blast pada gambaran darah tepi dengan ukuran trombosit kecil. LED
meningkat. Analisis tinja didapatkan malabsorbsi lemak. BMP menunjukkan hipoplasia
eritropoesis dan trombopoesis. Pemeriksaan radiologis toraks ditemukan bula paru kanan.
Kadar IgA 43 mg/dl, IgG 1428 mg/dl, IgM 102 mg/dl, C3 dan C4 normal, IgE total 5350
mg/dl. Uji Coombs direk positif, indirek negatif, isohemagglutinin tidak dapat diperiksa.
9

Tabel 1. Temuan klinis dan laboratories sindrom Wiskott-Aldrich


Pemeriksaan Fisik
Kemerahan Eksim
Perdarahan Peteki, ekimosis
Riwayat kesehatan sebelumnya
Kemerahan Eksim
Perdarahan Perdarahan mukosa (mudah memar, epistaksis,
hematokezia, hematuria) atau perdarahan intrakranial
Infeksi Infeksi sinopulmoner berat atau rekuren, infeksi virus,
jamur ataupun oportunistik
Autoimunitas Sitopenia, vaskulitis, inflammatory bowel disease,
artritis, penyakit ginjal
Keganasan Limfoma
Riwayat Keluarga
Penyakit terpaut kromosom-X Dialami oleh setiap generasi; dengan suseptibilitas
utama pada jenis kelamin laki-laki

Pemriksaan labolatorium
Hitung darah lengkap Anemia, mikrositosis, trombositopenia, rerata volume
platelet yang rendah
Hapusan darah tepi Mikrotrombosit
IgG, IgA, IgM dan IgE serum
Titer isohemaglutinin dan vaksin Titer isohemaglutinin abnormal, dan respons vaksin
yang berkurang terhadap protein, polisakarida, dan
vaksin konjugat
Subset limfosit dan respons Limfopenia sel T dan respons proliferatif abnormal
mitogen terhadap mitogen

G. TERAPI DAN PENATALAKSANAAN

1. Pengobatan SWA bersifat simptomatik


Pengobatan SWA bersifat simptomatik, yaitu dengan pemberian antibiotik,
transfusi darah dan imunoglobulin intravena. Pemberian kortikosteroid atau
imunosupresan pada bisa dilakukan apabila pasien pada saat itu diduga ITP. Setelah
10

ditegakkan diagnosis SWA maka pemberian kortikosteroid dihentikan karena selain tidak
bermanfaat dapat memperberat keadaan imunodefiensi.

2. Terapi Pengganti Imunoglobulin


Imunoglobulin adalah protein yang dapat mengenali mikro-organisme dan
membantu sel imun untuk menetralisasi mikro-organisme tersebut. Kebanyakan IDP
menyebabkan tubuh memproduksi imunoglobulin dalam jumlah kecil, bahkan tidak
mampu memproduksi imunoglobulin sama sekali. Terapi pengganti imunoglobulin
adalah pengobatan yang paling penting pada IDP yang membantu untuk melindungi
tubuh terhadap sejumlah nfeksi dan untuk mengurangi gejala autoimun. Imunoglobulin
digunakan untuk mengobati berbagai jenis IDP, seperti common variable
immunodeficiency (CVID), agamaglobulinemia yang berhubungan dengan kromosom-X
(X-linked agammaglobulinaemia), sindrom hiper-imunoglobulin yang berhubungan
dengan kromosom-X (X-linked hyper-imunoglobulin/HIGM syndrome), sindrom
Wiskott-Aldrich, dan imunodefisiensi kombinasi berat (severe combined
immunodeficiency/SCID). Pengobatan harus diberikan secara teratur karena hanya dapat
memberikan perlindungan sementara, dan biasanya diberikan seumur hidup.
Imunoglobulin diberikan melalui jalur infus. Infus imunoglobulin dapat diberikan melalui
dua jalur yang berbeda. Kedua jalur pemberian ini sama efektifnya, dan masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan.

3. Infus intravena (IV):


Pada cara ini imunoglobulin diberikan langsung ke dalam aliran pembuluh darah
melalui pembuluh darah balik atau vena. Setiap pemberian membutuhkan waktu 2-4 jam.
Kelebihan utama pemberian secara infus IV adalah dapat memberikan imunoglobulin
dosis tinggi bila diperlukan, dan pengobatan hanya diperlukan setiap 3 atau 4 minggu.
Kekurangannya adalah pemberian infus IV harus dilakukan di rumah sakit atau klinik
oleh dokter atau perawat, atau di rumah oleh perawat atau kerabat yang terlatih. Selain
itu, beberapa pasien juga dapat merasa tidak nyaman selama atau setelah pemberian infus
IV (lihat keterangan selanjutnya). Dosis imunoglobulin yang diberikan disesuaikan
dengan kondisi pasien untuk menjamin jumlah imunoglobulin yang cukup di dalam darah
11

dan dapat mengontrol infeksi. Sebagaimana terdapat beberapa nama dagang


imunoglobulin yang sedikit berbeda satu dengan lainnya, dan mungkin dapat ditoleransi
berbeda oleh beberapa individu, maka orangtua dan pasien harus mengingat nama dagang
yang mereka biasa gunakan sehingga mereka dapat memastikan mendapat produk yang
tepat dan benar.

4. Infus subkutaneus (SK):


Pada cara ini imunoglobulin diberikan melalui suntikan di bawah kulit di daerah
kaki, perut, atau lengan menggunakan jarum dan pompa infus yang mudah dibawa (atau
‘pengatur semprotan’/ ‘syringe driver’) atau teknik ‘tekanan’. Infus SK hanya
membutuhkan waktu 1-2 jam tetapi biasanya diberikan satu kali atau lebih dalam
seminggu. Infus SK berguna saat terdapat masalah pada pemberian jalur infus IV. Selain
itu, infus SK dapat diberikan di rumah oleh pasien sendiri, atau oleh orangtua dan
pengasuh. Tetapi sayangnya, hal ini tidak cocok atau sesuai dengan semua pasien IDP.
Pasien dan pengasuh yang ‘mengobati sendiri’ di rumah harus bersedia dan mampu
mengikuti jadwal pemberian dan mereka diminta untuk membuat buku harian
pengobatan. Hal ini dapat dilakukan setelah dilakukan pelatihan oleh staf kesehatan.

5. Tranplantasi Sel Punca (Atau Sumsum Tulang)


Sel punca atau sel induk adalah sel yang belum matang yang dapat membelah dan
tumbuh menjadi berbagai jenis sel imun. Transplantasi sel punca adalah pengobatan
khusus yaitu sel-sel yang diambil dari sumsum tulang atau darah tali pusat donor yang
sehat diberikan kepada pasien dengan IDP tertentu yang tidak memiliki sel-sel imun atau
sel-sel imunnya tidak bekerja dengan benar. Risiko yang mungkin terjadi pada
transplantasi adalah sistem kekebalan tubuh pasien dapat menyerang sel-sel yang
disumbangkan, atau sebaliknya yaitu selsel yang disumbangkan dapat menyerang tubuh
pasien. Untuk menghindari hal ini, donor sel induk yang ideal adalah saudara kandung
pasien yang memiliki sel-sel yang cocok dengan pasien. Namun, kadang-kadang donor
yang berasal dari kerabat tidak cocok dengan pasien, atau donor yang berasal bukan dari
kerabat cocok untuk pasien. Beberapa pasien perlu mendapat kemoterapi untuk
mempersiapkan sistem kekebalan tubuhnya untuk transplantasi sel punca. Terapi sel
12

punca hanya diberikan oleh unit transplantasi sumsum tulang dan ketersediaannya
bervariasi di seluruh dunia. Pasien dan pengasuh perlu memeriksa situasi dan penyandang
kesehatan lokal mereka, dan dengan dokter mereka.

Transplantasi sumsum tulang sebaiknya dari saudara kandung yang mempunyai


human leukocyte antigen (HLA) yang sesuai, tampaknya dapat memperbaiki semua
masalah kecuali trombositopenia. Splenektomi dilakukan apabila ada indikasi khusus
seperti trombositopenia dan ukuran trombosit yang kecil, namun perlu diingat bahwa
risiko infeksi pasca splenektomi meningkat.

H. PROGNOSIS

Setelah diagnosis dikonfirmasi, pasien harus dievaluasi tepat waktu di pusat yang
memiliki keahlian dalam pengelolaan WAS. Tanpa perawatan dan intervensi yang tepat,
morbiditas dan mortalitas sering terjadi. Sullivan et al menemukan bahwa 36% pasien
dengan WAS mengalami kematian terkait non-HSCT pada usia rata-rata 8 tahun. 2
Kematian ini dikaitkan dengan infeksi (44%), perdarahan (23%), dan keganasan (26%).
Banyak pusat yang menyediakan perawatan untuk pasien dengan WAS dan gangguan
imunodefisiensi primer lainnya memiliki pendekatan multidisiplin untuk perawatan pasien
dan anggota keluarga yang terkena dampak. Ini termasuk konseling genetik, layanan
dukungan psikososial, dan dukungan subspesialis, seperti imunologi transplantasi,
hematologi / onkologi, penyakit menular, dan perawatan kritis. Dengan perawatan yang
tepat dan intervensi tepat waktu, pasien dengan WS memiliki prognosis yang sangat baik.
Sebagai contoh, kelangsungan hidup jangka panjang setelah penggunaan HSCT alogenik
adalah .80%.
13

PENUNTUN BELAJAR
PENYAKIT DEFISIENSI IMUN
14

Kesempatan
No Kegiatan / langkah klinik
ke
1 2 3 4 5
I Mengenali tanda dan gejala penyakit Wiskott Aldrich Syndrome
1. Tanyakan apakah anak mendapatkan infeksi rinosinusitis kronik √
atau berulang?
2. Tanyakan apakah ada tanda dan gejala berikut pada anak?
 Infeksi saluran napas atas berulang √
 Infeksi bakteri yang berat √
 Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons √
pengobatan inkomplit
3. Periksa dan simpulkan apakah ada tanda dan gejala berikut ?
 Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh √
 Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar √
 Infeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim √
 Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, √
alopesia, eksim, teleangiektasi, warts yang hebat)
 Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan √
 Jari tabuh √
 Diare dan malabsorpsi √
 Mastoiditis dan otitis persisten √
 Pneumonia atau bronkitis berulang √
 Penyakit autoimun √
 Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, √
neutropenia, trombositopenia)
4. Periksa dan simpulkan apakah ada tanda dan gejala berikut
 Berat badan turun √
 Demam √
 Periodontitis √
 Limfadenopati √
 Hepatosplenomegali √
 Infeksi Virus √
 Artritis atau arthralgia √
 Ensefalitis √
 Meningitis berulang √
 Pioderma gangrenosa √
 Kolangitis sclerosis √
 Hepatitis kronik (virus atau autoimun) √
 Respon vaksin yang berkurang terhadap protein, polisakarida, √
dan vaksin konjugat
15

 Bronkiektasis √
 Infeksi saluran kemih √
 Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari) √
 Stomatitis kronik √
 Granuloma √
 Keganasan limfoid √
 Ptekie dan Ekimosis √
 Mudah memar √
 Epistaksis √
 Hematocezia √
 Hematuria √
5. Apakah anak mengalami sekumpulan tanda-tanda berikut ini √
:
 Delapan atau lebih infeksi baru dalam satu tahun
 Dua atau lebih infeksi sinus serius dalam satu tahun
 Dua bulan atau lebih menggunakan antiobiotik dengan efek
sedikit atau tidak berefek.
 Dua atau lebih pneumonia dalam satu tahun
 Kegagalan seorang bayi untuk mendapatkan berat dan tumbuh
normal.
 Abses pada kulit atau jaringan kambuhan
 Sariawan mulut atau di tempat lain yang menetap setelah umur
1 tahun
 Perlu antiobiotik intravena untuk menghilangkan infeksi
 Silsilah imunodefisiensi dalam keluarga
6. Apakah anak mengalami sekumpulan tanda defisiensi imun √
kombinasi yang berat sebagai berikut:
 Terdapat pada minggu atau bulan pertama kehidupan
 Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri
 Diare kronik umum terjadi (sering disebut gastroenteritis)
 Infeksi respiratorius dan oral thrush umum terjadi
 Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
 Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi
16

II. Menjelaskan pengelompokan penyakit defisiensi imun penyakit defisiensi imun


primer dan sekunder IUIS 2003
1. Defisiensi predominan antibodi √
2. Imunodefisiensi kombinasi √
3. Imunodefisiensi selular lainnya √
4. Defek fungsi fagosit √
5. Imunodefisiensi terkait kelainan limfoproliferatif √
6. Defisiensi komplemen √
7. Imunodefisiensi terkait dengan atau sekunder penyakit lain √
8. Imunodefisiensi lainnya √
III. Menjelaskan indikasi, makna klinik, keterbatasan, dan interpretasi uji dan
prosedur diagnostik untuk menilai fungsi kekebalan untuk skrening.
1. Pemeriksaan darah tepi √
 Hemoglobin
 Leukosit total
 Hitung jenis leukosit (persentasi)
 Morfologi limfosit
 Hitung trombosit
2. Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE) √
2.  Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG) √
 Titer antibodi Tetatus, Difteri
 Titer antibodi H.influenzae
3. Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50) √
4. Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan √
pencitraan yang sesuai)
5. Pemeriksaan darah tepi √
 Hemoglobin
 Leukosit total
 Hitung jenis leukosit (persentasi)
 Morfologi limfosit
 Hitung trombosit
IV. Mendemonstrasikan pendekatan awal untuk pengobatan dan persiapan rujukan.
1. Pengobatan suportif √
2 Pengobatan substitusi √
3. Pengobatan imunomodulasi √
4. Pengobatan kausal √
17

Pengobatan SWA bersifat simptomatik, yaitu dengan pemberian antibiotik, transfusi


darah dan imunoglobulin intravena. Oleh sebab itu pengobatan suportif dan pengobatan
substitusi dilakukan. Karena pada kasus SWA terkadang ada penyakit penyerta lainnya yang
membutuhkan terapi antibiotik secara simptomatik. Namun terapi seperti transfusi darah, terapi
imunoglobulin ataupun terapi sumsum tulang juga perlu dilakukan, Terapi pengganti
imunoglobulin adalah pengobatan yang paling penting pada IDP yang membantu untuk
melindungi tubuh terhadap sejumlah nfeksi dan untuk mengurangi gejala autoimun. Selain itu
juga dapat menggunakan transplantasi sel punca.Transplantasi sel punca adalah pengobatan
khusus yaitu sel-sel yang diambil dari sumsum tulang atau darah tali pusat donor yang sehat
diberikan kepada pasien dengan IDP tertentu yang tidak memiliki sel-sel imun atau sel-sel
imunnya tidak bekerja dengan benar karena pada SWA Sel limfosit B dan T gagal membentuk
antibodi terhadap antigen.
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan

Sindrom Wiskott-Aldrich (SWA) Merupakan kelainan imunodefisiensi primer langka


terkait kromosom-X, ditandai dengan trias eksema, trombositopenia, infeksi berat, dan
rekuren. Spektrum gangguan ini mulai dari gejala ringan trombositopenia terisolasi
hingga presentasi klinis full-blown dengan perdarahan, imunodefisiensi, atopi,
autoimunitas, dan keganasan yang mengancam nyawa.
Mengalami gejala klinis berupa Trombositopenia, imunodefisiensi, autoimunitas, atopi,
alignasi dan lain-lain. Pengobatan SWA bersifat simptomatik, yaitu dengan pemberian
antibiotik, transfusi darah dan imunoglobulin intravena atau transplantasi sel punca
(sumsum tulang)

J. Saran

Pasien Imunodefisiensi biasanya dirawat di rumah sakit pusat atau klinik imunologi.
Kunjungan rutin ke pusat biasanya diperlukan, tergantung tingkat keparahan dan
pengobatan yang diberikan. Selain dokter spesialis, beberapa anggota staf kesehatan ahli
lain perlu membantu merawat pasien SWA. ini termasuk perawat spesialis, ahli
fisioterapi, ahli gizi atau ahli diet, dan apoteker. Dokter memberikan info terkini
mengenai perkembangan pnyakitnya kepada orang tua atau dokter umum ( dokter
keluarga ) yang merawatnya.

18
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewanti, N. R., & Munasir, Z. 2016. Sindrom Wiskott Aldrich: Laporan Kasus. Sari
Pediatri, 3(3), 120. https://doi.org/10.14238/sp3.3.2001.120-4
2. Ochs, H. D., Thrasher, A. J., & Raya, I. 2006. Sindrom Wiskott-Aldrich. 725, 725–738.
3. Pratiwi, P. S. 2020. Sindrom Wiskott-Aldrich ( SWA ) - Sebuah Rare Disease. 47(7), 515–
518.
4. Munasir., Z., Dewanti., N., R., 2001. Sindrom Wiskott Aldrich: Laporan Kasus Sindrom
Wiskott Aldrich: Laporan Kasus. Sari Pediatri. Vol. 3, No. 3
5. Kusumo P.,D., 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (Pid) diakses pada 29 Maret
2021 dalam https://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/majalah-ilmiah/article/view/25
6. International Patient Organisation for Primary Imemmunodeficiencies .2012. Tata
Laksana Imunodefisiensi Primer: Panduan Untuk Pasien Dan Keluarga
Diakses pada 29 Maret 2021 dalam
https://ipopi.org/wp-content/uploads/2012/01/IPOPI_TreatmentsForPIDs_Indonesio-
2.pdf
7. Buchbinder, D., Diane J Nugent., dkk. 2014. Wiskott–Aldrich syndrome: diagnosis,
current management, and emerging treatments. The Application of Clinical Genetics.
Vol.7, No. 55–66

Anda mungkin juga menyukai